bab ii tinjauan pustaka a. orisinalitas...
TRANSCRIPT
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Orisinalitas Penelitian
Orisinalitas sebuah karya, tentu kita tahu bahwa dalam membuat sebuah
karya kita haruslah menjaga orisinalitas dari karya kita, terutama pada karya
akademik.Orisinalitas merupakan kriteria utama dan kata kunci dari hasil
karya akademik terutama pada tingkat doktor. Karya akademik, khususnya
skripsi, tesis, dan disertasi, harus memperlihatkan bahwa karya itu
orisinal.Untuk lebih memudahkan maka dari itu penulis mengambil sampel
tiga penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan masalah dengan penelitian
yang akan dilakukan penulis untuk dijadikan perbandingan agar terlihat
keorisinalitasan dari penulis.
Penelitian yang pertama pernah dilakukan oleh Yusi Amdani
16yang melakukan penelitian tentang “Implikasi Penafsiran Undang-Undang
Oleh Hakim Praperadilan Dalam Tindak Pidana Korupsi” dalam penelitian
tersebut memang ada kesamaan dengan penelitian penulis yaitu tentang
penafsiran hakim, namun permasalahan yang diteliti oleh saudara Yusi
Amdani lebih menekankan pada Hakim dalam memutuskan suatu perkara
dapat melakukan penafsiran hukum sepanjang belum ditentukan secara tegas
dalam peraturan perundang-undangan. Atas dasar setiap putusan yang telah
ditetapkan oleh Hakim maka putusan tersebut harus dapat di
pertanggungjawabkan. Namun dalam Putusan No: 04/Pid.Prap/2015/PN.
16Bagian Hukum Pidana, Fakutas Hukum Universitas Samudera, Langsa, Aceh
18
Jkt.Sel, terkait perkara praperadilan Budi Gunawan terhadap KPK, hakim telah
melakukan penafsiran hukum yang dinilai bertentangan dengan KUHAP
sendiri. Hakim melakukan penafsiran terhadap KUHAP, atas status Budi
Gunawan sebagai tersangka korupsi. Putusan tersebut telah melemahkan
kewenangan KPK dan berakibat buruk dalam sistem peradilan pidana.17
Dari pemaparan tersebut dapat ditarik perbedaan antara penelitian terdahulu
dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian yang akan penulis
lakukan lebih mengarah pada ketentuan pasal 159 KUHAP yamh berisi :
1. Hakim Ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang lainnya sebelum memberi keterangan di siding
2. Dalam Hal saksi tidak hadir, meskipun telah di panggil dengan sah dan hakim ketua siding mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut di hadapkan di persidangan.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut di kemukakan bahwa tujuan
adanya pasal 159 tersebut adalah untuk mencegah jangan sampai terjadi saling
mempengaruhi diantara para saksi, sehingga keterangan saksi tidak dapat
diberikan secara bebas.
Pada pasal selanjutnya yaitu pasal 160 KUHAP dijelaskan bahwa cara
pemanggilan saksi di persidangan dijelaskan dengan lebih kongkrit yakni
“saksi di panggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan
yang di pandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar
pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat umum”. Dari ketentuan
17Yusi Amadani, Implikasi Penafsiran Undang-Undang Oleh Hakim Praperadilan dalam
Perkara Tindak Pidana Korupsi, terdapat dalam http://download.portalgaruda.org, access 15 Februari 2017
19
pasal tersebut tidak ada pasal lanjutan yang menjelaskan mengenai sanksi
berkenaan tidak dilakukannya peraturan pasal 159 dan pasal 160 tersebut.
Lebih dari itu penerapan pasal dalam persidanyan secara praktek tidak diatur
secara kongkrit oleh karena itu Hakim memiliki peran penting untuk dapat
menafsirkan isi pasal tersebut tentunya harus memastikan terciptanya asas
kepastian hukum. Karena jika tidak maka implikasinya akan sampai pada tidak
terpenuhinya hak-hak terdakwa,saksi dan para pihak yang berkaitan dalam
suatu persidangan pidana secara merata.
Selanjutnya jika di bandingkan dengan penelitian terdahulu oleh Fence
M.Wantu18 yang berjudul “Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan, dan
Kemanfaatan dalam Putusan Hakim di Peradilan Perdata” skripsi ini lebih
menitikberatkan masalah Putusan hakim di Pengadilan yang idealnya
mengandung aspek kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam
implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut,
terutama antara aspek kepastian hukum dan keadilan biasanya saling
bertentangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara tidak selamanya terpaku pada satu asas saja.
Kendala yang dihadapi hakim cenderung kepada kepastian hukum mengalami
kebuntuan manakala ketentuan-ketentuan tertulis tidak dapat menjawab
persoalan yang ada. Penekanan yang lebih cenderung kepada asas keadilan
berarti harus mempertimbangkan hukum yang ada di masyarkat. Hakim dalam
alas an dan pertimbangan hukumnya harus mampu mengakomodir segala
18 Fence M.Wantu,Fakultas Hukum, Universitas Gorontalo
20
ketentuan yang hidup dalam masyarakat berupa kebiasaan dan ketentuan
hukum yang tidak tertulis. Penekanan pada asas kemanfaatan akan cenderung
pada masalah ekonomis19.
Begitupun jika menilik hasil penelitian terdahulu dari saudara Arif
Hidayat20dalam penelitiannya yang berjudul “Penemuan Hukum Melalui
Penafsiran Hakim dalam Putusan Pengadilan” tersebut tujuannya untuk lebih
mendeskripsikan penemuan hukum dalam putusan hakim Mahkamah
Konstitusi (MK), dengan menggali beberapa kasus yang dimohonkan di MK
yang putusannya kemudian menyebabkan perubahan makna teks dari UUD
1945. Pendekatan yuridis normative digunakan untuk menyototi kesenjangan
hukum yang kerap terjadi dalam penerapan hukum dan konstitusi21.
