makalah sistem peradilan indonesia (eu)

71
Makalah : Sistem Peradilan Indonesia MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK MELALUI PENGADILAN PAJAK SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS DALAM SISTEM PERADILAN INDONESIA Oleh : Endang Usman A. Latar Belakang Sejak zaman sebelum masehi pajak telah dipungut oleh penguasa suatu daerah untuk kepentingan penguasa. Setiap negara atau daerah telah mengakui pentingnya penghimpunan dana dari rakyat baik itu untuk penguasa dengan tidak memerhatikan rakyat atau juga digunakan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan hanya mengandalkan kerelaan rakyat semata untuk memberikan sebagian kekayaannya, dana yang terkumpul dirasakan tidak akan optimal, tidak mencapai target yang diharapkan. Bentuk iuran kepada penguasa tersebut merupakan suatu paksaan, yang tentunya ada yang pro dan kontra. Penentuan siapa yang harus membayar pajak, bagaimana dasar pengenaan pajaknya, dan berapa besar tarif pajak yang dikenakan, ditentukan oleh keinginan penguasa semata. Pada akhirnya beban pajak yang harus dipikul jadi lebih berat, penguasa dengan kesewenangannya menentukan jumlah pajak sesuai kebutuhan penguasa bahkan melebihi yang dibutuhkan 1 . 1 Beberapa sejarah kesewenangan penguasa dan pemungutan pajak bagi rakyatnya diantaranya: a. Lodwick XIV, Raja Perancis, dan istrinya Marie Antoinette tinggal di istana Versailles adalah penguasa Perancis yang pada pertengahan abad XVIII secara semena-mena memungut pajak dari 1

Upload: lisanhal

Post on 02-Jan-2016

3.016 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Hukum

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

Makalah : Sistem Peradilan Indonesia

MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK MELALUI PENGADILAN PAJAK SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS DALAM SISTEM

PERADILAN INDONESIA

Oleh : Endang Usman

A. Latar Belakang

Sejak zaman sebelum masehi pajak telah dipungut oleh penguasa suatu daerah

untuk kepentingan penguasa. Setiap negara atau daerah telah mengakui pentingnya

penghimpunan dana dari rakyat baik itu untuk penguasa dengan tidak memerhatikan

rakyat atau juga digunakan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan hanya

mengandalkan kerelaan rakyat semata untuk memberikan sebagian kekayaannya,

dana yang terkumpul dirasakan tidak akan optimal, tidak mencapai target yang

diharapkan. Bentuk iuran kepada penguasa tersebut merupakan suatu paksaan, yang

tentunya ada yang pro dan kontra. Penentuan siapa yang harus membayar pajak,

bagaimana dasar pengenaan pajaknya, dan berapa besar tarif pajak yang dikenakan,

ditentukan oleh keinginan penguasa semata. Pada akhirnya beban pajak yang harus

dipikul jadi lebih berat, penguasa dengan kesewenangannya menentukan jumlah pajak

sesuai kebutuhan penguasa bahkan melebihi yang dibutuhkan1.

1 Beberapa sejarah kesewenangan penguasa dan pemungutan pajak bagi rakyatnya diantaranya:a. Lodwick XIV, Raja Perancis, dan istrinya Marie Antoinette tinggal di istana Versailles adalah

penguasa Perancis yang pada pertengahan abad XVIII secara semena-mena memungut pajak dari penduduknya. Pajak yang dipungut dari rakyatnya hanya untuk kepentingan Lodwik XIV beserta istrinya semata. Karena pemberontakan rakyatnya maka timbul revolusi Perancis (1778).

b. Di Inggris kesewenangan penguasa dalam memungut pajak kepada kepada penduduknya dilakukan oleh Raja John (King John of England). Kemudian karena merasa beban semakin berat atas kesewenangan raja, pimpinan perwakilan (Baron) memaksakan piagam Magna Charta (1215) kepada rajanya. Salah satu pernyataan yang penting dalam piagam tersebut yang berhubungan dengan masalah perpajakan adalah “…taxes should not be imposed without the consent of the common council of the realm.” Pajak tidak seharusnya dibebankan kepada rakyat tanpa adanya izin dari dewan majelis perwakilan dari kerajaan. Piagam ini merupakan tonggak pembatasan secara bertahap terhadap kekuasaan absolute monarki di Inggris.

c. Di Indonesia tidak luput juga kesewenang-wenangan dari penjajah. Pemerintah kolonial Inggris yang menjajah Indonesia di bawah Thomas Stamford Raffles menerapkan kesewenangan pemungutan pajak dengan Land Rent (1813).Pemerintah kolonial Belanda juga melanjutkan kesewenangan dalam pemungutan pajak sehingga

makin menyebabkan kesengsaraan rakyat Indonesia. Pajak yang dipungut dari rakyat Indonesia benar-benar hanya digunakan untuk mengisi kas pemerintahan kolonial. Sony Devano, & Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan, Konsep, Teori dan Isu (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm.9.

1

Page 2: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

Pada zaman modern saat ini, perana pajak sangat penting dan strategis dalam

rangka pembangunan suatu negara, terlebih lagi bagi negara berkembang seperti

Indonesia, maka pajak merupakan pendapatan terbesar selain sumber pendapatan

lainnnya.2 Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya

merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(selanjutnya cukup disingkat UUD 1945). Secara singkat dan tegas, pernyataan

tentang pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang

berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara

diatur dengan undang-undang.”3

Pemungutan pajak oleh pemerintah akan bersentuhan langsung dengan

kepentingan masyarakat. Pelaksanaan pemungutan pajak ditengah masyarakat yang

tidak sesuai dengan undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan bagi

masyarakat wajib pajak, sehingga dapat menimbulkan sengketa pajak antara wajib

pajak dengan pejabat atau aparatur pajak (fiskus). Oleh sebab itu untuk lebih

memberikan pelayanan dan perlindungan kepada warga masyarakat sebagai pembayar

pajak, maka diperlukan adanya suatu lembaga peradilan di bidang perpajakan yang

dapat menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak, serta dapat memberikan putusan

hukum yang adil dan kepastian hukum atas sengketa pajak dengan proses yang

sederhana, cepat, dan murah, sesuai dengan asas yang dianut dalam sistem peradilan

di Indonesia. Untuk itu, maka kehadiran hukum termasuk didalamnya lembaga

peradilan yang berfungsi menyelesaikan masalah/sengketa diantara pihak - setelah

upaya penyelesaian internal (kemanusiaan, tidak berhasil dicapai kata sepakat/kata

damai) – merupakan wujud dari negara hukum.4

2 Sebelum amandemen atas UUD 1945 dilakukan, aturan tentang pajak dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Dengan demikian, dibandingkan dengan UUD 1945 terdahulu, redaksi kalimat konstitusi pascaamandemen menunjukkan ketegasannya dalam mengatur hal perpajakan.3 Lihat: Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.4 Istilah negara hukum dalam bahasa Belanda disebut rechtsstaat, Francis mempergunakan istilah etat de droit, di Jerman digunakan istilah yang sama dengan Belanda, yaitu rechtsstaat. Istilah-istilah etat de droit atau rechtsstaat yang digunakan di Eropa Kontinetal adalah istilah-istilah yang tidak tepat dalam sistem hukum Inggris, meskipun ungkapan legal state atau state according to law atau the rule of law mencoba mengungkapkan suatu ide yang pada dasarnya sama. Dalam terminologi Inggris dikenal dengan ungkapan the state according to law atau according to the rule of law. Azhari. Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, UI-Press, Jakarta, 1995), hlm. 2 & 30. Istilah the rule of law dalam perkembangan hukum di Indonesia disebut juga dengan negara hukum. Djokosoetono menyebutnya dengan istilah negara hukum yang demokratis, Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Cet I, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007), hlm.20.

2

Page 3: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

Pada mulanya, di Indonesia bila terjadi sengketa antara rakyat dengan alat-alat

Negara, secara umum diselesaikan oleh Pengadilan Negeri (umum), yang hasilnya

kurang memuaskan, karena perselisihan itu terjadi di bidang tata usaha Negara.

Setelah lahirnya Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, permasalahan tersebut kemudian menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha

Negara (PTUN). Dengan adanya undang-undang ini, maka penyelesaian sengketa

pajak masuk dalam kekuasaan pengadilan, yang akhirnya dapat bermuara ke

Mahkamah Agung.

Sejarah hukum ternyata berkehendak lain, dimana kedudukan dan kompetensi

dikembalikan pada fungsi semula yaitu setelah diundangkannya Undang-undang No.9

Tahun 1994 (Jo Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 / Tentang Ketentuan Umum

dan Tata Cara Perpajakan.Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994

menyebutkan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan hanya kepada

Badan Peradilan terhadap Keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh

Direktur Jenderal Pajak. Namun sebelum Badan Peradilan Pajak tersebut dibentuk,

permohonan Banding tetap diajukan ke Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang

putusannya bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara.

Pendirian Badan Peradilan Pajak di atas, menjadi kenyataan setelah

Pemerintah dengan persetujuan DPR membentuk dan mensyahkan Undang-undang

Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)5 yang

diundangkan pada tanggal 23 Mei 1997 ke dalam Lembaran Negara Nomor 40 Tahun

1997 dan mulai efektif belaku sejak tanggal 1 Januari 1998. Ternyata dalam

pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak yang dilakukan oleh Badan Penyelesaian

Sengketa Pajak (BPSP) masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat

menimbulkan ketidakadilan dalam penyelesaian melalui Badan Penyelesaian

Sengketa Pajak (BPSP). Oleh karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang

sesuai dengan sistem Kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan

5 Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) sebagai badan peradilan pajak yang mempunyai tugas memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. Pengertian Perpajakan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) ini lebih luas dari sebelumnya karena menyangkut juga sengketa kepabeanan. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga putusannya tidak dapat digugat ke Peradilan Umum atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

3

Page 4: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak6. Penyelesaian

Sengketa Pajak harus dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat,

murah, dan sederhana.

Oleh karena itu, pada tanggal 12 April 2002 disahkan dan diundangkan

Undang-undang No.14 Tahun 2002, tentang Pengadilan Pajak sebagai pengganti

Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997, tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.

Konsekuensi penggantian tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak diganti

dengan Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan pajak yang berwenang memeriksa

dan memutus sengketa pajak.

Dasar Pertimbangan dilakukan pergantian dapat dilihat dalam konsideran

Undang-undang Pengadilan Pajak yang menegaskan:7

a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila

dan Undang-undang Dasar 1945, menjamin perwujudan tata kehidupan negara

dan bangsa yang adil dan sejahtera, aman, tenteram dan tertib, serta menjamin

kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat;

b. bahwa untuk mencapai tujuan dimaksud, pembangunan nasional yang

berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air

memerlukan dana yang memadai terutama dari sumber perpajakan;

c. bahwa dengan meningkatnya jumlah Wajib Pajak dan pemahaman akan hak dan

kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundangundangan perpajakan

tidak dapat dihindarkan timbulnya Sengketa Pajak yang memerlukan

penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan

sederhana;

d. bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan

yang berpuncak di Mahkamah Agung;

e. bahwa karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem

kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan

kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak.

Pengadilan Pajak dibentuk dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa pajak,

yang meliputi pelaksanaan peraturan Perpajakan, Kepabeanan, Cukai, Pajak Daerah

6 Muhammad Rusjdi, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Edisi Keempat, (Jakarta : PT. Indeks, 2007), hlm. VI-1.7 Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 32.

