bab ii tinjauan pustaka a. kerangka teori atau konseptual · a. kerangka teori atau konseptual 1....

21
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Pembuktian dalam arti luas berarti memperkuat kesimpulan Hakim dengan syarat- syarat bukti yang sah. Membuktikan dalam arti yang terbatas hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh Penggugat itu dibantah oleh Tergugat. Apabila yang tidak dibantah itu tidak perlu dibuktikan, maka kebenaran dari apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan (Ali Afandi, 1983:188). Sudikno Mertokusumo (2002:140) dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengatakan bahwa: Membuktikan mengandung beberapa pengertian yaitu arti logis, konvensional dan yuridis. Membuktikan dalam arti logis adalah memberikan kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Membuktikan dalam arti konvensional, membuktikan berarti juga memberi kepastian hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan kepastian nisbi atau relatif sifatnya. Membuktikan dalam arti yuridis berarti memberikan dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Subekti (1997:95) dalam bukunya Hukum Pembuktian mengatakan bahwa “Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan”. Teguh Samudra (2004:12) mendefiniskan “Membuktikan berarti menjelaskan kedudukan hukum yang sebenarnya berdasarkan keyakinan Hakim kepada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa”. Definisi lain menurut Ismet Baswedan (2004:26) “Pembuktian merupakan tahap yang menentukan dalam proses

Upload: doankhanh

Post on 09-Apr-2019

244 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori atau Konseptual

1. Pembuktian

a. Pengertian Pembuktian

Pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Pembuktian

dalam arti luas berarti memperkuat kesimpulan Hakim dengan syarat-

syarat bukti yang sah. Membuktikan dalam arti yang terbatas hanya

diperlukan apabila yang dikemukakan oleh Penggugat itu dibantah oleh

Tergugat. Apabila yang tidak dibantah itu tidak perlu dibuktikan, maka

kebenaran dari apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan (Ali

Afandi, 1983:188). Sudikno Mertokusumo (2002:140) dalam bukunya

Hukum Acara Perdata Indonesia mengatakan bahwa:

Membuktikan mengandung beberapa pengertian yaitu arti logis,

konvensional dan yuridis. Membuktikan dalam arti logis adalah

memberikan kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi

setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

Membuktikan dalam arti konvensional, membuktikan berarti juga

memberi kepastian hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan

kepastian nisbi atau relatif sifatnya. Membuktikan dalam arti yuridis

berarti memberikan dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa

perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran

peristiwa yang diajukan.

Subekti (1997:95) dalam bukunya Hukum Pembuktian

mengatakan bahwa “Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang

kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu

persengketaan”. Teguh Samudra (2004:12) mendefiniskan

“Membuktikan berarti menjelaskan kedudukan hukum yang sebenarnya

berdasarkan keyakinan Hakim kepada dalil-dalil yang dikemukakan para

pihak yang bersengketa”. Definisi lain menurut Ismet Baswedan

(2004:26) “Pembuktian merupakan tahap yang menentukan dalam proses

12

suatu perkara karena dari hasil pembuktian dapat diketahui benar atau

tidaknya suatu gugatan atau bantahan”. Melihat dari pendapat-pendapat

tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian

adalah suatu cara yang dilakukan oleh pihak berperkara untuk

memberikan dasar kepada Hakim tentang kepastian kebenaran suatu

peristiwa yang telah didalilkan.

b. Yang Harus Dibuktikan

Pihak Penggugat dalam menyusun gugatan, tidak dapat

langsung mengemukakan apa yang menjadi tututannya tetapi Penggugat

terlebih dahulu harus menuliskan posita yang berisi kejadian-kejadian

atau peristiwa-peristiwa yang dialami pihak penggugat. Antara posita

dengan petitum harus ada hubungannya, sebab posita dipergunakan

sebagai dasar alasan tuntutan untuk menuntut pemulihan hak Penggugat

yang telah dilanggar oleh Tergugat. Bahwa yang dimaksud ialah apabila

peristiwa-peristiwanya diterangkan demikian, maka tuntutannnya harus

demikian. Peristiwa yang diuraikan dalam gugatan karena menjadi dasar

dari tuntutan, perlu dibuktikan di persidangan dengan menggunakan alat

bukti yang sah menurut undang-undang. Hal ini sehubungan dengan

ketentuan Pasal 163 HIR/Pasal 283 RBg menyebutkan sebagai berikut:

“Barang siapa mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu

perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak

orang itu, harus membuktikan adanya hak atau adanya kejadian itu”.

Berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa yang harus dibuktikan

adalah adanya hak atau adanya kejadian dari apa yang telah didalilkan

pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya dalam gugatan perceraian

dengan alasan pertengkaran terus menerus, di sini yang harus dibuktikan

adalah peristiwa perkawinan antara penggugat dan tergugat, kemudian

pembuktian tentang adanya pertengkaran suami istri yang terus menerus

sehingga mereka sulit hidup rukun.

13

c. Yang tidak perlu dibuktikan

Pasal 163 HIR dan Pasal 283 RBg menghendaki peristiwa yang

didalilkan seseorang untuk dibuktikan di persidangan, akan tetapi

seorang Hakim dalam menangani perkara perdata wajib menyeleksi

terlebih dahulu peristiwa mana yang harus dibuktikan oleh pihak yang

berperkara, sebab tidak semua peristiwa harus dibuktikan di persidangan.

Adapun hal-hal yang tidak perlu dibuktikan adalah sebagai

berikut (Gatot Supramono, 1993:54):

1) Dalam putusan verstek

Acara putusan verstek yang dijatuhkan diluar hadirnya pihak

tergugat menurut pasal 125 ayat (1) HIR setelah tergugat dipanggil

secara patut selama tiga kali berturut-turut tetapi tidak datang

menghadap ke persidangan dan tidak juga menyuruh orang lain

untuk mewakilinya, maka Hakim menjatuhkan putusan verstek.

Hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut, tidak diperlukan

pembuktian. Hakim hanya diperintahkan untuk melihat apakah

gugatan penggugat melawan hak atau tidak beralasan.

2) Gugatan diakui pihak lawan

Jawaban yang disampaikan tergugat dipersidangan akan

tampak apakah jawaban tersebut isinya menyangkal atau mengakui

gugatan penggugat. Hukum Acara Perdata sikap tidak menyangkal

dipersamakan dengan mengakui (Subekti, 1997:96). Gugatan yang

sudah diakui pihak lawan tidak perlu dibuktikan, karena pengakuan

sudah berarti membenarkan dalil gugatan dan pengakuan sudah

merupakan salah satu alat bukti menurut undang-undang (Chidir Ali,

1981:44). Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 8 K/Sip/1964

tanggal 9 Juni 1964 gugatan yang tidak di bantah dinilai penggugat

telah berhasil membuktikan dalilnya dengan tidak dibantah oleh

tergugat.

14

3) Diketahui Hakim sendiri di muka sidang

Tugas Hakim di persidangan adalah memimpin jalannya

persidangan. Hakim dalam waktu memimpin jalannya persidangan

akan melihat segala sesuatu yang terjadi di persidangan. Apa yang

telah dilihat Hakim di persidangan tidak perlu dibuktikan lagi, hal ini

sejalan dengan arti pembuktian dimana pihak yang berperkara

memberikan dasar kepada Hakim untuk memperoleh kepastian akan

kebenaran suatu peristiwa, karena ada sesuatu yang sudah diketahui

Hakim sewaktu memimpin jalannya persidangan maka hal tersebut

tidak perlu dibuktikan.

4) Hal yang telah diketahui oleh umum

Hal-hal yang diketahui oleh umum pada dasarnya tidak

perlu dibuktikan di persidangan. Misalnya siang hari lebih terang

daripada malam hari, alat pembayaran di negara kita berupa uang

rupiah.

2. Alasan Perceraian

Putusnya perkawinan diatur dalam:

a. Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan.

b. Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun

1974 tentang Perkawinan.

c. Pasal 199 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

d. Pasal 133 sampai dengan Pasal 128 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun

1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Putusnya perkawinan yang diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974 karena:

a. Kematian

15

b. Perceraian

c. Atas Keputusan Pengadilan.

Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan Jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan mengatakan bahwa alasan-alasan yang dibenarkan untuk

melakukan perceraian adalah:

a. Zina yakni salah satu pihak berbuat zina.

b. Ditinggalkan dengan sengaja yakni salah satu pihak meninggalkan yang

lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut.

c. Penghukuman melebihi 5 (lima) tahun yakni salah satu pihak mendapat

hukuman penjara melebihi 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat

karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan setelah perkawinan

berlangsung.

d. Penganiyaan berat yakni salah satu pihak melakukan kekejaman atau

penganiyaan berat yang membahayakan.

e. Salah satu mendapat cacat badan/penyakit dengan akibat tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan atau

pertengkaran yang tidak ada harapan dapat hidup rukun lagi dalam rumah

tangganya.

Alasan-alasan perceraian yang tertuang dalam Pasal 116 Instruksi

Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam adalah

sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi

dan lain sebagainya yang sukar untuk disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain

diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

16

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang

membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami-istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan (syiqaq).

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga.