Setelah mengkaji ketiga penelitian terdahulu diatas maka dapat
disimpulakan bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh penulis berbeda,
memiliki unsure kebaruan dan keorisinalitasan dari penelitian sebelumnya.
Sehingga hasil yang nantinya di dapat dari penelitian yang akan dilakukan
penulis ini akan dapat di gunakan sebagai penambah wawasan keilmuan bagi
kita semua.
B. Tinjauan Umum Penafsiran
19Marga Kahfi,Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam putusan
hakim di Peradilan Perdata, terdapat dalam https://www.academia.edu, access 15 Februari 2017 20 Arif Hidayat, Fakultas Hukum Universitas Semarang
21Arif Hidayat, Penemuan Hukum Melalui Penafsiran Hakim dalam Putusan Pengadilan,
terdapat dalam https://www.academia.edu, access 15 Februari 2017
21
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum
yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar
ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa
tertentu.Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan
perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli
hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang22.
Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-
daalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki
serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.23 Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata “penafsiran” diartikan sebagai: pemberian kesan,
pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsir. Padanan kata dari
penafsiran adalah interpretasi.24
Suatu Penafsiran juga dapat diartikan sebagai upaya interpretasi hukum
yakni suatu proses yang di tempuh oleh pengadilan dalam rangka mendapatkan
kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan atau bentuk-bentuk
otoritatif itu25
Teori penafsiran hukum diperkenalkan oleh Carl Von Savigny. Menurut
Savigny lebih lanjut, penafsiran hukum bukanlah metode yang dapat digunakan
semaunya melainkan harus terpusat kepada penafsiran undang-undang.
22Mohammad Aldyan, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, terdapat dalam https://sidik
ppln.wordpress.com, diakses pada tanggal 16 Februari 2017 23Rozieq, Penafsiran Hukum, terdapat dalam http://kuliahhukum-rozieq.blogspot.co.id,
diakses pada tanggal 16 Februari 20117 24Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, 1990, hal. 336.
25.Satjipto Rahardjo. 2006. Ilmu Hukum Cetakan Keenam. Bandung. Penerbit PT Citra Aditya Bakti. Hal.94
22
26Interpretasi atau menafsir undang-undang (wetsuitleg) menurut ajaran hukum
sebenarnya adalah alat pembantu dalam memberi arti, maksud atau ratio
terhadap suatu ketentuan undang-undang.
Hal itu disebabkan ketentuan hukum tidak dapat memberikan
penyelesaian terhadap permasalahan yang ada. Oleh karena itu dibutuhkan
penafsir undang-undang yang memahami tujuan hukum sesungguhnya dan
keputusannya memiliki legitimasi untuk mengikat, maka diserahkan wewenang
tersebut kepada lembaga peradilan. Apalagi dikarenakan lembaga peradilan
adalah tempat terakhir mencari keadilan dan tempat penyelesaian berbagai
perkara.
Dalam praktek harus diakui, seringkali dijumpai suatu permasalahan
yang tidak diatur dalam perundang-undangan (rechts vacuum) ataupun kalau
sudah diatur tetapi ketentuan perundang-undangan tersebut tidak mengatur
secara jelas dan lengkap serta tidak memiliki relevansi dengan rasa keadilan dan
perkembangan hukum masyarakat. 27
Macam-macam penafsiran hukumyang dikenal dalam pelaksanaan
hukum sehari- hari adalah sebagai berkut :
a. Penafsiran autentik yaitu suatu penafsiran hukum yang secara resmi
terhadap maksud dari ketentuan suatu peraturan hukum dimuat dalam
peraturan hukum itu sendiri karena penafsiran tersebut secara asli berasal
dari pembentuk hukum itu sendiri. Contoh penafsiran autentik adalah :
26Soedikno Mertokususmo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001,
hal 56-57 27Ahmad Syaukani dan A. Hasan Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Rajawali Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hal 33
23
Penafsiran tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia yang
dalam Pasal 1 Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 ditegaskan caranya,
yaitu dengan cara “ditembak”.
b. Penafsiran gramatikal yaitu suatu penafsiran hukum yang didasarkan pada
maksud pengertian perkataan-perkataan yang tersusun dalam ketentuan
suatu peraturan hukum, dengan catatan bahwa pengertian maksud perkataan
yang lazim bagi umumlah dipakai sebagai jawabannya. Contoh penafsiran
gramatikal adalah dalam Pasal 1 Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 yang
mengatur tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia hanya
menegaskan bahwa pelaksanaan hukuman mati dengan cara ditembak.
Tetapi meskipun demikian, secara gramatikal tentunya dapat ditafsirkan
bahwa penembakan itu bukanlah asal sembarang tembak, melainkan
penembakan yang menyebabkan kematian terpidana, atau dengan kata lain
terpidana ditembak sampai mati.
c.Penafsiran analogis adalah penafsiran hukum yang menganggap suatu hal
yang belum diatur dalam suatu hukum sebagai hal atau disamakan sebagai
hal yang sudah diatur dalam hukum tersebut, karena hal ini memang bisa dan
perlu dilakukan. Contoh penafsiran analogis adalah tenaga listrik atau aliran
listrik yang sebenarnya bukan berwujud barang dianggap sama dengan
barang atau ditafsirkan sama, sehingga pencurian tenaga listrik atau aliran
listrik dapat dihukum, meskipun dalam undang-undang masalah pencurian
listrik tersebut belum diatur.
