bab ii tinjauan pustaka a. kerangka teori 1. …14 bab ii tinjauan pustaka a. kerangka teori 1....

37
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Sistem Peradilan Pidana Anak Sub-sistem dalam sistem peradilan anak mempunyai kekhususan terhadap anak sebagai suatu kajian hukum yang khusus, membutuhkan aparat-aparat yang secara khusus diberi wewenang untuk menyelenggarakan proses peradilan pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Secara garis besar, aparat peradilan pidana bagi anak yang melakukan kenakalan sama dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang berlaku bagi orang dewasa (ada Polisi, Jaksa Penuntut Umum, Hakim pemutus perkara, dan Lembaga Kemasyarakatan). Akan tetapi bagi anak ada kekhususan-kekhususan yang dipersyaratkan bagi aparat penegak hukum tersebut sehingga sistem peradilan pidana anak adalah sistem peradilan pidana bagi anak. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak antara lain : a. Batasan Umur Anak Batasan umur anak merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam perkara pidana anak, hal tersebut dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk dalam kategori anak atau bukan (Gatot Supramono.2000 : 19). Batasan umur anak juga sudah disebutkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Pengetian anak menurut beberapa undang-undang antara lain : (MZ INYONK.2011.http://dunkdaknyonk.blogspot.co.id/2011/03/ pengertian-anak-menurut-beberapa-uu.html diakses tanggal 17 Februari 2016).

Upload: others

Post on 26-Dec-2019

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Sistem Peradilan Pidana Anak

Sub-sistem dalam sistem peradilan anak mempunyai kekhususan

terhadap anak sebagai suatu kajian hukum yang khusus, membutuhkan

aparat-aparat yang secara khusus diberi wewenang untuk

menyelenggarakan proses peradilan pidana terhadap anak yang

berhadapan dengan hukum. Secara garis besar, aparat peradilan pidana

bagi anak yang melakukan kenakalan sama dengan Sistem Peradilan

Pidana (SPP) yang berlaku bagi orang dewasa (ada Polisi, Jaksa Penuntut

Umum, Hakim pemutus perkara, dan Lembaga Kemasyarakatan). Akan

tetapi bagi anak ada kekhususan-kekhususan yang dipersyaratkan bagi

aparat penegak hukum tersebut sehingga sistem peradilan pidana anak

adalah sistem peradilan pidana bagi anak.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak antara lain :

a. Batasan Umur Anak

Batasan umur anak merupakan salah satu hal yang sangat

penting dalam perkara pidana anak, hal tersebut dipergunakan untuk

mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk

dalam kategori anak atau bukan (Gatot Supramono.2000 : 19). Batasan

umur anak juga sudah disebutkan dalam beberapa peraturan

perundang-undangan.

Pengetian anak menurut beberapa undang-undang antara lain :

(MZ INYONK.2011.http://dunkdaknyonk.blogspot.co.id/2011/03/

pengertian-anak-menurut-beberapa-uu.html diakses tanggal 17

Februari 2016).

15

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Pasal 330 ayat (1) memuat batas antara belum dewasa

(minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu

21 tahun, kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur 21

tahun dan Pendewasaan (venia aetetis).

2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak

Pasal 1 angka 2 mendefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang

belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun.

3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak,

tetapi dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 dan Pasal 72 yang

memakai batasan usia 16 (enam belas) tahun.

4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga

Pemasyarakatan

Pasal 1 angka 8 huruf a, b dan c Undang-Undang tentang Lembaga

Pemasyarakatan menyebutkan bahwa anak didik pemasyarakatan

baik Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil untuk dapat

dididik di Lembaga Pemasyarakaan Anak adalah paling tinggi

sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia

Pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang

berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,

termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut

demi kepentingannya.

6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP)

Undang-undang ini tidak secara eksplisit mengatur tentang batas

usia pengertian anak, namun dalam Pasal 153 ayat (5) memberi

16

wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum

mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang

7) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana dirubah

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak mendefenisikan bahwa Anak adalah seseorang

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan

8) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak

Undang-undang ini juga mendefenisikan bahwa anak di bawah

umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum

berumur 18 tahun.

Batasan umur yang terdapat dalam beberapa ketentuan

peraturan perundang-undangan menunjukan bahwa yang disebut anak

yang dapat diperkarakan secara pidana dibatasi ketika berumur 12 (dua

belas) tahun sampai dengan sebelum genap 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai anak yang

belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak

(LPKA) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun maka anak

dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Walaupun

pengaturan tersebut tidak ada dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, akan tetapi kedua

peraturan perundang-undangan tersebut sama-sama mengatur bahwa

penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan

menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18

(delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun. (Penjelasan

17

Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak).

b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 20012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak membagi anak dalam beberapa pengertian yaitu :

1) Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak :

Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik

dengan hukum, anak yang menjadi korban tindakan pidana, dan

anak yang menjadi saksi tindak pidana. Disebut anak yang

berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua

belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang

diduga melakukan tindak pidana.

2) Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak :

Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut

anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)

tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian

ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

3) Pasal 1 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak :

Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut

anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)

tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan

tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri

dan /atau ia alami sendiri

c. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak

Tujuan sistem peradilan pidana berupa resosialisasi pelaku

karena penyelenggaraan peradilan pidana berguna untuk pembinaan

pelaku sehingga ketika kembali ke masyarakat sudah menjadi baik,

sedangkan tujuan pencegahan kejahatan maksudnya dengan putusan

18

pengadilan dapat menjaga pelaku untuk berbuat kejahatan. Tujuan ini

lebih bersifat pada fungsinya hukum preventif bagi masyarakat

umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana (Barda Nawawi

Arief.2007:143).

Substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak antara lain mengatur

tentang penempatan anak yang menjalani proses peradilan, dapat

ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi

yang paling mendasar dalam undang-undang ini adalah

pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan

Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak

dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap

anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat

kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu

semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-

sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk

membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan

korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk

memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak

berdasarkan pembalasan. Begitu juga tindak pidana persetubuhan yang

dilakukan oleh anak dapat diselesaikan dengan jalur perdamaian

perdamaian. Penyidik menerapkan restorative justice dalam proses

penyidikan terhadap anak sebagai pelaku (Rahmawati.2015.http://

hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1022

diakses tanggal 22 Februari 2016).

Sedangkan diversi adalah pengalihan penyelesaian Perkara

Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

19

Undang-Undang mengamanatkan adanya upaya diversi dalam

sistem peradilan anak. Oleh karena itu hakim yang diminta oleh

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak lebih memahami segala hal ikhwal anak, agar tidak

begitu saja menjatuhkan pidana penjara yang di dalam aturan positif

Indonesia adalah sebagai upaya yang terakhir. Beberapa ketentuan

mengenai diversi adalah :

1) Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak menyebutkan tujuan Diversi yaitu :

a) Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

b) Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

c) Menghindari Anak dari perampasan kemerdekaan;

d) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

e) Menanam rasa tanggung jawab kepada Anak.

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka terdapat ketentuan lex

specialis terhadap tugas dan wewenang kepolisian, kejaksaan dan

hakim. Salah satu yang khas dan membedakan adalah bentuk

Diversi. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan

perkara anak di Pengadilan Negeri wajib di upayakan Diversi oleh

aparat penegak hukum. Diversi sebagaimana dimaksud

dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam

dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan

merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 ayat (1) dan (2)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak).

2) Pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai diversi, yaitu :

20

a) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan

melibatkan Anak dan orangtua/walinya, korban dan/atau

orangtua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan

Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan

Restoratif.

b) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial,

dan/atau masyarakat.

c) Proses Diversi wajib memperhatikan : kepentingan korban,

kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran

stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan

masyarakat, dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban

umum.

3) Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan :

(1) Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam

melakukan Diversi harus mempertimbangkan :

a. Kategori tindak pidana;

b. Umur Anak;

c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas

dan;

d. Dukungan lingkungan keluarga dan

masyarakat.

Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal proses

diversi, jika tidak dapat menghasilkan kesepakatan maka diversi

tidak dilaksanakan. Oleh karena itu maka akan diberlakukan

hukum formil yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam persidangan.

21

d. Asas-asas dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan

asas-asas dalam sistem peradilan sesuai dengan Pasal 2 Undang-

Undang Sstem Peradilan Anak (M.Nasir Djamil.2013:131-132), antara

lain :

1) Asas perlindungan, meliputi kegiatan yang besifat langsung dan

tidak langsung dari tindakan yang membahayakan anak secara

fisik dan/ atau psikis

2) Asas keadilan, adalah bahwa setiap penyelesaian perkara anak

harus mencerminkan rasa keadilan bagi anak. Penyelesaian

suatu perkara anak tidak boleh melanggar hak dari anak tersebut

3) Asas nondiskriminasi, adalah tidak adanya perlakuan yang

berbeda pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,

budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak,

serta kondisi fisik dan/mental

4) Asas kepentingan terbaik bagi anak adalah segala pengambilan

keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup

dan tumbuh kembang anak

5) Asas penghargaan terhadap pendapat anak, adalah

penghormatan atas hak anak untuk berpatisipasi dan menyatakan

pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama jika

menyangkut hal yang mempengaruhi anak

6) Asas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, adalah

hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh

semua pihak baik Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga

maupun orang tua

7) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan

8) Mendorong masyarakat untuk berpatisipasi

9) Meningkatkan keterampilan hidup anak

22

Tujuan dari adanya pengaturan mengenai Sistem Peradilan

Pidana Anak pada dasarnya adalah supaya hak-hak anak tetap terjamin

dan anak tidak kehilangan masa depannya yang masih panjang.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak juga sudah mengatur beberapa hal antara lain mengenai :

e. Hak-Hak Anak Dalam Proses Pemeriksaan Persidangan :

1) Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa :

Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak atas :

a) diperlakukan secara manusiawi dengan

memperhatikan kebutuhan sesuai dengan

umurnya;

b) dipisahkan dari orang dewasa;

c) memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain

secara efektif;

d) melakukan kegiatan rekreasional;

e) bebas dari penyiksaan, penghukuman atau

perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi,

serta merendahkan derajat dan martabatnya;

f) tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur

hidup;

g) tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara,

kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam

waktu yang paling singkat;

h) memperoleh keadilan di muka pengadilan

anak yang objektif, tidak memihak, dan

dalam sidang yang tertutup untuk umum;

i) tidak dipublikasikan identitasnya;

j) memperoleh pendampingan orang tua/Wali

dan orang yang dipercaya oleh anak;

23

k) memperoleh advokasi sosial;

l) memperoleh kehidupan pribadi;

m) memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak

cacat;

n) memperoleh pendidikan;

o) memperoleh pelayananan kesehatan; dan

p) memperoleh hak lain sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa

penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat

anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan

tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau

lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas

telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Didalam peradilan anak terdapat aktivitas pemeriksaan dan

pemutusan perkara yang tertuju pada kepentingan anak yaitu segala

aktivitas yang dilakukan polisi, jaksa, hakim, dan pejabat lain harus

didasarkan pada prinsip demi kesejahteraan anak dan kepentingan

anak (Sudarto.1981:129).

f. Sanksi Hukum Bagi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum

Seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis

sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di

bawah 14 (empat belas) tahun dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana

yang berumur 15 (lima belas) tahun ke atas.

1) Pasal 82 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak menyebutkan tindakan yang dapat

dikenakan pada anak yaitu:

(1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi :

24

a. pengembalian kepada orang tua/Wali;

b. penyerahan kepada seseorang;

c. perawatan di rumah sakit jiwa;

d. perawatan di LPKS;

e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau

pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan

swasta;

f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau

g. perbaikan akibat tindak pidana.

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,

huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu)

tahun.

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya,

kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara

paling singkat 7 (tujuh) tahun.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Anak juga mengatur mengenai sanksi pidana yang

diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana

Anak.

Pasal 71 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak

Pidana Pokok terdiri atas :

(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas :

a. Pidana peringatan

b. Pidana dengan syarat, yang terdiri atas

pembinaan di luar lembaga, pelayanan

masyarakat, atau pengawasan

25

c. Pelatihan kerja

d. Pembinaan dalam lembaga

e. Penjara.

(2) Pidana Tambahan terdiri atas :

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh

dari tindak pidana; atau

b. Kewajiban adat.

(3) Apabila dalam hukum materiil diancam pidana

kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda

diganti dengan pelatihan kerja.

(4) Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang

melanggar harkat dan martabat Anak.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata

cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

2. Tinjauan Tentang Pembuktian dan Alat Bukti

a. Pengertian Pembuktian

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan

dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk

membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian

juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan

oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan

kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap.1988: 793).

Penuntut Umum, hakim, terdakwa maupun penasehat hukumnya

tidak boleh menggunakan bukti di luar apa yang telah digariskan undang-

undang. Dalam hal ini Penuntut Umum bertindak sebagai aparat yang

diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan

segala kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

26

Terdakwa atau penasehat hukumnya juga mempunyai hak untuk

melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan Penuntut

Umum sesuai dengan cara yang dibenarkan undang-undang. Cara tersebut

dapat berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan dengan saksi yang

meringankan atau saksi de charge. Hakim sendiri harus benar-benar sadar

dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang

melekat pada setiap alat bukti yang ada.

Pasal 183 KUHAP menyebutkan bahwa : “Hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu

tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”.

Pasal 184 ayat (1) telah menentukan secara limitatif alat bukti

yang sah menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu, tidak dibenarkan

dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Yang dinilai

sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan

pembuktian” hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian

dengan alat bukti diluar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat

(1) tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian

yang mengikat.

1) Jenis Alat Bukti yang Sah Menurut Pasal 184 KUHAP

a) Keterangan Saksi

Pengertian Saksi Pasal 1 butir 26 KUHAP : Saksi adalah

orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara

pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri.

Pengertian keterangan saksi Pasal 1 butir 27 KUHAP :

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara

27

pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu

peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia

alami sendiri.

Perluasan pengertian keterangan saksi berdasarkan

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUUVIII/ 2010,

definisi keterangan saksi sebagai alat bukti adalah keterangan

dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar

sendiri, ia melihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan

dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu

tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri, dan ia alami sendiri.

Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut

dalam Pasal 184 KUHAP. Aturan-aturan khusus tentang

keterangan saksi hanya diatur di dalam 1 (satu) pasal saja, yaitu

Pasal 185 KUHAP, yang antara lain menjelaskan apa yang

dimaksud dengan keterangan saksi, bagaimana tentang

kekuatan pembuktiannya.

