bab ii tinjauan pustaka a. kosmetika penggolongan dan

24
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik (Permenkes RI No. 1176/2010:VIII:1(1)). 1. Penggolongan dan Jenis Kosmetika a. Penggolongan kosmetika Berdasarkan kegunaannya bagi kulit, kosmetik digolongkan sebagai berikut (Tranggono dan Latifah, 2007:8) : 1) Kosmetik perawatan kulit (skin-care cosmetics) Jenis ini perlu untuk merawat kebersihan dan kesehatan kulit. Termasuk di dalamnya : a) Kosmetik untuk membersihkan kulit (cleanser); sabun, cleansing cream, cleansing milk, dan penyegar kulit (freshener). b) Kosmetik untuk melembabkan kulit (moisturizer), misalnya moisturiziring cream, night cream, anti wrnkle cream. c) Kosmetik pelindung kulit, misalnya sunscreen cream dan sunscreen foundation, sun block cream/lotion. d) Kosmetik untuk menipiskan atau mengampelas kulit (peeling), misalnya scrub cream yang berisi butiran-butiran halus yang berfungsi sebagai pengampelas (abrasiver). 2) Kosmetik riasan (dekoratif atau make-up) Jenis ini diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit sehingga menghasilkan penampilan yang lebih menarik serta menimbulkan efek psikologis yang baik, seperti percaya diri (self confidence), dalam kosmetik riasan, peran zat pewarna dan zat pewangi sangat besar.

Upload: others

Post on 30-Nov-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kosmetika

Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan

pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital

bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan,

mewangikan, mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau badan atau

melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik (Permenkes RI No.

1176/2010:VIII:1(1)).

1. Penggolongan dan Jenis Kosmetika

a. Penggolongan kosmetika

Berdasarkan kegunaannya bagi kulit, kosmetik digolongkan sebagai

berikut (Tranggono dan Latifah, 2007:8) :

1) Kosmetik perawatan kulit (skin-care cosmetics)

Jenis ini perlu untuk merawat kebersihan dan kesehatan kulit. Termasuk di

dalamnya :

a) Kosmetik untuk membersihkan kulit (cleanser); sabun, cleansing cream,

cleansing milk, dan penyegar kulit (freshener).

b) Kosmetik untuk melembabkan kulit (moisturizer), misalnya

moisturiziring cream, night cream, anti wrnkle cream.

c) Kosmetik pelindung kulit, misalnya sunscreen cream dan sunscreen

foundation, sun block cream/lotion.

d) Kosmetik untuk menipiskan atau mengampelas kulit (peeling), misalnya

scrub cream yang berisi butiran-butiran halus yang berfungsi sebagai

pengampelas (abrasiver).

2) Kosmetik riasan (dekoratif atau make-up)

Jenis ini diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit sehingga

menghasilkan penampilan yang lebih menarik serta menimbulkan efek

psikologis yang baik, seperti percaya diri (self confidence), dalam kosmetik

riasan, peran zat pewarna dan zat pewangi sangat besar.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

8

b. Jenis kosmetika

Beberapa jenis kosmetika antara lain sebagai berikut (Wasitaatmadja,

1997) :

1) Kosmetika perawatan

2) Sabun

3) Sampo dan kondisioner

4) Kosmetika pelembab

5) Kosmetika pelindung

6) Kosmetika dekoratif

7) Kosmetika pengharum

8) Kosmetik medik

9) Kosmetik tradisonal

2. Kosmetik Medik

Istilah kosmetik medik (medicated cosmetics, cosmedic, cosmeceutical)

mulai dikemukakan oleh lubowe (1995) mengenai preparat kosmetika yang

tidak hanya dapat merawat, membersihkan, memperbaiki daya tarik dan

mengubah rupa seperti tercantum dalam definisi kosmetika, tetapi juga dapat

mempengaruhi struktur dan faal kulit seperti pada obat topikal

(Wasitaatmadja, 1997:148).

Sulfur, resorsin dan asam salisilat merupakan zat antiakne sekaligus

keratolitik yang lazim diberikan secara topikal. Penggunaannya dalam

kosmetika antiakne atau keratolitik (peeling) merupakan usaha untuk

meningkatkan kemampuan kosmetika tersebut umpamanya dalam kosmetika

perawatan kulit yang berjerawat (Wasitaatmadja, 1997:151).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

9

B. Krim

1. Pengertian Krim

Sumber : https://adevnatural.com/maklon-cream-wajah/

Gambar 2.1 Krim Wajah

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih

bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini

secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang

mempunyai konsistensi relatif cair di fotmulasi sebagai emulsi air dalam

minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan

untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi

mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang

dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan

estetika (Depkes RI, 2014:46).

Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental mengandung

tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Tipe krim ada

dua yaitu krim tipe air dalam minyak (A/M) dan minyak dalam air (M/A).

Untuk membuat krim digunakan zat pengemulsi, umumnya berupa surfaktan-

surfaktan anionik, kationik dan nonionik. Untuk krim tipe A/M digunakan

sabun polivalen, span, kolesterol, cera. Sementara krim tipe M/A digunakan

sabun monovalen seperti triethanolaminum stearat, natrium stearat, kalium

stearat, ammonium stearat (Anief, 2010:71).