24
d. Penafsiran sistematis yaitu penafsiran hukum yang didasarkan atas
sistematika pengaturan hukum dalam hubungannya antar pasal atau ayat
dari peraturan hukum itu sendiri dalam mengatur masalahnya masing-
masing.Contoh penafsiran sistematis adalah pengertian tentang “makar”
yang diatur dalam Pasal 87 KUHP secara sistematis dapat ditafsirkan
sebagai dasar bagi pasal-pasal 104-108 KUHP, Pasal 130 KUHP, dan Pasal
140 KUHP yang mengatur tentang aneka macam makar beserta sanksi
hukumnya masing-masing bagi para pelakunya.
e.Penafsiran sosiologis adalah penafsiran hukum yang didasarkan atas situasi
dan kondisi yang dihadapi dengan tujuan untuk sedapat mungkin berusaha
untuk menyelaraskan peraturan-peraturan hukum yang sudah ada dengan
bidang pengaturannya berikut segala masalah dan persoalan yang berkaitan
di dalamnya, yang pada dasarnya merupakan masalah baru bagi penerapan
peraturan hukum yang bersangkutan. Contoh penafsiran sosiologis adalah
orang yang dengan sengaja melakukan penimbunan barang-barang
kebutuhan pokok masyarakat secara sosiologis dapat ditafsirkan sebagai
telah melakukan tindak pidana ekonomi, yakni tindak pidana kejahatan
untuk mengacaukan perekonomian masyarakat, meskipun tujuan orang itu
hanyalah untuk mencari laba yang sebesar-besarnya untuk dirinya sendiri.
f.Penafsiran historis adalah penafsiran hukum yang dilakukan terhadap isi dan
maksud suatu ketentuan hukum yang didasarkan pada jalannya sejarah yang
mempengaruhi pembentukan hukum tersebut. Contoh penafsiran historis
adalah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda tidak dikenal
25
adanya adopsi atau pengangkatan anak, kecuali bagi golongan Timur Asing
Cina. Hal ini secara historis bisa disa ditafsirkan dari sejarah kehidupan
Bangsa Belanda sendiri yang pada mulanya hidup bermarga-marga di mana
ikatan keturunan darah asli dalam suatu marga menjadi pegangan dasar
kehidupan mereka.Akibatnya, demi keaslian keturunan marga tersebut,
maka mereka tidak membenarkan adanya adopsi.
g.Penafsiran ekstensif yaitu suatu penafsiran hukum yang bersifat memperluas
ini pengertian suatu ketentuan hukum dengan maksud agar dengan perluasan
tersebut, hal-hal yang tadinya tidak termasuk dalam ketentuan hukum
tersebut sedangkan ketentuan hukum lainnya pun belum ada yang
mengaturnya, dapat dicakup oleh ketentuan hukum yang diperluas itu.
Akibatnya masalah-masalah yang ditimbulkan oleh hal-hal tersebut dapat
dipecahkan dengan menggunakan ketentuan hukum yang isinya telah
diperluas melalui penafsiran ini, sehingga tidak perlu lagi repot-repot disusun
suatu ketentuan hukum yang baru lagi, yang khusus dibuat hanya untuk
mengatur hal-hal baru yang itu saja. Contoh penafsiran ekstensi adalah Pasal
100 KUHP yang memperluas pengertian “kunci palsu” dengan menegaskan
: “yang masuk sebutan kunci palsu yaitu sekalian perkakas yang gunanya
tidak untuk pembuka kunci itu”.
h.Penafsiran restriktif adalah penafsiran hukum yang pada dasarnya
merupakan lawan atau kebalikan dari penafsiran ekstensif.Kalau penafsiran
ekstensif bersifat memperluas pengertian suatu ketentuan hukum, maka
penafsiran restriktif justru bersifat membatasi atau memperkecil pengertian
26
suatu ketentuan hukum dengan maksud agar dengan pembatasan tersebut,
ruang lingkup pengertian ketentuan hukum tersebut tidak lagi menjadi terlalu
luas sehingga kejelasan, ketegasan dan kepastian hukum yang terkandung di
dalamnya akan lebih mudah diraih. Akibatnya dalam penerapan dan
pelaksanaannya, ketentuan hukum tersebut akan lebih mengena terhadap
sasarannya karena memang maknanya sendiri telah dibatasi dan diarahkan
secara khusus kepada masalah yang menjadi sasaran pengaturannya. Contoh
penafsiran restriktif adalah Pasal 15 ayat 3 KUHP yang membatasi dan
menegaskan pengertian “masa percobaan” dengan menetapkan : “tempo
percobaan itu tidak dihitung selama kemerdekaan si terhukum dicabut
dengan sah”.
i.Penafsiran a contrario adalah penafsiran hukum yang didasarkan pada
pengertian atau kesimpulan yang bermakna sebaliknya dari isi pengertian
ketentuan hukum yang tersurat. Contoh penafsiran a contrario adalah Pasal
77 KUHP yang menegaskan bahwa hak (penuntut) untuk menuntut hukum
terhadap tertuduh menjdi gugur bila si tertuduh meninggal dunia.Jadi, secara
kebalikannya dapat ditafsirkan bahwa kalau si tertuduh belum meningggal,
hak penuntut untuk menuntut atas dirinya belumlah gugur, sepanjang tidak
adanya hal-hal lain yang juga dapat menggugurkan hak penuntutan tersebut
(seperti yang diatur Pasal 78 KUHP).
j. Penafsiran penyamaan atau penafsiran pengangkatan adalah penafsiran
hukum yang sifatnya mengangkat kedudukan hal-hal yang lebih rendah
derajatnya dan menyamakannya dengan hal-hal yang lebih tinggi derajatnya,
27
yang tujuannya juga untuk penegasan kepastian hukum. Contoh penafsiran
penyamaan adalah penafsiran hukum yang menyamakan kedudukan Perpu
dengan kedudukan undang-undang dalam keadaan darurat.28
C. Tinjauan Umum Hakim
a. Pengertian Hakim
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP).Sedangkan istilah
hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau
Mahkamah; Hakim juga berarti pengadilan, jika orang berkata “perkaranya
telah diserahkan kepada Hakim”.Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselengaranya negara
hukum Republik Indonesia (Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 UUD
No.48/2009).
