bab ii tinjauan pustaka 1 - repository.ump.ac.idrepository.ump.ac.id/6792/3/listika yusi risnani bab...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Tanaman Kelapa
Tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) dikenal dengan sebutan pohon kehidupan
(tree of life) karena hampir seluruh bagian tumbuhan tersebut dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan manusia (Gambar 2.1; Adkin, 2008). Mulai dari air kelapa, bunga
kelapa, buah kelapa, sabut kelapa, batang kelapa hingga tempurung kelapa dapat
bermanfaat dan memiliki nilai ekonomi maupun sosial yang cukup tinggi (Tarigans,
2005).
Akar pohon kelapa yang masih muda dapat digunakan untuk obat sakit perut
(Warisno, 1998). Selain itu akar juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan
zat warna alami (Kristina & Syahid, 2007). Batang kelapa juga sangat bermanfaat
untuk digunakan sebagai bahan baku perabotan rumah, mebel/furniture, bahan
bangunan misalnya kaso (usuk; Gambar 2.1A), kayu bakar dan jembatan darurat. Di
daerah pedesaan batang kelapa yang masih muda sering digunakan untuk membuat
gelodog yaitu sarang lebah (Warisno, 1998).
Daun merupakan bagian kelapa yang memiliki nilai penting dalam kehidupan
masyarakat khususnya di Indonesia. Daun yang masih muda dapat dipergunakan
untuk membungkus ketupat (Gambar 2.1B) sebagai bagian penting dalam upacara
keagamaan. Daun yang masih muda (janur ; Jawa) banyak juga dimanfaatkan dalam
upacara adat dan upacara perkawinan pada masyarakat Jawa dan Bali (Putra, 2008).
8
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
9
Daun yang tua dapat digunakan untuk membuat atap dan bahan dekorasi pesta
(Warisno, 1998).
Buah kelapa merupakan bagian yang paling penting dan memiliki nilai
ekonomi paling tinggi dibandingkan dengan bagian-bagian kelapa lainnya. Buah
yang masih muda umum digunakan sebagai minuman segar seperti es kelapa muda
(Gambar 2.1C; Hutapea et al., 2007), sedangkan buah yang sudah tua dimanfaatkan
untuk berbagai keperluan.
Sabut kelapa merupakan bagian paling luar dari buah kelapa tua yang dapat
dimanfaatkan untuk membuat keset, tali ataupun tambang (Warisno, 1998).
Disamping itu juga dapat dipakai untuk keperluan jok mobil, kursi, kasur, penyaring
udara, maupun untuk peredam panas dan suara pada konstruksi bangunan (Tarigan,
2005). Di Filipina, sabut kelapa diolah menjadi produk ecomat, ecolog dan twine,
yang berguna untuk mencegah erosi tanah pada konstruksi jalan bertopografi miring
(Tarigan, 2005). Dari sabut kelapa juga dapat dihasilkan debu sabut (cocopeat) yang
dapat digunakan sebagai media tanaman (Mahmud & Ferry, 2005).
Tempurung kelapa dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai produk
olahan antara lain arang (Gambar 2.1D), arang aktif maupun barang kerajinan.
Arang aktif yang dihasilkan dari tempurung kelapa merupakan arang aktif
berkualitas tinggi yang dapat digunakan dalam industri farmasi, pertambangan,
pembersih udara ruangan karena mampu menyerap polusi dan bau tidak sedap
(Mahmud & Ferry, 2005).
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
10
Gambar 2.1. Berbagai produk olahan kelapa (A) bahan bangunan
(http://banyuningsari. blogspot.com/), (B) ketupat dari daun
kelapa (http://bisnisukm. com/menyambut -lebaran -selongsong-
ketupat-jadi-rebutan.html), (C) es kelapa muda (http://
marimasuk86. multiply.com/reviews/item/3) (D) arang tempurung
(http:// indonetwork. co.id/ brantastirani /3222946/arang-
tempurung.htm) (E) nata de coco sebagai produk olahan air kelapa
(http://nurfaiyah33. wordpress.com/2010/04/30/membuat-nata-de-
coco/) (F) virgin coconut oil (VCO) sebagai produk olahan dari
daging buah kelapa (http://palmanaturasanatco. indonetwork.
co.id/1418338/virgin-coconut-oil-vco-minyak-kelapa-murni.htm).
Air kelapa dapat diolah untuk menghasilkan beberapa produk bernilai ekonomi
tinggi seperti minuman ringan, jelly, ragi, alkohol, cuka, dextran, anggur, ethyl
acetate maupun nata de coco (Mahmud & Ferry, 2005). Nata de coco merupakan
makanan yang banyak mengandung air (98 %) dan berkalori rendah sehingga sangat
baik dikonsumsi untuk kesehatan terutama untuk keperluan diet (Gambar 2.1E;
Tarigans, 2005). Industri nata de coco merupakan industri yang menjanjikan karena
harga jual nata de coco yang cukup tinggi dan pemasarannya juga cukup mudah
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
11
(Tarigans, 2005). Pada saat ini industri nata de coco telah berkembang mulai dari
skala rumah tangga hingga industri besar.
