bab ii tinjauan pustaka a. orisinalitas...

35
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitian Orisinalitas sebuah karya, tentu kita tahu bahwa dalam membuat sebuah karya kita haruslah menjaga orisinalitas dari karya kita, terutama pada karya akademik.Orisinalitas merupakan kriteria utama dan kata kunci dari hasil karya akademik terutama pada tingkat doktor. Karya akademik, khususnya skripsi, tesis, dan disertasi, harus memperlihatkan bahwa karya itu orisinal.Untuk lebih memudahkan maka dari itu penulis mengambil sampel tiga penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan masalah dengan penelitian yang akan dilakukan penulis untuk dijadikan perbandingan agar terlihat keorisinalitasan dari penulis. Penelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16 yang melakukan penelitian tentang “Implikasi Penafsiran Undang-Undang Oleh Hakim Praperadilan Dalam Tindak Pidana Korupsi” dalam penelitian tersebut memang ada kesamaan dengan penelitian penulis yaitu tentang penafsiran hakim, namun permasalahan yang diteliti oleh saudara Yusi Amdani lebih menekankan pada Hakim dalam memutuskan suatu perkara dapat melakukan penafsiran hukum sepanjang belum ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Atas dasar setiap putusan yang telah ditetapkan oleh Hakim maka putusan tersebut harus dapat di pertanggungjawabkan. Namun dalam Putusan No: 04/Pid.Prap/2015/PN. 16 Bagian Hukum Pidana, Fakutas Hukum Universitas Samudera, Langsa, Aceh

Upload: doanthuy

Post on 02-May-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Orisinalitas Penelitian

Orisinalitas sebuah karya, tentu kita tahu bahwa dalam membuat sebuah

karya kita haruslah menjaga orisinalitas dari karya kita, terutama pada karya

akademik.Orisinalitas merupakan kriteria utama dan kata kunci dari hasil

karya akademik terutama pada tingkat doktor. Karya akademik, khususnya

skripsi, tesis, dan disertasi, harus memperlihatkan bahwa karya itu

orisinal.Untuk lebih memudahkan maka dari itu penulis mengambil sampel

tiga penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan masalah dengan penelitian

yang akan dilakukan penulis untuk dijadikan perbandingan agar terlihat

keorisinalitasan dari penulis.

Penelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani

16yang melakukan penelitian tentang “Implikasi Penafsiran Undang-Undang

Oleh Hakim Praperadilan Dalam Tindak Pidana Korupsi” dalam penelitian

tersebut memang ada kesamaan dengan penelitian penulis yaitu tentang

penafsiran hakim, namun permasalahan yang diteliti oleh saudara Yusi

Amdani lebih menekankan pada Hakim dalam memutuskan suatu perkara

dapat melakukan penafsiran hukum sepanjang belum ditentukan secara tegas

dalam peraturan perundang-undangan. Atas dasar setiap putusan yang telah

ditetapkan oleh Hakim maka putusan tersebut harus dapat di

pertanggungjawabkan. Namun dalam Putusan No: 04/Pid.Prap/2015/PN.

16Bagian Hukum Pidana, Fakutas Hukum Universitas Samudera, Langsa, Aceh

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

18

Jkt.Sel, terkait perkara praperadilan Budi Gunawan terhadap KPK, hakim telah

melakukan penafsiran hukum yang dinilai bertentangan dengan KUHAP

sendiri. Hakim melakukan penafsiran terhadap KUHAP, atas status Budi

Gunawan sebagai tersangka korupsi. Putusan tersebut telah melemahkan

kewenangan KPK dan berakibat buruk dalam sistem peradilan pidana.17

Dari pemaparan tersebut dapat ditarik perbedaan antara penelitian terdahulu

dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian yang akan penulis

lakukan lebih mengarah pada ketentuan pasal 159 KUHAP yamh berisi :

1. Hakim Ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang lainnya sebelum memberi keterangan di siding

2. Dalam Hal saksi tidak hadir, meskipun telah di panggil dengan sah dan hakim ketua siding mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut di hadapkan di persidangan.

Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut di kemukakan bahwa tujuan

adanya pasal 159 tersebut adalah untuk mencegah jangan sampai terjadi saling

mempengaruhi diantara para saksi, sehingga keterangan saksi tidak dapat

diberikan secara bebas.

Pada pasal selanjutnya yaitu pasal 160 KUHAP dijelaskan bahwa cara

pemanggilan saksi di persidangan dijelaskan dengan lebih kongkrit yakni

“saksi di panggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan

yang di pandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar

pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat umum”. Dari ketentuan

17Yusi Amadani, Implikasi Penafsiran Undang-Undang Oleh Hakim Praperadilan dalam

Perkara Tindak Pidana Korupsi, terdapat dalam http://download.portalgaruda.org, access 15 Februari 2017

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

19

pasal tersebut tidak ada pasal lanjutan yang menjelaskan mengenai sanksi

berkenaan tidak dilakukannya peraturan pasal 159 dan pasal 160 tersebut.

Lebih dari itu penerapan pasal dalam persidanyan secara praktek tidak diatur

secara kongkrit oleh karena itu Hakim memiliki peran penting untuk dapat

menafsirkan isi pasal tersebut tentunya harus memastikan terciptanya asas

kepastian hukum. Karena jika tidak maka implikasinya akan sampai pada tidak

terpenuhinya hak-hak terdakwa,saksi dan para pihak yang berkaitan dalam

suatu persidangan pidana secara merata.

Selanjutnya jika di bandingkan dengan penelitian terdahulu oleh Fence

M.Wantu18 yang berjudul “Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan, dan

Kemanfaatan dalam Putusan Hakim di Peradilan Perdata” skripsi ini lebih

menitikberatkan masalah Putusan hakim di Pengadilan yang idealnya

mengandung aspek kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam

implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut,

terutama antara aspek kepastian hukum dan keadilan biasanya saling

bertentangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang hakim dalam

memeriksa dan memutus perkara tidak selamanya terpaku pada satu asas saja.