Berhakim berarti minta diadili perkaranya; menghakimi artinya berlaku
sebagai hakim terhadap seseorang; kehakiman artinya urusan hukum dan
pengadilan, adakalanya istilah hakim dipakai terhadap seseorang budiman,
ahli, dan orang yang bijaksana.Hakim di dalam menjalankan tugas dan
fungsinya wajib menjaga kemandirian peradilan.
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana
28Tanpa Nama, Pengertian Penafsiran Hukum dan Macam-Macam Penafsiran Hukum, terdapat
dalam http://www.ensikloblogia.com, diakses pada tanggal 16 Februari 2017
28
dimaksuddalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan (Pasal 3 Undang-Undang No.48 Tahun 2009).
b. Kewajiban Hakim
Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (mengadili),
mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan
memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di
sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini (Pasal 1 Ayat (9) KUHAP).
Ia tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada aturan hukumnya
atau aturan hukumnya kurang jelas. Oleh karena hakim itu dianggap mengetahui
hukum maka jika aturan hukum tidak ada ia harus menggalinya dengan ilmu
pengetahuan hukum, jika aturan hukum kurang jelas maka ia harus menafsirkan
dan jika tidak ada aturan hukum tertulis ia dapat menggunakan hukum adat.
Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum, wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil profesional, dan berpengalaman di
bidang hukum.Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim (Pasal 5 Undang-Undang No.48 Tahun 2009.
Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan
suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.
Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila
29
ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang
sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak
yang berperkara. (pasal 17 Ayat (3-5) Undang-Undang No.48 Tahun 2009).
Hakim ketua dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan harus
menggunakan bahasa Indonesia yang dapat dimengerti oleh para penggugat dan
tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153 KUHP). Di dalam praktik
adakalanya hakim menggunakan bahasa daerah, jika yang bersangkutan masih
kurang paham terhadap apa yang diucapkannya atau ditanyakan hakim. Hakim
ketua membuka sidang dengan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali
perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.Jika hakim dalam
memeriksa perkara menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh terdakwa
atau saksi dan mereka tidak bebas memberikan jawaban, dapat berakibat
putusan batal demi hukum.
c. Peranan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat lain, ia harus benar-benar
menguasai hukum sesuai dengan sistem yang dianut di Indonesia dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan. Hakim harus aktif bertanya dan memberi
kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh Penasihat Hukum
untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula Penuntut Umum. Semua itu
dimaksudkan untuk menemukan kebenaran materil dan pada akhirnya
hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya29
d. Hal-hal yang Menjadi Tanggung Jawab Hakim diantaranya adalah :
29Andi Hamzah.1996. KUHP dan KUHAP.Jakarta. Penerbit Rineka Cipta. hal.101
30
1.Justisialis Hukum; adalah meng-adilkan.Jadi putusan Hakim yang dalam
praktiknya memperhitungkan kemanfaatan doel matigheid perlu di-
adilkan.Makna dari hukum de zin van het recht terletak dalam
gerechtigheid keadilan.Tiap putusan yang diambil dan dijatuhkan dan
berjiwa keadilan, sebab itu adalah tanggung jawab jurist yang terletak
dalam justisialisasi daripada hukum.
2.Penjiwaan Hukum; dalam berhukum recht doen tidak boleh merosot
menjadi suatu adat yang hampa tanpa jiwa, melainkan senantiasa diresapi
oleh jiwa untuk berhukum. Jadi hakim harus memperkuat hukum dan
harus tampak sebagai pembela hukum dalam memberi putusan.
3.Pengintegrasian Hukum; hakim perlu senantiasa sadar bahwa hukum
dalam kasus tertentu merupakan ungkapan daripada hukum pada
umumnya. Oleh karena itu putusan Hakim pada kasus tertentu tidak
hanya perlu diadakan dan dijiwakan melainkan perlu diintegrasikan
dalam sistem hukum yang sedang berkembang oleh perundang-
undangan, peradilan dan kebiasaan. Perlu dijaga supaya putusan hukum
dapat diintegrasikan dalam hukum positif sehingga semua usaha
berhukum senantiasa menuju ke pemulihan pada posisi asli
4. Totalitas Hukum; maksudnya menempatkan hukum keputusan Hakim
dalam keseluruhan kenyataan. Hakim melihat dari dua segi hukum, di
bawah ia melihat kenyataan ekonomis dan sosial, sebaliknya di atas
Hakim melihat dari segi moral dan religi yang menuntut nilai-nilai
kebaikan dan kesucian. Kedua tuntutan itu perlu dipertimbangkan oleh
31
Hakim dalam keputusan hukumnya, di saat itu juga segi social-ekonomis
menuntut pada Hakim agar keputusannya memperhitungkan situasi dan
pengaruh kenyataan sosial-ekonomis.