Daging buah kelapa dapat dimanfatkan secara langsung dan dikonsumsi sebagai
buah segar maupun sebagai produk olahan. Daging kelapa tua pada umumnya
dimanfaatkan untuk membuat santan yang sangat penting sebagai bahan masakan
khususnya makanan Asia. Daging buah kelapa juga dapat dikeringkan menjadi kopra,
maupun dapat diolah menjadi minyak kelapa crude coconut oil (CCO), minyak
goreng, industri oleochemical, oleofood, ataupun kelapa parut kering (desicated
coconut) yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Mahmud & Ferry, 2005). Pada saat ini
daging buah juga sangat menjanjikan untuk diolah menjadi minyak kelapa murni
(virgin coconut oil; Gambar 2.1F). Telah dilaporkan bahwa VCO bermanfaat
membantu mencegah beberapa penyakit, memperbaiki system percernaan,
meningkatkan kekebalan tubuh serta dapat menurunkan berat badan pada program
diet (Neiola, 2005). Di Indonesia, pembuatan VCO telah terbukti mampu
meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemiskinan di tingkat petani kelapa
(Tarigans, 2005). Melihat beraneka macam manfaat kelapa, budidaya kelapa perlu
dikembangkan guna memenuhi kebutuhan sehari hari.
2.2 Budidaya Kelapa
Kelapa termasuk salah satu familia Arecaceae yang paling penting di kawasan
tropis (Adkins, 2008). Luas areal tanaman kelapa tersebar di lebih dari 90 negara
terutama di kawasan Asia Pasifik dengan luas area mencapai lebih dari 12 juta ha. Di
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
12
Indonesia, luas area tanaman kelapa mencapai lebih dari 3,8 juta ha sehingga
menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil kelapa terbesar di dunia.
Di seluruh dunia tanaman kelapa dibudidayakan oleh lebih dari 50 juta petani
kecil yang pada umumnya memiliki sumber daya terbatas (Adkins, 2008). Di
Indonesia, hampir 20 juta jiwa menggantungkan hidupnya pada tanaman kelapa.
Menurut Tarigan (2005), lebih dari 95 % dari area kelapa di Indonesia merupakan
perkebunan rakyat (sekitar 3,59 juta ha) dengan rata – rata kepemilikan lahan hanya
sekitar 0,50 ha/keluarga petani. Dengan kondisi tersebut menyebabkan tingkat
pendapatan petani kelapa menjadi sangat rendah, diperkirakan hanya sekitar 3,75 juta
per tahun (Mahmud dan Ferry, 2005). Akibatnya, banyak petani kelapa yang hidup
masih pada garis kemiskinan.
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan
petani kelapa adalah dengan membudidayakan kelapa dengan nilai ekonomi yang
lebih tinggi seperti kelapa kopyor. Kelapa kopyor merupakan kelapa yang memiliki
endosperm (daging buah) yang tidak normal yaitu sebagian besar endospermanya
terlepas dari tempurung (Mashud, 2010). Harga per butir kelapa kopyor dapat
mencapai Rp 20.000,- s/d Rp 30.000,- (Maskromo & Novarianto, 2007) yaitu 10 kali
lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelapa normal (Prasetyo & Rachmat, 2003).
2.3 Kelapa Kopyor
2.3.1 Biologi Kelapa Kopyor
Kelapa kopyor memiliki endosperm (daging buah) yang terlepas dari
tempurung (Gambar 2.2; Mashud, 2010). Lepasnya endosperma dari tempurung
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
13
disebabkan adanya defisiensi enzim α-D-Galaktosidase sebagai salah satu enzim
yang berperan dalam pembentukan endosperma kelapa (Maskromo et al., 2007).
Adanya defisiensi enzim tersebut menyebabkan putusnya hubungan jaringan
endosperm dengan embrio sehingga secara alami endosperm tidak mampu
mendukung pertumbuhan embrio (Maskromo & Novarianto, 2007)
Gambar 2.2. Perbedaan endosperm buah yang dibelah (A) pada kelapa normal dan
(B) kelapa kopyor
Kelapa kopyor dengan kelapa normal tidak dapat dibedakan secara
morfologinya, untuk membedakan antara buah kopyor dengan buah normal adalah
dengan cara menggoyang – goyang buahnya. Kelapa kopyor akan menimbulkan suara
gemericik akibat endosperma yang lepas dari tempurungnya. Suara gemericik yang
ditimbulkan berbeda dengan suara pada kelapa normal (Warisno, 1998)
Secara alami, kelapa kopyor dihasilkan dari pohon kelapa normal yang
mempunyai gen resesif sifat kopyor baik heterozigot resesif (Kk) maupun homozigot
resesif (kk). Sifat kopyor akan muncul apabila saat penyerbukan bunga betina atau
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
14
bakal buah yang memiliki gen resesif kopyor (k) bertemu dengan bunga jantan yang
memiliki gen resesif (k) baik dalam satu pohon maupun yang berbeda pohon,
sehingga akan membentuk embrio homozigot resesif (kk) dengan susunan genetik
endospermanya (kkk). Sifat kopyor tidak akan muncul apabila saat penyerbukan
bunga betina atau bakal buah dengan gen resesif (k) bertemu dengan gen dominan
(K) bunga jantan. Dengan demikian peluang terbentuknya buah kopyor dalam satu
pohon atau tandan tergantung pada peluang penyerbukan yang melibatkan sifat
kopyor pada bunga jantan atau betina tanaman kelapa tersebut (Maskromo &
Novarianto, 2007).
2.3.2 Manfaat dan Nilai Ekonomi Kelapa Kopyor
Kelapa kopyor memiliki daging buah dengan tekstur buah yang lunak, cita
rasa yang khas dan gurih (Mahmud, 2009). Di samping itu endosperma kelapa kopyor
memiliki nilai gizi lebih tinggi jika dibandingan dengan endosperma kelapa normal
(Sukendah, 2009). Karena sifat tersebut kelapa kopyor banyak dimanfaatkan sebagai
bahan makanan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Menurut Hutapea et al. (2007), kelapa kopyor biasa dipasarkan dalam bentuk
buah segar dan siap saji seperti es kopyor dan es campur. Selain itu, kelapa kopyor
juga dapat diolah terlebih dahulu untuk menghasilkan produk dengan nilai ekonomis
lebih tinggi yaitu diolah menjadi es cream kopyor, selai kopyor, permen kopyor
(coconut candy), buah kaleng (pure makapuno preserve), kue tart kopyor (bokupai)
dan bahan campuran roti (buko pie). Lebih 20 perusahaan di Filipina mengolah
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
15
kelapa kopyor menjadi sirup dan mengemasnya dalam botol (Maskromo et al.,
2007).
