kajian kebijakan pembangunan dan...

32
17 DUA KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYA Pengantar Pembangunan sebagai wacana atau diskursus (discourse development) telah menduduki tempat dalam sejarah perkembangan pemikiran dari teori-teori pembangunan itu sendiri (Fakih, 2001:12-13; Grillo and Strirrat, 1977). Wacana pembangunan kemudian dipahami sebagai upaya sadar, terencana, dan melembaga untuk mencapai sesuatu masyarakat yang dibayangkan (imagine community) (Anderson, 2001). Mengacu kepada teori-teori modernisasi masyarakat yang dibayangkan (Suparlan, 1993:viii; dan Ibrahim, 2004:37-38) adalah membebaskan diri dari ketertinggalan menjadi negara maju atau negara sejahtera yang umumnya lebih menggunakan angka-angka laju pertumbuhan ekonomi sebagai kategori tersendiri untuk mengukur keberhasilan pembangunan. Berdasarkan angka-angka pertumbuhan ekonomi misalnya, negara-negara yang umumnya dikategorikan tertinggal secara ekonomi pada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah sehingga dapat digunakan sebagai modal untuk mengejar ketertinggalannya. Kekayaan tersebut kemudian dijual negara kepada para investor agar dapat memperoleh modal membiayai pembangunan. Sayangnya modal yang diperoleh dalam banyak hal tidak untuk mensejahterakan rakyat tetapi mensejahterakan segelintir orang yang

Upload: dokhanh

Post on 14-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

17

DUA

KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

DAN DAMPAKNYA

Pengantar

Pembangunan sebagai wacana atau diskursus (discourse development) telah menduduki tempat dalam sejarah perkembangan

pemikiran dari teori-teori pembangunan itu sendiri (Fakih, 2001:12-13;

Grillo and Strirrat, 1977). Wacana pembangunan kemudian dipahami

sebagai upaya sadar, terencana, dan melembaga untuk mencapai

sesuatu masyarakat yang dibayangkan (imagine community)

(Anderson, 2001). Mengacu kepada teori-teori modernisasi masyarakat

yang dibayangkan (Suparlan, 1993:viii; dan Ibrahim, 2004:37-38)

adalah membebaskan diri dari ketertinggalan menjadi negara maju atau

negara sejahtera yang umumnya lebih menggunakan angka-angka laju

pertumbuhan ekonomi sebagai kategori tersendiri untuk mengukur

keberhasilan pembangunan.

Berdasarkan angka-angka pertumbuhan ekonomi misalnya,

negara-negara yang umumnya dikategorikan tertinggal secara ekonomi

pada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

sehingga dapat digunakan sebagai modal untuk mengejar

ketertinggalannya. Kekayaan tersebut kemudian dijual negara kepada

para investor agar dapat memperoleh modal membiayai pembangunan.

Sayangnya modal yang diperoleh dalam banyak hal tidak untuk

mensejahterakan rakyat tetapi mensejahterakan segelintir orang yang

Page 2: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

18

memiliki kekuasaan. Dampaknya adalah muncul sejumlah perlawanan

yang dilakukan rakyat untuk mempertanyakan kepada negara terkait

masa depan dari kebijakan pembangunan tersebut dimasa mendatang,

terutama dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam yang

dimilikinya (Fauji, 2005).

Atas dasar latar belakang di atas, bab ini akan menjawab

pertanyaan tentang bagaimana luasan persoalan dan pemaknaan

kebijakan pembangunan yang dipilih oleh negara dalam memanfaatkan

sumber daya alamnya dalam hal ini tambang dan akibat-akibat yang

ditimbulkannya termasuk di dalamnya berkembangnya konflik

pembangunan. Konflik ini kemudian berkembang menjadi gerakan

sosial. Karenanya pada akhir paparan akan dijelaskan munculnya

berbagai dinamika gerakan sosial melawan kebijakan negara yang

dinilai justru menyengsarakan dan menciptakan ketidak-adilan bagi

rakyatnya.

Dinamika Pembangunan

Sebagai negara yang “umumnya” belum lama merasakan

kemerdekaannya, adalah negara-negara yang dikategorikan sebagai

negara berkembang termasuk Indonesia. Ciri utama dari negara

berkembang adalah secara ekonomi dinilai paling miskin dengan

kepadatan penduduk yang tinggi. Namun dibalik penilaian tersebut,

negara-negara ini justru memiliki kekayaan sumber daya alam, karena

memiliki luasan bentang tanah pertanian dan hutan, serta kandungan

minyak bumi, tambang dan mineral (Fauji, 2005:2-3). Meskipun

rakyatnya tidak merasa memiliki permasalahan dengan namanya

pembangunan, tetapi bagi para penguasa negara justru mempersoalkan

ketidak-tepatan dalam menentukan arah dari kebijakan pembangunan.

Hal ini terjadi karena menurut penguasa negara masih banyak

permasalahan pembangunan yang dihadapi seperti kemiskinan,

kesenjangan sosial dan lain sebagainya.

Suparlan (1993) mencatat bahwa pada masa pemerintahan Orde

Baru arah kebijakan pembangunan didasarkan pada prinsip dan

Page 3: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya

19

pendekatan pembangunan untuk melakukan transformasi masyarakat

melalui 5 (lima) tahapan pertumbuhan ekonomi (five-stage scheme)

seperti yang dikembangkan oleh Rostow (1960). Kelima tahapan

pembangunan yang dimaksudkan adalah : (1) Tahap Masyarakat

Tradisional (The Traditional Society): (2) Tahap Prasyarat Tinggal

Landas (The Preconditions for Take-Off); (3) Tahap Tinggal Landas

(The Take-Off); (4) Tahap Menuju Kedewasaan (The Drive to Maturity); dan (5) Tahap Konsumsi Tinggi (The Age og High Mass Consumption).

Untuk menjalankan tahapan pertumbuhan ekonomi tentunya

dibutuhkan persyaratan. Meir and Baldwin (1957) menyatakan bahwa

pendekatan kebijakan pembangunan dapat berjalan dengan baik

apabila ditopang oleh tersedianya dan/atau mengalirnya modal atau

investasi untuk menggerakkan perubahan-perubahan variabel dalam

jangka panjang baik pada struktur permintaan maupun perubahan pada

penawaran. Menjamin mengalirnya modal, tentunya negara harus kuat

dan menjadi pemeran utama untuk memimpin pembangunan (state-led-develoment) (Achwan, 1999 dan Giddens, 1984). Negara kemudian

mengeluarkan UU tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU

tentang Pemanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).7 Dengan

dikeluarkan UU ini, negara kemudian dapat memberikan berbagai

konsesi kepada para investor untuk memanfaatkan dan/atau

mengeskploitasi kekayaan sumber daya alam yang ada dibumi

Indonesia melalui mekanisme pemberian Hak Penguasaan Hutan

(HPH); Hutan Tanaman Industri (HTI); Kuasa Pertambangan (KP);

Kontrak Karya (KK); dan Hak Guna Usaha (HGU). Selain itu negara

juga memberikan dukungan tambahan berupa insentif pajak

penghasilan bagi para investor yang ingin menanamkan modal di

Indonesia.

7 Terkait dengan UU tentang Penanaman Modal mulai dikeluarkan pada tahun 1967, yaitu UU No. 1 Tahun 1967 tentang Pemananaman Modal Asing (PMA), dilanjutkan pada tahun 1968, yaitu; UU No. 6 Tahun 1968 tentang Pemanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Kemudian pada tahun 2007 diperbaharui menjadi UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Page 4: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

20

Kebijakan menempatkan negara sebagai pemeran utama untuk

memimpin pembangunan (state-led-develoment) kembali dikritik dan

digugat keberadaannya karena kekuasaan dan kekayaan ekonomi

menjadi terpusatnya pada segelintir pemegang kekuasaan politik dan

aktor ekonomi. Di pihak lain, potensi politik masyarakat sipil lumpuh

dan tidak ada kontrol rakyat terhadap pengambilan keputusan yang

menyangkut kepentingan publik (MacIntyr, 1994:224-267). Ekonomi

kemudian menjadi ”teramputasi” dan ketika terjadi krisis sulit untuk

bisa ke luar dari belenggu, sehingga melahirkan krisis

multidimensional (Van Klinken dan Nordholt; 2007, Lane, 2007 serta

Basyaib, 2006). Hadar (2006) kemudian menilai pemerintah Orde Baru

telah gagal dalam melaksanakan pembangunan karena membawa

masyarakat, hidup dalam pembangunan yang ”semu” atau hanya

terbawa pada mitos-mitos pembangunan di mana konsep

pembangunan lebih menekankan dan memfokuskan pada

pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan materi, dan tingkat konsumsi,

sementara variasi-variasi lokal yang ada di masyarakat terus diabaikan.

Dampaknya adalah munculnya korban-koban pembangunan atau

korban kemajuan (Davis, 1976).

Selanjutnya Rahardjo (1986;288-289) juga mengungkapkan bahwa

mitos-mitos pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintah Orde

Baru hanyalah untuk menggerakkan rakyat atau mendapatkan

dukungan politik dari rakyat. Namun di balik istilah itu tersembunyi

realitas lainnya, misalnya dominasi modal asing, monopoli ekonomi

pada golongan tertentu, pemerasan petani dan seterusnya. Ditandai

dengan menumpuknya sejumlah persoalan pembangunan, di

antaranya; merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme;

menumpuknya permasalahan sosial, politik, ekonomi dan budaya; serta

perekonomian tertumpu kepada sekelompok orang yang dekat dengan

birokrasi/pemerintahan. Persoalan pembangunan ini juga menjadi

pemicu munculnya krisis di mana banyak perusahaan yang terpaksa

gulung tikar; Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mengakibatkan

meningkatnya pengangguran, kerawanan sosial, menurunnya

pendapatan per kapita, permasalahan ekologi akibat penggunaan

teknologi yang berlebihan, semakin meningkatnya kemiskinan, perang

Page 5: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya

21

sipil terus terjadi, bencana kelaparan terjadi di mana-mana,

merebaknya penyakit AIDs serta kemiskinan (Martinussen, 1997; dan

Sachs, 2005; Ife, 2002; dan Escobar, 1995). Kondisi ini menjadi salah

satu aspek hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan

Orde Baru dibawah Soeharto dan dipaksa lengser dari kekuasaannya

oleh gerakan mahasiswa pada bulan Mei 1998 (Suharsih dan

Mahendra, 2007).