5. Personalisasi Hukum; personalisasi hukum ini mengkhususkan
keputusan pada personal (kepribadian) dari para pihak yang mencari
keadilan dalam proses.Perlu diingat dan disadari bahwa mereka yang
berperkara adalah manusia yang berpribadi yang mempunyai
keluhuran.Dalam personalisasi hukum ini memunculkan tanggung jawab
hakim sebagai pengayom (pelindung), di sini hakim dipanggil untuk bisa
memberikan pengayoman kepada manusia-manusia yang wajib
dipandangnya sebagai pribadi yang mencari keadilan.30
D. Tinjauan Umum KUHAP
Eksistensi Hukum Acara Pidana sangat diperlukan dan sifatnya esensial
dalam rangka penegakan Hukum Pidana Materil. Oleh karena itu, eksistensi
Hukum Acara Pidana sangat penting dalam kelangsungan ketentuan Hukum
Pidana Materil. Secara tegas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Pidana Materil
tidak bersifat memaksa (Dwingend Recht) apabila tanpa adanya dukungan dan
proses dari ketentuan Hukum Acara Pidana.
J.M. van Bammelen, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah memberikan
definisi tentang hukum acara pidana sebagai berikut:
30Nanda Agung Dewantoro. 1987. Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani Suatu
Perkara Pidana.Jakarta, Indonesia. Penerbit Aksara Persada. hal. 149
32
Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh
negara, karena adanya terjadi pelanggaran undang-undang pidana, yaitu sebagai
berikut:
1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat
dan kalau perlu menahannya; 4.Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijs materiaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa kedepan hakim tersebut;
5. Hakim memberikan putusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib.
6. Upaya hukum untuk melawan putusan tersebut; 7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata
tertib. 31
a. Menurut Wirjono Prodjodikoro :
Jika suatu perbuatan dari seorang tertentu menurut peraturan Hukum
Pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana, jadi
jika ternyata ada hak badan pemerintah yang bersangkutan untuk menuntut
seorang guna mendapat hukuman pidana, timbullah cara bagaimana hak
menuntut itu dapat dilaksanakan, cara bagaimana akan didapat suatu putusan
pengadilan yang menjatuhkan suatu hukuman pidana harus dijalankan. Hal
ini semua harusdiatur dan peraturan inilah yang dinamakan Hukum Acara
Pidana32
b. Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana
31Ramelan. 2006. Hukum Acara Pidana (Teori dan Implementasinya). Jakarta. Penerbit :
Sumber Ilmu Jaya. Hal.2 32 Wirjono Projodikoro,S.H. 1974. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung. Penerbit
Citra Aditya Bakti, Hal. 15
33
Menurut Bambang Poernomo bahwa tugas dan fungsi hukum acara pidana
melalui alat perlengkapannya ialah :
1. Untuk mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran;
2. Mengadakan penuntutan hukum dengan tepat;
3. Menerapkan hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan;
4. Melaksanakan keputusan secara adil.
Menurut pedoman pelaksanaan KUHAP (Keputusan Menteri
Kehakiman R.I Nomor M.01.PW.07.03. Tahun 1982: “Tujuan dari hukum
acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya
dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara
pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang
dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan
apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”. 33
Menurut Achmad Ali hukum acara pidana bertujuan untuk:
"melindungi kepentingan publik, sehingga salah satu pihak dalam perkara
pidana adalah jaksa dalam kapasitasnya sebagai penuntut umum berhadapan
dengan terdakwa. Tugasnya adalah membuktikan unsur-unsur delik pidana
yang didakwakannya atas diri terdakwa".
E. Tinjauan Umum Pembuktian
33Ibid Hal.5
34
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan
mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti
yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian,
akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari
pembuktian. Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil
atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.34
Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha
untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima
akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.35
Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah
terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya.36
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yangdibenarkan undang-undang membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga
merupakanketentuan yang mengatur alat-alat bukt i yang dibenarkan undang-
undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang
didakwakan.
Adapun Teori-Teori atau Sistem Pembuktian, diantaranya adalah : a. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim
34Subekti.2001. Hukum Pembuktian.Jakarta. Penerbit Pradnya Paramitha. Hal.1 35 Martiman Prodjohamidjojo. 1984.Komentar atas KUHAP.Jakarta. Pradnya Paramitha. Hal 11
36Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta, Penerbit : Djembatan. Hal.133
35
Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap
perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian
“keyakinan” hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau
dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim.
Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti
yang ada.Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada
tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan
bersalah.Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif
sekali.
Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan
kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesanperseorangan sehingga sulit
untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis
yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak
mengakibatkan putusan bebas yang aneh.37
b. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan
Yang Logis (Conviction In Raisone)
Sistem pembuktian Conviction In Raisone masih mengutamakan
penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu satunya alasan untuk
menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai
37A. Minkenhof, hal. 219, dikutip Andi Hamzah. (1985). Pengantar Hukum Acara Pidana
Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 241
36
pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang
sehat.
Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang
tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-
undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan
undang-undang.Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan
hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Sistem
pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.
a. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif
(Positief Wettelijk Bewijstheori)
Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian
conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah
tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya bukti sah menurut
undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa.
Teori ini sangat mengabaikan pertimbangan keyakinan hakim. Jadi
sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi
dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak
didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus
dibebaskan.Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara
pembuktian dan alat bukti yang sah menurutundang-undang maka terdakwa
tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana.38
38D. Simons. (1952). Beknopte handleiding tot het wetboek van strafvordering, Haarlem, de
Erven F. Bohn, hal.114
37
d.Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif
(Negatief Wettelijk Stelsel)
Sistem pembuktian negatief wettelijkterletak antara dua sistem yang
berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan
sistem pembuktian conviction intime. Artinya hakim hanya boleh
menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang.
Dalam sistem negatif wetteljikada dua hal yang merupakan syarat
untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: pertama Wettelijk” yaitu
adanya alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan
kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga
berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.
Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan
causal (sebab akibat).Meskipun terdakwa telah terbukti menurut cara dan
dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim
tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan
terdakwa.