Di Filipina, permintaan kelapa kopyor dilaporkan sangat tinggi terutama dalam
bentuk sirup dan es cream dan akan terus meningkat pada waktu – waktu tertentu
seperti hari Natal (Maskromo et al., 2007). Hal yang serupa juga terjadi di Indonesia
saat bulan puasa dan menjelang lebaran yang menyebabkan harga kelapa kopyor juga
meningkat hingga dua sampai tiga kali lipat dari harga biasa (Mahmud, 2009).
Walaupun sampai saat ini belum pernah dilakukan survei untuk mengetahui secara
pasti keseluruhan kebutuhan kelapa kopyor, tetapi survei pada beberapa daerah sentra
kelapa kopyor seperti Lampung dan Sumenep menunjukan bahwa kebutuhan kelapa
kopyor di Indonesia terutama kota besar di Jawa seperti Jakarta sangat tinggi
sedangkan kelapa kopyor yang dihasilkan jumlahnya terbatas.
2.3.3 Budidaya Kelapa Kopyor
Di Indonesia terdapat dua tipe kelapa kopyor yaitu tipe Dalam dan tipe Genjah.
Berdasarkan warna buahnya kelapa kopyor tipe Dalam terdiri atas tiga jenis yaitu
hijau, hijau kekuningan dan cokelat kemerahan (reddish brown) sedangkan kelapa
kopyor tipe Genjah terdiri atas lima jenis yaitu hijau, hijau kekuningan, kuning,
cokelat kemerahan dan gading atau orange (Mashud, 2009). Kelapa kopyor tipe
Dalam menghasilkan buah kopyor yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan
kelapa kopyor tipe Genjah. Hal ini disebabkan karena kelapa kopyor tipe Dalam
melakukan penyerbukan silang sehingga peluang untuk gen resesif bunga betina dan
gen resesif bunga jantan relatif kecil sedangkan pada tipe Genjah melakukan
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
16
penyerbukan sendiri sehingga peluang untuk bertemunya gen resesif antara bunga
jantan dan bunga betina lebih besar (Mashud & Manaroinsong, 2007).
Secara alami, penyediaan bibit kelapa kopyor dilakukan dengan cara
konvensional yaitu menyemaikan buah kelapa normal yang diperoleh dari pohon dan
tandan yang menghasilkan kelapa kopyor. Hal ini dilakukan karena embrio kelapa
kopyor apabila disemai tidak akan berkecambah, endosperma yang seharusnya dapat
digunakan sebagai nutrisi untuk pertumbuhan embrio akan segera membusuk
(Prasetyo & Rachmat, 2003).
Walaupun dapat dihasilkan dengan cara alami, namun penyediaan bibit dengan
cara ini kurang efektif dalam menghasil buah kelapa kopyor dalam jumlah banyak,
buah yang diperoleh tidak semuanya menghasilkan buah kelapa kopyor. Tanaman
kelapa kopyor tipe dalam yang diperoleh melalui bibit alami hanya akan
menghasilkan buah kopyor dalam jumlah yang rendah hanya sekitar 3 - 25 %
(Maskomo et al., 2007), sedangkan pada tipe Genjah dapat mencapai 30 - 50%
(Mashud, 2008).
Salah satu teknik untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan
menggunakan teknik kultur embrio. Tanaman kelapa kopyor hasil kultur embrio
berpotensi sangat besar dalam menghasilkan buah kopyor yaitu mencapai 90 – 100%
(Hutapea et al., 2007).
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
17
2.4 Kultur Embrio
Kultur embrio merupakan suatu teknik menumbuhkan embrio zigotik yang
berasal dari biji pada kondisi aseptis dalam medium tertentu yang telah diketahui
komposisi kimianya untuk pertumbuhan, diferensiasi dan morfogenesis embrio
(Raghavan, 2003). Kultur embrio biasa dilakukan untuk menyediakan bibit suatu
tanaman dengan alasan tertentu, seperti penyelamatan spesies tanaman budidaya hasil
persilangan yang tidak dapat bertahan hidup apabila ditumbuhkan secara alami
(Burun & Poyrazoglu, 2002) maupun dapat digunakan untuk menyelamatkan dan
menumbuhkan embrio yang memiliki kebutuhan khusus (Raghavan, 2003).
Embrio tanaman yang diperoleh dari persilangan Phaseolus polyanthus Greenm
X Phaseolus vulgaris L. tidak dapat tumbuh secara alami, sehingga memerlukan
kultur embryo untuk menumbuhkan embrio hasil persilangan tersebut (Geerts et al.,
1999). Kosmiatin & Mariska (2005) juga berhasil menggunakan teknik kultur embrio
untuk mengecambahkan embrio steril hasil persilangan antara kacang hijau (Vigna
radiata L. Wilczek) X kacang hitam (Vigna mungo). Kultur embrio juga berhasil
digunakan untuk menyediakan bibit hasil persilangan Oryza sativa dengan beberapa
spesies liarnya, seperti persilangan dengan O. Australiensis (tahan kering), O.
puntata, O. Minuta (tahan wereng), O. officinalis (tahan hawar daun) ataupun dengan
O. rufipogon (cekaman biotik) yang secara konvensional sulit dilakukan karena
tanaman hasil persilangan tersebut mudah rontok dan menghasilkan polen steril
(Suhartini, 2002).