Tipe emulsi ada dua yaitu minyak dalam air (m/a) dan air dalam minyak

(a/m). Emulsi dapat distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi yang

disebut emulgator (emulsifying agent) atau surfaktan yang dapat mencegah

koalesensi, yaitu penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya

menjadi satu fase tunggal yang memisah. Surfaktan menstabilkan emulsi

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

10

dengan cara menempati antar-permukaan tetesan dan fase eksternal, dan

dengan membuat batas fisik di sekeliling partikel yang akan berkoalesensi

(Syamsuni, 2006: 118).

Pemilihan zat pengemulsi harus disesuaikan dengan jenis dan sifat krim

yang dikehendaki. Sebagai zat pengemulsi dapat digunakan emulgid, lemak

bulu domba, setaseum, setilalkohol, stearilalkohol, triethanolamini stearat dan

golongan sorbitan, polisorbat, polietilenglikol, sabun. Zat pengawet umunya

digunakanmetil paraben 0,12% hingga 0,18% atau propil paraben 0,02%

hingga 0,05% (Depkes RI, 1979:8).

Sifat umum sediaan semi-padat terutama krim adalah mampu melekat

pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu yang cukup lama sebelum

sediaan ini dicuci atau dihilangkan. Krim dapat memberikan efek mengkilap,

berminyak, melembapkan, dan mudah tersebar merata, mudah berpenetrasi

pada kulit, mudah diusap, mudah dicuci air (Anwar, 2012:197).

Basis yang dapat dicuci dengan air adalah emulsi minyak di dalam air

(m/a), dan dikenal sebagai „krim‟. Basis vanishing cream termasuk dalam

golongan ini. Vanishing cream, diberi istilah demikian, karena waktu krim ini

digunakan dan digosokkan pada kulit, hanya sedikit atau tidak terlihat bukti

nyata tentang adanya krim yang sebelumnya. Hilangnya krim ini dari kulit

dipermudah oleh emulsi minyak di dalam air yang terkandung di dalamnya.

Basis yang dapat dicuci dengan air akan membentuk suatu lapisan tipis yang

semipermeabel, setelah air menguap pada tempat yang digunakan (Lachman;

At all, 2008:1117). Pada penelitian yang dilakukan oleh Deni Anggraini,

Masril Malik, Maria Susiladewi krim tipe m/a menghasilkan stabilitas krim

yang baik dan tidak mengiritasi kulit.

Sebagai obat luar, krim harus memenuhi beberapa persyaratan berikut :

a. Stabil selama masih dipakai untuk mengobati. Oleh karena itu, krim harus

bebas dari inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar, dan kelembaban yang

ada di dalam kamar.

b. Lunak. Semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak

serta homogen.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

11

c. Mudah dipakai. Umumnya, krim tipe emulsi adalah yang paling mudah

dipakai dan dihilangkan dari kulit.

d. Terdistribusi secara merata. Obat harus terdispersi merata melalui dasar krim

padat atau cair pada penggunaan.

2. Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Krim

a. Beberapa keuntungan dari penggunaan sediaan krim, antara lain (Widodo,

2013:170) :

1) Mudah menyebar rata;

2) Praktis;

3) Mudah dibersihkan atau dicuci;

4) Cara kerja berlangsung pada jaringan setempat;

5) Tidak lengket, terutama tipe m/a;

6) Digunakan sebagai kosmetik; dan

7) Bahan untuk pemakaian topikal, jumlah yang diabsorpsi tidak cukup

beracun.

b. Adapun beberapa kerugian dari penggunaan sediaan krim, antara lain

(Widodo, 2013:170) :

1) Susah dalam pembuatannya, karena pembuatan krim harus dalam keadaan

panas;

2) Gampang pecah, karena dalam pembuatan, formula tidak pas; serta

3) Mudah kering dan rusak, khususnya tipe a/m, karena terganggunya sistem

campuran, terutama disebabkan oleh perubahan suhu dan perubahan

komposisi, yang diakibatkan oleh penambahan salah satu fase secara

berlebihan.

3. Basis Krim

Krim mengandung basis atau bahan dasar tertentu. Ada beberapa bahan

dasar yang sering digunakan dalam pembuatan krim, diantaranya sebagai

berikut (Widodo, 2013:171)

a. Fase Minyak, yaitu bahan obat yang larut dalam minyak dan bersifat asam.

Contohnya, asam stearat, adepslanae, paraffin liquidum, paraffin solidum,

minyak lemak, cera, cetaceum, vaselin, setil alkohol, stearil alkohol, dan

sebagainya.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

12

b. Fase air, yaitu bahan obat yang larut dalam air dan bersifat basa. Contohnya,

Na tetraborat (borax, Na biborat), triethanolamin (TEA), NaOH, KOH,

Na2CO3, gliserin, polietilenglikol (PEG), propilenglikol, dan surfaktan (Na

lauril sulfat, Na setostearil alkohol, polisorbatum/tween, span, dan sebagainya.

c. Pengemulsi. Bahan pengemulsi yang digunakan dalam sediaan krim

disesuaikan dengan jenis dan sifat krim yang akan dibuat atau dikehendaki.

Misalnya, emulgide, lemak bulu domba, setaseum, setil alkohol, stearil

alkohol, triethanolamin stearat, polisorbat, atau PEG.

d. Pengawet, yaitu bahan yang digunakan untuk meningkatkan stabilitas sediaan.