4

Page 5: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

dan Restibusi Daerah.8 Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya

peningkatan penerimaan Pajak Pusat dan Daerah, Bea Masuk dan Cukai, dan Pajak

Daerah, dalam prakteknya, terkadang dilakukan tanpa adanya peningkatan keadilan

terhadap para Wajib Pajak itu sendiri. Karenanya, masyarakat, dalam hal ini para

Wajib Pajak, seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan/bea

tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa antara

instansi perpajakan dengan pihak Wajib Pajak. Untuk mempermudah penyelesaian

sengketa perpajakan, dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu

badan peradilan khusus untuk menanganinya.9

Salah satu perubahan yang menonjol dalam reformasi sistem perpajakan

nasional adalah perubahan sistem pemungutan pajak yaitu dari sistem official

assessment ke sistem self assessment. Berdasarkan sistem self assessment apabila

masyarakat memenuhi kriteria sebagai wajib pajak, maka berdasarkan Pasal 2 ayat ( 1

) UU No.16 tahun 2000 jo UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Tata Cara

Perpajakan diwajibkan untuk mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jendral Pajak

yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau kedudukan wajib pajak dan

kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Utang pajak menurut sistem self assessment timbul manakala telah terpenuhi

syarat subyektif dan obyektif menurut ketentuan undang-undang, tanpa menunggu

adanya campur tangan atau perbuatan dari pejabat pajak. Pemberian kepercayaan

yang sangat besar kepada wajib pajak dalam sistem self assessment ini sudah

sewajarnya diimbangi dengan instrument pengawasan agar kepercayaan itu tidak

disalah gunakan wajib pajak. Untuk keperluan itu diciptakan wewenang bagi fiskus

untuk melakukan pemeriksaan. Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya

perbedaan atau selisih dengan dilaporkan oleh wajib pajak dalam Surat

Pemberitahuannya dan menimbulkan koreksi, maka fiskus berwenang mengeluarkan

Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang mempunyai kedudukan sama dengan Surat

Tagihan Pajak. Surat Ketetapan tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang

Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat

Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil ( SKPN ).

8 Sekretariat Pengadilan Pajak, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Buku Saku Untuk Memahami Prosedur Dalam Pengadilan Pajak, Cetakan Kedua, 2008, hlm. ii.9 Ibid.

5

Page 6: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

Dalam Undang-undang tentang Pengadilan Pajak ditentukan bahwa putusan

Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Meskipun demikian, masih dimungkinkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali ke

Mahkamah Agung. Peninjauan ke Mahkamah Agung merupakan upaya hukum luar

biasa, di samping akan mengurangi jenjang pemeriksaan ulang vertikal, juga penilaian

terhadap kedua aspek pemeriksaan yang meliputi aspek penerapan hukum dan aspek

fakta-fakta yang mendasari terjadinya sengketa perpajakan, akan dilakukan sekaligus

oleh Mahakamah Agung. Proses peninjauan kembali melalui Pengadilan Pajak hanya

sebatas prosedur pelayanan administrasi yang perlu dilakukan secara cepat, oleh

karena itu dalam Undang-undang ini diatur pembatasan waktu penyelesaian, baik di

tingkat Pengadilan Pajak maupun di tingkat Mahkamah Agung. Pengadilan pajak

mengenal empat upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa yaitu, keberatan,

banding, gugatan dan peninjauan kembali. Yang dimaksud dengan “Keberatan” dalam

pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan kemungkinan terjadi

bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang

dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal

ini WP dapat mengajukan keberatan10. Sedangkan upaya hukum banding merupakan

kelanjutan dari upaya hukum keberatan. Dalam arti, tidak ada banding sebelum

melalui keberatan karena yang diajukan banding adalah surat keputusan keberatan

sebagai bentuk penyelesaian sengketa pajak di tingkat Lembaga Keberatan.11 Hukum

acara peradilan pajak tidak hanya mengenal keberatan dan banding sebagai upaya

hukum biasa, tetapi termasuk pula gugatan untuk melawan kebijakan pejabat pajak

yang terkait dengan penagihan pajak, seperti terbitnya surat tagihan pajak dan

penagihan secara paksa.Gugatan dan banding keduanya merupakan upaya hukum

biasa.12

Pengadilan Pajak dalam menangani masalah gugatan kompetensinya diperluas

sesuai amanat Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang

Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan. Di samping terhadap pelaksanaan penagihan pajak,

gugatan dapat diajukan terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang

10 Winarto Suhendro, “Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Khusus Di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara”, Makalah., hlm. 6.11 http://www. kanwilpajakkhusus.depkeu.go.id, diakses tanggal 15 Maret 2013, jam: 19.40 WIB.12 Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.183.

6

Page 7: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.13 Bagi pihak-

pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan

Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 77 Ayat (3) Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2002, terhadap putusan Pengadilan Pajak dapat diajukan

upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali oleh pihak-pihak yang

bersengketa ke Mahkamah Agung berdasarkan alasan-alasan tertentu yang diatur

dalam Pasal 91 UU Pengadilan Pajak.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak tidak secara

tegas menyebutkan bahwa Pengadilan Pajak berada di bawah Pegadilan Tata Usaha

Negara (PTUN). Tidak ada satu pun pasal dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2002

yang menyatakan bahwa Pengadilan Pajak berada di bawah PTUN. Kecuali, Pasal 5

dan pertimbangannya, yang menyebutkan bahwa pembinaan teknis Pengadilan Pajak

berada di bawah dan berpuncak di MA. Walaupun undang-undangnya tidak secara

tegas menyebutkan Pengadilan Pajak di bawah PTUN, di MA ada kamar tersendiri

untuk persoalan peninjauan kembali (PK) putusan Pengadilan Pajak. Banyak pihak,

khususnya Mahkamah Agung (MA) menilai keberadaan pengadilan pajak

inkonstitusional (melanggar UUD 1945),14 menyatakan bahwa Pengadilan Pajak

inkonstitusional karena melanggar Pasal 24 UUD 1945.15

Putusan Pengadilan Pajak pun langsung bersifat berkekuatan tetap (in kracht).

Terhadap putusan tersebut, hanya dapat diajukan upaya hukum PK. PK yang diajukan

pun terbatas pada hal-hal yang diatur dalam Pasal 91 UU No. 14 Tahun 2002. Padahal

melihat UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor

48 Tahun 2009, dikenal upaya hukum biasa seperti banding dan kasasi serta upaya

hukum luar yaitu PK. Sementara persidangannya, dimulai dari peradilan tingkat

pertama (PN), lalu banding ke pengadilan tinggi (PT) dan bisa mengajukan kasasi dan

PK ke Mahkamah Agung (MA).

13 Widayatno Sastrohardjono & TB. Eddy Mangkuprawira, dalam Makalah “Prosedur Beracara Dalam Pengajuan Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak”, Jakarta, 2002, hlm.2.14 http://www.hukumonline.com diakses tanggal 15 Maret 2013, jam: 19.40 WIB.15 Menurut ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen ke-4 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan : a.peradilan umum, b.peradilan agama, c. peradilan militer, d. peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi.

7

Page 8: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

B. Rumusan Masalah

Dalam penulisan makalah ini, pokok permasalahan lebih diarahkan kepada

kepada kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan Indonesia dalam ruang

lingkup kekuasaan Kehakiman. Rumusan masalah tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Bagaimakah kedudukan konstitusional Pengadilan Pajak dalam perspektif

kekuasaan Kehakiman?

2. Kendala apa saja yang ditemui dalam penyelesaian pajak pada Pengadilan Pajak

dan bagaimana model penyelesaiannya?

C. Metode Penulisan

Penulisan makalah ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Dalam

penelitian hukum normatif ini dilakukan penelaahan terhadap peraturan-peraturan

yang ada relevansinya dengan judul makalah yang akan di bahas. Adapun metode

penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan ini, penulis berusaha

mencari dan mendapatkan bahan-bahan untuk memperoleh pengertian, perbandingan

maupun dasar hukum yang berhubungan dengan makalah ini.

Adapun bahan bahan tersebut berada atau ditemukan dalam pasal - pasal dari

undang - undang yang ada, hasil-hasil pemikiran para ahli yang terdapat dalam

berbagai literatur yang tersedia. Kemudian, data yang sudah terkumpul diseleksi,

diklasifikasikan dan disusun dalam suatu tabulasi sesuai kelompok pembahasan yang

telah direncanakan. Selanjutnya dilakukan pembahasan (analisis), terhadap dengan

cara membandingkan data terhadap teori-teori, maupun ketentuan-ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kaitannya dengan objek

penulisan.

D. Tinjauan Kepustakaan

1. Teori Negara Hukum

Sistem hukum modern merupakan sistem hukum positif yang didasarkan pada

asas-asas dan lembaga-lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian besar

didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Romawi. Ciri-ciri yang

melekat pada sistem hukum modern adalah :16

16 FX.Adji Samekto, Justice Not For All, (Yogyakarta: Denta Press, 2008), hlm.63.

8

Page 9: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

a. Merupakan sistem hukum yang berasal dari tatanan sosisal (order) masyarakat

Eropa Barat pada masa kelahiran dan perkembangan kapitalisme;

b. Sangat dipengaruhi oleh paradigma positivisme dalam ilmu pengetahuan alam,

sehingga sedemikian rupa, sistem hukum modern dibangun dalam tradisi

pemikiran yang meyakini bahwa dalam teori maupun dalam praktek, hukum

dapat dikontruksi dan dikelola secara netral, tidak berpihak, impersonal dan

objektif;

c. Bersifat rasional, telah melepaskan diri dari pengaruh Ketuhanan;

d. Dinyatakan dalam hukum tertulis;

e. Mendukung terciptnya kondisi yang stabil dan dapat diprediksikan.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh R.Kranenburg,17negara pada hakikatnya

adalah suatu organisasi kekuasaan, diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut

bangsa. Jadi, harus ada sekelompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk untuk

mendirikan suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara kepentingan dari

kelompok tersebut.Menurut logemann, karena negara itu adalah suatu organisasi

kekuasaan maka organisasi ini memiliki suatu kewibawaan atau gezag, dalam amanah

terkandung pengertian dapat memaksakan kehendaknya kepada semua orang yang

diputi oleh organisasi itu. Negara membutuhkan kekuasaan agar dapat menjalankan

dan melaksanakan fungsinya. Kekuasaan itu sendiri meskipun memiliki keragaman

bentuk dan sumbernya namun pada hakikatnya adalah kemampuan seseorang atau

suatu pihak untuk memaksakan kehendaknya pada pihak lain.18 Oleh karena hal

demikian itu sifatnya, maka kekuasaan itu cenderung disalahgunakan dan menjadi

semena-mena, seperti yang dikatakan oleh Lord Acton “power tends to corrupt and

absolute power corrupts absolutely.”19

Hukum dan masyarakat adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu dengan

yang lainnya, sebagaimana dikatakan Marcus Tilius Cicero bahwa dimana ada

masyarakat di situ ada hukum, di pihak lain, keterkaitan hukum dan masyarakat

memerlukan suatu kekuasaan pemaksa agar hokum dapat ditegakkan. Hukum tanpa

kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman (justice

17 Sebagaimana dikutip oleh Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm 22-29.18 Mochtar Kusumaatmadja & B.Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: PT Alumni, Bandung, 2002), hlm. 37.19 Henry J Schmandt, Filsafat Politik, terjemahan Ahmad Baidlowi & Imam Bahehaqi, (Yogyakarta) Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 61.

9

Page 10: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

without might is helpless; might without justice is tyrannical) sebagaimana dikatakan

oleh Pascal dan dikutip oleh Mochtar dan Arief.20

Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl adalah dua orang intelektual barat

yang berjasa dalam pemikiran mengenai Negara hukum.Kant memahami Negara

hukum sebagai Nachtwakerstaat atau Nachtwachterstaat (Negara jaga malam), yang

tugasnya adalah menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat.Gagasan Negara

hukum menurut konsep Kant ini dinamakan Negara hukum liberal.21 Kontribusi Kant

dalam bidang teori politik tidaklah orisinal atau subsransial. Pembahasannya tentang

negara adalah campuran dari pemikiran politik Montesquieu dan Roussceau. Arti

penting Kant pada politik terletak dalam formulasi umum filsafatnya yang

mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan intelektual Jerman.

Konsep Stahl tentang Negara hukum dapat ditandai oleh 4 (empat) unsur pokok

yaitu :

a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;

b. Negara didasarkan pada teori trias politica;

c. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig

bestuur);dan.

d. Ada peradilan admintrasi Negara yang bertugas menangani kasus perbuatan

melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).