3. Alat bukti

a. Alat bukti di Pengadilan Agama

Ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang

diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan perubahan kedua

oleh Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama

menyatakan “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama adalah

hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan

Pengadilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-

undang ini”. Pengadilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun

1989 yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan

perubahan kedua oleh Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang

Peradilan Agama merupakan undang-undang khusus, sedangkan Hukum

Acara Perdata dalam HIR dan RBg merupakan undang-undang umum.

Pembuktian yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 7

tahun 1989 yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan

perubahan kedua oleh Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang

Peradilan Agama menyangkut sengketa perkawinan terdiri dari:

1) Pembuktian dalam permohonan cerai talak (Pasal 70).

2) Pembuktian dalam gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah

satu pihak mendapat pidana penjara (Pasal 74).

17

3) Pembuktian dalam gugatan perceraian didasarkan atas alasan tergugat

mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri (Pasal 75).

4) Pembuktian dalam gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq

(Pasal 76).

5) Pembuktian dalam gugatan perceraian didasarkan atas alasan zina

(Pasal 87) (Gatot Supramono, 1993:54).

Gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq adalah gugatan

yang didasarkan dengan adanya perselisiahan yang tajam dan terus

menerus antara suami dan istri (Bambang Waluyo, 1996:85). Syiqaq diatur

dalam Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974,

disyaratkan bahwa antara suami dan istri harus terus terjadi perselisihan

dan pertengkaran yang tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam

rumah tangga. Gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka

sebagai alat bukti harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari

keluarga atau orang yang dekat dengan suami atau istri. Keterangan saksi

di sini berbeda dengan keterangan saksi yang dimaksud dalam Pasal 145

ayat (1) HIR dan Pasal 146 HIR yang melarang keluarga sedarah dan

semenda untuk didengar sebagai saksi.

Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang diubah oleh

Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan perubahan kedua oleh Undang-

Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama dinyatakan

setelah mendengar keterangan saksi tentang persengketaan suami dan istri,

Pengadilan dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-

masing pihak atau orang lain menjadi hakam. Hakam adalah orang yang

ditetapkan Pengadilan dari pihak keluarga suami atau istri atau pihak lain

untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq. (Bambang

Waluyo, 1996:86). Jadi peran hakam dapat dikatakan sebagai pendamai.

18

b. Alat bukti di Pengadilan Negeri

Menurut sistem Hukum Acara Perdata Indonesia, Majelis Hakim

terikat dengan alat bukti yang diatur dalam undang-undang. Hal ini berarti

bahwa Majelis Hakim hanya boleh menjatuhkan putusan berdasar pada

alat bukti yang telah diatur oleh undang-undang. Macam-macam alat bukti

telah ditentukan dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW

yaitu:

1) Alat bukti tertulis (surat)

Dasar hukum alat bukti tertulis adalah Pasal 138, 165, 167

HIR, 164,285,305 Rbg dan Pasal 1867-1894 KUHPerdata. Alat bukti

tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda

bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk

menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai

pembuktian (Sudikno mertokusumo, 2002:151). Unsur-unsur tersebut

bersifat kumulatif, sehingga apabila ada salah satu unsur yang tidak

ada, maka bukanlah merupakan surat. Unsur memuat tanda bacaan

misalnya, ketika sesuatu tidak memuat tanda baca contohnya foto,

gambar, dan lain-lain. Sesuatu tersebut bukanlah sebuah surat. Begitu

pula dengan unsur yang mengandung buah pikiran dan unsur yang

dipergunakan sebagai pembuktian. Alat bukti tertulis atau surat dapat

dibagi menjadi akta dan surat-surat lain yang bukan akta. “Akta

adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat

peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat

sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian”. Sedangkan surat-

surat lain yang bukan akta adalah “semua alat bukti tertulis yang

memenuhi unsur untuk adanya alat bukti tertulis, tetapi tidak

memenuhi unsur-unsur untuk diakuinya sebagai akta”. Akta kemudian

dapat dibagi lagi menjadi akta autentik dan akta di bawah tangan.

Akta autentik adalah akta yang dibuat dihadapan pejabat yang

berwenang. Sedangkan akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja

19

di buat tidak di hadapan pejabat yang berwenang untuk keperluan

pembuktian (Sudikno Mertokusumo, 2002:152).

2) Alat bukti saksi

Keterangan saksi atau suatu kesaksian (Sudikno Mertokusumo,

2002:159) adalah “kepastian yang diberikan kepada Hakim di

persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan

pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah

satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan”. Menurut

Gemala Dewi (2006:135) “saksi ialah orang yang memberikan

keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu,

tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami

sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tertentu”.

