makalah sistem peradilan indonesia (eu)
DESCRIPTION
HukumTRANSCRIPT
Makalah : Sistem Peradilan Indonesia
MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK MELALUI PENGADILAN PAJAK SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS DALAM SISTEM
PERADILAN INDONESIA
Oleh : Endang Usman
A. Latar Belakang
Sejak zaman sebelum masehi pajak telah dipungut oleh penguasa suatu daerah
untuk kepentingan penguasa. Setiap negara atau daerah telah mengakui pentingnya
penghimpunan dana dari rakyat baik itu untuk penguasa dengan tidak memerhatikan
rakyat atau juga digunakan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan hanya
mengandalkan kerelaan rakyat semata untuk memberikan sebagian kekayaannya,
dana yang terkumpul dirasakan tidak akan optimal, tidak mencapai target yang
diharapkan. Bentuk iuran kepada penguasa tersebut merupakan suatu paksaan, yang
tentunya ada yang pro dan kontra. Penentuan siapa yang harus membayar pajak,
bagaimana dasar pengenaan pajaknya, dan berapa besar tarif pajak yang dikenakan,
ditentukan oleh keinginan penguasa semata. Pada akhirnya beban pajak yang harus
dipikul jadi lebih berat, penguasa dengan kesewenangannya menentukan jumlah pajak
sesuai kebutuhan penguasa bahkan melebihi yang dibutuhkan1.
1 Beberapa sejarah kesewenangan penguasa dan pemungutan pajak bagi rakyatnya diantaranya:a. Lodwick XIV, Raja Perancis, dan istrinya Marie Antoinette tinggal di istana Versailles adalah
penguasa Perancis yang pada pertengahan abad XVIII secara semena-mena memungut pajak dari penduduknya. Pajak yang dipungut dari rakyatnya hanya untuk kepentingan Lodwik XIV beserta istrinya semata. Karena pemberontakan rakyatnya maka timbul revolusi Perancis (1778).
b. Di Inggris kesewenangan penguasa dalam memungut pajak kepada kepada penduduknya dilakukan oleh Raja John (King John of England). Kemudian karena merasa beban semakin berat atas kesewenangan raja, pimpinan perwakilan (Baron) memaksakan piagam Magna Charta (1215) kepada rajanya. Salah satu pernyataan yang penting dalam piagam tersebut yang berhubungan dengan masalah perpajakan adalah “…taxes should not be imposed without the consent of the common council of the realm.” Pajak tidak seharusnya dibebankan kepada rakyat tanpa adanya izin dari dewan majelis perwakilan dari kerajaan. Piagam ini merupakan tonggak pembatasan secara bertahap terhadap kekuasaan absolute monarki di Inggris.
c. Di Indonesia tidak luput juga kesewenang-wenangan dari penjajah. Pemerintah kolonial Inggris yang menjajah Indonesia di bawah Thomas Stamford Raffles menerapkan kesewenangan pemungutan pajak dengan Land Rent (1813).Pemerintah kolonial Belanda juga melanjutkan kesewenangan dalam pemungutan pajak sehingga
makin menyebabkan kesengsaraan rakyat Indonesia. Pajak yang dipungut dari rakyat Indonesia benar-benar hanya digunakan untuk mengisi kas pemerintahan kolonial. Sony Devano, & Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan, Konsep, Teori dan Isu (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm.9.
1
Pada zaman modern saat ini, perana pajak sangat penting dan strategis dalam
rangka pembangunan suatu negara, terlebih lagi bagi negara berkembang seperti
Indonesia, maka pajak merupakan pendapatan terbesar selain sumber pendapatan
lainnnya.2 Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya
merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya cukup disingkat UUD 1945). Secara singkat dan tegas, pernyataan
tentang pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang
berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan undang-undang.”3
Pemungutan pajak oleh pemerintah akan bersentuhan langsung dengan
kepentingan masyarakat. Pelaksanaan pemungutan pajak ditengah masyarakat yang
tidak sesuai dengan undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan bagi
masyarakat wajib pajak, sehingga dapat menimbulkan sengketa pajak antara wajib
pajak dengan pejabat atau aparatur pajak (fiskus). Oleh sebab itu untuk lebih
memberikan pelayanan dan perlindungan kepada warga masyarakat sebagai pembayar
pajak, maka diperlukan adanya suatu lembaga peradilan di bidang perpajakan yang
dapat menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak, serta dapat memberikan putusan
hukum yang adil dan kepastian hukum atas sengketa pajak dengan proses yang
sederhana, cepat, dan murah, sesuai dengan asas yang dianut dalam sistem peradilan
di Indonesia. Untuk itu, maka kehadiran hukum termasuk didalamnya lembaga
peradilan yang berfungsi menyelesaikan masalah/sengketa diantara pihak - setelah
upaya penyelesaian internal (kemanusiaan, tidak berhasil dicapai kata sepakat/kata
damai) – merupakan wujud dari negara hukum.4
2 Sebelum amandemen atas UUD 1945 dilakukan, aturan tentang pajak dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Dengan demikian, dibandingkan dengan UUD 1945 terdahulu, redaksi kalimat konstitusi pascaamandemen menunjukkan ketegasannya dalam mengatur hal perpajakan.3 Lihat: Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.4 Istilah negara hukum dalam bahasa Belanda disebut rechtsstaat, Francis mempergunakan istilah etat de droit, di Jerman digunakan istilah yang sama dengan Belanda, yaitu rechtsstaat. Istilah-istilah etat de droit atau rechtsstaat yang digunakan di Eropa Kontinetal adalah istilah-istilah yang tidak tepat dalam sistem hukum Inggris, meskipun ungkapan legal state atau state according to law atau the rule of law mencoba mengungkapkan suatu ide yang pada dasarnya sama. Dalam terminologi Inggris dikenal dengan ungkapan the state according to law atau according to the rule of law. Azhari. Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, UI-Press, Jakarta, 1995), hlm. 2 & 30. Istilah the rule of law dalam perkembangan hukum di Indonesia disebut juga dengan negara hukum. Djokosoetono menyebutnya dengan istilah negara hukum yang demokratis, Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Cet I, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007), hlm.20.
2
Pada mulanya, di Indonesia bila terjadi sengketa antara rakyat dengan alat-alat
Negara, secara umum diselesaikan oleh Pengadilan Negeri (umum), yang hasilnya
kurang memuaskan, karena perselisihan itu terjadi di bidang tata usaha Negara.
Setelah lahirnya Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, permasalahan tersebut kemudian menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN). Dengan adanya undang-undang ini, maka penyelesaian sengketa
pajak masuk dalam kekuasaan pengadilan, yang akhirnya dapat bermuara ke
Mahkamah Agung.
Sejarah hukum ternyata berkehendak lain, dimana kedudukan dan kompetensi
dikembalikan pada fungsi semula yaitu setelah diundangkannya Undang-undang No.9
Tahun 1994 (Jo Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 / Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994
menyebutkan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan hanya kepada
Badan Peradilan terhadap Keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak. Namun sebelum Badan Peradilan Pajak tersebut dibentuk,
permohonan Banding tetap diajukan ke Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang
putusannya bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara.
Pendirian Badan Peradilan Pajak di atas, menjadi kenyataan setelah
Pemerintah dengan persetujuan DPR membentuk dan mensyahkan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)5 yang
diundangkan pada tanggal 23 Mei 1997 ke dalam Lembaran Negara Nomor 40 Tahun
1997 dan mulai efektif belaku sejak tanggal 1 Januari 1998. Ternyata dalam
pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak yang dilakukan oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP) masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat
menimbulkan ketidakadilan dalam penyelesaian melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP). Oleh karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang
sesuai dengan sistem Kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan
5 Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) sebagai badan peradilan pajak yang mempunyai tugas memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. Pengertian Perpajakan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) ini lebih luas dari sebelumnya karena menyangkut juga sengketa kepabeanan. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga putusannya tidak dapat digugat ke Peradilan Umum atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
3
keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak6. Penyelesaian
Sengketa Pajak harus dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat,
murah, dan sederhana.
Oleh karena itu, pada tanggal 12 April 2002 disahkan dan diundangkan
Undang-undang No.14 Tahun 2002, tentang Pengadilan Pajak sebagai pengganti
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997, tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
Konsekuensi penggantian tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak diganti
dengan Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan pajak yang berwenang memeriksa
dan memutus sengketa pajak.
Dasar Pertimbangan dilakukan pergantian dapat dilihat dalam konsideran
Undang-undang Pengadilan Pajak yang menegaskan:7
a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945, menjamin perwujudan tata kehidupan negara
dan bangsa yang adil dan sejahtera, aman, tenteram dan tertib, serta menjamin
kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat;
b. bahwa untuk mencapai tujuan dimaksud, pembangunan nasional yang
berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air
memerlukan dana yang memadai terutama dari sumber perpajakan;
c. bahwa dengan meningkatnya jumlah Wajib Pajak dan pemahaman akan hak dan
kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundangundangan perpajakan
tidak dapat dihindarkan timbulnya Sengketa Pajak yang memerlukan
penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan
sederhana;
d. bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan
yang berpuncak di Mahkamah Agung;
e. bahwa karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem
kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan
kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak.
Pengadilan Pajak dibentuk dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa pajak,
yang meliputi pelaksanaan peraturan Perpajakan, Kepabeanan, Cukai, Pajak Daerah
6 Muhammad Rusjdi, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Edisi Keempat, (Jakarta : PT. Indeks, 2007), hlm. VI-1.7 Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 32.