Gagasan negara hukum yang berasal dari Stahl ini dinamakan Negara hukum

formal, karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-

undang.22 Sedangkan menurut Scheltema, unsur-unsur rechtsstaat adalah : (1)

kepastian hukum; (2) persamaan; (3) demokrasi; (4) pemerintah yang melayani

kepentingan umum.23 Konsep rechsstaat di Eropa Kontnental sejak semula didasarkan

pada filsafat liberal yang individualistik, maka ciri individualistik itu sangat menonjol

dalam pemikiran negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental itu. Di negara-

negara anglosaxon berkembang pula suatu konsep negara hukum yang semula

dipelopori oleh A.V.Dicey (dari Inggris) yang sering disebut the rule of law. Konsep

20 Mochtar Kusumaatmadja & B.Arief Sidharta.Op.Cit.,hlm.35.21 Padmo Wahyono, “Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia”, makalah September,1988, hlm, 4.

Lihat juga, Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: PT alumni, 1973), hlm.7. 22 Ibid., hlm.13.23 Boy Nurdin, Kedudukan dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2012), hlm. 15. Lihat juga, M Scheltama “De Rechtsstaat” dalam J.W.M Engels,et.all, De Recsstaat Herdacht (W.E.J. Tjeaenk Willink-Zwole, 1989), hlm. 15-22.

10

Page 11: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

ini menekankan pada tiga tolok ukur atau unsur-unsur utama, yaitu : (1) supremasi

hukum atau supremacy of law; (2) persamaan di hadapan hukum atau equality before

the law; dan (3) konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan atau the

constitution based on individual rights.

Perbedaan yang menonjol antara konsep rechtsstaat dan rule of law adalah pada

rechtsstaat, peradilan administrasi Negara merupakan suatu sarana penting.

Sebaliknya pada rule of law, peradilan administrasi tidak diperlukan karena peradilan

umum dianggap berlaku untuk semua orang, baik warga biasa maupun pejabat

pemerintah. Jika rechsstaat menekankan pada peradilan administrasi maka rule of law

menekankan pada equality before the law.

Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan

perkembangan masyarakat. Dua isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi

perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan

dan perlindungan hak asasi manusia. Melihat kecenderungan perkembangan negara

hukum modern yang melahirkan prinsip-prinsip penting baru untuk mewujudkan

negara hukum, menurut Jimly Asshiddiqie ada dua belas prinsip pokok sebagai pilar-

pilar utama yang menyangga berdirinya negara hukum24 antara lain adalah :

a. Supremasi hukum (supremacy of law), adanya pengakuan normatif dan empiris

terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan

dengan hukum sebagai pedoman tertinggi;

b. Persamaan dalam hukum (equality before the law), setiap orang adalah sama

kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan;

c. Asas Legalitas (due process of law),segala tindakan pemerintahan harus

didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis;

d. Pembatasan Kekuasaan, adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ

negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal

atau pemisahan secara horizontal;

e. Organ-organ pendukung yang independen, sebagai upaya pembatasan

kekuasaan, saat ini berkembang pula adanya pengaturan lembaga pendukung

yang bersifat independen;

24 Jimly Assiddiqie, Kontitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm 152. Lihat juga, Jimly Assiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis. (Jakarta: PT Buana Ilmu Populer, 2009), hlm. 81-85.

11

Page 12: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

f. Peradilan bebas dan tidak memihak, (independent and impartial judiciary)

peradilan bebas dan tidak memihak mutlak keberadaannya dalam negara hukum;

g. Peradilan tata usaha negara, meskipun peradilan tata usaha negara adalah bagian

dari peradilan secara luas yang harus bebas dan tidak memihak, tetapi

keberadaannya perlu disebutkan secara khusus;

h. Peradilan tata negara (constitutional Court), di samping peradilan tata usaha

negara, negara hukum modern juga lazim mengadopsi gagasan pembentukan

mahkamah konstitusi sebagai upaya memperkuat system check and balance

antara cabang-cabang kekuasaan untuk menjamin demokrasi;

i. Perlindungan hak asasi manusia, adanya perlindungan kostitusional terhadap

Hak Azasi Manusia (HAM) dengan jaminan hukum bagi tuntutan

penegakkannya melalui proses yang adil;

j. Bersifat demokratis (democratishe rechsstaat), dianut dan dipraktikkannya

prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat

dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan

perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaaan

keadilan masyarakat;

k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechsstaat),

hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama;

l. Transparansi dan kontrol sosial , adanya transparansi dan kontrol sosial terhadap

setiap proses pembuatan dan penegakan hukum sehingga dapat memperbaiki

kelemahan mekanisme kelembagaan demi menjamin kebenaran dan keadilan.

2. Teori Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan

Sebagaimana telah disebutkan di atas, baha kekuasaan cenderung semena-mena

atau terjadi ketidak adilan oleh keuasaan (abuse of power), dalam negara hukum,

kekuasaan akan dibatasi oleh hukum baik secara materiil ataupun pemisahan

kekuasaan (separation of power) maupun secara formil atau pembagian kekasaan

( division of power).25Ajaran Trias Politica oleh Montesquieu berdampak besar

terhadap konsep negara hukum (rechtsstaat). Montesquieu membagi kekuasaan

menjadi :26

25 C.S.T Kansil & Christine S.T.Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta , Bumi akasara, 2002), hlm.12.26Montesquieu, The spirit of laws, University of California press, 1977,diterjemahkan oleh M.Khoiril Anam, Nusamedia. Bandung , cetakan I September 2007. Hal 187-189.

12

Page 13: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

a. Kekuasaan membuat peraturan perundang-undangan (legislative power);

b. Kekuasaan melaksanakan peraturan perundang-undangan (executive power);

c. Kekuasaan penyelesaian permasalahan hokum (judicial power).

Sedangkan Van Vollenhoven membagi kekuasaan ke dalam 4 (empat) golongan

yaitu :27

a. Kekuasaan pemerintahan (bestuur);

b. Kekuasaan membuat undang-undang (regeling);

c. Kekuasaan kepolisian (politie);

d. Kekuasaan mengadili (rechtsspraak).

Pendapat van vollenhoven dikembangkan lebih lanjut oleh Wiryono

Prodjodikuro dengan mengusulkan penambahan 2 (dua) jenis kekuasaan lagi, yaitu

kekuasaan kejaksaan dan kekuasaan untuk memeriksa keuangan negara.28 Pemisahan

dan pembagian kekuasaan di dalam UUD 1945 serta lembaga yang menjalankan

fungsi kekuasaan tersebut di atur sebagai berikut :

a. Kekuasaan pemerintahan atau kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden,

Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif, juga memegang kekuasaan

legislatif, kekuasaan kepolisian dan kekuasaan kejaksaan.

b. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Daerah yang secara bersama-sama menjadi anggota Majelis

Permusyawaratan Rakyat.

c. Kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi.

d. Kekuasaan memeriksa keuangan dipegang oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Dalam rangka mencegah penyalahgunaan atau penyelewengan, maka kekuasaan

itu harus dibatasi, antara lain dengan tidak memperbolehkan kekuasaan itu berada di

satu tangan. Kekuasaan harus dipisahkan atau dibagi di antara berbagai cabang

kekuasaan. Kekuasaan harus dipisah-pisahkan atau dibagi-bagi, dan masing-masing

kekuasaan berdiri sendiri. Begitu juga kekuasaan kehakiman (yudikatif) harus berdiri

sendiri, mereka lepas dari pengaruh kekuasaan lain. Di antara tiga keuasaan utama

yang telah disebutkan di atas, dilihat dari kemampuan untuk menjalankan sendiri

27 Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, (Jakarta, Rineka Cipta, 1997), hlm.63.28 Morison, Hukum Tata Negara RI Era Reformasi , (Jakarta: Ramdina Prakarsa, 2005), hlm.12.

13

Page 14: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

kekuasaannya , ada yang menyebut bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan

yang terlemah mudah dipengaruhi oleh kekuasaan lainnya.

Independensi kekuasaan kehakiman terletak pada kerangka konseptual dan

teoritis definif. Konsep independensi kekuasaan kehakiman merupakan bagian

penting dalam rangka rule of law. Pengertian independensi kehakiman berasal dari

kata “independence of the judiciary” yang dpadankan dengan istilah Indonesia

“kekuasaan kehakiman yang merdeka” sebagaimana tercantum dalam bab IX pasal 24

ayat (1) UUD 1945. Sebelum dilakukan amandemen terhadap pasal 24 UUD 1945,

istilah “kekuasaan kehakiman yang merdeka” tidak tercantum dalam batang tubuh

(pasal 24) UUD 1945, melainkan terdapat pada penjelasan UUD 1945, yang

berbunyi: “ Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas

dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan

dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim”.

Kemerdekaan dan kebebasan hakim mengandung dua segi. Pertama, hakim itu

merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif maupun legislative. Merdeka

dan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Merdeka dan bebas

mencakup merdeka dan bebas dari pengaruh unsur-unsur kekuasaan yudisiil itu

sendiri. Demikian pula merdeka dan bebas dari pengaruh kekuatan-kekuatan di luar

jaringan pemerintahan, seperti pendapat umum, pers dan sebagainya. Kedua,

kemerdekaan dan kebebasan hakim hanya terbatas pada fungsi hakim sebagai

pelaksana kekuasaan yudisiil. Dengan perkataan lain, kemerdekaan dan kebebasan

ada pada fungsi yudisiilnya, yaitu menerapkan hukum dalam keadaan konkret.29

Persoalan yang dihadapi dalam kemerdekaan dan kebebasan hakim, bukan

sekedar menjamin kemerdekaan dan kebebasan pada saat menjalankan fungsi yudisiil

tertentu (kasuistik). Inti persoalan adalah menghindari pengaruh kekuasaan tersebut

secara umum, yang akan melindungi hakim pada saat menjalankan fungsi yudisiilnya.

Hal ini menyangkut sistem kekuasaan kehakiman secara keseluruhan. Khusus

mengenai hakim, hal itu berlaku sejak seseorang diangkat sampai pemeberhentiannya

sebagai hakim. Jadi, upaya menemukan kemerdekaan dan kebebasan hakim bukanlah

pada kasus-kasus yang sedang ditangani hakim, melainkan pada rangkaian pengaturan

tentang hakim secara keseluruhan.

29 Bagir Manan & Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, edisi revisi, (Bandung: PT Alumni, 1997), hlm.78.

14

Page 15: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

Kemandirian badan kehakiman mengandung harapan meningginya prestise dan

keampuhan forum kelembagaan mereka dan bahkan akan menyebabkan para hakim

lebih tanggap terhadap kepentingan professional para advokat, konsultan. Selain itu

klien mereka dan kepentingan perseorangan pada umumnya, akan memperoleh

keuntungan dari berkurangnya kekuasaan penguasa dengan meningginya kekuasaan

badan kehakiman; apalagi jika badan ini dapat bekerja sesuai dengan ketentuan

formal, atau dengan kata lain, jika badan kehakiman dapat dibedakan secara tajam

dari birokrasi pemerintahan. Hal itu bukan karena tiap orang berharap banyak dari

pengadilan, atau kedudukan hakim yang memperoleh simpati lebih besar, tetapi badan

kehakiman adalah lembaga yang paling menguntungkan yang harus dihadapi orang

perseorangan. Kebebasan kekuasaan kehakiman diyakini sebagai sarana yang efektif

bagi tercapainya keadilan dalam bentuk jaminan perlindungan warga Negara dari

tindakan melawan hokum atau tindakan represif dari pihak penguasa (pemerintah atau

eksekutif). Oleh karena itu, dalam banyak konstitusi Negara-negar demokrasi,

diberikan suatu jaminan yang nyata terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman

dalam bentuk jaminan atas jabatan seorang hakim untuk waktu tertentu yang tidak

akan dikurangi selama menjalankan jabatannya.