Alat bukti saksi dalam Hukum Acara Perdata diatur dalam

Pasal 139-157 HIR, Pasal 168-172 HIR Jo.Pasal 165-179 RBg, Pasal

305-309 RBg Jo.Pasal 1895 KUHPerdata, Pasal 1902-1908

KUHPerdata dan Pasal 1912 KUHPerdata. Saksi ialah orang yang

memberikan keterangan di muka persidangan tentang suatu peristiwa

atau keadaan yang ia lihat, dengar dan alami sendiri (Abdulkadir

Muhammad, 2008: 130). Kesaksian bukanlah suatu alat bukti yang

sempurna dan mengikat Hakim, tetapi menjadi pertimbangan Hakim

untuk menerimanya atau tidak. Artinya, Hakim leluasa untuk

mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi.

Saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak agar dapat didengar

sebagai alat bukti, maka harus memenuhi syarat formil dan materiil.

Adapun syarat formil dan materiil sebagai berikut: Syarat formil alat

bukti saksi (Damang, 2011:3):

a) Memberikan keterangan didepan sidang Pengadilan. Bukan

orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi.

b) Bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri, menyatakan

kesediaannya untuk diperiksa sebagai saksi.

c) Mengangkat sumpah menurut Agama yang dipeluknya.

20

Syarat materiil alat bukti saksi:

a) Keterangan yang diberikan mengenai peristiwa yang dialami,

didengar, dan dilihat sendiri oleh saksi.

b) Keterangan yang diberikan harus mempunyai sumber

pengetahuan yang jelas.

c) Keterangan yang diberikan oleh saksi harus saling bersesuaian

satu dengan yang lain.

Setiap kesaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi

(Pasal 171 ayat (1) HIR/Pasal 308 ayat (1) RBg/Pasal 1907

KUHPerdata). Berdasarkan Pasal 171 HIR/Pasal 1907 KUHPerdata

keterangan yang diberikan oleh seorang saksi di persidangan haruslah

berdasarkan sumber pengetahuan yang jelas dan sumber pengetahuan

yang dibenarkan oleh hukum. Kesaksian tersebut berdasarkan

penglihatan, atau pendengaran yang bersifat langsung dari peristiwa

atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang

disengketakan para pihak, tidak cukup jika saksi hanya menerangkan

bahwa ia mengetahui peristiwanya. Ia harus dapat menerangkan

bagaimana ia sampai dapat mengetahuinya. Sebab musabab ia dapat

mengetahui peristiwanya harus disebutkan. Pendapat atau dugaan

khusus yang timbul karena akal tidak dianggap sebagai kesaksian

(Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 RBg/Pasal 1907 KUHPerdata).

Keterangan saksi bahwa penggugat dan tergugat sedang sedih, mabuk,

mempunyai itikad baik dan sebagainya tidak boleh diterima sebagai

kesaksian, karena hal tersebut hanya merupakan kesimpulan atau

dugaan saja. Kesaksian hanya diperbolehkan dalam pemberitahuan

dari orang yang mengetahui dengan mata kepala sendiri (ratio

sciendi). Keterangan saksi yang bukan merupakan pengetahuan dan

pegalaman sendiri tidak dapat membuktikan kebenaran persaksiannya.

Tidak semua keterangan saksi bernilai sebagai alat bukti yang

sah, ada beberapa bagian keterangan saksi yang tidak boleh dinilai dan

dimasukkan sebagai alat bukti saksi yaitu pendapat pribadi saksi,

21

dugaan saksi, kesimpulan pendapat saksi, perasaan pribadi saksi dan

kesan pribadi saksi.

3) Alat bukti persangkaan

Dasar hukum persangkaan yaitu Pasal 173 HIR, Pasal 310

Rbg, dan Pasal 1915 KUHPerdata. Sudikno Mertokusumo (2002:180)

berpendapat bahwa “Persangkaan itu sesungguhnya bukanlah

merupakan alat bukti karena yang dipakai sebagai alat bukti

sebetulnya bukan persangkaan itu sendiri, melainkan alat-alat bukti

lainnya”. Persangkaan dapat dibedakan menjadi dua yaitu

persangkaan hakim dan persangkaan berdasarkan undang-undang.

Persangkaan hakim adalah kesimpulan yang dibuat oleh Hakim

berdasarkan alat bukti yang ada untuk membuat suatu putusan.

Persangkaan berdasarkan undang-undang adalah persangkaan yang

ditetapkan oleh aturan perundang-undangan. Perbedaannya adalah

persangkaan hakim ada setelah pemeriksaan perkara, sedangkan

persangkaan berdasarkan undang-undang telah ada sebelum

pemeriksaan perkara (Sudikno Mertokusumo, 2002:181).