Pada saat pergantian rezim, diskursus tentang pembangunan

seakan-akan terlupakan karena para elit lebih disibukkan dengan

kebijakan yang bersifat politis, mengiringi derasnya desakan

masyarakat untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis.

Selain itu, pihak elit politik dari tingkat pusat hingga daerah juga

disibukkan dengan persoalan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi

daerah dengan dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian

diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun

2014 tentang Pemerintah Daerah.

Penyelenggaraan negara seakan-akan tidak menjalankan tugasnya

dengan baik dikarenakan adanya tarik menarik kepentingan baik

secara struktural maupun kultural ditingkat lokal; ketidakjelasan fungsi

antar tingkat pemerintahan dalam melaksanakan pembangunan;

maraknya praktik politik uang; hilangnya hubungan fungsional dan

sinerjik antara kabupaten/kota dengan provinsi untuk menopang

pembangunan serta bermunculan ‟raja-raja‟ kecil di daerah (Suwondo,

2003; World Bank, 2005; dan Kompas, 17 Agustus 2007). Negara juga

terus menghadapi berbagai konflik sosial dari konflik antar agama,

antar suku hingga konflik ideologi dibarengi dengan munculnya

tekanan berbagai bencana alam yang terjadi, seperti tsunami di Aceh

hingga meletusnya gunung Merapi di Jawa Tengah. Kondisi ini seakan-

akan menjadikan proses-proses kebijakan pembangunan yang

dijalankan oleh negara tanpa memiliki arah dan tujuan.

Rakyat kemudian mempertanyakan kebijakan pembangunan

seperti apakah yang seharusnya dijalankan dan bagaimanakah posisi

kebijakan pembangunan itu sebenarnya. Pertanyaan inilah yang sering

muncul karena negara selama masa pemerintah Orde Baru hingga

Page 6: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

22

pemerintahan sekarang ini hanyalah menunjukkan data-data yang

bersifat makro ekonomi (seperti; pertumbuhan ekonomi) sebagai tolak

ukur keberhasilannya pembangunan. Di pihak lain persoalan-persoalan

yang berkaitan dengan kemiskinan dan pengangguran serta persoalan

ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi, baik dari pendapatan per

kapita, pendapatan antarwilayah (regional inequality) maupun

kepemilikan aset juga masih belum bisa teratasi (Wicaksana, 2007),

seperti yang ingin di atasi penguasa negara.

Menjelang berakhir abab 20, dorongan untuk menciptakan sistem

pemerintahan yang demokratis menyebabkan beberapa negara juga

mengalami krisis kepercayaan dan berujung pada krisis politik, seperti

terpecahnya Uni Soviet dan runtuhnya tembok Berlin serta beberapa

penguasa yang otoritarian. Arah kebijakan pembangunan yang

kemudian didorong adalah mendukung upaya privatisasi, deregulasi

dan perdagangan bebas, serta peningkatan investasi swasta. Pendekatan

ini mengedepankan pencabutan peran negara dalam berbagai kebijakan

pembangunan dipangkas ke tingkat yang minimal seperti pengurangan

kepemilikan unit-unit bisnis, penguasaan dan pengelolaan langsung

sumber-sumber ekonomi, penjaminan asuransi sosial, penciptaan

regulasi yang berlebihan atas segala kegiatan masyarakat dan lain

sebagainya.

Dampak dari pencabutan peran negara mendorong ekspansi

investasi dari perusahaan-perusahaan multinasional secara besar-

besaran ke negara-negara yang memiliki SDA termasuk Indonesia

karena mendapat dukungan pendanaan sepenuhnya dari badan-badan

pembangunan internasional (IMF, ADB, World Bank dll) yang pada

waktu itu menjadi penentu arah dari kebijakan pembangunan. Negara

atau bangsa di berbagai belahan dunia “mau tidak mau” harus

menerima kenyataan ini, dan dalam konsep Wallerstain (1987) tidak

ada negara maupun masyarakat nasional yang dapat disebut sebagai

“suatu sistem sosial” yang bebas dari keterikatan dengan “sistem sosial

dunia”. Karenanya perubahan sistem sosial dunia jelas akan

mempengaruhi sistem sosial negara atau masyarakat tertentu sekalipun

mereka berada jauh. Kondisi ini kemudian membuka debat secara

Page 7: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya

23

terbuka karena dinilai menggadaikan atau menjual bangsa ini kepada

pihak asing (Swasomo, 2007:7) melalui melalui kolom opini di Kompas

pada bulan Oktober hingga Nopember 2010.

Meskipun mendapat kritik tetapi arah kebijakan untuk membuka

selebar-lebarnya peluang investasi tetap dijalankan oleh pemerintahan

Indonesia (Wirjawan, 2010). Hal ini dilakukan karena Indonesia masih

membutuhkan dana investasi untuk pembangunan hingga Rp. 2.000

triliun agar dapat mendorong laju pertumbuhan 7% dalam lima tahun

ke depan (2009-2014). Di pihak lain kemampuan pemerintah untuk

menyediakan dana hanya sebesar 20% atau Rp. 400 triliun, sedangkan

sisanya Rp. 1.600 triliun (80%) berasal dari sektor swasta baik dari

dalam negeri maupun luar negeri termasuk Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) (Kompas, 7 Nopember 2010:11). Pada masa kabinet

pembangunan I (2004-2009), pemerintahan SBY membutuhkan dana

untuk pembangunan infrastruktur mencapai Rp. 1.305 triliyun.

Sejumlah Rp. 810 triliyun akan dicari dari lembaga-lembaga keuangan

internasional (Rp. 90 triliyun), serta dari pengusaha swasta domestik

dan luar negeri (Rp. 750 triliyun) melalui tawaran berbagai proyek

(Setiawan, 2005; 16). Dampak dari kebijakan ini, Indonesia pada tahun

2010 oleh UK Trade and Investment yaitu sebuah departemen di

pemerintahan Inggris yang bertugas membantu perusahaan-

perusahaan Inggris untuk berhasil dalam persaingan ekonomi global

ditempatkan sebagai urutan kedua di dunia untuk tujuan investasi di

luar Brasil, Rusia, India, dan China (Kompas, 17 September 2010).

Walaupun dalam beberapa hal kebijakan pengurangan peran

negara dirasakan membawa hasil-hasil yang menggembirakan

ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, dan

perekonomian terintegrasi dengan pasar. Namun dalam beberapa hal

yang lain justru membuat kapasitas negara tidak dapat menjalankan

fungsinya untuk membuat kebijakan pembangunan yang berpihak dan

membela kepentingan rakyat. Ditunjukkan dengan munculnya

berbagai keresahan, ketidakpuasan dan ketidakadilan menuju pada

proses-proses pemiskinan ekonomi, sosial dan budaya terutama yang

berkembang di berbagai daerah di luar Jawa di mana daerahnya

Page 8: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

24

kebanyakan memiliki kekayaan sumber daya alam. Kondisi ini oleh

Burger (2002), diartikan sebagai “biaya korban manusia” sebagai

konsekuensi dari kebijakan negara mengundang investor.

Keresahan, ketidakpuasan dan ketidakadilan yang dimaksud

berakar pada beberapa fakta: pertama, pembangunan ternyata telah

meminggirkan posisi ekonomi masyarakat (the development of underdevelopment) seperti yang diungkapkan Roxborough (1994);

serta Seligson and Passe-Smith (2003). Kedua, pembangunan

menafikan eksistensi sistem sosio-budaya masyarakat, sehingga bukan

kemajuan yang dihasilkan dari proses pembangunan tersebut

melainkan “kemadegan”. Dalam hal ini, para scholars menyebutnya

sebagai modernization without development (Sajogyo, 1973 dalam

Anonymous, 2003). Ketiga, pembangunan sangat menguntungkan

pertumbuhan dan ekspansi modal serta proses akumulasi kapital bagi

perekonomian kapitalis (Frank, 1978; Wallerstein, 1976). Keempat, pembangunan justru mendorong proses-proses disintegrasi sosial-

masyarakat di kawasan sedang berkembang, di mana semangat

kolektivitas (misal: gotong-royong) sebagai ciri sosiologis penting

meluntur (hilang) secara dramatis (Galtung, 1995 dan Panjaitan, 2016).

Kondisi ini tentunya menjadi salah satu pemicu berbagai konflik yang

oleh Ngadisah (2003) disebut sebagai konflik pembangunan yang

apabila tidak dikelola dengan baik akan bermuara pada konflik politik.