Bahan pengawet yang sering digunakan umumnya metil paraben (nipagin)

0,12-0,18% dan propil paraben (nipasol) 0,02-0,05%.

e. Pendapar, yaitu bahan yang digunakan untuk mempertahankan pH sediaan.

f. Antioksidan, yaitu bahan yang digunakan untuk mencegah ketengikan akibat

oksidasi oleh cahaya pada minyak tak jenuh.

g. Zat berkhasiat.

4. Formula Dasar Krim

a. Formula I (FMS, 1968:100)

Acid stearin 14,2

Glycerin 10

Natrium biborat 0,25

Triethanolamin 1

Aquadest 75

Nipagin q.s

b. Formula II (FMS, 1968:101)

Acid stearin 14,5

Triethanolamin 1,5

Adepslanae 3

Paraffin liquid 25

Aquadest 55

Nipagin q.s.

c. Formula III (Anief,2010:72)

Acid stearinci 15,0

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

13

Cera alba 2

Vaselin alba 8

Triethanolamin 1,5

Propylenglicol 8,0

Aquadest 65,5

5. Komposisi Penyusun Basis Sediaan Krim

a. Parafin Liquid / mineral oil

Berupa cairan kental, transparan. Tidak berfluororesensi, tidak berwarna,

hampir tidak berbau, hampir tidak mempunyai rasa. Praktis tidak larut dalam

air dan dalam etanol (95%), larut dalam kloroform dan dalam eter (Depkes RI,

1979:474). Kegunaannya sebagai emolien (Wade dan Weller, 1986).

b. Asam Stearat

Berupa zat padat keras mengkilat menunjukan susunan hablur, putih atau

kuning pucat, mirip lemak lilin. Praktis tidak larut dalam air, larut dalam 20

bagian etanol (95%), dalam 2 bagian kloroform, dan dalam 3 bagian eter

(Depkes RI, 1979:57). Kegunaannya dalam formulasi topikal sebagai bahan

pengemulsi (Anwar, 2012: 204). Asam stearat dalam sediaan topikal

digunakan sebagai bahan pembentuk emulsi. Sebagian dari asam stearat

dinetralkan dengan alkalis atau TEA untuk memberikan tekstur krim yang

elastis (Wade dan Weller, 1986: 494).

c. Cera Alba

Berupa zat padat, lapisan tipis bening, putih kekuningan, bau khas lemah.

Praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol (95%) dingin, larut

dalam kloroform, dalam eter hangat, dalam minyak lemak, dan dalam minyak

atsiri (Depkes RI 1979:140). Kegunaannya sebagai bahan penstabil emulsi,

bahan pengeras, pembawa controlled release. Pada sediaan krim dan

ointments digunakan untuk meningkatkan konsistensi (Wade dan Weller,

1986: 558).

d. Vaselin Alba

Berupa massa lunak, lengket, bening, putih, sifat ini tetap setelah zat

dileburan dan dibiarkan hingga dingin tanpa diaduk, berfluororesensi lemah,

juga jika dicairkan, tidak berbau, hampir tidak berasa. Praktis tidak larut

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

14

dalam air dan dalam etanol 95% P, larut dalam kloroform P, dalam eter P dan

dalam eter minyak tanah P, larutan kadang-kadang beropalesensi lemah

(Depkes RI, 1979:633). Kegunaannya sebagai emolien krim, topikal emulsi,

topikal ointment dengan konsentrasi antara 10-30% (Wade dan Weller,

1986:334).

e. Propilenglikol

Berupa cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak

manis, higroskopik. Dapat campur dengan air, dengan etanol 95% P dan

dengan kloroform P, larut dalam 6 bagian eter P, tidak dapat campur dengan

eter minyak tanah P dan dengan minyak lemak. Khasiat sebagai zat tambahan,

pelarut (Depkes RI, 1979:534). Kegunaanya sebagai pengawet antimikroba,

desinfektan, humektan (Wade dan Weller, 1986:407).

f. Triethanolamin (TEA)

Berupa cairan kental, tidak berwarna hingga kuning pucat, bau lemah

mirip amoniak, higroskopik. Mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%),

larut dalam kloroform (Depkes RI, 1979:612). Digunakan sebagai emulgator

untuk sediaan topikal (Anwar, 2012: 214). Kegunaan dalam formulasi sebagai

bahan pengemulsi, selain itu sebagai buffer, pelarut, humektan, dan polimer

plasticizer. Bila dicampur dalam proporsi yang seimbang dengan asam lemak

seperti asam stearat atau asam oleat akan membentuk sabun anionik yang

berguna sebagai bahan pengemulsi yang menghasilkan emulsi tipe m/a dengan

pH 8 (Wade dan Weller, 1986: 538).

g. Natrium Biborat

Berupa hablur transparan tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak

berbau, rasa asin dan basa. Dalam udara kering merapuh. Larut dalam 20

bagian air, dalam 0,6 bagian air mendidih dan dalam lebih kurang 1 bagian

gliserol praktis tidak larut dalam etanol (95%) (Depkes RI, 1979:612).