Pasal 185 KUHAP :

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah: apa

yang saksi nyatakan di sidang peradilan.

(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap

perbuatan yang didakwakan kepadanya.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti

yang sah lainnya.

(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-

sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat

28

digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah

apabila keterangan saksi itu ada hubungan satu

dengan yang lainnya sedemikian rupa, sehingga

dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau

keadaan tertentu.

(5) Baik berpendapat maupun rekaan, yang diperoleh

dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan

keterangan saksi.

(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang

saksi, hakim harus bersungguh-sungguh

memperhatikan :

a) Persesuaian antara saksi satu dengan yang

lainnya

b) Persesuaian saksi dengan alat bukti lainnya.

c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi

untuk memberi keterangan yang tertentu.

d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala

sesuatu yang pada umumnya dapat

mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu

dipercaya.

(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah

meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak

merupakan alat bukti, namun apabila keterangan

itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah

dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti

sah yang lain.

Hukum acara pidana juga mengatur mengenai siapa yang

tidak dapat diambil keterangannya sebagai saksi adalah :

29

(a) Mereka yang relatif tidak berwenang memberi kesaksian,

adalah diatur dalam Pasal 168 KUHAP kecuali ditentukan

lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar

keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai

saksi yaitu :

(1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus

ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari

terdakwa atau yang bersama-sama sebagai

terdakwa;

(2) Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai

terdakwa, saudara ibu dan saudara bapak, juga

mereka yang mempunyai hubungan

karena perkawinan dan anak-anak saudara

terdakwa sampai derajat ketiga;

(3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah

bercerai atau yang bersama-sama sebagai

terdakwa.

Orang-orang yang tersebut dalam Pasal 168

KUHAP disebut Relatif tidak berwenang (Relatif

Onbevoegd) untuk memberi kesaksian, karena jika

Penuntut Umum dan terdakwa serta orang-orang

tersebut menyetujuinya, maka mereka dapat

didengar sebagai saksi (Pasal 169 (1) KUHAP).

Namun demikian, walaupun ketiga golongan

tersebut tidak setuju untuk memberi kesaksian, yaitu

Penuntut Umum, Terdakwa, dan orang-orang

tersebut di atas, hakim masih bisa memutuskan

untuk mendengar mereka tetapi hanya untuk

memberi keterangan saja tanpa sumpah.

(b) Mereka yang Absolut tidak berwenang memberi kesaksian

30

Pasal 171 KUHAP, yang boleh diperiksa untuk

memberi keterangan tanpa sumpah ialah :

(1) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun

dan belum pernah kawin

(2) Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun

kadang-kadang ingatannya baik kembali

Mengingat bahwa anak yang belum berumur lima

belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit

jiwa, sakit gila, meskipun hanya kadang-kadang saja, yang

dalam ilmu penyakit jiwa disebut Psychopat, mereka ini

tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna

dalam hukum pidana, maka mereka tidak diambil sumpah

atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu mereka

hanya dipakai sebagai petunjuk saja.

Para saksi menurut Pasal 265 ayat (3) HIR dan

Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum didengar

keterangannya, harus disumpah lebih dahulu menurut cara

yang ditetapkan oleh agamanya masing-masing, bahwa

mereka akan memberikan keterangan yang mengandung

kebenaran dan tidak lain dari pada kebenaran.

Penyumpahan semacam ini dilakukan secara

“Promissoris” (secara sanggup berbicara benar) lain cara

ialah yang dinamakan, secara “Assertoris” (menempatkan

kebenaran pembicaraan yang telah lalu), yaitu saksi

didengar terlebih dahulu keterangannya kemudian baru

disumpah bahwa yang telah diceritakan itu adalah benar.

b) Keterangan ahli

Pengertian keterangan ahli Pasal 1 butir 28 KUHAP :

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh

31

seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang

diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna

kepentingan pemeriksaan.

Keterangan Ahli diatur dalam Pasal 186 KUHAP yang

mengatakan bahwa keterangan ahli ialah: apa yang seorang ahli

nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan ahli pada

hakikatnya merupakan keterangan pihak ketiga untuk

memperoleh kebenaran sejati, ia dijadikan saksi karena

keahliannya bukan ia terlibat dalam suatu perkara yang sedang

disidangkan. Hakim karena jabatan atau karena permintaan

pihak-pihak dapat meminta bantuan seseorang atau lebih saksi

saksi ahli, keterangan ahli merupakan keterangan yang

diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus dan

obyektif dengan maksud membuat terang suatu perkara atau

guna menambah pengetahuan hakim sendiri dalam suatu hal

tertentu.

Kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah sebagai alat

bukti bebas artinya diserahkan kepada kebijaksanaan penilaian

hakim, hakim bebas untuk menerima, percaya, atau tidak

terhadap keterangan ahli.

c) Surat

Pemeriksaan surat di persidangan langsung dikaitkan

dengan pemeriksaan saksi-saksi dan persidangan terdakwa,

pada saat pemeriksaan saksi, ditanyakan mengenai surat-surat

yang ada keterkaitan dengan saksi yang bersangkutan dan

kepada terdakwa pada saat memeriksa terdakwa.

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1)

huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

sumpah, dalam hal ini diatur dalam Pasal 187 KUHAP.

32

Pasal 187 KUHAP menyebutkan :

(1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk

resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang

berwenang atau yang dibuat di hadapannya.

Yang memuat keterangan tentang kejadian

atau keadaan yang didengar, dilihat atau

yang dialaminya sendiri, disertai dengan

alasan yang jelas dan tegas tentang

keterangan itu.

(2) Surat yang dibuat menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan atau surat

yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang

termasuk dalam tata laksana yang menjadi

tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi

pembuktian sesuatu hal atau sesuatu

keadaan.

(3) Surat dari seseorang keterangan ahli yang

memuat pendapat berdasarkan keahliannya

mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan

yang diminta secara resmi dari padanya

(4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada

hubungannya dengan isi dari alat

pembuktian lain.

Surat dapat digunakan sebagai alat bukti dan

mempunyai nilai pembuktian apabila surat tersebut dibuat

sesuai dengan apa yang yang diharuskan oleh undang-

undang.

33

d) Petunjuk

Alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188

KUHAP yang berbunyi :

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan,

yang karena persesuainya, baik antara yang satu yang

lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,

menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana

dan siapa pelakunya.

(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

hanya dapat diperoleh dari :

a. Keterangan saksi;

b. Surat

c. Keterangan terdakwa.

(3) Penilaian atas penilaian pembuktian dari suatu

petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan

oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia

mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan

kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Berdasarkan pasal di atas, maka dapat dikatakan

bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak

langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan

tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat

bukti dengan alat bukti lainnya dan memilih yang ada

persesuaiannya satu sama lain.

e) Keterangan Terdakwa.

Penjelasan mengenai Keterangan Terdakwa terdapat dalam

Pasal 189 KUHAP :

34

(1) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa

nyatakan di sidang tentang tentang perbuatan yang ia

lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang

dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di

sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat

bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang

didakwakan kepadanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap

dirinya sendiri.

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup dengan untuk

membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan

yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai

dengan alat bukti yang lain.

2) Prinsip-prinsip Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana

Pembuktian pidana memiliki beberapa prinsip yang harus

diketahui, yaitu:

a) Hal yang Secara Umum Sudah Diketahui Tidak Perlu

Dibuktikan

Diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang pada intinya,

hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu

dibuktikan. Notoire feiten adalah suatu kesimpulan umum

yang didasarkan pada pengalaman umum bahwa suatu

keadaan atau peristiwa akan senantiasa menimbulkan

kejadian atau akibat yang selalu demikian. Hanya dengan

notoire feiten tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah

menurut undang-undang. Hakim tidak boleh yakin akan

kesalahan terdakwa.

35

b) Menjadi Saksi adalah Kewajiban

Syarat seseorang wajib menjadi saksi adalah orang yang

dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu

perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan

ia alami sendiri.

c) Satu Saksi Bukan Saksi (unus testis nullus testis)

Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Keterangan

seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan

terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan

kepadanya”. Prinsip ini disebut dengan istilah unus testis

nullus testis yang artinya satu saksi bukan saksi. Menurut

undang-undang, menjadi saksi adalah wajib dan

berdasarkan pengalaman praktik, keterangan saksi

merupakan alat bukti yang paling banyak atau dominan

dalam mengadili perkara pidana di pengadilan. Hampir

tidak ada perkara pidana dalam acara pemeriksaan biasa

yang pembuktiannya tidak dikuatkan dengan alat bukti

keterangan saksi yang diberikan oleh satu orang saksi tanpa

dikuatkan atau didukung saksi lain atau alat bukti lain yang

sah. Kesaksian yang berdiri sendiri yang demikian itu tidak

cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan untuk itu

hakim harus membebaskan terdakwa dari tuntutan Penuntut

Umum.

d) Keterangan Terdakwa hanya mengikat dirinya

Asas ini terdapat dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang

menyatakan bahwa Keterangan terdakwa hanya dapat

digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa

tidak boleh digunakan untuk membuktikan kesalahan

terdakwa lainnya.

36

e) Pengakuan Terdakwa tidak Menghapus Kewajiban

Penuntut Umum Membuktikan Kesalahan Terdakwa

Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan “pembuktian

terbalik” yang tidak dikenal hukum acara pidana yang

berlaku di Indonesia. Pasal 184 ayat (4) KUHAP

menyatakan keterangan terdakwa saja tidak cukup

membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang

didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan

alat bukti lain.

3) Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana

Sistem atau teori pembuktian dalam hukum acara pidana menilai

kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada. Adapun sistem atau

teori pembuktian sebagai berikut:

a) Sistem Positif (Positif Wettelijk)

Pembuktian menurut undang-undang secara positif,

“keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam

membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim tidak

ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa.

Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan

alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang (M. Yahya

Harahap.2003: 278).

Sistem ini berdasarkan undang-undang mengatur

jenis alat-alat bukti dan cara mempergunakan atau

menentukan kekuatan pembuktian. Dengan demikan

walaupun hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa

tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat dan ketentuan

pembuktian menurut undang-undang maka sudah cukup

menentukan kesalahan terdakwa.

37

Sistem ini memiliki kebaikan karena bersifat

obyektif, hakim berkewajiban untuk mencari dan

menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa

sesuai dengan tata cara pembuktian yang telah ditentukan

undang-undang. Dengan pembuktian yang obyektif maka

hakim tidak perlu menguji hasil pembuktian tersebut

dengan keyakinan hati nuraninya.

b) Sistem Negatif (Negatief Wettelijk)

Sistem Negatief Wettelijk memadukan unsur

subektif dan obyektif dalam menentukan salah atau

tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara

kedua unsur tersebut. Jika salah satu unsur dari keduannya

tidak ada maka tidak akan cukup untuk mendukung

keterbuktian suatu kesalahan terdakwa.

Pembuktian menurut sistem ini seorang hakim

ditentukan/dibatasi mempergunakan alat-alat bukti. Alat-

alat bukti tertentu telah ditentukan undang-undang. Hakim

tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti lain. Cara

menilai/menggunakan alat bukti tersebut pun telah diatur

oleh undang-undang. Hakim harus mempunyai keyakinan

atas adanya “kebenaran”.

Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian

menurut undang-undang secara negatif merupakan teori

antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara

positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau

conviction intime. Untuk menentukan salah tidaknya

seorang terdakwa menurut sistem ini, terdapat 2 (dua)

komponen, yaitu:

38

(1) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

(2) Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas

cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut

undang-undang.

Sistem pembuktian negatif ini dianut oleh KUHAP

yakni Pasal 183 : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana

kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya

dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwa yang bersalah melakukannya”.

Kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus

didasarkan pada KUHAP, yaitu alat bukti yang sah tersebut

dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim

yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Andi

Hamzah.2009: 254).

c) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim

Berdasarkan Alasan Yang Logis (Conviction Rasionee)

Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah

berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan

kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu

kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada

peraturan-peraturan pembuktian tertentu (Andi

Hamzah.2008:253). Sistem pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim tetap memiliki batas dimana setiap

keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara pidana

harus berdasarkan alasan-alasan yang logis dalam

menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang

39

mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa sehingga

bisa mengambil suatu putusan.

d) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim Melulu

(Conviction In time)

Suatu pengakuan terdakwa tidak menjamin bahwa

terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang

didakwakan. Menurut Andi Hamzah teori Conviction In

Time atau disebut juga teori pembuktian menurut keyakinan

hakim melulu merupakan teori yang berlawanan dengan

teori pembuktian menurut undang-undang. Teori berdasar

keyakinan hakim melulu didasarkan kepada keyakinan hati

nurani hakim sehingga pemidanaan dimungkinkan tanpa

didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang

(Andi Hamzah.2008: 252).

Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian

kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dapat diambil dan

disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya

dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan

alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik

keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa (M.

Yahya Harahap.2001: 277).

3. Tinjauan Tentang Pertimbangan Hakim

a. Pengertian Pertimbangan Hakim

Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan

kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum

dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara

Hukum Republik Indonesia (Bambang Poernomo.1988:30).

40

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting

dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang

mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian

hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang

bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan

teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik,

dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim

tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung

(Mukti Arto.2004 : 140).

Hakikat pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang

hal-hal sebagai berikut :

1) Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang

tidak disangkal

2) Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek

menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam

persidangan.

3) Adanya semua bagian dari petitum Penuntut Umum harus

dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga

hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya

dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar

putusan (Mukti Arto.2004 : 142).

b. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan

kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra

yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang

Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial

bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum

41

dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya

mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa Kekuasan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan

tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Andi

Hamzah.1996 : 94).

Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan

keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan

harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang

diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa

tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah

itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.

Seorang hakim dianggap tahu hukum sehingga tidak boleh

menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan

kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ”Pengadilan tidak boleh

menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan

dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib

untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan

untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum

terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya

berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini

dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Hakim wajib

42

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat”.

Putusan yang dijatuhkan hakim terhadap suatu perkara, harus

benar-benar memahami dan menghayati arti amanah dan tanggung

jawab yang diberikan kepadanya sesuai dengan fungsi dan

kewenangannya masing-masing. Hakikat pada pertimbangan yuridis

hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang

dapat menunjukkan perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai

dengan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga

pertimbangan tersebut relevan terhadap amar atau diktum putusan hakim

(Lilik Mulyadi.2007:193).