Untuk mengatasi kemungkinan terjadi konflik, Fukuyama (2005)

mengusulkan kembali pentingnya kekuatan negara (state led development) dalam mengambil berbagai kebijakan pembangunan agar

dapat mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi demi peningkatan

keadilan dan kesejahteraan. Hal ini ditunjukkan dari berbagai gejala

politik di mana negara sebagai institusi terpenting dalam masyarakat

gagal menjalankan perannya sehingga dapat menjadi ancaman

hancurnya sebuah bangsa (Mallarangeng, 2005:xi). Argumentasi lain,

hadirnya negara adalah untuk mewujudkan dan menjamin

kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia (keadilan sosial) dan

menjamin kedaulatan kita di bidang ekonomi (kedaulatan ekonomi)

yang harus diperjuangkan negara (Keraf, 2010). Negara juga harus

Page 9: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya

25

menjamin bahwa beroperasinya modal dapat memberikan dampak

yang bersifat mutliplier dan menjalar ke mana-mana (tricle down effect) (Gie, 2010). Pada Presiden Jokowi, nampaknya posisi negara

sebagai pelayan masyarakat dikembalikan.

Berdasarkan diskusi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

kebijakan pembangunan itu sendiri sangatlah kompleks dan

berdimensi banyak ditunjukkan dengan berbagai variasi kebijakan

yang harus dibuat oleh negara. Sebagai proses politik, apakah kebijakan

pembangunan yang dipilih dapat mencapai suatu tatanan kehidupan

masyarakat yang lebih baik terutama untuk “merealisasikan potensi

manusia” seperti yang diungkapkan oleh Soejatmoko (Ibrahim, 2004).

Apabila kebijakan pembangunan tersebut belum mampu

merealisasikan potensi manusia, maka yang tercipta adalah munculnya

berbagai konflik akibat dari kebijakan pembangunan itu sendiri.

Konflik Pembangunan

Konflik pembangunan yang terjadi di Indonesia mulai tumbuh

dan berkembang ketika rakyat mulai berani bertanya kepada negara

melalui aksi protes atau unjuk rasa menolak kebijakan yang dibuat dan

dilaksanakan oleh negara. Meskipun rezim Orde Baru yang terkenal

memiliki pemerintahan yang otoriter dan represif, tetapi rakyat sudah

berani melakukan protes, seperti pada kasus pembangunan proyek

Pelabuhan Peti Kemas (Jakarta); pembangunan proyek Waduk Kedung

Ombo (Jawa Tengah); pembangunan proyek Waduk Nipah (Jawa

Timur); pembangunan proyek PLTA Danau Lindu (Sulawesi Tenggara);

serta protes terhadap PT Indorayon (Sumatera Utara), dan PT Freeport

Indonesia (Papua) (Ngadisah, 2003).

Konflik berawal ketika negara dengan segala kekuasaan yang

dimilikinya mengambil alih berbagai sumber daya yang ada dalam satu

wilayah kekuasaan tanpa mempertimbangkan kehidupan rakyat yang

seharusnya dilindungi oleh negara. Rakyat menjadi resah dan

menghadapi perasaan ketidakpuasan serta ketidakadilan ketika negara

tidak lagi berpihak bahkan tidak lagi mengakui keberadaan kehidupan

Page 10: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

26

rakyatnya. Kondisi ini yang kemudian memicu terjadinya berbagai aksi

protes yang berujung pada konflik.

Nordholt (1971:317-346;2004), dan Pitaloka (2004); serta Haynes,

(2000:7-14), menyimpulkan bahwa konflik merupakan suatu realitas

sejarah yang telah mengakar dalam setiap perilaku manusia di dunia.

Karenanya hampir semua negara pernah mengalami minimal satu atau

lebih konflik, baik konflik antar manusia, antar golongan, antar etnis,

antar agama, hingga konflik antar negara (Strauss, 2002). Konflik

kemudian diartikan sebagai akibat persaingan antar paling tidak dua

pihak; di mana tiap-tiap pihak baik perorangan, keluarga, kelompok

dan/atau satu komunitas atau mungkin satu lapisan kelas sosial hingga

negara saling bersaing (Dahrendorf, 1959). Persaingan ini terjadi

karena adanya perbedaan kepentingan dari satu kelompok/organisasi,

satu suku bangsa, dan atau satu pemeluk agama tertentu dengan

lainnya bahkan dengan negara (Nader, 1998;236-241). Konflik-konflik

yang berdimensi ekonomi dan politik acap kali terkait dengan siapa

mendapat apa, siapa kehilangan apa, dan berapa banyak

kehilangannya, dan cenderung bersifat riil, sedangkan konflik yang

berdimensi budaya dan ideologi memiliki aspek yang fundamental dan

arena itu cenderung abstrak. Persoalannya adalah apakah konflik-

konflik yang terjadi harus dipandang sebagai sesuatu yang rasional,

konstruktif, dan berfungsi secara sosial, atau sesuatu yang irasional,

patologis, dan tidak berfungsi secara sosial.

Kajian dimensi konflik awalnya lebih mengarah pada konflik

antar negara (inter-state), di mana rakyat di wilayah jajahan

memberontak terhadap penguasa kolonial. Kurasawa (1993:50-52); dan

Gurr (1970:162), mencatat bahwa gerakan pemberontakan rakyat

terhadap negara pada masa pemerintahan kolonial karena penguasa

pada masa itu cenderung menciptakan ketimpangan (pembangunan)

antara nilai harapan dan kenyataan sehingga menimbulkan rasa

kecewa yang mendalam. Menjelang berakhirnya abab ke-20, konflik

beralih dari konflik dalam negara (intra-state) menjadi konflik antar

negara. Haris dan Reilly (2000) menunjukkan bahwa konflik-konflik

yang paling kejam sepanjang awal dan pertengahan abab ke-20 adalah

Page 11: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya

27

konflik antarnegara, tetapi pada tahun 1990-an hampir semua konflik

besar di dunia terjadi di dalam negara. Antara tahun 1989 dan 1996,

misalnya tercatat ada 95 dari 101 konflik bersenjata terjadi di dalam

negara. Perhatian sempat menghilang beberapa saat ketika penyatuan

kembali Jerman Timur dan Jerman Barat (Juliastuti, 1999:12-14; dan

Tambunan, 2004:1-10).

Selanjutnya merujuk dari perkembangan teori konflik yang

awalnya menekankan pada perimbangan kekuasaan (balance of power), menjadi teori pencegahan (deterrence theory) seperti pada

kasus perang dingin (cold war) di mana Uni Soviet dan Yogoslavia

terpecah menjadi negara-negara kecil. Teori pencegahan berdasar pada

asumsi bahwa perimbangan terror (balance of terror) karena ada nuklir

di negara-negara adikuasa akan mencegah konflik. Teori ini kemudian

membuka jalan bagi perkembangnya teori-teori yang lebih canggih

seperti teori pengambilan keputusan (decision making theory) dan teori permainan (game theory). Konflik sendiri pada akhirnya dimulai

dari perbedaan kepentingan (sosial, ekonomi, budaya, dan keagamaan)

antar kelompok masyarakat dan atau antara kelompok masyarakat

dengan negara yang pada akhirnya berkembang menjadi konflik

ideologi.

Dimulai dari ketegangan dengan negara yang dinilai rakyat tidak

mampu memberikan jaminan kehidupan sosial-ekonominya. Dalam

perkembangannya, rakyat mencari legitimasi dengan memasukkan

unsur kepentingan politik (etnisitas dan keagamaan) agar dapat

mempertanyakan kepada penguasa negara (Pradaya, 1995). Fenomena

konflik seperti ini sekarang sedang menguat dan terjadi di berbagai

negara yang bercirikan multination-state atau nation-state (Fauji,

2005:vii-xiv). Dari seluruh negara di dunia hanya 10% sampai 15%

negara yang benar-benar bisa dikategorikan memiliki etnis yang

homogen, sisanya memiliki keragaman kultural dan diversitas etnisnya

(Vayrinen, 1994; dan Connor, 1994 dalam Budiman, 1997). Kondisi

yang sama dinyatakan oleh Osawa (1997:126) bahwa kurang lebih 90%

negara-negara di dunia yang dikategorikan sebagai multination-state,

Page 12: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

28

50% di antaranya memiliki satu atau lebih kelompok rakyat yang

berlandaskan pada kepentingan identitas

Di Indonesia sendiri persoalan konflik mempunyai sejarah

panjang dan beragam. Dimulai dari berbagai perang antar suku untuk

memperebutkan wilayah kekuasaan (territoriality), dominasi,

sexualitas, dan kelangsungan hidup (survival). Lane (2007;1-2)

mencatat ada tiga ratus kelompok etnik di Indonesia yang memiliki

perbedaan dalam budaya maupun kepercayaan keagamaan. Konflik ini

bisa terjadi karena sistem pemerintahan terbentang dari pemerintahan

tradisional kesukuan hingga kerajaan ditopang dengan sistem

kekerabatan masyarakatnya termasuk matrilineal, patrineal, dan pola-

pola bilateral. Pada masa kolonial Belanda, kondisi ini dimanfaatkan

untuk menjalankan kebijakan politik “adu-domba” untuk memecah

belah masyarakat agar dapat menguasai wilayah jajahannya.

Meskipun telah memperoleh kemerdekaan sebagai suatu bangsa,

namun kehidupan rakyat Indonesia yang masih berbentuk komunitas-

komunitas tinggal di daerah pedalaman yang terisolasi hingga kota

besar modern. Ketika ketimpangan antar daerah terjadi karena

perbedaan dalam penerapan kebijakan pembangunan, maka identitas

komunitas dan atau kedaerahan (etnik, budaya dan kepercayaan

keagamaan) akan menjadi simbol untuk melakukan pemberontakan

terhadap kekuasaan negara (Achmad, 2001). Dalam pandangan ini,

konflik dilihat sebagai hasil sosialisasi dan kondisioning (rekayasa), dari

suatu fenomena organisasi manusia, perencanaan, dan pemrosesan

informasi bermain-main dengan potensi-potensi emosional dan

motivasional. Misalnya Suprayitno (2001:1-7) mencatat bahwa pada

periode tahun 1947-1950, telah terjadi pemberontakan terhadap negara

yang dimotori oleh tokoh-tokoh masyarakat (dari golongan penduduk

asli, masyarakat Cina dan tokoh Republik yang menjadi korban

revolusi sosial tahun 1946 di Sumatera Timur (Kahin, 1980:428-431).

