bab ii tinjauan pustaka a. remaja akhir ii.pdfpada awal abad 20, para ahli telah menemukan konsep...

47
16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja Akhir 1. Remaja Pada abad pertengahan, remaja dipandang sebagai bentuk miniatur dari orang dewasa dan menjadi sasaran dari penerapan disiplin yang keras. Pada abad ke 18, pandangan Rousseau memperbaiki keyakinan yang salah dengan menyatakan bahwa remaja bukan merupakan bentuk miniatur dari orang dewasa. Pada akhir abad 19 dan pada awal abad 20, para ahli telah menemukan konsep yang merumuskan tentang remaja sebagai periode tersendiri yang berbeda dengan periode dewasa (Santrock, 2007b). Santrock (2007b) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional. Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa. Havighurst (dalam Hurlock, 1980) menyatakan bahwa tugas perkembangan remaja terdiri dari mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita, mencapai kemandirian emosional, mempersiapkan karir ekonomi, serta menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuh secara efektif. Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja adalah periode peralihan dan periode perubahan. Masa remaja sebagai periode peralihan berarti sebuah proses peralihan yang dialami oleh individu dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Hal ini bermakna bahwa individu harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak- kanakan, remaja juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk

Upload: dangque

Post on 20-Aug-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja Akhir

1. Remaja

Pada abad pertengahan, remaja dipandang sebagai bentuk miniatur dari orang

dewasa dan menjadi sasaran dari penerapan disiplin yang keras. Pada abad ke 18,

pandangan Rousseau memperbaiki keyakinan yang salah dengan menyatakan bahwa

remaja bukan merupakan bentuk miniatur dari orang dewasa. Pada akhir abad 19 dan

pada awal abad 20, para ahli telah menemukan konsep yang merumuskan tentang

remaja sebagai periode tersendiri yang berbeda dengan periode dewasa (Santrock,

2007b).

Santrock (2007b) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi

perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan

perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional. Tugas pokok remaja

adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa. Havighurst (dalam Hurlock,

1980) menyatakan bahwa tugas perkembangan remaja terdiri dari mencapai hubungan

baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai

peran sosial sebagai pria atau wanita, mencapai kemandirian emosional,

mempersiapkan karir ekonomi, serta menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuh

secara efektif.

Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja adalah periode peralihan dan

periode perubahan. Masa remaja sebagai periode peralihan berarti sebuah proses

peralihan yang dialami oleh individu dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Hal ini

bermakna bahwa individu harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-

kanakan, remaja juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk

17

menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan. Segala bentuk pola

perilaku dan sikap lama akan memengaruhi pola perilaku dan sikap baru. Masa remaja

sebagai periode perubahan berarti sebuah proses perubahan yang dialami oleh remaja,

yaitu: pertama, perubahan emosi yang ditandai dengan meningkatnya emosional yang

bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua,

perubahan fisik yang diandai oleh masa pubertas dan perubahan peran yang

diharapkan oleh kelompok sosial, perubahan ini dapat memunculkan masalah baru

ketika remaja tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan optimal. Ketiga,

perubahan minat dan pola perilaku yang menyebabkan perubahan pada nilai-nilai yang

dimiliki. Keempat, sikap remaja yang ambivalen terhadap setiap perubahan, remaja

menginginkan dan menuntut adanya kebebasan, namun remaja takut akan

tanggungjawab dan meragukan kemampuan dalam mengatasi tanggungjawab.

Menurut Santrock (2007b) ada beberapa gejolak yang muncul pada diri remaja,

yaitu:

a. Pencarian identitas diri

Erikson menyatakan bahwa dalam perkembangan psikososial, individu yang

berada pada masa remaja akan mengalami suatu krisis antara indentitas versus

kebingungan identitas. Krisis ini ditandai dengan munculnya beberapa pertanyaan

kepada diri sendiri tentang “siapakah aku ?” dan “apa keunikanku ?”. Remaja

menuntut adanya solusi atas pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas diri

remaja. Sebagai bagian dari eksplorasi identitas diri, remaja mengalami

psychosocial moratorium yang mengacu pada kesenjangan antara rasa aman masa

kanak-kanak dengan otonomi di masa dewasa. Dalam proses eksplorasi dan

mencari identitas, remaja akan bereksperimen dengan berbagai peran, mulai dari

peran pekerjaan hingga peran dalam relasi romantik. Remaja yang berhasil

18

mengatasi dan menerima berbagai peran yang saling berkonflik akan menemukan

identitas baru tentang diri, sehingga dapat dikatakan telah mampu mengatasi krisis

identitas diri. Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas diri, akan

mengalami kebingungan identitas. Kebingungan identitas akan mengakibatkan

remaja menjadi menarik diri, mengisolasi diri dengan dunia teman sebaya, dan

kehilangan identitas diri dalam kelompok (Santrock, 2007b).

b. Eksplorasi relasi dengan teman sebaya

Santrock (2007c) menyatakan bahwa teman sebaya adalah remaja yang

memiliki usia atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama atau setara. Salah

satu fungsi terpenting dari teman sebaya adalah sebagai sumber informasi

mengenai dunia di luar keluarga. Remaja memperoleh umpan balik mengenai

kemampuan diri dari kelompok teman sebaya. Remaja belajar untuk melakukan

perbandingan dengan teman sebaya dengan mengetahui apakah hal yang dia

lakukan itu lebih baik, sama baik, atau kurang baik dibandingkan dengan teman

sebaya. Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima oleh

teman sebaya atau kelompok. Remaja akan merasa senang apabila diterima oleh

teman sebaya, namun akan merasa sangat cemas dan tertekan apabila dikeluarkan

dan diremehkan oleh teman sebaya. Banyak remaja yang merasa bahwa

pandangan teman sebaya terhadap dirinya merupakan hal yang paling penting.

Relasi yang baik antar teman sebaya dibutuhkan bagi perkembangan sosial di

masa remaja. Ketika remaja menjalin persahabatan dengan teman sebaya yang

terpilih, remaja dapat belajar untuk menjadi mitra yang lebih terampil dan peka,

sehingga akan berguna sebagai pembentukan dasar dalam menjalani relasi pacaran

dan relasi pernikahan. Ketika remaja mengalami penolakan dari teman sebaya,

maka akan membuat remaja merasa kesepian dan memunculkan permusuhan,

19

sehingga berkaitan dengan masalah kesehatan mental dan kenakalan remaja.

Isolasi sosial atau ketidakmampuan untuk berada dalam sebuah jaringan sosial,

berkaitan dengan berbagai bentuk masalah dan gangguan mulai dari masalah

kenakalan remaja hingga depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Ryan dan

Patrick (dalam Santrock, 2007c) menunjukkan bahwa relasi yang positif dengan

teman sebaya berkaitan dengan penyesuaian sosial yang positif, dan relasi antara

remaja dengan teman sebaya akan memengaruhi tahapan perkembangan

selanjutnya. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Roff, Sells, dan Golden

(dalam Santrock, 2007c) menunjukkan bahwa relasi yang negatif dengan teman

sebaya berkaitan dengan putus sekolah dan kenakalan remaja.

c. Perkembangan emosional

Santrock (2007b) menyatakan bahwa berbagai peristiwa akan melibatkan

pengalaman emosional yang akan berkontribusi bagi perkembangan identitas

remaja. Remaja awal akan lebih sering mengalami fluktuasi emosi yaitu adanya

emosi yang naik dan turun. Remaja dapat merasa sebagai individu yang paling

bahagia disuatu saat dan kemudian merasa sebagai individu yang paling sedih

disaat lain. Remaja memiliki suasana hati yang berubah-ubah, dimana remaja

dapat merasakan emosi yang lebih ekstrem dan berlangsung cepat. Kemurungan

merupakan kondisi yang normal dialami oleh remaja. Apabila remaja mampu

mengelola kondisi kemurungan yang dialami dengan baik, maka remaja dapat

berkembang menjadi dewasa yang kompeten. Perubahan hormonal dan

pengalaman lingkungan berkontribusi dalam perubahan emosi di masa remaja.

Adanya pengalaman yang menekan dapat berkontribusi terhadap perubahan dalam

emosi pada remaja, misalnya transisi ketika memasuki sekolah menengah,

pengalaman seksual, dan relasi romantik. Remaja memiliki kompetensi emosional

20

berupa kemampuan dalam mengatasi dan mengkomunikasikan emosi-emosi yang

dirasakan kepada orang lain secara konstruktif sehingga dapat meningkatkan

kualitas relasi dengan orang lain. Hurlock (1980) menyatakan bahwa remaja

dikatakan memiliki kematangan emosional, apabila remaja mampu menilai

sesuatu secara kritis sebelum bereaksi dan akan mengungkapkan emosi yang

dirasakannya dengan cara-cara yang lebih rasional. Remaja yang memiliki

kematangan emosional akan memberikan reaksi emosi yang stabil dan tidak

berubah-ubah.

d. Otonomi

Otonomi berkaitan dengan keterarahan diri dan kemandirian. Otonomi

emosional adalah salah satu aspek otonomi berupa kapasitas untuk mengurangi

ketergantungan yang kekanak-kanakan terhadap orangtua. Meningkatnya

kemandirian pada masa remaja, seringkali diinterpretasikan sebagai suatu bentuk

pemberontakan oleh sebagian orangtua. Keluarga yang sehat secara psikologis

dapat menyesuaikan keinginan remaja untuk mandiri dengan memperlakukan

remaja sebagai sosok dewasa dan lebih banyak melibatkan remaja dalam

pengambilan keputusan. Sedangkan keluarga yang tidak sehat secara psikologis

akan terpaku pada kendali orangtua yang berorientasi pada kekuasaan dan

cenderung menggunakan kontrol yang tinggi terhadap anak. Pencarian terhadap

otonomi dan rasa tanggungjawab pada remaja dapat menimbulkan kebingungan

dan konflik bagi orangtua, karena orangtua akan merasa remaja menjadi sulit

untuk diatur. Disatu sisi remaja menginginkan adanya otonomi dan kebebasan,

namun disisi lain orangtua menganggap remaja menunjukkan pemberontakan.

Kemampuan memperoleh otonomi dan kendali atas perilaku remaja, diperoleh

dari ketepatan reaksi yang diberikan oleh orang dewasa terhadap keinginan remaja

21

atas kendali diri. Remaja awal kurang memiliki pengetahuan yang memadai untuk

membuat keputusan yang tepat atau matang di semua bidang kehidupan. Seiring

dengan keinginan remaja untuk mendapatkan otonomi dan mampu membuat

keputusan yang masuk akal, orang dewasa yang bijaksana akan mencoba

mengurangi kendali terhadap remaja dengan membimbing remaja yang masih

memiliki keterbatasan dalam pengetahuan. Secara bertahap remaja akan

meningkatkan kemampuan dalam membuat keputusan yang tepat (Santrock,

2007c).