3. Teori Keadilan

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan

sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Tujuan hukum memang tidak hanya

keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang

harus mengakomodasi ketiganya. Putusan hakim, misalnya sedapat mungkin

merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian tetap yang ada berpendapat

diantara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang paling penting.

Konsep keadilan adalah teori utama dalam filsafat dan sama pentingnya dengan

pengertian hukum itu sendiri. Keadilan juga merupakan wacana ilmiah yang umum

mengenai kehidupan publik yang difahami setiap orang secara intuitif. Keadilan

adalah sebagai konsep moral yang mendasar, dapat didefinisikan dalam konteks yang

melibatkan kesadaran, rutinitas dan pengertian moral. Keadilan bersifat normatif

sekaligus konstitutif bagi hukum, keadilan bersifat normatif bagi hukum karena

berfungsi sebagai prasyarat transsendental yang mendasari tiap hukum yang

bermartabat. Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem

hukum positif. Keadilan selalu menjadi pangkal hukum. Hukum bersifat konstitutif

15

Page 16: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum untuk di akui sebagai

hukum. Tanpa keadilan sebuah aturan tidak pantas disebut hukum.30 Sejalan dengan

pemikiran Rawis yang menyatakan bahwa betapapun bagusnya dan efisiennya suatu

hukum , tetapi jika ia tidak adil, maka hukum itu harus diganti.31

Hukum dan keadilan adalah dua hal yang berjalan beriringan dan tidak dapat

dipisahkan. Hukum dibuat dan ditetapkan adalah agar orang yang berada dibawah

naungan hukum dapat menikmati dan merasakan keadilan. “hukum adalah untuk

manusia dan bukan sebaliknya”.32 Keadilan juga merupakan salah satu tujuan hukum.

Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang

dinamis dan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Upaya ini seringkali juga

didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan

politik untuk mengaktualisasikannya.

Kemudian ada pendapat lain tentang yang dinyatakan oleh Ahmad Ali bahwa

hukum bukanlah semata-mata untuk mewujudkan keadilan, keadilan terlalu subjektif

dan abstrak, Keadilan (rechtsgerechtigheid), bersama-sama dengan kemanfaatan

hukum (rechtsutiliteit), dan kepastian hukum (rechtszekerheid) dapat dijadikan tujuan

hukum secara prioritas. Keadilan lebih banyak tergantung pada kesesuaian dengan

hukum (rechtmatigheid), memandang sesuatu itu adil merupakan suatu pendapat

mengenai nilai secara pribadi33

Jika hukum alam didasarkan pada adanya suatu hukum tertinggi yang berada di

luar akal budi manusia, maka tidak demikian dengan keadilan. Pandangan-pandangan

awal aliran hukum alam telah memisahkan antara pengertian hukum alam dan

pengertian keadilan. Thrasymachus mengatakan “Hukum tidak lain kecuali

kepentingan mereka yang kuat”. Pandangan ini kemudian menjadi dasar pandangan

Marx mengenai hukum. Pernyataan ini diungkapkan dalam konteks perdebatan

dengan Socrates mengenai masalah keadilan yang ditulis Plato dalam The Republic.

Thrasymachus berpendapat, keadilan adalah yang menguntungkan bagi yang

lebih kuat. Pandangan ini bertitik tolah dari pengertian “adil” adalah yang sesuai

dengan hukum di dalam polis (Negara-kota). Jika yang adil disamakan dengan yang

30 Bernard L.Tanya, Yoan N.Simanjuntak dan Markus Y Hage. Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia LIntas Ruang dan Generasi, (Surabaya: CV Kita, 2006), hlm.106.31 John Rawls, A Theory of Justice, Revised Edition. Offord, Oxford University Press, 1999, hal 3.32 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, (Jakarta, Kompas, 2007), hlm.47.33 Ahmad Ali. Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm.61.

16

Page 17: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

legal, maka sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. Padahal setiap rezim,

menurut Thrasymachus membuat hukum untuk mempertahankan kekuasaannya dan

demi keuntungannya.34

Bagi Plato, keadilan tidak dihubungkan secara langsung dengan hukum.

Pemikiran Plato yang mengambil pemikiran Socrates, menolak pengertian keadilan

yang berasal dari pengertian dunia niaga, yaitu bahwa keadilan adalah kejujuran ;

tidak menipu dan membayar semua hutang baik kepada dewa maupun kepada sesama

manusia. Dalam dunia niaga tidak ada keadilan. Keadilan tidak lain adalah

keuntungan bagi si kuat. Keadilan negara, bagi Plato didasarkan pada analisis

ekonomi bukan historis. Oleh karena itu, manusia-manusia lainnya untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya, setiap manusia memiliki bakat, bidang keahlian, dan

keterampilan masing-masing warganya. Pembagian kerja yang berlaku bagi ketiga

kelas dalam Negara, merupakan keadilan yang akan menjadikan negara itu adil.35

Pandangan kaum utilitarianisme terhadap keadilan adalah pengertian keadilan

dalam arti luas, bukan untuk perorangan atau sekadar pendistribusian barang seperti

pendapat Aristoteles. Ukuran satu-satunya untuk mengukur sesuatu adil atau tidak

adalah seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare).

Kesejahteraan individual dapat saja dikorbankan untuk manfaat yang lebih besar bagi

kelompok yang lebih besar (general welfare). Adapun apa yang dianggap bermanfaat

dan tidak bermanfaat, diukur menurut kaca mata ekonomi. Sebagai contoh, jika

dikalkulasi bahwa dibangunnya jalan tembus jauh lebih menguntungkan secara

ekonomis dibandingkan dengan tidak dibangunnya jalan itu, maka dalam kacamata

utilitarianisme, seharusnya pemerintah memutuskan untuk membangunnya, meskipun

dengan pembangunan itu ada sekian keluarga yang harus dipindahkan.

Dalam kacamata penganut Sociological Jurisprudence, seperti Roscoe Pound,

keadilan dapat dilaksanakan dengan maupun tanpa hukum. Keadilan tanpa hukum

dilaksanakan sesuai dengan keinginan atau intuisi seseorang yang didalam mengambil

keputusan mempunyai ruang lingkup diskresi yang luas serta tidak ada keterikatan

pada perangkat aturan umum tertentu. Bentuk keadilan yang pertama bersifat

yudisial, sedangkan yang kedua mempunyai ciri administratif. Pound menganjurkan

34 Samuel Enoch Stumpf. Philosophy;History & Problem. (London, Mc Graw Hill Inc,1990), hlm. 33-34.35 WHD Rouse, The Complete Texts of Great Dialugue of Plato, (New York, New York American Library, 1970), hlm.176-177.

17

Page 18: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

agar kedua bentuk keadilan tersebut ada dalam semua sistem hukum. Dia

berpendapat bahwa didalam sejarah hukum tampak adanya gerak antara diskresi yang

luas dengan aturan-aturan yang tegas terperinci. Pound menganggap masalah di masa

depan adalah mencapai keadaan yang harmonis antara unsur-unsur yudisial dengan

yang administrative maupun dengan keadilan.36

Uraian tentang keadilan selanjutnya berasal dari John Rawis, yang dipandang

sebagai teori keadilan paling komprehensif sampai saat ini.37 Teori Rawis sendiri

dapat dikatakan berangkat dari pemikiran utilitarianisme, meskipun Rawis sendiri

lebih sering dimasukkan dalam kelompok penganut realisme hukum. Rawis

berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan

bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang

disebut keadilan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar lagi,

karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stabilitas hidup manusia, agar tidak

terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu diperlukan adanya

aturan-aturan. Disinilah diperlukan sebagai wasitnya. Pada masyarakat yang telah

maju, hukum baru akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.

E. Pembahasan dan Analisis

1. Kedudukan Pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan di Indonesia

Kekuasaan kehakiman diatur dalam UUD 1945 pasal 24, 24 A, pasal 24 B, pasal

24 C dan pasal 25. Pasal 24 ayat (2) berbunyi :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Masing-masing peradilan diatur dalam peraturan pelaksana tersendiri ditegaskan

pada pasal 24 ayat (3) berbunyi : “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan

dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Peraturan Pelaksana

kekuasaan kehakiman dapat dilihat pada keterangan dibawah ini :

(1)     Kekuasaan kehakiman itu sendiri diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009;

36 Sooerjono Soekanto. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: Rajawali,1985), hlm.31-32.37 H. Priyono. Teori Kedailan John Rawls, dalam; Tim Redaksi Driyakarya Ed.1 Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. (Jakarta. Gramedia, 1993), hlm.35.

18

Page 19: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

(2)      Mahkamah Agung diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1985 jo. UU Nomor 5

Tahun 2004;

(3)      Peradilan Umum diatur pada UU Nomor 2 Tahun 1986 jo. UU Nomor 8

Tahun 2004;

(4)      Peradilan Agama diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989;

(5)      Peradilan Militer diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1997;

(6)     Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1986 jo. UU

Nomor 51 Tahun 2009

Melihat pembagian peradilan sebagaimana tersebut di atas, memang sama sekali

tidak disebutkan peradilan (Pengadilan) Pajak, namun kedudukan Pengadilan Pajak

secara eksplisit dinyatakan sebagai pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata

Usaha Negara (PTUN). Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa :

“ (1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan

peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 25.

(2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dalam undang-undang.”

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut dijelaskan bahwa : “Yang

dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah Pengadilan Anak,

Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengadilan Perikanan yang berada di

lingkungan Peradilan Umum, serta Pengadilan Pajak yang berada di lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara”.

Selain itu, Pasal 9A Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

menyebutkan “Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan

pengkhususan yang diatur dengan undang-undang”. Dalam penjelasannya dijelaskan

bahwa yang dimaksud dengan “pengkhususan” adalah diferensiasi atau spesialisasi di

lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak. Kemudian

dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan

Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata

19

Page 20: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

Cara Perpajakan menyatakan bahwa “Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan

pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara”. Dengan demikian

sangat jelas bahwa ketiga undang-undang itu memasukan Pengadilan Pajak dalam

lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.38

Sebelum dibentuknya Pengadilan Pajak sebagai Pengadilan Khusus, terlebih

dahulu telah dibentuk Pengadilan Khusus lainnya, yaitu Pengadilan Anak, Pengadilan

Niaga, dan Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sebagaimana telah diketahui bahwa

berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung membawahi 4 (empat) lingkungan

peradilan, yaitu :

1. Peradilan Umum dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986,

diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004;

2. Peradilan Agama, dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,

diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006;

3. Peradilan Militer dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997; dan

4. Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986, diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004;

Sedangkan Mahkamah Konstitusi yang merupakan suatu lembaga, baru

terbentuk berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen

Ketiga ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi.

Pengadilan Pajak selaku Pengadilan Khusus, ditegaskan dalam penjelasan Pasal

15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

yang menyatakan bahwa : “Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” dalam

ketentuan ini, antara lain, adalah Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak

Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial

yang berada di lingkungan Peradilan Umum, dan Pengadilan Pajak di lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara.” Selain itu, juga ditegaskan dalam penjelasan Pasal 9A

Undang- Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan bahwa:

38 Sri. Y. Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pajak, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum, 2009), hlm. 54.

20

Page 21: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

“Yang dimaksud dengan “pengkhususan” adalah deferensiasi atau spesialisasi di

lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak.”

Berdasarkan penjelasan kedua pasal tersebut di atas, jelas terlihat bahwa status

keberadaan Pengadilan Pajak di Indonesia adalah sebagai Peradilan Khusus. Akan

tetapi, adanya beberapa karakteristik dari Pengadilan Pajak yang tidak sinergis dengan

Peradilan Tata Usaha Negara menimbulkan perdebatan mengenai status Pengadilan

Pajak itu sendiri dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Dalam menjalankan fungsinya, Pengadilan Pajak tidak boleh bertindak di luar

kewenangannya. Sebuah institusi pengadilan mempunyai kompetensi absolut

(kewenangan mengadili), yaitu kewenangan suatu lembaga pengadilan untuk

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa atau persoalan hukum tertentu

apabila dihadapkan dengan kewenangan dari lembaga pengadilan dari lingkungan

peradilan lainnya yang mempunyai wilayah hukum sama,39 misalnya, kewenangan

mengadili sebuah Pengadilan Tata Usaha Negara berhadapan dengan kewenangan

mengadili dari Pengadilan Negeri. Dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara

masuk dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, sementara Pengadilan Negeri

masuk lingkungan Peradilan Umum. Mengenai kompetensi absolut yang dimiliki oleh

Pengadilan Pajak, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

mengaturnya dalam Pasal 31 dan Pasal 32, yang berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 31

(1) Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus

Sengketa Pajak.