Kendala yang dihadapi hakim cenderung kepada kepastian hukum mengalami

kebuntuan manakala ketentuan-ketentuan tertulis tidak dapat menjawab

persoalan yang ada. Penekanan yang lebih cenderung kepada asas keadilan

berarti harus mempertimbangkan hukum yang ada di masyarkat. Hakim dalam

alas an dan pertimbangan hukumnya harus mampu mengakomodir segala

18 Fence M.Wantu,Fakultas Hukum, Universitas Gorontalo

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

20

ketentuan yang hidup dalam masyarakat berupa kebiasaan dan ketentuan

hukum yang tidak tertulis. Penekanan pada asas kemanfaatan akan cenderung

pada masalah ekonomis19.

Begitupun jika menilik hasil penelitian terdahulu dari saudara Arif

Hidayat20dalam penelitiannya yang berjudul “Penemuan Hukum Melalui

Penafsiran Hakim dalam Putusan Pengadilan” tersebut tujuannya untuk lebih

mendeskripsikan penemuan hukum dalam putusan hakim Mahkamah

Konstitusi (MK), dengan menggali beberapa kasus yang dimohonkan di MK

yang putusannya kemudian menyebabkan perubahan makna teks dari UUD

1945. Pendekatan yuridis normative digunakan untuk menyototi kesenjangan

hukum yang kerap terjadi dalam penerapan hukum dan konstitusi21.

Setelah mengkaji ketiga penelitian terdahulu diatas maka dapat

disimpulakan bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh penulis berbeda,

memiliki unsure kebaruan dan keorisinalitasan dari penelitian sebelumnya.

Sehingga hasil yang nantinya di dapat dari penelitian yang akan dilakukan

penulis ini akan dapat di gunakan sebagai penambah wawasan keilmuan bagi

kita semua.

B. Tinjauan Umum Penafsiran

19Marga Kahfi,Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam putusan

hakim di Peradilan Perdata, terdapat dalam https://www.academia.edu, access 15 Februari 2017 20 Arif Hidayat, Fakultas Hukum Universitas Semarang

21Arif Hidayat, Penemuan Hukum Melalui Penafsiran Hakim dalam Putusan Pengadilan,

terdapat dalam https://www.academia.edu, access 15 Februari 2017

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

21

Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum

yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar

ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa

tertentu.Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan

perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli

hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang22.

Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-

daalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki

serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.23 Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, kata “penafsiran” diartikan sebagai: pemberian kesan,

pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsir. Padanan kata dari

penafsiran adalah interpretasi.24

Suatu Penafsiran juga dapat diartikan sebagai upaya interpretasi hukum

yakni suatu proses yang di tempuh oleh pengadilan dalam rangka mendapatkan

kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan atau bentuk-bentuk

otoritatif itu25

Teori penafsiran hukum diperkenalkan oleh Carl Von Savigny. Menurut

Savigny lebih lanjut, penafsiran hukum bukanlah metode yang dapat digunakan

semaunya melainkan harus terpusat kepada penafsiran undang-undang.

22Mohammad Aldyan, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, terdapat dalam https://sidik

ppln.wordpress.com, diakses pada tanggal 16 Februari 2017 23Rozieq, Penafsiran Hukum, terdapat dalam http://kuliahhukum-rozieq.blogspot.co.id,

diakses pada tanggal 16 Februari 20117 24Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, 1990, hal. 336.

25.Satjipto Rahardjo. 2006. Ilmu Hukum Cetakan Keenam. Bandung. Penerbit PT Citra Aditya Bakti. Hal.94

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

22

26Interpretasi atau menafsir undang-undang (wetsuitleg) menurut ajaran hukum

sebenarnya adalah alat pembantu dalam memberi arti, maksud atau ratio

terhadap suatu ketentuan undang-undang.

Hal itu disebabkan ketentuan hukum tidak dapat memberikan

penyelesaian terhadap permasalahan yang ada. Oleh karena itu dibutuhkan

penafsir undang-undang yang memahami tujuan hukum sesungguhnya dan

keputusannya memiliki legitimasi untuk mengikat, maka diserahkan wewenang

tersebut kepada lembaga peradilan. Apalagi dikarenakan lembaga peradilan

adalah tempat terakhir mencari keadilan dan tempat penyelesaian berbagai

perkara.

Dalam praktek harus diakui, seringkali dijumpai suatu permasalahan

yang tidak diatur dalam perundang-undangan (rechts vacuum) ataupun kalau

sudah diatur tetapi ketentuan perundang-undangan tersebut tidak mengatur

secara jelas dan lengkap serta tidak memiliki relevansi dengan rasa keadilan dan

perkembangan hukum masyarakat. 27

Macam-macam penafsiran hukumyang dikenal dalam pelaksanaan

hukum sehari- hari adalah sebagai berkut :

a. Penafsiran autentik yaitu suatu penafsiran hukum yang secara resmi

terhadap maksud dari ketentuan suatu peraturan hukum dimuat dalam

peraturan hukum itu sendiri karena penafsiran tersebut secara asli berasal

dari pembentuk hukum itu sendiri. Contoh penafsiran autentik adalah :

26Soedikno Mertokususmo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001,

hal 56-57 27Ahmad Syaukani dan A. Hasan Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Rajawali Grafindo

Persada, Jakarta, 2004, hal 33

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

23

Penafsiran tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia yang

dalam Pasal 1 Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 ditegaskan caranya,

yaitu dengan cara “ditembak”.

b. Penafsiran gramatikal yaitu suatu penafsiran hukum yang didasarkan pada

maksud pengertian perkataan-perkataan yang tersusun dalam ketentuan

suatu peraturan hukum, dengan catatan bahwa pengertian maksud perkataan

yang lazim bagi umumlah dipakai sebagai jawabannya. Contoh penafsiran

gramatikal adalah dalam Pasal 1 Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 yang

mengatur tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia hanya

menegaskan bahwa pelaksanaan hukuman mati dengan cara ditembak.