2. Remaja Akhir

Mὄnks, Knoers, dan Haditono (2002) membagi masa remaja menjadi empat, yaitu

masa pra-remaja (10 – 12 tahun), masa remaja awal (12 – 15 tahun), masa remaja

pertengahan (15 – 18 tahun), dan masa remaja akhir (18 – 21 tahun). Santrock (2007b)

menyatakan bahwa masa remaja dibedakan menjadi dua periode, yaitu periode awal

dan periode akhir. Rentang usia remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan

berakhir pada sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Masa remaja awal kurang lebih

berlangsung di masa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah akhir. Masa

remaja akhir kurang lebih terjadi pada pertengahan dasawarsa yang kedua dalam

kehidupan. Minat karir, pacaran, dan eksplorasi identitas sering kali lebih menonjol di

masa remaja akhir dibandingkan di masa remaja awal.

Menurut Sarwono (2013) remaja akhir adalah masa konsilidasi menuju periode

dewasa yang ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu :

a. Minat yang makin kuat terhadap fungsi-fungsi intelek.

b. Keinginan ego dalam mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain

dan dalam pengalaman-pengalaman baru.

c. Terbentuknya identitas seksual yang menetap.

22

d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) berubah menjadi

keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.

e. Tumbuhnya “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan

masyarakat umum (the public).

Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh yang telah disampaikan, dapat

disimpulkan bahwa remaja akhir adalah individu berusia 18 hingga 21 tahun yang

ditandai dengan adanya minat karir, pacaran, dan eksplorasi identitas sebagai periode

mempersiapkan diri memasuki masa dewasa.

B. Kesejahteraan Psikologis

1. Definisi Kesejahteraan Psikologis

Ryff (1989) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis adalah sebuah konsep

yang berusaha memaparkan tentang positive psychological functioning. Ryff

merumuskan bahwa konsep kesejahteraan psikologis merupakan integrasi dari teori-

teori perkembangan manusia, teori psikologi klinis, dan konsep mengenai kesehatan

mental. Kesejahteraan psikologis dikaitkan dengan bagaimana kondisi mental yang

dianggap sehat dan berfungsi maksimal. Ryff dan Keyes (1995) menyatakan bahwa

kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan tercapainya kebahagiaan, kepuasan

hidup, dan tidak adanya tanda-tanda depresi.

Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik individu yang memiliki

kesejahteraan psikologis mengacu pada pandangan Maslow tentang aktualisasi diri,

pandangan Rogers tentang pemenuhan diri, pandangan Jung tentang individuasi, dan

pandangan Erikson tentang penyelesaian krisis psikososial dalam setiap tahapan

perkembangan. Maslow (dalam Feist & Feist, 2013) menyatakan bahwa aktualisasi

diri adalah kebutuhan yang mencakup pemenuhan diri, sadar akan semua potensi yang

23

dimiliki, dan keinginan untuk menjadi kreatif. Individu yang mencapai aktualisasi diri

dapat menerima diri apa adanya dengan kelemahan dan kelebihan yang dimiliki,

menerima kekurangan orang lain dan tidak merasa terancam dengan kelebihan orang

lain, serta tidak menuntut adanya kesempuraan karena setiap hal didunia ini tidak ada

yang sempurna. Rogers (dalam Feist & Feist, 2013) menyatakan bahwa individu

memiliki kebutuhan untuk meningkatkan diri yang diekspresikan dalam bentuk rasa

ingin tahu, kebahagiaan, eksplorasi diri, pertemanan, dan kepercayaan diri untuk

meraih perkembangan psikologis. Ketika individu terlibat dalam hubungan yang

dilandasi kejujuran, empati, dan penerimaan positif yang tidak bersyarat, maka

individu akan bergerak menuju perubahan personal yang konstruktif dan memiliki

kecenderungan alamiah untuk menuju pemenuhan diri. Jung (dalam Feist & Feist,

2013) menyatakan bahwa individuasi atau realisasi diri merupakan proses untuk

menjadi individu secara utuh yang berarti memiliki seluruh komponen psikologis yang

berfungsi dalam satu kesatuan. Individuasi menjadi tahapan yang sulit dan hanya bisa

dicapai oleh individu yang mampu mengasimilasi kesadaran dengan keseluruhan

kepribadian, mengizinkan ketidaksadaran diri menjadi inti dari kepribadian, serta

mampu menempatkan diri di dunia internal dan eksternal. Erikson (dalam Feist &

Feist, 2013) menyatakan bahwa dalam siklus kehidupan, individu memiliki delapan

tahapan perkembangan psikososial dimana pada tiap tahapan terjadi krisis psikososial.

Setiap individu diharapkan mampu menyelesaikan krisis psikososial pada tiap tahapan.

Keberhasilan menyelesaikan krisis psikososial akan menghasilkan kekuatan dasar dan

memungkinkan individu untuk bergerak ke tahap selanjutnya.

Misero dan Harwadi (2012) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai

suatu kondisi mental yang sehat dimana individu dapat berfungsi optimal dalam

kehidupannya dan memiliki penilaian yang positif atas hidupnya. Lawton (dalam

24

Keyes & Haidt, 2003) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis didefinisikan

sebagai tingkat evaluasi atas kompetensi diri dan melakukan pertimbangan atas

tingkatan tujuan individu. Carr (2004) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis

adalah aktualisasi potensi psikologis individu secara optimal. Kesejahteraan psikologis

lebih menekankan pada kondisi optimis dibandingkan kondisi pesimis. Individu yang

optimis akan memiliki ketangguhan dan keyakinan dalam diri atas kemampuan yang

dimiliki, ketika menghadapi situasi dengan ketidakpastian. Individu yang pesimis

berkaitan dengan depresi, ketakutan, dan kecemasan dalam menghadapi situasi dengan

ketidakpastian. Kemampuan dalam mengelola berbagai peluang yang ada pada setiap

tekanan, akan terkait dengan perubahan yang positif dalam kesejahteraan fisik,

kesejahteraan psikologis, dan peningkatan kemampuan diri. Individu yang optimis

mampu menggunakan kemampuan yang dimiliki secara optimal, karena individu

mampu mempersiapkan strategi untuk mengelola berbagai tekanan lingkungan (Carr,

2004). Joseph dan Linley (2008) menyatakan bahwa perkembangan akan dialami oleh

semua individu. Individu termotivasi untuk terlibat dalam penilaian yang realistis

tentang makna dari suatu peristiwa dan bergerak ke arah yang lebih autentik dalam

hidup, hal ini menjadi sebuah proses yang mengarah pada kesejahteraan psikologis

yang lebih baik.

Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh yang telah disampaikan, dapat

disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah pencapaian tujuan hidup yang

dilandasi oleh evaluasi kompetensi diri secara cermat, hasrat untuk selalu

mengembangkan diri, kemandirian, mengelola berbagai ancaman dari lingkungan

menjadi daya dorong untuk kemajuan, serta mampu menjalin hubungan positif dengan

orang lain.

25

2. Dimensi Kesejehteraan Psikologis

Ryff (1989) merumuskan bahwa kesejahteraan psikologis memiliki enam dimensi,

yaitu:

a. Self Acceptance (Penerimaan Diri)

Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa penerimaan diri didefinisikan

sebagai ciri utama dari kesehatan mental yang baik, karakteristik dari aktualisasi

diri, kemampuan berfungsi optimal, dan kematangan. Individu dengan taraf

kesejahteraan psikologis tinggi memiliki penerimaan atas diri dan pengalaman

hidup dimasa lalu, serta memiliki sikap yang positif terhadap diri. Ryff (dalam

Compton, 2005) menyatakan bahwa penerimaan diri terdiri dari adanya evaluasi

diri yang positif, mampu mengakui beberapa aspek dalam diri, kemampuan

menerima kualitas diri yang positif maupun negatif sebagai suatu gambaran yang

seimbang dari suatu kemampuan.

Penerimaan diri adalah kemampuan individu dalam mengaktualisasikan diri,

berfungsi secara optimal, dan dapat menerima segi positif ataupun negatif diri.

Individu dengan taraf penerimaan diri tinggi adalah individu yang memiliki sikap

positif terhadap dirinya sendiri, mengetahui dan menerima berbagai aspek dalam

diri mencakup kualitas diri yang baik maupun yang buruk, serta mampu

merasakan hal yang positif dari kehidupannya. Sebaliknya, individu dengan taraf

penerimaan diri rendah adalah individu yang merasa kurang puas terhadap diri

sendiri, merasa kecewa dengan hal-hal yang telah terjadi pada kehidupan dimasa

lalu, memiliki masalah terkait kualitas tertentu dari diri, dan berharap menjadi

orang yang berbeda dari diri sendiri saat ini (Ryff, 1989).

26

b. Positive Relations With Others (Hubungan Positif Dengan Orang Lain)

Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa kemampuan mencintai dapat

dipandang sebagai komponen utama dari kesehatan mental. Aktualisasi diri

dideskripsikan sebagai perasaan empati dan afeksi yang kuat terhadap semua

manusia dengan memberikan cinta yang besar, persahabatan yang lebih dalam,

dan identifikasi yang mendalam terhadap orang lain. Hubungan yang hangat

dengan orang lain merupakan kriteria dari kematangan. Ryff (dalam Compton,

2005) menyatakan bahwa hubungan positif dengan orang lain terdiri dari adanya

hubungan yang dekat, hangat, dan intim dengan orang lain, memberikan perhatian

terhadap kesejahteraan orang lain, serta empati dan afeksi dengan orang lain.

Hubungan positif dengan orang lain adalah kemampuan individu dalam

menjalin hubungan yang hangat, intim, dan percaya dengan orang lain. Individu

dengan taraf hubungan positif tinggi adalah individu yang hangat, memuaskan,

memiliki empati, kedekatan, afeksi yang kuat, memiliki hubungan berkualitas

dengan orang lain, memberikan perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, serta

memiliki pemahaman akan adanya prinsip memberi dan menerima dalam

hubungan dengan orang lain. Sebaliknya, individu dengan taraf hubungan positif

rendah adalah individu yang kurang mampu dalam menjalin hubungan dekat dan

kepercayaan dengan orang lain, kesulitan untuk menjadi hangat, kurang terbuka,

kurang memberikan perhatian pada orang lain, merasa terisolasi dalam hubungan

dengan orang lain, serta sulit berkompromi dalam mempertahankan hubungan

dengan orang lain (Ryff, 1989).

