7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kosmetika
Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan
pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital
bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan,
mewangikan, mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau badan atau
melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik (Permenkes RI No.
1176/2010:VIII:1(1)).
1. Penggolongan dan Jenis Kosmetika
a. Penggolongan kosmetika
Berdasarkan kegunaannya bagi kulit, kosmetik digolongkan sebagai
berikut (Tranggono dan Latifah, 2007:8) :
1) Kosmetik perawatan kulit (skin-care cosmetics)
Jenis ini perlu untuk merawat kebersihan dan kesehatan kulit. Termasuk di
dalamnya :
a) Kosmetik untuk membersihkan kulit (cleanser); sabun, cleansing cream,
cleansing milk, dan penyegar kulit (freshener).
b) Kosmetik untuk melembabkan kulit (moisturizer), misalnya
moisturiziring cream, night cream, anti wrnkle cream.
c) Kosmetik pelindung kulit, misalnya sunscreen cream dan sunscreen
foundation, sun block cream/lotion.
d) Kosmetik untuk menipiskan atau mengampelas kulit (peeling), misalnya
scrub cream yang berisi butiran-butiran halus yang berfungsi sebagai
pengampelas (abrasiver).
2) Kosmetik riasan (dekoratif atau make-up)
Jenis ini diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit sehingga
menghasilkan penampilan yang lebih menarik serta menimbulkan efek
psikologis yang baik, seperti percaya diri (self confidence), dalam kosmetik
riasan, peran zat pewarna dan zat pewangi sangat besar.
8
b. Jenis kosmetika
Beberapa jenis kosmetika antara lain sebagai berikut (Wasitaatmadja,
1997) :
1) Kosmetika perawatan
2) Sabun
3) Sampo dan kondisioner
4) Kosmetika pelembab
5) Kosmetika pelindung
6) Kosmetika dekoratif
7) Kosmetika pengharum
8) Kosmetik medik
9) Kosmetik tradisonal
2. Kosmetik Medik
Istilah kosmetik medik (medicated cosmetics, cosmedic, cosmeceutical)
mulai dikemukakan oleh lubowe (1995) mengenai preparat kosmetika yang
tidak hanya dapat merawat, membersihkan, memperbaiki daya tarik dan
mengubah rupa seperti tercantum dalam definisi kosmetika, tetapi juga dapat
mempengaruhi struktur dan faal kulit seperti pada obat topikal
(Wasitaatmadja, 1997:148).
Sulfur, resorsin dan asam salisilat merupakan zat antiakne sekaligus
keratolitik yang lazim diberikan secara topikal. Penggunaannya dalam
kosmetika antiakne atau keratolitik (peeling) merupakan usaha untuk
meningkatkan kemampuan kosmetika tersebut umpamanya dalam kosmetika
perawatan kulit yang berjerawat (Wasitaatmadja, 1997:151).
9
B. Krim
1. Pengertian Krim
Sumber : https://adevnatural.com/maklon-cream-wajah/
Gambar 2.1 Krim Wajah
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih
bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini
secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang
mempunyai konsistensi relatif cair di fotmulasi sebagai emulsi air dalam
minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan
untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi
mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang
dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan
estetika (Depkes RI, 2014:46).
Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental mengandung
tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Tipe krim ada
dua yaitu krim tipe air dalam minyak (A/M) dan minyak dalam air (M/A).
Untuk membuat krim digunakan zat pengemulsi, umumnya berupa surfaktan-
surfaktan anionik, kationik dan nonionik. Untuk krim tipe A/M digunakan
sabun polivalen, span, kolesterol, cera. Sementara krim tipe M/A digunakan
sabun monovalen seperti triethanolaminum stearat, natrium stearat, kalium
stearat, ammonium stearat (Anief, 2010:71).
Tipe emulsi ada dua yaitu minyak dalam air (m/a) dan air dalam minyak
(a/m). Emulsi dapat distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi yang
disebut emulgator (emulsifying agent) atau surfaktan yang dapat mencegah
koalesensi, yaitu penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya
menjadi satu fase tunggal yang memisah. Surfaktan menstabilkan emulsi
10
dengan cara menempati antar-permukaan tetesan dan fase eksternal, dan
dengan membuat batas fisik di sekeliling partikel yang akan berkoalesensi
(Syamsuni, 2006: 118).
Pemilihan zat pengemulsi harus disesuaikan dengan jenis dan sifat krim
yang dikehendaki. Sebagai zat pengemulsi dapat digunakan emulgid, lemak
bulu domba, setaseum, setilalkohol, stearilalkohol, triethanolamini stearat dan
golongan sorbitan, polisorbat, polietilenglikol, sabun. Zat pengawet umunya
digunakanmetil paraben 0,12% hingga 0,18% atau propil paraben 0,02%
hingga 0,05% (Depkes RI, 1979:8).
Sifat umum sediaan semi-padat terutama krim adalah mampu melekat
pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu yang cukup lama sebelum
sediaan ini dicuci atau dihilangkan. Krim dapat memberikan efek mengkilap,
berminyak, melembapkan, dan mudah tersebar merata, mudah berpenetrasi
pada kulit, mudah diusap, mudah dicuci air (Anwar, 2012:197).