4
dan Restibusi Daerah.8 Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya
peningkatan penerimaan Pajak Pusat dan Daerah, Bea Masuk dan Cukai, dan Pajak
Daerah, dalam prakteknya, terkadang dilakukan tanpa adanya peningkatan keadilan
terhadap para Wajib Pajak itu sendiri. Karenanya, masyarakat, dalam hal ini para
Wajib Pajak, seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan/bea
tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa antara
instansi perpajakan dengan pihak Wajib Pajak. Untuk mempermudah penyelesaian
sengketa perpajakan, dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu
badan peradilan khusus untuk menanganinya.9
Salah satu perubahan yang menonjol dalam reformasi sistem perpajakan
nasional adalah perubahan sistem pemungutan pajak yaitu dari sistem official
assessment ke sistem self assessment. Berdasarkan sistem self assessment apabila
masyarakat memenuhi kriteria sebagai wajib pajak, maka berdasarkan Pasal 2 ayat ( 1
) UU No.16 tahun 2000 jo UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Tata Cara
Perpajakan diwajibkan untuk mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jendral Pajak
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau kedudukan wajib pajak dan
kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Utang pajak menurut sistem self assessment timbul manakala telah terpenuhi
syarat subyektif dan obyektif menurut ketentuan undang-undang, tanpa menunggu
adanya campur tangan atau perbuatan dari pejabat pajak. Pemberian kepercayaan
yang sangat besar kepada wajib pajak dalam sistem self assessment ini sudah
sewajarnya diimbangi dengan instrument pengawasan agar kepercayaan itu tidak
disalah gunakan wajib pajak. Untuk keperluan itu diciptakan wewenang bagi fiskus
untuk melakukan pemeriksaan. Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya
perbedaan atau selisih dengan dilaporkan oleh wajib pajak dalam Surat
Pemberitahuannya dan menimbulkan koreksi, maka fiskus berwenang mengeluarkan
Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang mempunyai kedudukan sama dengan Surat
Tagihan Pajak. Surat Ketetapan tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil ( SKPN ).
8 Sekretariat Pengadilan Pajak, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Buku Saku Untuk Memahami Prosedur Dalam Pengadilan Pajak, Cetakan Kedua, 2008, hlm. ii.9 Ibid.
5
Dalam Undang-undang tentang Pengadilan Pajak ditentukan bahwa putusan
Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Meskipun demikian, masih dimungkinkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali ke
Mahkamah Agung. Peninjauan ke Mahkamah Agung merupakan upaya hukum luar
biasa, di samping akan mengurangi jenjang pemeriksaan ulang vertikal, juga penilaian
terhadap kedua aspek pemeriksaan yang meliputi aspek penerapan hukum dan aspek
fakta-fakta yang mendasari terjadinya sengketa perpajakan, akan dilakukan sekaligus
oleh Mahakamah Agung. Proses peninjauan kembali melalui Pengadilan Pajak hanya
sebatas prosedur pelayanan administrasi yang perlu dilakukan secara cepat, oleh
karena itu dalam Undang-undang ini diatur pembatasan waktu penyelesaian, baik di
tingkat Pengadilan Pajak maupun di tingkat Mahkamah Agung. Pengadilan pajak
mengenal empat upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa yaitu, keberatan,
banding, gugatan dan peninjauan kembali. Yang dimaksud dengan “Keberatan” dalam
pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan kemungkinan terjadi
bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang
dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal
ini WP dapat mengajukan keberatan10. Sedangkan upaya hukum banding merupakan
kelanjutan dari upaya hukum keberatan. Dalam arti, tidak ada banding sebelum
melalui keberatan karena yang diajukan banding adalah surat keputusan keberatan
sebagai bentuk penyelesaian sengketa pajak di tingkat Lembaga Keberatan.11 Hukum
acara peradilan pajak tidak hanya mengenal keberatan dan banding sebagai upaya
hukum biasa, tetapi termasuk pula gugatan untuk melawan kebijakan pejabat pajak
yang terkait dengan penagihan pajak, seperti terbitnya surat tagihan pajak dan
penagihan secara paksa.Gugatan dan banding keduanya merupakan upaya hukum
biasa.12
Pengadilan Pajak dalam menangani masalah gugatan kompetensinya diperluas
sesuai amanat Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan. Di samping terhadap pelaksanaan penagihan pajak,
gugatan dapat diajukan terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang
10 Winarto Suhendro, “Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Khusus Di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara”, Makalah., hlm. 6.11 http://www. kanwilpajakkhusus.depkeu.go.id, diakses tanggal 15 Maret 2013, jam: 19.40 WIB.12 Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.183.
6
berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.13 Bagi pihak-
pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan
Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 77 Ayat (3) Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2002, terhadap putusan Pengadilan Pajak dapat diajukan
upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali oleh pihak-pihak yang
bersengketa ke Mahkamah Agung berdasarkan alasan-alasan tertentu yang diatur
dalam Pasal 91 UU Pengadilan Pajak.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak tidak secara
tegas menyebutkan bahwa Pengadilan Pajak berada di bawah Pegadilan Tata Usaha
Negara (PTUN). Tidak ada satu pun pasal dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2002
yang menyatakan bahwa Pengadilan Pajak berada di bawah PTUN. Kecuali, Pasal 5
dan pertimbangannya, yang menyebutkan bahwa pembinaan teknis Pengadilan Pajak
berada di bawah dan berpuncak di MA. Walaupun undang-undangnya tidak secara
tegas menyebutkan Pengadilan Pajak di bawah PTUN, di MA ada kamar tersendiri
untuk persoalan peninjauan kembali (PK) putusan Pengadilan Pajak. Banyak pihak,
khususnya Mahkamah Agung (MA) menilai keberadaan pengadilan pajak
inkonstitusional (melanggar UUD 1945),14 menyatakan bahwa Pengadilan Pajak
inkonstitusional karena melanggar Pasal 24 UUD 1945.15
Putusan Pengadilan Pajak pun langsung bersifat berkekuatan tetap (in kracht).
Terhadap putusan tersebut, hanya dapat diajukan upaya hukum PK. PK yang diajukan
pun terbatas pada hal-hal yang diatur dalam Pasal 91 UU No. 14 Tahun 2002. Padahal
melihat UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor
48 Tahun 2009, dikenal upaya hukum biasa seperti banding dan kasasi serta upaya
hukum luar yaitu PK. Sementara persidangannya, dimulai dari peradilan tingkat
pertama (PN), lalu banding ke pengadilan tinggi (PT) dan bisa mengajukan kasasi dan
PK ke Mahkamah Agung (MA).
13 Widayatno Sastrohardjono & TB. Eddy Mangkuprawira, dalam Makalah “Prosedur Beracara Dalam Pengajuan Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak”, Jakarta, 2002, hlm.2.14 http://www.hukumonline.com diakses tanggal 15 Maret 2013, jam: 19.40 WIB.15 Menurut ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen ke-4 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan : a.peradilan umum, b.peradilan agama, c. peradilan militer, d. peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi.
7
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, pokok permasalahan lebih diarahkan kepada
kepada kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan Indonesia dalam ruang
lingkup kekuasaan Kehakiman. Rumusan masalah tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Bagaimakah kedudukan konstitusional Pengadilan Pajak dalam perspektif
kekuasaan Kehakiman?
2. Kendala apa saja yang ditemui dalam penyelesaian pajak pada Pengadilan Pajak
dan bagaimana model penyelesaiannya?
C. Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Dalam
penelitian hukum normatif ini dilakukan penelaahan terhadap peraturan-peraturan
yang ada relevansinya dengan judul makalah yang akan di bahas. Adapun metode
penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan ini, penulis berusaha
mencari dan mendapatkan bahan-bahan untuk memperoleh pengertian, perbandingan
maupun dasar hukum yang berhubungan dengan makalah ini.
Adapun bahan bahan tersebut berada atau ditemukan dalam pasal - pasal dari
undang - undang yang ada, hasil-hasil pemikiran para ahli yang terdapat dalam
berbagai literatur yang tersedia. Kemudian, data yang sudah terkumpul diseleksi,
diklasifikasikan dan disusun dalam suatu tabulasi sesuai kelompok pembahasan yang
telah direncanakan. Selanjutnya dilakukan pembahasan (analisis), terhadap dengan
cara membandingkan data terhadap teori-teori, maupun ketentuan-ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kaitannya dengan objek
penulisan.
D. Tinjauan Kepustakaan
1. Teori Negara Hukum
Sistem hukum modern merupakan sistem hukum positif yang didasarkan pada
asas-asas dan lembaga-lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian besar
didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Romawi. Ciri-ciri yang
melekat pada sistem hukum modern adalah :16
16 FX.Adji Samekto, Justice Not For All, (Yogyakarta: Denta Press, 2008), hlm.63.
8
a. Merupakan sistem hukum yang berasal dari tatanan sosisal (order) masyarakat
Eropa Barat pada masa kelahiran dan perkembangan kapitalisme;
b. Sangat dipengaruhi oleh paradigma positivisme dalam ilmu pengetahuan alam,
sehingga sedemikian rupa, sistem hukum modern dibangun dalam tradisi
pemikiran yang meyakini bahwa dalam teori maupun dalam praktek, hukum
dapat dikontruksi dan dikelola secara netral, tidak berpihak, impersonal dan
objektif;
c. Bersifat rasional, telah melepaskan diri dari pengaruh Ketuhanan;
d. Dinyatakan dalam hukum tertulis;
e. Mendukung terciptnya kondisi yang stabil dan dapat diprediksikan.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh R.Kranenburg,17negara pada hakikatnya
adalah suatu organisasi kekuasaan, diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut
bangsa. Jadi, harus ada sekelompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk untuk
mendirikan suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara kepentingan dari
kelompok tersebut.Menurut logemann, karena negara itu adalah suatu organisasi
kekuasaan maka organisasi ini memiliki suatu kewibawaan atau gezag, dalam amanah
terkandung pengertian dapat memaksakan kehendaknya kepada semua orang yang
diputi oleh organisasi itu. Negara membutuhkan kekuasaan agar dapat menjalankan
dan melaksanakan fungsinya. Kekuasaan itu sendiri meskipun memiliki keragaman
bentuk dan sumbernya namun pada hakikatnya adalah kemampuan seseorang atau
suatu pihak untuk memaksakan kehendaknya pada pihak lain.18 Oleh karena hal
demikian itu sifatnya, maka kekuasaan itu cenderung disalahgunakan dan menjadi
semena-mena, seperti yang dikatakan oleh Lord Acton “power tends to corrupt and
absolute power corrupts absolutely.”19
Hukum dan masyarakat adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya, sebagaimana dikatakan Marcus Tilius Cicero bahwa dimana ada
masyarakat di situ ada hukum, di pihak lain, keterkaitan hukum dan masyarakat
memerlukan suatu kekuasaan pemaksa agar hokum dapat ditegakkan. Hukum tanpa
kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman (justice
17 Sebagaimana dikutip oleh Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm 22-29.18 Mochtar Kusumaatmadja & B.Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: PT Alumni, Bandung, 2002), hlm. 37.19 Henry J Schmandt, Filsafat Politik, terjemahan Ahmad Baidlowi & Imam Bahehaqi, (Yogyakarta) Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 61.