(2) Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa

atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

(3) Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas

pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembentulan atau Keputusan

lainnya sebagimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor

6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan sebagaimana

telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Pasal 32

39 Ibid.

21

Page 22: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

(1) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pengadilan

Pajak mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-

pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan

Keputusan Ketua.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun

2002 tentang Pengadilan Pajak tersebut terlihat bahwa tugas dan wewenang dari

Pengadilan Pajak adalah menyelesaikan Sengketa Pajak, bukan Sengketa Perdata

ataupun persengketaan di bidang lainnya.

2. Uji Materiil Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang

Pengadilan Pajak Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

Pengadilan Pajak yang dianggap inkonstitusional, pernah diajukan untuk di-Uji

Materiil-kan di Mahkamah Konstistui sebanyak 2 (dua) kali. Pertama kali diajukan

oleh Denny Palilingan, S.H. selaku kuasa hukum dari PT. Apota Wibawa Pratama,

berkedudukan di Jakarta Selatan, Gedung AKA Lantai 2, Jl. Bangka Raya No. 2, yang

diwakili oleh Ir. Cornelio Moningka Vega, MBA selaku Direktur PT. Apota Wibawa

Pratama. Kemudian yang kedua kali, diajukan oleh LSM GPW (Government Policy

Watch), yang diwakili oleh Syamsoer Kono, S.H.; Kushardi Tri Kamandoko, S.E.;

Dra. Cicik Harini, M.M.; R. Istiyono Sutoyo Putro, B.Sc., Bc.Hk.; dan Ariati

Anomsari, S.E., M.M.; selaku uasa dari Amirudin yang menjabat sebagai Direktur

CV. Cipta Optima Abadi; dan Putut Aji Pusara, S.Kom.

Pada Uji Materiil yang diajukan oleh Denny Palilingan, S.H. selaku kuasa

hukum dari PT. Apota Wibawa Pratama, berkedudukan di Jakarta Selatan tersebut,

yang menjadi dasar/alasan-alasan Hukum diajukannya Permohonan Hak Uji oleh

Pemohon adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang telah

disahkan oleh Pemerintah pada tanggal 12 April 2010 telah dibentuk dengan

mengabaikan aspek formal yaitu tidak mengikuti prosedur/proses dan tata cara

penyusunan sesuai dengan norma-norma hukum yaitu tidak adanya naskah

akademik, tidak adanya pertimbangan dan kajian hukum baik norma hukum dan

asas hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia oleh Menteri

22

Page 23: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

Kehakiman, tidak adanya sosialisasi atau tidak adanya asas untuk dikenali oleh

masyarakat luas/Wajib Pajak, sehingga cacat hukum;

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dianggap

telah merampas hak asasi manusia/Wajib Pajak karena dibentuk hanya semata

untuk meningkatkan sumber pajak setinggi-tingginya;

3. Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan

Pajak bertentangan dengan Pasal 24, Pasal 27 dan Pasal 28A sampai dengan

Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 (namun Pemohon tidak secara jelas

memberikan alasan mengapa Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 14 Tahun

2002 tentang Pengadilan Pajak tersebut bertentangan dengan Pasal-Pasal UUD

1945);

4. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

tumpang tindih dengan Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun

2002 tentang Pengadilan Pajak, dan menyatakan bahwa dengan adanya

kewajiban membayar 50% (lima puluh persen) telah merupakan vonis dan telah

dianggap bersalah dan dengan demikian Pasal 36 ayat (4) ini bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar 1945;

5. Putusan yang dijatuhkan kepada Pemohon dilakukan oleh Hakim yang tidak

sesuai dengan Pasal 24A Undang-Undang Dasar 1945, oleh karenannya

kekuatan hukum putusan adalah cacat hukum;

6. Pasal 33 ayat (1) juncto Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun

2002 tentang Pengadilan Pajak tidak sesuai dengan asas hukum dasar negara

karena terhadap putusan Pengadilan Pajak tidak ada upaya banding, kasasi, dan

langsung peninjauan kembali, sehingga kedua Pasal tersebut bertentangan

dengan proses peradilan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999; dan

7. Ketiadaan upaya kasasi pada Pengadilan Pajak menyebabkan Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tidak sah.

Terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah Konstitusi

menegaskan dalam putusannya yakni dalam putusan perkara Nomor :

004/PUU-II/2004 bahwa Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup peradilan yang

berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2)

Undang-Undang Dasar 1945. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan

23

Page 24: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

bahwa pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas Putusan

Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, bahwa adanya ketentuan yang

menyatakan pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh

Mahkamah Agung, dan bahwa dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat

diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang, dalam hal ini Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Di samping itu dalam

pertimbangannya Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa sebagai lembaga

peradilan, Pengadilan Pajak mempunyai kekhususan tersendiri, dalam hal ini

termasuk dalam pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan yang dilakukan

oleh Departemen Keuangan.

Mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap Hakim Pengadilan Pajak,

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak telah secara tegas

mengaturnya. Hal tersebut terlihat dalam Pasal 11 ayat (1) UndangUndang Nomor

14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa : “Pembinaan dan

pengawasan umum terhadap Hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Selanjutnya

mengenai ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) nUndang-Undang Nomor 14 Tahun

2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa, Pembinaan teknis peradilan

bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung; dan Pembinaan organisasi,

administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen

Keuangan, menurut pendapat Penulis, hal tersebut telah mencerminkan adanya

pemisahan kekuasaan. Di sini jelas terlihat adanya pemisahan kekuasaan, yaitu

kekuasaan eksekutif berada di bawah Departemen Keuangan, yang saat ini adalah

Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan kekuasaan yudikatif berada dibawah

Mahkamah Agung. Pasal 5 ayat (3) Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang

Pengadilan Pajak juga menyatakan bahwa, “Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan

memutus Sengketa Pajak.” Dalam kehidupan bernegara, kehadiran kekuasaan

kehakiman yang bebas merupakan satu keharusan dalam suatu negara hukum,

sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24 ayat (1) Amandemen Ketiga Undang-

Undang Dasar 1945.

Kemudian, pada Uji Materiil yang diajukan oleh LSM GPW (Government

Policy Watch), yang diwakili oleh Syamsoer Kono, S.H.; Kushardi Tri Kamandoko,

S.E.; Dra. Cicik Harini, M.M.; R. Istiyono Sutoyo Putro, B.Sc., Bc.Hk.; dan Ariati

24

Page 25: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

Anomsari, S.E., M.M.; selaku kuasa dari Amirudin yang menjabat sebagai Direktur

CV. Cipta Optima Abadi; dan Putut Aji Pusara, S.Kom., yang menjadi dasar/alasan-

alasan Hukum diajukannya Permohonan Hak Uji oleh Pemohon adalah sebagaimana

dimuat dalam Putusan Perkara Nomor : 011/PUU-IV/2006 yaitu bahwa Pasal 36 ayat

(4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang

menyatakan bahwa, “Selain dari persyaratan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat

(1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal banding diajukan terhadap besar

jumlah pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang

terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen)”, mengakibatkan

Wajib Pajak kehilangan haknya untuk berupaya hukum, yang mana tidak tercapai

Keadilan dan Kepastian Hukum bersifat tetap. Selain itu Wajib Pajak akan memikul

kerugian secara Hukum Materiil dikarenakan tidak bisa melakukan upaya hukum

sebelum membayar 50% (lima puluh persen) dari hutang pajak.

Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan

Pajak tersebut, menurut Pemohon Uji Materiil sangat kontradiksi atau berlawanan

dengan Pasal 28D ayat (1) Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang

berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, dan Pasal 1 ayat (3)

Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Negara Indonesia

adalah Negara Hukum”.

Atas permohonan Pemohon tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi memiliki

Pertimbangan Hukum, sebagai berikut :

1. Bahwa Mahkamah telah memutus permohonan pengujian Pasal 36 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang termuat

dalam Putusan Nomor 004/PUUII/ 2004 yang amar putusannya berbunyi

“Menyatakan permohonan Pemohon ditolak”.

2. Alasan yang diajukan Pemohon Perkara Nomor 011/PUU-IV/2006 ternyata

tidak berbeda dengan alasan yang diajukan Pemohon dalam Perkara Nomor

004/PUU-II/2004, sehingga Mahkamah berpendapat permohonan pengujian

tersebut tidak memenuhi syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan

permohonan berbeda sebagaimana dimaksud oleh Pasal 42 ayat (2) Peraturan

Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, maka sesuai dengan ketentuan

25

Page 26: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah tidak berwenang

lagi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus materi permohonan a quo.

Berdasarkan kedua putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materiil atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terhadap Undang-

Undang Dasar 1945, yaitu putusan Perkara Nomor 004/PUU-II/2004 dan putusan

Perkara Nomor 011/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa

Pengadilan Pajak adalah konstitusional. Sehingga menurut Penulis tidak perlu

dipermasalahkan lagi mengenai konstitusionalitas dari Pengadilan Pajak (Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak). Akan tetapi yang harus

diperhatikan adalah bagaimana agar sistem pembinaan “dua atap” yang selama ini

dianut oleh Pengadilan Pajak sebagaimana termuat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dapat beralih menjadi

sistem pembinaan “satu atap” sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor

35 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juncto Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu

dimana seluruh pembinaan baik pembinaan teknis, yudisial, organisasi, administrasi

maupun keuangan peradilan-peradilan menjadi berada di bawah kewenangan dan

kekuasaan Mahkamah Agung.

3. Contoh Kasus Putusan Pengadilan Pajak

Putusan Pengadilan Pajak atas perkara permohonan banding Nomor :

Put.0552/PP/A/MV/16/2002 tanggal 27 September 2002 juncto Putusan Peninjauan

Kembali (PK) Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 35/B/PK/PJK/2003

tanggal 2 Juni 2004, sebagai berikut :

PARA PIHAK

1. Pemohon Banding : PT. BINTANG KARTIKA MAKMUR

Alamat : Menara Batavia Lt.15 KH. Mas Mansyur Kav.126 Jakarta.

NPWP : 01.397.980.2-022.000

Jenis Usaha : Jasa Kontraktor

2. Termohon Banding : DIREKTUR JENDERAL PAJAK

Alamat : Jalan. Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42 Jakarta

26

Page 27: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

Objek Gugatan : SK No. KEP-203/WPJ.05/BD-0402/2001 tanggal 19

Nopember 2001 juncto SKP KB Pajak Pertambahan Nilai No.

00124/207/95/022/00 tanggal 18 September 2000.

KASUS POSISI

Bahwa PT. Bintang Kartika Makmur (PT.BKM) adalah Kontraktor yang

ditunjuk oleh A.P.Moller, yaitu suatu perusahaan pelayaran internasional yang

didirikan menurut hukum Denmark dan berkedudukan di Kopenhagen Denmark.

Merk dagang yang digunakan oleh A.P.Moller adalah MAERSK SEALAND, untuk

menjalankan kegiatan tertentu di Indonesia dan memberikan jasa kepada A.P.Moller

dalam kaitan dengan pelayaran internasional.

Adapun jenis jasa yang dilakukan oleh PT. BKM hanya meliputi jasa

pengaturan, pengurusan dan pengawasan kargo serta pengurusan dokumen-dokumen

yang diperlukan (“handling agent”), dan juga sebagai agen yang menerima

pembayaran yang menjadi hak A.P.Moller (“collecting agent”) dan juga bertindak

sebagai “paying agent” untuk pembayaran kepada pihak ketiga dalam kaitannya

dengan pelayaran internasional. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perjanjian

antara A.P.Moller dengan PT. BKM mengenai jasa yang diberikan dan dilakukan oleh

PT. BKM kepada A.P.Moller.