27

c. Autonomy (Kemandirian)

Ryff (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa kemandirian adalah adanya

kebebasan dan mampu menentukan pilihan sendiri, kemampuan bertahan dalam

menghadapi tekanan sosial, dan kemampuan mengatur perilaku diri sendiri.

Individu yang mandiri adalah individu yang memiliki kemampuan otonomi,

mampu untuk menentukan nasib dan mengontrol perilaku sendiri. Individu

dengan taraf kemandirian tinggi adalah individu yang memiliki kebebasan dan

mampu menentukan diri sendiri, dapat bertahan dalam menghadapi tekanan sosial

baik dalam tindakan maupun pikiran, mampu mengatur perilaku diri sendiri, dan

mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Sebaliknya, individu yang tidak

mandiri adalah individu yang memiliki ketergantungan terhadap orang lain dalam

pengambilan keputusan yang penting, mengikuti tekanan sosial baik dalam

pikiran maupun tindakannya, dan memberikan perhatian terhadap harapan dan

evaluasi dari orang lain (Ryff, 1989).

d. Environmental Mastery (Penguasaan Lingkungan)

Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa kesehatan mental didefinisikan

sebagai kemampuan individu dalam memilih dan membuat lingkungan yang

cocok untuk kondisi fisiknya. Kematangan individu membutuhkan partisipasi

dalam aktivitas diluar diri dengan kemampuan untuk memanipulasi dan kontrol

terhadap lingkungan yang mencakup kemampuan individu untuk berkembang di

dunia dan merubah secara kreatif aktivitas fisik dan mental. Kombinasi dari

partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan adalah kunci dalam meningkatkan

kesejahteraan psikologis. Ryff (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa

penguasaan lingkungan adalah adanya hasrat menguasai dan mengatur

28

lingkungan, kemampuan dalam memilih situasi dan lingkungan yang kondusif

dalam menemukan tujuan.

Penguasaan lingkungan adalah kemampuan individu dalam memilih,

menciptakan, dan mengelola lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologis

sebagai upaya untuk mengembangkan diri. Individu dengan taraf penguasaan

lingkungan tinggi adalah individu yang memiliki kemampuan untuk menguasai

dan mengatur lingkungan, mampu mengendalikan hal-hal kompleks dalam

berbagai aktivitas, efektif dalam menggunakan kesempatan yang ada pada

lingkungannya, dapat memilih atau membuat lingkungan yang sesuai dengan nilai

atau kebutuhan pribadinya. Sebaliknya, individu dengan taraf penguasaan

lingkungan rendah adalah individu yang memiliki kesulitan dalam mengatur

aktivitas sehari-hari, merasa tidak mempu mengubah atau meningkatkan kualitas

lingkungan, kurang peka terhadap kesempatan yang ada di lingkungan, dan

kurang memiliki kontrol dalam mengendalikan dunia luar (Ryff, 1989).

e. Purpose Of Life (Tujuan Hidup)

Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa kesehatan mental mencakup

keyakinan dalam menentukan tujuan dan makna dari hidup. Definisi dari

kematangan selalu menekankan pada kejelasan dari tujuan hidup, perasaan

terarah, dan intensionalitas. Individu yang memiliki tujuan, intensi, dan perasaan

terarah berkaitan dengan perasaan atas hidup yang bermakna. Ryff (dalam

Compton, 2005) menyatakan bahwa tujuan hidup adalah adanya hasrat memiliki

makna hidup dan perasaan terarah dalam hidup.

Tujuan hidup adalah kemampuan individu yang memiliki arah dan makna

dalam hidup. Individu dengan taraf tujuan hidup tinggi adalah individu yang

memiliki rasa keterarahan dalam hidup, mampu merasakan arti dari masa lalu dan

29

masa kini, memiliki tujuan dan target yang ingin dicapai dalam hidup, serta

memiliki objektifitas untuk hidup. Sebaliknya, individu dengan taraf tujuan hidup

rendah adalah individu yang merasa hidup kurang bermakna, kurang memiliki

rasa keterarahan dalam hidup, kurang yakin dalam memberikan tujuan hidup,

serta tidak melihat makna dalam kehidupan di masa lalu (Ryff, 1989).

f. Personal Growth (Perkembangan Pribadi)

Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa fungsi psikologis yang optimal

tidak hanya ketika adanya karakteristik pencapaian dimasa lalu, namun lebih

menekankan pada proses berkelanjutan pada perkembangan potensi dan

memperluas diri. Terbuka pada pengalaman baru menjadi karakteristik dari

perkembangan pribadi. Individu yang berkembang merupakan individu yang lebih

dari sekedar memperoleh pencapaian suatu pemecahan masalah pada suatu waktu

tertentu, namun menekankan pada perkembangan yang berkelanjutan dan

menemukan tantangan baru sebagai tugas dalam suatu periode. Ryff (dalam

Compton, 2005) menyatakan bahwa perkembangan pribadi adalah kemampuan

dalam mengembangkan potensi diri, keterbukaan pada pengalaman baru, dan

hasrat untuk berkembang secara berkelanjutan.

Perkembangan pribadi adalah kemampuan individu yang memiliki upaya dan

keinginan untuk terus bertumbuh dan mengembangkan potensi. Individu dengan

taraf perkembangan pribadi tinggi adalah individu yang memiliki hasrat untuk

mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang berkesinambungan, terbuka

terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari

potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan adanya peningkatan dalam diri dan

perilaku pada setiap waktu, serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif

dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, individu dengan taraf

30

perkembangan pribadi rendah adalah individu yang merasa mengalami stagnasi,

merasa kurang adanya peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan

kehilangan minat dalam hidup, serta merasa kurang mampu mengembangkan

sikap dan perilaku menjadi lebih luas (Ryff, 1989).

Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, peneliti menggunakan dimensi

kesejahteraan psikologis yang dikemukakan oleh Ryff (1989) yaitu Self Acceptance

(Penerimaan Diri), Positive Relations With Others (Hubungan Positif Dengan Orang

Lain), Autonomy (Kemandirian), Environmental Mastery (Penguasaan Lingkungan),

Purpose Of Life (Tujuan Hidup), dan Personal Growth (Perkembangan Pribadi).

3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Menurut Ryff dan Singer (1996) beberapa faktor yang memengaruhi

kesejahteraan psikologis, yaitu:

a. Usia

Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa perbedaan usia memengaruhi

perbedaan dalam dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Pada dimensi

penguasaan lingkungan dan dimensi kemandirian mengalami peningkatan seiring

dengan bertambahnya usia, terutama pada dewasa awal hingga dewasa madya.

Pada dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan

seiring dengan bertambahnya usia, terutama pada dewasa awal, dewasa madya,

dan dewasa akhir. Pada dimensi tujuan hidup dan perkembangan pribadi

mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia, terutama dari dewasa

madya hingga dewasa akhir. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam dimensi

penerimaan diri selama usia dewasa awal hingga dewasa akhir.

Penelitian Cripss dan Zyromski (2009) menunjukkan bahwa kesejahteraan

psikologis pada remaja ditandai dengan adanya persepsi positif atas harga diri,

31

evaluasi diri, hubungan dengan teman sebaya, dan pengalaman hidup yang

diperoleh dari keluarga. Stres psikologis yang dialami remaja dapat menyebabkan

pikiran dan emosi negatif pada remaja.

b. Jenis Kelamin

Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin

memengaruhi perbedaan dalam beberapa dimensi kesejahteraan psikologis.

Wanita memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pria pada dimensi hubungan

positif dengan orang lain dan dimensi perkembangan pribadi. Tidak ada

perbedaan yang signifikan dalam dimensi penerimaan diri, kemandirian, tujuan

hidup, dan penguasaan lingkungan.

c. Kelas Sosial

Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa Wisconsin Longitudinal Study

mengungkapkan adanya gradasi sosial dalam kondisi well-being pada dewasa

madya. Pendidikan memiliki hubungan yang kuat dengan kesejahteraan. Terkait

dengan pencapaian pendidikan, ada perbedaan yang sangat signifikan pada

dimensi tujuan hidup dan dimensi perkembangan pribadi. Kesejahteraan yang

tinggi berhubungan dengan status pekerjaan yang tinggi pula. Pendidikan yang

tinggi dan status pekerjaan yang tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan

psikologis, terutama pada dimensi penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup.

Individu yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih

positif terhadap diri sendiri dan masa lalu, serta memiliki rasa keterarahan dalam

hidup dibandingkan dengan individu yang berada di kelas yang lebih rendah.

d. Budaya

Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa budaya yang berkembang dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu individual dan kolektif. Budaya barat memiliki nilai

32

yang tinggi pada penerimaan diri dan kemandirian, sedangkan budaya timur

memiliki nilai yang tinggi pada hubungan positif dengan orang lain. Penelitian

mengenai kesejahteraan psikologis yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan

menunjukkan bahwa responden Amerika memiliki kualitas diri yang lebih positif

dibandingkan dengan Korea Selatan. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh

budaya, dimana orientasi budaya di Amerika yang lebih bersifat individual dan

mandiri, sedangkan orientasi budaya di Korea Selatan yang lebih bersifat kolektif

dan saling ketergantungan.

Ryff (2014) menambahkan beberapa faktor yang memengaruhi kesejahteraan

psikologis, yaitu:

a. Kepribadian

Ryff (2014) menyatakan bahwa ada penelitian mengenai hubungan Big Five

OCEAN dengan kesejahteraan psikologis. Penelitian ini menunjukkan bahwa

openness to experience berhubungan dengan dimensi perkembangan pribadi,

agreeableness berhubungan dengan dimensi hubungan positif dengan orang lain,

serta extraversion conscientiousness dan neuroticism berhubungan dengan

dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan penerimaan diri. Penelitian

yang dilakukakan di Amerika Serikat dan Jerman menunjukkan bahwa

kepribadian lebih menentukan kesejahteraan dibandingkan regulasi diri di kedua

negara tersebut.