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
18
Di samping itu, kultur embrio dapat pula diaplikasikan untuk menyelamatkan
embrio tanaman yang memerlukan kebutuhan khusus untuk tumbuh. Embrio anggrek
yang secara alami hanya dapat berkecambah jika bersimbiosis dengan jamur, namun
dengan menumbuhkannya pada media yang mengandung sukrosa, anggrek tersebut
dapat berkecambah walaupun tidak ada jamur simbiosis (Raghavan, 2003). Hal
serupa juga terjadi pada kelapa kopyor dimana embrionya tidak dapat ditumbuhkan
secara alami. Dengan teknik ini, embryo dari buah kopyor dapat ditumbuhkan secara
in vitro dan dihasilkan bibit kelapa kopyor true-to-type (Mashud, 2008).
2.4.1 Kultur Embrio Kelapa
Pada tanaman kelapa, teknik kultur embrio telah banyak dilakukan dengan
berbagai macam tujuan antara lain untuk koleksi dan pengiriman plasma nutfah
kelapa (Mashud, 2008). Hal tersebut karena kelapa merupakan buah yang cukup
besar dan beratnya dapat mencapai 1,5 – 4 kg per butir (Sidik, 2010). Akibatnya jika
koleksi dan transportasi dilakukan dalam bentuk buah yang utuh akan sangat tidak
praktis dan tidak aman (Adkin, 2008). Di Indonesia kegiatan koleksi dan pengiriman
plasma nutfah kelapa menjadi suatu hal yang penting karena Indonesia merupakan
salah satu lokasi untuk International Coconut Genebank For South and East Asia
(ICG-SEA) tepatnya di Sulawesi Utara (Mashud, 2008).
Selain untuk pengiriman plasma nutfah kelapa, kultur embrio juga digunakan
sebagai penyelamatan plasma nutfah serta perbaikan bibit tanaman kelapa (Mashud &
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
19
Manaroinsong, 2007) khususnya kelapa spesifik dan unggul seperti kelapa kopyor
dan kelapa kenari (Mashud, 2008).
Aplikasi kultur embrio untuk menghasilkan bibit kelapa telah banyak dilakukan
di beberapa negara seperti Sri Lanka, Perancis, Filipina, India termasuk Indonesia.
Tingkat keberhasilan kultur embryo di setiap negara bervariasi, seperti di Sri Lanka
dan Filipina sangat tinggi (94 -98 %; Weerakoon, 2002; Rillo et al., 2002) namun di
Indonesia dan India memiliki keberhasilan yang lebih rendah (61 – 67 %; Karun et
al., 2002; Mashud, 2002).
Pelaksanaan kultur embryo kelapa pada umumnya dilakukan melalui 4 tahap,
yaitu (1) koleksi embrio dari lapang (2) persiapan media (3) teknik aseptik (4)
aklimatisasi (Mashud & Manaroinsong, 2007). Tahap koleksi embrio dari lapang
terdiri atas tahap pemanenan buah kelapa sebagai sumber embryo, pengupasan dan
pengambilan silinder endosperma, pemisahan embryo dari endosperma (Gambar 2.3;
Mashud et al., 2003). Pengambilan silinder endosperma dilakukan dengan
menggunakan pipa besi dengan diameter 1,6 cm pada mata aktif (eye active; Pech-y-
Ake et al., 2002). Mata aktif yaitu salah satu mata dari tiga mata yang ada pada buah
kelapa (Mashud et al., 2004).
Buah kelapa yang digunakan sebagai sumber embryo adalah buah yang sudah
tua (Warisno, 1998). Buah kelapa berumur 10 – 12 bulan memiliki daya kecambah
yang tinggi yaitu mencapai 90 - 100 % (Sukartiningrum & Sukendah, 2008; Sriyanti,
2010). Pada buah kelapa yang lebih tua yaitu 12 – 14 bulan daya kecambah lebih
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
20
rendah yaitu 0 – 100% (Pech-y-Ake et al., 2002), sedangkan pada buah yang lebih
muda berumur 9 - 11 bulan daya kecambahnya hanya 58,33 - 96,67 % (Mashud,
2002). Buah kelapa dengan umur yang lebih muda lagi (8 bulan) juga dapat
digunakan akan tetapi selain sulit berkecambah, embrio juga sulit diisolasi dari
endospermanya (Mashud et al., 2004)
Gambar 2.3. Pengupasan buah kelapa (A) dilanjutkan dengan pengambilan silinder
endospema (B) kemudian embrio di isolasi dari silinder endosperma
(C) (Mashud et al., 2004)
Tahap persiapan media merupakan kegiatan untuk membuat media yang
diformulasikan khusus untuk jaringan kelapa serta dapat pula dimodifikasi dengan
menambahkan zat pengatur tumbuh (ZPT) pada kosentrasi yang berbeda sesuai
dengan kebutuhan embrio maupun tahapan kultur (Mashud et al., 2004). Media
tanam yang umum digunakan terdiri atas unsur hara makro, mikro, vitamin, zat
pengatur tumbuh, arang aktif dan sukrosa sebagai sumber energi (Mashud, 2010).
Beberapa protokol media telah diaplikasikan untuk menyediakan bibit kelapa
pada berbagai kultivar. Pada tahap perkecambahan, protokol Central Plantation Crops
Research Institute (CPCRI) mampu menginduksi perkecambahan dengan tingkat
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
21
keberhasilan rata – rata mencapai 83 - 88 % (Damasco, 2002; Karun et al., 2002;
Mashud, 2002; Rillo et al., 2002). Embrio yang ditanam dengan menggunakan
protokol University of Phillipine Los Banos (UPLB) menunjukan induksi
perkecambahan rata –rata yang tidak jauh berbeda yaitu 82 - 87 % (Karun et al.,
2002; Mashud, 2002; Rillo, 2002; Weerakon et al., 2002). Keberhasilan induksi
perkecambahan yang lebih baik ditunjukkan pada embrio yang ditanam pada media
Phillipine Coconut Authority (PCA) dan protokol Institut Francais de Recherche
Scientifique pour le Developpement (IRD) dengan tingkat keberhasilan mencapai 89
% (Karun et al., 2002).