9
without might is helpless; might without justice is tyrannical) sebagaimana dikatakan
oleh Pascal dan dikutip oleh Mochtar dan Arief.20
Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl adalah dua orang intelektual barat
yang berjasa dalam pemikiran mengenai Negara hukum.Kant memahami Negara
hukum sebagai Nachtwakerstaat atau Nachtwachterstaat (Negara jaga malam), yang
tugasnya adalah menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat.Gagasan Negara
hukum menurut konsep Kant ini dinamakan Negara hukum liberal.21 Kontribusi Kant
dalam bidang teori politik tidaklah orisinal atau subsransial. Pembahasannya tentang
negara adalah campuran dari pemikiran politik Montesquieu dan Roussceau. Arti
penting Kant pada politik terletak dalam formulasi umum filsafatnya yang
mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan intelektual Jerman.
Konsep Stahl tentang Negara hukum dapat ditandai oleh 4 (empat) unsur pokok
yaitu :
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
b. Negara didasarkan pada teori trias politica;
c. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig
bestuur);dan.
d. Ada peradilan admintrasi Negara yang bertugas menangani kasus perbuatan
melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).
Gagasan negara hukum yang berasal dari Stahl ini dinamakan Negara hukum
formal, karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-
undang.22 Sedangkan menurut Scheltema, unsur-unsur rechtsstaat adalah : (1)
kepastian hukum; (2) persamaan; (3) demokrasi; (4) pemerintah yang melayani
kepentingan umum.23 Konsep rechsstaat di Eropa Kontnental sejak semula didasarkan
pada filsafat liberal yang individualistik, maka ciri individualistik itu sangat menonjol
dalam pemikiran negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental itu. Di negara-
negara anglosaxon berkembang pula suatu konsep negara hukum yang semula
dipelopori oleh A.V.Dicey (dari Inggris) yang sering disebut the rule of law. Konsep
20 Mochtar Kusumaatmadja & B.Arief Sidharta.Op.Cit.,hlm.35.21 Padmo Wahyono, “Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia”, makalah September,1988, hlm, 4.
Lihat juga, Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: PT alumni, 1973), hlm.7. 22 Ibid., hlm.13.23 Boy Nurdin, Kedudukan dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2012), hlm. 15. Lihat juga, M Scheltama “De Rechtsstaat” dalam J.W.M Engels,et.all, De Recsstaat Herdacht (W.E.J. Tjeaenk Willink-Zwole, 1989), hlm. 15-22.
10
ini menekankan pada tiga tolok ukur atau unsur-unsur utama, yaitu : (1) supremasi
hukum atau supremacy of law; (2) persamaan di hadapan hukum atau equality before
the law; dan (3) konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan atau the
constitution based on individual rights.
Perbedaan yang menonjol antara konsep rechtsstaat dan rule of law adalah pada
rechtsstaat, peradilan administrasi Negara merupakan suatu sarana penting.
Sebaliknya pada rule of law, peradilan administrasi tidak diperlukan karena peradilan
umum dianggap berlaku untuk semua orang, baik warga biasa maupun pejabat
pemerintah. Jika rechsstaat menekankan pada peradilan administrasi maka rule of law
menekankan pada equality before the law.
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Dua isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi
perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan
dan perlindungan hak asasi manusia. Melihat kecenderungan perkembangan negara
hukum modern yang melahirkan prinsip-prinsip penting baru untuk mewujudkan
negara hukum, menurut Jimly Asshiddiqie ada dua belas prinsip pokok sebagai pilar-
pilar utama yang menyangga berdirinya negara hukum24 antara lain adalah :
a. Supremasi hukum (supremacy of law), adanya pengakuan normatif dan empiris
terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan
dengan hukum sebagai pedoman tertinggi;
b. Persamaan dalam hukum (equality before the law), setiap orang adalah sama
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan;
c. Asas Legalitas (due process of law),segala tindakan pemerintahan harus
didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis;
d. Pembatasan Kekuasaan, adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ
negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal
atau pemisahan secara horizontal;
e. Organ-organ pendukung yang independen, sebagai upaya pembatasan
kekuasaan, saat ini berkembang pula adanya pengaturan lembaga pendukung
yang bersifat independen;
24 Jimly Assiddiqie, Kontitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm 152. Lihat juga, Jimly Assiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis. (Jakarta: PT Buana Ilmu Populer, 2009), hlm. 81-85.
11
f. Peradilan bebas dan tidak memihak, (independent and impartial judiciary)
peradilan bebas dan tidak memihak mutlak keberadaannya dalam negara hukum;
g. Peradilan tata usaha negara, meskipun peradilan tata usaha negara adalah bagian
dari peradilan secara luas yang harus bebas dan tidak memihak, tetapi
keberadaannya perlu disebutkan secara khusus;
h. Peradilan tata negara (constitutional Court), di samping peradilan tata usaha
negara, negara hukum modern juga lazim mengadopsi gagasan pembentukan
mahkamah konstitusi sebagai upaya memperkuat system check and balance
antara cabang-cabang kekuasaan untuk menjamin demokrasi;
i. Perlindungan hak asasi manusia, adanya perlindungan kostitusional terhadap
Hak Azasi Manusia (HAM) dengan jaminan hukum bagi tuntutan
penegakkannya melalui proses yang adil;
j. Bersifat demokratis (democratishe rechsstaat), dianut dan dipraktikkannya
prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan
perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaaan
keadilan masyarakat;
k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechsstaat),
hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama;
l. Transparansi dan kontrol sosial , adanya transparansi dan kontrol sosial terhadap
setiap proses pembuatan dan penegakan hukum sehingga dapat memperbaiki
kelemahan mekanisme kelembagaan demi menjamin kebenaran dan keadilan.
2. Teori Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan
Sebagaimana telah disebutkan di atas, baha kekuasaan cenderung semena-mena
atau terjadi ketidak adilan oleh keuasaan (abuse of power), dalam negara hukum,
kekuasaan akan dibatasi oleh hukum baik secara materiil ataupun pemisahan
kekuasaan (separation of power) maupun secara formil atau pembagian kekasaan
( division of power).25Ajaran Trias Politica oleh Montesquieu berdampak besar
terhadap konsep negara hukum (rechtsstaat). Montesquieu membagi kekuasaan
menjadi :26
25 C.S.T Kansil & Christine S.T.Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta , Bumi akasara, 2002), hlm.12.26Montesquieu, The spirit of laws, University of California press, 1977,diterjemahkan oleh M.Khoiril Anam, Nusamedia. Bandung , cetakan I September 2007. Hal 187-189.
12
a. Kekuasaan membuat peraturan perundang-undangan (legislative power);
b. Kekuasaan melaksanakan peraturan perundang-undangan (executive power);
c. Kekuasaan penyelesaian permasalahan hokum (judicial power).
Sedangkan Van Vollenhoven membagi kekuasaan ke dalam 4 (empat) golongan
yaitu :27
a. Kekuasaan pemerintahan (bestuur);
b. Kekuasaan membuat undang-undang (regeling);
c. Kekuasaan kepolisian (politie);
d. Kekuasaan mengadili (rechtsspraak).
Pendapat van vollenhoven dikembangkan lebih lanjut oleh Wiryono
Prodjodikuro dengan mengusulkan penambahan 2 (dua) jenis kekuasaan lagi, yaitu
kekuasaan kejaksaan dan kekuasaan untuk memeriksa keuangan negara.28 Pemisahan
dan pembagian kekuasaan di dalam UUD 1945 serta lembaga yang menjalankan
fungsi kekuasaan tersebut di atur sebagai berikut :
a. Kekuasaan pemerintahan atau kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden,
Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif, juga memegang kekuasaan
legislatif, kekuasaan kepolisian dan kekuasaan kejaksaan.
b. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah yang secara bersama-sama menjadi anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
c. Kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi.
d. Kekuasaan memeriksa keuangan dipegang oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam rangka mencegah penyalahgunaan atau penyelewengan, maka kekuasaan
itu harus dibatasi, antara lain dengan tidak memperbolehkan kekuasaan itu berada di
satu tangan. Kekuasaan harus dipisahkan atau dibagi di antara berbagai cabang
kekuasaan. Kekuasaan harus dipisah-pisahkan atau dibagi-bagi, dan masing-masing
kekuasaan berdiri sendiri. Begitu juga kekuasaan kehakiman (yudikatif) harus berdiri
sendiri, mereka lepas dari pengaruh kekuasaan lain. Di antara tiga keuasaan utama
yang telah disebutkan di atas, dilihat dari kemampuan untuk menjalankan sendiri
27 Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, (Jakarta, Rineka Cipta, 1997), hlm.63.28 Morison, Hukum Tata Negara RI Era Reformasi , (Jakarta: Ramdina Prakarsa, 2005), hlm.12.