F. Proses Jalannya Persidangan Pidana di Pengadilan
a. Pembacaan Surat Dakwaan, meliputi :
1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka
untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah
umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum
38
2.Terdakwa Hadir di persidangan Jika tidak hadir Hakim menanyakan alasan
ketidak hadiran terdakwa Hakim menanyakan apakah terdakwa telah
dipanggil secara sah. Apabila tidak sah, diadakan pemanggilan ulang
(selama 3x)
3. Hakim menanyakan kepada terdakwa apakah ia didampingi oleh PH Bagi
tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana mati/lebih 15
thn/lebih 5 thn wajib didampingi PH (Ps. 56 KUHAP)
4. Apabila didampingi PH, Hakim menanyakan surat kuasa dan surat izin
beracara
5. Hakim menanyakan identitas terdakwa
6. Hakim mengingatkan terdakwa untuk memper-hatikan apa yang terjadi
selama persidangan
7. Hakim mempersilahkan JPU untuk membacakan surat dakwaannya
8. Hakim menanyakan kepada terdakwa apakah terdakwa mengerti isi dan
maksud surat dakwaan
9. Hakim menjelaskan isi dan maksud surat dakawaan secara sederhana jika
terdakwa tidak mengerti Alur Peradilan
10.Hakim Ketua Majelis menanyakan kepada terdakwa/PH apakah ia
keberatan dengan surat dakwaan tersebut
11. Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda
b. Eksepsi (jika ada), tata caranya meliputi :
39
1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka
untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah
umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum
2. Terdakwa hadir di ruang sidang
3. Hakim Ketua Majelis menanyakan kepada terdakwa/PH apakah sudah siap
dengan eksepsinya
4. Hakim Ketua Majelis memberikan kesempatan kepadaTerdakwa/PH
membacakan eksepsinya
5. Hakim ketua menanyakan kesiapan JPU untuk memberikan tanggapan
terhadap eksepsi terdakwa. Apabila JPU akan menanggapi eksepsi maka
sidang ditunda untuk pembacaan tanggapan JPU (lanjut ke form 3 dan form
4). Apabila JPU tidak akan menanggapi eksepsi maka sidang ditunda untuk
pembacaan putusan sela (lanjut ke form 5)
6. Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda
7. Hakim Ketua menyatakan Putusan akan diberikan bersamaan dengan
Putusan mengenai perkara pokoknya
c. Tanggapan JPU
1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka
untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa
dibawahumur sidang dinyatakan tertutup untuk umum
2. Terdakwa hadir di ruang sidang
3. Hakim Ketua Majelis menanyakan kepada JPU apakah sudah siap dengan
tanggapannya
40
4. Hakim Ketua Majelis memberikan kesempatan kepada JPU untuk
membacakan tanggapannya
5. Hakim Ketua Majelis menanyakan kepada terdakwa/PH apakah
akanmenanggapi tanggapan JPU
6. Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda
d. Tanggapan atas Tanggapan JPU
1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka
untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah
umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum
2. Terdakwa hadir di ruang sidang
3. Hakim Ketua Majelis menanyakan kepada Terdakwa/PH apakah sudah
siap dengan tanggapan atas tanggapan JPU
4. Hakim Ketua Majelis memberikan kesempatan kepada Terdakwa/PH untuk
membacakan tanggapan atas tanggapan JPU
5. Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda
e. Putusan Sela
1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka
untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah
umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum
2. Terdakwa hadir di ruang sidang Hakim Ketua Majelis membacakan
putusan sela Isi Putusan Sela: Majelis menerima eksepsi yang diajukan
oleh Terdakwa
41
3. Jika ya, sidang dilanjutkan pada tahap selanjutnya, Jika tidak, sidang
dinyatakan ditutup.
4. Hakim Ketua Majelis menanyakan kepada JPU apakah sudah siap dengan
pembuktian
5. Hakim Ketua Majelis menyatakan sidang ditunda
f. Pembuktian (Pemeriksaan saksi/saksi ahli)
1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka
untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah
umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum
2. Hakim memeriksa apakah sudah tidak ada saksi-saksi yang akan
memberikan keterangannya yang masih di ruang sidang
3. Hakim mempersilahkan saksi yang masih ada di ruangsidang untuk keluar
Pemeriksaan Saksi
4. Hakim Ketua Majelis memerintahkan kepada JPU/PH untuk menghadirkan
saksi/saksi ahli ke ruang sidang, terdakwa menempati tempatnya disamping
PH.
5. Hakim menanyakan kesehatan saksi/saksi ahli
6. Hakim menanyakan identitas saksi/saksi ahli
7. Hakim menanyakan apakah saksi mempunyai hubungan sedarah atau
semenda atau hubungan pekerjaan dengan terdakwa , Jika Ya (diperdalam
dengan dialog)
8. Saksi/saksi ahli disumpah
42
9. Majelis Hakim mengajukan pertanyaan kepada saksi/saksi ahli ,diperjelas
dengan dialog
10. JPU mengajukan pertanyaan kepada saksi/saksiahli,
11. PH mengajukan pertanyaan kepada saksi/saksiahli
12. Setiap saksi selesai memberikan keterangannya, Hakim menanyakan
kepada terdakwa benar/tidaknya keterangan saksi tersebut
13. Apakah saksi/saksiahli menarik kembaliketerangan dalam BAP
penyidikPemeriksaan Barang Bukti
14. JPU mperlihatkan barang bukti di persidangan
15. Hakim menanyakan kepada terdakwa dan saksi-saksi mengenai barang
bukti tersebut Hakim meminta kepada JPU,PH, terdakwa, saksi untuk
maju ke muka sidang dan memperlihatkan barang bukti tersebut
Pemeriksaan Terdakwa
16. Hakim mengajukan pertanyaan kepada terdakwa
17. Hakim mempersilahkan JPU untuk mengajukan pertanyaan
18. JPU mengajukan pertanyaan kepada terdakwa Diperjelas dengan dialog
19. PH mengajukan pertanyaan kepada terdakwa diperjelas dengan dialog
20. Setelah pemeriksaan keterangan saksi/saksi ahli, terdakwa serta barang
bukti, Hakim menanyakan kepada JPU untuk dapat membacakan
tuntutannya
21. Sidang ditunda Urutan bertanya pada tahap pemeriksaan saksi/saksi ahli
(Saksi a charge)39. Hakim Ketua, Hakim Anggota,JPU lalu PH. Urutan
39saksi yang memberatkan terdakwa/saksi dariJPU
43
bertanya pada tahap pemeriksaan saksi/saksi ahli (saksi a de charge)40:
Hakim Ketua, Hakim anggota, PH, lalu JPU. Saksi a de charge.