Penelitian longitudinal menemukan bahwa remaja yang bersifat ramah dan

mudah bergaul di usia muda akan memiliki taraf kesejahteraan tinggi pada masa

paruh bayanya. Sebaliknya, remaja yang neuroticism diprediksi memiliki nilai

yang rendah pada semua dimensi kesejahteraan psikologis. Individu yang optimis

dengan adanya kontrol diri yang baik diprediksi memiliki taraf kesejahteraan

33

tinggi. Individu dengan harga diri yang stabil diprediksi memiliki nilai yang tinggi

pada dimensi kemandirian.

b. Pengalaman Keluarga

Ryff (2014) menyatakan bahwa peran, transisi, dan pengalaman dalam

keluarga berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis. Banyak orang dewasa

yang menempati beberapa peran dalam keluarga (sebagai orang tua, anak,

saudara, pasangan). Penelitian telah menemukan bahwa individu dengan peran

yang besar dalam keluarga memiliki taraf kesejahteraan psikologis tinggi, karena

memiliki nilai yang tinggi pada dimensi tujuan hidup dan penerimaan diri. Wanita

yang terdidik dalam menjalani berbagai peran menunjukkan nilai yang tinggi pada

dimensi kemandirian. Hubungan dalam keluarga dan ritual keluarga berkaitan

dengan kesejahteraan psikologis di usia remaja dan usia tengah baya.

Penelitian menunjukkan bahwa secara konsisten individu yang menikah

memiliki nilai yang tinggi pada dimensi tujuan hidup dibandingkan dengan

individu yang bercerai, janda, atau tidak pernah menikah. Janda dan wanita yang

tidak pernah menikah memiliki taraf kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan

duda dan pria yang tidak pernah menikah. Wanita yang belum menikah memiliki

nilai yang tinggi pada dimensi kemandirian dan perkembangan pribadi

dibandingkan dengan wanita yang menikah. Transisi dari pernikahan ke

perceraian menyebabkan penurunan kesejahteraan psikologis pada wanita.

Pengalaman pengasuhan berkaitkan dengan kesejahteraan pada individu di

usia dewasa. Peristiwa tidak terduga yang terjadi dalam suatu keluarga akan

memengaruhi kesejahteraan psikologis. Trauma akan kehilangan anggota keluarga

akan menyebabkan depresi dan masalah kesehatan. Kehilangan orangtua atau

perceraian orangtua yang terjadi sebelum anak berusia 17 tahun berkaitan dengan

34

nilai yang rendah pada dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan, dan

hubungan yang positif dengan orang lain. Kehidupan keluarga menunjukkan

hubungan yang luas terhadap kesejahteraan psikologis pada individu di usia

dewasa.

Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, maka faktor yang memengaruhi

kesejahteraan psikologis adalah usia, jenis kelamin, kelas sosial, budaya, kepribadian,

dan pengalaman keluarga.

C. Pola Asuh Autoritatif

1. Definisi Pola Asuh

Menurut Darling (1999) pola asuh diartikan sebagai aktivitas kompleks yang

mencakup berbagai perilaku spesifik, dimana aktivitas tersebut bekerja sendiri dan

bersama-sama memengaruhi perkembangan anak. Ada variasi dalam penerapan

pengasuhan orangtua terhadap anak, namun semua orangtua memiliki peranan utama

yaitu memengaruhi, mengajar, dan mengontrol anak. Olson dan DeFrain (2003)

menyatakan bahwa pengasuhan memiliki dua aspek yaitu dukungan orangtua dan

kontrol orangtua. Dukungan orangtua didefinisikan sebagai bentuk kepedulian,

keterbukaan, dan afeksi yang ditunjukkan atau diberikan oleh orangtua kepada anak.

Kontrol orangtua didefinisikan sebagai tingkat fleksibilitas orangtua yang digunakan

dalam menegakkan aturan dan menerapkan disiplin pada anak.

Baumrind (2005) menyatakan bahwa ada dua faktor dari perlakuan orangtua yang

digunakan dalam menentukan pola asuh orangtua, yaitu:

a. Responsiveness

Responsiveness mengarah pada tanggapan yang diberikan orangtua dalam

proses perkembangan anak dengan cara menyesuaikan diri, mendukung, dan

35

menyetujui permintaan anak. Orangtua yang memiliki responsiveness cenderung

akan menunjukkan kehangatan, dukungan otonomi, dan komunikasi dua arah.

b. Demaningness

Demaningness mengarah pada tuntutan yang diberikan orangtua yang

mendorong anak menjadi terintegrasi dalam lingkungan sosial melalui adanya

peraturan perilaku, konfrontasi langsung, tuntutan dalam mencapai kematangan

(kontrol perilaku), dan pengawasan terhadap aktivitas anak (memonitor).

2. Tipe-Tipe Pola Asuh

Baumrind (1991) menyatakan bahwa ada empat tipe pola asuh orangtua, yaitu:

a. Autoritarian

Baumrind (2005) menyatakan bahwa pola asuh autoritarian menunjukkan

adanya responsiveness yang rendah dan demaningness yang tinggi. Orangtua

tidak menunjukkan kehangatan, dukungan otonomi, dan komunikasi dua arah,

namun fokus pada pembentukan, kontrol, dan evaluasi terhadap perilaku dan

sikap anak yang harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Orangtua

menggunakan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki dalam penetapan aturan dan

standar yang tegas bagi anak. Orangtua tidak bersedia menerima pendapat anak,

karena menganggap anak harus menerima dan melakukan segala hal yang telah

ditetapkan orangtua (Baumrind, 1966).

b. Permisif

Baumrind (2005) menyatakan bahwa pola asuh permisif menunjukkan adanya

responsiveness yang tinggi dan demaningness yang rendah. Orangtua cenderung

menerima dan menyetujui segala keinginan dan perilaku anak. Orangtua sangat

terlibat dengan anak, namun tidak terlalu memberikan tuntutan dan kontrol

terhadap anak. Orangtua akan memberikan penjelasan dan berdiskusi dalam

36

menetapkan suatu aturan. Orangtua hanya memberikan beberapa tuntutan dan

tanggungjawab terhadap anak, serta berusaha menjadi sosok yang diinginkan oleh

anak. Orangtua membiarkan anak untuk mengatur segala aktivitas mereka dengan

tidak menggontrol dan memaksa anak untuk mencapai standar yang telah

ditetapkan orangtua (Baumrind, 1966).

c. Tidak Peduli

Baumrind (2005) menyatakan bahwa pola asuh tidak peduli menunjukkan

adanya responsiveness yang rendah dan demaningness yang rendah. Orangtua

tidak menunjukkan kehangatan dan komunikasi dua arah, kerena cenderung

bersikap mengabaikan dan tidak peduli terhadap anak. Orangtua tidak menetapkan

struktur dan aturan yang jelas bagi anak, sehingga anak akan mengalami

kebingungan dalam berperilaku. Orangtua tidak menunjukkan dukungan, kontrol,

dan pengawasan terhadap aktivitas anak (Baumrind, 1991).

d. Autoritatif

Baumrind (2005) menyatakan bahwa pola asuh autoritatif menunjukkan

adanya responsiveness yang tinggi dan demaningness yang tinggi. Orangtua

menunjukkan kehangatan, dukungan otonomi, dan komunikasi dua arah, namun

tetap melakukan kontrol dan mengawasi aktivitas anak. Orangtua berupaya untuk

mengarahkan aktivitas anak secara rasional, mendorong anak untuk berani

berpendapat melalui dialog secara verbal, mendengarkan pendapat anak, dan

bersedia berbagi dengan anak terkait alasan menetapkan suatu aturan. Orangtua

memiliki kekuasaan dan memberikan alasan dalam pembentukan aturan yang

akan disusun secara objektif berdasarkan hasil keputusan bersama antara orangtua

dan anak. Orangtua juga menekankan pada keseimbangan antara kesenangan dan

tugas, kebebasan dan tanggungjawab, serta otonomi dan disiplin. Orangtua

37

memiliki keinginan untuk menjatuhkan hukuman yang bijaksana dan terbatas,

ketika pemberian hukuman tersebut diperlukan. (Baumrind, 1966). Orangtua akan

terlibat secara langsung dalam aktivitas anak, memiliki kejelasan dalam penetapan

aturan dan harapan, serta menghargai kemandirian anak dan disiplin anak dengan

kelompok. Orangtua akan menerima kualitas anak saat ini, namun tetap adanya

ketegasan dalam menetapkan standar dimasa depan dengan memberikan alasan

yang rasional untuk membantu anak dalam pencapaian secara objektif (Baumrind,

1968).

Karakteristik dari orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif, antara lain

asertif tanpa membatasi dan mengganggu anak, memiliki kejelasan dan ketegasan

namun terbuka untuk kompromi dan negosiasi, memiliki harapan yang besar

terhadap anak, memberikan perlakuan yang menunjukkan kehangatan, empati,

cinta yang tidak bersyarat, dan berpusat pada anak. Orangtua akan mendorong

anak untuk memiliki rasa individualitas dan kemandirian dengan cara

menunjukkan kehangatan dan memahami pandangan anak. Orangtua

membutuhkan kemampuan untuk berperilaku dewasa dalam menerapkan tuntutan

dasar dan larangan yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan anak.

Orangtua akan menggunakan kekuasaan yang dimiliki secara asertif dalam

membuat tuntutan pada anak dengan memberikan penjelasan dan menyesuaikan

dengan perilaku anak. Orangtua memiliki alasan dan bersedia melakukan diskusi

untuk memperoleh kepatuhan anak, serta bersedia melakukan negosiasi ketika

anak merasa keberatan dalam mematuhi aturan yang ada. Orangtua akan memuji

pencapaian perilaku yang baik, namun akan memberikan kritik untuk mengubah

perilaku yang buruk (Baumrind, 2008).

38

Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa pola

asuh autotitatif adalah tipe pengasuhan orangtua yang memiliki keseimbangan antara

responsiveness dan demaningness, dimana orangtua menunjukkan kehangatan,

dukungan otonomi, dan komunikasi dua arah, namun tetap melakukan kontrol dan

mengawasi aktivitas anak.