Kegunaan sebagai pengatur pH, pengawet (Depkes RI, 1993: 344).

h. Gliserin

Berupa cairan seperti sirop, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, manis

diikuti rasa hangat, higroskopik. Jika disimpan beberapa lama pada suhu

rendah dapat memadat membentuk massa hablur tidak berwarna yang tidak

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

15

melebur hingga suhu mencapai lebih kurang 20°C. Dapat campur dengan air,

dan dengan etanol (95%), praktis tidak larut dalam kloroform, dalam eter dan

dalam minyak lemak (Depkes RI, 1979:271). Kegunaanya emolien, humektan,

sebagai pengawet antimikroba (Wade dan Weller, 1986: 204).

i. Adeps lanae / lanolin

Berupa zat serupa lemak, liat, lekat, kuning muda atau kuning pucat, agak

tembus cahaya, bau lemah dan khas. Praktis tidak larut dalam air, agak sukar

larut dalam etanol (95%) P, mudah larut dalam kloform P dan dalam eter

(Depkes RI, 1979:61). Fungsinya dalam sediaan semi solid sebagai

emulsifying agent (Anwar, 2012: 203).

j. Aquadest

Berupa cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa

(Depkes RI, 1979:96).

k. Nipagin

Berupa serbuk hablur halus, putih, hampir tidak berbau, tidak mempunyai

rasa, kemudian agak membakar diikui rasa tebal. Larut dalam 500 bagian air,

dalam 20 bagian air mendidih, dalam 3,5 bagian etanol (95%) P (Depkes RI,

1979: 378). Digunakan sebagai pengawet antimikroba sediaan kosmetik,

sendiri atau kombinasi dengan paraben atau pengawet yang lain (Wade dan

Weller, 1986: 184).

6. Pembuatan Krim

Cara pembuatan krim : bagian lemak dilebur di atas tangas air kemudian

tambahkan bagian airnya dengan zat pengemulsi, aduk sampai terjadi suatu

campuran yang berbentuk krim (Syamsuni, 2006:75).

Secara umum, pembuatan/peracikan sediaan krim meliputi proses

peleburan dan emulsifikasi. Biasanya, komponen yang tidak bercampur

dengan air, seperti minyak dan lilin, dicairkan bersama-sama di dalam

penangas air pada suhu 70-75°C. Sementara itu, semua larutan berair yang

tahan panas dan komponen yang larut dalam air dipanaskan pada suhu yang

sama dengan komponen lemak. Kemudian, larutan berair secara perahan-lahan

ditambahkan ke dalam campuran lemak yang cair dan diaduk secara konstan,

sementara temperatur dipertahankan selama 5-10 menit untuk mencegah

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

16

kristalisasi dari lilin/lemak. Selanjutnya, campuran perlahan-lahan didinginkan

dengan pengadukan yang terus menerus sampai mengental (Widodo,

2013:172).

Pencampuran zat aktif sukar larut air kedalam basis krim dilakukan

dengan cara menggerus zat aktif hingga menjadi halus kemudian dilakukan

pengayakan dengan nomor pengayakan 100. Setelah itu mencampurkannya

dengan basis krim yang telah jadi (Anief, 2010:59).

Apabila zat aktif berupa ekstrak kental maka digerus dahulu dengan

sedikit air. Bila dalam resep terdapat gliserin dapat juga digerus dengannya.

Air yang digunakan supaya dikurangkan pada basis (Anief, 2010:58).

7. Evaluasi Sediaan Krim

Sediaan topikal, mata dan yang berhubungan dengan hidung, dalam

kategori ini adalah salep, krim, lotion, pasta, gel, dan aerosol non-material

untuk kulit. Preparasi topikal harus dievalusi untuk penampilan, kejelasan

warna, homogenitas, bau, pH, kemampuan pensupensi (untuk lotion),

konsistensi, viskositas, distribusi ukuran partikel (untuk suspensi, jika

memungkinakan), uji produk degradasi pengawet dan kandungan antioksidan

(jika ada), batas mikroba/sterilitas dan penurunan berat (jika perlu) (Asean

Guideline On Stability Study of Drug Product, 2005:5).

Beberapa pengujian yang dilakukan dalam proses evaluasi mutu krim,

antara lain organoleptik, pH, daya sebar, penentuan ukuran droplet, dan

aseptabilitas sediaan (Widodo, 2013:173).

a. Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan pancaindera. Komponen

yang dievaluasi meliputi bau, warna, tekstur sediaan. Adapun pelaksanaannya

menggunakan subjek responden (dengan kriteria tertentu) dengan menetapkan

kriteria pengujiannya (macam dan item), menghitung persentase masing-

masing kriteria yang diperoleh (Widodo, 2013:173).

Indera manusia adalah instrumen yang digunakan dalam analisis sensor,

terdiri dari indra penglihatan, penciuman, pencicipan, perabaan dan

pendengaran. Proses penginderaan terdiri dari tiga tahap, yaitu adanya

rangsangan terhadap indra oleh suatu benda, akan diteruskan oleh sel-sel saraf

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

17

dan datanya diproses oleh otak sehingga kita memperoleh kesan tertentu

terhadap benda tersebut (Setyaningsih; Dkk, 2010:7).

Penilaian kualitas sensorik produk bisa dilakukan dengan melihat bentuk,

ukuran, kejernihan, kekeruhan, warna dan sifat-sifat permukaan dengan indera

penglihatan (Setyaningsih; Dkk 2010:8).