Basis yang dapat dicuci dengan air adalah emulsi minyak di dalam air
(m/a), dan dikenal sebagai „krim‟. Basis vanishing cream termasuk dalam
golongan ini. Vanishing cream, diberi istilah demikian, karena waktu krim ini
digunakan dan digosokkan pada kulit, hanya sedikit atau tidak terlihat bukti
nyata tentang adanya krim yang sebelumnya. Hilangnya krim ini dari kulit
dipermudah oleh emulsi minyak di dalam air yang terkandung di dalamnya.
Basis yang dapat dicuci dengan air akan membentuk suatu lapisan tipis yang
semipermeabel, setelah air menguap pada tempat yang digunakan (Lachman;
At all, 2008:1117). Pada penelitian yang dilakukan oleh Deni Anggraini,
Masril Malik, Maria Susiladewi krim tipe m/a menghasilkan stabilitas krim
yang baik dan tidak mengiritasi kulit.
Sebagai obat luar, krim harus memenuhi beberapa persyaratan berikut :
a. Stabil selama masih dipakai untuk mengobati. Oleh karena itu, krim harus
bebas dari inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar, dan kelembaban yang
ada di dalam kamar.
b. Lunak. Semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak
serta homogen.
11
c. Mudah dipakai. Umumnya, krim tipe emulsi adalah yang paling mudah
dipakai dan dihilangkan dari kulit.
d. Terdistribusi secara merata. Obat harus terdispersi merata melalui dasar krim
padat atau cair pada penggunaan.
2. Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Krim
a. Beberapa keuntungan dari penggunaan sediaan krim, antara lain (Widodo,
2013:170) :
1) Mudah menyebar rata;
2) Praktis;
3) Mudah dibersihkan atau dicuci;
4) Cara kerja berlangsung pada jaringan setempat;
5) Tidak lengket, terutama tipe m/a;
6) Digunakan sebagai kosmetik; dan
7) Bahan untuk pemakaian topikal, jumlah yang diabsorpsi tidak cukup
beracun.
b. Adapun beberapa kerugian dari penggunaan sediaan krim, antara lain
(Widodo, 2013:170) :
1) Susah dalam pembuatannya, karena pembuatan krim harus dalam keadaan
panas;
2) Gampang pecah, karena dalam pembuatan, formula tidak pas; serta
3) Mudah kering dan rusak, khususnya tipe a/m, karena terganggunya sistem
campuran, terutama disebabkan oleh perubahan suhu dan perubahan
komposisi, yang diakibatkan oleh penambahan salah satu fase secara
berlebihan.
3. Basis Krim
Krim mengandung basis atau bahan dasar tertentu. Ada beberapa bahan
dasar yang sering digunakan dalam pembuatan krim, diantaranya sebagai
berikut (Widodo, 2013:171)
a. Fase Minyak, yaitu bahan obat yang larut dalam minyak dan bersifat asam.
Contohnya, asam stearat, adepslanae, paraffin liquidum, paraffin solidum,
minyak lemak, cera, cetaceum, vaselin, setil alkohol, stearil alkohol, dan
sebagainya.
12
b. Fase air, yaitu bahan obat yang larut dalam air dan bersifat basa. Contohnya,
Na tetraborat (borax, Na biborat), triethanolamin (TEA), NaOH, KOH,
Na2CO3, gliserin, polietilenglikol (PEG), propilenglikol, dan surfaktan (Na
lauril sulfat, Na setostearil alkohol, polisorbatum/tween, span, dan sebagainya.
c. Pengemulsi. Bahan pengemulsi yang digunakan dalam sediaan krim
disesuaikan dengan jenis dan sifat krim yang akan dibuat atau dikehendaki.
Misalnya, emulgide, lemak bulu domba, setaseum, setil alkohol, stearil
alkohol, triethanolamin stearat, polisorbat, atau PEG.
d. Pengawet, yaitu bahan yang digunakan untuk meningkatkan stabilitas sediaan.
Bahan pengawet yang sering digunakan umumnya metil paraben (nipagin)
0,12-0,18% dan propil paraben (nipasol) 0,02-0,05%.
e. Pendapar, yaitu bahan yang digunakan untuk mempertahankan pH sediaan.
f. Antioksidan, yaitu bahan yang digunakan untuk mencegah ketengikan akibat
oksidasi oleh cahaya pada minyak tak jenuh.
g. Zat berkhasiat.