g. Pembacaan Tuntutan (Requisitoir)
1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka
untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah
umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum
2. Terdakwa berada di ruang sidang
3. JPU membacakan tuntutannya
4. Hakim menanyakan kepada PH apakah akan mengajukan pembelaan
5. Sidang ditunda
h. Pembacaan Pembelaan (Pledoi)
1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka
untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah
umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum
2. Hakim mempersilahkan PH membacakan pembelaannya
3. PH membacakan pembelaannya
4. Hakim menanyakan kepada JPU apakah akan mengajukan Replik
5. Sidang ditunda
i. Pembacaan Replik (Tanggapan dari JPU atas Pledooi PH)
1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka
untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah
umur sidangdinyatakan tertutup untuk umum
40saksiyang meringankan terdakwa/ saksi dari PH
44
2. Terdakwa hadir dalam persidangan
3. Hakim mempersilahkan JPU membacakan Repliknya
4. Hakim menanyakan kepada PH apakah akan mengajukan Duplik, sidang di
tunda
j. Pembacaan Duplik
1. Hakim Ketua Majelis membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka
untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwa dibawah
umur sidang dinyatakan tertutup untuk umum
2. Terdakwa hadir di dalam persidangan
3. Hakim mempersilahkan PH membacakan Dupliknya
4. Sidang ditunda untuk pembacaan Putusan 41
G. Tinjauan Umum Pembuktian Saksi
Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang
menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan
keterangan, tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana
berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku42
Pasal 1 angka 26 KUHAP menjelaskan saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri.
41 Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Alur Peradilan Pidana, terdapat dalam
https://yustypurba.files.wordpress.com, access 21 Februari 2017 42Mohammad Taufik. 2010. Makaro dan Suhasril. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan
Praktek. Bogor. Penerbit Ghalia Indonesiahlm. 107
45
a. Ketentuan Saksi yang mempunyai nilai dan kekuatan Pembukian
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau degree of evidence
keterangan saksi, agar keterangan saksi mempunyai nilai serta kekuatan
pembuktian perlu dipenuhi ketentuan sebagai berikut :
1. Keterangan Saksi diucapkan dalam Sidang Pengadilan
Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai
dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP yaitu keterangan
yang saksi lihat, dengar, dan alami sendiri serta menyebut alasan dari
pengetahuannya itu.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 185 Ayat (1) KUHAP keterangan saksi
dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan tersebut dinyatakan
dalam sidang pengadilan. Dari ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP
dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 Ayat (1) KUHAP tersebut dapat
dipahami bahwa setiap keterangan saksi diluar apa yang didengarnya sendiri
dalam peristiwa pidana yang terjadi atau diluar yang dilihat atau dialaminya
dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan diluar
pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu
peristiwa pidana yang terjadi , tidak dapat dijadikan dan bernilai sebagai alat
bukti sehingga keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai
pembuktian oleh karena keterangan tersebutmengarah kepada testimonium
de auditudan43 sebatas pendapat atau rekaan.
43keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain
46
2.Harus mengucapkan sumpah atau janji
Berdasarkan Pasal 160 Ayat (3) KUHAP sebelum saksi memberikan
keterangan, wajib mengucapkan sumpah atau janji yang dilakukan menurut
agamanya masing-masing dan lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi
akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain dari
yang sebenarnya.
Pada prinsipnya sumpah atau janji diucapkan sebelum saksi memberikan
keterangan, akan tetapi Pasal 160 Ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan
saksi untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan
keterangan. Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji
tanpa alasan yang sah, dalam Pasal 161 KUHAP ditentukan bahwa terhadap
saksi dapat dikenakan sandera yang dilakukan berdasarkan penetapan
hakim ketua sidang yang dilakukan paling lama empat belas hari.
3. Keterangan seorang saksi tidak cukup
Bahwa prinsip umum pembuktian yang dianggap cukup menurut sistem
pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP yaitu sekurang-
kurangnya dengan dua alat bukti yang sah, atau minimum kesalahan
terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah.
Keterangan seorang saksi saja baru bernilai sebagai satu alat bukti yang
harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain. Bahwa berdasarkan
Pasal 185 Ayat (2) KUHAP keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa atau unus testis nullus testis, kesaksian
semacam ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.
47
4. Keterangan saksi yang saling berhubungan
Keterangan beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti
serta mempunyai kekuatan pembuktian apabila keterangan para saksi
tersebut saling berhubungan dan saling menguatkan tentang kebenaran
suatu keadaan atau kejadian tertentu sebagaiman yang ditentukan Pasal 185
Ayat (4) dengan kata lain bahwa saksi yang banyak tapi berdiri sendiri-
sendiri, masing-masing mereka dikategorikan saksi tunggal yang tidak
memiliki kekuatan pembuktian karena keterangan saksi tunggal tidak
memadai untuk membukikan kesalahan terdakwa.
