bab ii tinjauan pustaka a. perilaku inovatif 1. pengertian...
TRANSCRIPT
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Inovatif
1. Pengertian Perilaku Inovatif
Perkembangan dari inovasi ini membutuhkan kontribusi dari setiap
individu. Dalam perspektif psikologi organisasi, aktifitas-aktifitas tersebut
dinamakan innovative work behavioral (perilaku inovatif) (Janssen, 2000).
Janssen (2000) mendefinisikan perilaku inovatif sebagai penciptaan, pengenalan
dan pengaplikasian gagasan-gagasan baru secara sengaja dalam suatu pekerjaan,
kelompok, atau organisasi untuk memperoleh keuntungan dalam kinerja suatu
pekerjaan, kelompok atau organisasi. Definisi ini membatasi perilaku inovatif
sebagai usaha-usaha yang sengaja dilakukan untuk mendatangkan hasil
(outcome) baru yang menguntungkan.
Perkembangan dari inovasi ini membutuhkan kontribusi dari setiap
individu. Oleh karena itu penting untuk memahami tentang aktivitas individu
yang mengarah pada inovasi. Dalam perspektif psikologi organisasi, aktivitas -
aktivitas tersebut dinamakan innovative work behavior atau perilaku inovatif
(Janssen, 2000). Anderson, De Dreu, dan Nijstad (2004) menjelaskan bahwa
Psikologi Organisasi menekankan inovasi pada perspektif individu, termasuk di
dalamnya adalah karakteristik individual dan kontekstual yang berpengaruh
terhadap keberhasilan suatu inovasi. Penelitian-penelitian mengenai perilaku
inovatif ini berusaha untuk menjelaskan mengenai perilaku yang indvidu
tunjukkan di lingkungan kerjanya ketika inovasi terjadi
19
Menurut De Jong & Hartog (2007) menyatakan perilaku inovatif kerja
adalah perilaku yang meliputi eksplorasi peluang dan ide-ide baru, juga dapat
mencakup perilaku mengimplementasikan ide baru, menerapkan pengetahuan
baru dan untuk mencapai peningkatan kinerja pribadi atau bisnis. Perilaku
inovatif sering dikaitkan dengan kreativitas. Kedua hal tersebut memang
berkaitan tetapi memiliki konstrak yang berbeda. Perilaku kreatif adalah proses
untuk menghasilkan sebuah ide, gagasan, atau pemikiran baru yang berkaitan
dengan produk, servis, proses dan prosedur kerja. Sedangkan perilaku inovatif
kerja tidak hanya sekedar menghasilkan ide baru tetapi juga melibatkan proses
implementasi terhadap ide tersebut khususnya pada seting pekerjaan (De Jong &
Hartog, 2010).
Messman (2012) mengatakan perilaku inovatif kerja adalah jumlah dari
aktivitas kerja fisik dan kognitif yang dilakukan oleh karyawan dalam konteks
pekerjaan mereka, baik sendiri maupun berkelompok untuk mencapai satu
rangkaian tugas yang dibutuhkan untuk tujuan pengembangan inovasi. Dari
sudut pandang pekerja, efektivitas perilaku kerja inovatif berhubungan dengan
pengamatan pekerja dalam mengantisipasi permasalahan pekerjaan dan respon
rekan kerja terhadap alternatif solusi yang diajukan (De Jong & Hartog 2010).
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku
inovatif kerja merupakan perilaku kerja individu yang melalui proses
pemunculan ide baru untuk menghasilkan, memperkenalkan dan menerapkan ide
baru yang bermanfaat bagi pribadi maupun perusahaan.
20
2. Aspek Perilaku Inovatif
Perilaku inovatif merupakan proses multi tahapan, dengan aktifitas dan
perilaku individu yang berbeda-beda di setiap tahapannya (Scott & Bruce, 1994).
Lebih lanjut, Janssen (2000) menambahkan bahwa perilaku inovatif ini
merupakan perilaku kompleks yang terdiri dari tiga tahap, yaitu idea generation,
idea promotion, idea realization. Berikut akan dijelaskan setiap tahapan dari
perilaku inovatif, yaitu :
a. Idea Generation
Inovasi individu dimulai dengan adanya kesadaran dari individu
untuk melihat dan mengenali akan adanya peluang baru dari suatu
permasalahan yang muncul (Kanter, dalam Janssen 2000). Janssen (2000)
menambahkan bahwa persepsi mengenai permasalahan dalam pekerjaan,
merasakan adanya keganjilan, atau munculnya tren merupakan pencetus
atau dorongan dalam menghasilkan ide-ide baru. Kemudian dari peluang
tersebut, individu akan mulai untuk memproduksi atau membuat suatu ide
baru yang bermanfaat dalam berbagai domain pekerjaan. Pendalaman suatu
peluang dapat dilakukan dengan mencari cara untuk meningkatkan proses
pelayanan atau memikirkan langkah alternatif dalam proses kerja, produk
atau layanan (Kanter, dalam Janssen 2000). Inovasi dipacu oleh adanya
pengakuan atas suatu peluang baru. Ketika peluang tersebut dihargai,
seseorang perlu mengerahkan tenaga untuk memunculkan ide-ide tersebut.
Permasalahan utama yang muncul dalam tahapan ini adalah bagaimana
membuat individu memusatkan perhatiannya dan bagaimana cara memicu
21
tindakan individu untuk mengapresiasi dan memusatkan perhatian pada
gagasan, kebutuhan dan peluang baru.
b. Idea Promotion
Tahap selanjutnya dari proses inovasi adalah idea promotion. Dalam
tahapan ini, individu mencari dukungan untuk ide yang ia bawa serta
berusaha untuk membangun sebuah koalisi untuk mendukung ide inovasi
tersebut. Scott & Bruce, (1994). Ketika individu telah menghasilkan suatu
gagasan, ia harus terlibat dalam aktivitas sosial untuk memperoleh rekan,
penyokong dan pendukung ide di sekitarnya (Janssen, 2000). Kanter
(1988) juga menjelaskan bahwa individu harus dapat membangun
kekuasaan (power) dengan mengajukan gagasan inovasi kepada aliansi
yang berpotensi. Hal ini penting dilakukan karena sebagian besar gagasan
bersifat tidak pasti, bisa saja memerlukan biaya lebih untuk
mengembangkan dan mengimplementasikan inovasi serta memunculkan
reaksi penolakan terhadap perubahan. Selain itu, keberhasilan dari suatu
inovasi sangat bergantung pada jumlah dan jenis dari kekuatan orang-
orang yang mendukung ide-ide tersebut. Sebaliknya, kegagalan dari
inovasi biasanya disebabkan oleh dukungan yang tidak pasti dan sumber
daya yang tidak memadai selama tahapan awal pembangunan ide. Janssen
(2000).