Tetapi meskipun demikian, secara gramatikal tentunya dapat ditafsirkan

bahwa penembakan itu bukanlah asal sembarang tembak, melainkan

penembakan yang menyebabkan kematian terpidana, atau dengan kata lain

terpidana ditembak sampai mati.

c.Penafsiran analogis adalah penafsiran hukum yang menganggap suatu hal

yang belum diatur dalam suatu hukum sebagai hal atau disamakan sebagai

hal yang sudah diatur dalam hukum tersebut, karena hal ini memang bisa dan

perlu dilakukan. Contoh penafsiran analogis adalah tenaga listrik atau aliran

listrik yang sebenarnya bukan berwujud barang dianggap sama dengan

barang atau ditafsirkan sama, sehingga pencurian tenaga listrik atau aliran

listrik dapat dihukum, meskipun dalam undang-undang masalah pencurian

listrik tersebut belum diatur.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

24

d. Penafsiran sistematis yaitu penafsiran hukum yang didasarkan atas

sistematika pengaturan hukum dalam hubungannya antar pasal atau ayat

dari peraturan hukum itu sendiri dalam mengatur masalahnya masing-

masing.Contoh penafsiran sistematis adalah pengertian tentang “makar”

yang diatur dalam Pasal 87 KUHP secara sistematis dapat ditafsirkan

sebagai dasar bagi pasal-pasal 104-108 KUHP, Pasal 130 KUHP, dan Pasal

140 KUHP yang mengatur tentang aneka macam makar beserta sanksi

hukumnya masing-masing bagi para pelakunya.

e.Penafsiran sosiologis adalah penafsiran hukum yang didasarkan atas situasi

dan kondisi yang dihadapi dengan tujuan untuk sedapat mungkin berusaha

untuk menyelaraskan peraturan-peraturan hukum yang sudah ada dengan

bidang pengaturannya berikut segala masalah dan persoalan yang berkaitan

di dalamnya, yang pada dasarnya merupakan masalah baru bagi penerapan

peraturan hukum yang bersangkutan. Contoh penafsiran sosiologis adalah

orang yang dengan sengaja melakukan penimbunan barang-barang

kebutuhan pokok masyarakat secara sosiologis dapat ditafsirkan sebagai

telah melakukan tindak pidana ekonomi, yakni tindak pidana kejahatan

untuk mengacaukan perekonomian masyarakat, meskipun tujuan orang itu

hanyalah untuk mencari laba yang sebesar-besarnya untuk dirinya sendiri.

f.Penafsiran historis adalah penafsiran hukum yang dilakukan terhadap isi dan

maksud suatu ketentuan hukum yang didasarkan pada jalannya sejarah yang

mempengaruhi pembentukan hukum tersebut. Contoh penafsiran historis

adalah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda tidak dikenal

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

25

adanya adopsi atau pengangkatan anak, kecuali bagi golongan Timur Asing

Cina. Hal ini secara historis bisa disa ditafsirkan dari sejarah kehidupan

Bangsa Belanda sendiri yang pada mulanya hidup bermarga-marga di mana

ikatan keturunan darah asli dalam suatu marga menjadi pegangan dasar

kehidupan mereka.Akibatnya, demi keaslian keturunan marga tersebut,

maka mereka tidak membenarkan adanya adopsi.

g.Penafsiran ekstensif yaitu suatu penafsiran hukum yang bersifat memperluas

ini pengertian suatu ketentuan hukum dengan maksud agar dengan perluasan

tersebut, hal-hal yang tadinya tidak termasuk dalam ketentuan hukum

tersebut sedangkan ketentuan hukum lainnya pun belum ada yang

mengaturnya, dapat dicakup oleh ketentuan hukum yang diperluas itu.

Akibatnya masalah-masalah yang ditimbulkan oleh hal-hal tersebut dapat

dipecahkan dengan menggunakan ketentuan hukum yang isinya telah

diperluas melalui penafsiran ini, sehingga tidak perlu lagi repot-repot disusun

suatu ketentuan hukum yang baru lagi, yang khusus dibuat hanya untuk

mengatur hal-hal baru yang itu saja. Contoh penafsiran ekstensi adalah Pasal

100 KUHP yang memperluas pengertian “kunci palsu” dengan menegaskan

: “yang masuk sebutan kunci palsu yaitu sekalian perkakas yang gunanya

tidak untuk pembuka kunci itu”.

h.Penafsiran restriktif adalah penafsiran hukum yang pada dasarnya

merupakan lawan atau kebalikan dari penafsiran ekstensif.Kalau penafsiran

ekstensif bersifat memperluas pengertian suatu ketentuan hukum, maka

penafsiran restriktif justru bersifat membatasi atau memperkecil pengertian

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

26

suatu ketentuan hukum dengan maksud agar dengan pembatasan tersebut,

ruang lingkup pengertian ketentuan hukum tersebut tidak lagi menjadi terlalu

luas sehingga kejelasan, ketegasan dan kepastian hukum yang terkandung di

dalamnya akan lebih mudah diraih. Akibatnya dalam penerapan dan

pelaksanaannya, ketentuan hukum tersebut akan lebih mengena terhadap

sasarannya karena memang maknanya sendiri telah dibatasi dan diarahkan

secara khusus kepada masalah yang menjadi sasaran pengaturannya. Contoh

penafsiran restriktif adalah Pasal 15 ayat 3 KUHP yang membatasi dan

menegaskan pengertian “masa percobaan” dengan menetapkan : “tempo

percobaan itu tidak dihitung selama kemerdekaan si terhukum dicabut

dengan sah”.