13
kekuasaannya , ada yang menyebut bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
yang terlemah mudah dipengaruhi oleh kekuasaan lainnya.
Independensi kekuasaan kehakiman terletak pada kerangka konseptual dan
teoritis definif. Konsep independensi kekuasaan kehakiman merupakan bagian
penting dalam rangka rule of law. Pengertian independensi kehakiman berasal dari
kata “independence of the judiciary” yang dpadankan dengan istilah Indonesia
“kekuasaan kehakiman yang merdeka” sebagaimana tercantum dalam bab IX pasal 24
ayat (1) UUD 1945. Sebelum dilakukan amandemen terhadap pasal 24 UUD 1945,
istilah “kekuasaan kehakiman yang merdeka” tidak tercantum dalam batang tubuh
(pasal 24) UUD 1945, melainkan terdapat pada penjelasan UUD 1945, yang
berbunyi: “ Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas
dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan
dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim”.
Kemerdekaan dan kebebasan hakim mengandung dua segi. Pertama, hakim itu
merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif maupun legislative. Merdeka
dan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Merdeka dan bebas
mencakup merdeka dan bebas dari pengaruh unsur-unsur kekuasaan yudisiil itu
sendiri. Demikian pula merdeka dan bebas dari pengaruh kekuatan-kekuatan di luar
jaringan pemerintahan, seperti pendapat umum, pers dan sebagainya. Kedua,
kemerdekaan dan kebebasan hakim hanya terbatas pada fungsi hakim sebagai
pelaksana kekuasaan yudisiil. Dengan perkataan lain, kemerdekaan dan kebebasan
ada pada fungsi yudisiilnya, yaitu menerapkan hukum dalam keadaan konkret.29
Persoalan yang dihadapi dalam kemerdekaan dan kebebasan hakim, bukan
sekedar menjamin kemerdekaan dan kebebasan pada saat menjalankan fungsi yudisiil
tertentu (kasuistik). Inti persoalan adalah menghindari pengaruh kekuasaan tersebut
secara umum, yang akan melindungi hakim pada saat menjalankan fungsi yudisiilnya.
Hal ini menyangkut sistem kekuasaan kehakiman secara keseluruhan. Khusus
mengenai hakim, hal itu berlaku sejak seseorang diangkat sampai pemeberhentiannya
sebagai hakim. Jadi, upaya menemukan kemerdekaan dan kebebasan hakim bukanlah
pada kasus-kasus yang sedang ditangani hakim, melainkan pada rangkaian pengaturan
tentang hakim secara keseluruhan.
29 Bagir Manan & Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, edisi revisi, (Bandung: PT Alumni, 1997), hlm.78.
14
Kemandirian badan kehakiman mengandung harapan meningginya prestise dan
keampuhan forum kelembagaan mereka dan bahkan akan menyebabkan para hakim
lebih tanggap terhadap kepentingan professional para advokat, konsultan. Selain itu
klien mereka dan kepentingan perseorangan pada umumnya, akan memperoleh
keuntungan dari berkurangnya kekuasaan penguasa dengan meningginya kekuasaan
badan kehakiman; apalagi jika badan ini dapat bekerja sesuai dengan ketentuan
formal, atau dengan kata lain, jika badan kehakiman dapat dibedakan secara tajam
dari birokrasi pemerintahan. Hal itu bukan karena tiap orang berharap banyak dari
pengadilan, atau kedudukan hakim yang memperoleh simpati lebih besar, tetapi badan
kehakiman adalah lembaga yang paling menguntungkan yang harus dihadapi orang
perseorangan. Kebebasan kekuasaan kehakiman diyakini sebagai sarana yang efektif
bagi tercapainya keadilan dalam bentuk jaminan perlindungan warga Negara dari
tindakan melawan hokum atau tindakan represif dari pihak penguasa (pemerintah atau
eksekutif). Oleh karena itu, dalam banyak konstitusi Negara-negar demokrasi,
diberikan suatu jaminan yang nyata terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman
dalam bentuk jaminan atas jabatan seorang hakim untuk waktu tertentu yang tidak
akan dikurangi selama menjalankan jabatannya.
3. Teori Keadilan
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan
sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Tujuan hukum memang tidak hanya
keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang
harus mengakomodasi ketiganya. Putusan hakim, misalnya sedapat mungkin
merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian tetap yang ada berpendapat
diantara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang paling penting.
Konsep keadilan adalah teori utama dalam filsafat dan sama pentingnya dengan
pengertian hukum itu sendiri. Keadilan juga merupakan wacana ilmiah yang umum
mengenai kehidupan publik yang difahami setiap orang secara intuitif. Keadilan
adalah sebagai konsep moral yang mendasar, dapat didefinisikan dalam konteks yang
melibatkan kesadaran, rutinitas dan pengertian moral. Keadilan bersifat normatif
sekaligus konstitutif bagi hukum, keadilan bersifat normatif bagi hukum karena
berfungsi sebagai prasyarat transsendental yang mendasari tiap hukum yang
bermartabat. Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem
hukum positif. Keadilan selalu menjadi pangkal hukum. Hukum bersifat konstitutif
15
karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum untuk di akui sebagai
hukum. Tanpa keadilan sebuah aturan tidak pantas disebut hukum.30 Sejalan dengan
pemikiran Rawis yang menyatakan bahwa betapapun bagusnya dan efisiennya suatu
hukum , tetapi jika ia tidak adil, maka hukum itu harus diganti.31
Hukum dan keadilan adalah dua hal yang berjalan beriringan dan tidak dapat
dipisahkan. Hukum dibuat dan ditetapkan adalah agar orang yang berada dibawah
naungan hukum dapat menikmati dan merasakan keadilan. “hukum adalah untuk
manusia dan bukan sebaliknya”.32 Keadilan juga merupakan salah satu tujuan hukum.
Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang
dinamis dan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Upaya ini seringkali juga
didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan
politik untuk mengaktualisasikannya.
Kemudian ada pendapat lain tentang yang dinyatakan oleh Ahmad Ali bahwa
hukum bukanlah semata-mata untuk mewujudkan keadilan, keadilan terlalu subjektif
dan abstrak, Keadilan (rechtsgerechtigheid), bersama-sama dengan kemanfaatan
hukum (rechtsutiliteit), dan kepastian hukum (rechtszekerheid) dapat dijadikan tujuan
hukum secara prioritas. Keadilan lebih banyak tergantung pada kesesuaian dengan
hukum (rechtmatigheid), memandang sesuatu itu adil merupakan suatu pendapat
mengenai nilai secara pribadi33
Jika hukum alam didasarkan pada adanya suatu hukum tertinggi yang berada di
luar akal budi manusia, maka tidak demikian dengan keadilan. Pandangan-pandangan
awal aliran hukum alam telah memisahkan antara pengertian hukum alam dan
pengertian keadilan. Thrasymachus mengatakan “Hukum tidak lain kecuali
kepentingan mereka yang kuat”. Pandangan ini kemudian menjadi dasar pandangan
Marx mengenai hukum. Pernyataan ini diungkapkan dalam konteks perdebatan
dengan Socrates mengenai masalah keadilan yang ditulis Plato dalam The Republic.
Thrasymachus berpendapat, keadilan adalah yang menguntungkan bagi yang
lebih kuat. Pandangan ini bertitik tolah dari pengertian “adil” adalah yang sesuai
dengan hukum di dalam polis (Negara-kota). Jika yang adil disamakan dengan yang
30 Bernard L.Tanya, Yoan N.Simanjuntak dan Markus Y Hage. Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia LIntas Ruang dan Generasi, (Surabaya: CV Kita, 2006), hlm.106.31 John Rawls, A Theory of Justice, Revised Edition. Offord, Oxford University Press, 1999, hal 3.32 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, (Jakarta, Kompas, 2007), hlm.47.33 Ahmad Ali. Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm.61.
16
legal, maka sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. Padahal setiap rezim,
menurut Thrasymachus membuat hukum untuk mempertahankan kekuasaannya dan
demi keuntungannya.34
Bagi Plato, keadilan tidak dihubungkan secara langsung dengan hukum.
Pemikiran Plato yang mengambil pemikiran Socrates, menolak pengertian keadilan
yang berasal dari pengertian dunia niaga, yaitu bahwa keadilan adalah kejujuran ;
tidak menipu dan membayar semua hutang baik kepada dewa maupun kepada sesama
manusia. Dalam dunia niaga tidak ada keadilan. Keadilan tidak lain adalah
keuntungan bagi si kuat. Keadilan negara, bagi Plato didasarkan pada analisis
ekonomi bukan historis. Oleh karena itu, manusia-manusia lainnya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, setiap manusia memiliki bakat, bidang keahlian, dan
keterampilan masing-masing warganya. Pembagian kerja yang berlaku bagi ketiga
kelas dalam Negara, merupakan keadilan yang akan menjadikan negara itu adil.35
Pandangan kaum utilitarianisme terhadap keadilan adalah pengertian keadilan
dalam arti luas, bukan untuk perorangan atau sekadar pendistribusian barang seperti
pendapat Aristoteles. Ukuran satu-satunya untuk mengukur sesuatu adil atau tidak
adalah seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare).