Bahwa PT. BKM tidak mensubkontrakan pekerjaannya kepada perusahaan

pihak ketiga, seperti Perum Pelabuhan dan Perusahaan Depo Kontainer. Hal ini dapat

dibuktikan bahwa semua tagihan dari pihak ketiga yaitu Perum Pelabuhan dan

Perusahaan Depo Kontainer ditujukan kepada A.P.Moller (Maersk Sealand), dimana

Maersk Sealand adalah merk dagang dari A.P.Moller.

Bahwa PT.BKM menerima penghasilan berupa fee dan komisi langsung dari

A.P.Moller berupa prosentase tetap dari nilai bersih biaya angkut kargo yang

berkaitan dengan kegiatan tambahan atas angkutan barang ekspor maupun impor oleh

A.P.Moller.

Bahwa berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda antara Pemerintah

Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Denmark tahun 1986, antara lain

diatur secara khusus bahwa penghasilan dari usaha pelayaran dalam lalu lintas

internasional akan dikenakan pajak di negara asal/domisili.

Bahwa menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 juncto Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 1994, Pasal 4 huruf e, disebutkan bahwa objek Pajak Pertambahan

27

Page 28: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

Nilai (PPN) adalah “pemanfaatan atas jasa kena pajak dari luar daerah pabean di

dalam daerah pabean”.

Dengan kata lain, jika terjadi sebaliknya yaitu apabila terdapat pemanfaatan jasa

kena pajak dari dalam daerah pabean di luar pabean. Maka atas pemberian jasa

tersebut bukan merupakan objek Pajak

Pertambahan Nilai (PPN), karena di luar ruang lingkup Pasal 4 Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 1994 tentang PPN. Dengan demikian PT. BKM bukan pengusaha

kena pajak (PKP) atas penghasilan tersebut, dan berdasarkan hal tersebut seharusnya

PT. BKM dikenakan PPN yang terutang adalah Nihil sebagaimana koreksi yang telah

disampaikan PT. BKM kepada tergugat.

Berdasarkan dasar dan uraian Penggugat dalam permohonan bandingnya,

selanjutnya penggugat mohon agar Pengadilan Pajak membatalkan Surat Ketetapan

Pajak Kurang Bayar PPN untuk masa pajak Januari 1995 - Desember 1995.

PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN

Surat banding dari Pemohon Banding telah disampaikan kepada Terbanding,

dan selanjutnya Terbanding telah menyampaikan surat uraian banding ke Pengadilan

Pajak. Atas surat uraian banding dari Terbanding telah pula dikirimkan kepada

Pemohon Banding, dan selanjutnya Pemohon Banding telah menyerahkan surat

bantahannya. Pemeriksaan dilakukan dengan acara biasa oleh Majelis Hakim

Pengadilan Pajak. Pihak Terbanding dan juga Pemohon Banding di persidangan telah

menyampaikan penjelasan dan didengar keterangannya oleh Majelis Hakim.

PUTUSAN HAKIM PENGADILAN PAJAK

Setelah melalui pemeriksaan, Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah

memberikan putusan dengan pertimbangan hukum yang pada pokoknya, menolak

dalil-dalil dari Pemohon Banding dan membenarkan tindakan Terbanding yang telah

mengeluarkan SK No.KEP-203/WPJ.05/BD-0402/2001 tanggal 19 Nopember 2001

yang telahmenguatkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKP KB) Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) No.00124/207/95/022/00 tanggal 18 September 2000.

Selanjutnya Majelis Hakim Pengadilan Pajak mengambil putusan yang amarnya

berbunyi “Menolak Permohonan banding Pemohon Banding dan tetap

mempertahankan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor

Kep-203/WPJ.05/BD.0402/2001 tanggal 19 Nopember 2001 mengenai Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN masa pajak Januari s/d Desember 1995 Nomor

28

Page 29: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

00124/207/95/022/00 tanggal 18 Desember 2000, atas nama PT.Bintang Kartika

Makmur, NPWP 01.397.980-022.000. dengan alamat Menara Batavia Lt.15, Jl

KH.Mas Mansyur Kav. 126 Jakarta.

PERTIMBANGAN HUKUM DAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, Pemohon Banding telah mengajukan

upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Alasan yang digunakan oleh Pemohon Banding/Pemohon PK adalah bahwa

Pengadilan Pajak dalam putusannya telah nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana yang diatur dalam Pasal

91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak.

Setelah melakukan pemeriksaan berkas perkara, selanjutnya Majelis Hakim

Agung yang memeriksa perkara dalam tingkat Peninjauan Kembali telah mengambil

putusan dengan pertimbangan hukum antara lain sebagai berikut :

1. Bahwa secara formal PK dapat diterima, karena permohonan PK diajukan

melalui Pengadilan Pajak masih dalam tenggang waktu 90 (sembilanpuluh) hari

sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung RI No.03 Tahun

2002.

2. Bahwa keberatan-keberatan yang diajukan Pemohon PK dalam memori/risalah

PK dapat dibenarkan oleh Majelis Hakim Agung, putusan judex factie nyata-

nyata tidak sesuai dengan ketentuan- ketenuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :

- Bahwa Pemohon PK bukan Perusahaan Kena Pajak (PKP), karena

berdasarkan surat Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Selatan Satu,

tanggal 16 Oktober 1989 No.S-466.KPJ.03/KI.1606/1989 tentang

Pengukuhan Pengusaha menjadi Pengusaha Kena Pajak dengan Nomor

Pengukuhan KEP-3043 PKP/WPJ.03/KI.1612/1989 atas nama

Pemohon PK, telah dinyatakan dicabut dan Pemohon PK baru

memiliki Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) lagi

pada tanggal 27 Januari 2000, yaitu pada saat dilakukan pemeriksaan.

Sehingga dalam masa 16 Oktober 1989 sampai tanggal 27 Januari

2000 Pemohon PK tidak memiliki salah satu syarat untuk melakukan

penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

29

Page 30: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

- Bahwa objek pajak bukan merupakan jasa yang dapat dikenakan pajak,

karena Pemohon PK adalah sub-kontraktor dari A.P.Moller suatu

perusahaan internasional yang berkedudukan di Denmark dengan merk

dagang Maersk Sealand yang secara langsung tidak dapat beroperasi di

Indonesia.

- Bahwa disamping itu pajak yang dapat dikenakan terhadap yang

mengandung unsur asing baik objeknya maupun subjeknya, in

casu objek pajak yang berada di dalam negeri milik objek pajak asing,

berada dalam lingkup Hukum Pajak Internasional. Dan menghindarkan

Pajak Ganda Internasional antara lain dilakukan antara Indonesia

dengan Kerajaan Denmark dengan telah ditanda tanganinya

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, yang oleh Pasal 8 dari

Persetujuan a quo ditentukan bahwa “penghasilan dari usaha pelayaran

dalam lalu lintas internasional dikenakan pajak dinegara asal domisili”,

sehingga penghasilan A.P.Moller yang diterima melalui Pemohon PK,

hanya dikenakan pajak di Denmark. Karena itu uang jasa yang

ditandatangani Pemohon PK untuk kepentingan A.P.Moller bukan

merupakan objek pajak di Indonesia.

3. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, terbukti bahwa Pemohon PK bukan

Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas jasa yang diserahkan kepada A.P.Moller di

Denmark. Dengan demikian Majelis Hakim Agung berpendapat cukup alasan

untuk mengabulkan permohonan PK yang diajukan PT. BKM dan membatalkan

putusan Pengadilan Pajak tanggal 27 September 2002

No.PUT.0552/PP/A/MV/16/2002, dan Mahkamah Agung mengadili sendiri

dengan amar putusan, sebagai berikut:

1). Membatalkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tanggal 19 Nopember

2001 No.KEP-203/WPJ.05/BD-0402/2001 juncto SKP KB PPN

No.00124/207/95/022/00 tanggal 18 September 2000 yang diterbitkan

Kantor Pelayan Pajak (KPP) Jakarta Tanah Abang dengan pajak terhutang

menjadi NIHIL.

2). Menghukum Terbanding/Termohon Kasasi untuk mengembalikan

pembayaran pajak yang telah dibayar lunas sesuai dengan SKP KB

No.00124/207/95/022/00 tanggal 18 September 2000 sejumlah

30

Page 31: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

Rp.3.108.254.856,00 ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)

setiap bulannya untuk paling lambat 24 (duapuluh empat) bulan

berdasarkan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang

Pengadilan Pajak.

3). Menetapkan status PT. BINTANG KARTIKA MAKMUR (Pemohon

Banidng/Pemohon PK) adalah bukan Pengusaha Kena Pajak karena

pengukuhan PKP yang dilakukan oleh Kepala KPP Jakarta Tanah Abang

dilakukan secara jabatan.

4). Membebankan biaya perkara ini dalam semua tingkat peradilan kepada

negara.

Untuk menggali lebih jauh uraian pada bagian sebelumnya, dan untuk menjawab

pertanyaan tentang Penyelesaian Sengketa Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor

14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak di Pengadilan Pajak perlu dijabarkan

terlebih dahulu pada bagian ini secara komprehensif tentang efektifitas mekanisme

penyelesaian sengketa pajak dan eksistensi dari Pengadilan Pajak itu sendiri, yaitu :

1). Penerapan sistem pemeriksaan vertikal (berjenjang), sebagai implementasi

kekuasaan kehakiman di Indonesia yang berpuncak pada Mahkamah Agung.

2). Penerapan asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana

yang secara imperatif terkandung dalam Undang- Undang Nomor 4 tahun 2004

pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan

Kehakiman

3). Penerapan kaidah-kaidah Hukum Administrasi Negara, karena secara kategoris

Hukum Pajak masuk kedalam lingkup Hukum Administrasi Negara

4). Dikandungnya prinsip keadilan dan kepastian hukum

Berdasarkan contoh kasus diatas dapat dibuktikan adanya unsur penerapan

Hukum Publik terhadap persoalan atau sengketa yang diajukan. Karena sengketa

pajak merupakan sengketa dalam lingkup Hukum Pajak, dan secara kategoris Hukum

Pajak masuk dalam lingkup Hukum Publik, dalam hal ini Hukum Administrasi

Negara. Penyelesaian sengketa dilakukan oleh Aparatur Peradilan ( para Hakim) yang

oleh Undang-Undang diberi wewenang menyelesaikan sengketa pajak. Sehingga

memenuhi unsur adanya aparatur peradilan yang berwenang memutus perselisihan.

Dalam hal pemeriksaan sengketa di Pengadilan Pajak karena karakteristik sengketa

pajak merupakan sengketa dalam lingkup Hukum Administrasi Negara maka dalam

31

Page 32: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

pemeriksaan atas sengketa pajak berlaku dan diterapkan kaidah-kaidah Hukum

Administrasi Negara. Pengadilan Pajak menerapkan pemeriksaan ulang vertical

(berjenjang). Karena pemeriksaan di Pengadilan Pajak, pemeriksaan selanjutnya

hanya dapat dimohonkan melalui mekanisme upaya hukum luar biasa berupa

Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan sifat dari

putusan Pengadilan Pajak adalah putusan yang final (putusan akhir) dan langsung

mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 77

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.40

sementara itu dalam Pasal 77 ayat (3) nya disebutkan hanya ada upaya hukum ke

Mahkamah Agung.41 Ketentuan hanya diberlakukannya pemeriksaan (upaya hukum

PK) ke Mahakamah Agung atas putusan Pengadilan Pajak bertujuan untuk

mempersingkat pemeriksaan ulang vertikal. Memperbanyak pemeriksaan ulang

vertikal akan mengakibatkan potensi pengulangan pemeriksaan menyeluruh. Hal ini

tidak sejalan dengan fungsi pajak yang memegang peran penting dan strategis dalam

penerimaan Negara, sehingga apabila terjadi sengketa pajak diperlukan

penyelesaiannya dengan jenjang pemriksaan ulang vertikal yang lebih ringkas.