i.Penafsiran a contrario adalah penafsiran hukum yang didasarkan pada

pengertian atau kesimpulan yang bermakna sebaliknya dari isi pengertian

ketentuan hukum yang tersurat. Contoh penafsiran a contrario adalah Pasal

77 KUHP yang menegaskan bahwa hak (penuntut) untuk menuntut hukum

terhadap tertuduh menjdi gugur bila si tertuduh meninggal dunia.Jadi, secara

kebalikannya dapat ditafsirkan bahwa kalau si tertuduh belum meningggal,

hak penuntut untuk menuntut atas dirinya belumlah gugur, sepanjang tidak

adanya hal-hal lain yang juga dapat menggugurkan hak penuntutan tersebut

(seperti yang diatur Pasal 78 KUHP).

j. Penafsiran penyamaan atau penafsiran pengangkatan adalah penafsiran

hukum yang sifatnya mengangkat kedudukan hal-hal yang lebih rendah

derajatnya dan menyamakannya dengan hal-hal yang lebih tinggi derajatnya,

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

27

yang tujuannya juga untuk penegasan kepastian hukum. Contoh penafsiran

penyamaan adalah penafsiran hukum yang menyamakan kedudukan Perpu

dengan kedudukan undang-undang dalam keadaan darurat.28

C. Tinjauan Umum Hakim

a. Pengertian Hakim

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP).Sedangkan istilah

hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau

Mahkamah; Hakim juga berarti pengadilan, jika orang berkata “perkaranya

telah diserahkan kepada Hakim”.Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan

negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselengaranya negara

hukum Republik Indonesia (Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 UUD

No.48/2009).

Berhakim berarti minta diadili perkaranya; menghakimi artinya berlaku

sebagai hakim terhadap seseorang; kehakiman artinya urusan hukum dan

pengadilan, adakalanya istilah hakim dipakai terhadap seseorang budiman,

ahli, dan orang yang bijaksana.Hakim di dalam menjalankan tugas dan

fungsinya wajib menjaga kemandirian peradilan.

Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar

kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana

28Tanpa Nama, Pengertian Penafsiran Hukum dan Macam-Macam Penafsiran Hukum, terdapat

dalam http://www.ensikloblogia.com, diakses pada tanggal 16 Februari 2017

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

28

dimaksuddalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan peraturan perundang-

undangan (Pasal 3 Undang-Undang No.48 Tahun 2009).

b. Kewajiban Hakim

Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (mengadili),

mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan

memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di

sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-

undang ini (Pasal 1 Ayat (9) KUHAP).

Ia tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada aturan hukumnya

atau aturan hukumnya kurang jelas. Oleh karena hakim itu dianggap mengetahui

hukum maka jika aturan hukum tidak ada ia harus menggalinya dengan ilmu

pengetahuan hukum, jika aturan hukum kurang jelas maka ia harus menafsirkan

dan jika tidak ada aturan hukum tertulis ia dapat menggunakan hukum adat.

Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum, wajib menggali, mengikuti,

dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat.Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan

kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil profesional, dan berpengalaman di

bidang hukum.Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan

Pedoman Perilaku Hakim (Pasal 5 Undang-Undang No.48 Tahun 2009.

Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat

hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan

suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.

Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

29

ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang

sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak

yang berperkara. (pasal 17 Ayat (3-5) Undang-Undang No.48 Tahun 2009).

Hakim ketua dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan harus

menggunakan bahasa Indonesia yang dapat dimengerti oleh para penggugat dan

tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153 KUHP). Di dalam praktik

adakalanya hakim menggunakan bahasa daerah, jika yang bersangkutan masih

kurang paham terhadap apa yang diucapkannya atau ditanyakan hakim. Hakim

ketua membuka sidang dengan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali

perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.Jika hakim dalam

memeriksa perkara menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh terdakwa

atau saksi dan mereka tidak bebas memberikan jawaban, dapat berakibat

putusan batal demi hukum.

c. Peranan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat lain, ia harus benar-benar

menguasai hukum sesuai dengan sistem yang dianut di Indonesia dalam

pemeriksaan di sidang pengadilan. Hakim harus aktif bertanya dan memberi

kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh Penasihat Hukum

untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula Penuntut Umum. Semua itu

dimaksudkan untuk menemukan kebenaran materil dan pada akhirnya

hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya29

d. Hal-hal yang Menjadi Tanggung Jawab Hakim diantaranya adalah :

29Andi Hamzah.1996. KUHP dan KUHAP.Jakarta. Penerbit Rineka Cipta. hal.101

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

30

1.Justisialis Hukum; adalah meng-adilkan.Jadi putusan Hakim yang dalam

praktiknya memperhitungkan kemanfaatan doel matigheid perlu di-

adilkan.Makna dari hukum de zin van het recht terletak dalam

gerechtigheid keadilan.Tiap putusan yang diambil dan dijatuhkan dan

berjiwa keadilan, sebab itu adalah tanggung jawab jurist yang terletak

dalam justisialisasi daripada hukum.

2.Penjiwaan Hukum; dalam berhukum recht doen tidak boleh merosot

menjadi suatu adat yang hampa tanpa jiwa, melainkan senantiasa diresapi

oleh jiwa untuk berhukum. Jadi hakim harus memperkuat hukum dan

harus tampak sebagai pembela hukum dalam memberi putusan.

3.Pengintegrasian Hukum; hakim perlu senantiasa sadar bahwa hukum

dalam kasus tertentu merupakan ungkapan daripada hukum pada

umumnya. Oleh karena itu putusan Hakim pada kasus tertentu tidak

hanya perlu diadakan dan dijiwakan melainkan perlu diintegrasikan

dalam sistem hukum yang sedang berkembang oleh perundang-

undangan, peradilan dan kebiasaan. Perlu dijaga supaya putusan hukum

dapat diintegrasikan dalam hukum positif sehingga semua usaha

berhukum senantiasa menuju ke pemulihan pada posisi asli

4. Totalitas Hukum; maksudnya menempatkan hukum keputusan Hakim

dalam keseluruhan kenyataan. Hakim melihat dari dua segi hukum, di

bawah ia melihat kenyataan ekonomis dan sosial, sebaliknya di atas

Hakim melihat dari segi moral dan religi yang menuntut nilai-nilai

kebaikan dan kesucian. Kedua tuntutan itu perlu dipertimbangkan oleh

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

31

Hakim dalam keputusan hukumnya, di saat itu juga segi social-ekonomis

menuntut pada Hakim agar keputusannya memperhitungkan situasi dan

pengaruh kenyataan sosial-ekonomis.