Kesejahteraan individual dapat saja dikorbankan untuk manfaat yang lebih besar bagi
kelompok yang lebih besar (general welfare). Adapun apa yang dianggap bermanfaat
dan tidak bermanfaat, diukur menurut kaca mata ekonomi. Sebagai contoh, jika
dikalkulasi bahwa dibangunnya jalan tembus jauh lebih menguntungkan secara
ekonomis dibandingkan dengan tidak dibangunnya jalan itu, maka dalam kacamata
utilitarianisme, seharusnya pemerintah memutuskan untuk membangunnya, meskipun
dengan pembangunan itu ada sekian keluarga yang harus dipindahkan.
Dalam kacamata penganut Sociological Jurisprudence, seperti Roscoe Pound,
keadilan dapat dilaksanakan dengan maupun tanpa hukum. Keadilan tanpa hukum
dilaksanakan sesuai dengan keinginan atau intuisi seseorang yang didalam mengambil
keputusan mempunyai ruang lingkup diskresi yang luas serta tidak ada keterikatan
pada perangkat aturan umum tertentu. Bentuk keadilan yang pertama bersifat
yudisial, sedangkan yang kedua mempunyai ciri administratif. Pound menganjurkan
34 Samuel Enoch Stumpf. Philosophy;History & Problem. (London, Mc Graw Hill Inc,1990), hlm. 33-34.35 WHD Rouse, The Complete Texts of Great Dialugue of Plato, (New York, New York American Library, 1970), hlm.176-177.
17
agar kedua bentuk keadilan tersebut ada dalam semua sistem hukum. Dia
berpendapat bahwa didalam sejarah hukum tampak adanya gerak antara diskresi yang
luas dengan aturan-aturan yang tegas terperinci. Pound menganggap masalah di masa
depan adalah mencapai keadaan yang harmonis antara unsur-unsur yudisial dengan
yang administrative maupun dengan keadilan.36
Uraian tentang keadilan selanjutnya berasal dari John Rawis, yang dipandang
sebagai teori keadilan paling komprehensif sampai saat ini.37 Teori Rawis sendiri
dapat dikatakan berangkat dari pemikiran utilitarianisme, meskipun Rawis sendiri
lebih sering dimasukkan dalam kelompok penganut realisme hukum. Rawis
berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang
disebut keadilan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar lagi,
karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stabilitas hidup manusia, agar tidak
terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu diperlukan adanya
aturan-aturan. Disinilah diperlukan sebagai wasitnya. Pada masyarakat yang telah
maju, hukum baru akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.
E. Pembahasan dan Analisis
1. Kedudukan Pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan di Indonesia
Kekuasaan kehakiman diatur dalam UUD 1945 pasal 24, 24 A, pasal 24 B, pasal
24 C dan pasal 25. Pasal 24 ayat (2) berbunyi :
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Masing-masing peradilan diatur dalam peraturan pelaksana tersendiri ditegaskan
pada pasal 24 ayat (3) berbunyi : “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Peraturan Pelaksana
kekuasaan kehakiman dapat dilihat pada keterangan dibawah ini :
(1) Kekuasaan kehakiman itu sendiri diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009;
36 Sooerjono Soekanto. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: Rajawali,1985), hlm.31-32.37 H. Priyono. Teori Kedailan John Rawls, dalam; Tim Redaksi Driyakarya Ed.1 Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. (Jakarta. Gramedia, 1993), hlm.35.
18
(2) Mahkamah Agung diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1985 jo. UU Nomor 5
Tahun 2004;
(3) Peradilan Umum diatur pada UU Nomor 2 Tahun 1986 jo. UU Nomor 8
Tahun 2004;
(4) Peradilan Agama diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989;
(5) Peradilan Militer diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1997;
(6) Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1986 jo. UU
Nomor 51 Tahun 2009
Melihat pembagian peradilan sebagaimana tersebut di atas, memang sama sekali
tidak disebutkan peradilan (Pengadilan) Pajak, namun kedudukan Pengadilan Pajak
secara eksplisit dinyatakan sebagai pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN). Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa :
“ (1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam undang-undang.”
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut dijelaskan bahwa : “Yang
dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah Pengadilan Anak,
Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengadilan Perikanan yang berada di
lingkungan Peradilan Umum, serta Pengadilan Pajak yang berada di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara”.
Selain itu, Pasal 9A Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
menyebutkan “Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan
pengkhususan yang diatur dengan undang-undang”. Dalam penjelasannya dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan “pengkhususan” adalah diferensiasi atau spesialisasi di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak. Kemudian
dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
19
Cara Perpajakan menyatakan bahwa “Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan
pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara”. Dengan demikian
sangat jelas bahwa ketiga undang-undang itu memasukan Pengadilan Pajak dalam
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.38
Sebelum dibentuknya Pengadilan Pajak sebagai Pengadilan Khusus, terlebih
dahulu telah dibentuk Pengadilan Khusus lainnya, yaitu Pengadilan Anak, Pengadilan
Niaga, dan Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sebagaimana telah diketahui bahwa
berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung membawahi 4 (empat) lingkungan
peradilan, yaitu :
1. Peradilan Umum dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986,
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004;
2. Peradilan Agama, dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006;
3. Peradilan Militer dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997; dan
4. Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986, diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004;
Sedangkan Mahkamah Konstitusi yang merupakan suatu lembaga, baru
terbentuk berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
Ketiga ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Pengadilan Pajak selaku Pengadilan Khusus, ditegaskan dalam penjelasan Pasal
15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menyatakan bahwa : “Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” dalam
ketentuan ini, antara lain, adalah Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak
Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial
yang berada di lingkungan Peradilan Umum, dan Pengadilan Pajak di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara.” Selain itu, juga ditegaskan dalam penjelasan Pasal 9A
Undang- Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan bahwa:
38 Sri. Y. Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pajak, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum, 2009), hlm. 54.
20
“Yang dimaksud dengan “pengkhususan” adalah deferensiasi atau spesialisasi di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak.”
Berdasarkan penjelasan kedua pasal tersebut di atas, jelas terlihat bahwa status
keberadaan Pengadilan Pajak di Indonesia adalah sebagai Peradilan Khusus. Akan
tetapi, adanya beberapa karakteristik dari Pengadilan Pajak yang tidak sinergis dengan
Peradilan Tata Usaha Negara menimbulkan perdebatan mengenai status Pengadilan
Pajak itu sendiri dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Dalam menjalankan fungsinya, Pengadilan Pajak tidak boleh bertindak di luar
kewenangannya. Sebuah institusi pengadilan mempunyai kompetensi absolut
(kewenangan mengadili), yaitu kewenangan suatu lembaga pengadilan untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa atau persoalan hukum tertentu
apabila dihadapkan dengan kewenangan dari lembaga pengadilan dari lingkungan
peradilan lainnya yang mempunyai wilayah hukum sama,39 misalnya, kewenangan
mengadili sebuah Pengadilan Tata Usaha Negara berhadapan dengan kewenangan
mengadili dari Pengadilan Negeri. Dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara
masuk dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, sementara Pengadilan Negeri
masuk lingkungan Peradilan Umum. Mengenai kompetensi absolut yang dimiliki oleh
Pengadilan Pajak, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
mengaturnya dalam Pasal 31 dan Pasal 32, yang berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 31
(1) Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus
Sengketa Pajak.
(2) Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa
atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas
pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembentulan atau Keputusan
lainnya sebagimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Pasal 32
39 Ibid.
21
(1) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pengadilan
Pajak mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-
pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Ketua.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak tersebut terlihat bahwa tugas dan wewenang dari
Pengadilan Pajak adalah menyelesaikan Sengketa Pajak, bukan Sengketa Perdata
ataupun persengketaan di bidang lainnya.
2. Uji Materiil Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang
Pengadilan Pajak Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Pengadilan Pajak yang dianggap inkonstitusional, pernah diajukan untuk di-Uji
Materiil-kan di Mahkamah Konstistui sebanyak 2 (dua) kali. Pertama kali diajukan
oleh Denny Palilingan, S.H. selaku kuasa hukum dari PT. Apota Wibawa Pratama,
berkedudukan di Jakarta Selatan, Gedung AKA Lantai 2, Jl. Bangka Raya No. 2, yang
diwakili oleh Ir. Cornelio Moningka Vega, MBA selaku Direktur PT. Apota Wibawa
Pratama. Kemudian yang kedua kali, diajukan oleh LSM GPW (Government Policy
Watch), yang diwakili oleh Syamsoer Kono, S.H.; Kushardi Tri Kamandoko, S.E.;
Dra. Cicik Harini, M.M.; R. Istiyono Sutoyo Putro, B.Sc., Bc.Hk.; dan Ariati
Anomsari, S.E., M.M.; selaku uasa dari Amirudin yang menjabat sebagai Direktur
CV. Cipta Optima Abadi; dan Putut Aji Pusara, S.Kom.
Pada Uji Materiil yang diajukan oleh Denny Palilingan, S.H. selaku kuasa
hukum dari PT. Apota Wibawa Pratama, berkedudukan di Jakarta Selatan tersebut,
yang menjadi dasar/alasan-alasan Hukum diajukannya Permohonan Hak Uji oleh
Pemohon adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang telah
disahkan oleh Pemerintah pada tanggal 12 April 2010 telah dibentuk dengan
mengabaikan aspek formal yaitu tidak mengikuti prosedur/proses dan tata cara
penyusunan sesuai dengan norma-norma hukum yaitu tidak adanya naskah
akademik, tidak adanya pertimbangan dan kajian hukum baik norma hukum dan
asas hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia oleh Menteri
22
Kehakiman, tidak adanya sosialisasi atau tidak adanya asas untuk dikenali oleh
masyarakat luas/Wajib Pajak, sehingga cacat hukum;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dianggap
telah merampas hak asasi manusia/Wajib Pajak karena dibentuk hanya semata
untuk meningkatkan sumber pajak setinggi-tingginya;
3. Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak bertentangan dengan Pasal 24, Pasal 27 dan Pasal 28A sampai dengan
Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 (namun Pemohon tidak secara jelas
memberikan alasan mengapa Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak tersebut bertentangan dengan Pasal-Pasal UUD
1945);
4. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
tumpang tindih dengan Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak, dan menyatakan bahwa dengan adanya
kewajiban membayar 50% (lima puluh persen) telah merupakan vonis dan telah
dianggap bersalah dan dengan demikian Pasal 36 ayat (4) ini bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945;
5. Putusan yang dijatuhkan kepada Pemohon dilakukan oleh Hakim yang tidak
sesuai dengan Pasal 24A Undang-Undang Dasar 1945, oleh karenannya
kekuatan hukum putusan adalah cacat hukum;
6. Pasal 33 ayat (1) juncto Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak tidak sesuai dengan asas hukum dasar negara
karena terhadap putusan Pengadilan Pajak tidak ada upaya banding, kasasi, dan
langsung peninjauan kembali, sehingga kedua Pasal tersebut bertentangan
dengan proses peradilan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999; dan
7. Ketiadaan upaya kasasi pada Pengadilan Pajak menyebabkan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tidak sah.
Terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah Konstitusi
menegaskan dalam putusannya yakni dalam putusan perkara Nomor :
004/PUU-II/2004 bahwa Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan
23
bahwa pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas Putusan
Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, bahwa adanya ketentuan yang
menyatakan pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh
Mahkamah Agung, dan bahwa dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat
diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang, dalam hal ini Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Di samping itu dalam
pertimbangannya Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa sebagai lembaga
peradilan, Pengadilan Pajak mempunyai kekhususan tersendiri, dalam hal ini
termasuk dalam pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan yang dilakukan
oleh Departemen Keuangan.
Mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap Hakim Pengadilan Pajak,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak telah secara tegas
mengaturnya. Hal tersebut terlihat dalam Pasal 11 ayat (1) UndangUndang Nomor
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa : “Pembinaan dan
pengawasan umum terhadap Hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Selanjutnya
mengenai ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) nUndang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa, Pembinaan teknis peradilan
bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung; dan Pembinaan organisasi,
administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen
Keuangan, menurut pendapat Penulis, hal tersebut telah mencerminkan adanya
pemisahan kekuasaan. Di sini jelas terlihat adanya pemisahan kekuasaan, yaitu
kekuasaan eksekutif berada di bawah Departemen Keuangan, yang saat ini adalah
Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan kekuasaan yudikatif berada dibawah
Mahkamah Agung. Pasal 5 ayat (3) Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak juga menyatakan bahwa, “Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutus Sengketa Pajak.” Dalam kehidupan bernegara, kehadiran kekuasaan
kehakiman yang bebas merupakan satu keharusan dalam suatu negara hukum,
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24 ayat (1) Amandemen Ketiga Undang-
Undang Dasar 1945.
Kemudian, pada Uji Materiil yang diajukan oleh LSM GPW (Government
Policy Watch), yang diwakili oleh Syamsoer Kono, S.H.; Kushardi Tri Kamandoko,
S.E.; Dra. Cicik Harini, M.M.; R. Istiyono Sutoyo Putro, B.Sc., Bc.Hk.; dan Ariati
24
Anomsari, S.E., M.M.; selaku kuasa dari Amirudin yang menjabat sebagai Direktur
CV. Cipta Optima Abadi; dan Putut Aji Pusara, S.Kom., yang menjadi dasar/alasan-
alasan Hukum diajukannya Permohonan Hak Uji oleh Pemohon adalah sebagaimana
dimuat dalam Putusan Perkara Nomor : 011/PUU-IV/2006 yaitu bahwa Pasal 36 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang
menyatakan bahwa, “Selain dari persyaratan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal banding diajukan terhadap besar
jumlah pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang
terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen)”, mengakibatkan
Wajib Pajak kehilangan haknya untuk berupaya hukum, yang mana tidak tercapai
Keadilan dan Kepastian Hukum bersifat tetap. Selain itu Wajib Pajak akan memikul
kerugian secara Hukum Materiil dikarenakan tidak bisa melakukan upaya hukum
sebelum membayar 50% (lima puluh persen) dari hutang pajak.
Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak tersebut, menurut Pemohon Uji Materiil sangat kontradiksi atau berlawanan
dengan Pasal 28D ayat (1) Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang
berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, dan Pasal 1 ayat (3)
Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum”.
Atas permohonan Pemohon tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi memiliki
Pertimbangan Hukum, sebagai berikut :
1. Bahwa Mahkamah telah memutus permohonan pengujian Pasal 36 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang termuat
dalam Putusan Nomor 004/PUUII/ 2004 yang amar putusannya berbunyi
“Menyatakan permohonan Pemohon ditolak”.
2. Alasan yang diajukan Pemohon Perkara Nomor 011/PUU-IV/2006 ternyata
tidak berbeda dengan alasan yang diajukan Pemohon dalam Perkara Nomor
004/PUU-II/2004, sehingga Mahkamah berpendapat permohonan pengujian
tersebut tidak memenuhi syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan
permohonan berbeda sebagaimana dimaksud oleh Pasal 42 ayat (2) Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, maka sesuai dengan ketentuan
25
Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah tidak berwenang
lagi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus materi permohonan a quo.
Berdasarkan kedua putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materiil atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terhadap Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu putusan Perkara Nomor 004/PUU-II/2004 dan putusan
Perkara Nomor 011/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa
Pengadilan Pajak adalah konstitusional. Sehingga menurut Penulis tidak perlu
dipermasalahkan lagi mengenai konstitusionalitas dari Pengadilan Pajak (Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak). Akan tetapi yang harus
diperhatikan adalah bagaimana agar sistem pembinaan “dua atap” yang selama ini
dianut oleh Pengadilan Pajak sebagaimana termuat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dapat beralih menjadi
sistem pembinaan “satu atap” sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor
35 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juncto Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu
dimana seluruh pembinaan baik pembinaan teknis, yudisial, organisasi, administrasi
maupun keuangan peradilan-peradilan menjadi berada di bawah kewenangan dan
kekuasaan Mahkamah Agung.
3. Contoh Kasus Putusan Pengadilan Pajak
Putusan Pengadilan Pajak atas perkara permohonan banding Nomor :
Put.0552/PP/A/MV/16/2002 tanggal 27 September 2002 juncto Putusan Peninjauan
Kembali (PK) Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 35/B/PK/PJK/2003
tanggal 2 Juni 2004, sebagai berikut :
PARA PIHAK
1. Pemohon Banding : PT. BINTANG KARTIKA MAKMUR
Alamat : Menara Batavia Lt.15 KH. Mas Mansyur Kav.126 Jakarta.
NPWP : 01.397.980.2-022.000
Jenis Usaha : Jasa Kontraktor
2. Termohon Banding : DIREKTUR JENDERAL PAJAK
Alamat : Jalan. Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42 Jakarta
26
Objek Gugatan : SK No. KEP-203/WPJ.05/BD-0402/2001 tanggal 19
Nopember 2001 juncto SKP KB Pajak Pertambahan Nilai No.
00124/207/95/022/00 tanggal 18 September 2000.
KASUS POSISI
Bahwa PT. Bintang Kartika Makmur (PT.BKM) adalah Kontraktor yang
ditunjuk oleh A.P.Moller, yaitu suatu perusahaan pelayaran internasional yang
didirikan menurut hukum Denmark dan berkedudukan di Kopenhagen Denmark.
Merk dagang yang digunakan oleh A.P.Moller adalah MAERSK SEALAND, untuk
menjalankan kegiatan tertentu di Indonesia dan memberikan jasa kepada A.P.Moller
dalam kaitan dengan pelayaran internasional.
Adapun jenis jasa yang dilakukan oleh PT. BKM hanya meliputi jasa
pengaturan, pengurusan dan pengawasan kargo serta pengurusan dokumen-dokumen
yang diperlukan (“handling agent”), dan juga sebagai agen yang menerima
pembayaran yang menjadi hak A.P.Moller (“collecting agent”) dan juga bertindak
sebagai “paying agent” untuk pembayaran kepada pihak ketiga dalam kaitannya
dengan pelayaran internasional. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perjanjian
antara A.P.Moller dengan PT. BKM mengenai jasa yang diberikan dan dilakukan oleh
PT. BKM kepada A.P.Moller.
Bahwa PT. BKM tidak mensubkontrakan pekerjaannya kepada perusahaan
pihak ketiga, seperti Perum Pelabuhan dan Perusahaan Depo Kontainer. Hal ini dapat
dibuktikan bahwa semua tagihan dari pihak ketiga yaitu Perum Pelabuhan dan
Perusahaan Depo Kontainer ditujukan kepada A.P.Moller (Maersk Sealand), dimana
Maersk Sealand adalah merk dagang dari A.P.Moller.
Bahwa PT.BKM menerima penghasilan berupa fee dan komisi langsung dari
A.P.Moller berupa prosentase tetap dari nilai bersih biaya angkut kargo yang
berkaitan dengan kegiatan tambahan atas angkutan barang ekspor maupun impor oleh
A.P.Moller.
Bahwa berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda antara Pemerintah
Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Denmark tahun 1986, antara lain
diatur secara khusus bahwa penghasilan dari usaha pelayaran dalam lalu lintas
internasional akan dikenakan pajak di negara asal/domisili.
Bahwa menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 juncto Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1994, Pasal 4 huruf e, disebutkan bahwa objek Pajak Pertambahan
27
Nilai (PPN) adalah “pemanfaatan atas jasa kena pajak dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean”.