4. Formula Dasar Krim
a. Formula I (FMS, 1968:100)
Acid stearin 14,2
Glycerin 10
Natrium biborat 0,25
Triethanolamin 1
Aquadest 75
Nipagin q.s
b. Formula II (FMS, 1968:101)
Acid stearin 14,5
Triethanolamin 1,5
Adepslanae 3
Paraffin liquid 25
Aquadest 55
Nipagin q.s.
c. Formula III (Anief,2010:72)
Acid stearinci 15,0
13
Cera alba 2
Vaselin alba 8
Triethanolamin 1,5
Propylenglicol 8,0
Aquadest 65,5
5. Komposisi Penyusun Basis Sediaan Krim
a. Parafin Liquid / mineral oil
Berupa cairan kental, transparan. Tidak berfluororesensi, tidak berwarna,
hampir tidak berbau, hampir tidak mempunyai rasa. Praktis tidak larut dalam
air dan dalam etanol (95%), larut dalam kloroform dan dalam eter (Depkes RI,
1979:474). Kegunaannya sebagai emolien (Wade dan Weller, 1986).
b. Asam Stearat
Berupa zat padat keras mengkilat menunjukan susunan hablur, putih atau
kuning pucat, mirip lemak lilin. Praktis tidak larut dalam air, larut dalam 20
bagian etanol (95%), dalam 2 bagian kloroform, dan dalam 3 bagian eter
(Depkes RI, 1979:57). Kegunaannya dalam formulasi topikal sebagai bahan
pengemulsi (Anwar, 2012: 204). Asam stearat dalam sediaan topikal
digunakan sebagai bahan pembentuk emulsi. Sebagian dari asam stearat
dinetralkan dengan alkalis atau TEA untuk memberikan tekstur krim yang
elastis (Wade dan Weller, 1986: 494).
c. Cera Alba
Berupa zat padat, lapisan tipis bening, putih kekuningan, bau khas lemah.
Praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol (95%) dingin, larut
dalam kloroform, dalam eter hangat, dalam minyak lemak, dan dalam minyak
atsiri (Depkes RI 1979:140). Kegunaannya sebagai bahan penstabil emulsi,
bahan pengeras, pembawa controlled release. Pada sediaan krim dan
ointments digunakan untuk meningkatkan konsistensi (Wade dan Weller,
1986: 558).
d. Vaselin Alba
Berupa massa lunak, lengket, bening, putih, sifat ini tetap setelah zat
dileburan dan dibiarkan hingga dingin tanpa diaduk, berfluororesensi lemah,
juga jika dicairkan, tidak berbau, hampir tidak berasa. Praktis tidak larut
14
dalam air dan dalam etanol 95% P, larut dalam kloroform P, dalam eter P dan
dalam eter minyak tanah P, larutan kadang-kadang beropalesensi lemah
(Depkes RI, 1979:633). Kegunaannya sebagai emolien krim, topikal emulsi,
topikal ointment dengan konsentrasi antara 10-30% (Wade dan Weller,
1986:334).
e. Propilenglikol
Berupa cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak
manis, higroskopik. Dapat campur dengan air, dengan etanol 95% P dan
dengan kloroform P, larut dalam 6 bagian eter P, tidak dapat campur dengan
eter minyak tanah P dan dengan minyak lemak. Khasiat sebagai zat tambahan,
pelarut (Depkes RI, 1979:534). Kegunaanya sebagai pengawet antimikroba,
desinfektan, humektan (Wade dan Weller, 1986:407).
f. Triethanolamin (TEA)
Berupa cairan kental, tidak berwarna hingga kuning pucat, bau lemah
mirip amoniak, higroskopik. Mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%),
larut dalam kloroform (Depkes RI, 1979:612). Digunakan sebagai emulgator
untuk sediaan topikal (Anwar, 2012: 214). Kegunaan dalam formulasi sebagai
bahan pengemulsi, selain itu sebagai buffer, pelarut, humektan, dan polimer
plasticizer. Bila dicampur dalam proporsi yang seimbang dengan asam lemak
seperti asam stearat atau asam oleat akan membentuk sabun anionik yang
berguna sebagai bahan pengemulsi yang menghasilkan emulsi tipe m/a dengan
pH 8 (Wade dan Weller, 1986: 538).
g. Natrium Biborat
Berupa hablur transparan tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak
berbau, rasa asin dan basa. Dalam udara kering merapuh. Larut dalam 20
bagian air, dalam 0,6 bagian air mendidih dan dalam lebih kurang 1 bagian
gliserol praktis tidak larut dalam etanol (95%) (Depkes RI, 1979:612).
Kegunaan sebagai pengatur pH, pengawet (Depkes RI, 1993: 344).
h. Gliserin
Berupa cairan seperti sirop, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, manis
diikuti rasa hangat, higroskopik. Jika disimpan beberapa lama pada suhu
rendah dapat memadat membentuk massa hablur tidak berwarna yang tidak
15
melebur hingga suhu mencapai lebih kurang 20°C. Dapat campur dengan air,
dan dengan etanol (95%), praktis tidak larut dalam kloroform, dalam eter dan
dalam minyak lemak (Depkes RI, 1979:271). Kegunaanya emolien, humektan,
sebagai pengawet antimikroba (Wade dan Weller, 1986: 204).
i. Adeps lanae / lanolin
Berupa zat serupa lemak, liat, lekat, kuning muda atau kuning pucat, agak
tembus cahaya, bau lemah dan khas. Praktis tidak larut dalam air, agak sukar
larut dalam etanol (95%) P, mudah larut dalam kloform P dan dalam eter
(Depkes RI, 1979:61). Fungsinya dalam sediaan semi solid sebagai
emulsifying agent (Anwar, 2012: 203).