5. Personalisasi Hukum; personalisasi hukum ini mengkhususkan

keputusan pada personal (kepribadian) dari para pihak yang mencari

keadilan dalam proses.Perlu diingat dan disadari bahwa mereka yang

berperkara adalah manusia yang berpribadi yang mempunyai

keluhuran.Dalam personalisasi hukum ini memunculkan tanggung jawab

hakim sebagai pengayom (pelindung), di sini hakim dipanggil untuk bisa

memberikan pengayoman kepada manusia-manusia yang wajib

dipandangnya sebagai pribadi yang mencari keadilan.30

D. Tinjauan Umum KUHAP

Eksistensi Hukum Acara Pidana sangat diperlukan dan sifatnya esensial

dalam rangka penegakan Hukum Pidana Materil. Oleh karena itu, eksistensi

Hukum Acara Pidana sangat penting dalam kelangsungan ketentuan Hukum

Pidana Materil. Secara tegas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Pidana Materil

tidak bersifat memaksa (Dwingend Recht) apabila tanpa adanya dukungan dan

proses dari ketentuan Hukum Acara Pidana.

J.M. van Bammelen, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah memberikan

definisi tentang hukum acara pidana sebagai berikut:

30Nanda Agung Dewantoro. 1987. Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani Suatu

Perkara Pidana.Jakarta, Indonesia. Penerbit Aksara Persada. hal. 149

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

32

Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh

negara, karena adanya terjadi pelanggaran undang-undang pidana, yaitu sebagai

berikut:

1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat

dan kalau perlu menahannya; 4.Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijs materiaal) yang telah

diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa kedepan hakim tersebut;

5. Hakim memberikan putusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib.

6. Upaya hukum untuk melawan putusan tersebut; 7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata

tertib. 31

a. Menurut Wirjono Prodjodikoro :

Jika suatu perbuatan dari seorang tertentu menurut peraturan Hukum

Pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana, jadi

jika ternyata ada hak badan pemerintah yang bersangkutan untuk menuntut

seorang guna mendapat hukuman pidana, timbullah cara bagaimana hak

menuntut itu dapat dilaksanakan, cara bagaimana akan didapat suatu putusan

pengadilan yang menjatuhkan suatu hukuman pidana harus dijalankan. Hal

ini semua harusdiatur dan peraturan inilah yang dinamakan Hukum Acara

Pidana32

b. Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana

31Ramelan. 2006. Hukum Acara Pidana (Teori dan Implementasinya). Jakarta. Penerbit :

Sumber Ilmu Jaya. Hal.2 32 Wirjono Projodikoro,S.H. 1974. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung. Penerbit

Citra Aditya Bakti, Hal. 15

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

33

Menurut Bambang Poernomo bahwa tugas dan fungsi hukum acara pidana

melalui alat perlengkapannya ialah :

1. Untuk mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran;

2. Mengadakan penuntutan hukum dengan tepat;

3. Menerapkan hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan;

4. Melaksanakan keputusan secara adil.

Menurut pedoman pelaksanaan KUHAP (Keputusan Menteri

Kehakiman R.I Nomor M.01.PW.07.03. Tahun 1982: “Tujuan dari hukum

acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya

dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara

pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang

dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya

meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan

apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah

orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”. 33

Menurut Achmad Ali hukum acara pidana bertujuan untuk:

"melindungi kepentingan publik, sehingga salah satu pihak dalam perkara

pidana adalah jaksa dalam kapasitasnya sebagai penuntut umum berhadapan

dengan terdakwa. Tugasnya adalah membuktikan unsur-unsur delik pidana

yang didakwakannya atas diri terdakwa".

E. Tinjauan Umum Pembuktian

33Ibid Hal.5

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

34

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan

mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti

yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian,

akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari

pembuktian. Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil

atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.34

Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha

untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima

akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.35

Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah

terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus

mempertanggungjawabkannya.36

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yangdibenarkan undang-undang membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga

merupakanketentuan yang mengatur alat-alat bukt i yang dibenarkan undang-

undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang

didakwakan.

Adapun Teori-Teori atau Sistem Pembuktian, diantaranya adalah : a. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim

34Subekti.2001. Hukum Pembuktian.Jakarta. Penerbit Pradnya Paramitha. Hal.1 35 Martiman Prodjohamidjojo. 1984.Komentar atas KUHAP.Jakarta. Pradnya Paramitha. Hal 11

36Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta, Penerbit : Djembatan. Hal.133

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

35

Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap

perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian

“keyakinan” hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau

dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim.

Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti

yang ada.Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim

tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada

tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan

bersalah.Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif

sekali.

Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan

kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesanperseorangan sehingga sulit

untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis

yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak

mengakibatkan putusan bebas yang aneh.37

b. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan

Yang Logis (Conviction In Raisone)

Sistem pembuktian Conviction In Raisone masih mengutamakan

penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu satunya alasan untuk

menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai

37A. Minkenhof, hal. 219, dikutip Andi Hamzah. (1985). Pengantar Hukum Acara Pidana

Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 241

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

36

pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang

sehat.

Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang

tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-

undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan

undang-undang.Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan

hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Sistem

pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.

a. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif

(Positief Wettelijk Bewijstheori)

Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian

conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah

tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya bukti sah menurut

undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa.

Teori ini sangat mengabaikan pertimbangan keyakinan hakim. Jadi

sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi

dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak

didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus

dibebaskan.Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara

pembuktian dan alat bukti yang sah menurutundang-undang maka terdakwa

tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana.38

38D. Simons. (1952). Beknopte handleiding tot het wetboek van strafvordering, Haarlem, de

Erven F. Bohn, hal.114

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

37

d.Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif

(Negatief Wettelijk Stelsel)

Sistem pembuktian negatief wettelijkterletak antara dua sistem yang

berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan

sistem pembuktian conviction intime. Artinya hakim hanya boleh

menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan

apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang.