Pada tahap induksi akar, media tanam juga menentukan keberhasilan induksi
akar. Persentase keberhasilan induksi akar paling tinggi diperoleh pada tunas yang
ditanam pada media IRD yaitu sekitar 71 %, sedangkan pada medium UPLB dan
PCA hanya berkisar 55 – 60 % dan pada media CPCRI hanya mencapai 26 % (Karun
et al., 2002). Pada penelitian yang lain, media UPLB mampu menginduksi akar
paling baik (64 - 85,89 %) dibandingkan medium IRD dan PCA yaitu sekitar 10 – 70
%, maupun medium CPCRI (0 - 60 %; Capote et al., 2002; Rillo et al., 2002).
Komposisi media tanam embrio kelapa yang banyak digunakan adalah Hybrid
Embryo Culture (HEC) medium (Rillo, 2004). Media ini tersusun atas Y3 makro dan
mikro nutrien (Eeuwen, 1976) yang dikombinasikan dengan Fe-EDTA yang disusun
UPLB dengan vitamin yang disusun PCA (Rillo, 2004). Dengan menggunakan media
ini induksi perkecambahan dapat mencapai 81 – 100 % (Rillo et al., 2002; Sriyanti,
2010 ; Sidik, 2011).
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
22
Tahap selanjutnya merupakan tahap yang paling penting dalam kultur jaringan
yaitu tahap teknik aseptik. Teknik aseptik terdiri dari persiapan embrio steril dan
pemeliharaan embrio secara in vitro (Mashud et al., 2003). Persiapan embrio steril
dilakukan dengan cara yang berbeda – beda pada setiap penelitian dengan tingkat
kontaminasi yang bervariasi. Embrio kelapa disterilkan dengan menggunakan 3 %
larutan hipoklorit selama 5 menit lalu mencucinya selama beberapa saat dengan
menggunakan akuades. Metode sterilisasi ini kurang efektif karena tingkat
kontaminasi yang terjadi cukup tinggi yaitu mencapai 67 % (Weerakon et al., 2002).
Pada penelitian lain, tingkat kontaminasi lebih rendah yaitu 22,5 – 40 % dengan
cara merendam silinder embrio dalam detergent kemudian dicuci dengan air mengalir
dan disterilisasi dalam 100 % pemutih selama 20 menit, embrio hasil isolasi
disterilisasi kembali dengan menggunakan 10 % pemutih selama 1 menit dan dicuci
dengan akuades selama 3 – 4 menit (Damasco, 2002). Penelitian di Tanzania,
sterilisasi dilakukan dengan cara merendam silinder endosperma dalam 100 %
pemutih selama 20 menit, embrio yang telah dipisahkan dari endosperma di
desinfektan dengan mengguakan 10 % pemutih selama 1 menit, kemudian dicuci
dengan menggunakan akuades steril sebanyak 3 kali, sterilisasi dengan cara demikian
menghasilkan tingkat kontaminasi yang masih cukup tinggi yaitu 9,8 – 36 %
(Mkumbo et al., 2002)
Tingkat kontaminasi lebih rendah hanya mencapai 2 – 5 % dilakukan
menggunakan sterilisasi dengan cara mencuci silinder endosperma dengan air
mengalir dan 95 % alkohol dengan cepat kemudian direndam dalam 100 % pemutih
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
23
selama 20 menit lalu mencucinya dengan menggunakan akuades steril sebanyak 3
kali, setelah embrio di isolasi lalu didesinfeksi kembali dengan 10 % pemutih selama
1 menit dan dicuci dengan menggunakan akuades steril sebanyak 3-5 kali (Rillo et
al., 2002).
Tahap selanjutnya setelah sterilisasi embrio adalah kultur embrio. Kultur
embrio dilaksanakan dengan cara menanam embrio yang telah disterilisasi pada
media tanam secara aseptis (Mashud, 2008). Embrio yang sudah ditanam ke dalam
media tumbuh di inkubasi secara aseptik pada temperatur 28 - 30 ºC dalam kondisi
terang dengan periode 14 jam cahaya, 10 jam tanpa cahaya (Adkins, 2008). Pada
penelitian lain menggunakan pencahayaan 9 jam terang dan 15 jam gelap (Mashud et
al., 2004). Sub kultur ke dalam medium baru dilakukan setiap 4 – 6 minggu sekali
(Mashud et al., 2004; Prasetyo & Rachmat, 2003)
Tahap terakhir dalam penyediaan bibit kelapa adalah tahap aklimatisasi.
Aklimatisasi adalah tahap penyesuaian bibit dari kondisi kultur (in vitro) ke kondisi
lingkungan luar (ex vitro) di screen house atau lapang yang mengharuskan bibit
tumbuh secara autotrofik (Mashud et al., 2004). Tingkat keberhasilan pada tahap ini
masih rendah yaitu ≤ 50 % (Mashud, 2010; Sukendah, 2005). Hal ini disebabkan
karena bibit mengalami shock dan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan luar
(Mashud et al., 2004). Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan memindah
bibit pada sistem fotoautotrofik dalam kondisi kaya CO2 dengan menggunakan media
mineral Y3 dengan Fe-EDTA tanpa sukrosa selama 4 minggu (Adkin, 2008).