j. Aquadest
Berupa cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa
(Depkes RI, 1979:96).
k. Nipagin
Berupa serbuk hablur halus, putih, hampir tidak berbau, tidak mempunyai
rasa, kemudian agak membakar diikui rasa tebal. Larut dalam 500 bagian air,
dalam 20 bagian air mendidih, dalam 3,5 bagian etanol (95%) P (Depkes RI,
1979: 378). Digunakan sebagai pengawet antimikroba sediaan kosmetik,
sendiri atau kombinasi dengan paraben atau pengawet yang lain (Wade dan
Weller, 1986: 184).
6. Pembuatan Krim
Cara pembuatan krim : bagian lemak dilebur di atas tangas air kemudian
tambahkan bagian airnya dengan zat pengemulsi, aduk sampai terjadi suatu
campuran yang berbentuk krim (Syamsuni, 2006:75).
Secara umum, pembuatan/peracikan sediaan krim meliputi proses
peleburan dan emulsifikasi. Biasanya, komponen yang tidak bercampur
dengan air, seperti minyak dan lilin, dicairkan bersama-sama di dalam
penangas air pada suhu 70-75°C. Sementara itu, semua larutan berair yang
tahan panas dan komponen yang larut dalam air dipanaskan pada suhu yang
sama dengan komponen lemak. Kemudian, larutan berair secara perahan-lahan
ditambahkan ke dalam campuran lemak yang cair dan diaduk secara konstan,
sementara temperatur dipertahankan selama 5-10 menit untuk mencegah
16
kristalisasi dari lilin/lemak. Selanjutnya, campuran perlahan-lahan didinginkan
dengan pengadukan yang terus menerus sampai mengental (Widodo,
2013:172).
Pencampuran zat aktif sukar larut air kedalam basis krim dilakukan
dengan cara menggerus zat aktif hingga menjadi halus kemudian dilakukan
pengayakan dengan nomor pengayakan 100. Setelah itu mencampurkannya
dengan basis krim yang telah jadi (Anief, 2010:59).
Apabila zat aktif berupa ekstrak kental maka digerus dahulu dengan
sedikit air. Bila dalam resep terdapat gliserin dapat juga digerus dengannya.
Air yang digunakan supaya dikurangkan pada basis (Anief, 2010:58).
7. Evaluasi Sediaan Krim
Sediaan topikal, mata dan yang berhubungan dengan hidung, dalam
kategori ini adalah salep, krim, lotion, pasta, gel, dan aerosol non-material
untuk kulit. Preparasi topikal harus dievalusi untuk penampilan, kejelasan
warna, homogenitas, bau, pH, kemampuan pensupensi (untuk lotion),
konsistensi, viskositas, distribusi ukuran partikel (untuk suspensi, jika
memungkinakan), uji produk degradasi pengawet dan kandungan antioksidan
(jika ada), batas mikroba/sterilitas dan penurunan berat (jika perlu) (Asean
Guideline On Stability Study of Drug Product, 2005:5).
Beberapa pengujian yang dilakukan dalam proses evaluasi mutu krim,
antara lain organoleptik, pH, daya sebar, penentuan ukuran droplet, dan
aseptabilitas sediaan (Widodo, 2013:173).
a. Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan pancaindera. Komponen
yang dievaluasi meliputi bau, warna, tekstur sediaan. Adapun pelaksanaannya
menggunakan subjek responden (dengan kriteria tertentu) dengan menetapkan
kriteria pengujiannya (macam dan item), menghitung persentase masing-
masing kriteria yang diperoleh (Widodo, 2013:173).
Indera manusia adalah instrumen yang digunakan dalam analisis sensor,
terdiri dari indra penglihatan, penciuman, pencicipan, perabaan dan
pendengaran. Proses penginderaan terdiri dari tiga tahap, yaitu adanya
rangsangan terhadap indra oleh suatu benda, akan diteruskan oleh sel-sel saraf
17
dan datanya diproses oleh otak sehingga kita memperoleh kesan tertentu
terhadap benda tersebut (Setyaningsih; Dkk, 2010:7).
Penilaian kualitas sensorik produk bisa dilakukan dengan melihat bentuk,
ukuran, kejernihan, kekeruhan, warna dan sifat-sifat permukaan dengan indera
penglihatan (Setyaningsih; Dkk 2010:8).
Bau dan aroma merupakan sifat sensori yang paling sulit untuk
diklasifikasikan dan dijelaskan karena ragamnya yang begitu besar.
Penciuman dapat dilakukan terhadap produk secara langsung (Setyaningsih;
Dkk, 2010:9).
Indera peraba terdapat pada hampir semua permukaan tubuh, beberapa
bagian seperti rongga mulut, bibir, dan tangan lebih peka terhadap sentuhan.