Dalam sistem negatif wetteljikada dua hal yang merupakan syarat

untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: pertama Wettelijk” yaitu

adanya alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan

kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga

berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.

Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan

causal (sebab akibat).Meskipun terdakwa telah terbukti menurut cara dan

dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim

tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan

terdakwa.

F. Proses Jalannya Persidangan Pidana di Pengadilan

a. Pembacaan Surat Dakwaan, meliputi :

1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka

untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah

umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

38

2.Terdakwa Hadir di persidangan Jika tidak hadir Hakim menanyakan alasan

ketidak hadiran terdakwa Hakim menanyakan apakah terdakwa telah

dipanggil secara sah. Apabila tidak sah, diadakan pemanggilan ulang

(selama 3x)

3. Hakim menanyakan kepada terdakwa apakah ia didampingi oleh PH Bagi

tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana mati/lebih 15

thn/lebih 5 thn wajib didampingi PH (Ps. 56 KUHAP)

4. Apabila didampingi PH, Hakim menanyakan surat kuasa dan surat izin

beracara

5. Hakim menanyakan identitas terdakwa

6. Hakim mengingatkan terdakwa untuk memper-hatikan apa yang terjadi

selama persidangan

7. Hakim mempersilahkan JPU untuk membacakan surat dakwaannya

8. Hakim menanyakan kepada terdakwa apakah terdakwa mengerti isi dan

maksud surat dakwaan

9. Hakim menjelaskan isi dan maksud surat dakawaan secara sederhana jika

terdakwa tidak mengerti Alur Peradilan

10.Hakim Ketua Majelis menanyakan kepada terdakwa/PH apakah ia

keberatan dengan surat dakwaan tersebut

11. Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda

b. Eksepsi (jika ada), tata caranya meliputi :

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

39

1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka

untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah

umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum

2. Terdakwa hadir di ruang sidang

3. Hakim Ketua Majelis menanyakan kepada terdakwa/PH apakah sudah siap

dengan eksepsinya

4. Hakim Ketua Majelis memberikan kesempatan kepadaTerdakwa/PH

membacakan eksepsinya

5. Hakim ketua menanyakan kesiapan JPU untuk memberikan tanggapan

terhadap eksepsi terdakwa. Apabila JPU akan menanggapi eksepsi maka

sidang ditunda untuk pembacaan tanggapan JPU (lanjut ke form 3 dan form

4). Apabila JPU tidak akan menanggapi eksepsi maka sidang ditunda untuk

pembacaan putusan sela (lanjut ke form 5)

6. Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda

7. Hakim Ketua menyatakan Putusan akan diberikan bersamaan dengan

Putusan mengenai perkara pokoknya

c. Tanggapan JPU

1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka

untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa

dibawahumur sidang dinyatakan tertutup untuk umum

2. Terdakwa hadir di ruang sidang

3. Hakim Ketua Majelis menanyakan kepada JPU apakah sudah siap dengan

tanggapannya

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

40

4. Hakim Ketua Majelis memberikan kesempatan kepada JPU untuk

membacakan tanggapannya

5. Hakim Ketua Majelis menanyakan kepada terdakwa/PH apakah

akanmenanggapi tanggapan JPU

6. Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda

d. Tanggapan atas Tanggapan JPU

1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka

untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah

umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum

2. Terdakwa hadir di ruang sidang

3. Hakim Ketua Majelis menanyakan kepada Terdakwa/PH apakah sudah

siap dengan tanggapan atas tanggapan JPU

4. Hakim Ketua Majelis memberikan kesempatan kepada Terdakwa/PH untuk

membacakan tanggapan atas tanggapan JPU

5. Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda

e. Putusan Sela

1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka

untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah

umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum

2. Terdakwa hadir di ruang sidang Hakim Ketua Majelis membacakan

putusan sela Isi Putusan Sela: Majelis menerima eksepsi yang diajukan

oleh Terdakwa

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

41

3. Jika ya, sidang dilanjutkan pada tahap selanjutnya, Jika tidak, sidang

dinyatakan ditutup.

4. Hakim Ketua Majelis menanyakan kepada JPU apakah sudah siap dengan

pembuktian

5. Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda

f. Pembuktian (Pemeriksaan saksi/saksi ahli)

1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka

untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah

umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum

2. Hakim memeriksa apakah sudah tidak ada saksi-saksi yang akan

memberikan keterangannya yang masih di ruang sidang

3. Hakim mempersilahkan saksi yang masih ada di ruangsidang untuk keluar

Pemeriksaan Saksi

4. Hakim Ketua Majelis memerintahkan kepada JPU/PH untuk menghadirkan

saksi/saksi ahli ke ruang sidang, terdakwa menempati tempatnya disamping

PH.

5. Hakim menanyakan kesehatan saksi/saksi ahli

6. Hakim menanyakan identitas saksi/saksi ahli

7. Hakim menanyakan apakah saksi mempunyai hubungan sedarah atau

semenda atau hubungan pekerjaan dengan terdakwa , Jika Ya (diperdalam

dengan dialog)