Alasan mendasar lainnya adalah melalui mekanisme PK, Mahkamah Agung

berwenang melakukan pemeriksaan sengketa pajak baik secara judex juris maupun

judex factie. Artinya pada PK Mahkamah Agung dapat melakukan pemeriksaan atau

pengujian. Hal ini tidak mungkin tercapai melalui pemeriksaan kasasi karena dalam

pemeriksaan kasasi Mahkamah Agung hanya berwenang menguji sengketa pajak

secara judex juris.

Pengadilan Pajak yang ada saat ini secara historis merupakan penyempurnaan

dari institusi Pengadilan Pajak yang ada sebelumnya yaitu BPSP. Untuk mengatasi

kekurangan dan kelemahan BPSP, khususnya penerapan sistem Kekuasaan

Kehakiman dengan pemeriksaan ulang berjenjang ke Mahkamah Agung, maka dalam

Pengadilan Pajak diberlakukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah

Agung.

Menurut Penulis, berdasarkan hasil penelitian dan mencermati alasan-alasan PK

dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 91,

40 Putusan Pengadilan Pajak “merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap”.41 “Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung”.

32

Page 33: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

sebenarnya ada perbedaan dengan alasan-alasan PK yang diatur dalam Pasal 67

Undang-Undang Mahkamah Agung.

Alasan-alasan sebagai syarat permohonan PK menurut Pasal 67 Undang-

Undang Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak

lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-

bukti yang kemudian oleh Hakim Pidana dinyatakan palsu.

b. Apabila setelah perkaranya diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat

menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang

dituntut.

d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa

dipertimbangkan sebab-sebabnya.

e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas

dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah

diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.

f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu

kekeliruan yang nyata.

Sementara itu dalam Pasal 91 Undang-Undang Pengadilan Pajak disebutkan

alasan-alasan permohonan PK, yaitu :

a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu

muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan

pada bukti-bukti yang kemudian oleh Hakim Pidana dinyatakan palsu

b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan yang

apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan

menghasilkan putusan yang berbeda

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang

dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c

d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa

dipertimbangkan sebab-sebabnya, atau

e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

33

Page 34: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

Adanya alasan pada huruf e diatas merupakan alasan yang membedakan antara

Pengadilan Pajak dengan pengadilan lainnya dalam hal pengajuan permohonan PK.

Alasan PK dalam Pasal 91 huruf e menurut penulis merupakan alasan yang

sebenarnya secara tidak langsung telah memberikan hak kepada semua Wajib Pajak

yang merasa keberatan dengan putusan Pengadilan Pajak untuk dapat menempuh

upaya hukum. Karena alasan tersebut, yang dapat diinterpretasikan bahwa putusan

pengadilan tersebut dianggap tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang sebenarnya,

merupakan alasan yang sangat fleksibel untuk dapat dijadikan dasar bahwa putusan

tersebut harus dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, dalam hal ini melalui

putusan PK oleh Mahkamah Agung. Atas dasar hal ini, upaya hukum PK ke

Mahkamh Agung adalah dapat dikatakan sebagai wujud diterapkannya sistem

pemeriksaan ulang vertikal. Seperti pada contoh kasus diatas yang dijadikan dasar dan

alasan PK adalah ketentuan dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan

Pajak. dari contoh kasus tersebut dapat dilihat bahwa faktanya Majelis Hakim PK

pada Mahkamah Agung sebelum memberikan putusannya terlebih dahulu telah

melakukan pengujian.

Tujuan lain di samping tujuan yang telah disebutkan di atas, adanya upaya

hukum hanya PK ke Mahkamah Agung, juga dimaksudkan agar adanya pemeriksaan

sengketa pajak yang mencerminkan asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya

ringan. Asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan disini diwujudkan

dengan ditetapkannya putusan Pengadilan Pajak sebagai putusan akhir dan final yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dan terhadap putusan tersebut hanya dapat

dilakukan upaya hukum PK ke Mahkamah Agung. Artinya waktu yang dibutuhkan

dalam pemeriksaan sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak seminimal mungkin,

termasuk pembatasan upaya hukum didalamnya. Namun apabila ditelusuri ketentuan

tentang syarat pengajuan banding, proses persiapan persidangan dan pemeriksaan di

persidangan pada Pengadilan Pajak, maka akan menjadi kontradiksi dengan

penerapan asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan.

Kontradiksi ini dilihat dari kesimpulan bahwa maksimal waktu yang dibutuhkan

dari mulai masuknya permohonan perkara banding adalah 18 (delapanbelas) bulan.

Hal ini dihitung dari waktu maksimal pengajuan banding selama 3 (tiga) bulan sejak

tanggal diterimanya surat keputusan yang dimohonkan banding, ditambah 15

(limabelas) bulan waktu maksimal yang diberikan kepada hakim untu menjatuhkan

34

Page 35: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

putusan. Waktu 18 (delapan belas) bulan ini hanya pada pemeriksaan di Pengadilan

Pajak.

Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan PK ke Mahkamah Agung dapat

dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan. Seperti halnya dari contoh kasus

pemeriksaan sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak diatas, dari tanggal putusan

Pengadilan Pajak, yaitu tanggal 27 September 2002, sampai putusan PK Mahkamah

Agung tanggal 2 juni 2004, memakan waktu hampir 2 (dua) tahun. Sudah barang

tentu jangka waktu tersebut sangat lama dan tidak sesuai dengan tujuan dibentuknya

Pengadilan Pajak, dimana Peradilan Pajak bertujuan untuk menyelesaikan sengketa

pajak dengan cepat dan mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum.

Indikator tidak konsistennya Pengadilan Pajak menerapkan asas tersebut,

khususnya asas biaya ringan juga dapat dilihat dari persyaratan keharusan membayar

50% (limapuluh persen) dari jumlah pajak terutang dalam hal permohonan banding.

Seperti pada contoh kasus diatas, dimana PT. Bintang Kartika Makmur (BKM) selaku

pemohon banding pada saat memasukan permohonan bandingnya telah terlebih

dahulu membayar 50% (limapuluh persen) dari jumlah tagihan pajaknya sebesar

Rp.3.108.254.856,00 (tigamilyar seratus delapan juta duaratus limapuluh empat ribu

delapanratus limapuluh enam rupiah) dan pada saat permohonan PK ke Mahkamah

Agung jumlah pajak terutang tersebut sudah dilunasi, hal ini dikarenakan putusan

Pengadilan Pajak adalah sebagai putusan yang bersifat final dan mempunyai kekuatan

hukum tetap. Ketentuan tentang keharusan membayar 50% (limapuluh persen) dan

harus dilunasi apabila permohonan bandingnya ditolak oleh Pengadilan Pajak

tersebut, disamping tidak mencerminkan penerapan asas biaya ringan, juga oleh

banyak kalangan ketentuan tersebut dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan

masyarakat wajib pajak.

Penyelesaian sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak diatur dalam Bab IV

Pasal 34 s/d Pasal 92 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 termasuk pengaturan

tentang upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Terhadap satu

putusan diajukan satu surat gugatan atau satu surat banding. Pengadilan Pajak yang

ada saat ini secara historis merupakan penyempurnaan dari institusi Pengadilan Pajak

yang ada sebelumnya yaitu BPSP. Untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan

BPSP, khususnya penerapan sistem Kekuasaan Kehakiman dengan pemeriksaan

ulang berjenjang ke Mahkamah Agung, maka dalam Pengadilan Pajak diberlakukan

35

Page 36: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Pengadilan Pajak

menerapkan pemeriksaan ulang vertikal (berjenjang). Karena pemeriksaan di

Pengadilan Pajak, pemeriksaan selanjutnya hanya dapat dimohonkan melalui

mekanisme upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah

Agung. Hal ini dikarenakan sifat dari putusan Pengadilan Pajak adalah putusan yang

final (putusan akhir) dan langsung mempunyai kekuatan hukum tetap. adanya upaya

hukum hanya PK ke Mahkamah Agung, juga dimaksudkan agar adanya pemeriksaan

sengketa pajak yang mencerminkan asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya

ringan. Asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan disini diwujudkan

dengan ditetapkannya putusan Pengadilan Pajak sebagai putusan akhir dan final yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dan terhadap putusan tersebut hanya dapat

dilakukan upaya hukum PK ke Mahkamah Agung. Artinya waktu yang dibutuhkan

dalam pemeriksaan sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak seminimal mungkin,

termasuk pembatasan upaya hukum didalamnya. Namun apabila ditelusuri ketentuan

tentang syarat pengajuan banding, proses persiapan persidangan dan pemeriksaan di

persidangan pada Pengadilan Pajak, maka akan menjadi kontradiksi dengan

penerapan asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan.

Kendala yang timbul dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak ini

terdiri dari kendala di bidang administratif dan bidang yudisial. Kewajiban wajib

pajak untuk membayar 50% (lima puluh persen) dari pajak terutang dirasa sangat

memberatkan si wajib pajak. Hal tersebut dianggap melanggar asas praduga tak

bersalah. Mengenai kewajiban hakim untuk menghadirkan penggugat atau pemohon

banding merupakan kendala di bidang yudisial. Dengan tidak hadirnya penggugat

atau pemohon banding di persidangan menjadikan penggugat atau pemohon banding

tidak bisa membela diri mereka secara maksimal, sehingga lahirnya suatu putusan dari

Pengadilan Pajak terkadang tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh penggugat

atau pemohon banding.

Proses usulan revisi mengenai Pasal pengaturan pembayaran 50% (lima puluh

persen) pajak terutang oleh si Wajib Pajak merupakan upaya yang dilakukan untuk

mengatasi kendala yang timbul dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan

Pajak di samping peningkatan Sumber Daya Manusia terutama di bidang pendidikan

yang terlibat langsung dalam kegiatan di Pengadilan Pajak.

36

Page 37: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

4. Kendala Dalam Penyelesaian Pajak Pada Pengadilan Pajak

Kendala-kendala yang timbul dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan

Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:

1). Bidang administratif

Adanya keharusan membayar 50% (limapuluh persen) dari jumlah pajak yang

terutang. Persyaratan keharusan membayar 50% (limapuluh persen) dari jumlah

pajak terutang dari Wajib Pajak, sebelum mengajukan permohonan banding,

telah melanggar asas praduga tak bersalah. Tujuan Wajib Pajak mengajukan

permohonan banding ke Pengadilan Pajak pada hakikatnya karena menolak

penetapan pajak dari fiskus dan menolak keputusan keberatan yang diajukan

DirJend Pajak. Oleh Wajib Pajak, DirJend Pajak dianggap telah bersalah dan

melanggar ketentuan hukum yang berlaku dalam mengambil keputusan dan

menentukan jumlah pajak terutang, oleh karenanya Wajib Pajak memohon agar

pengadilan mengeluarkan putusan agar membatalkan keputusan dari DirJend

Pajak dimaksud.42

Namun dengan adanya ketentuan keharusan membayar terlebih dahulu ½

(setengah) dari kewajiban Wajib Pajak, berarti Wajib Pajak dianggap telah

bersalah. Secara a contrarium DirJend Pajak dianggap telah benar dan tidak

melanggar ketentuan hukum dalam mengambil keputusan menentukan jumlah

pajak terutang. Ketentuan ini pun telah melanggar asas keadilan dan HAM

karena hak Wajib Pajak untuk memperoleh keadilan melalui institusi Pengadilan

Pajak telah di kebiri dengan adanya kewajiban melaksanakan terlebih dahulu

keputusan tersebut, walaupun hanya sebagian. Pada hal keputusan tersebut

belum atau akan diuji kebenarannya oleh hakim di pengadilan, artinya ada

kemungkinan keputusan tersebut bertentangan dengan peraturan hukum dan

harus dibatalkan.