Untuk menilai tekstur suatu produk dapat dilakukan perabaan menggunakan
ujung jari tangan. Biasanya bahan yang akan dinilai diletakkan antara
permukaan ibu jari, telunjuk, atau jari tengah. Penilaian dilakukan dengan
menggosok-gosokkan jari itu ke bahan yang diuji diantara kedua jari
(Setyaningsih; Dkk, 2010:11).
b. Homogenitas
Sediaan diamati secara subjektif dengan cara mengoleskan sedikit krim
diatas kaca objek (objek glass) dan diamati susunan partikel yang terbentuk
atau ketidakhomogenan partikel terdispersi dalam krim yang terlihat pada
kaca objek (Depkes RI, 1979:33).
c. Uji pH
Evaluasi pH dilakukan dengan menggunakan alat bernama pH meter.
Karena pH meter hanya bekerja pada zat yang berbentuk larutan, maka krim
harus dibuat dalam bentuk larutan terlebih dahulu. Krim dan air dicampur
dengan perbandingan 60 g : 200 ml air, kemudian diaduk hingga homogen dan
didiamkan agar mengendap. Setelah itu, pH airnya diukur dengan pH meter.
Nilai pH akan tertera pada layar pH meter (Widodo, 2013:174).
pH kulit berkisar antara 4,5–6,5. Semakin asam suatu bahan yang
mengenai kulit dapat mengakibatkan kulit menjadi kering, pecah-pecah, dan
mudah terkena infeksi. Maka pengukuran pH pada suatu sediaan diperlukan
(Tranggono dan Latifah, 2007:21).
18
d. Uji Daya Sebar
Evaluasi ini dilakukan dengan cara sejumlah zat tertentu diletakkan di
atas kaca yang berskala. Kemudian, bagian atasnya diberi kaca yang sama
dan ditingkatkan bebannya, dengan diberi rentang waktu 1-2 menit.
Selanjutnya, diameter penyebaran diukur pada setiap penambahan beban, saat
sediaan berhenti menyebar (dengan waktu tertentu secara teratur) (Widodo,
2013:174).
Sebanyak 1 gram sediaan krim diletakkan dengan hati-hati di atas
kaca berukuran 20 x 20 cm. Selanjutnya ditutup dengan kertas mika dan
diberi pemverat diatasnya hingga bobot 125 gram, kemudian diukur diameter
yang terbentuk setelah 1 menit. Daya sebar krim yang baik yaitu 5 sampai 7
cm (Garg; At All, 2002).
e. Uji Kesukaan
Uji kesukaan juga disebut uji hedonik. Panelis dimintakan tanggapan
pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya (ketidaksukaan). Disamping
panelis mengemukakan tanggapan senang, suka atau sebaliknya, mereka juga
mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat – tingkat kesukaan ini disebut
skala hedonik. Misalnya dalam hal “suka” dapat mempunyai skala hedonik
seperti:amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka. Sebaliknya jika
tanggapan itu “tidak suka” dapat mempunyai skala hedonik seperti suka dan
agak suka, terdapat tanggapannya yang disebut sebagai netral, yaitu bukan
suka tetapi juga bukan tidak suka (neither like nor dislike) (Setyaningsih; Dkk,
2010:59).
19
C. Jerawat
Sumber : https://www.cosmopolitan.co.id/article/read/10/2016/10864/
Gambar 2.2 Jerawat
Secara umum, jerawat adalah kondisi kulit yang terjadi akibat kelebihan
produksi minyak oleh kelenjar minyak pada kulit. Minyak yang biasanya
melumasi kulit terjebak dalam saluran minyak sehingga menghasilkan apa
yang dikenal sebagai jerawat, komedo, dan whiteheads pada permukaan kulit
(Fauzi dan Nurmalina, 2012: 81).
Jerawat adalah penyakit kulit akibat peradangan menaun dari folikel
pilosebasea yang ditandai dengan adanya erupsi komedo, papul, pustul, nodus
dan kista pada tempat predileksi : muka, leher, lengan atas, dada, dan
punggung (Wasitaatmadja, 1997:182).
Daerah yang mudah terkena jerawat ialah di muka, dada, punggung, dan
tubuh bagian atas lengan. Munculnya jerawat sering terjadi pada masa
pubertas antara usia 14-19 tahun yang disebabkan oleh perubahan hormon
pada remaja (Fauzi dan Nurmalina, 2012: 13).
Pengobatan akne dapat dilakukan dengan cara topikal, sistemik, dan
pengobatan bedah bila diperlukan (Wasitaadmadja, 1997:187) :
1. Pengobatan Topikal
Prinsip pengobatan topikal adalah mencegah pembentukan komedo,
menakan peradangan dan mempercepat penyembuhan lesi akne. Obat topikal
terdiri dari:
20
a) Bahan iritan/pengelupas, misalnya sulfur (4-8%)
b) Obat lain, misalnya kortikosteroid
2. Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan aktivitas jasad
renik di samping dapat juga menekan reaksi radang, menekan produksi sebum
dan mempengaruhi keseimbangan hormonal. Golongan sistemik terdiri atas:
a) Antibakteri sistemik misalnya tetrasiklin (150-1,0 g/hari selama 4-6 bulan)
b) Obat hormonal
c) Retinoid dan asam vitamin A oral
d) Antiinflamasi steroid
3. Pengobatan Bedah
Bedah kulit ditujukan untuk memperbaiki jaringan parut yang terjadi
akibat akne.
D. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
1. Taksonomi
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 2.3 Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu
tanaman obat yang termasuk dalam kategori temu-temuan (Zingiberaceae).
Pada dasarnya nama temulawak digunakan oleh masyarakat Jawa. Di Eropa,
temulawak sudah dikenal sejak akhir abad XVI dan saat ini menjadi salah
satu bahan dasar untuk fitoterapi di beberapa Negara. Temulawak adalah
21
tanaman asli Indonesia yang kemudian menyebar ke negara-negara tetangga,
seperti Malaysia, Thailand dan Filipina. Hal ini karena Temulawak tumbuh
dengan baik di kawasan hutan tropis (Sina, 2013:1).
Klasifikasi tanaman Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah
sebagai berikut (Anonim1) :
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Super divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.
2. Morfologi Rimpang Temulawak
Rimpang temulawak sejak lama dikenal sebagai bahan ramuan obat.
Rimpang temulawak terbentuk di dalam tanah pada kedalaman 16 cm. Setiap
rumpun tanaman memiliki enam rimpang tua dan lima rimpang muda. Akar
rimpang temulawak terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna
hijau gelap. Rimpang induk dapat memiliki 3-4 buah rimpang. Warna kulit
rimpang adalah coklat kemerahan atau kuning tua, sedangkan warna daging
rimpang adalah oranye tua atau kuning. Dalam rimpang temulawak terdapat
beberapa kandungan senyawa kimia, yaitu fellandrean dan turmerol, pati,
minyak atsiri, kamfer, glukosida, foluymetik karbino, dan kurkuminoid (Sina,
2013:3)
Tabel 2.1 Komposisi senyawa pada rimpang temulawak
Nama Senyawa Komposisi (%)
Pati 48,18-59,64
Protein 29-30
Abu 5,26-7,07
Serat 2,58-4,83
Kurkuminoid 1,60-2,20
Minyak atsiri 6-10
Sumber : (Sina, 2013:6)
22
3. Kandungan Kimia Rimpang Temulawak
a. Minyak Atsiri
Minyak atsiri lazim juga dikenal dengan nama minyak mudah menguap.
Dalam Encyclopedia of Chemical Technology menyebutkan bahwa minyak
atsiri merupakan senyawa, yang pada umumnya berwujud cairan, yang
diperoleh dari bagian tanaman, akar, kulit, batang, daun, buah, biji maupun
dari bunga dengan cara penyulingan dengan uap. Meskipun kenyataan untuk
memperoleh minyak atsiri dapat juga diperoleh dengan cara lain seperti
dengan cara ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik (Sastrohamidjojo,
2004:2).
b. Kurkuminoid
Kurkuminoid adalah suatu zat yang terdiri dari campuran komponen
senyawa yang bernama kurkumin dan desmetoksi kurkumin, mempunyai
warna kuning atau kuning jingga, rasa sedikit pahit, larut dalam aseton,
alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida. Kurkumin mempunyai
rumus molekul C21H20O6 (Bobot molekul = 368). Kurkuminoid dikenal
sebagai zat warna kuning yang terkandung dalam rimpang (Sina, 2013:10).
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kurkumin
Gambar 2.4 Struktur Kimia Kurkuminoid C21H20O6
4. Khasiat dan Kegunaan Rimpang Temulawak
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tumbuhan jenis
temutemuan yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku obat (Wasito,
2011:68). Temulawak termasuk tanaman yang prospektif untuk
dikembangkan. Semua bagian tanaman temulawak dapat dimanfaatkan,
namun bagian yang paling berharga dan dapat dimanfaatkan adalah
rimpangnya (Sina, 2013:28). Sejak jaman dahulu temulawak dipercaya
sebagai obat herbal yang mempunyai beberapa khasiat diantaranya sebagai
23
penurun kolesterol, nyeri haid, penambah nafsu akan, mengatasi gangguan
hati dan penyakit kuning, perut kembung, demam, kanker, wasir, jerawat dan
diare (Wasito, 2011:70). Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa
temulawak mempunyai efek positif bagi kesehatan manusia, diantaranya efek
analgetik, efek anthelmintik, efek anti-bakteri atau anti-jamur, efek
antidiabetik, efek antihepatotoksik, efek anti-inflamasi, dll (Sina, 2013:27).
E. Metode Penarikan (Ekstraksi)
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan
suatu pelarut. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat
digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-
lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung pada simplisia akan
mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI,
2000:1).
Proses ekstraksi pada dasarnya adalah proses perpindahan massa dari
komponen zat padat yang terdapat pada simplisia ke dalam pelarut organik
yang digunakan. Pelarut organik akan menembus dinding sel dan selanjutnya
akan masuk ke dalam rongga sel tumbuhan yang mengandung zat aktif. Zat
aktif akan terlarut dalam pelarut organik pada bagian luar sel untuk
selanjutnya berdifusi masuk ke dalam pelarut. Proses ini terus berulang
sampai terjadi keseimbangan konsentrasi at aktif antara di dalam sel dengan
konsentrasi zat aktif di luar sel (Marjoni, 2016:16).