c. Idea Realization
Pada tahapan terakhir dari proses inovasi ini, yaitu idea realization,
individu melengkapi idenya dengan membuat suatu produk atau prototype
atau model dari ide inovasi tersebut yang dapat dialami langsung dan
22
diterapkan dalam suatu pekerjaan, kelompok kerja, ataupun organisasi
secara keseluruhan, sehingga nantinya ide tersebut dapat disebarkan,
diproduksi secara massal, ataupun digunakan secara produktif Janssen
(2000). Tahapan ketiga pada proses inovasi ini melibatkan kerja sama
kelompok untuk menyelesaikan ide tersebut dengan mengubahnya menjadi
objek konkret dan nyata (secara fisik atau intelektual) yang dapat di
transfer kepada orang lain. Inovasi yang sederhana umumnya dapat
diimplementasikan oleh individu atau karyawan itu sendiri, sedangkan
inovasi yang lebih kompleks biasanya memerlukan kerjasama kelompok
yang memiliki anggota dengan berbagai variasi pengetahuan, kompetensi
dan peran kerja . Janssen , (2000).
Menurut Kleysen & Street (2001), mengklasifikasikan perilaku inovatif
memiliki 5 aspek, yaitu :
a. Oppurtunity Exploration ; Aspek ini mengacu pada mempelajari atau
mengetahui lebih banyak mengenai peluang untuk berinovasi.
b. Generativity ; Aspek ini mengacu pada pemunculan konsep-konsep
untuk tujuan pengembangan.
c. Formative Investigation ; Aspek ini mengacu pada pemberian perhatian
untuk menyempurnakan ide, solusi, opini, dan melakukan peninjauan
terhadap ide-ide tersebut.
d. Championing ; Aspek ini mengacu pada adanya praktek-praktek usaha
untuk merealisasikan ide-ide.
e. Application ;Aspek ini mengacu pada mencoba untuk mengembangkan,
menguji coba, dan mengkomersialisasikan ide-ide inovatif.
23
Sedangkan De Jong & Hartog (2007) mengemukakan dan menyederhanakan
menjadi empat dimensi perilaku inovatif sebagai berikut:
a. Oppurtunity exploration, proses inovasi ditentukan oleh kesempatan.
Kesempatan akan memicu individu untuk mencari cara untuk
meningkatkan pelayanan, proses pengiriman, atau berusaha memikirkan
sebuah alternatif baru mengenai proses kerja, produk atau pelayanan.
b. Idea generation, membangkitkan sebuah konsep untuk peningkatan. Idea
generation merupakan pengelolaan kembali informasi dan konsep yang
telah ada untuk meningkatkan performansi. Individu yang tinggi dalam
level ini akan dapat melihat solusi dari sebuah masalah dengan cara pikir
yang berbeda.
c. Championing, melibatkan perilaku untuk mencari dukungan dan
membangun koalisi, seperti mengajak dan mempengaruhi karyawan atau
manajemen, dan bernegoisasi mengenai suatu solusi.
d. Application, individu tidak hanya memikirkan ide-ide kreatif terhadap
suatu hal tapi juga mengevaluasi dan mengaplikasikan ide tersebut ke
dalam tindakan nyata
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik
individu yang memiliki perilaku inovatif adalah adanya kesadaran dari individu
untuk melihat dan mengenali akan adanya peluang baru dari suatu permasalahan
yang muncul, individu mencari dukungan untuk ide yang ia bawa serta berusaha
untuk membangun sebuah koalisi untuk mendukung ide inovasi tersebut, serta
individu yang mampu melengkapi idenya dengan membuat suatu produk atau
prototype atau model dari ide inovasi tersebut yang dapat dialami langsung dan
24
diterapkan dalam suatu pekerjaan, kelompok kerja, ataupun organisasi secara
keseluruhan, sehingga nantinya ide tersebut dapat disebarkan, diproduksi secara
massal, ataupun digunakan secara produktif.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Inovatif
Terdapat faktor-faktor yang diperkirakan dapat meningkatkan munculnya
perilaku inovatif karyawan. Nijenhuis (2015) mengemukakan beberapa faktor
eksternal maupun faktor internal yaitu :
a. Faktor Eksternal
1) Competitive pressures. Semakin tingginya tekanan untuk berkompetisi
mampu mendorong karyawan untuk bekerja lebih baik dan memiliki
efek positif untuk munculnya perilaku inovatif.
2) Social – Political pressures. Organisasi yang memiliki dukungan dari
pemerintah harus terus memberi hasil kerja yang memuaskan jika tetap
ingin mendapat dukungan. Sehingga pemimpin dan karyawan harus
memuncul perilaku inovasi agar tetap memberi hasil kerja yang terus
berkembang dan lebih baik.
b. Faktor Internal
1) Interaksi dengan atasan (Kepemimpinan),karyawan yang memiliki
hubungan yang positif dengan atasan mereka lebih mungkin untuk
menunjukkan perilaku inovatif kerja dan mampu memberi keyakinan
bahwa perilaku inovatif mereka akan menghasilkan keuntungan kinerja.
Hubungan yang berkualitas sering ditandai dengan saling percaya dan
menghormati.
25
2) Interaksi dengan grup rekan kerja (Team Work), karyawan yang
memiliki hubungan baik dengan rekan kerja lebih mungkin
memudahkan mereka mengimplementasikan ide baru mereka juga
meningkatkan idea generation di dalam sebuah grup rekan kerja
mereka. Dan hal ini memudahkan perilaku inovatif kerja untuk
berkembang.