4) Alat bukti pengakuan

Dasar hukumnya Pasal 174-176 HIR, Pasal 311-313 Rbg dan

Pasal 1923-1928 KUHPerdata. Pengakuan merupakan keterangan

sepihak yang tidak memerlukan persetujuan lawan. Sudikno

Mertokusumo (2002:183) mengemukakan :

Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechttelijke

bekentenis) merupakan keterangan sepihak, baik tertulis

maupun lisan yang tegas dinyatakan oleh salah satu pihak

dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik

seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau

hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang

mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh Hakim tidak

perlu lagi.

Pengakuan yang telah dibuat oleh pihak lawan menyebabkan

berakhirnya suatu perkara, sehingga tidak diperlukan lagi melanjutkan

pemeriksaan dan lawan tidak perlu lagi membuktikan dalilnya. Hakim

dapat membuat putusan berdasarkan pengakuan tersebut, hal ini sesuai

22

dengan tujuan hukum acara perdata yaitu untuk mencari kebenaran

formal. Pengakuan sebagai alat bukti dapat dibagi menjadi tiga

golongan yaitu pengakuan murni, pengakuan dengan kualifikasi, dan

pengakuan dengan klausula. Pengakuan murni adalah pengakuan

tergugat yang membenarkan seluruh isi gugatan tergugat. Pengakuan

dengan kualifikasi adalah pengakuan tergugat yang disertai sangkalan

terhadap sebagian gugatan penggugat tetapi membenarkan sebagian

dari isi gugatan tersebut. Kemudian pengakuan dengan klausul yaitu

pengakuan tergugat yang membenarkan sebagian dalil penggugat

tetapi bersifat membebaskan tergugat dari gugatan penggugat

(Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012:95).

5) Alat bukti sumpah

Dasar hukumnya Pasal 155-158, Pasal 177 HIR, Pasal 182-

185, Pasal 314 RBg dan Pasal 1929-1945 KUHPerdata. Berdasarkan

fungsinya sumpah ada dua macam yaitu sumpah promissoir dan

sumpah assertoir atau comfirmatoir. Sumpah promissoir adalah

sumpah dengan berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Sumpah assertoir atau sumpah comfirmatoir adalah sumpah untuk

memberikan keterangan untuk meneguhkan benar atau tidaknya

sesuatu (Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012:96). Sumpah sebagai

alat bukti dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu sumpah decisoir,

sumpah supletoir dan sumpah aesmatoir. Sumpah decisoir yaitu

sumpah yang dibebankan kepada salah satu pihak atas permintaan

pihak lainnya, dimana sumpah ini memiliki daya kekuatan

memutuskan perkara atau mengakhiri perselisihan. Sumpah supletoir

adalah sumpah pelengkap yang bersifat melengkapi alat bukti yang

sudah ada tetapi belum cukup. Sumpah aestimatoir adalah sumpah

yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya kepada penggugat

untuk menentukan jumlah uang ganti rugi yang dituntutnya. (Achmad

Ali dan Wiwie Heryani, 2012:97-98).

23

4. Asas testimonium de auditu

a. Pengertian asas testimonium de auditu

Asas testimonium de auditu merupakan kesaksian yang diperoleh

dengan tidak melihat, mendengar dan mengalami sendiri secara langsung

melainkan melalui orang lain. Penyaksian tersebut diperbolehkan,

misalnya pada Hukum Acara Perdata yang dapat menimbulkan suatu

dugaan (Mukti Arto, 2010:164). Asas estimonium de auditu yaitu

kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain, disebut juga

kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami sendiri

(Yahya Harahap, 2012: 661).

b. Aturan hukum mengenai asas testimonium de auditu

Secara umum kesaksian de auditu tidak diperkenankan karena

keterangan itu tidak ada kaitannya dengan peristiwa yang dialami sendiri

dan nilainya kosong, tetapi masih mempunyai arti sebagai alasan untuk

memperkuat suatu keterangan lain. Tidak benar jika kesaksian atas dasar

keterangan orang lain tidak mempunyai arti sama sekali, karena walaupun

tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti langsung tetapi dapat

mempunyai nilai sebagai persangkaan (Subekti, 1997:105). Dasar hukum

kesaksian de auditu sebagai alat bukti persangkaan terdapat dalam Pasal

173 HIR dan Pasal 1915 KUHPerdata. Pasal 173 HIR berbunyi

“Persangkaan saja yang tidak berdasarkan suatu peraturan undang-undang

yang tertentu, hanya harus diperhatikan oleh Hakim waktu menjatuhkan

keputusan jika persangkaan itu penting, saksama, tertentu dan satu sama

lain bersetujuan”.