Bau dan aroma merupakan sifat sensori yang paling sulit untuk

diklasifikasikan dan dijelaskan karena ragamnya yang begitu besar.

Penciuman dapat dilakukan terhadap produk secara langsung (Setyaningsih;

Dkk, 2010:9).

Indera peraba terdapat pada hampir semua permukaan tubuh, beberapa

bagian seperti rongga mulut, bibir, dan tangan lebih peka terhadap sentuhan.

Untuk menilai tekstur suatu produk dapat dilakukan perabaan menggunakan

ujung jari tangan. Biasanya bahan yang akan dinilai diletakkan antara

permukaan ibu jari, telunjuk, atau jari tengah. Penilaian dilakukan dengan

menggosok-gosokkan jari itu ke bahan yang diuji diantara kedua jari

(Setyaningsih; Dkk, 2010:11).

b. Homogenitas

Sediaan diamati secara subjektif dengan cara mengoleskan sedikit krim

diatas kaca objek (objek glass) dan diamati susunan partikel yang terbentuk

atau ketidakhomogenan partikel terdispersi dalam krim yang terlihat pada

kaca objek (Depkes RI, 1979:33).

c. Uji pH

Evaluasi pH dilakukan dengan menggunakan alat bernama pH meter.

Karena pH meter hanya bekerja pada zat yang berbentuk larutan, maka krim

harus dibuat dalam bentuk larutan terlebih dahulu. Krim dan air dicampur

dengan perbandingan 60 g : 200 ml air, kemudian diaduk hingga homogen dan

didiamkan agar mengendap. Setelah itu, pH airnya diukur dengan pH meter.

Nilai pH akan tertera pada layar pH meter (Widodo, 2013:174).

pH kulit berkisar antara 4,5–6,5. Semakin asam suatu bahan yang

mengenai kulit dapat mengakibatkan kulit menjadi kering, pecah-pecah, dan

mudah terkena infeksi. Maka pengukuran pH pada suatu sediaan diperlukan

(Tranggono dan Latifah, 2007:21).

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

18

d. Uji Daya Sebar

Evaluasi ini dilakukan dengan cara sejumlah zat tertentu diletakkan di

atas kaca yang berskala. Kemudian, bagian atasnya diberi kaca yang sama

dan ditingkatkan bebannya, dengan diberi rentang waktu 1-2 menit.

Selanjutnya, diameter penyebaran diukur pada setiap penambahan beban, saat

sediaan berhenti menyebar (dengan waktu tertentu secara teratur) (Widodo,

2013:174).

Sebanyak 1 gram sediaan krim diletakkan dengan hati-hati di atas

kaca berukuran 20 x 20 cm. Selanjutnya ditutup dengan kertas mika dan

diberi pemverat diatasnya hingga bobot 125 gram, kemudian diukur diameter

yang terbentuk setelah 1 menit. Daya sebar krim yang baik yaitu 5 sampai 7

cm (Garg; At All, 2002).

e. Uji Kesukaan

Uji kesukaan juga disebut uji hedonik. Panelis dimintakan tanggapan

pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya (ketidaksukaan). Disamping

panelis mengemukakan tanggapan senang, suka atau sebaliknya, mereka juga

mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat – tingkat kesukaan ini disebut

skala hedonik. Misalnya dalam hal “suka” dapat mempunyai skala hedonik

seperti:amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka. Sebaliknya jika

tanggapan itu “tidak suka” dapat mempunyai skala hedonik seperti suka dan

agak suka, terdapat tanggapannya yang disebut sebagai netral, yaitu bukan

suka tetapi juga bukan tidak suka (neither like nor dislike) (Setyaningsih; Dkk,

2010:59).

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

19

C. Jerawat

Sumber : https://www.cosmopolitan.co.id/article/read/10/2016/10864/

Gambar 2.2 Jerawat

Secara umum, jerawat adalah kondisi kulit yang terjadi akibat kelebihan

produksi minyak oleh kelenjar minyak pada kulit. Minyak yang biasanya

melumasi kulit terjebak dalam saluran minyak sehingga menghasilkan apa

yang dikenal sebagai jerawat, komedo, dan whiteheads pada permukaan kulit

(Fauzi dan Nurmalina, 2012: 81).

Jerawat adalah penyakit kulit akibat peradangan menaun dari folikel

pilosebasea yang ditandai dengan adanya erupsi komedo, papul, pustul, nodus

dan kista pada tempat predileksi : muka, leher, lengan atas, dada, dan

punggung (Wasitaatmadja, 1997:182).

Daerah yang mudah terkena jerawat ialah di muka, dada, punggung, dan

tubuh bagian atas lengan. Munculnya jerawat sering terjadi pada masa

pubertas antara usia 14-19 tahun yang disebabkan oleh perubahan hormon

pada remaja (Fauzi dan Nurmalina, 2012: 13).