Sampel yang akan diekstraksi dapat berbentuk sampel segar ataupun
sampel yang telah dikeringkan. Sampel yang umum digunakan adalah sampel
segar karena penetrasi pelarut akan berlangsung lebih cepat. Selain itu
penggunaan sampel segar dapat mengurangi kemungkinan terbentuknya
polimer resin atau artefak lain yang dapat terbentuk selama proses
pengeringan. Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai metode dan cara
yang sesuai dengan sifat dan tujuan ekstraksi itu sendiri (Marjoni, 2016:16).
Beberapa metode ekstraksi (penyarian) berdasarkan penggunaan panas
antara lain :
24
a. Ekstraksi secara dingin
Metode ekstraksi secara dingin bertujuan untuk mengekstrak senyawa-
senyawa yang terdapat dalam simplisia yang tidak tahan terhadap panas atau
bersifat thermolabil. Ekstraksi secara dingin dapat dilakukan dengan beberapa
cara berikut ini :
1) Maserasi
Secara umum, maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi yang
dilakukan dengan cara merendam simplisia nabati menggunakan pelarut
tertentu selama waktu tertentu pada temperatur kamar dan terlindung dari
cahaya dengan sesekali dilakukan pengadukan atau penggojokan (Marjoni,
2016:40).
Prinsip kerja dari maserasi adalah proses melarutnya zat aktif berdasarkan
sifat kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like). Ekstraksi zat aktif
dilakukan dengan cara merendam simplisia nabati dalam pelarut yang sesuai
selama beberapa hari pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya. Pelarut
yang digunakan, akan menembus dinding sel dan kemudian masuk kedalam
sel tanaman yang penuh dengan zat aktif. Pertemuan antara zat aktif dan
pelarut akan mengakibatkan terjadinya proses pelarutan dimana zat aktif akan
terlarut dalam pelarut. Pelarut yang berada didalam sel mengandung zat aktif
sementara pelarut yang berada di luar sel belum terisi zat aktif, sehingga
terjadi ketidak seimbangan antara konsentrasi zat aktif di dalam dengan
konsentrasi zat aktif yang ada di luar sel (Marjoni, 2016:40).
Maserasi biasanya dilakukan pada suhu 15°-20° C dalam waktu selama 3
hari sampai zat aktif yang diikehendaki larut. Kecuali dinyatakan lain,
maserasi dilakukan dengan cara merendam 10 bagian simplisia atau campuran
simplisia dengan derajat kehalusan tertentu, dimasukkan ke dalam bejana
kemudian dituangi dengan 70 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan
selama 3-5 hari pada tempat yang terlindung dari cahaya. Diaduk berulang-
ulang, diserkai dan diperas. Ampas dari maserasi dicuci menggunakan cairan
penyari secukupnya sampai diperoleh 100 bagian sari. Bejana diutup dan
dibiarkan selama 2 hari di tempat sejuk dan terlindung dari cahaya matahari
kemudian pisahkan endapan yang diperoleh (Marjoni, 2016:41).
25
2) Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian zat aktif secara dingin dengan cara
mengalirkan pelarut secara kontinu pada simplisia selama waktu tertentu
(Marjoni, 2016:20).
b. Ekstraksi secara panas
Metode panas digunakan apabila senyawa-senyawa yang terkandung
dalam simplisia sudah dipastikan tahan panas. Metode ekstraksi yang
membutuhkan panas diantaranya:
1) Seduhan
Merupakan metoda ekstraksi paling sederhana hanya dengan merendam
simplisia dengan air panas selama waktu tertentu (5-10 menit) (Marjoni,
2016:20).
2) Coque (penggodokan)
Merupakan proses penyaria dengan cara menggodok simplisia
menggunakan api langsung dan hasilnya dapat langsung digunakan sebagai
obat baik secara keseluruhan termasuk ampasnya atau hanya hasil godokannya
saja tanpa ampas (Marjoni, 2016:21).
3) Infusa
Infusa merupakan sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia
nabati dengan air pada suhu 90° C selama 15 menit (Marjoni, 2016:21).
4) Digesti
Digesti adalah proses ekstraksi yang cara kerjanya hampir sama dengan
maserasi, hanya saja digesti menggunakan pemanasan rendah pada suhu 30°-
40° C. Metode ini biasanya digunakan untuk simplisia yang tersari baik pada
suhu biasa (Marjoni, 2016:21).
5) Dekokta
Waktu pemanasan pada dekokta lebih lama dibanding metoda infusa, yaitu
30 menit dihitung setelah suhu mencapai 90° C. Metoda ini sudah sangat
jarang digunakan karena selain proses penyariannya yang kurang sempurna
dan juga tidak dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang berifat
yang termolabil (Marjoni, 2016:21).