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
24
2.4.2 Kultur Embrio Kelapa Kopyor
Aplikasi teknik kultur embryo untuk menyediakan bibit kelapa kopyor mulai
dikembangkan dalam rangka meningkatkan persentase buah kopyor yang diproduksi
(Mashud & Manaroinsong, 2007). Telah diketahui bahwa jumlah buah kopyor yang
dihasilkan oleh tanaman yang ditumbuhkan dari bibit yang diperoleh secara
konvensional hanya akan menghasilkan buah kopyor sekitar 10 - 50 % (Mashud dan
Manaroinsong, 2007). Dengan menggunakan kultur embrio, keberhasilannya tanaman
untuk menghasilkan buah kopyor menjadi jauh lebih tinggi yaitu mencapai antara 90
- 100 % (Hutapea et al., 2007; Mashud & Manaroinsong, 2007; Mashud, 2010).
Penelitian perbanyakan kelapa kopyor dengan menggunakan teknik kultur
embrio sudah cukup lama dikembangkan yaitu sekitar 35 tahun namun persentase
keberhasilannya masih cukup rendah (Sukendah, 2009). Pada tahap perkecambahan,
tingkat keberhasilan induksi tunas sangat beragam namun sudah cukup tinggi.
Mashud & Manaroinsong (2007) berhasil mengecambahkan embrio kelapa kopyor
dengan tingkat keberhasilan mencapai 63 % pada media Eeuwen (Y3). Tingkat
keberhasilan perkecambahan yang sedikit lebih tinggi (70%) dilakukan juga dengan
menggunakan medium yang sama (Prasetyo & Rachmat, 2003). Persentase
perkecambahan yang lebih tinggi (81%) dilaporkan pada kultur embryo dengan
menggunakan media hybrid embrio culture (HEC; Sidik, 2011). Tingkat keberhasilan
induksi perkecambahan yang cukup tinggi, antara 90 – 100 %, dilaporkan pada
embryo yang ditanam pada medium Eeuwen (Sukartiningrum & Sukendah, 2008;
Sukendah et al., 2008) maupun medium HEC (Sriyanti, 2010).
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
25
Namun demikian, tahapan selanjutnya setelah embrio berkecambah, yaitu tahap
induksi akar memiliki tingkat keberhasilan yang masih rendah, antara 11 – 53 %
(Tabel 2.1). Prasetyo dan Rachmat (2003) melaporkan bahwa induksi akar dengan
menggunakan medium dasar Murashige dan Skoog (MS, 1962) hanya mampu
menginduksi akar sekitar 11 %. Penambahan bahan adiktif ke dalam medium tanam
seperti air kelapa, sari buah tomat, sari taoge kacang hijau dan ekstrak ragi juga tidak
efektif untuk meningkatkan induksi akar.
Tabel 2.1. Beberapa penelitian tentang induksi akar kelapa kopyor
No Tahun Peneliti Media Persentase keberhasilan
1
1.
2003 Prasetyo &
Rachmat
MS cair, Y3 padat dan
Y3 cair
11 %
Penambahan bahan
adiktif seperti air
kelapa, sari buah
tomat, sari taoge kacang hijau dan
ekstrak ragi.
Tidak
dilaporkan
2. 2008 Sukendah et al., Eeuwens cair dengan penambahan air kelapa
(0 – 200 ml/l
45 %
Eeuwens pada dengan
berbagai periode subkultur (1, 2, 3, 4
bulan)
47 %
3. 2008 Sukartiningrum
& Sukendah
Eeuwens dengan
penambahan berbagai zat pengatur tumbuh
(IAA. NAA, Kinetin,
GA3)
53,3 %
4. 2010 Mashud Media tanam ex vitro
dengan penambahan
pupuk anorganik dan
organik
Tidak
dilaporkan
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
26
Sukendah et al., (2008) melaporkan tingkat keberhasilan induksi akar yang
lebih tinggi (45 %) dengan menggunakan medium Eeuwen yang ditambahkan air
kelapa dengan kosentrasi 100 ml/l. Keberhasilan induksi akar yang lebih baik (53,3
%) dilaporkan oleh Sukartiningrum & Sukendah (2008) dengan menggunakan
medium Eeuwen dengan penambahan 2 µM asam gibberellat (GA3)
Kendala berikutnya yang dihadapi pada kultur embryo kelapa kopyor setelah
berhasil diperoleh bibit tanaman lengkap dengan akar secara in vitro adalah tahap
aklimatisasi. Keberhasilan pada tahap aklimatisasi hanya sekitar 20 - 30 % (Mashud
& Manaroinsong, 2007; Sukendah et al., 2008; Mashud, 2010).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor yang
menghambat keberhasilan kultur embrio kelapa kopyor adalah pada tahapan induksi
akar dan aklimatisasi yang memiliki tingkat keberhasilan cukup rendah.
2.5 Induksi Akar
Induksi akar merupakan salah satu tahap yang kritis dan penting dalam
perbanyakan secara in vitro (Sharma et al., 2007; Al - Malki & Elmeer, 2009).
Induksi akar merupakan proses perangsangan atau proses menumbuhkan akar pada
tanaman. Menurut Riyadi & Sumaryono (2010), induksi akar yang baik merupakan
salah satu persyaratan penting bagi planlet sebelum aklimatisasi. Permasalahan dalam
induksi akar dapat menjadi faktor penghambat keberhasilan pada tahap aklimatisasi
karena hanya planlet yang telah memiliki sistem perakaran yang baik akan lebih cepat
tumbuh dan berkembang saat aklimatisasi (Riyadi & Sumaryono, 2010).