Pendapat lain tentang faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif menurut
pendapat Etikariena & Muluk (2014) ; yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor tersebut adalah:
a. Faktor Internal
1. Tipe Kepribadian. Menurut Janssen, Van den Ven dan West adalah
orang yang memiliki tipe kepribadian adalah orang yang mampu dan
berani mengambil resiko terhadap perilaku inovatif yang di buat.
2. Gaya individu dalam memecahkan masalah,karyawan yang memiliki
gaya pemecahan masalah yang intuitif dapat menghasilkan ide-ide
sehingga menghasilkan solusi yang baru.
b. Faktor Eksternal
1. Kepemimpinan, banyak bawahan yang kutrang dapat menjaga
hubungannya dengan pemimpinnya, dan hal tersebut dapat membuat
perilaku inovatif sesorang tidak terlihat, namun karyawan yang
memiliki hubungan yang positif dengan pemimpinnya, cenderung
memunculkan perilaku inovatif pada karyawan. Harapan yang tinggi
dari pemimpin agar karyawannya menjadi inovatif juga dapat
26
mempengaruhi munculnya perilaku inovatif pada karyawan (Scott &
Bruce, Dalam Ratnasari Deasi, 2013).
2. Dukungan untuk berinovasi, dukungan dari orang-orang disekitar
individu sangat membantu bagi karyawan tersebut dalam menciptakan
suatu perilaku inovatif, bukan hanya itu dukungan dari orang dalam
organisasi tersebut juga bisa memunculkan perilaku inovatif bagi
karyawan tersebut . (Scott & Bruce,Dalam Ratnasari Deasi, 2013).
3. Tuntutan dalam pekerjaan, tuntutan dari perusahaan cenderung
meningkatkan semangat para karyawannya untuk berperilaku inovatif.
Tuntutan tersebut menjadi dorongan bagi karyawan tersebut. Salah satu
hal yang muncul akibat adanya tingkat tuntutan pekerjaan yang tinggi
tersebut adalah perilaku inovatif. Etikariena & Muluk,( 2014).
4. Iklim psikologis, iklim psikologis menunjukkan kepada bagaimana
lingkungan organisasi dipersepsikan dan diinterpretasikan oleh
karyawan. Etikariena & Muluk,( 2014).
Lebih jelas lagi West dan Farr (1989) membagi sejumlah faktor yang
mendukung dan memfasilitasi perilaku inovatif ke dalam level individu, kelompok,
dan organisasi. Kemudian, beberapa peneliti seperti Anderson, De Dreu, & Nijstad
(2004) dan Hammond Farr, Neff, Schwall, & Zhao (2011) melakukan studi literatur
pada sejumlah faktor multilevel yang memfasilitasi inovasi. Berikut penjelasan
faktor-faktor yang memfasilitas inovasi pada ketiga level, yaitu:
27
1. Level Individu
Studi metaanalisis yang dilakukan oleh Hammond et al. (2011) dan
Anderson, De Dreu, & Nijstad (2004) menunjukkan sejumlah faktor yang
memfasilitasi inovasi pada level individu. Faktor-faktor ini dibagi kedalam
lima kelompok, antara lain:
a. Kepribadian.
Diketahui bahwa kepribadian kreatif berhubungan dengan
perilaku inovatif. Selain itu, berdasarkan trait kepribadian the Big Five
Factors, keterbukaan (openness) terhadap pengalaman dikaitkan
dengan perilaku inovatif. Individu yang derajat openness yang tinggi
memiliki rasa ingin tahu, imajinasi, mandiri, dan sensitivitas terhadap
karya senin (McCrae, dalam Hammond et al., 2011). Terlebih individu
dengan openness yang tinggi cenderung lebih berpikir secara divergent.
Selain itu, aspek kepribadian, seperti tolerance of ambiguity, percaya
diri, tidak konvensional, originality, authoritarianism, mandiri
(independence), dan proaktif, turut mempengaruhi inovasi pada level
individu (Anderson et al., 2004).
b. Demografis
Pada aspek demografis, seperti pendidikan dan lamanya masa
kerja, merefleksikan penguasaan pengetahuan terhadap tugas-tugas
melalu pendidikan formal, pelatihan, atau pengalaman kerja (Oldham &
Cummings, dalam Hammond et al., 2011). Individu yang memperoleh
pengetahuan dan pengalaman, lebih akan membangun dan
mengintegrasikan gagasan, fakta, dan peluangpeluang sehingga
28
menghasilkan ide yang kreatif terhadap permasalahan (Amabile, dalam
Hammond et al., 2011).
c. Kemampuan
Dari hasil kajian studi yang dilakukan oleh Anderson, De Dreu, &
Nijstad (2004), ditemukan beberapa faktor kemampuan yang
memfasilitasi perilaku inovasi, yaitu intelegensi di atas rata-rata, task-
specific knowledge, gaya berpikir divergent, dan ideational fluency.
d. Motivasi
Motivasi, baik yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik, memiliki
hubungan positif dengan perilaku inovasi. Motivasi intrinsik merujuk
pada motivasi yang berasal dari engagement individu terhadap tugas,
sedangkan motivasi ekstrinsik berasal dari faktor di luar tugas, seperti
rewards dan kompensasi. Hammond et al., (2011). Selain itu, self-
efficacy, baik keyakinan diri individu terhadap kompetensi pekerjaan
maupun kompetensi kreativitas, juga mempengaruhi motivasi individu
untuk terlibat dalam inovasi. Selain itu, tekad untuk berhasil dan
personal initiative juga turut memfasilitasi inovasi (Anderson et al.,
2004).
e. Karakteristik Pekerjaan
Terdapat beberapa karakteristik pekerjaan sebagai prediktor
inovasi, di antaranya kompleksitas pekerjaan, otonomi, time pressure,
dan role requirement. Kompleksitas pekerjaan yang tidak bersifat
rutinitas dan lebih menantang dapat meningkatkan idea generation.
Terdapat hubungan yang postif antara otonomi dan idea generation,
29
pengujian gagasan, serta implementasi inovasi. Dengan memberikan
keleluasaan dan kemandirian pada karyawan dalam menyelesaikan
tugas, dapat menstimulus individu untuk berinovasi (Axtell, dalam
Hammond et al., 2011). Selain itu, persepsi terhadap ekspektasi atau
persyaratan akan berinovasi juga memiliki korelasi yang positif dengan
perilaku individu (Scott & Bruce, dalam Hammond et al., 2011).