Dengan kata lain, jika terjadi sebaliknya yaitu apabila terdapat pemanfaatan jasa
kena pajak dari dalam daerah pabean di luar pabean. Maka atas pemberian jasa
tersebut bukan merupakan objek Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), karena di luar ruang lingkup Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1994 tentang PPN. Dengan demikian PT. BKM bukan pengusaha
kena pajak (PKP) atas penghasilan tersebut, dan berdasarkan hal tersebut seharusnya
PT. BKM dikenakan PPN yang terutang adalah Nihil sebagaimana koreksi yang telah
disampaikan PT. BKM kepada tergugat.
Berdasarkan dasar dan uraian Penggugat dalam permohonan bandingnya,
selanjutnya penggugat mohon agar Pengadilan Pajak membatalkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar PPN untuk masa pajak Januari 1995 - Desember 1995.
PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN
Surat banding dari Pemohon Banding telah disampaikan kepada Terbanding,
dan selanjutnya Terbanding telah menyampaikan surat uraian banding ke Pengadilan
Pajak. Atas surat uraian banding dari Terbanding telah pula dikirimkan kepada
Pemohon Banding, dan selanjutnya Pemohon Banding telah menyerahkan surat
bantahannya. Pemeriksaan dilakukan dengan acara biasa oleh Majelis Hakim
Pengadilan Pajak. Pihak Terbanding dan juga Pemohon Banding di persidangan telah
menyampaikan penjelasan dan didengar keterangannya oleh Majelis Hakim.
PUTUSAN HAKIM PENGADILAN PAJAK
Setelah melalui pemeriksaan, Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah
memberikan putusan dengan pertimbangan hukum yang pada pokoknya, menolak
dalil-dalil dari Pemohon Banding dan membenarkan tindakan Terbanding yang telah
mengeluarkan SK No.KEP-203/WPJ.05/BD-0402/2001 tanggal 19 Nopember 2001
yang telahmenguatkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKP KB) Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) No.00124/207/95/022/00 tanggal 18 September 2000.
Selanjutnya Majelis Hakim Pengadilan Pajak mengambil putusan yang amarnya
berbunyi “Menolak Permohonan banding Pemohon Banding dan tetap
mempertahankan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
Kep-203/WPJ.05/BD.0402/2001 tanggal 19 Nopember 2001 mengenai Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN masa pajak Januari s/d Desember 1995 Nomor
28
00124/207/95/022/00 tanggal 18 Desember 2000, atas nama PT.Bintang Kartika
Makmur, NPWP 01.397.980-022.000. dengan alamat Menara Batavia Lt.15, Jl
KH.Mas Mansyur Kav. 126 Jakarta.
PERTIMBANGAN HUKUM DAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI
Atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, Pemohon Banding telah mengajukan
upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Alasan yang digunakan oleh Pemohon Banding/Pemohon PK adalah bahwa
Pengadilan Pajak dalam putusannya telah nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana yang diatur dalam Pasal
91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak.
Setelah melakukan pemeriksaan berkas perkara, selanjutnya Majelis Hakim
Agung yang memeriksa perkara dalam tingkat Peninjauan Kembali telah mengambil
putusan dengan pertimbangan hukum antara lain sebagai berikut :
1. Bahwa secara formal PK dapat diterima, karena permohonan PK diajukan
melalui Pengadilan Pajak masih dalam tenggang waktu 90 (sembilanpuluh) hari
sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung RI No.03 Tahun
2002.
2. Bahwa keberatan-keberatan yang diajukan Pemohon PK dalam memori/risalah
PK dapat dibenarkan oleh Majelis Hakim Agung, putusan judex factie nyata-
nyata tidak sesuai dengan ketentuan- ketenuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
- Bahwa Pemohon PK bukan Perusahaan Kena Pajak (PKP), karena
berdasarkan surat Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Selatan Satu,
tanggal 16 Oktober 1989 No.S-466.KPJ.03/KI.1606/1989 tentang
Pengukuhan Pengusaha menjadi Pengusaha Kena Pajak dengan Nomor
Pengukuhan KEP-3043 PKP/WPJ.03/KI.1612/1989 atas nama
Pemohon PK, telah dinyatakan dicabut dan Pemohon PK baru
memiliki Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) lagi
pada tanggal 27 Januari 2000, yaitu pada saat dilakukan pemeriksaan.
Sehingga dalam masa 16 Oktober 1989 sampai tanggal 27 Januari
2000 Pemohon PK tidak memiliki salah satu syarat untuk melakukan
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).
29
- Bahwa objek pajak bukan merupakan jasa yang dapat dikenakan pajak,
karena Pemohon PK adalah sub-kontraktor dari A.P.Moller suatu
perusahaan internasional yang berkedudukan di Denmark dengan merk
dagang Maersk Sealand yang secara langsung tidak dapat beroperasi di
Indonesia.
- Bahwa disamping itu pajak yang dapat dikenakan terhadap yang
mengandung unsur asing baik objeknya maupun subjeknya, in
casu objek pajak yang berada di dalam negeri milik objek pajak asing,
berada dalam lingkup Hukum Pajak Internasional. Dan menghindarkan
Pajak Ganda Internasional antara lain dilakukan antara Indonesia
dengan Kerajaan Denmark dengan telah ditanda tanganinya
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, yang oleh Pasal 8 dari
Persetujuan a quo ditentukan bahwa “penghasilan dari usaha pelayaran
dalam lalu lintas internasional dikenakan pajak dinegara asal domisili”,
sehingga penghasilan A.P.Moller yang diterima melalui Pemohon PK,
hanya dikenakan pajak di Denmark. Karena itu uang jasa yang
ditandatangani Pemohon PK untuk kepentingan A.P.Moller bukan
merupakan objek pajak di Indonesia.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, terbukti bahwa Pemohon PK bukan
Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas jasa yang diserahkan kepada A.P.Moller di
Denmark. Dengan demikian Majelis Hakim Agung berpendapat cukup alasan
untuk mengabulkan permohonan PK yang diajukan PT. BKM dan membatalkan
putusan Pengadilan Pajak tanggal 27 September 2002
No.PUT.0552/PP/A/MV/16/2002, dan Mahkamah Agung mengadili sendiri
dengan amar putusan, sebagai berikut:
1). Membatalkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tanggal 19 Nopember
2001 No.KEP-203/WPJ.05/BD-0402/2001 juncto SKP KB PPN
No.00124/207/95/022/00 tanggal 18 September 2000 yang diterbitkan
Kantor Pelayan Pajak (KPP) Jakarta Tanah Abang dengan pajak terhutang
menjadi NIHIL.
2). Menghukum Terbanding/Termohon Kasasi untuk mengembalikan
pembayaran pajak yang telah dibayar lunas sesuai dengan SKP KB
No.00124/207/95/022/00 tanggal 18 September 2000 sejumlah
30
Rp.3.108.254.856,00 ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
setiap bulannya untuk paling lambat 24 (duapuluh empat) bulan
berdasarkan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak.
3). Menetapkan status PT. BINTANG KARTIKA MAKMUR (Pemohon
Banidng/Pemohon PK) adalah bukan Pengusaha Kena Pajak karena
pengukuhan PKP yang dilakukan oleh Kepala KPP Jakarta Tanah Abang
dilakukan secara jabatan.
4). Membebankan biaya perkara ini dalam semua tingkat peradilan kepada
negara.
Untuk menggali lebih jauh uraian pada bagian sebelumnya, dan untuk menjawab
pertanyaan tentang Penyelesaian Sengketa Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak di Pengadilan Pajak perlu dijabarkan
terlebih dahulu pada bagian ini secara komprehensif tentang efektifitas mekanisme
penyelesaian sengketa pajak dan eksistensi dari Pengadilan Pajak itu sendiri, yaitu :
1). Penerapan sistem pemeriksaan vertikal (berjenjang), sebagai implementasi
kekuasaan kehakiman di Indonesia yang berpuncak pada Mahkamah Agung.
2). Penerapan asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana
yang secara imperatif terkandung dalam Undang- Undang Nomor 4 tahun 2004
pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman
3). Penerapan kaidah-kaidah Hukum Administrasi Negara, karena secara kategoris
Hukum Pajak masuk kedalam lingkup Hukum Administrasi Negara
4). Dikandungnya prinsip keadilan dan kepastian hukum
Berdasarkan contoh kasus diatas dapat dibuktikan adanya unsur penerapan
Hukum Publik terhadap persoalan atau sengketa yang diajukan. Karena sengketa
pajak merupakan sengketa dalam lingkup Hukum Pajak, dan secara kategoris Hukum
Pajak masuk dalam lingkup Hukum Publik, dalam hal ini Hukum Administrasi
Negara. Penyelesaian sengketa dilakukan oleh Aparatur Peradilan ( para Hakim) yang
oleh Undang-Undang diberi wewenang menyelesaikan sengketa pajak. Sehingga
memenuhi unsur adanya aparatur peradilan yang berwenang memutus perselisihan.
Dalam hal pemeriksaan sengketa di Pengadilan Pajak karena karakteristik sengketa
pajak merupakan sengketa dalam lingkup Hukum Administrasi Negara maka dalam
31
pemeriksaan atas sengketa pajak berlaku dan diterapkan kaidah-kaidah Hukum
Administrasi Negara. Pengadilan Pajak menerapkan pemeriksaan ulang vertical
(berjenjang). Karena pemeriksaan di Pengadilan Pajak, pemeriksaan selanjutnya
hanya dapat dimohonkan melalui mekanisme upaya hukum luar biasa berupa
Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan sifat dari
putusan Pengadilan Pajak adalah putusan yang final (putusan akhir) dan langsung
mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 77
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.40
sementara itu dalam Pasal 77 ayat (3) nya disebutkan hanya ada upaya hukum ke
Mahkamah Agung.41 Ketentuan hanya diberlakukannya pemeriksaan (upaya hukum
PK) ke Mahakamah Agung atas putusan Pengadilan Pajak bertujuan untuk
mempersingkat pemeriksaan ulang vertikal. Memperbanyak pemeriksaan ulang
vertikal akan mengakibatkan potensi pengulangan pemeriksaan menyeluruh. Hal ini
tidak sejalan dengan fungsi pajak yang memegang peran penting dan strategis dalam
penerimaan Negara, sehingga apabila terjadi sengketa pajak diperlukan
penyelesaiannya dengan jenjang pemriksaan ulang vertikal yang lebih ringkas.