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
27
Menurut Fitriani (2001) secara garis besar ada 3 faktor yang
mempengaruhikeberhasilan induksi akar yaitu faktor biologi, faktor fisik dan faktor
kimia. Faktor biologi meliputi faktor genetik tanaman, umur tanaman induk, musim
ketika eksplan diambil, tipe dan ukuran eksplan serta ada tidaknya pucuk maupun
daun vegetatif (Fitriani, 2001). Faktor fisik merupakan faktor lingkungan fisik
meliputi suhu, intensitas cahaya, pH, dan kelembaban (Fitriani, 2001).Sedangkan
faktor kimia yaitu faktor yang berkaitan dengan medium tanam meliputi kandungan
garam mineral, karbon, ZPT dan vitamin (Sharma et al., 2007; Fitriani 2001). Di
antara ketiga faktor tersebut, faktor kimia banyak diteliti karena memegang peran
yang penting dalam induksi akar suatu tumbuhan.
Salah satu faktor kimia yang paling berpengaruh terhadap induksi akar adalah
ZPT (Riyadi & Sumaryono, 2010). ZPT (plant growth regulator) adalah senyawa
organik yang bukan hara (selain vitamin dan unsur mikro) , yang dalam jumlah
sedikit dapat merangsang, menghambat, dan dapat mengubah proses fisiologi
tumbuhan (Gardner et al., 1991). Secara umum ada lima kelompok ZPT pada
tanaman yaitu auksin, giberalin, sitokinin, etilen dan asam absisat (Salisbury & Ross,
1995). Setiap ZPT mempunyai ciri khas dan pengaruh yang berlainan terhadap proses
fisiologis tanaman (Salisbury & Ross, 1995). Di antara kelima ZPT tersebut, menurut
Riyadi & Sumaryono (2010) auksin memiliki peran yang paling penting dalam
induksi akar suatu tumbuhan.
Auksin merupakan istilah untuk bahan kimia yang mampu memacu
pertumbuhan dan memiliki fungsi khusus merangsang pemanjangan sel (Gardner et
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
28
al., 1991). Selain untuk merangsang pemanjangan sel, auksin juga berfungsi untuk
pembelahan sel dan diferensiasi sel (Gardner, 1991; Riyadi & Sumaryono, 2010).
Secara fisiologi, auksin berpengaruh terhadap induksi akar dan perkembangan tunas
(Gardner et al., 1991; Nababan, 2009). Keberhasilan induksi akar suatu tumbuhan
sangat dipengaruhi oleh interaksi antara auksin endogen (dibuat oleh tumbuhan itu
sendiri) dengan auksin eksogen yang ditambahkan pada media (Farid, 2003).
ZPT yang termasuk dalam golongan auksin adalah asam indol asetat (IAA),
asam kloro indol asetat (4-kloro IAA), asam α-naftalenaasetat (NAA), asam indol
butirat (IBA), asam pikolinat, asam benzoate, asam fenilasetat (PAA), asam 2,4-
diklorofenoksiasetat (2,4-D) dan asam 2-metil-4-klorofenoksiasetat (MCPA;
Salisbury & Ross, 1995). Di antara beberapa golongan auksin, asam indol butirat
(IBA) merupakan auksin yang sering digunakan untuk menginduksi akar (Sharma et
al.,2007; Gardner et al., 1991; Salisbury & Ross, 1995).
2.6 Asam Indole Butirat (IBA)
2.6.1 Pengertian
Asam indol butirat (IBA) merupakan salah satu auksin sintetik berupa senyawa
indole yang terbukti aktif dan digunakan untuk induksi perakaran (Heddy,1986).
Selain untuk induksi akar IBA juga dapat menambah daya kecambah, mencegah
kerontokan tunas, pendorong kegiatan kambium, dan merangsang pertumbuhan
batang dan daun (Irwanto, 2001; Nababan, 2009).
IBA mempunyai struktur kimia berupa gugus karboksil yang menempel pada
gugus lain yang mengandung 3 atom karbon (-CH2), yang akhirnya berhubungan
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
29
dengan cincin aromatik yang mengandung ikatan rangkap sebagai inti (Gambar 2.2;
Salisbury & Ross, 1995). Asam indol butirat (IBA) berbentuk serbuk berwarna putih
atau kristal-kristal yang bersatu, dimana IBA menunjukan suatu reaksi yang
mempunyai karakteristik khusus dari senyawa anorganik lain (Nababan, 2009). IBA
tidak bisa dilarutkan dengan menggunakan air biasa tetapi dapat dilarutkan dengan
menggunakan larutan alkali dan karbon (Nababan, 2009).
CH-CH2-CH2-COOH
NH
Gambar 2.4. Rumus bangun asam indol butirat (Salisbury & Ross, 1995).
2.6.2 Peran IBA dalam Induksi Akar
IBA mempunyai sifat yang lebih baik dan efektif untuk induksi akar daripada
senyawa auksin yang lain seperti IAA dan NAA (Salisbury & Ross, 1995; Irwanto,
2001; Hung et al., 2006; Hasanah & Setiari, 2007). Hal tersebut dikarenakan
kandungan kimianya yang lebih stabil (Irwanto, 2001). Selain itu IBA memiliki sifat
yang lambat ditranslokasikan oleh tumbuhan dan dapat disimpan dalam bentuk
konjugat dengan protein sehingga penambahan IBA ke dalam medium tidak akan
mengganggu pertumbuhan bagian lain seperti tunas (Fitriani, 2001). Di samping itu
IBA dapat dilepaskan secara bertahap sehingga memiliki daya kerja yang lebih lama
dengan kosentrasi yang tepat (Salisbury & Ross, 1995).