Anderson et al. (2004) menemukan karakteristik pekerjaan lainnya
yang turut mempengaruhi inovasi, yaitu kepuasan kerja, tuntuan
pekerjaan, dukungan untuk berinovasi, mentor guidance, dan
pemberian pelatihan yang sesuai.
2. Level Tim.
Hülsheger, Anderson, dan Salgado (2009) mengklasifikasi variabel
level tim sebagai prediktor inovasi berdasarkan model perfoma tim ke
dalam input-process-output.
a. Variabel Input Tim.
Hülsheger, Anderson, dan Salgado (2009) mengidentifikasi
komposisi dan struktur tim ke dalam keragaman anggota kelompok
(team member diversity), team size, dan tenure. Job-relevant diversity
memiliki kolerasi yang positif dengan inovasi. Jobrelevant diversity
merujuk pada heterogenitas anggota kelompok sesuai dengan pekerjaan
atau tugas yang terkait, seperti function, profesi, pendidikan, tenure,
pengetahuan, keterampilalan, dan kemahiran. Keragamaman semacam
ini menghasilkan inovasi tim. Selain itu, task and goal interdependence
menstimulus interaksi interpersonal, komunikasi, dan kerja sama dalam
30
tim, sehingga mampu memfasilitasi inovasi. Task and goal
interdependence adalah sejauhmana anggota kelompok saling
bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan tugas mereka dan
meraih tujuan bersama. Lalu, team size juga memiliki hubungan positif
dengan inovasi karena dalam tim yang besar memiliki beragam sudut
pandang, keterampilan, dan perspektif. Berbeda halnya dengan team
longevity, tim yang sudah terbangun lama cenderung kurang inovatif
dari waktu ke waktu. Angggota kelompok cenderung lebih rentan
terhadap groupthink, lebih homogen, kurang kritis, dan kurang tertarik
terhadap tantangan. Oleh karena itu, semakin lama suatu tim terbangun,
semakin berkurang inovasi yang ditampilkan.
b. Variabel Proses Tim.
West dan rekan (dalam Hülsheger, Anderson, dan Salgado,
2009) menspesifikan tujuh variabel proses yang meningkatkan inovasi
tim.
Pertama, visi memiliki hubungan positif dengan inovasi. Visi
mengukur sejauhmana anggota kelompok memiliki pemahaman yang
sama terhadap tujuan-tujuan dan menunjukkan komitmen yang tinggi
terhadap tujuan kelompok. Dengan adanya tujuan tujuan yang jelas
membantu anggota kelompok memberikan kontribusinya, memberikan
kebermaknaan kerja, serta memotivasi individu untuk meningkatkan
performa inovasi.
31
Kedua, participative safety juga berkorelasi secara postif dengan
inovasi. Participative safety ditandai dengan partisipasi dalam membuat
keputusan dan intragroup safety. Intragroup safety merujuk pada iklim
psikologis yang tidak mengancam dalam tim, dimana adanya trust dan
mutual support. Psychological safety memiliki tiga fungsi penting
terhadap inovasi tim, yaitu berkontribusi dalam formulasi rencana,
memfasilitasi eksekusi rencana, dan meningkatkan team learning.
Ketiga, dukungan untuk inovasi memberikan pengaruh yang
positif terhadap inovasi. Dukungan untuk inovasi dideskripsikan sebagai
ekspektasi, penerimaan, dan dukungan pelaksanaan dalam
memperkenalkan cara-cara baru dalam melakukan pekerjaan.
Keempat, task orientation berhubungan secara postif terhadap
inovasi. Task orientation, yang biasa disebut climate for excellence,
dideskripsikan sebagai fokus bersama terhadap kualitas perfoma
pekerjaan yang excellent sesuai dengan visi.
Kelima, kohesi pun turut mempengaruhi inovasi. Kohesi
merujuk pada komitmen anggota kelompok terhadap pekerjaan tim dan
hasrat mereka untuk menjaga keanggotaan kelompoknya (Lott & Lott,
dalam Hülsheger, Anderson, dan Salgado, 2009). Para peneliti inovasi
menganggap bahwa kohesi merupakan prasyarat penting untuk
menampilkan perilaku inovatif (West & Farr, 1989; Woodman et al.,
1993). Anggota kelompok yang memiliki belongingness yang kuat dan
32
merasa saling attach dengan sesama anggota kelompok, cenderung lebih
koperatif, saling berinteraksi, dan bertukar ide.
Keenam, komunikasi, baik bersifat internal dan eksternal
diyakini memiliki hubungan postif dengan inovasi. Komunikasi ekternal
yang dimaksud ialah menjalin relasi interpersonal dengan orang-orang
diluar tim atau organisasinya. Hal ini membantu tim dalam memperoleh
pengetahuan dan perspektif baru. Melalui komunikasi, terjadi sharing
informasi dan ide, dimana hal tersebut merupakan sumber inovasi.
Selain itu, komunikasi berperan dalam implementasi ide-ide baru,
dimana adanya mutual monitoring dan umpan balik.
Terakhir, task conflict dianggap memilki hubungan yang postif
dengan inovasi, sebaliknya relationship conflict berhubungan negatif
dengan inovasi. Task-related disagreement dapat memicu anggota
kelompok untuk bertukar informasi, melalui eksplorasi opini yang saling
bertentangan, sehingga membantu proses generation gagasan-gagasan
baru dan solusi serta membantu dalam pemecahan masalah. Sebaliknya,
konflik relasi dapat menyebabkan reaksi psikologis yang negatif, seperti
ketegangan, ketakutan, kemarahan, dan frustrasi, sehingga mengalihkan
fokus anggota kelompok untuk berinovasi.