3. Keunggulan dan Kelemahan Masing-Masing Tipe Pola Asuh

Menurut Darling (1999) ada beberapa keunggulan dan kelemahan dari masing-

masing tipe pola asuh yang dikemukakan oleh Baumrind, yaitu:

a. Anak dan remaja yang diasuh oleh orangtua yang autoritatrian (rendah pada

responsiveness dan tinggi pada demaningness) cenderung menunjukkan performa

yang cukup baik disekolah dan tidak terlibat dalam masalah perilaku, namun

memiliki keterampilan sosial yang kurang baik, harga diri yang rendah, dan tingkat

depresi yang tinggi.

b. Anak dan remaja yang diasuh oleh orangtua yang permisif (tinggi pada

responsiveness dan rendah pada demaningness) cenderung memiliki keterampilan

sosial yang baik, harga diri yang tinggi, dan tingkat depresi yang rendah, namun

menunjukkan performa yang rendah disekolah dan lebih memungkinkan untuk

terlibat dalam masalah perilaku.

c. Anak dan remaja yang diasuh oleh orangtua yang tidak peduli (rendah pada

responsiveness dan rendah pada demaningness) cenderung menunjukkan performa

yang kurang baik dalam segala bidang.

d. Anak dan remaja yang diasuh oleh orangtua yang autoritatif (tinggi pada

responsiveness dan tinggi pada demaningness) cenderung memiliki penilaian diri

yang objektif, memiliki kompetensi sosial yang lebih baik, dan tidak terlibat dalam

39

masalah perilaku baik pada anak laki-laki ataupun perempuan dalam setiap

tahapan perkembangan.

4. Dimensi-Dimensi Pola Asuh

Cross (2009) merumuskan 19 dimensi perilaku orangtua dalam mengasuh anak

yang berdasarkan pada affect dan control, yaitu :

a. Pleasure in parental role (Pl)

Kesenangan berperan sebagai orang tua adalah menikmati interaksi dengan anak,

menampilkan permainan dan humor, dan menunjukkan kesenangan ketika anak

berprestasi.

b. Displeasure in parental role (DP)

Ketidaksenangan berperan sebagai orangtua adalah merasa tidak bahagia,

menunjukkan kekurangan dalam bertanggungjawab sebagai orangtua, dan merasa

terganggu oleh aktivitas anak.

c. Confident in parental role (Cn)

Keyakinan berperan sebagai orangtua adalah memiliki perasaan aman, mampu

berperan sebagai orangtua secara efektif, bertindak tanpa ragu-ragu, dan tangguh

dalam menghadapi perilaku anak yang sulit.

d. Respect for child’s autonomy (Rt)

Menghargai otonomi anak adalah tidak membosankan, mengakui keabsahan dan

perspektif anak ketika anak tidak patuh, mengakui kompetensi anak, bernegosiasi

dengan anak, dan menyesuaikan segala hal dengan usia produktif anak.

e. Limit setting (LS)

Membatasi pengaturan adalah menetapkan harapan pada perilaku anak, adanya

konsistensi dalam batasan pengaturan, dan diskusi langsung ketika ada konflik

dan atau ketidakpatuhan.

40

f. Expressiveness (Ex)

Ekspresif adalah tingkat dimana orangtua menunjukkan (melalui bahasa tubuh,

ekspresi wajah, atau nada suara) atau menyampaikan secara langsung perasaan,

pikiran, kesenangan, dan kepedihan.

g. Maturity demand (MD)

Tuntutan kematangan adalah menyusun suatu standar yang sesuai dengan

kapabilitas dan tahapan perkembangan anak.

h. Precision in parent’s use if language (Pr)

Ketelitian dalam penggunaan bahasa pada orangtua adalah menggunakan bahasa

secara jelas, memberikan pertanyaan untuk memastikan pemahaman anak,

menggunakan perangkat seperti pengulangan untuk memusatkan perhatian anak.

i. Structure provided by parent (St)

Struktur yang disediakan orangtua adalah memberikan informasi yang adekuat

tentang apa yang harus dilakukan, memaparkan cara yang terorganisir, adanya

situasi yang terstruktur sehingga anak memahami tugas secara objektif, menyusun

langkah secara logis, dan fleksibel dalam mempertahankan fokus mengenai apa

yang harus dilakukan.

j. Warmth of parent’s interaction with child (Wm)

Kehangatan interaksi orangtua dengan anak adalah menunjukkan penerimaan

yang positif dan kasih sayang terhadap anak, memberikan dukungan emosional

pada saat yang tepat, autentik, dan mendorong anak sebagai upaya peningkatan

diri.

k. Coldness of parent’s interaction with child (Cl)

Interaksi yang dingin antara orangtua dan anak adalah menunjukkan adanya

kesendirian dan menunjukkan ketidaktertaikan dengan anak.

41

l. Anger (An)

Marah adalah tingkat marah, tidak suka, dan bermusuhan yang diekspresikan oleh

orangtua kepada anak secara langsung ataupun tidak langsung.

m. Responsiveness to child (Rn)

Responsif terhadap anak adalah mendengarkan ekspresi anak dengan penuh

perhatian, memberikan saran, memberikan instruksi pada perilaku anak, adanya

koordinasi orangtua dengan anak, serta mampu memahami dan menanggapi

kebutuhan anak.

n. Interactiveness (In)

Interaktif adalah sejauh mana pembicaraan orang tua kepada anak, keterlibatan

orangtua dengan anak, dan adanya interaksi dua arah.

o. Creativity (Cr)

Kreativitas adalah sejauhmana orang tua memiliki kreativitas ketika berinteraksi

dengan anak (orang tua membawa ide-ide baru atau saran), dan atau kreatif dalam

pemecahan masalah ketika anak mengalami kesulitan (orang tua berperan sebagai

pemecahan masalah yang kreatif, menghasilkan solusi yang menyenangkan dan

yang baru).

p. Activity (At)

Aktivitas adalah tingkat aktivitas fisik, manipulasi objek selama berinteraksi, dan

gerakan disekitar ruangan.

q. Happiness (Ha)

Kebahagiaan adalah tingkat bahagia yang diekspresikan secara verbal ataupun

nonverbal.

42

r. Sadness (Sa)

Kesedihan adalah tingkat sedih yang diekspresikan secara verbal ataupun

nonverbal.

s. Anxiety (Ax)

Kecemasan adalah orangtua yang menunjukkan rasa takut dan cemas,

menunjukkan ketidakamanan dalam penerimaan orang lain. Kecemasan dapat

diwujudkan dalam berbagai perilaku seperti, gugup, malu, sulit dalam pemisahan,

dan kekhawatiran tentang apa yang oranglain harapkan.

Kesembilanbelas dimensi mental tersebut akan menunjukkan empat tipe pola asuh

yang diterapkan orangtua kepada anak, yaitu Autoritatif, Autoritarian, Permisif, dan

Neglectful. Dimensi pola asuh orangtua dapat dilihat pada gambar 1.

High Control

Authoritarian MD LS Authoritative

St Pr Rn In

At Cr

Negative DP An Ax Wm Rt Pl Positive

Affect Cl Sa Ha Ex Cn Affect

Neglectful Permissive

Low Control

Gambar 1. Empat Tipe Pola Asuh Orangtua Berdasarkan 19 Dimensi Mental (Cross, 2009)

43

Menurut Cross (2009) tinggi dan rendahnya nilai affect dan control dapat digunakan

dalam menggolongkan tipe pola asuh autoritarian, permisif, tidak peduli, dan autoritatif,

sebagai berikut:

a. Autoritarian

Orangtua dengan pola asuh autoritarian memiliki affect yang negatif dan control

yang tinggi. Hal tersebut ditandai dengan adanya dimensi yang menonjol, yaitu:

1) Maturity demand (MD), yaitu menyusun suatu standar yang sesuai dengan

kapabilitas dan tahapan perkembangan anak.

2) Structure provided by parent (St), yaitu memberikan informasi yang adekuat

tentang apa yang harus dilakukan, memaparkan cara yang terorganisir,

adanya situasi yang terstruktur sehingga anak memahami tugas secara

objektif, menyusun langkah secara logis, dan fleksibel dalam

mempertahankan fokus mengenai apa yang harus dilakukan.

3) Activity (At), yaitu tingkat aktivitas fisik, manipulasi objek selama

berinteraksi, dan gerakan disekitar ruangan

4) Displeasure in parental role (DP), yaitu merasa tidak bahagia, menunjukkan

kekurangan dalam bertanggungjawab sebagai orangtua, dan merasa terganggu

oleh aktivitas anak.

5) Anger (An), yaitu tingkat marah, tidak suka, dan bermusuhan yang

diekspresikan oleh orangtua kepada anak secara langsung ataupun tidak

langsung

6) Anxiety (Ax), yaitu orangtua yang menunjukkan rasa takut dan cemas,

menunjukkan ketidakamanan dalam penerimaan orang lain. Kecemasan dapat

diwujudkan dalam berbagai perilaku seperti, gugup, malu, sulit dalam

pemisahan, dan kekhawatiran tentang apa yang oranglain harapkan

44

b. Permisif

Orangtua dengan pola asuh permisif memiliki affect yang positif dan control yang

rendah. Hal tersebut ditandai dengan adanya dimensi yang menonjol, yaitu:

1) Happiness (Ha), yaitu tingkat bahagia yang diekspresikan secara verbal

ataupun nonverbal.

2) Expresiveness (Ex), yaitu tingkat dimana orangtua menunjukkan (melalui

bahasa tubuh, ekspresi wajah, atau nada suara) atau menyampaikan secara

langsung perasaan, pikiran, kesenangan, dan kepedihan.

3) Confident in parental role (Cn), yaitu memiliki perasaan aman, mampu

berperan sebagai orangtua secara efektif, bertindak tanpa ragu-ragu, dan

tangguh dalam menghadapi perilaku anak yang sulit.

c. Tidak Peduli

Orangtua dengan pola asuh tidak peduli memiliki affect yang negatif dan control

yang rendah. Hal tersebut ditandai dengan adanya dimensi yang menonjol, yaitu:

1) Coldness of parent’s interaction with child (Cl), yaitu adanya kesendirian dan

orangtua yang menunjukkan ketidaktertaikan dengan anak.

2) Sadness (Sa), yaitu tingkat sedih yang diekspresikan secara verbal ataupun

nonverbal.

d. Autoritatif

Orangtua dengan pola asuh autoritatif memiliki affect yang positif dan control

yang tinggi. Hal tersebut ditandai dengan adanya dimensi yang menonjol, yaitu:

1) Limit setting (LS), yaitu menetapkan harapan pada perilaku anak, adanya

konsistensi dalam batasan pengaturan, dan diskusi langsung ketika ada

konflik dan atau ketidakpatuhan.

45

2) Precision in parent’s use if language (Pr), yaitu menggunakan bahasa secara

jelas, memberikan pertanyaan untuk memastikan pemahaman anak,

menggunakan perangkat seperti pengulangan untuk memusatkan perhatian

anak

3) Responsiveness to child (Rn), yaitu mendengarkan ekspresi anak dengan

penuh perhatian, memberikan saran, memberikan instruksi pada perilaku

anak, adanya koordinasi orangtua dengan anak, serta mampu memahami dan

menanggapi kebutuhan anak.