Pemberontakan ini terjadi karena setelah kemerdekaan negara

mengambil alih seluruh kekuasaan ekonomi dan politik yang dikuasai

para aktor dari masyarakat.

Page 13: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya

29

Pemberontakan yang sama juga terjadi di Sulawesi melalui

Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA); Maluku terkenal dengan

Republik Maluku Selatan (RMS); Papua dengan Organisasi Papua

Merdeka (OPM); dan di Aceh dengan Gerakan Aceh Merdekanya

(GAM) serta di Jawa Barat dengan gerakan NII untuk membentuk

Negara Islam Indonesia. Inti dari pemberontakan adalah para aktor di

daerah menggunakan isu mensejahterakan masyarakatnya juga ingin

menjadi orang nomor satu di “rumahnya sendiri”.

Pemberontakan kemudian dapat diredam pada masa kekuasaan

Orde Baru (1965-1998) yang terkenal dengan sistem pemerintahan

yang sangat represif-otoritarian dengan menggunakan teror yang

sangat menakutkan serta melakukan penyeragaman budaya secara

nasional membuat tradisi dan budaya lokal yang dapat menjadi simbol

pemersatu di berbagai daerah tidak lagi dapat berkembang. Baswesdan

(2007:x-xi) menyebut masa otoritarian sebagai masa konflik politik

atau masa revolusi di mana penduduk tidak diberi peluang untuk

mengartikulasikan dan menegosiasikan kepentingannya secara bebas.

Sistem ini juga menjalankan pemerintahan dengan sistem sentralistik

dengan melakukan tindakan-tindakan yang represif (Wardaya,

2007;17-51). Teror-teror yang menakutkan dengan melakukan

penangkapan, pembuangan, pembunuhan dan hukuman penjara tanpa

proses peradilan secara transparan juga digunakan oleh Orde Baru

(Pitaloka, 2004:1-2). Penguasa Orde Baru juga melakukan penindasan

terhadap organisasi yang tidak mendukung pemerintah guna

mengakhiri politik mobilisasi terbuka serta penghancuran psikologi

melalui gerakan demoralisasi (Lane, 2007:40-41). Daerah-daerah yang

bergejolak dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), dan

kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan disebut sebagai

Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) serta tokoh-tokohnya dicap

sebagai separatisme. Meskipun demikian tidak lantas nasionalisme

kedaerahan hilang begitu saja.

Bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan alam dan

dieksploitasi secara terus menerus oleh negara demi kepentingan

pembangunan, nasionalisme kedaerahan justru semakin berkembang.

Page 14: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

30

Pasalnya, rakyat di daerah ini umumnya mempunyai standar hidup

yang rendah, kemiskinan yang tinggi, tingkat anak balita gizi buruk

juga tinggi, serta rendahnya layanan kesehatan dari pada daerah-

daerah yang tidak memiliki sumber daya alam. Ross (2001;7)

menyebutkan bahwa negara-negara yang bergantung kepada sumber

daya alam terutama di sektor hutan dan tambang umumnya berstandar

hidup rendah, kemiskinan tinggi, skala korupsinya masif, tingkat anak

balita gizi buruk tinggi, rendahnya layanan dana kesehatan, rentan

geger ekonomi, dan kerap dilanda perang sipil. Kondisi ini pada titik

tertentu menjadi ”geger ekonomi” yang kemudian menjadi penyebab

pemberontakan terjadi seperti di Aceh di bawah bendara kelompok

GAM.

Menjelang runtuhnya kekuasaan Orde Baru (1997) dengan

munculnya berbagai aksi demontrasi mahasiswa, maka ruang politik

dan proses demokratisasi mulai terbuka. Meskipun demikian patut

dicatat bahwa pemerintah Orde Baru telah mencatat prestasi dalam hal

keberhasilannya dalam pembangunan, tetapi kekuasaan yang

dijalankan justru membunuh aspirasi politik warganya selama

bertahun-tahun sebagai pendorong utama runtuhnya kekuasaan Orde

baru (Affandi, 2004:64-166; dan Klinken, 2007). Pemberontakan rakyat

yang dahulu tersembunyi di bawah selimut “demokratisasi” sebagai

ideologi modern dan sekuler kembali tampil di permukaan. Para aktor

yang terorganisir dan memiliki simbol kultural kedaerahan kembali

tampil di panggung politik meskipun harus menghadapi berbagai

konflik horizontal yang memakan korban agar dapat mengambil-alih

kembali kekuasaan yang pernah dimiliki oleh daerah baik secara

ekonomi maupun politik (Emerson, 2001). Kondisi ini pernah

menjadikan Indonesia dikategorikan sebagai negara „gagal‟ (failed state)

atau negara berantakan (Nordhot dan Klinken, 2007:1-3) karena tidak

lagi dapat menjamin kehendak bersama (general will). Rujukan

indikator konsep gagal negara seperti yang ditunjukkan kondisi-

kondisi akhir runtuhnya kekuasaan Orde Baru: (1) kekacauan politik

terjadi secara terus-menerus sehingga terjadi fragmentasi aktor politik

yang menimbulkan ketidakmampuan satu negara untuk mengatasi

konfliknya sehingga mengundang intervensi pihak asing; dan (2)

Page 15: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya

31

terjadinya proses pemiskinan sistematis karena negara tidak memiliki

kemampuan untuk menyediakan pelayanan publik (Wardhani, 2006).

Memasuki masa transisi peralihan kekuasaan dari era Orde Baru

ke era Reformasi, muncul polemik mempertanyakan kembali identitas

negara bangsa (nation-state). Kusni (2009) misalnya menginginkan

negara berbentuk tribal state (negara-suku atau negara etnik) seperti

yang berkembang di Irlandia Utara, Israel, India, Balkan, dan Sarejevo

sebagai identitas baru yang lebih sempit menggantikan konsep nation-state. Konsep negara ini sulit untuk diterima karena tidak

mencantumkan latar belakang teori dalam tulisannya dan nampaknya

dipengaruhi oleh pemikiran tentang konflik etnis yang memiliki tujuan

untuk menguasai suatu negara, dan pembebasan dari penguasaan oleh

kelompok-kelompok lainnya atau pemaknaan lain agar mereka dapat

menguasai negara itu sendiri sehingga dapat menjamin terpenuhinya

kebutuhan etnis-nya, dengan cara merugikan atau merusak kelompok-

kelompok pesaingnya (Horowitz, 1985).

Menanggapi berbagai polemik, para elit politik di Jakarta mencari

jalan tengah agar konsep nation-state tetap dipertahankan dengan dua

opsi (Suara Pembaharuan, 6 Desember 1999) ; (1) pemberian otonomi

seluas-luasnya kepada daerah; atau (2) memberlakukan kembali konsep

Negara Federal. Namun setelah Habibie mengambil alih kekuasaan,

opsi yang dipilih adalah otonomi daerah dengan mengeluarkan Undang

Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 yanag kemudian mengalami

perubahan menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan terakhir menjadi UU

No. 23 Tahun 2014. Pertanyaannya apakah dengan dikeluarkan UU ini

dapat mengurangi bahkan dapat meredam berbagai konflik yang terus

berkembang di di berbagai.

Otonomi daerah yang dijalankan sejak awal tahun 2001 dalam

salah satu tujuannya adalah mengupayakan terjadinya pemerataan dan

keadilan pembangunan dengan memberikan kepada daerah kebebasan

mengatur dan menjalankan strategi pembangunannya sendiri. Namun

dalam perjalanannya aspirasi rasa ketidakpuasan dan ketidakadilan

(aspiration of inequality) masih saja menjadi persoalan menyangkut

Page 16: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

32

hak hidup serta hak untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagian

hidup (Kompas 02 Januari 2007).

Persoalan ini menunjukkan bahwa otonomi daerah yang

dijalankan masih “setengah hati” mengingat keuntungan dari kekayaan

yang dimiliki daerah yang seharusnya porsi terbesar diserahkan kepada

daerah ternyata masih saja dikuasai oleh pusat dan umumnya

terkonsentrasi bagi kepentingan elit-elit politik dan para pengusaha

yang dekat dengan para elit politik (McCarthy, 2007:189-195).

Dampaknya adalah muncullah gerakan perlawanan rakyat berkaitan

dengan penguasaan dan/atau pemilikan terhadap kekayaaan sumber

daya alam dikarenakan negara tidak memberikan kepastian atas hak

kepada rakyat yang selama ini telah menguasai dan memanfaatkan

kekayaan tersebut (Kartodihardjo dan Jhmantani, 2006;10-11). Hal ini

terjadi karena mengiringi pembangunan juga terjadi pemindahan

penduduk (transmigrasi dan migrasi) dan penaklukan yang tidak

sepenuhnya (incomplete conquest) juga menimbulkan munculnya

berbagai jenis keluhan sejarah (histories) yang tak kunjung hilang.

Sekelompok pribumi yang dijajah dan terpaksa membiarkan masuknya

etnis asing untuk tujuan-tujuan ekonomi penjajah, belakangan

mungkin menganggap keberadaannya dianggap tidak sah

Selain itu, dengan dilaksanakannya otonomi daerah juga

memunculkan persoalan ”raja-raja kecil” di mana para elit politik lokal

bekerjasama dengan para elit di pusat menjadi pengusaha untuk

mengobral dan menguras habis kekayaan daerah dengan alasan

mendorong laju investasi ke daerah. Kondisi ini oleh Evans (1995)

merupakan ciri khas dari negara-negara berkembang dengan

membentuk integrasi vertikal. Hubungan-hubungan timbal-balik

antara para pejabat tingkat kabupaten dan lembaga-lembaga hukum,

para wiraswasta, pialang dan orang-orang kuat pada akhirnya

membentuk sistem akses dan kontrol sumber yang terdesentralisasi.