3. Level Organisasi
Hasil konten analisis yang dilakukan oleh Anderson, De Dreu, dan
Nijstad (2004) terhadap berbagai penelitian inovasi, menghasilkan
klasifikasi fasilitator inovasi pada level organisasi ke dalam struktur,
33
strategi, sumber daya, dan budaya organisasi. Pertama, struktur organisasi
yang cenderung specialization, dimana memiliki beragam specialist,
pembedaan functional, dan professionalism diasosiasikan secara positif
dengan inovasi organisasi. Disisi lain, organisasi yang centralization dan
formalization, cenderung kurang berinovasi. Kedua, strategi organisasi
dengan prospector type diyakini mendukung berkembangnya inovasi dalam
organisasi. Ketiga, semakin besar jumlah karyawan dalam suatu organisasi,
cenderung lebih berinovasi. Di sisi lain, semakin luasnya market share
(pangsa pasar), justru menurunkan inovasi dalam organisasi. Keempat,
sumber daya (resources), baik dari segi annual turnover dan ketersediaan
sumber daya, turut mempengaruhi inovasi dalam organisasi. Terakhir,
budaya organisasi yang mendukung karyawan untuk bereksperimen, yang
menoleransi terhadap kegagalan ide, dan yang berani mengambil risiko,
mempengaruhi tumbuhnya inovasi dalam organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
hubungan dengan rekan kerja, dukungan untuk berinovasi dari anggota tim
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif. Untuk
dapat membangun hubungan kerja yang baik dengan rekan kerja yang
berada dalam sebuah tim dapat dilakukan melalui pelatihan team building.
Team building adalah salah satu aktivitas dalam proses yang dapat
meningkatkan perilaku inovatif, kerjasama yang baik antara masing-masing
anggota tim untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya
yakni peningkatan operasi kerja tim. Dengan demikian, maka yang
dimaksud dengan pelatihan team building adalah suatu metode pelatihan
34
yang bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kesolidan atau
kohesivitas tim dengan membentuk dan mendukung sinergi tim untuk
mampu bekerja secara mandiri dalam mencapai tujuan timnya.
B. Pelatihan Team Building
1. Pengertian Pelatihan Team Building
Pelatihan adalah usaha terencana dari organisasi untuk memfasilitasi
pembelajaran karyawan atas kompetensi yang terkait dengan pekerjaan, yang
meliputi pengetahuan, keterampilan atau perilaku yang penting bagi kinerja
(Noe, 2010). Pelatihan bertujuan agar karyawan menguasai pengetahuan dan
keterampilan, serta dapat menerapkan hal tersebut dalam kegiatan sehari-hari.
Pelatihan juga dapat dijadikan cara untuk mencapai keunggulan kompetitif bagi
perusahaan (Noe, 2010).
Pelaksanaan di dalam organisasi mengacu pada teori belajar orang
dewasa (andragogy) karena peserta pelatihannya adalah para karyawan. Noe
(2010) mengemukakan bahwa dalam teori pembelajaran orang dewasa yang
dikembangkan oleh Malcolm Knowles terdapat lima asumsi yang perlu
diperhatikan, antara lain : Pertama, orang dewasa memiliki kebutuhan untuk
mengetahui alasan mengapa ia harus mempelajari sesuatu hal. Kedua, orang
dewasa memiliki kebutuhan yang muncul dari dirinya sendiri. Ketiga, orang
dewasa akan lebih sering mengaitkan pengalaman yang berhubungan dengan
pekerjaan ke dalam situasi belajar. Keempat, orang dewasa merasakan
pengalaman belajar dengan menggunakan pendekatan yag fokus pada masalah.
35
Terakhir, orang dewasa termotivasi untuk belajar karena adanya motivasi
ekstrinsik dan intrinsik.
Team Building adalah aktivitas kelompok yang memiliki interaksi tinggi
untuk meningkatkan produktivitas karyawan dalam menuntaskan tugas-tugas
terutama yang memiliki interdependensi dengan orang lain melalui serangkaian
aktivitas yang dirancang secara hati-hati untuk mencapai sasaran yang telah
ditentukan sebelumnya (Robbins, 2003; Spector, 2000; Johnson & Johnson,
2000).
Levi (2001) menyatakan bahwa team building adalah sebuah tipe
intervensi dalam pengembangan organisasi yang memusatkan pada peningkatan
operasi kerja tim. Reic (2010) menunjukkan team building merupakan proses
membangun suatu tim yang handal seperti kerjasama yang baik antara masing-
masing anggota tim, dan juga merupakan pelatihan yang dapat membantu
menciptakan kohesivitas dan kepercayaan diantara anggota tim sehingga akan
terbentuk suatu jalinan komunikasi yang baik pula. Pelatihan tersebut dilakukan
melalui pendekatan sinergi masing-masing anggota tim secara keseluruhan yang
pada akhirnya membentuk dan mendukung sinergi tim untuk mampu bekerja
secara mandiri dalam mencapai tujuan timnya. Menurut Kreitner dan Kinicki
(2008), pelatihan team building adalah sebuah proses pembelajaran dengan
pendekatan eksperimental yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi internal
kelompok seperti kerjasama diantara sesama anggota tim, meningkatkan kualitas
komunikasi dan mengurangi konflik disfungsional.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa team building
merupakan suatu aktivitas kelompok yang bertujuan untuk membangun suatu
36
tim yang handal dalam hal kerjasama yang baik antara sesama anggota tim, dan
juga dapat membantu kepercayaan diantara anggota tim sehingga akan terbentuk
suatu jalinan komunikasi yang baik pula.
2. Aspek- Aspek Team Building
Kazemak (dalam Stott dan Walker, 1995),menyatakan bahwa ada beberapa
aspek yang digunakan untuk membangun tim yang efektif yaitu, sebagai berikut:
a. Memiliki tujuan yang sama; teamwork yang efektif memiliki tujuan dan
semua anggota tim tahu benar tujuan yang hendak dicapai organisasi.
b. Antusiasme yang tinggi; antusiasme tinggi bisa dibangkitkan jika kondisi
kerja juga menyenangkan. Anggota tim tidak merasa takut menyatakan
pendapat, mereka juga diberi kesempatan untuk menunjukkan keahlian
mereka dengan menjadi diri sendiri sehingga kontribusi yang mereka
berikan juga bisa optimal.
c. Peran dan tanggung jawab yang jelas; setiap anggota tim harus mempunyai
peran dan tanggung jawab masing-masing yang jelas.
d. Komunikasi yang efektif; dalam proses meraih tujuan harus ada komunikasi
yang efektif antar anggota tim.
e. Resolusi konflik; dalam mencapai tujuan mungkin saja ada konflik, jangan
didiamkan ataupun dihindari tapi perlu segera dikendalikan.
f. Shared Power; tiap anggota tim perlu diberikan kesempatan untuk menjadi
“pemimpin”, menunjukkan kekuasaannya di bidang yang menjadi keahlian
dan tanggung jawab mereka masing-masing sehingga mereka merasa ikut
bertanggung jawab untuk kesuksesan tercapainya tujuan bersama.