8. Saksi/saksi ahli disumpah

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

42

9. Majelis Hakim mengajukan pertanyaan kepada saksi/saksi ahli ,diperjelas

dengan dialog

10. JPU mengajukan pertanyaan kepada saksi/saksiahli,

11. PH mengajukan pertanyaan kepada saksi/saksiahli

12. Setiap saksi selesai memberikan keterangannya, Hakim menanyakan

kepada terdakwa benar/tidaknya keterangan saksi tersebut

13. Apakah saksi/saksiahli menarik kembaliketerangan dalam BAP

penyidikPemeriksaan Barang Bukti

14. JPU mperlihatkan barang bukti di persidangan

15. Hakim menanyakan kepada terdakwa dan saksi-saksi mengenai barang

bukti tersebut Hakim meminta kepada JPU,PH, terdakwa, saksi untuk

maju ke muka sidang dan memperlihatkan barang bukti tersebut

Pemeriksaan Terdakwa

16. Hakim mengajukan pertanyaan kepada terdakwa

17. Hakim mempersilahkan JPU untuk mengajukan pertanyaan

18. JPU mengajukan pertanyaan kepada terdakwa Diperjelas dengan dialog

19. PH mengajukan pertanyaan kepada terdakwa diperjelas dengan dialog

20. Setelah pemeriksaan keterangan saksi/saksi ahli, terdakwa serta barang

bukti, Hakim menanyakan kepada JPU untuk dapat membacakan

tuntutannya

21. Sidang ditunda Urutan bertanya pada tahap pemeriksaan saksi/saksi ahli

(Saksi a charge)39. Hakim Ketua, Hakim Anggota,JPU lalu PH. Urutan

39saksi yang memberatkan terdakwa/saksi dariJPU

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

43

bertanya pada tahap pemeriksaan saksi/saksi ahli (saksi a de charge)40:

Hakim Ketua, Hakim anggota, PH, lalu JPU. Saksi a de charge.

g. Pembacaan Tuntutan (Requisitoir)

1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka

untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah

umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum

2. Terdakwa berada di ruang sidang

3. JPU membacakan tuntutannya

4. Hakim menanyakan kepada PH apakah akan mengajukan pembelaan

5. Sidang ditunda

h. Pembacaan Pembelaan (Pledoi)

1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka

untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah

umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum

2. Hakim mempersilahkan PH membacakan pembelaannya

3. PH membacakan pembelaannya

4. Hakim menanyakan kepada JPU apakah akan mengajukan Replik

5. Sidang ditunda

i. Pembacaan Replik (Tanggapan dari JPU atas Pledooi PH)

1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka

untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah

umur sidangdinyatakan tertutup untuk umum

40saksiyang meringankan terdakwa/ saksi dari PH

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

44

2. Terdakwa hadir dalam persidangan

3. Hakim mempersilahkan JPU membacakan Repliknya

4. Hakim menanyakan kepada PH apakah akan mengajukan Duplik, sidang di

tunda

j. Pembacaan Duplik

1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka

untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah

umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum

2. Terdakwa hadir di dalam persidangan

3. Hakim mempersilahkan PH membacakan Dupliknya

4. Sidang ditunda untuk pembacaan Putusan 41

G. Tinjauan Umum Pembuktian Saksi

Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang

menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan

keterangan, tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana

berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku42

Pasal 1 angka 26 KUHAP menjelaskan saksi adalah orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan

tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami

sendiri.

41 Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Alur Peradilan Pidana, terdapat dalam

https://yustypurba.files.wordpress.com, access 21 Februari 2017 42Mohammad Taufik. 2010. Makaro dan Suhasril. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan

Praktek. Bogor. Penerbit Ghalia Indonesiahlm. 107

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

45

a. Ketentuan Saksi yang mempunyai nilai dan kekuatan Pembukian

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau degree of evidence

keterangan saksi, agar keterangan saksi mempunyai nilai serta kekuatan

pembuktian perlu dipenuhi ketentuan sebagai berikut :

1. Keterangan Saksi diucapkan dalam Sidang Pengadilan

Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai

dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP yaitu keterangan

yang saksi lihat, dengar, dan alami sendiri serta menyebut alasan dari

pengetahuannya itu.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 185 Ayat (1) KUHAP keterangan saksi

dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan tersebut dinyatakan

dalam sidang pengadilan. Dari ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP

dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 Ayat (1) KUHAP tersebut dapat

dipahami bahwa setiap keterangan saksi diluar apa yang didengarnya sendiri

dalam peristiwa pidana yang terjadi atau diluar yang dilihat atau dialaminya

dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan diluar

pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu

peristiwa pidana yang terjadi , tidak dapat dijadikan dan bernilai sebagai alat

bukti sehingga keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai

pembuktian oleh karena keterangan tersebutmengarah kepada testimonium

de auditudan43 sebatas pendapat atau rekaan.

43keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

46

2.Harus mengucapkan sumpah atau janji

Berdasarkan Pasal 160 Ayat (3) KUHAP sebelum saksi memberikan

keterangan, wajib mengucapkan sumpah atau janji yang dilakukan menurut

agamanya masing-masing dan lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi

akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain dari

yang sebenarnya.

Pada prinsipnya sumpah atau janji diucapkan sebelum saksi memberikan

keterangan, akan tetapi Pasal 160 Ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan

saksi untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan

keterangan. Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji

tanpa alasan yang sah, dalam Pasal 161 KUHAP ditentukan bahwa terhadap

saksi dapat dikenakan sandera yang dilakukan berdasarkan penetapan

hakim ketua sidang yang dilakukan paling lama empat belas hari.

3. Keterangan seorang saksi tidak cukup

Bahwa prinsip umum pembuktian yang dianggap cukup menurut sistem

pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP yaitu sekurang-

kurangnya dengan dua alat bukti yang sah, atau minimum kesalahan

terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah.

Keterangan seorang saksi saja baru bernilai sebagai satu alat bukti yang

harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain. Bahwa berdasarkan

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan kesalahan terdakwa atau unus testis nullus testis, kesaksian

semacam ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

47

4. Keterangan saksi yang saling berhubungan

Keterangan beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti

serta mempunyai kekuatan pembuktian apabila keterangan para saksi

tersebut saling berhubungan dan saling menguatkan tentang kebenaran

suatu keadaan atau kejadian tertentu sebagaiman yang ditentukan Pasal 185

Ayat (4) dengan kata lain bahwa saksi yang banyak tapi berdiri sendiri-

sendiri, masing-masing mereka dikategorikan saksi tunggal yang tidak

memiliki kekuatan pembuktian karena keterangan saksi tunggal tidak

memadai untuk membukikan kesalahan terdakwa.