2). Bidang yudisial

Yaitu mengenai kewajiban Hakim untuk menghadirkan pihak terbanding atau

tergugat dalam pemeriksaan dipersidangan. Berdasarkan Pasal 46 Undang-

Undang Pengadilan Pajak disebutkan “bahwa pemohon banding atau penggugat

dapat memberitahukan kepada Ketua untuk hadir dalam persiapan untuk

memberikan keterangan lisan”. Kata-kata “dapat” mengandung arti bahwa tidak

42 http://www.klikpajak.com diakses tanggal 18 Maret 2013, jam:15:30 WIB.

37

Page 38: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

ada kewajiban hakim untuk menghadirkannya dipersidangan. Dengan demikian

pemohon banding atau penggugat tidak mutlak mempunyai hak untuk hadir

dipersidangan, karena dengan kata-kata dapat tersebut keputusan untuk bisa

hadir atau tidak pemohon banding atau penggugat dipersidangan ditentukan oleh

Hakim, berdasarkan perlu atau tidaknya pemohon banding atau penggugat

dimintakan keterangannya dipersidangan.

Hal ini berarti telah melanggar hak Wajib Pajak selaku pemohon banding atau

penggugat untuk membela kepentingannya semaksimal mungkin dengan

menyampaikan pendapatnya secara lisan dipersidangan. Kendala di bidang

yudisial lainnya adalah tidak adanya kesempatan untuk menempuh upaya

hukum biasa bagi para pihak yang bersengketa, dan hanya ada upaya hukum

luar biasa berupa PK ke Mahkamah Agung. Hal ini dianggap telah melanggar

hak untuk memperoleh keadilan dengan cara mengajukan pemeriksaan ulang

vertikal kepada institusi pengadilan yang lebih tinggi sesuai dengan sistem yang

secara umum berlaku.

Adanya upaya hukum PK ke Mahkamah Agung memang diakui sebagai suatu

peningkatan dibandingkan dengan saat badan peradilan pajak bernama BPSP,

yang sama sekali tidak memberi peluang untuk menempuh upaya hukum.

Namun hal ini tidak berarti sepenuhnya dapat diterima oleh Wajib Pajak sebagai

pihak pencari keadilan.

Karena ketentuan PK di samping dibatasi oleh persyaratanpersyaratan (Pasal 91

Undang-Undang Pengadilan Pajak) juga permohonan PK oleh Wajib Pajak

sebagai pemohon banding atau penggugat baru dapat dilakukan setelah seluruh

hutang pajaknya dilunasi. Karena prinsip bahwa putusan Pengadilan Pajak

merupakan putusan yang final dan mempunyai kekuatan hukum tetap, serta asas

bahwa permohonan PK tidak menghentikan atau menangguhkan pelaksanaan

putusan, mengharuskan Wajib Pajak membayar lunas seluruh utang pajaknya

sebelum mengajukan PK. Hal ini sudah barang tentu sangat memberatkan bagi

Wajib Pajak dan sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa

keharusan membayar lunas utang pajak sebelum pengajuan PK telah melanggar

asas keadilan.

Walaupun ada ketentuan yang mengatur untuk memberikan kompensasi imbalan

bunga 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (duapuluh empat) bulan,

38

Page 39: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

apabila ternyata putusan pengadilan mengabulkan permohonan pemohon

banding (Pasal 87 Undang- Undang Pengadilan Pajak), namun ketentuan adanya

pemberian kompensasi ini masih tidak seimbang dengan beban pemohon

banding yang harus membayar pajaknya sementara perkara masih berjalan.

5. Upaya Untuk Mengatasi Kendala Yang Timbul Dalam Penyelesaian

Sengketa Pajak Di Pengadilan Pajak

Apabila ditinjau dari latar belakang lahirnya Pengadilan Pajak maka untuk

mengatasi kendala yang timbul dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan

Pajak yaitu:

1). Pada saat ini sedang diproses usulan perubahan Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2002 terutama tentang Pasal yang mewajibkan pembayaran 50%

(limapuluh persen) dari pajak terhutang. Terkait dengan hal tersebut dengan

adanya usulan revisi mengenai penghapusan kewajiban pembayaran 50%

(limapuluh persen) dari pajak terutang akan dapat mewujudkan asas sederhana,

cepat dan biaya ringan, dan fungsi Pengadilan Pajak sebagai institusi yang

berwenang dalam mengurusi masalah sengketa pajak dapat menjadi lebih

efektif.

2). Dilakukannya usulan untuk revisi terhadap Pasal yang mengatur tentang

kehadiran pihak terbanding dan tergugat, pemeriksaan di persidangan serta Pasal

mengenai pengaturan pemberian bunga 2% (dua persen) setiap bulan atas

kelebihan pembayaran pajak apabila permohonan banding Wajib Pajak

dikabulkan. Sehingga pasal mengenai kedua hal tersebut cukup diatur dalam

Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan dan bukan diatur dalam Undang-

Undang Pengadilan Pajak.

3). Selain usaha untuk mengatasi kendala yang timbul di atas para pihak Pengadilan

Pajak pada saat ini melakukan peningkatan pendidikan baik terhadap para

Hakim maupun pihak administrasi di Pengadilan Pajak hal ini bertujuan agar

semua pihak yang terkait dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Pajak

dapat lebih memahami aturan-aturan yang telah ada dan dapat memiliki

persamaan persepsi dalam menginterpretasikan aturan yang telah ada.

39

Page 40: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

F. Penutup

1. Kesimpulan

Pengadilan Pajak yang ada saat ini secara historis merupakan penyempurnaan

dari institusi Pengadilan Pajak yang ada sebelumnya yaitu BPSP. Untuk mengatasi

kekurangan dan kelemahan BPSP, khususnya penerapan sistem Kekuasaan

Kehakiman dengan pemeriksaan ulang berjenjang ke Mahkamah Agung, maka dalam

Pengadilan Pajak diberlakukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah

Agung. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus yang termasuk dalam

peradilan TUN, oleh karenanya Pengadilan Pajak tidak berdiri sendiri melainkan

menjadi bagian dalam peradilan TUN dan secara hukum konstitusional.

Sifat dari putusan Pengadilan Pajak adalah putusan yang final (putusan akhir)

dan langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya upaya hukum hanya PK

ke Mahkamah Agung, juga dimaksudkan agar adanya pemeriksaan sengketa pajak

yang mencerminkan asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan. Kendala

yang timbul dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak ini terdiri dari

kendala di bidang administratif dan bidang yudisial. Kewajiban wajib pajak untuk

membayar 50% (lima puluh persen) dari pajak terutang dirasa sangat memberatkan si

wajib pajak. Hal tersebut dianggap melanggar asas praduga tak bersalah. Mengenai

kewajiban hakim untuk menghadirkan penggugat atau pemohon banding merupakan

kendala di bidang yudisial. Dengan tidak hadirnya penggugat atau pemohon banding

di persidangan menjadikan penggugat atau pemohon banding tidak bisa membela diri

mereka secara maksimal, sehingga lahirnya suatu putusan dari Pengadilan Pajak

terkadang tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh penggugat atau pemohon

banding. Proses usulan revisi mengenai Pasal pengaturan pembayaran 50% (lima

puluh persen) pajak terutang oleh si Wajib Pajak merupakan upaya yang dilakukan

untuk mengatasi kendala yang timbul dalam penyelesaian sengketa pajak di

Pengadilan Pajak di samping peningkatan Sumber Daya Manusia terutama di bidang

pendidikan yang terlibat langsung dalam kegiatan di Pengadilan Pajak.

2. Saran

Oleh karena penerapan asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan

belum sepenuhnya terlaksana maka diharapkan ke depan kinerja Pengadilan Pajak

lebih ditingkatkan dengan menyempurnakan, tata tertib dan teknik pemeriksaan

sengketa pajak. Mengenai revisi pasal-pasal yang mengatur tentang kewajiban

40

Page 41: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

membayar 50% (limapuluh persen ) agar dapat dilaksanakan secepatnya dengan

mengakomodir penerapan asas keadilan, asas kepastian hukum dan perlindungan

HAM serta asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sehingga keadilan

di bidang perpajakan akan dapat dirasakan oleh Wajib Pajak sesuai kebutuhannya.

Tentang kehadiran pemohon banding dan penggugat sebaiknya dijadikan sebagai

suatu tugas yang merupakan hal wajib bagi para hakim agar para pencari keadilan di

bidang perpajakan dapat membela diri mereka secara langsung. Peningkatan Sumber

Daya Manusia (SDM) di bidang pendidikan yang ada di Pengadilan Pajak sebaiknya

dilakukan secara berkelanjutan sehingga para SDM yang terkait dengan Pengadilan

Pajak dapat menyadari posisi dan perannya masing-masing.

41

Page 42: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.

Ahmad Ali. Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.

Azhari. Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-

unsurnya, UI-Press, Jakarta, 1995.

Bagir Manan & Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,

edisi revisi, Bandung: PT Alumni, 1997.

Bernard L.Tanya, Yoan N.Simanjuntak dan Markus Y Hage. Teori Hukum; Strategi

Tertib Manusia LIntas Ruang dan Generasi, Surabaya: CV Kita, 2006.

Boy Nurdin, Kedudukan dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum di Indonesia,

Bandung: PT Alumni, 2012.

C.S.T Kansil & Christine S.T.Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta , Bumi

akasara, 2002.

Enoch Stumpf Samuel. Philosophy;History & Problem. London, Mc Graw Hill

Inc,1990.

FX.Adji Samekto, Justice Not For All, Yogyakarta: Denta Press, 2008.

Gadjong, Agussalim Andi. Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Cet I,

Ghalia Indonesia, Bogor, 2007.

H. Priyono. Teori Kedailan John Rawls, dalam; Tim Redaksi Driyakarya Ed.1

Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. Jakarta. Gramedia, 1993.

Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, Jakarta, Rineka Cipta, 1997.

Jimly Assiddiqie, Kontitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta:

Konstitusi Press, 2005.

__________, Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: PT Buana Ilmu

Populer, 2009.

J Schmandt Henry, Filsafat Politik, terjemahan Ahmad Baidlowi & Imam Bahehaqi,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Mochtar Kusumaatmadja & B.Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: PT

Alumni, Bandung, 2002.

42

Page 43: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

Montesquieu, The spirit of laws, University of California press, 1977,diterjemahkan

oleh M.Khoiril Anam, Bandung: Nusamedia, 2007.

Morison, Hukum Tata Negara RI Era Reformasi , Jakarta: Ramdina Prakarsa, 2005.

Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian

Sengketa, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007.

Muhammad Rusjdi, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Edisi Keempat,

Jakarta : PT. Indeks, 2007.

Rawls John, A Theory of Justice, Revised Edition. Offord, Oxford University Press,

1999.

Rouse WHD, The Complete Texts of Great Dialugue of Plato, New York, New York

American Library, 1970.

Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, catatan Kritis tentang Pergulatan

Manusia dan Hukum, Jakarta, Kompas, 2007.

Scheltama M, “De Rechtsstaat” dalam J.W.M Engels,et.all, De Recsstaat Herdacht,

W.E.J. Tjeaenk Willink-Zwole, 1989.

Sekretariat Pengadilan Pajak, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Buku Saku

Untuk Memahami Prosedur Dalam Pengadilan Pajak, Cetakan Kedua, 2008.

Soerjono Soekanto. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta:

Rajawali,1985.

Sony Devano, & Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan, Konsep, Teori dan Isu, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2006.

Sri Y. Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pajak, Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Umum, 2009.

Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung: PT alumni, 1973.

Makalah, Internet dll

Padmo Wahyono, “Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia”, makalah

September,1988.

Widayatno Sastrohardjono & TB. Eddy Mangkuprawira, dalam Makalah “Prosedur

Beracara Dalam Pengajuan Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak”,

Jakarta, 2002.

43

Page 44: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

Winarto Suhendro, Makalah“Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Khusus Di

Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara”.

http://www. kanwilpajakkhusus.depkeu.go.id.

http://www.hukumonline.com.

http://www.klikpajak.com.

Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah

Agung

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan

Pajak

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan

Militer

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan

Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

44

Page 45: Makalah Sistem Peradilan Indonesia (EU)

45