37
g. Keahlian; tim yang terdiri dari anggota-anggota dengan berbagai keahlian
yang saling menunjang akan lebih mudah bekerjasama mencapai tujuan.
Berbagai keahlian yang berbeda tersebut dapat saling menunjang sehingga
pekerjaan menjadi lebih mudah dan lebih cepat diselesaikan.
h. Evaluasi; bagaimana sebuah tim bias mengetahui sudah sedekat apa mereka
dari tujuan, jika mereka tidak menyediakan waktu sejenak untuk melakukan
evaluasi? Evaluasi yang dilakukan secara periodic selama proses pencapaian
tujuan masih berlangsung bias membantu mendeteksi lebih dini
penyimpangan yang terjadi, sehingga bias segera diperbaiki. Evaluasi juga
bisa dilakukan tidak sekadar untuk koreksi, tetapi untuk mencari cara yang
lebih baik. Evaluasi bisa dilakukan dalam berbagai cara: observasi, riset
pelanggan, riset karyawan, interview, evaluasi diri, evaluasi keluhan
pelanggan yang masuk, atau sekedar polling pendapat pada saat meeting.
Menurut Johnson dan Johnson (2000) dan Robbins (2003), untuk
menyesuaikan tujuan dan masalah spesifik yang dihadapi tim, aktivitas-aktivitas
yang biasa dilakukan dalam team building adalah menekankan pada aktivitas-
aktivitas tertentu saja atau keseluruhan dari aktivitas berikut:
a. Penyusunan sasaran yang ditujukan untuk mengatasi perbedaan persepsi
tujuan tim, mengevaluasi efektivitas tim dalam menyusun prioritas dan
mencapai sasaran, mengidentifikasi area yang berpotensi menjadi masalah.
b. Membangun hubungan interpersonal antar anggota tim. Dalam Logan dan
Stokes (2004), kompetensi yang dibutuhkan adalah empati, komunikasi
efektif, kesadaran sosial, membangun hubungan, kepemimpinan dan
kolaborasi.
38
c. Analisis peran yang bertujuan untuk mengklarifikasi dan mengidentifikasi
peran setiap anggota tim, memikirkan kembali mengenai pekerjaan mereka
yang sesungguhnya, dan tugas spesifik yang mereka harapkan untuk
dikerjakan.
d. Analisis proses tim dilakukan dengan menganalisis proses kunci yang
terjadi dalam tim untuk mengidentifikasikan cara kerja dan bagaimana
proses ini dapat diperbaiki untuk membuat tim lebih efektif.
e. Kemampuan beradaptasi dengan kondisi dan tuntutan yang berubah.
Menurut Logan dan Stokes (2004), kompetensi yang dibutuhkan antara lain
adalah fleksibilitas dan kemampuan tim dalam memecahkan masalah secara
terstruktur atau dengan mengikuti format berpikir kritis.
Walaupun memiliki tujuan dan cara yang beragam, Buller (1986, dalam
Spector, 2000) menyatakan bahwa ada tiga karakteristik dari team building, yaitu:
a. Team building merupakan aktivitas terencana yang terdiri dari satu atau
lebih latihan atau pengalaman yang dirancang untuk mencapai sasaran
tertentu.
b. Team building biasanya difasilitasi oleh konsultan atau trainer yang
berkualitas, dan akan sulit bagi tim untuk melaksanakannya jika trainer
adalah bagian dari pengalaman.
c. Team building biasanya melibatkan tim dimana anggota timnya memiliki
keterlibatan dalam pekerjaan masing-masing.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik
dimensi tim kerja yang efektif yaitu antara lain: adanya tujuan yang sama,
antusiasme yang tinggi, peran dan tanggung jawab yang jelas, komunikasi yang
39
efektif, resolusi konflik, shared power, keahlian, dan evaluasi.Team building juga
sebagai aktifitas analisis peran yang bertujuan untuk mengklarifikasi dan
mengidentifikasi peran setiap anggota tim, memikirkan kembali mengenai
pekerjaan mereka yang sesungguhnya, dan tugas spesifik yang mereka harapkan
untuk dikerjakan.
Para ahli dibidang team building lebih memilih menggunakan metode yang
bersifat aktif yaitu pembelajaran eksperimental. Teknik ini cocok diterapkan pada
training yang memiliki tujuan untuk meningkatkan perilaku dan afeksi individu
(Kreitner dan Kinicki, 2008). Sesuai dengan tujuan intervensi dari penelitian ini
yaitu untuk meningkatkan perilaku inovatif maka peneliti memilih menerapkan
tekhnik pembelajaran eksperimental. Menurut Silberman (2006), teknik pelatihan
pembelajaran eksperimental memiliki pendekatan yaitu bermain peran, permainan
dan simulasi, observasi, mental imajeri, tugas menulis dan action learning.
Rancangan pelatihan yang digunakan dalam penelitian ini lebih menekankan
pada metode permainan dan simulasi supaya peserta dapat merasakan langsung
manfaat dari kegiatan yang dilakukan jika diterapkan di tempat kerja dan
mendapatkan pemahaman melalui pengalaman secara langsung. Suatu permainan
menurut Newstorm dan Scanell (dalam Ratnasari Deasi, 2013) merupakan salah
satu metode yang dapat mencegah kebosanan karena permainan meliputi variasi
aktifitas yang beragam, latihan yang dapat membuat team building training menjadi
lebih menyenangkan, dapat membangkitkan semangat diantara anggota tim serta
dapat menunjukkan emosi dan perasaan anggota tim.