Ketentuan Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) RBg

mengatakan kesaksian berupa pendengaran dari orang lain (asas

testimonium de auditu) tidak diperbolehkan. Sebenarnya asas testimonium

de auditu bukan merupakan suatu pendapat atau persangkaan yang didapat

secara berpikir, karena itu tidak dilarang. Hanya saja perlu diingat bahwa

yang dikemukakan oleh saksi adalah kenyataan, bahwa orang ketiga di

luar sidang pengadilan pernah mengatakan sesuatu tidak ada larangan

24

untuk mempergunakan perkataan orang tersebut guna menyusun suatu alat

bukti berupa persangkaan (Wirjono Prodjodikiro, 1997:155). Menurut

Munir Fuady (2012: 54), saksi de auditu dapat dipergunakan sebagai alat

buktinamun hal tersebut sangat bergantung pada kasus per kasus. Apabila

ada alasan yang kuat untuk mempercayai kebenaran dari saksi de auditu,

misalnya keterangan tersebut dapat dimasukkan ke dalam kelompok yang

dikecualikan maka saksi de auditu dapat dipergunakan sebagai alat bukti.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Nomor 308

K/Sip/1959 tanggal 11 November 1959 dinyatakan kegunaan tentang asas

testimonium de auditu yakni tidak dapat digunakan sebagai alat bukti

secara langsung, tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan sebagai

persangkaan yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu tidaklah

dilarang.

5. Penerapan asas testimonium de auditu di Pengadilan Agama

Ketentuan yang berlaku dalam Pengadilan Agama adalah ketentuan

dalam HIR dan RBg atau ketentuan yang berlaku di Peradilan Umum, kecuali

ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Agama yaitu

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang diubah oleh Undang-Undang

Nomor 3 tahun 2006 dan perubahan kedua oleh Undang-Undang Nomor 50

tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Beberapa alat bukti lain diakui dalam

pembuktian di Pengadilan Agama yaitu alat bukti tersebut berdasarkan

Hukum Islam yang berlaku secara parsial di Indonesia. Alat bukti tersebut

antara lain adalah ikrar, syahadah, yamin, riddah, maktubah, dan tabayyun

(Sulaikin Lubis, 2008:138-143).

a. Pengakuan (Ikrar)

Pengakuan atau ikrar adalah suatu pernyataan dari penggugat

atau tergugat atau pihak-pihak lainnya mengenai ada atau tidaknya

sesuatu. Ikrar juga merupakan pernyataan seseorang tentang dirinya

sendiri yang bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak

lain. Ikrar dapat diberikan di muka Hakim baik di depan maupun diluar

25

persidangan. Saksi (Syahadah) ialah orang yang memberikan keterangan

di muka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu

peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar, dan alami sendiri sebagai

bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tertentu.

b. Sumpah (Yamin)

Sumpah ialah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau

diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat

sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi

keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.

c. Murtad (Riddah)

Riddah adalah pernyataan seseorang bahwa ia telah keluar dari

Agama Islam yang dilakukan di depan pemuka Agama Islam. Riddah

hanya dipakai apabila seorang istri ingin bercerai dan alasan-alasan

hukum sebagai alat bukti tidak terbukti. Sehingga agar perkawinannya

putus istri berikrar keluar dari Agama Islam atau murtad.

d. Bukti tertulis (Maktubah)

Bukti tertulis yaitu akta dan surat keterangan. Akta adalah alat

bukti untuk menentukan kompetensi absolut Pengadilan Agama. Contoh

akta nikah dan akta kelahiran. Sedangkan surat keterangan adalah untuk

menentukan kompetensi relatif Pengadilan Agama. Contoh surat

keterangan domisili para puhak.

e. Pemeriksaan koneksitas (Tabbayyun)

Upaya untuk memeroleh kejelasan yang dilakukan oleh

pemeriksaan majelis pengadilan yang lain dari pada majelis pengadilan

yang sedang memeriksa perkara.