Pengobatan akne dapat dilakukan dengan cara topikal, sistemik, dan

pengobatan bedah bila diperlukan (Wasitaadmadja, 1997:187) :

1. Pengobatan Topikal

Prinsip pengobatan topikal adalah mencegah pembentukan komedo,

menakan peradangan dan mempercepat penyembuhan lesi akne. Obat topikal

terdiri dari:

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

20

a) Bahan iritan/pengelupas, misalnya sulfur (4-8%)

b) Obat lain, misalnya kortikosteroid

2. Pengobatan Sistemik

Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan aktivitas jasad

renik di samping dapat juga menekan reaksi radang, menekan produksi sebum

dan mempengaruhi keseimbangan hormonal. Golongan sistemik terdiri atas:

a) Antibakteri sistemik misalnya tetrasiklin (150-1,0 g/hari selama 4-6 bulan)

b) Obat hormonal

c) Retinoid dan asam vitamin A oral

d) Antiinflamasi steroid

3. Pengobatan Bedah

Bedah kulit ditujukan untuk memperbaiki jaringan parut yang terjadi

akibat akne.

D. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

1. Taksonomi

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar 2.3 Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu

tanaman obat yang termasuk dalam kategori temu-temuan (Zingiberaceae).

Pada dasarnya nama temulawak digunakan oleh masyarakat Jawa. Di Eropa,

temulawak sudah dikenal sejak akhir abad XVI dan saat ini menjadi salah

satu bahan dasar untuk fitoterapi di beberapa Negara. Temulawak adalah

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

21

tanaman asli Indonesia yang kemudian menyebar ke negara-negara tetangga,

seperti Malaysia, Thailand dan Filipina. Hal ini karena Temulawak tumbuh

dengan baik di kawasan hutan tropis (Sina, 2013:1).

Klasifikasi tanaman Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah

sebagai berikut (Anonim1) :

Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Tracheobionta

Super divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.

2. Morfologi Rimpang Temulawak

Rimpang temulawak sejak lama dikenal sebagai bahan ramuan obat.

Rimpang temulawak terbentuk di dalam tanah pada kedalaman 16 cm. Setiap

rumpun tanaman memiliki enam rimpang tua dan lima rimpang muda. Akar

rimpang temulawak terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna

hijau gelap. Rimpang induk dapat memiliki 3-4 buah rimpang. Warna kulit

rimpang adalah coklat kemerahan atau kuning tua, sedangkan warna daging

rimpang adalah oranye tua atau kuning. Dalam rimpang temulawak terdapat

beberapa kandungan senyawa kimia, yaitu fellandrean dan turmerol, pati,

minyak atsiri, kamfer, glukosida, foluymetik karbino, dan kurkuminoid (Sina,

2013:3)

Tabel 2.1 Komposisi senyawa pada rimpang temulawak

Nama Senyawa Komposisi (%)

Pati 48,18-59,64

Protein 29-30

Abu 5,26-7,07

Serat 2,58-4,83

Kurkuminoid 1,60-2,20

Minyak atsiri 6-10

Sumber : (Sina, 2013:6)

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

22

3. Kandungan Kimia Rimpang Temulawak

a. Minyak Atsiri

Minyak atsiri lazim juga dikenal dengan nama minyak mudah menguap.

Dalam Encyclopedia of Chemical Technology menyebutkan bahwa minyak

atsiri merupakan senyawa, yang pada umumnya berwujud cairan, yang

diperoleh dari bagian tanaman, akar, kulit, batang, daun, buah, biji maupun

dari bunga dengan cara penyulingan dengan uap. Meskipun kenyataan untuk

memperoleh minyak atsiri dapat juga diperoleh dengan cara lain seperti

dengan cara ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik (Sastrohamidjojo,

2004:2).

b. Kurkuminoid

Kurkuminoid adalah suatu zat yang terdiri dari campuran komponen

senyawa yang bernama kurkumin dan desmetoksi kurkumin, mempunyai

warna kuning atau kuning jingga, rasa sedikit pahit, larut dalam aseton,

alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida. Kurkumin mempunyai

rumus molekul C21H20O6 (Bobot molekul = 368). Kurkuminoid dikenal

sebagai zat warna kuning yang terkandung dalam rimpang (Sina, 2013:10).

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kurkumin

Gambar 2.4 Struktur Kimia Kurkuminoid C21H20O6

4. Khasiat dan Kegunaan Rimpang Temulawak

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tumbuhan jenis

temutemuan yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku obat (Wasito,

2011:68). Temulawak termasuk tanaman yang prospektif untuk

dikembangkan. Semua bagian tanaman temulawak dapat dimanfaatkan,

namun bagian yang paling berharga dan dapat dimanfaatkan adalah

rimpangnya (Sina, 2013:28). Sejak jaman dahulu temulawak dipercaya

sebagai obat herbal yang mempunyai beberapa khasiat diantaranya sebagai

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

23

penurun kolesterol, nyeri haid, penambah nafsu akan, mengatasi gangguan

hati dan penyakit kuning, perut kembung, demam, kanker, wasir, jerawat dan

diare (Wasito, 2011:70). Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa

temulawak mempunyai efek positif bagi kesehatan manusia, diantaranya efek

analgetik, efek anthelmintik, efek anti-bakteri atau anti-jamur, efek

antidiabetik, efek antihepatotoksik, efek anti-inflamasi, dll (Sina, 2013:27).

E. Metode Penarikan (Ekstraksi)

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan

suatu pelarut. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat

digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-

lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung pada simplisia akan

mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI,

2000:1).