Menurut Silberman (2006) salah satu keuntungan dari metode permainan
dan simulasi adalah partisipan didorong untuk berhadapan langsung dengan sikap
40
dan nilai-nilai yang dianut oleh dirinya. Selain itu metode permainan dapat
membantu partisipan untuk fokus pada cara-cara mereka bertindak di lingkungan
mereka sendiri dan bagaimana mereka berinteraksi dengan individu yang baru
mereka kenal.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa team building
adalah aktivitas dalam proses membangun suatu tim yang handal seperti kerjasama
yang baik antara masing-masing anggota tim untuk mencapai sasaran yang telah
ditentukan sebelumnya yakni peningkatan operasi kerja tim. Dengan demikian,
maka yang dimaksud dengan pelatihan team building adalah suatu metode pelatihan
yang bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kesolidan atau kohesivitas tim
dengan membentuk dan mendukung sinergi tim untuk mampu bekerja secara
mandiri dalam mencapai tujuan timnya.
3. Manfaat Team Building
Ada kecenderungan setiap individu lebih menyukai tim yang efektif dalam
bekerja karena lebih banyak manfaatnya. Mengutip pendapat dari Robert B.
Maddux (2001), dalam bukunya Team building yang mengatakan bahwa Tim yang
efektif memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Dengan adanya tim, maka sasaran yang realistis ditentukan dan dapat
dicapai secara optimal.
2. Anggota tim dan impinan Tim memiliki komitmen untuk saling mendukung
satu sama lain agar berhasil.
3. Anggota tim memahami prioritas anggota lainnya, dan dapat saling
membantu satu-sama lain.
41
4. Komunikasi bersifat terbuka, diskusi cara kerja baru atau memperbaiki
kinerja lebih berjalan dengan baik, karena anggota tim terdorong untuk lebih
memikirkan permasalahannya.
5. Pemecahan masalah lebih efektif karena kemampuan tim lebih memadai.
6. Umpan balik kinerja lebih memadai karena anggota tim mengetahui apa
yang diharapkan dan dapat membandingkan kinerja mereka terhadap
sasaran tim.
7. Konflik diterima sebagai hal yang wajar dan dianggap sebagai kesempatan
untuk menyelesaikan masalah. Melalui diskusi bersama anggota tim
lainnya, konflik bisa diselesaikan secara maksimal.
8. Keseimbangan tercapainya produktifitas tim dengan pemenuhan kebutuhan
pribadi.
9. Tim dihargai atas hasil yang sangat baik dan setiap anggota dipuji atas
kontribusi pribadinya.
10. Anggota kelompok termotifasi untuk mengeluarkan ide-idenya dan
mengujinya serta menularkan dan mengembangkan potensi dirinya secara
maksimal.
11. Anggota kelompok menyadari pentingnya disiplin sebagai kebiasaan kerja
dan menyesuaikan perilakunya untuk mencapai standar kelompok.
12. Anggota kelompok lebih berprestasi dalam bekerja sama dengan tim dan
tim lainnya.
Beberapa pernyataan tersebut di atas menunjukan bahwa bekerja dengan tim
akan lebih banyak mendatangkan keuntungan dan hasil maksimal dibandingkan
bekerja secara individu,
42
C. Efektifitas Pelatihan Team Building untuk Meningkatkan Perilaku
Inovatif Pada Perawat.
Messman (2012), menjelaskan bahwa inovasi merupakan suatu hal yang
penting bagi organisasi untuk meningkatkan efektifitas proses internal dan kualitas
hasil kerja, untuk mencapai dan mempertahankan keunggulan kompetitif, serta
untuk kelangsungan hidup jangka panjang suatu organisasi. Perkembangan dari
inovasi ini membutuhkan kontribusi dari setiap individu. Dalam perspektif
psikologi organisasi, aktifitas-aktifitas tersebut dinamakan innovative work
behavioral (perilaku inovatif). Janssen (2000) mendefinisikan perilaku inovatif
sebagai penciptaan, pengenalan dan pengaplikasian gagasan-gagasan baru secara
sengaja dalam suatu pekerjaan, kelompok, atau organisasi untuk memperoleh
keuntungan dalam kinerja suatu pekerjaan, kelompok atau organisasi. Definisi ini
membatasi perilaku inovatif sebagai usaha-usaha yang sengaja dilakukan untuk
mendatangkan hasil (outcome) baru yang menguntungkan.
Nijenhuis (2015) mengemukakan bahwa perilaku inovatif seseorang
dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor
eksternal terdiri dari Competitive pressures dan Social – Political pressures,
sedangkan faktor internal terdiri dari interaksi dengan atasan (Kepemimpinan) dan
interaksi dengan grup rekan kerja. Karyawan yang memiliki hubungan baik dengan
rekan kerja lebih mungkin memudahkan mereka mengimplementasikan ide baru di
dalam sebuah grup rekan kerja mereka.
Hubungan dengan rekan kerja dimaksudkan dengan pola interaksi yang
terjalin antara individu dalam dunia kerja (Gibson, 2005). Sedangkan interaksi
menurut Gibson (2005) adalah hubungan antara dua atau lebih individu manusia
43
dan perilaku individu yang satu mempengaruhi, mengubah dan memperbaiki
perilaku individu yang lain atau sebaliknya. Dengan demikian, antara individu yang
berinteraksi senantiasa merupakan hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi
secara timbal balik pula.
Lebih jelas lagi West dan Farr (1989) membagi sejumlah faktor yang
mendukung dan memfasilitasi perilaku inovatif ke dalam level individu, kelompok,
dan organisasi. Kemudian, beberapa peneliti seperti Anderson, De Dreu, & Nijstad
(2004) dan Hammond Farr, Neff, Schwall, & Zhao (2011) melakukan studi literatur
pada sejumlah faktor multilevel yang memfasilitasi inovasi. Hülsheger, Anderson,
dan Salgado (2009) mengklasifikasi variabel level tim sebagai prediktor inovasi
berdasarkan model perfoma tim ke dalam input-process-output. Dalam proses ini
dibagi menjadi 2 proses yaitu :
a. Variabel Input Tim. Hülsheger, Anderson, dan Salgado (2009)
mengidentifikasi komposisi dan struktur tim ke dalam keragaman anggota
kelompok (team member diversity), team size, dan tenure.
b. Variabel Proses Tim. West dan rekan (dalam Hülsheger, Anderson, dan
Salgado, 2009) menspesifikan tujuh variabel proses tim yang meningkatkan
inovasi tim yaitu : visi, participative safety, dukungan untuk inovasi, task
orientation, komunikasi dan task conflict dianggap memilki hubungan yang
postif dengan inovasi.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas yang mengungkapkan faktor yang
mempengaruhi perilaku inovatif pada kelompok adalah variabel proses
pembentukan tim dan interaksi dengan rekan group kerja (team work).