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
30
Terdapat dua fungsi utama IBA dalam perakaran suatu tumbuhan, yaitu IBA
dapat merangsang induksi akar dan merangsang pemanjangan akar. Menurut
Salisbury & Ross (1995), IBA mampu merangsang induksi akar melalui tahapan
pengendalian aktivitas gen yang mengontrol perakaran. Seperti halnya ZPT lainnya,
setelah IBA diterima oleh reseptor pada sel target, rangsang tersebut akan diteruskan
ke sitosol dan berkombinasi dengan protein reseptor. Selanjutnya kompleks protein
reseptor tersebut bergerak ke dalam inti dan mempengaruhi aktivitas gen. Aktivitas
gen tersebut akan mengontrol perkembangan tumbuhan termasuk menginduksi
munculnya akar (Salisbury & Ross, 1995).
Seperti halnya senyawa auksin yang lain, IBA bekerja untuk pemanjangan akar
berdasarkan hipotesis pertumbuhan asam (Salisbury & Ross, 1995), yaitu
penambahan IBA akan menyebabkan sel reseptor mensekresikan ion H+ ke dinding
sel primer yang mengelilinginya. Ion H+ ini akan menurunkan pH dinding sel
sehingga dapat mengaktifkan beberapa enzim hidrolisis untuk memutuskan ikatan
polisakarida dinding sel. Akibatnya, dinding sel primer menjadi lebih kendur dan sel
akar menjadi lebih panjang (Salisbury & Ross, 1995).
Penelitian induksi akar dengan menggunakan IBA telah banyak dilakukan pada
berbagai spesies tanaman. Pada tumbuhan hasil persilangan Prunus persica x P.
amygdalus, penambahan 25 µM IBA dapat meningkatkan induksi akar dari 0 hingga
100% (Fotopoulos & Sotiropoulos, 2005). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada
tanaman akasia (Acacia mangium L.) dimana penambahan 5 µM IBA ke dalam media
tanam mampu meningkatkan induksi akar dari 46 % menjadi 100% (Nguyen &
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
31
Kozai, 2005). Hal yang sama juga dilaporkan pada tumbuhan Pisum sativum L.,
dimana penambahan 2,5 µM IBA ke dalam media tanam dapat meningkatkan
keberhasilan induksi akar dari 17 % menjadi 83 % (Nordstrom, 1991). Keberhasilan
induksi akar tumbuhan Vitis vinifera L. cv. Perlette juga berhasil ditingkatkan dari 0
menjadi 80 % pada medium dengan penambahan 10 µM IBA (Jaskani et al., 2008).
IBA banyak digunakan untuk meninduksi akar pada kultur jaringan karena
memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik dibandingkan dengan senywa auksin
yang lain. Pada tanaman Wasabia janopinca Miq. Matsumura, penambahan IBA ke
dalam medium tanam dapat meningkatkan induksi akar sampai 100 % sedangkan
penambahan auksin lain seperti IAA dan NAA memiliki tingkat keberhasilan yang
lebih rendah, yaitu hanya 72 – 88 % (Hung et al., 2006). Hasil yang serupa juga
ditunjukkan pada tanaman Dendrobium chrysotoxum Lindl.cv. Golden Boy dimana
penambahan IBA sebesar 0,1 µM dapat menginduksi akar sampai 97 %, sedangkan
dengan menggunakan NAA hanya mampu menginduksi akar sekitar 85 % (Gantait et
al., 2009). Induksi akar pada tanaman Ficus sp. mencapai tingkat keberhasilan 58 %
dengan penambahan IBA dalam medium, sedangkan pada penambahan NAA tingkat
keberhasilan induksi akar lebih rendah yaitu 42% (Malki & Elmeer, 2009)
Seperti halnya zat pengatur tumbuh lainnya, kemampuan IBA dalam
menginduksi akar suatu tumbuhan sangat bergantung kepada konsentrasi optimum
ZPT tersebut. Sebagai contoh pada tumbuhan Cicer arietinum L., induksi akar paling
baik (90 %) dilakukan pada medium dengan penambahan IBA pada konsentrasi
3,75µM. Sebaliknya pada konsentrasi yang lebih rendah (1,25 µM) ataupun lebih
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012
32
tinggi (5 µM), tidak mampu diinduksi akar (Islam et al., 2005). Pada tanaman
Eucalyptus erythronema Turcz. x Eucalyptus stricklandii Maiden cv. ‘Urrbrae Gem,
konsentrasi optimum untuk menginduksi akar adalah 20 µM IBA. Pada konsentrasi
tersebut jumlah akar yang berhasil diinduksi sebanyak 3,3 akar dengan panjang
mencapai 10 cm, sedangkan pada konsentrasi yang lebih rendah (10 µM) ataupun
lebih tinggi (40 µM), jumlah akar dan panjang yang berhasil diinduksi juga lebih
rendah (Glocke et al., 2006).
2.6.3 Peran IBA pada Kultur Embrio Kelapa
Pada kelapa, hanya ada beberapa peneliti yang melaporkan pengunaan IBA
untuk menginduksi akar dan hasilnya pun beragam. Penambahan 34 µM IBA pada
medium PCA berhasil meningkatkan induksi akar kelapa, namun persentase
keberhasilannya tidak dilaporkan (Lien, 2002). Sedangkan penelitian lain melaporkan
bahwa penambahan IBA ke dalam medium tanam ternyata tidak berhasil
meningkatkan perakaran. Penambahan 25 µM IBA ke dalam medium tanam ternyata
justru menurunkan pembentukan akar primer dari 86 % menjadi 70 % (Rillo, 2002).
Pada kelapa kopyor, penelitian induksi akar pada embrio kelapa kopyor dengan
menggunakan IBA belum pernah dilaporkan. Sehingga pada penelitian ini akan
dilaporkan kosentrasi IBA yang tepat untuk induksi akar paling baik pada tunas
kelapa normal dan kelapa kopyor.
Pengaruh Konsentrasi Asam..., Listika Yusi Risnani, FKIP UMP, 2012