4) Interactiveness (In), yaitu sejauh mana pembicaraan orang tua kepada anak,

keterlibatan orangtua dengan anak, dan adanya interaksi dua arah.

5) Creativity (Cr), yaitu sejauhmana orang tua memiliki kreativitas ketika

berinteraksi dengan anak (orang tua membawa ide-ide baru atau saran), dan

atau kreatif dalam pemecahan masalah ketika anak mengalami kesulitan

(orang tua berperan sebagai pemecahan masalah yang kreatif, menghasilkan

solusi yang menyenangkan dan yang baru).

6) Warmth of parent’s interaction with child (Wm), yaitu menunjukkan

penerimaan yang positif dan kasih sayang terhadap anak, memberikan

dukungan emosional pada saat yang tepat, autentik, dan mendorong anak

sebagai upaya peningkatan diri.

7) Respect for child’s autonomy (Rt), yaitu tidak membosankan, mengakui

keabsahan dan perspektif anak ketika anak tidak patuh, mengakui kompetensi

anak, bernegosiasi dengan anak, dan menyesuaikan segala hal dengan usia

produktif anak.

46

8) Pleasure in parental role (Pl), yaitu menikmati interaksi dengan anak,

menampilkan permainan dan humor, dan meunjukkan kesenangan ketika

anak berprestasi.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti menggunakan dimensi pola asuh autoritatif

yang dikemukakan oleh Cross (2009), yaitu Limit setting (LS), Precision in parent’s

use if language (Pr), Responsiveness to child (Rn), Interactiveness (In), Creativity

(Cr), Warmth of parent’s interaction with child (Wm), Respect for child’s autonomy

(Rt), dan Pleasure in parental role (Pl).

D. Efikasi Diri

1. Definisi Efikasi Diri

Bandura (1997) menyatakan bahwa efikasi adalah kemampuan generatif yang

meliputi kognitif, sosial, emosional, dan perilaku sebagai bagian dari keterampilan

yang harus diorganisir dan diatur dengan efektif untuk mencapai suatu tujuan. Efikasi

diri adalah adanya keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengatur dan

melaksanakan tugas yang bertujuan untuk menghasilkan suatu pencapaian. Efikasi diri

merupakan ranah afektif, dimana individu memiliki keyakinan atas kemampuan diri

untuk mempu menyelesaikan tugas dengan berbagai halangan yang akan ditemui dan

mampu menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan tugas pada

bidang yang berbeda. Efikasi diri merupakan dasar utama dari suatu tindakan. Individu

yang merasa tindakan yang dilakukannya dapat memunculkan dampak positif, maka

akan bertindak sesuai dengan keyakinan yang dimiliki. Individu yang merasa tindakan

yang dilakukannya dapat memunculkan dampak negatif, maka tidak akan berusaha

dalam melakukan sesuatu.

47

Menurut Bandura (1997) efikasi diri tidak berfokus pada sejumlah keterampilan

yang individu miliki, tetapi bagaimana individu percaya bahwa dirinya mampu

melakukan sesuatu ketika berada dalam berbagai keadaan. Efikasi diri bukan

mengukur keterampilan yang dimiliki, tetapi mengukur tentang apa yang dapat

dilakukan ketika berada pada berbagai kondisi dengan keterampilan yang dimiliki.

Dampak dari efikasi diri dalam kualitas hidup individu tergantung pada tujuan yang

ingin dicapai.

Feist dan Feist (2013) menyatakan bahwa efikasi diri sebagai keyakinan diri atas

kemampuan dalam melakukan sesuatu yang mempunyai potensi untuk menjadi sukses.

Individu dengan taraf efikasi diri tinggi akan lebih memungkinkan untuk sukses dalam

suatu pencapaian. Sebaliknya, individu dengan taraf efikasi diri rendah akan lebih

memungkinkan untuk gagal dalam suatu pencapaian. Efikasi diri bervariasi dari satu

situasi ke situasi lain yang dapat ditentukan oleh kompetensi yang dibutuhkan pada

aktivitas yang berbeda, ada atau tidaknya orang lain, kompetensi yang dipersepsikan

dari orang lain, serta kondisi psikologis seperti kelelahan, kecemasan, apatis, dan

ketidakberdayaan (Feist & Feist, 2013).

Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh yang telah disampaikan, dapat

disimpulkan bahwa efikasi diri adalah keyakinan atas kemampuan diri untuk berfungsi

secara optimal dalam suatu pencapaian yang dilandasi dengan adanya keyakinan yang

konsisten dan kuat dalam menyelesaikan berbagai tugas menantang meskipun

mengalami berbagai hambatan, karena yakin akan mampu mengaplikasikan

kompetensi diri pada bidang tugas yang akan dihadapi.

48

2. Dimensi Efikasi Diri

Bandura (1997) merumuskan bahwa efikasi diri memiliki tiga dimensi, yaitu:

a. Level (Tingkat Kesulitan Tugas)

Menurut Bandura (1997) dimensi ini berkaitan dengan level kesulitan tugas

yang dapat diselesaikan oleh individu. Tiap individu memiliki level kesulitan

tugas yang berbeda-beda. Individu yang memahami kemampuan dalam diri dapat

mengukur dan membuat rentang tugas yang mampu diselesaikannya mulai dari

tugas dengan tingkat kesulitan ringan hingga tugas dengan tingkat kesulitan berat.

Individu dengan taraf efikasi diri tinggi akan memiliki keyakinan yang konsisten

dalam menghadapi tugas dengan tingkat kesulitan yang tinggi, sehingga memiliki

kemungkinan untuk mencapai kesuksesan. Sebaliknya, individu dengan taraf

efikasi diri rendah akan merasa ragu dalam menghadapi tugas dengan tingkat

kesulitan yang tinggi, sehingga memiliki kemungkinan untuk mengalami

kegagalan.

b. Generality (Luas Bidang Perilaku)

Menurut Bandura (1997) dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tugas dan

perilaku. Pengalaman atas keberhasilan dalam menyelesaikan tugas memunculkan

penguasaan terhadap bidang tugas yang serupa. Penguasaan terhadap suatu bidang

tugas tertentu, akan meningkatkan keyakinan atas kemampuan diri. Generality

dapat dinilai dari tingkat aktivitas yang sama dan cara-cara dalam melakukan

sesuatu, dimana kemampuan dapat diekspresikan melalui proses kognitif, afektif,

dan konatif. Individu dengan taraf efikasi diri tinggi mampu mengerjakan tugas

yang berbeda dengan adanya kemiripan tugas yang pernah dilakukan sebelumnya,

karena merasa mampu mengaplikasikan kemampuan yang dimiliki ke bidang

49

tugas lainnya. Sebaliknya, individu dengan taraf efikasi diri rendah akan merasa

ragu dalam mengaplikasikan kemampuan yang dimiliki ke bidang tugas lainnya.

c. Strength (Kemantapan Keyakinan)

Menurut Bandura (1997) dimensi ini berkaitan dengan adanya keyakinan

yang kuat, ulet, dan tekun dalam mencapai tujuan meskipun mengalami kesulitan

dan hambatan. Individu yang percaya akan kemampuan diri tidak akan mudah

menyerah dan tetap bertahan untuk berupaya dalam menghadapi kesulitan dan

tantangan. Individu tidak akan mudah menyerah pada kesulitan tugas. Individu

dengan efikasi diri yang tinggi akan memiliki ketekunan yang kuat dan merasa

adanya peluang keberhasilan dalam suatu pencapaian, walaupun dihadapkan pada

tingkat kesulitan tugas yang tinggi. Individu dengan efikasi diri yang rendah akan

mudah menyerah dalam menghadapi tugas dan tantangan. Individu yang memiliki

keyakinan kuat terhadap kemampuan diri menganggap tugas yang sulit sebagai

tantangan yang harus dihadapi, bukan sebagai ancaman atau sesuatu yang harus

dihindari.

Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, peneliti menggunakan dimensi

efikasi diri yang dikemukakan oleh Bandura (1997), yaitu Level (Tingkat Kesulitan

Tugas), Generality (Luas Bidang Perilaku), dan Strength (Kemantapan Keyakinan).

3. Sumber-Sumber Efikasi Diri

Menurut Bandura (1997) ada empat sumber efikasi diri, yaitu:

a. Enactive Mastery Experience

Menurut Bandura (1997) pengalaman individu adalah sumber yang paling

memengaruhi efikasi diri. Pengalaman kesuksesan dimasa lalu dapat memberikan

bukti yang paling nyata atas kemampuan dalam mencapai kesuksesan.

Pengalaman berhasil akan meningkatkan harapan mengenai kemampuan diri,

50

sedangkan pengalaman akan gagal akan menurunkan harapan mengenai

kemampuan diri. Individu yang berhasil menyelesaikan tugas tertentu akan

memiliki keyakinan untuk menyelesaikan tugas-tugas serupa di masa mendatang.

Individu yang mengalami keberhasilan dalam mengerjakan suatu tugas atau

tantangan akan meningkatkan taraf efikasi diri, semakin sering individu berhasil

maka semakin meningkatkan keyakinan atas diri. Adanya kesulitan dapat

memberikan kesempatan untuk belajar bagaimana mengubah kegagalan menjadi

kesuksesan dengan cara mengasah kemampuan individu untuk melakukan kendali

yang lebih baik atas suatu peristiwa.

b. Vicarious Experience

Menurut Bandura (1997) pengalaman keberhasilan orang lain dapat menjadi

sumber dari efikasi diri. Efikasi dapat muncul dengan cara melihat kesuksesan dan

keberhasilan orang lain yang dijadikan model atau contoh. Individu dapat

berperan sebagai pengamat, sedangkan orang lain dapat berperan sebagai model

yang menjadi perantara dalam memengaruhi efikasi diri individu. Efikasi diri

dapat dipengaruhi apabila model merupakan sosok yang memiliki kemiripan

karakteristik personal dengan individu. Sebaliknya efikasi diri tidak dapat

dipengaruhi apabila individu melihat model sebagai sosok yang berbeda dari

dirinya. Efikasi diri dapat meningkat saat melihat keberhasilan orang lain yang

memiliki kompetensi yang setara dengan diri, namun dapat menurun saat melihat

kegagalan orang tersebut. Modelling dapat efektif untuk meningkatkan efikasi diri

pada waktu menghadapi tugas dan tantangan.