1) Jenis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan yaitu :

a) Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang

didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam

persidangan dan oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal

yang harus dimuat dalam putusan (Muhammad Rusli.2007:212-

220).

Pertimbangan yang bersifat yuridis ini diantaranya yaitu :

(USU.2015.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/474

8/1/09E01948 diakses tanggal 19 Oktober 2015).

(1) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan

tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang

disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan,

dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam

pemeriksaan di muka pengadilan. Dalam menyusun sebuah

surat dakwaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah

syarat-syarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi

43

identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta

waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang

dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP).

(2) Tuntutan Pidana

Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan

beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh

Jaksa Penuntut Umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan

kepada terdakwa. Dengan menjelaskan karena telah

terbukti melakukan tindak pidana yang mana Jaksa

Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut

di atas. Penyusunan surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut

Umum disesuaikan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum

dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan,

yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang

digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelum sampai

pada tuntutannya didalam requisitoir. Penuntut Umum

menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur tindak

pidana yang ia dakwakan kepada terdakwa, dengan

memberikan alasan tentang anggapannya tersebut.

(3) Keterangan Saksi

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara

pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai

suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya itu. Keterangan saksi merupakan alat bukti

seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a

KUHAP.

Keterangan saksi harus disampaikan dalam sidang

pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi

44

yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang

merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang

diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai

sebagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam

hukum acara pidana disebut dengan istilah testimonium de

auditu. Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di

persidangan.

(4) Keterangan Terdakwa

Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e : keterangan terdakwa

digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa

adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang

perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau

yang ia alami sendiri, hal ini diatur dalam Pasal 189

KUHAP. Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan

yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa

pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya.

(5) Barang-barang Bukti

Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh

terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau

barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang yang

digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang

pengadilan bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi,

keterangan ahli, dan keterangan terdakwa untuk

membuktikan kesalahan terdakwa.

Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan

akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar

tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa.

Dengan adanya barang bukti tentu hakim akan lebih yakin

45

apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa

maupun para saksi.

b) Pertimbangan Non Yuridis

Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim dalam

menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non

yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk

menentukan nilai keadilan, tanpa didukung dengan

pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis,

kriminologis dan filosofis dari diri terdakwa.

Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial

mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana, sedangkan

aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis

pelaku pada saat melakukan suatu tindak pidana dan setelah

menjalani pidana, sedangkan aspek kriminologi diperlukan

untuk mengkaji sebab-sebab seseorang melakukan tindak

pidana dan bagaimana sikap serta perilaku seseorang yang

melakukan tindak pidana. Dengan demikian hakim diharapkan

dapat memberikan putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan

pelaku.

Selain itu, seorang hakim dalam menjatuhkan putusan harus

mempertimbangkan apakah terdakwa benar-benar melakukan

perbuatan yang di dakwakan kepadanya. Hakim juga harus

mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan

meringankan terdakwa. Dalam hal penjatuhan pidana, hakim

dipengaruhi oleh banyak hal yang dapat dipakai sebagai

pertimbangan untuk menjatuhkan berat ringannya pemidanaan,

baik yang terdapat di dalam maupun di luar undang-undang.

Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 197 huruf f KUHAP :

Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

46

pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-

undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai

keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

2) Faktor yang harus diperhatikan hakim dalam menentukan berat

ringannya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.

Faktor yang harus diperhatikan ada 2 (dua) yaitu:

a) Pertimbangan yang Memberatkan

Hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu

pertama, sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP).

Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP

yang rumusannya sebagai berikut: “bilamana seseorang pejabat

karena melakukan tindakan pidana, melanggar suatu kewajiban

khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak

pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang

diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat

ditambah sepertiganya”. Yang kedua yaitu recidive atau

pengulangan. KUHP menganut sistem Recidive khusus artinya,

pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-

jenis tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran) tertentu dan

yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu, serta gabungan

atau semenloop (orang yang melakukan beberapa peristiwa

pidana). Selain itu alasan memberatkan pidana pada putusan

pengadilan juga berupa perbuatan tindak pidana yang

meresahkan masyarakat.

b) Pertimbangan yang Meringankan

Alasan-alasan yang dapat meringankan pidana juga diatur dalam

KUHP yaitu :

(1) Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47).

(2) Percobaan (Pasal 53 ayat (2) dan (3) );

47

(3) Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 ayat (1) dan

(2)).

Selain itu hal-hal yang dapat meringankan dalam

persidangan adalah sebagai berikut :

(1) Sikap correct dan hormat terdakwa terhadap

pengadilan, dan pengakuan terus terang sehingga

memperlancar jalannya persidangan;

(2) Pada kejahatannya tersebut tidak ada motif yang

berhubungan dengan latar belakang publik;

(3) Dalam persidangan, terdakwa telah menyatakan

penyesalan atas perbuatannya.

4. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Persetubuhan Anak

a. Pengertian Persetubuhan

Pengertian persetubuhan adalah tindakan memasukan kemaluan

laki laki kedalam kemaluan perempuan yang pada umumnya

menimbulkan kehamilan, dengan kata lain bilamana kemaluan itu

mengeluarkan air mani di dalam kemaluan perempuan (Andi Zainal

Abidin Farid.2007:339).

Menurut kalangan ahli hukum suatu persetubuhan tidak harus

diakhiri dengan ejakulasi. Bahkan penetrasi yang ringan, yaitu

masuknya kepala zakar diantara kedua bibir luar, sudah dapat

dianggap sebagai tindakan persetubuhan (Dahlan Sofwan.2000: 108).

Persetubuhan dibagi menjadi dua macam yaitu persetubuhan

yang dilakukan secara legal dan tak legal. Persetubuhan terhadap

wanita dianggap legal jika wanita itu sudah cukup umur, tidak dalam

ikatan perkawinan dengan laki-laki dan dilakukan dengan izinnya

atau persetujuannya. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia,

48

seorang wanita dianggap cukup umur dalam soal persetubuhan jika

ia sudah genap berumur 15 (lima belas) tahun.

Sedangkan yang dimaksud dengan persetubuhan dengan

wanita yang belum cukup umur ialah persetubuhan dengan wanita

bukan istrinya yang umurnya belum genap 15 (lima belas) tahun.

b. Pengaturan Sanksi Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana dirubah

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak

Tindak pidana kesusilaan yang melibatkan anak di dalamnya

diatur dalam Pasal 81, Pasal 82 dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang

Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 81 ayat (1)

dan (2) Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur tentang tindak

pidana persetubuhan terhadap seorang anak.

Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan

atau ancaman kekerasan memaksa anak melakkan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun

dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak

Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling

sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagimana dimaksud dalam ayat (1)

berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja

melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau

membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau

dengan orang lain.

49

Hukum Pidana Indonesia berlaku asas “lex specialis

derogat legi generalis” menurut asas ini peraturan yang khusus

mengesampingkan peraturan yang umum. Oleh karena itu, dengan

adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana

dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak yang mengatur mengenai persetubuhan pada

anak yaitu Pasal 81 maka ketentuan didalam Pasal 287 KUHP yang

mengatur mengenai persetubuhan pada anak tidak dapat lagi

diterapkan.

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Perkara Persetubuhan Oleh

Anak Terhadap Anak

Undang-Undang Nomor

35 tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak Alat Bukti

Pasal 184 KUHAP

Pembuktian

KUHAP

Pertimbangan Hakim

Pasal 183 KUHAP joPasal 193 (1) KUHAP

Kerja Sosial

Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak

Pidana Penjara

Pasal 71 (1) huruf e Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak

Putusan Nomor

2/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Dps

50

Keterangan:

Persetubuhan anak adalah persetubuhan yang dilakukan terhadap

anak yang berusia di bawah 18 tahun. Tindak Pidana persetubuhan disebut

sebagai tindak pidana persetubuhan anak dilihat berdasarkan alat-alat bukti

yang terungkap di pengadilan. Alat bukti tersebut diatur dalam Pasal 184

KUHAP. Pada kasus dalam Putusan Nomor 2/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Dps

alat-alat bukti yang terungkap di pengadilan yaitu keterangan dari 3 (tiga)

orang saksi. Saksi I yaitu Saksi Korban, saksi II yaitu Saksi AAPIA

(dalam kasus ini saksi merupakan teman dekat saksi I), dan saksi III yaitu

Saksi AANDN (yang merupakan ayah kandung dari saksi I). Keterangan

ketiga saksi tersebut membenarkan bahwa Terdakwa melakukan

persetubuhan terhadap Saksi Korban.

Terdapat juga alat-alat bukti surat berupa Kutipan Akta Kelahiran

Nomor 5171.L.T.05012012.0117 tertanggal 19 Januari 2012 umur dari

Saksi Korban adalah 13 (tiga belas) tahun dan 10 (sepuluh) bulan saat

disetubuhi oleh terdakwa. Selain itu, hasil Visum Et Repertum dari RSUP

Sanglah Denpasar Nomor UK.01.15/IV.E.19/VER/36/2015 a.n. Anak

Agung Putri Ditami Suryningrum Als. Saksi Korban tanggal 24 Januari

2015. Dan yang terakhir alat bukti berupa keterangan terdakwa.

Berdasarkan persesuaian alat-alat bukti yang disebutkan diatas,

dalam persidangan dilakukan pembuktian untuk menguatkan dakwaan

yang dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak dan KUHAP. Setelah dilakukan pembuktian hakim

mengeluarkan putusannya dalam Putusan Nomor 2/ Pid.Sus.Anak/2015/

PN.Dps yang menjatuhkan hukuman bagi terdakwa yaitu Pidana Penjara

sesuai dengan Pasal 71 (1) huruf e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Kerja Sosial sesuai dengan

Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.