Penerapan asas testimonium de auditu di Pengadilan Agama dapat

dijumpai dalam perkara perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus

(syiqaq) karena dalam pemeriksaan gugatan perceraian dengan alasan

pertengakaran terus menerus sulit untuk mengungkapkan perselisihan yang

terjadi antara suami dan istri. Perselisihan dan pertengkaran dalam rumah

tangga, orang lain sangat sedikit atau sama sekali tidak mengetahui kejadian,

26

bentuk kejadian dan permasalahan apa yang terjadi. Orang lain yang

mengetahui adanya pisah tempat tinggal antara suami istri, hanya sebatas

mengetahui pisah tempat tinggal tetapi tidak mengetahui kepastian mengapa

bisa terjadi pisah tempat tinggal. Penerapan frasa “antara suami dan istri terus

menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan

hidup rukun lagi dalam rumah tangga” sebagaimana dinyatakan dalam

penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

dengan peraturan pelaksanaanya Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah

Nomor 9 tahun 1975 Jo.Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, dapat

dijelaskan sebagai berikut (Sudono, 2011: 12):

a. Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang

terus menerus sehingga tidak ada harapan lagi untuk dapat hidup rukun

dalam rumah tangga, dapat dijadikan alasan perceraian.

b. Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang

terus menerus dan masih ada harapan bagi suami istri untuk hidup rukun

lagi dalam rumah tangga, tidak dapat dijadikan alasan perceraian.

c. Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang

tidak terus menerus baik masih ada harapan atau tidak ada harapan lagi

bagi suami istri untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, tidak dapat

dijadikan alasan perceraian.

Peraturan tentang pembuktian dalam gugatan perceraian dengan

alasan syiqaq terdapat dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989

yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan perubahan kedua

oleh Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang

menentukan sebagai berikut:

a. Apabila gugatan perceraian didasarkan alasan syiqaq, maka untuk

mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi

yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami

isteri.

b. Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat

persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih

27

dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi

hakam.

Putusan Pengadilan Agama Nunukan Nomor 26/Pdt.G/2013/PA.Nnk

Majelis Hakim juga menerima keterangan saksi de auditu, Majelis Hakim

dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa pertimbangan tersebut di

atas, maka asas testimonium de auditu tersebut dapat diterima sebagai alat

bukti dan mendukung dalil pokok gugatan Penggugat. Putusan Pengadilan

Agama Nunukan Nomor 3/Pdt.G/ 2014/PA.Nnk Majelis Hakim dalam

pertimbangan hukumnya menerima keterangan saksi de auditu tersebut,

dalam pertimbangan hukumnya Hakim menyatakan bahwa asas testimonium

de auditu tersebut saling bersesuaian antara satu dengan lainnya, oleh karena

itu kesaksian tersebut dapat dipertimbangkan sebagai sebuah persangkaan

bahwa kondisi rumah tangga penggugat dan tergugat sudah tidak rukun dan

harmonis lagi.

6. Penerapan Asas testimonium de auditu di Pengadilan Negeri

Asas testimonium de auditu berada diluar kategori keterangan saksi

yang ditentukan dalam Pasal 171 HIR dan Pasal 1907 KUHPerdata, karena

sumber kesaksian asas asas testimonium de auditu diperoleh secara tidak

langsung atau berasal dari orang lain. Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat

(2) RBg menyebutkan “kesaksian berupa pendengaran dari orang lain tidak di

perbolehkan”. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI)

Nomor 308 K/Sip/1959 tanggal 11 November 1959 menyatakan tentang

kegunaan tentang asas testimonium de auditu, yakni tidak dapat digunakan

sebagai alat bukti secara langsung tetapi penggunaan kesaksian yang

bersangkutan sebagai persangkaan, yang dari persangkaan itu dibuktikan

sesuatu tidaklah dilarang (Hari Sasangka, 2005:85). Artinya keterangan saksi

de auditu dapat digunakan sebagai persangkaan. Sebagai suatu kesaksian,

keterangan saksi de auditu memang tidak ada nilainya tetapi bukan berarti

Hakim lantas dilarang untuk menerimanya. Hal yang dilarang adalah jika

saksi menarik kesimpulan dan memberikan pendapat atau perkiraan.

28

Contoh penggunaan keterangan saksi de auditu dapat ditemukan

dalam perkara perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus. Pekara

perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus yang dibuktikan

bukanlah peristiwa yang terjadi sekali saja dan terjadi di satu tempat,

melainkan pertengkaran yang terjadi secara berkesinambungan/secara terus

menerus dan terjadi tanpa proses perencanaan. Secara logika sangat sulit

terjadi ada seseorang yang dapat melihat langsung seluruh rangkaian

peristiwa pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi dalam rumah tangga

orang lain, sehingga sangat sulit untuk mendatangkan saksi untuk

membuktikannya, lain halnya dengan peristiwa perdata lainnya misalnya

“peristiwa jual beli”. Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa sangat