Namun sayangnya pengurasan ini bukan untuk peningkatan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna melakukan transformasi sosial

tetapi terus mengucilkan posisi penduduk asli dari pembagian

kekuasaan (a share of power) dan seringkali pengembaliannya dengan

Page 17: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya

33

melakukan pengusiran atau pembasmian pada status qua ante (sebelum

status qua) yang diperlukan dengan mengatasnamakan pembangunan.

Pelaksanaan otonomi daerah juga menjadi penyebab terjadinya

erosi norma-norma yang selama ini telah dianut oleh masyarakat

sebagai modal sosial. Salah satu penyebabnya elit politik lokal lebih

memilih mengarahkan kekayaan daerah pada kepentingan ”politik

praktis” agar dapat terus berkuasa dari pada mengalokasinya untuk

kepentingan masyarakat. Hasil Simposium Indonesia Timur dan

Tengah (Menado, 27-29 Januari 2009) mendesak pemerintah untuk

menertibkan berbagai bentuk kegiatan terutama investasi ke wilayah

Timur dan Tengah Indonesia yang telah merusak lingkungan dan

budaya lokal serta menurunkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu

ada banyak produk hukum dan perundangan serta berbagai kebijakan

pembangunan yang secara nyata semakin meminggirkan, menghalangi,

bahkan menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat. Bahkan lebih dari

itu, tatanan kehidupan sosial yang beragam, struktur dan sistem

tradisional serta dunia spritual religius lokal eksistensi telah berubah.

Diperparah oleh adanya lembaga formal modern yang dipaksakan dari

luar untuk menjadi acuan. Di pihak lain karena pemerintah daerah

belum memiliki kemampuan dalam hal permodalan, ketrampilan atau

teknologi, serta akses terhadap informasi, memberikan peluang bagi

para elit politik lokal memasukkan para investor dan memposisikan

rakyat hanya sebagai penerima manfaat bukan sebagai penguasa

terhadap kekayaan tersebut.

Kelembagaan politik yang seharusnya menunjukkan komitmen

sebagai artikulator kehendak rakyat guna menyalurkan aspirasi

ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan yang dihadapi ternyata

masyarakat belum memiliki passion, feeling of responsibility, dan sense of propotion (Wiloso, 2010). Hasil jajak pendapat LSI (September 2009)

menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan rakyat untuk menyalurkan

aspirasinya lebih didominasi kepada media massa (55,5%), dari pada ke

DPR (45%), birokrat (40,3%), dan Partai Politik (36,3%). Fungsi-

fungsinya yang seharusnya diperjuangkan kelembagaan politik adalah

aspirasi rakyat dinilai masih rendah atau 47,1% dibandingkan dengan

Page 18: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

34

fungsi lainnya; pengawasan (57,7%), memberi masukan ke pemerintah

(58,6%), membuat UU (57,2%), dan membuat anggaran (55,8%).

Kondisi ini berkembang karena ada tembok pembatas yang begitu tebal

membatasi kehidupan sosial dan ekonomi kelompok elit dengan

rakyatnya (Wertheim, 2009).

Di samping itu, para aktor politik juga mengetahui kegelisahan

yang dirasakan oleh rakyat, tetapi akses untuk menangguk keuntungan

dari sumber-sumber daya alam (Ribot, 1998 dalam McCarthy,

2007:194) yang mereka miliki justru lebih dimanfaatkan untuk

kepentingan mereka sendiri terpisah dari kepentingan rakyat. Para

aktor ini kemudian berjuang untuk menarik keuntungan dari

pemanfaatan sumber-sumber daya yang dimiliki dengan

memanfaatkan faktor-faktor yang mempengaruhi proses mendapatkan

akses ke sumber-sumber (McCarthy, 2007:194). Faktor-faktor yang

dimaksud adalah; kerangka-kerangka legal, kekuasaan institusional,

keanggotaan kelompok, identitas etnis atau sosial, status sosial,

dinamika dalam suatu kelompok pengendali sumber, akses ke negara,

modal, sumber-sumber material, otoritas adat, pasar-pasar,

pengetahuan dan kemampuan memanfaatkan mekanisme-mekanisme

institusional.

Fenomena seperti ini oleh Huntington (1996) diterangkan sebagai

berikut: (…) it was in large part of the product of social change and rapid mobilization of new group into politics coupled with the slow development of political institutions. (…) The rates of social mobilization and the expansion of political participation are high; the rates of political organization and institutionalization are low. The result is political instability and disorder. The primary problem of politics is the lag in development of political institutions behind social and economic change. Dampaknya muncul berbagai gerakan

perlawanan di berbagai daerah untuk mempertanyakan posisi negara

serta para elit politik yang menentukan dan menjalankan kebijakan

negara. Disamping negara dan elit politik, gerakan perlawanan juga

ditujukan kepada aktor neoliberal dalam menjalankan kepentingannya,

Page 19: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya

35

semuanya dilakukan dengan tujuan pemupukan profil dengan

mengibiri negara sebagai pelindung rakyat.

Gerakan Sosial

Secara teoritik, konsep gerakan perlawanan rakyat dapat dipahami

sebagai gerakan sosial karena sama-sama menjadikan tindakan atau aksi

kolektif beserta tujuan-tujuan atau klaim-klaim agar dapat

mengarahkan sebuah proses perubahan tatanan sosial. Hal ini sesuai

dengan pendapat Auda (dalam Haynes, 2000), yang menyatakan bahwa

gerakan sosial pada dasarnya selalu menantang status quo, anti sistem,

menyerukan dan memadukan tuntutan akan perubahan tatanan sosial,

politik dan/atau ekonomi. Karenanya menurut Escobar dan Alvarez

(Haynes, 2000), gerakan sosial dicirikan sebagai upaya untuk

menandingi dasar politis dari negara dan gerakan ini tidak tumbuh

dalam isolasi dari pelaku sosial dan politik lain tetapi merupakan

pelaku kolektif terorganisir yang terlibat dalam perjuangan politik atau

kultural yang berkelanjutan melalui jalan lain ke arah bentuk aksi yang

institusional dan ekstra-institusional.

Mengacu van Klinken (2007:11) bahwa definisi gerakan sosial yang

paling komprehensif adalah dari The Blackwell Companion to Sosial Movements di mana gerakan sosial dipahami sebagai: “...kolektivitas-

kolektivitas yang dengan organisasi dan kontinuitas tertentu bertindak

di luar saluran-saluran institusional atau organisasional dengan tujuan

menggugat atau mempertahankan otoritas, entah yang didasarkan

secara institusional atau kultural dan berlaku dalam kelompok,

organisasi, masyarakat, kebudayaan atau tatanan dunia di mana mereka

merupakan salah satu bagiannya.”

Meskipun definisi gerakan sosial dari The Blackwell Companion to Sosial Movements lebih komprehensif, tetapi ada hal yang perlu

ditambahkan terkait dengan jaringan antara kelompok-kelompok lokal

tertentu yang oleh Young (1996) perlu mendapatkan perhatian.

Kelompok-kelompok ini pada dasarnya tidak terkait dengan gerakan

massa dari suatu partai politik atau suatu perserikatan, serta memiliki

Page 20: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

36

prinsip dan cara tersendiri dalam melakukan aksi-aksi protes. Hal ini

didukung oleh Rosenthal, Fingrutd, dkk (1985), yang melihat bahwa

setiap gerakan sosial harus memiliki hubungan khusus dengan

organisasi gerakan sosial lain yang memiliki misi sama atau serupa. Ia

melihat gerakan sosial yang terjadi di pusat lebih ideologis daripada

gerakan di tingkat lokal. Sementara itu, Molyneux (1998) dalam

karyanya Analysing Women‟s Movements menyebutkan bahwa

gerakan sosial itu dilakukan untuk meraih tujuan bersama. Gerakan

sosial cenderung memerlukan dukungan jaringan melalui mobilisasi

personal maupun mobilisasi kognitif (Keun, 2000).

Atas dasar pemahaman di atas, secara konseptualisasi gerakan sosial

paling tidak dicirikan oleh; adanya tindakan kolektif atau gabungan;

tujuan-tujuan atau klaim-klaim lebih berorientasi pada perubahan;

melakukan sesuatu tindakan kolektif yang bersifat ekstra-institusional

atau non institusional; organisasi sampai tingkat tertentu (relasi);

keberlanjutan dalam hal waktu sampai tingkat tertentu; dan

membangun jaringan antar aktor baik lokal, regional, nasional dan

global. Dengan kata lain studi-studi tentang gerakan sosial tentunya

merupakan satu bagian terbesar dan paling luas untuk dipahami dalam

disiplin ilmu sosiologi.

Dalam khasanah teori gerakan sosial, ada banyak perspektif yang

dapat digunakan. Misalnya Tarrow (1998;14-18) mengusulkan ada

empat perspektif atau pendekatan dalam memahami gerakan sosial,

yakni; perspektif perilaku kolektif (collective behavior), mobilisasi

sumber daya (resource mobilization), proses politik (political process) dan gerakan sosial baru (new social movements). Berbeda dengan

Tarrow, McAdam (1999;2) melihat ada tiga faktor utama dalam

menganalisis kemunculan dan perkembangan gerakan sosial, yakni;

mobilisasi sumberdaya (resource mobilization), peluang politik

(political opportunities) dan proses pembingkaian (framming process).