c. Verbal Persuasion

Menurut Bandura (1997) persuasi verbal dapat menjadi sumber dari efikasi

diri. Persuasi verbal berperan sebagai sarana yang dapat memperkuat keyakinan

51

individu bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mencapai hal yang

diinginkan. Efikasi diri muncul melalui kepercayaan individu terhadap

kemampuan diri dalam mencapai hal yang diinginkan. Persuasi verbal akan

efektif diberikan ketika individu sedang berjuang dalam menghadapi kesulitan

dan keraguan. Ketika individu mengalami kesulitan maka akan muncul perasaan

ragu atas kemampuan diri dan membutuhkan orang lain yang mampu memberikan

semangat kepada dirinya. Persuasi verbal dapat meningkatkan dan menurunkan

efikasi diri yang ditentukan oleh pihak yang memberikan persuasi dan pihak yang

mendapatkan persuasi. Persuasi verbal dapat berperan sebagai tenaga pendorong

perubahan diri menuju penilaian yang positif. Individu yang menerima persuasi

verbal akan memiliki kemampuan untuk menguasai tugas yang diberikan, dengan

upaya yang cenderung lebih besar dan akan bertahan ketika mengalami kesulitan

dan keraguan diri. Individu yang menerima persuasi verbal akan lebih

bersemangat ketika menghadapi situasi yang sulit, sedangkan individu yang tidak

menerima persuasi verbal akan mengalami penurunan semangat karena cenderung

mengalami keraguan diri dan memikirkan kekurangan diri.

d. Physiological and Affective States

Menurut Bandura (1997) tingkat fisiologis dan suasana hati individu dapat

menjadi sumber dari efikasi diri. Individu akan menilai kelelahan, rasa sakit, dan

nyeri yang dirasakan sebagai petunjuk tentang efikasi diri, ketika menghadapi

aktivitas yang melibatkan kekuatan dan stamina. Kondisi tubuh yang sehat dapat

meningkatkan efikasi diri, sedangkan kondisi tubuh yang lemah dapat

menurunkan efikasi diri. Suasana hati yang positif dapat memengaruhi penilaian

terhadap diri yang cenderung positif, sebaliknya suasana hati yang negatif dapat

memengaruhi penilaian terhadap diri yang cenderung negatif. Keberhasilan yang

52

dialami ketika individu berada dalam suasana hati yang positif dapat

meningkatkan efikasi diri, namun keberhasilan yang dialami ketika individu

berada dalam suasana hati yang negatif akan memunculkan underestimate.

Kegagalan yang dialami ketika individu berada dalam suasana hati yang positif

akan memunculkan overestimate, namun kegagalan yang dialami ketika individu

berada dalam suasana hati yang negatif dapat menurunkan efikasi diri.

E. Perilaku Prososial

1. Definisi Perilaku Prososial

Menurut Baron dan Branscombe (2012), perilaku prososial adalah tindakan yang

dilakukan secara individual dan menjadi bagian yang sangat umum dari kehidupan

sosial, walaupun pemberi tidak memperoleh manfaat atas tindakan yang dilakukan.

Eisenberg dan Mussen (1989) menyatakan bahwa perilaku prososial mengacu pada

tindakan sukarela untuk membantu atau memberikan manfaat bagi orang lain atau

kelompok. Perilaku prososial berupa tindakan tanpa paksaan atau tanpa pamrih akan

memberikan hasil yang positif bagi orang lain. Perilaku prososial dapat berupa

perilaku memberi, bekerjasama, berbagi, membantu, dan menghibur. Eisenberg,

Damon, dan Lerner (2006) menambahkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku

sukarela yang memberikan keuntungan bagi orang lain untuk meningkatkan kualitas

interaksi antar individu dan antar kelompok. Wrightsman dan Deaux (1981)

menyatakan bahwa perilaku prososial didefinisikan sebagai perilaku yang memberikan

konsekuensi positif secara sosial yang dapat berkontribusi dalam kesejahteraan fisik

atau psikologis. Staub (1978) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah segala

bentuk perilaku yang memiliki konsekuensi positif bagi penerima dalam bentuk materi

fisik ataupun psikologis. Perilaku prososial diartikan sebagai perilaku yang

53

menguntungkan, tetapi tidak memberikan keuntungan yang jelas bagi pemberi.

Pemberi belum tentu mendapatkan keuntungan, namun bersedia mengorbankan diri

sendiri. Millon, Lerner, dan Weiner (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial

mencakup berbagai tindakan yang dimaksudkan untuk menguntungkan satu atau lebih

orang lain selain diri sendiri. Perilaku prososial dapat berupa perilaku membantu,

menghibur, berbagi, dan bekerja sama. Desmita (2009) menambahkan bahwa perilaku

prososial didefinisikan sebagai tindakan sosial positif yang dilakukan atas dasar

sukarela tanpa mengharapkan reward eksternal yang menguntungkan dan membuat

kondisi fisik atau psikis orang lain menjadi lebih baik. Perilaku prososial meliputi

membantu atau menolong, berbagi, dan menyumbang.

Taylor, Peplau, dan Sears (2009) menyatakan bahwa perilaku prososial mencakup

setiap tindakan membantu yang dirancang untuk membantu orang lain dan terlepas

dari keinginan untuk disebut sebagai penolong. Perilaku prososial dapat dimulai dari

perilaku altruism tanpa pamrih hingga tindakan yang dimotivasi oleh pamrih untuk

kepentingan pribadi. Perilaku prososial dipengaruhi oleh tipe relasi antar individu

yang dapat dilandasi dengan perasaan suka, merasa memiliki kewajiban, melakukan

tanpa pamrih, dan melakukan secara empati. Santrock (2007a) menyatakan bahwa

perilaku prososial adalah adanya kepedulian terhadap keadaan dan hak orang lain,

perhatian dan empati terhadap orang lain, serta berbuat sesuatu yang memberikan

manfaat bagi orang lain. Bentuk paling murni dari perilaku prososial adalah altruism.

Altruism adalah adanya ketertarikan untuk tidak egois dalam membantu orang lain.

Bentuk perilaku prososial lainnya adalah berbagi dan keadilan. Perilaku berbagi

dirasakan sebagai suatu kewajiban bagi diri individu, namun bukan berarti individu

berpikir bahwa dirinya harus bersikap lebih murah hati terhadap orang lain

dibandingkan dengan diri sendiri. Perilaku berbagi diperlukan dalam hubungan sosial,

54

terutama saat proses memberi dan menerima orang lain. Keadilan dapat mencakup

kesetaraan, kepantasan, dan kebajikan. Kesetaraan berupa kemampuan untuk

memperlakukan orang lain secara setara atau sama. Kepantasan berupa memberikan

penghargaan lebih terhadap kerja keras, penampilan yang berbakat, dan perilaku

terpuji lainnya. Kebajikan berupa memberikan perhatian lebih pada individu dalam

kondisi yang tidak menguntungkan. Keadilan diperlukan dalam berinteraksi dan

berkomunikasi yang melibatkan proses kolaborasi dan negosiasi.

Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh yang telah disampaikan, dapat

disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku sosial dengan tujuan untuk

memberikan konsekuensi positif bagi orang lain yang dilakukan secara sukarela atau

tanpa pamrih yang didasari dengan adanya kerjasama, perilaku memberi, membantu

orang lain, dan mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri.

2. Aspek-Aspek Perilaku Prososial

Menurut Wrightsman dan Deaux (1981) aspek dari perilaku prososial, yaitu:

a. Cooperating

Cooperating adalah kesediaan untuk bekerjasama dan memperoleh keuntungan

bersama. Kerjasama dapat ditandai dengan adanya upaya untuk saling

berkoordinasi sehingga tindakan bersama yang dilakukan membawa semua pihak

lebih dekat dengan tujuan.

b. Helping

Helping adalah perilaku yang lebih memberikan manfaat bagi orang lain

dibandingkan dengan diri sendiri. Perilaku menolong merupakan tindakan yang

memiliki konsekuensi berupa memberikan keuntungan bagi orang lain.

55

c. Donating

Donating adalah menyediakan barang atau jasa untuk kebutuhan individu atau

organisasi. Memberikan sumbangan membutuhkan pengorbanan materi yang

tinggi ataupun rendah.

d. Altruism

Altruism berkaitan dengan perilaku memberi bantuan kepada orang lain yang

membutuhkan dan mengalami kesulitan. Altruism adalah bentuk yang sangat

khusus berupa perilaku membantu yang bersifat sukarela, berharga, dan

termotivasi oleh sesuatu selain adanya hadiah. Individu cenderung lebih

mementingkan orang lain dibandingkan dengan diri sendiri.

Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, peneliti menggunakan aspek

yang dikemukakan oleh Wrightsman dan Deaux (1981), yaitu Cooperating, Helping,

Donating, dan Altruism.

F. Peran Pola Asuh Autoritatif, Efikasi Diri, dan Perilaku Prososial Terhadap

Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Akhir

Kesejahteraan psikologis menjadi faktor penting dalam menentukan kualitas hidup

individu. Menurut Ryff (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) kesejahteraan psikologis

ditandai dengan adanya sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, membuat

keputusan sendiri dan mengatur perilaku sendiri, memilih atau membentuk lingkungan

yang sesuai dengan kebutuhan, memiliki banyak tujuan yang membuat hidup bermakna,

serta berjuang untuk menjelajahi dan mengembangkan diri sendiri. Kesejahteraan

psikologis memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan, sehingga setiap individu akan

berupaya dengan berbagai cara untuk mencapai kesejahteraan psikologis.

56

Menurut Steinberg (dalam Keresteŝ, Brković, & Jagodić, 2012) transisi dari masa

kanak-kanak ke masa remaja adalah periode yang kritis pada siklus kehidupan keluarga,

karena membuat perubahan yang besar dalam hubungan keluarga dan memerlukan

penyesuaian psikologis pada setiap anggota keluarga. Dukungan yang diperoleh dari

keluarga memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan individu (Srimathi & Kumar, 2011).

Santrock (2007b) menyatakan bahwa masa remaja dibedakan menjadi dua periode, yaitu

periode awal dan periode akhir. Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja akhir

menjadi ambang masa dewasa, sehingga remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang

dihubungkan dengan status kedewasaan. Menurut Sarwono (2013) penyesuaian diri

menuju kedewasaan yang terjadi pada masa remaja akhir, ditandai dengan adanya minat

yang kuat terhadap fungsi-fungsi intelek, keinginan ego untuk bersatu dengan orang-orang

lain dan mengalami pengalaman baru, identitas seksual yang menetap, keseimbangan

antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, dan dapat memisahkan hal-hal yang

bersifat pribadi dengan hal-hal yang bersifat umum.