Proses ekstraksi pada dasarnya adalah proses perpindahan massa dari

komponen zat padat yang terdapat pada simplisia ke dalam pelarut organik

yang digunakan. Pelarut organik akan menembus dinding sel dan selanjutnya

akan masuk ke dalam rongga sel tumbuhan yang mengandung zat aktif. Zat

aktif akan terlarut dalam pelarut organik pada bagian luar sel untuk

selanjutnya berdifusi masuk ke dalam pelarut. Proses ini terus berulang

sampai terjadi keseimbangan konsentrasi at aktif antara di dalam sel dengan

konsentrasi zat aktif di luar sel (Marjoni, 2016:16).

Sampel yang akan diekstraksi dapat berbentuk sampel segar ataupun

sampel yang telah dikeringkan. Sampel yang umum digunakan adalah sampel

segar karena penetrasi pelarut akan berlangsung lebih cepat. Selain itu

penggunaan sampel segar dapat mengurangi kemungkinan terbentuknya

polimer resin atau artefak lain yang dapat terbentuk selama proses

pengeringan. Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai metode dan cara

yang sesuai dengan sifat dan tujuan ekstraksi itu sendiri (Marjoni, 2016:16).

Beberapa metode ekstraksi (penyarian) berdasarkan penggunaan panas

antara lain :

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

24

a. Ekstraksi secara dingin

Metode ekstraksi secara dingin bertujuan untuk mengekstrak senyawa-

senyawa yang terdapat dalam simplisia yang tidak tahan terhadap panas atau

bersifat thermolabil. Ekstraksi secara dingin dapat dilakukan dengan beberapa

cara berikut ini :

1) Maserasi

Secara umum, maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi yang

dilakukan dengan cara merendam simplisia nabati menggunakan pelarut

tertentu selama waktu tertentu pada temperatur kamar dan terlindung dari

cahaya dengan sesekali dilakukan pengadukan atau penggojokan (Marjoni,

2016:40).

Prinsip kerja dari maserasi adalah proses melarutnya zat aktif berdasarkan

sifat kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like). Ekstraksi zat aktif

dilakukan dengan cara merendam simplisia nabati dalam pelarut yang sesuai

selama beberapa hari pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya. Pelarut

yang digunakan, akan menembus dinding sel dan kemudian masuk kedalam

sel tanaman yang penuh dengan zat aktif. Pertemuan antara zat aktif dan

pelarut akan mengakibatkan terjadinya proses pelarutan dimana zat aktif akan

terlarut dalam pelarut. Pelarut yang berada didalam sel mengandung zat aktif

sementara pelarut yang berada di luar sel belum terisi zat aktif, sehingga

terjadi ketidak seimbangan antara konsentrasi zat aktif di dalam dengan

konsentrasi zat aktif yang ada di luar sel (Marjoni, 2016:40).

Maserasi biasanya dilakukan pada suhu 15°-20° C dalam waktu selama 3

hari sampai zat aktif yang diikehendaki larut. Kecuali dinyatakan lain,

maserasi dilakukan dengan cara merendam 10 bagian simplisia atau campuran

simplisia dengan derajat kehalusan tertentu, dimasukkan ke dalam bejana

kemudian dituangi dengan 70 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan

selama 3-5 hari pada tempat yang terlindung dari cahaya. Diaduk berulang-

ulang, diserkai dan diperas. Ampas dari maserasi dicuci menggunakan cairan

penyari secukupnya sampai diperoleh 100 bagian sari. Bejana diutup dan

dibiarkan selama 2 hari di tempat sejuk dan terlindung dari cahaya matahari

kemudian pisahkan endapan yang diperoleh (Marjoni, 2016:41).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

25

2) Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian zat aktif secara dingin dengan cara

mengalirkan pelarut secara kontinu pada simplisia selama waktu tertentu

(Marjoni, 2016:20).

b. Ekstraksi secara panas

Metode panas digunakan apabila senyawa-senyawa yang terkandung

dalam simplisia sudah dipastikan tahan panas. Metode ekstraksi yang

membutuhkan panas diantaranya:

1) Seduhan

Merupakan metoda ekstraksi paling sederhana hanya dengan merendam

simplisia dengan air panas selama waktu tertentu (5-10 menit) (Marjoni,

2016:20).

2) Coque (penggodokan)

Merupakan proses penyaria dengan cara menggodok simplisia

menggunakan api langsung dan hasilnya dapat langsung digunakan sebagai

obat baik secara keseluruhan termasuk ampasnya atau hanya hasil godokannya

saja tanpa ampas (Marjoni, 2016:21).

3) Infusa

Infusa merupakan sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia

nabati dengan air pada suhu 90° C selama 15 menit (Marjoni, 2016:21).

4) Digesti

Digesti adalah proses ekstraksi yang cara kerjanya hampir sama dengan

maserasi, hanya saja digesti menggunakan pemanasan rendah pada suhu 30°-

40° C. Metode ini biasanya digunakan untuk simplisia yang tersari baik pada

suhu biasa (Marjoni, 2016:21).

5) Dekokta

Waktu pemanasan pada dekokta lebih lama dibanding metoda infusa, yaitu

30 menit dihitung setelah suhu mencapai 90° C. Metoda ini sudah sangat

jarang digunakan karena selain proses penyariannya yang kurang sempurna

dan juga tidak dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang berifat

yang termolabil (Marjoni, 2016:21).