26
6) Refluks
Refluks merupakan proses ekstraksi dengan pelarut pada titik didih pelarut
selama waktu dan jumlah pelarut tertentu dengan adanya pendingin balik
(kondensor) (Marjoni, 2016:22).
7) Soxhletasi
Proses soxhletasi merupakan proses ekstraksi panas menggunakan alat
khusus berupa ekstraktor soxhlet. Suhu yang digunakan lebih rendah
dibandingkan dengan suhu pada metoda refluks (Marjoni, 2016:22).
27
F. Kerangka Teori
Gambar 2.5 Kerangka Teori
Jerawat
Sintetis Bahan Alam
Ekstrak Rimpang Temulawak
Formulasi Sediaan Krim
Antijerawat Ekstrak Rimpang
Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) dengan
Variasi Formula (F0, F1, F2,
dan F3).
Evaluasi Sediaan :
1. Organoleptis (Setyaningsih;
Dkk, 2010)
2. Homogenitas (Depkes RI,
1979)
3. pH (Widodo, 2013)
4. Daya sebar (Widodo, 2013)
5. Uji Kesukaan (Setyaningsih;
Dkk, 2010)
Kosmetik
Kosmetik Medik
Krim
Formula Krim Tipe M/A:
Formula 1 (FMS, 1968:100)
Acid stearin 14,2
Glycerin 10
Natrium biborat 0,25
Triethanolamin 1
Aquadest 75
Nipagin q.s
Formula II (FMS, 1968:101)
Acid stearin 14,5
Triethanolamin 1,5
Adepslanae 3
Paraffin liquid 25
Aquadest 55
Nipagin q.s.
Formula III (Anief,2010:72)
Acid stearinci 15,0
Cera alba 2
Vaselin alba 8
Triethanolamin 1,5
Propylenglicol 8,0
Aquadest 65,5
Gel Salep
28
G. Kerangka Konsep
Gambar 2.6 Kerangka Konsep
Formulasi Sediaan Krim
Antijerawat Ekstrak Rimpang
Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) pada
konsentrasi 7,6% b/v dengan
Formula :
Formula 1 (FMS, 1968:100)
Acid stearin 14,2
Glycerin 10
Natrium biborat 0,25
Triethanolamin 1
Aquadest 75
Nipagin q.s
Evaluasi Sediaan :
1. Organoleptis
(Setyaningsih; Dkk,
2010)
2. Homogenitas (Depkes
RI, 1979)
3. pH (Widodo, 2013)
4. Daya sebar (Widodo,
2013)
5. Uji Kesukaan
(Setyaningsih; Dkk,
2010)
Formula II (FMS, 1968:101)
Acid stearin 14,5
Triethanolamin 1,5
Adepslanae 3
Paraffin liquid 25
Aquadest 55
Nipagin q.s.
Formula III (Anief,2010:72)
Acid stearinci 15,0
Cera alba 2
Vaselin alba 8
Triethanolamin 1,5
Propylenglicol 8,0
Aquadest 65,5
29
H. Definisi Operasional
Tabel 2.2 Definisi Operasional Penelitian
N
o Jenis Variabel
Definisi
Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1. Formulasi
sediaan krim
Pembuatan
sediaan krim
ekstrak rimpang
temulawak
konsentrasi
7,6% b/b
dengan variasi
formula (F0,
F1, F2, dan
F3).
Menimbang
ekstrak rimpang
temulawak
menggunakan
neraca analitik
untuk
ditambahkan
kedalam masing-
masing formulasi
krim
Neraca
elektrik
4 formula
krim dengan
variasi
formula basis
Rasio
2.
3.
4.
5.
Organoleptik
a.Warna
b.Aroma
c.Tekstur
Homogenitas
pH
Uji daya sebar
Penilaian
menggunakan
pancaindra
meliputi warna,
aroma, dan
tekstur.
Tampilan warna
dari sediaan
krim yang
dihasilkan
Aroma yang
dihasilkan dari
sediaan krim
Tekstur dari
sediaan krim
yang telah
dibuat
Penampilan
susunan partikel
sediaan krim
yang diamati
pada kaca objek
terdispersi
secara merata
atau tidak
Besarnya nilai
keasam-basaan
krim
Ukuran yang
menyatakan
diameter
penyebaran
krim pada kaca
objek
Observasi
Observasi
Observasi
Observasi
Pengukuran
Pengukuran
Checklist
Checklist
Checklist
Checklist
pH meter
Penggaris
1.Kuning tua
2.Kuning
3.Kuning
muda
4. Putih
1.Bau khas
temulawak
2.Tidak
berbau
1.Padat
2.Setengah
padat
3.Encer
1= homogen
2= tidak
homogen
Nilai pH
dalam angka
Centimeter
Nominal
Nominal
Ordinal
Ordinal
Rasio
Rasio
30
N
o Jenis Variabel
Definisi
Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
6.
Uji kesukaan
Penilaian
terhadap
tingkatan suka
atau tidaknya
sediaan krim
Observasi
Checklist
1=sangat suka
2= suka
3= tidak suka
4= sangat
tidak suka
Ordinal