44
Rendahnya tigkat perilaku inovatif pada perawat IGD RSUD Sumbawa
dikarenakan hubungan dengan rekan kerja atau hubungan antara perawat kurang
efektif, sehingga tidak mendukung terciptanya perilaku inovatif pada perawat
khususnya pada tim perawat IGD di RSUD Sumbawa. Untuk meningkatkan
kualitas hubungan dengan rekan kerja pada perawat peneliti melalui pelatihan team
building. Costigan, Ilter dam Berman (2006) kepercayaan atau hubungan terhadap
rekan kerja dapat ditingkatkan melalui 3 cara yaitu program team building, survival
training dan porgram-program yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan
interpersonal.
McShane dan Glinow (2003) berpendapat bahwa team building merupakan
kegiatan formal yang bertujuan untuk meningkatkan pengembangan dan fungsi tim
kerja. Sebagian besar team building mempercepat proses perkembangan tim, yang
berfungsi untuk membentuk kembali norma-norma tim atau memperkuat
kohesivitas. Team Building terkadang diterapkan untuk tim yang baru dibentuk,
akan tetapi team building pada umumnya diterapkan untuk tim yang sudah dibentuk
dan mengalami kemunduran ke tahap awal perkembangan tim. Torres & Fairbanks
(1996), dalam analisis akhirnya menyatakan bahwa pelatihan team building
merupakan alat penting yang dapat membawa tim bersama-sama mencapai tujuan
tim.
Inovasi dalam lavel tim perawat dalam penelitian ini lebih ditekankan pada
variabel proses pembentukan tim, sehingga dalam intervensi untuk meningkatkan
perilaku inovatif pada kelompok perawat menggunakan pelatihan team building.
Reic (2010) menjelaskan bahwa team building merupakan proses membangun suatu
tim yang handal seperti kerjasama yang baik antara masing-masing anggota tim,
45
dan juga merupakan pelatihan yang dapat membantu menciptakan kohesivitas dan
kepercayaan diantara anggota tim sehingga akan terbentuk suatu jalinan komunikasi
yang baik pula. Pelatihan tersebut dilakukan melalui pendekatan sinergi masing-
masing anggota tim secara keseluruhan yang pada akhirnya membentuk dan
mendukung sinergi tim untuk mampu bekerja secara mandiri dalam mencapai
tujuan timnya.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumbawa merupakan organisasi milik
pemerintah daerah yang bergerak dalam bidang jasa pelayanan medis. Perawat
merupakan salah satu SDM RSUD yang memiliki peran penting dalam memberikan
pelayanan kesehatan secara langsung kepada masyarakat. Dalam menjalankan
tugasnya, perawat yang berada dalam lingkup RSUD Sumbawa dituntut tidak hanya
memiliki kompetensi keperawatan secara individual melainkan juga harus dapat
bekerja secara tim. Perawat dalam menjalankan peran fungsionalnya tidak hanya
dituntut memiliki pengetahuan tentang medis saja, melainkan juga memiliki
kemampuan lain yang bersifat non medis seperti kemampuan menejemen,
pendidikan, kepemimpinan serta penelitian. Kemampuan tersebut bisa didapat jika
seorang perawat memiliki perilaku inovatif untuk mengembangkan kemampuan
yang dimilikinya. Untuk dapat mengembangkan kemampuannya, seorang perawat
harus dapat bekerjasama dan berkomunikasi dengan rekan kerja baik atasan
maupun dengan rekan sejawat.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis menduga bahwa perilaku
inovatif pada tim perawat dapat ditingkatkan apabila proses pembentukan tim pada
perawat dilakukan, sehingga perawat memiliki hubungan yang baik dan
mendapatkan dukungan dari rekan kerjanya agar dapat meningkatkan perilaku
46
inovatif pada tim perawat IGD RSUD Sumbawa. Selain itu melalui pelatihan team
building perawat akan mendapatkan pengetahuan tentang cara mengatasi perbedaan
persepsi, mampu melakukan evaluasi efektifitas kerja tim, mengenali skala
prioritas, mampu mengidentifikasi area potensi masalah, serta kemampuan untuk
beradaptasi dengan kondisi dan tuntutan yang berubah. Hal tersebut dibutuhkan
untuk dapat meningkatkan perilaku inovatif seorang perawat.
Gambar: Dinamika pelatihan Team Building mempengaruhi perilaku inovatif.
Perawat yang mempunyai perilaku inovatif rendah akan mendapatkan
pelatihan Team Building dengan memberikan kegiatan yang berfungsi
meningkatkan aspek efektifitas tim seperti aspek memiliki tujuan yang
sama,antusiasme yang tinggi,peran dan tanggung jawab yang jelas,komunikasi yang
Dimensi tim yang efektif menurut Kazemak (dalam Stott
dan Walker, 1995):
Tujuan yang sama
Antusiasme yang tinggi
Peran dan tanggung jawab
yang jelas
Komunikasi yang efektif
Resolusi Konflik
Shared power
Keahlian
Evaluasi
Perilaku Inovatif Rendah
Pelatihan
Team
Building
Perilaku Inovatif Tinggi
47
efektif,resolusi konflik,shared power,keahlian,dan evaluasi. Dengan meningkatnya
aspek-aspek Team Building tersebut, diharapkan akan meningkatkan perilaku
inovatif pada perawat.
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian dalam landasan teori di atas, maka dapat dirumuskan
hipotesis penelitian adalah ada perbedaan tingkat perilaku inovatif dimana perilaku
inovatif pada kelompok yang diberi pelatihan team building lebih tinggi dari pada
kelompok yang tidak diberi pelatihan..