Selain perspektif, ada banyak pula pendekatan yang dapat

digunakan terkait dengan bangkitnya organisasi gerakan sosial yang

lebih spesifik pada titik-titik tertentu dalam sejarah. Seperti

pendekatan yang melihat pada tren dan peristiwa tingkat makro dalam

Page 21: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya

37

upaya untuk menghubungkan berbagai macam demografis dalam skala

besar, transformasi ekonomi dan politik terhadap munculnya secara

regional, nasional, dan bahkan global dari sebuah gerakan sosial.

Keragaman pendekatan juga digunakan untuk mempelajari berbagai

bentuk tindakan kolektif yang juga sangat bervariasi. Misalnya analisis

terhadap penggunaan teknologi media dan dampaknya terhadap para

aktor gerakan sosial, pendekatan lain menggunakan dampak dari

kemiskinan dan kelas sosial pada kemunculan gerakan sosial. Terdapat

lagi pendekatan terutama dari kelompok ilmuan kontemporer yang

mengeksplorasi faktor identitas dan munculnya rangkaian baru dari

kepentingan bersama yang menyatukan masyarakat yang berbeda

melintasi jarak fisik yang besar dan dari berbagai budaya dan sistem

politik (Haryanto dkk, 2013:187-188).

Selanjutnya bagi Young (1996) penting menempatkan aktor

gerakan sosial dengan berbagai pertimbangan keikut-sertaannya, di

antaranya; pertama, pada keseluruhan isu, para aktor tidak didasarkan

pada hak kewarganegaraan maupun pelebaran dasar ekonomi. Isu

mereka lebih secara rinci pada persoalan sosial untuk menentukan

nasib sendiri atas perbedaan tanggung jawab dan pluralisme budaya di

dalam gaya hidup, sebagai cerminan atas kekuasaan di dalam interaksi,

keikutsertaan di dalam kegiatan sosial dan ekonomi, dan dalam

institusi politis. Kedua, format organisasi dari gerakan ini tidak

menyerupai gerakan massa yang membentuk partai politik atau

perserikatan, untuk mempersatukan birokrasi memperoleh kekuasaan

dengan mengerahkan sumber daya. Gerakan sosial ini cenderung

menggunakan jaringan dari kelompok lokal, masing-masing dengan

gaya dan kebijakan mereka sendiri, meskipun demikian bertindak di

dalam persetujuan bersama dalam beberapa aksi protesnya.

Pertimbangan muncul dari Cohen (dalam Haynes, 2000) terkait

dengan pentingnya tema tantangan terhadap status quo. Menurut

Cohen, gerakan sosial berupaya membangun identitas sosial,

menciptakan ruang demokrasi bagi aksi sosial yang otonom dan

menafsirkan kembali norma dan membentuk ulang lembaga-lembaga.

Dengan kata lain, gerakan sosial harus dipandang sebagai reaksi

Page 22: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

38

terhadap manifestasi modernisasi kultural, teknologis, dan institusional

yang berupaya untuk mendominasi pandangan sosial politik baru di

sebagian besar dunia. Ringkasnya bahwa gerakan sosial berupaya untuk

mengerahkan bagian-bagian dan kelompok-kelompok yang tertindas

dengan menggunakan berbagai isu, seperti pelanggaran HAM dan lain

sebagainya.

Larana (1994) selanjutnya merangkum pemahaman dengan

mengindentifikasi ciri-ciri gerakan sosial; (1) menstransendensikan

struktur kelas, (2) memperhatikan kemajemukan gagasan dan nilai-

nilai, (3) memfokuskan pada isu-isu budaya dan simbolik yang lebih

terkait dengan identitas daripada ekonomi, (4) hubungan antara

individu dan ekonomi kabur, (5) melibatkan segi-segi pribadi dan

keakraban kehidupan manusiawi, (6) mengandalkan semangat anti-

kekerasan dan pembangkangan sipil, (7) berkaitan dengan adanya krisis

kredibilitas dan ruang partisipasi, dan (8) cenderung tersegmentasi,

Ciri-ciri ini hampir mirip dengan Epstein (1991) dan Fakih (2002),

Menurut Epstein maupun Fakih, ada gejala baru dalam analisa gerakan

sosial dan perubahan dari analisis perjuangan kelas menuju ke analisis

yang didasarkan pada non-kelas. Epstein mencatat bahwa gejala ini

menunjukkan lemahnya kepentingan dan terbatasnya ruang lingkup

kepentingan aksi.

Dilihat dari perkembangan, maka analisis gerakan sosial pada era

tahun 1970-an dan 1980-an tidak lagi menekankan ke arah perjuangan

kelas (Marxis tradisional) dan cenderung memisahkan diri dari

perjuangan kelas, seiring munculnya berbagai gerakan, seperti: gerakan

spritualitas, gerakan feminisme, gerakan hak asasi manusia dan hak

sipil, gerakan anti perang dan anti-nuklir, gerakan sosial berbasis

komunitas dan gerakan pencinta lingkungan (enviromentalist) serta

gerakan LSM, maupun gerakan sosial lainnya. Kerangka kerja gerakan

kemudian berkaitan dengan kelompok atau kepentingan sosial lain

sambil melekatkan proses kemasyarakatan yang lebih luas. Hal ini

senada dengan pengamatan Escobar dan Alvarez tentang gerakan sosial

di negara-negara Dunia Ketiga kontemporer, seperti yang dikutip

Fakih di mana gerakan itu mulai beralih dari perjuangan kelas ekonomi

Page 23: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya

39

yang terbatas ke gerakan transformasi sosial yang lebih luas, sehingga

menciptakan pendekaan baru dalam menganalisa gerakan sosial.

Teori-teori baru tentang gerakan sosial melihat gerakan sosial

sebagai usaha untuk menghasilkan transformasi mendasar dalam

hakikat praktik politik maupun teori tentang gerakan sosial itu sendiri.

Salah satu ciri gerakan sosial yang ditemukan adalah penolakan atas

analisis sosial yang didasarkan pada pembagian ruang politik menjadi

dua kubu yang saling bertentangan (konsep Marx tentang borjuis dan

proletar). Keberagaman aktor sosial memapankan kehadiran ruang

otonomi mereka dalam lingkungan sosial dan politik yang

terfragmentasi. Analisis dampak gerakan sosial ditempatkan dalam

konteks proses demokrasi yang sangat luas, yang juga sebagai proses

transformasi sosial atas aspek-aspek budaya, sosial, ekonomi, dan

politik maupun aspek kehidupan lainnya. Tentunya ada banyak faktor

yang menjadi penyebab munculnya dan berkembangnya teori tentang

gerakan sosial terutama dimasukkannya faktor budaya, seperti yang

disampaikan McAdam (1999).

Terkait dengan faktor budaya selalu berhubungan dengan; (1)

simbol-simbol budaya bisa mendorong partisipasi seseorang atau

kelompok masyarakat untuk memiliki perasaan yang sama; (2) dengan

menumbuhkembangkan budaya, maka akan terbentuk semacam

stimulus bagi kelompok masyarakat untuk melakukan suatu gerakan;

dan (3) organisasi dan jaringannya akan menyebabkan tumbuhnya

budaya gerakan untuk terus berlanjut. Dengan kata lain, apa yang

dilakukan oleh aktor-aktor gerakan sosial tidak terlepas dari upaya

mereka untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh melalui aspek

budaya. Simbol-simbol budaya yang dimaksud dapat berbentuk tanah,

agama, dan bahasa yang menyebabkan kelompok masyarakat berjuang

yang akibatnya timbul ketidakcocokan antara satu kelompok dengan

kelompok lainnya. Simbol-simbol itu juga menjadi penghubung

identitas individual dan kolektif untuk membedakan diri dengan

kelompok lain dan sebagai wadah bagi terbentuknya aksi dan motif

dari suatu kelompok masyarakat. Simbol budaya juga dapat menjadi

sumber terbentuknya organisasi untuk mencapai tujuan yang tidak bisa

Page 24: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

40

dilakukan secara langsung. Budaya menjadi fokus pertentangan utama

suatu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya dalam

memperjuangkan identitas mereka.

Bahwa dalam perkembangannya, gerakan sosial di dunia ketiga

terus mengalami perubahan seiring dengan terjadinya pergeseran

konfigurasi kekuasaan yang tadinya kukuh mempertahankan isu

kepentingan bergeser menjadi isu identitas dalam bentuk regionalisme

dan etnisitas (Fauzi, 2005:6-10). Mengikuti gelombang perubahan

tersebut dapat menggunakan klasifikasi dari Mirsel (2004:21-105);

periode pertama, berlangsung dari tahun 1940-an hingga 1960-an

disebut periode klasik atau periode tradisional di mana pusat perhatian

gerakan sosial adalah pada aspek irasional dengan merujuk pada

beberapa kasus sosial, di antaranya; gerakan antidemokrasi dan represif

serta militerisasi persaingan dan konflik antara tiga negara penggerak

perang dunia II (Amerika Serikat, Uni Soiviet dan Jepang) (McAdam,

1999; Mayer, 1991; McCarthy&Zald, 2004; dan Jenkins, 1982).

Pada periode kedua berawal dari tahun 1960-an dan masih

bertahan sampai sesudah tahun 1970-an. Periode kedua penekanan

lebih pada aspek tindakan rasional di dalam pemaksaan yang besifat

struktural. Gagasan periode kedua didasarkan pada perkembangan

berbagai paradigma baru seperti; teori-teori pilihan rasional (rational choice models) dan studi-studi tentang perilaku organisatoris di dalam

ilmu-ilmu sosial. Kasus-kasus sosial yang diacu pada periode ini terkait

dengan munculnya gerakan perjuangan hak sipil; gerakan-gerakan

pembebasan nasional dan dekolonisasi; gerakan-gerakan kaum

perempuan (womens movements) dan gerakan-gerakan lingkungan

hidup.