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

26

6) Refluks

Refluks merupakan proses ekstraksi dengan pelarut pada titik didih pelarut

selama waktu dan jumlah pelarut tertentu dengan adanya pendingin balik

(kondensor) (Marjoni, 2016:22).

7) Soxhletasi

Proses soxhletasi merupakan proses ekstraksi panas menggunakan alat

khusus berupa ekstraktor soxhlet. Suhu yang digunakan lebih rendah

dibandingkan dengan suhu pada metoda refluks (Marjoni, 2016:22).

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

27

F. Kerangka Teori

Gambar 2.5 Kerangka Teori

Jerawat

Sintetis Bahan Alam

Ekstrak Rimpang Temulawak

Formulasi Sediaan Krim

Antijerawat Ekstrak Rimpang

Temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb.) dengan

Variasi Formula (F0, F1, F2,

dan F3).

Evaluasi Sediaan :

1. Organoleptis (Setyaningsih;

Dkk, 2010)

2. Homogenitas (Depkes RI,

1979)

3. pH (Widodo, 2013)

4. Daya sebar (Widodo, 2013)

5. Uji Kesukaan (Setyaningsih;

Dkk, 2010)

Kosmetik

Kosmetik Medik

Krim

Formula Krim Tipe M/A:

Formula 1 (FMS, 1968:100)

Acid stearin 14,2

Glycerin 10

Natrium biborat 0,25

Triethanolamin 1

Aquadest 75

Nipagin q.s

Formula II (FMS, 1968:101)

Acid stearin 14,5

Triethanolamin 1,5

Adepslanae 3

Paraffin liquid 25

Aquadest 55

Nipagin q.s.

Formula III (Anief,2010:72)

Acid stearinci 15,0

Cera alba 2

Vaselin alba 8

Triethanolamin 1,5

Propylenglicol 8,0

Aquadest 65,5

Gel Salep

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

28

G. Kerangka Konsep

Gambar 2.6 Kerangka Konsep

Formulasi Sediaan Krim

Antijerawat Ekstrak Rimpang

Temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb.) pada

konsentrasi 7,6% b/v dengan

Formula :

Formula 1 (FMS, 1968:100)

Acid stearin 14,2

Glycerin 10

Natrium biborat 0,25

Triethanolamin 1

Aquadest 75

Nipagin q.s

Evaluasi Sediaan :

1. Organoleptis

(Setyaningsih; Dkk,

2010)

2. Homogenitas (Depkes

RI, 1979)

3. pH (Widodo, 2013)

4. Daya sebar (Widodo,

2013)

5. Uji Kesukaan

(Setyaningsih; Dkk,

2010)

Formula II (FMS, 1968:101)

Acid stearin 14,5

Triethanolamin 1,5

Adepslanae 3

Paraffin liquid 25

Aquadest 55

Nipagin q.s.

Formula III (Anief,2010:72)

Acid stearinci 15,0

Cera alba 2

Vaselin alba 8

Triethanolamin 1,5

Propylenglicol 8,0

Aquadest 65,5

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

29

H. Definisi Operasional

Tabel 2.2 Definisi Operasional Penelitian

N

o Jenis Variabel

Definisi

Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1. Formulasi

sediaan krim

Pembuatan

sediaan krim

ekstrak rimpang

temulawak

konsentrasi

7,6% b/b

dengan variasi

formula (F0,

F1, F2, dan

F3).

Menimbang

ekstrak rimpang

temulawak

menggunakan

neraca analitik

untuk

ditambahkan

kedalam masing-

masing formulasi

krim

Neraca

elektrik

4 formula

krim dengan

variasi

formula basis

Rasio

2.

3.

4.

5.

Organoleptik

a.Warna

b.Aroma

c.Tekstur

Homogenitas

pH

Uji daya sebar

Penilaian

menggunakan

pancaindra

meliputi warna,

aroma, dan

tekstur.

Tampilan warna

dari sediaan

krim yang

dihasilkan

Aroma yang

dihasilkan dari

sediaan krim

Tekstur dari

sediaan krim

yang telah

dibuat

Penampilan

susunan partikel

sediaan krim

yang diamati

pada kaca objek

terdispersi

secara merata

atau tidak

Besarnya nilai

keasam-basaan

krim

Ukuran yang

menyatakan

diameter

penyebaran

krim pada kaca

objek

Observasi

Observasi

Observasi

Observasi

Pengukuran

Pengukuran

Checklist

Checklist

Checklist

Checklist

pH meter

Penggaris

1.Kuning tua

2.Kuning

3.Kuning

muda

4. Putih

1.Bau khas

temulawak

2.Tidak

berbau

1.Padat

2.Setengah

padat

3.Encer

1= homogen

2= tidak

homogen

Nilai pH

dalam angka

Centimeter

Nominal

Nominal

Ordinal

Ordinal

Rasio

Rasio

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kosmetika Penggolongan dan

30

N

o Jenis Variabel

Definisi

Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

6.

Uji kesukaan

Penilaian

terhadap

tingkatan suka

atau tidaknya

sediaan krim

Observasi

Checklist

1=sangat suka

2= suka

3= tidak suka

4= sangat

tidak suka

Ordinal