Santrock (2007c) menyatakan bahwa remaja membutuhkan orangtua sebagai manajer

dalam kehidupannya yang berperan dalam menemukan informasi, menjalin relasi sosial,

membantu menstrukturkan pilihan-pilihannya, dan memberikan bimbingan. Salah satu

aspek penting dari peran manajerial pengasuhan orangtua adalah mengawasi anak secara

efektif. Penelitian Cripps dan Zyromski (2009) menunjukkan bahwa persepsi remaja

tentang pola asuh orangtua berhubungan dengan kesejahteraan psikologis remaja.

Penerimaan yang positif atau negatif berdampak pada kesejahteraan psikologis remaja,

terutama harga diri, evaluasi diri, dan hubungan dengan teman sebaya. Menurut Baumrind

(2008), karakteristik orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif adalah memiliki

kemampuan untuk menyeimbangkan antara responsiveness dan demaningness. Orangtua

yang menerapkan pola asuh autoritatif, akan mendorong anak untuk berkembang menjadi

57

pribadi yang dapat menerima diri apa adanya, memiliki kompetensi sosial, sikap asertif,

dan memiliki independensi, sehingga akan memungkinkan anak untuk mencapai prestasi

dan kesuksesan dalam kehidupan. Baumrind (1966) menyatakan bahwa pola asuh

autoritatif berhubungan dengan hasil perkembangan yang positif, evaluasi diri yang positif,

tingkat harga diri yang tinggi, penyesuaian diri, dan motivasi instrinsik untuk belajar yang

tinggi. Penelitian Buri, dkk, (dalam Cripps & Zyromski, 2009) menunjukkan bahwa

adanya hubungan yang signifikan antara pola asuh autoritatif yang diterapkan orangtua

dengan harga diri remaja. Individu dengan harga diri yang tinggi diprediksi memiliki taraf

kesejahteraan psikologis tinggi (Ryff, 2014). Menurut Baumrind (1966) orangtua yang

autoritatif akan mengembangkan adanya keseimbangan antara kebebasan dan

tanggungjawab. Anak yang diasuh dengan pola asuh autoritatif akan merasa memiliki

kemandirian, karena orangtua menghormati pendapat anak, memberikan tantangan pada

anak, dan adanya kesempatan dalam mengambil keputusan sendiri. Kemandirian

menjadikan anak memiliki kemampuan mengatur dan menentukan sendiri segala hal yang

dihadapi dalam kehidupan. Hal ini sesuai dengan penelitian Lestari, dkk, (2013) yang

menunjukkan bahwa adanya hubungan positif yang signifikan antara pola asuh autoritatif

dengan kemandirian. Menurut pendapat Ryff (dalam Papalia, dkk, 2009) pencapaian

kesejahteraan psikologis ditandai dengan adanya kemandirian dalam menentukan pilihan

dan mengatur perilaku diri sendiri.

Ryff (2014) menyatakan bahwa kepribadian merupakan salah satu faktor yang

memengaruhi kesejahteraan psikologis. Individu yang optimis dengan adanya kontrol diri

yang baik diprediksi memiliki taraf kesejahteraan tinggi. Individu yang optimis akan

memiliki ketangguhan dan keyakinan dalam diri atas kemampuan yang dimiliki (Carr,

2004). Menurut Bandura (1997) adanya keyakinan terhadap kemampuan diri merupakan

ciri dari individu yang memiliki efikasi diri. Williams (dalam Srimathi & Kumar, 2011)

58

menyatakan bahwa penelitian-penelitian tentang kebahagiaan dan kesejahteraan

mengidentifikasi bahwa efikasi diri merupakan komponen penting dalam pengalaman

kesejahteraan individu. Efikasi diri sebagai mekanisme kognitif berperan sebagai mediator

penting untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis individu. Penelitian Flouri dan

Buchanan (dalam Cripps & Zyromski, 2009) menunjukkan bahwa efikasi diri berhubungan

positif dengan konsep kebahagiaan dalam kesejahteraan psikologis. Penelitian Srimathi

dan Kumar (2011) menunjukkan bahwa efikasi diri memiliki hubungan positif yang

signifikan dengan setiap dimensi kesejahteraan psikologis. Penelitian Mayasari (2014)

yang menunjukkan bahwa individu yang memiliki efikasi diri sosial ditandai dengan

adanya keyakinan tentang kemampuan diri untuk memulai dan mempertahankan hubungan

sosial, serta mengelola konflik dengan orang lain. Efikasi diri sosial tidak hanya penting

dalam hubungan interpersonal, tetapi memiliki peran penting terhadap penyesuaian

psikologis dan kesehatan mental. Hubungan yang positif dengan orang lain juga akan

meningkatkan pengaruh dimensi-dimensi lain terhadap kesejahteraan psikologis.

Bandura (1997) menyatakan bahwa individu dengan taraf efikasi diri tinggi akan

memiliki keyakinan yang konsisten dalam menghadapi tugas dengan tingkat kesulitan yang

tinggi, sehingga memiliki kemungkinan untuk mencapai kesuksesan. Adanya keyakinan

yang konsisten berkaitan dengan adanya pemahaman tentang kemampuan dan potensi yang

dimiliki. Individu dengan taraf efikasi diri tinggi akan mampu berpikir kreatif, memiliki

rasa ingin tahu, dan terbuka terhadap pengalaman sebagai upaya untuk mengembangkan

diri. Hal ini sesuai dengan penelitian Kasiati, dkk, (2012) yang menunjukkan bahwa

terdapat hubungan positif yang signifikan antara efikasi diri dengan kreativitas. Kreativitas

dan keterbukaan terhadap pengalaman baru dibutuhkan dalam perkembangan pribadi.

Menurut pendapat Ryff (dalam Singh, Mohan, & Anassen, 2012) pencapaian kesejahteraan

59

psikologis ditandai dengan adanya hasrat untuk mengalami perkembangan secara

berkesinambungan melalui kreativitas dan keterbukaan terhadap pengalaman baru.

Ryff (1989) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis ditandai dengan kemampuan

individu dalam memberikan kontribusi terhadap orang lain dan lingkungan sekitar.

Menurut Santrock (2007c) remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan

diterima oleh teman sebaya atau kelompok. Penerimaan teman sebaya berkaitan dengan

adanya kompetensi sosial yang dapat dikembangkan melalui perilaku prososial. Individu

yang bahagia ditandai dengan adanya kemampuan bekerjasama, prososial, murah hati, dan

fokus pada kebutuhan orang lain (Kasser & Ryan, dalam Verdugo, dkk, 2011). Individu

dengan emosi positif memiliki pikiran prososial dan perilaku membantu orang lain

(Schroeder, dkk, dalam Verdugo, dkk, 2011). Santrock (2007a) menyatakan bahwa bentuk

paling murni dari perilaku prososial adalah altruism. Altruism adalah adanya ketertarikan

untuk tidak egois dalam membantu orang lain. Penelitian Verdugo, dkk, (2011)

menunjukkan bahwa altruism memiliki hubungan yang positif dengan kesejahteraan

psikologis pada remaja. Semakin tinggi altruism, maka semakin tinggi kesejahteraan

psikologis pada remaja.

Millon, dkk, (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial mencakup berbagai

tindakan yang dimaksudkan untuk menguntungkan satu atau lebih orang lain selain diri

sendiri. Remaja yang melakukan perilaku prososial akan belajar untuk mengembangkan

perasaan empati dalam melakukan perilaku menolong, memberi, berbagi, dan bekerjasama

yang dibutuhkan dalam hubungan positif dengan orang lain. Penelitan Putra (2014)

menunjukkan bahwa perilaku menolong memiliki hubungan yang positif dan searah

dengan konsep diri pada remaja akhir. Individu yang melakukan perilaku menolong

memiliki perasaan positif berupa rasa bahagia, bangga, dan harga diri, sehingga akan

meningkatkan kepuasan diri dan kesadaran diri akan realitas. Perilaku prososial dapat

60

memengaruhi penilaian pada diri sebagai hasil dari kesadaran diri atas pengalaman-

pengalaman dalam hidup. Perilaku prososial akan membentuk penilaian diri kearah positif

yang berkaitan dengan kemampuan dalam menerima diri apa adanya termasuk kualitas

positif dan negatif diri. Menurut pendapat Ryff (dalam Compton, 2005) pencapaian

kesejahteraan psikologis ditandai dengan adanya penerimaan terhadap kualitas diri dan

kemampuan dalam menjalin hubungan yang positif dengan orang lain.

Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa pola asuh

autoritatif, efikasi diri, dan perilaku prososial memiliki peran terhadap kesejahteraan

psikologis pada remaja akhir, karena remaja mengalami perubahan biologis, kognitif, dan

sosioemosional dalam proses mempersiapkan diri memasuki usia dewasa. Diagram peran

pola asuh autoritatif, efikasi diri, dan perilaku prososial terhadap kesejahteraan psikologis

dapat dilihat pada gambar 2.

61

Gambar 2. Diagram Peran Pola Asuh Autoritatif, Efikasi Diri, dan Perilaku Prososial

terhadap Kesejahteraan Psikologis

Keterangan Gambar :

: Variabel penelitian : Dimensi dari variabel

: Garis peran : Garis aspek dari variabel

Perilaku Prososial

Efikasi Diri Kesejahteraan Psikologis

a. Cooperating

b. Helping

c. Donating

d. Altruism

a. Penerimaan diri

b. Hubungan positif dengan

orang lain

c. Kemandirian

d. Penguasaan lingkungan

e. Tujuan hidup

f. Perkembangan Pribadi

a. Level

b. Generality

c. Strength

a. Kehangatan interaksi

orangtua dengan anak

b. Tegas dalam mengarahkan

perilaku anak

c. Tanggap dalam memenuhi

kebutuhan anak

d. Menetapkan perilaku yang

diharapkan

Pola Asuh Autoritatif

62

H. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Mayor

Pola asuh autoritatif, efikasi diri, dan perilaku prososial berperan terhadap

kesejahteraan psikologis pada remaja akhir di Program Studi Pendidikan Dokter Gigi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Hipotesis Minor

a. Pola asuh autoritatif berperan terhadap kesejahteraan psikologis pada remaja akhir

di Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana.

b. Efikasi diri berperan terhadap kesejahteraan psikologis pada remaja akhir di

Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

c. Perilaku prososial berperan terhadap kesejahteraan psikologis pada remaja akhir

di Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana.

Pola Asuh Autoriatatif