Selanjutnya, ada dua tema besar yang menjadi perhatian pada

periode ini, yaitu; munculnya ketegangan struktural (structural strain),

dan penggalangan sumber daya (resource mobilization). Terkait

dengan ketegangan struktural yang paling menarik adalah teori yang

dikembangkan oleh Gurr (1970) yang menyatakan bahwa kemarahan

dan frustasi sebagai gerak emosional yang disebabkan oleh ketegangan

sosial pada level makro dan bertolak dari asumsi ini dikembangkan

Page 25: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya

41

pengukuran-pengukuran kuantitatif bagi hal-hal yang berhubungan

dengan alasan lahirnya ketegangan dan pemberontakan dalam

masyarakat. Terkait dengan ketegangan struktural juga dapat dikaitkan

dengan Smelser (1970) dengan teori nilai-tambah enam-tahap (six-stage value-added theory) atau yang dikenal juga teori jawaban agen-

agen kontrol sosial di mana ketegangan struktural sebagai faktor

penjelas dengan keyakinan-keyakinan yang tergeneralisasi (generalized beliefs), kepemimpinan dan komunikasi serta insiden-insiden pemicu

(precipitating incidents). Faktor struktural lain yang penting adalah

dukungan struktural (structural conduciveness).

Teori di atas mendapat kritik karena dinilai ambiguitas mengenai

ketegangan struktural dalam sistem keyakinan para pelaku gerakan

yang tidak mesti cocok dengan karekteristik suatu masyarakat saat itu.

Untuk melengkapinya perlu memadu-satukan antara dimensi-dimensi

ekonomis, ruang dan kulturalnya sebagai pendorong munculnya

gerakan sosial dengan memperhatikan peralihan dari ekonomi agraris

kepada ekonomi industri seiring terjadinya urbanisasi di Amerika

Serikat (Gusfield, 1963). Kritik ini kemudian memunculkan teori

mobilisasi sumber daya (resource mobilization theory) pada tahun

1960-an dengan tidak lagi mempersoalkan ketegangan struktural tetapi

memfokuskan pada tindakan-tindakan yang dilakukan para aktor yang

umumnya rasional untuk mencapai tujuan organisasi, seperti yang

dipikirkan oleh Weber.

Pergeseran pada periode ketiga ditandai dengan berkembangnya

tren-tren ekonomi dan politik yang baru menandai perlunya

melakukan pemberontakan besar-besaran terhadap paradigma

mobilisasi sumber daya alam serta paradigma-pradigma Marxis.

Kelompok-kelompok yang tadinya solid dalam mendukung gerakan-

gerakan kemasyarakatan terpecah-pecah ke dalam kelompok-

kelompok etnis ketimbang kelas sosial yang kemudian disebut sebagai

gerakan tandingan. Muncul gerakan tandingan ini mengakhiri bentuk-

bentuk aksi protes yang lebih disiplin dan terorganisir.

Di aras global, negara-negara yang terbentuk lewat gerakan-

gerakan kemerdekaan dengan orientasi nasionalis atau sosialis seperti

Page 26: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

42

yang terjadi di negara-negara dunia ketiga tertua (negara-negara

Amerika Latin) memasuki fase yang sulit dalam membangun

perekonomiannya (Lowy, 2003). Di dalam batas-batas laju

pertumbuhan yang begitu lamban dan berlanjutnya ketergantungan

pada sistem ekonomi kapitalis menyebabkan negara-negara ini menjadi

semakin represif supaya menjaga dan mengkonsolidasi apa yang di

dalam kepemimpinan disebut lembaga-lembaga inti.

Mendasarkan pemahaman tersebut di atas, maka gerakan sosial

dapat dipahami sebagai penggabungan aneka bentuk, strategi, dan

taktik organisasi secara sengaja dan sadar dengan tujuan-tujuan yang

ingin dicapai. Organisasi kemudian ditempatkan sebagai faktor penting

dari keberhasilan gerakan dengan menekankan perbedaan kontribusi

antara para penganut (anggota tetap dan peserta), konstituensi (sumber

dari sumber-sumber daya), dan para pencari keuntungan (beneficiaries) untuk membentuk bagian dari strategi dan taktik organisasi.

Kaitan dengan strategi dan taktik organisasi gerakan, Gamson

(1975) mengemukakan bahwa keberhasilan organisasi gerakan terkait

erat dengan tujuan-tujuan jangka pendek, struktur birokrasi, dan

metode mengganggu terus-menerus (disruptive methods) yang

digunakan. Peranan kaum professional atau intelektual kemudian

memainkan menjadi penting terutama keahlian teknisnya dalam

mengelola sumber-sumber daya, merencanakan strategi, menghimpun

dana, melakukan tekanan (pressure) terhadap kelompok elit, dan

mengadakan kontak dengan media massa dan terpusat pada otoritas

internal organisasi.

Selanjutnya Sujatmoko (2006) dengan mengacu pada gejala

perkembangan gerakan sosial membaginya menjadi 2 (dua) kategori,

yaitu: Old Social Movement yang kemudian berkembang menjadi New Social Movement. Kategorikan yang sama juga dinyatakan Mirsel

(2004:18-19) dengan menambah satu periode yang dinamakan dengan

periode dekonstuksi. Periode keempat ini dimunculkan mengiringi

terjadi gerakan-gerakan seperti: ultra-nasionalis di wilayah-wilayah

bekas Uni Soviet, sayap kanan baru, kebangkitan kembali Nazisme dan

etnosentrisme, gerakan fundamentalis baik di kalangan Kristen, Hindu

Page 27: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya

43

dan Islam, politik identitas dan politik rasial di Amerika Serikat, dan

kondisi negara-negara sosialis Dunia Ketiga yang memprihatinkan

melahirkan penilaian-penilaian yang lebih negatif terhadap berbagai

gerakan sosial. Periode keempat cenderung menjadi gerakan

chauvinistis, dalam sebuah masyarakat yang miskin, tidak adil dan

berpemerintahan yang buruk (Van Klinken, 2007:228).

Sebelum menjelaskan lebih lanjut, terlebih dahulu akan

dipaparkan pendekatan dari gerakan sosial baru atau dIsingkat dengan

GSB terutama yang dikemukakan oleh para ilmuan kontemporer.

Gerakan sosial baru dipahami berbeda dengan gerakan sosial lama

(klasik) yang melibatkan wacana ideologis yang lebih meneriakkan anti

kapitalisme, revolusi kelas dan perjuangan kelas. Karekteristik GSB

sifatnya plural, di antaranya seputar isu yang berhubungan dengan anti

rasisme, anti nuklir, perlucutan senjata, feminisme, lingkungan hidup,

kebebasan sipil sampai pada isu-isu Perdamaian (Singh, 2007: 122).

Dalam konteks penulisan ini lebih melihat dengan perspektif GSB

berangkat dari asumsinya bahwa dalam kasus yang terjadi di

Kalimantan Tengah, walaupun ditemukan adanya ketegangan yang

sifatnya strukturalis antara pemerintah dan masyarakat, tetapi ide dasar

gerakan berdasarkan isu seputar lingkungan dan etnisitas. Mobilisasi

yang dilakukan berbagai Organisasi Non-Pemerintah (NGO) adalah

menciptakan berbagai bentuk perlawanan terhadap kehadirannya para

investor yang kemudian menjadi dasar penggunaan konsepsi GSB.

Mengacu kepada Singh (2007: 124-134), GSB mempunyai

beberapa ciri yang dapat dikenali antara lain; pertama, GSB menaruh

konsepsi ideologis pada asumsi bahwa masyarakat sipil berada pada

titik nadir; ruang sosialnya mengalami penciutan dikarenakan kontrol

negara yang berlebihan. Selain negara, pasar juga menerobos masuk

kedalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kedua, perjuangan

seperti anti rasisme, gerakan feminis etnisitas, dan lingkungan hidup

bukanlah persoalan perjuangan kelas. Pengelompokan mereka adalah

lintas kelas, sehingga paradigma Marxisme menjadi model yang tidak

cocok. Karenanya kebanyakan GSB didefinisikan sebagai gerakan non

klas dan non materialistik.

Page 28: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

44

Ketiga, GSB umumnya melibatkan politik akar rumput, aksi-aksi

akar rumput yang kerap memprakarsai gerakan mikro. Mereka

melahirkan secara horisontal asosiasi demokratis terorganisir yang

terjalin dalam federasi longgar pada tingkat nasional sebuah negara

maupun dalam tingkat global. GSB secara umum merespon isu seputar

demoralisasi struktur kehidupan sehari-hari dan memusatkan

perhatian pada bentuk-bentuk komunikasi dan identitas kolektif

dibandingkan membidik domain perekonomian dan negara.

Diharapkan untuk menata kembali relasi negara, masyarakat dan pasar

untuk menciptakan ruang publik yang berisi kebebasan individu,

kolektivitas dan identitas selalu bisa didiskusikan dan diawasi.

Keempat, lain halnya dengan teori klasik, struktur GSB didefinisikan

oleh pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak, orientasi oleh heterogenitas

basis sosial mereka.

Sesuai dengan esensinya, maka GSB umumnya bersifat global dan

tidak tersegmentasi. Wilayah aksi, strategi dan cara mobilisasi mereka

transnasional menyeberangi batas-batas bangsa dan masyarakat. Aktor-

aktor yang beroprasi dalam GSB bukan karena kepentingan kelas

mereka tetapi dengan alasan kemanusiaan. Aktor GSB seperti feminis,

ekolog, dan aktivis perdamaian, memiliki pemahaman diri berupa

identitas, tujuan, dan cara-cara berasosiasi mereka ditinjau secara

historis adalah baru.