Ketentuan yang sudah terpenuhi selanjutnya akan dinilai oleh hakim

dan direkonstruksikan kembali mengenai kebenaran keterangan saksi yang

berdasarkan Pasal 185 Ayat (6) KUHAP hakim ditunut untuk

memperhatikan :

1.1 Persesuaian antara keterangan saksi

1.2 Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain

1.3.Alasan saksi memberikan keterangHakim harus mencari alasan saksi

kenapa memberikan keterangan seperti itu, tanpa mengetahui alasan saksi

yang pasti, akan memberikan gambaran yang kabur bagi hakim tentang

keadaan yang diberikan.

H. Tinjauan Umum Tentang Pemenuhan Kewajiban Hakim dalam

Megendalikan Saksi di Persidangan

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

48

Sesuai ketentuan KUHAP Bagian Ketiga Acara Pemeriksaan Biasa pasal

159yang menjelaskan mengenai tata cara pembuktian saksi di sebutkan bahwa

:

1. Hakim Ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang lainnya sebelum memberi keterangan di siding

2. Dalam Hal saksi tidak hadir, meskipun telah di panggil dengan sah dan hakim ketua siding mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut di hadapkan di persidangan.

Dalam penjelasan pasal tersebut tujuan adanya pasal 159 KUHAP tersebut

adalah untuk mencegah jangan sampai terjadi saling mempengaruhi

diantara para saksi, sehingga keterangan saksi tidak dapat diberikan secara

bebas.

Pada pasal selanjutnya yaitu pasal 160 KUHAP dijelaskan bahwa

cara pemanggilan saksi di persidangan dijelaskan dengan lebih kongkrit

yakni “saksi di panggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang

menurut urutan yang di pandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang

setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat

umum”.

I. Tinjauan Pencapaian Kepastian Hukum

Kamus Umum Bahasa Indonesia menerangkan, kepastian berasal dari kata

pasti yang berarti tentu, sudah tetap, tidak boleh tidak, sehingga kepastian

berarti ketentuan, ketetapan.44

44WJS.Poerwadarminta.1985. Kamus Bahasa Indonesia.Jakarta. Penerbit P.N.Balai Pustaka

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

49

Hukum menurut para ahli diartikan sebagai berikut diantaranya:

a. Utrecht, dalam bukunya pengantar dalam hukum indonesia : ”Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.”

b. Ridwan Halim dalam bukunya pengantar tata hukum indonesia dalam tanya jawab menguraikan :

”Hukum merupakan peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang pada dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat.”

c. Sunaryati Hartono, dalam bukunya capita selecta perbandingan hukum, mengatakan :

”Hukum itu tidak menyangkut kehidupan pribadi seseorang, akan tetapi menyangkut dan mengatur berbagai aktivitas manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya, atau dengan perkataan lain, hukum mengatur berbagai aktivitas manusia di dalam hidup bermasyarakat.”45

Kepastian hukum merupakan salah satu dari tujuan hukum yang ada di

Indonesia. Kepastian hukum merupakan barometer penerapan hukum di

Indonesia. Banyaknya permasalahan hukum di Indonesia menyebabkan

ketidakpastian penerapan hukum, sehingga seringkali penerapan hukum dalam

kenyataan tidak sesuai bahkan jauh berbeda dengan teori yang ada. Semakin

baik suatu negara hukum berfungsi, maka semakin tinggi tingkat kepastian

hukum nyata. Sebaliknya bila suatu negara tidak memiliki sistem hukum yang

berfungsi secara otonom, maka kecil pula tingkat kepastian hukumnya.46

Sejak mengumandangkan kemerdekaan Indonesia sejak 70 tahun lalu

hingga saat ini Indonesia masih dirasa kurang produktif dalam membuat hukum

bagi masyarakat. Tidak sedikit peraturan yang dibuat oleh pemerintah, akan

45Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia,Jakarta : SinarGrafika, 2004, hlm. 6-7.

46 Jan Michiel Otto. 2003. Kepastian Hukum di Negara Berkembang. Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. hal.5-6

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

50

tetapi hal tersebut dirasa semakin lama menjadi semakin tumpang tindih

sehingga membingungkan masyarakat. Indonesia sebagai negara berkembang

tidak luput dari permasalahan hukum terutama dalam penerapannya. Kepastian

hukum merupakan suatu tujuan hukum yang mengutamakan kepada kumpulan

peraturan tanpa melihat keadilan maupun kemanfaatan. Menurut Utrecht,

kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan

yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh

atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu

dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat

umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau

dilakukan oleh negara terhadap individu.47

Kepastian hukum termasuk dalam aliran normatif yuridis. Aliran normatif

yuridis, menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu adalah untuk

menciptakan kepastian hukum. Aliran normatif/yuridis dogmatis yang

pemikirannya bersumber pada positivistis yang beranggapan bahwa hukum

sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri, tidak lain hanyalah kumpulan aturan

yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum

yang tertulis saja, dan tujuan pelaksanaan hukum dalam hal ini untuk sekadar

menjamin terwujudnya kepastian hukum.48

Menurut aliran ini selanjutnya, walaupun aturan hukum atau penerapan

hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi

47 Riduan Syahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Aditya Bakti. Hal.23

48 Ahmad Rifai. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. hal. 130

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orisinalitas Penelitianeprints.umm.ac.id/37716/3/jiptummpp-gdl-septiekasa-47787-3-babii.pdfPenelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani 16yang

51

mayoritas warga masyarakat, hal tersebut tidaklah menjadi masalah, asalkan

kepastian hukum dapat ditegakkan

Kepastian hukum dalam artian undang-undang maupun suatu peraturan

setelah diperundangkan akan dilaksanakan dengan pasti oleh pemerintah.

Kepastian hukum berarti setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan

dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap pelanggaran hukum akan

ditindak dan dikenakan sanksi hukum juga