Ketentuan yang sudah terpenuhi selanjutnya akan dinilai oleh hakim
dan direkonstruksikan kembali mengenai kebenaran keterangan saksi yang
berdasarkan Pasal 185 Ayat (6) KUHAP hakim ditunut untuk
memperhatikan :
1.1 Persesuaian antara keterangan saksi
1.2 Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain
1.3.Alasan saksi memberikan keterangHakim harus mencari alasan saksi
kenapa memberikan keterangan seperti itu, tanpa mengetahui alasan saksi
yang pasti, akan memberikan gambaran yang kabur bagi hakim tentang
keadaan yang diberikan.
H. Tinjauan Umum Tentang Pemenuhan Kewajiban Hakim dalam
Megendalikan Saksi di Persidangan
48
Sesuai ketentuan KUHAP Bagian Ketiga Acara Pemeriksaan Biasa pasal
159yang menjelaskan mengenai tata cara pembuktian saksi di sebutkan bahwa
:
1. Hakim Ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang lainnya sebelum memberi keterangan di siding
2. Dalam Hal saksi tidak hadir, meskipun telah di panggil dengan sah dan hakim ketua siding mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut di hadapkan di persidangan.
Dalam penjelasan pasal tersebut tujuan adanya pasal 159 KUHAP tersebut
adalah untuk mencegah jangan sampai terjadi saling mempengaruhi
diantara para saksi, sehingga keterangan saksi tidak dapat diberikan secara
bebas.
Pada pasal selanjutnya yaitu pasal 160 KUHAP dijelaskan bahwa
cara pemanggilan saksi di persidangan dijelaskan dengan lebih kongkrit
yakni “saksi di panggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang
menurut urutan yang di pandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang
setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat
umum”.
I. Tinjauan Pencapaian Kepastian Hukum
Kamus Umum Bahasa Indonesia menerangkan, kepastian berasal dari kata
pasti yang berarti tentu, sudah tetap, tidak boleh tidak, sehingga kepastian
berarti ketentuan, ketetapan.44
44WJS.Poerwadarminta.1985. Kamus Bahasa Indonesia.Jakarta. Penerbit P.N.Balai Pustaka
49
Hukum menurut para ahli diartikan sebagai berikut diantaranya:
a. Utrecht, dalam bukunya pengantar dalam hukum indonesia : ”Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.”
b. Ridwan Halim dalam bukunya pengantar tata hukum indonesia dalam tanya jawab menguraikan :
”Hukum merupakan peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang pada dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat.”
c. Sunaryati Hartono, dalam bukunya capita selecta perbandingan hukum, mengatakan :
”Hukum itu tidak menyangkut kehidupan pribadi seseorang, akan tetapi menyangkut dan mengatur berbagai aktivitas manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya, atau dengan perkataan lain, hukum mengatur berbagai aktivitas manusia di dalam hidup bermasyarakat.”45
Kepastian hukum merupakan salah satu dari tujuan hukum yang ada di
Indonesia. Kepastian hukum merupakan barometer penerapan hukum di
Indonesia. Banyaknya permasalahan hukum di Indonesia menyebabkan
ketidakpastian penerapan hukum, sehingga seringkali penerapan hukum dalam
kenyataan tidak sesuai bahkan jauh berbeda dengan teori yang ada. Semakin
baik suatu negara hukum berfungsi, maka semakin tinggi tingkat kepastian
hukum nyata. Sebaliknya bila suatu negara tidak memiliki sistem hukum yang
berfungsi secara otonom, maka kecil pula tingkat kepastian hukumnya.46
Sejak mengumandangkan kemerdekaan Indonesia sejak 70 tahun lalu
hingga saat ini Indonesia masih dirasa kurang produktif dalam membuat hukum
bagi masyarakat. Tidak sedikit peraturan yang dibuat oleh pemerintah, akan
45Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia,Jakarta : SinarGrafika, 2004, hlm. 6-7.
46 Jan Michiel Otto. 2003. Kepastian Hukum di Negara Berkembang. Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. hal.5-6
50
tetapi hal tersebut dirasa semakin lama menjadi semakin tumpang tindih
sehingga membingungkan masyarakat. Indonesia sebagai negara berkembang
tidak luput dari permasalahan hukum terutama dalam penerapannya. Kepastian
hukum merupakan suatu tujuan hukum yang mengutamakan kepada kumpulan
peraturan tanpa melihat keadilan maupun kemanfaatan. Menurut Utrecht,
kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan
yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu
dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat
umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu.47
Kepastian hukum termasuk dalam aliran normatif yuridis. Aliran normatif
yuridis, menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu adalah untuk
menciptakan kepastian hukum. Aliran normatif/yuridis dogmatis yang
pemikirannya bersumber pada positivistis yang beranggapan bahwa hukum
sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri, tidak lain hanyalah kumpulan aturan
yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum
yang tertulis saja, dan tujuan pelaksanaan hukum dalam hal ini untuk sekadar
menjamin terwujudnya kepastian hukum.48
Menurut aliran ini selanjutnya, walaupun aturan hukum atau penerapan
hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi
47 Riduan Syahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Aditya Bakti. Hal.23
48 Ahmad Rifai. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. hal. 130
51
mayoritas warga masyarakat, hal tersebut tidaklah menjadi masalah, asalkan
kepastian hukum dapat ditegakkan
Kepastian hukum dalam artian undang-undang maupun suatu peraturan
setelah diperundangkan akan dilaksanakan dengan pasti oleh pemerintah.
Kepastian hukum berarti setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan
dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap pelanggaran hukum akan
ditindak dan dikenakan sanksi hukum juga