Secara teoritis mengenai GSB sebagai analisis, maka tulisan ini

meminjam konsep framing. Pendekatan framing dalam gerakan sosial

paling erat terkait dengan karya David Snow, William Gamson dan

Todd Gitlin (McAdam et.al, 2007:12). Menurut Haryanto, dkk (2013),

istilah frame dipinjam dari Erving Goffman yang mengacu pada skema

penafsiran bahwa individu mengadopsi untuk memahami dunia di

sekitar mereka dan menempatkan diri di dalamnya. Menurut Snow

(2004), frame memberikan makna pada peristiwa dan “berfungsi untuk

mengatur pengalaman dan panduan tindakan (kolektif dan

individual).”

Untuk menarik massa, gerakan sosial harus membangun frame

yang sangat mirip dengan frame dari individu-individu yang sedang

Page 29: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya

45

berusaha untuk dimobilisasi. Proses ini disebut “kerangka berpihak”

dan tergantung pada seberapa sukses pemimpin gerakan yang

menjembatani kerangka aksi gerakan mereka sendiri dengan frame

tindakan kolektif dari simpatisan sehingga mereka akan mampu

memobilisasi berbagai individu.

Dalam rangka untuk menjelajahi bagaimana orang bisa

membangun frame tindakan kolektif, Gamson menganalisa kelas

pekerja. Gamson (1975) memeriksa tiga frame tindakan kolektif yang

berbeda yang ia sebut, ketidakadilan, lembaga dan identitas.

Sehubungan dengan frame ketidakadilan, Gamson menemukan bahwa

orang yang bekerja tidak menyederhanakan menerima penggambaran

frame ketidakadilan tanpa terlebih dahulu mereka memproses melalui

kerangka interpretif dan pengalaman mereka. Seperti teori framing

lainnya, Gitlin juga memulai dengan definisi Irving Goffman tentang

frame, tetapi fokusnya pada dampak cara media terhadap frame

gerakan sosial bukannya pembangunan frame individu. Sementara

Gamson menentang gagasan bahwa media memiliki pengaruh langsung

pada individu terhadap frame tindakan kolektif, Gitlin menyatakan

bahwa media massa itu sendiri memainkan peran penting dalam

membentuk persepsi publik, dan gerakan sosial tertentu. Gitlin

menyatakan bahwa media memiliki dampak langsung dan signifikan

terhadap keberhasilan, atau kegagalan, gerakan sosial modern.

Framing (pembingkaian) memusatkan perhatian pada peranan

usaha menguasai ide-ide dan identitas-identitas baru dalam

membentuk gerakan-gerakan sosial. Para organisator gerakan

melakukan mobilisasi dengan jalan melukiskan isu-isu untuk para

calon peserta gerakan dengan cara memberikan makna bagi mereka

(Van Klinken, 2007:14). Framing menurut Todd Gitlin adalah strategi

bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian

rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa

ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik

perhatian khalayak pembaca. Proses itu dilakukan dengan seleksi,

pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas.

Karenanya konsep framing selalu merujuk pada pemberian definisi,

Page 30: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

46

penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk

menekankan dalam kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang

diwacanakan.

Selain itu, konsep kedua yang dipakai dalam tulisan ini adalah

mekanisme relasi (relational mechanisms) yang diambil dalam teori

contentious politics (McAdam et.al: 2004). Secara umum mekanisme

didefinisikan sebagai sebuah kejadian yang mengubah hubungan-

hubungan di antara elemen-elemen tertentu dan cara-cara serupa.

Sebuah contoh sentral tentang mekanisme relasional adalah brokerage (perantara), di mana dua unit sosial dibawa memasuki sesuatu

hubungan dengan satu sama lain oleh unit ketiga (Van Klinken,

2007:17). Mekanisme relasional mengubah hubungan antara orang-

orang, kelompok, dan jaringan interpersonal. Brokerage

menghubungkan dua atau lebih situs sosial yang sebelumnya tidak

terhubung oleh sebuah unit yang menengahi hubungan mereka

dengan satu sama lain dan atau tanpa agen lain. Mekanisme berkaitan

dengan kelompok dan individu satu sama lain yang termobilisasi

selama periode politik perdebatan (contentious politics) sebagai

kelompok baru yang disatukan oleh interaksi yang meningkat dan

situasi ketidakpastian, sehingga menemukan kepentingan bersama

mereka (McAdam et.al, 2004:26).

Contentious politics itu sendiri oleh McAdam, Tilly dan Tarrow

didefinisikan sebagai peristiwa yang terjadi secara episodik atau tiba-

tiba dari pada reguler. Definisi contentious politics yang dimaksud

berdasarkan dua alasan, yaitu: pertama, banyak contoh ketegangan

yang tumbuh di luar dari kebiasaan yang ada; kedua, perubahan dalam

jangka waktu singkat sebuah ketegangan politik dan perubahan sosial

sering muncul dari transgresif yang memiliki kecenderungan lebih

sering memproduksi rezim-rezim yang ada.

Proses pembingkaian dan pemanfaatan kesempatan politik dengan

runtuhnya kekuasaan Orde Baru tentunya membutuhkan ruang untuk

membangun opini dan mengekspresikan secara bebas, tanpa ada

tekanan atau pemaksaan (coersion) kepada siapapun. Oleh Habermas

(1962) dipahami sebagai public sphere atau „ruang sosial‟ yang terbuka,

Page 31: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya

47

dan di dalamnya masyarakat dapat melakukan diskusi secara kritis

terbuka kepada semua orang.

Seperempat abab terakhir ini, ruang publik mengalami

perkembangan pesat mengiringi tumbuhnya ICT (information communication technology). Ruang publik dalam konteks

perkembangan ICT dipahami sebagai „ruang imajiner‟ atau „ruang

maya‟ yang bersifat artifisial, di mana setiap orang melakukan apa saja

yang biasa dilakukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara

yang baru. Hal menarik lainnya dari ruang publik virtual ini adalah;

(1) identitas aktor-aktor sosial tersembunyi di balik tanda; (2) Isu-isu

politik tersebar dengan cepat dan menjangkau penerima yang amat

luas, tanpa dibatasi ruang dan waktu; dan (3) masyarakat kemudian

diarahkan untuk mengembangkan hidupnya melalui jejaring (the network society). Berdasarkan ciri seperti ini, peran ruang publik

virtual kemudian dikaitkan dengan berkembangnya demokrasi politik

seperti yang sedang terjadi di Indonesia (Lim, 2002).

Dalam konteks seperti yang dijelaskan di atas, ruang publik

tentunya tidak hanya dilihat dalam artian ruang publik fisik belaka

karena dipengaruhi juga dengan tumbuhnya ICT yang justru mampu

membuka kembali wacana otonomi; dan kebebasan individu,

kolektifvitas dan identitas. Dalam ruang ini, aktor-aktor pendukung

gerakan kemudian menggunakan teori proses framing untuk

memahami sukses dan gagalnya sebuah gerakan sosial. Snow dan

Banford (1980) mencatat, suksesnya gerakan sosial terletak sampai

sejauhmana mereka memenangkan pertempuran atas arti. Hal ini

berkaitan dengan upaya para aktor perubahan mempengaruhi makna

dalam kebijakan publik. Oleh karena itu, aktor perubahan memiliki

tugas penting guna mencapai tujuan perjuangan melalui pembentukan

framing atas masalah-masalah sosial dan ketidakadilan yang

diperjuangkan. Pembentukan framing ini sendiri tergantung dari

bagaimana ICT mampu mewadahinya sehingga dapat membentuk

ruang publik tanpa campur tangan negara, yang kemudian oleh Dewi

dan Royke (2015) menyebutnya sebagai ruang publik virtual, seperti

yang ditemukan dalam kasus “Save Satinah”.

Page 32: KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13079/3/D_902006007_BAB II.pdfpada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

48

Pada akhirnya, suatu gerakan sosial di ruang publik virtual dapat

berkembang dikarenakan adanya jaringan, aktor, translasi, dan

intermediari seperti yang dikembangkan oleh Bruno Latour (2005)

yang kemudian disebut sebagai Teori Jaringan-Aktor atau Actor-Network-Theory atau sering disingkat ANT. Para penggagas ANT

berpendirian bahwa masyarakat itu bukan hanya sekadar berisi unsur-

unsur individu manusia serta norma yang mengatur kehidupan

mereka, tetapi lebih dari itu dia ak dalam sebuah “jaringan”.

Konsep jaringan tidak hanya berfokus pada relasi sosial aktor

manusia, tetapi mencakup aktor-aktor nonmanusia (sebuah jaringan

heterogen atau beragam). Aktor didefinisikan sebagai sesuatu yang ikut

beraksi, yang bukan hanya manusia, melainkan juga merupakan obyek

teknis. Translasi berarti penjajakan dan penyesuaian aksi-aksi yang

berlangsung antara aktor-aktor sampai tercapai suatu relasi yang stabil

sehingga obyek teknis dapat terus berfungsi. Sedangkan intermediari

adalah aktor yang ”bersirkulasi” di antara aktor-aktor dan yang

memelihara relasi di antara mereka.

Atas dasar pemahaman di atas, penelitian ini secara khusus

menggunakan konsep jaringan aktor, translasi dan intemediasi dalam

mengkaji bagaimana perlawanan orang Dayak melawan Tambang,

studi gerakan sosial baru di dalam ruang publik virtual.