kecil kemungkinan terjadi sepasang suami istri mau bertengkar didepan orang

lain. Pertengkaran antara suami istri apabila disaksikan oleh orang lain akan

mengakibatkan malu (aib) bagi suami istri yang bertengkar itu sehingga pada

umumnya suami istri yang bertengkar tersebut sengaja tidak

menampakkan/tidak mempertontonkan pertengkarannya dan berusaha

menutup-nutupi pertengkaran yang terjadi dalam rumah tangganya agar tidak

diketahui oleh orang lain. Peristiwa pertengkaran dalam rumah tangga sangat

sulit diketahui secara langsung oleh orang lain selain kedua belah pihak yang

bersangkutan, sehingga untuk membuktikannya dengan saksi sangat sulit, lain

halnya dengan peristiwa perdata lainnya misalnya “utang piutang” dimana

kedua belah pihak sengaja memanggil atau mengundang orang lain untuk

menyaksikan perbuatan hukum yang dilakukannya (Ramdani Wahyu Sururie,

2014:152). Penggunaan keterangan saksi de auditu dapat ditemukan dalam

perkara perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus di Pengadilan

Negeri Surakarta Nomor 25/Pdt.G/2013/PN.SKA, Majelis Hakim dalam

pertimbangan hukumnya menolak keterangan saksi de auditu. Dalam

pertimbangan hukumnya Hakim menyatakan bahwa keterangan yang

dikemukakan oleh saksi de auditu tidak sesuai dengan dalil-dalil gugatan.

29

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Perkara perceraian dengan alasan

pertengkaran terus menerus

Pengadilan

Agama

Pengadilan

Negeri

Putusan Pengadilan

Negeri Surakarta Nomor

25/Pdt.G/2013/PN.SKA

Saksi de auditu Saksi de auditu

Menerima Saksi

de auditu

Menolak Saksi de

auditu

Putusan Pengadilan

Agama Nunukan Nomor

26/Pdt.G/2013/PA.Nnk

dan Nomor

3/Pdt.G/2014/PA.Nnk

Perbedaan asas testimonium de auditu

dalam perkara perceraian dengan

alasan pertengkan terus menerus di

Pengadilan Agama dan Pengadilan

Negeri dan akibat hukumnya.

30

Keterangan:

Berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang

merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan serta Pasal 116 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam, salah satu alasan perceraian yaitu antara suami dan istri

terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran yang tidak ada harapan dapat

hidup rukun lagi dalam rumah tangganya. Gugatan Perkara perceraian dapat

diajukan di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama karena Pengadilan

Negeri dan Pengadilan Agama sama-sama berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaiakan perkara perceraian. Perbedaanya adalah untuk Pengadilan Agama

berkaitan dengan perkara perceraian dimana para pihak beragama Islam,

sedangkan Pengadilan Negeri untuk mereka yang non-muslim.

Proses beracara di Pengadilan tentu saja tidak lepas dari masalah

pembuktian, karena dengan pembuktian Hakim akan mendapat gambaran yang

jelas terhadap perkara yang di permasalahkan dan memberikan kepastian kepada

Majelis Hakim mengenai terjadinya suatu peristiwa dengan menyajikan fakta–

fakta yang cukup menurut hukum, salah satu alat bukti yang digunakan dalam

Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama adalah alat buksi saksi. Alat bukti saksi

merupakan Alat bukti yang memberikan kesaksian secara lisan dan pribadi dalam

persidangan. Saksi dalam memberikan kesaksiannya harus melihat, mendengar

dan mengalami sendiri serta memberikan alasan atau dasar yang melatarbelakangi

pengetahuan tersebut. Saksi yang tidak melihat, mendengar atau mengalami

secara langsung suatu peristiwa hukum yang menjadi pokok perkara dilarang

untuk memberikan kesaksian didepan persidangan Pengadilan (testimoium de

auditu) namun dalam praktik di persidangan penerapan asas testimonium de

auditu dimungkinkan untuk diterapkan.

Penerapan saksi testimonium de auditu dalam gugatan perceraian dapat

ditemukan dalam kasus perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus

yang terjadi di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama. Putusan

Pengadilan Agama Nunukan nomor: 26/Pdt.G/2013/PA.Nnk Majelis Hakim juga

menerima keterangan saksi de auditu. Putusan Pengadilan Agama Nunukan

31

Nomor 3/Pdt.G/2014/PA.Nnk, Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya

menerima keterangan saksi de auditu tersebut. Putusan Pengadilan Negeri

Surakarta Nomor 25/Pdt.G/2013/PN.SKA, Majelis Hakim dalam pertimbangan

hukumnya menolak keterangan saksi de auditu. Berdasarkan hal tersebut

ditemukan adanya perbedaan penerapan asas testimoniumde auditu mengenai

perkara perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus di Pengadilan

Agama dan Pengadilan Negeri serta akibat hukumnya yang akan diteliti oleh

penulis.