Alasan mendasar lainnya adalah melalui mekanisme PK, Mahkamah Agung
berwenang melakukan pemeriksaan sengketa pajak baik secara judex juris maupun
judex factie. Artinya pada PK Mahkamah Agung dapat melakukan pemeriksaan atau
pengujian. Hal ini tidak mungkin tercapai melalui pemeriksaan kasasi karena dalam
pemeriksaan kasasi Mahkamah Agung hanya berwenang menguji sengketa pajak
secara judex juris.
Pengadilan Pajak yang ada saat ini secara historis merupakan penyempurnaan
dari institusi Pengadilan Pajak yang ada sebelumnya yaitu BPSP. Untuk mengatasi
kekurangan dan kelemahan BPSP, khususnya penerapan sistem Kekuasaan
Kehakiman dengan pemeriksaan ulang berjenjang ke Mahkamah Agung, maka dalam
Pengadilan Pajak diberlakukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah
Agung.
Menurut Penulis, berdasarkan hasil penelitian dan mencermati alasan-alasan PK
dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 91,
40 Putusan Pengadilan Pajak “merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap”.41 “Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung”.
32
sebenarnya ada perbedaan dengan alasan-alasan PK yang diatur dalam Pasal 67
Undang-Undang Mahkamah Agung.
Alasan-alasan sebagai syarat permohonan PK menurut Pasal 67 Undang-
Undang Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-
bukti yang kemudian oleh Hakim Pidana dinyatakan palsu.
b. Apabila setelah perkaranya diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut.
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya.
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas
dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah
diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
Sementara itu dalam Pasal 91 Undang-Undang Pengadilan Pajak disebutkan
alasan-alasan permohonan PK, yaitu :
a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
pada bukti-bukti yang kemudian oleh Hakim Pidana dinyatakan palsu
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan yang
apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan
menghasilkan putusan yang berbeda
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang
dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya, atau
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
33
Adanya alasan pada huruf e diatas merupakan alasan yang membedakan antara
Pengadilan Pajak dengan pengadilan lainnya dalam hal pengajuan permohonan PK.
Alasan PK dalam Pasal 91 huruf e menurut penulis merupakan alasan yang
sebenarnya secara tidak langsung telah memberikan hak kepada semua Wajib Pajak
yang merasa keberatan dengan putusan Pengadilan Pajak untuk dapat menempuh
upaya hukum. Karena alasan tersebut, yang dapat diinterpretasikan bahwa putusan
pengadilan tersebut dianggap tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang sebenarnya,
merupakan alasan yang sangat fleksibel untuk dapat dijadikan dasar bahwa putusan
tersebut harus dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, dalam hal ini melalui
putusan PK oleh Mahkamah Agung. Atas dasar hal ini, upaya hukum PK ke
Mahkamh Agung adalah dapat dikatakan sebagai wujud diterapkannya sistem
pemeriksaan ulang vertikal. Seperti pada contoh kasus diatas yang dijadikan dasar dan
alasan PK adalah ketentuan dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan
Pajak. dari contoh kasus tersebut dapat dilihat bahwa faktanya Majelis Hakim PK
pada Mahkamah Agung sebelum memberikan putusannya terlebih dahulu telah
melakukan pengujian.
Tujuan lain di samping tujuan yang telah disebutkan di atas, adanya upaya
hukum hanya PK ke Mahkamah Agung, juga dimaksudkan agar adanya pemeriksaan
sengketa pajak yang mencerminkan asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya
ringan. Asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan disini diwujudkan
dengan ditetapkannya putusan Pengadilan Pajak sebagai putusan akhir dan final yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dan terhadap putusan tersebut hanya dapat
dilakukan upaya hukum PK ke Mahkamah Agung. Artinya waktu yang dibutuhkan
dalam pemeriksaan sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak seminimal mungkin,
termasuk pembatasan upaya hukum didalamnya. Namun apabila ditelusuri ketentuan
tentang syarat pengajuan banding, proses persiapan persidangan dan pemeriksaan di
persidangan pada Pengadilan Pajak, maka akan menjadi kontradiksi dengan
penerapan asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan.
Kontradiksi ini dilihat dari kesimpulan bahwa maksimal waktu yang dibutuhkan
dari mulai masuknya permohonan perkara banding adalah 18 (delapanbelas) bulan.
Hal ini dihitung dari waktu maksimal pengajuan banding selama 3 (tiga) bulan sejak
tanggal diterimanya surat keputusan yang dimohonkan banding, ditambah 15
(limabelas) bulan waktu maksimal yang diberikan kepada hakim untu menjatuhkan
34
putusan. Waktu 18 (delapan belas) bulan ini hanya pada pemeriksaan di Pengadilan
Pajak.
Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan PK ke Mahkamah Agung dapat
dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan. Seperti halnya dari contoh kasus
pemeriksaan sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak diatas, dari tanggal putusan
Pengadilan Pajak, yaitu tanggal 27 September 2002, sampai putusan PK Mahkamah
Agung tanggal 2 juni 2004, memakan waktu hampir 2 (dua) tahun. Sudah barang
tentu jangka waktu tersebut sangat lama dan tidak sesuai dengan tujuan dibentuknya
Pengadilan Pajak, dimana Peradilan Pajak bertujuan untuk menyelesaikan sengketa
pajak dengan cepat dan mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum.
Indikator tidak konsistennya Pengadilan Pajak menerapkan asas tersebut,
khususnya asas biaya ringan juga dapat dilihat dari persyaratan keharusan membayar
50% (limapuluh persen) dari jumlah pajak terutang dalam hal permohonan banding.
Seperti pada contoh kasus diatas, dimana PT. Bintang Kartika Makmur (BKM) selaku
pemohon banding pada saat memasukan permohonan bandingnya telah terlebih
dahulu membayar 50% (limapuluh persen) dari jumlah tagihan pajaknya sebesar
Rp.3.108.254.856,00 (tigamilyar seratus delapan juta duaratus limapuluh empat ribu
delapanratus limapuluh enam rupiah) dan pada saat permohonan PK ke Mahkamah
Agung jumlah pajak terutang tersebut sudah dilunasi, hal ini dikarenakan putusan
Pengadilan Pajak adalah sebagai putusan yang bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap. Ketentuan tentang keharusan membayar 50% (limapuluh persen) dan
harus dilunasi apabila permohonan bandingnya ditolak oleh Pengadilan Pajak
tersebut, disamping tidak mencerminkan penerapan asas biaya ringan, juga oleh
banyak kalangan ketentuan tersebut dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan
masyarakat wajib pajak.
Penyelesaian sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak diatur dalam Bab IV
Pasal 34 s/d Pasal 92 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 termasuk pengaturan
tentang upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Terhadap satu
putusan diajukan satu surat gugatan atau satu surat banding. Pengadilan Pajak yang
ada saat ini secara historis merupakan penyempurnaan dari institusi Pengadilan Pajak
yang ada sebelumnya yaitu BPSP. Untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan
BPSP, khususnya penerapan sistem Kekuasaan Kehakiman dengan pemeriksaan
ulang berjenjang ke Mahkamah Agung, maka dalam Pengadilan Pajak diberlakukan
35
upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Pengadilan Pajak
menerapkan pemeriksaan ulang vertikal (berjenjang). Karena pemeriksaan di
Pengadilan Pajak, pemeriksaan selanjutnya hanya dapat dimohonkan melalui
mekanisme upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah
Agung. Hal ini dikarenakan sifat dari putusan Pengadilan Pajak adalah putusan yang
final (putusan akhir) dan langsung mempunyai kekuatan hukum tetap. adanya upaya
hukum hanya PK ke Mahkamah Agung, juga dimaksudkan agar adanya pemeriksaan
sengketa pajak yang mencerminkan asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya
ringan. Asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan disini diwujudkan
dengan ditetapkannya putusan Pengadilan Pajak sebagai putusan akhir dan final yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dan terhadap putusan tersebut hanya dapat
dilakukan upaya hukum PK ke Mahkamah Agung. Artinya waktu yang dibutuhkan
dalam pemeriksaan sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak seminimal mungkin,
termasuk pembatasan upaya hukum didalamnya. Namun apabila ditelusuri ketentuan
tentang syarat pengajuan banding, proses persiapan persidangan dan pemeriksaan di
persidangan pada Pengadilan Pajak, maka akan menjadi kontradiksi dengan
penerapan asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan.
Kendala yang timbul dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak ini
terdiri dari kendala di bidang administratif dan bidang yudisial. Kewajiban wajib
pajak untuk membayar 50% (lima puluh persen) dari pajak terutang dirasa sangat
memberatkan si wajib pajak. Hal tersebut dianggap melanggar asas praduga tak
bersalah. Mengenai kewajiban hakim untuk menghadirkan penggugat atau pemohon
banding merupakan kendala di bidang yudisial. Dengan tidak hadirnya penggugat
atau pemohon banding di persidangan menjadikan penggugat atau pemohon banding
tidak bisa membela diri mereka secara maksimal, sehingga lahirnya suatu putusan dari
Pengadilan Pajak terkadang tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh penggugat
atau pemohon banding.
Proses usulan revisi mengenai Pasal pengaturan pembayaran 50% (lima puluh
persen) pajak terutang oleh si Wajib Pajak merupakan upaya yang dilakukan untuk
mengatasi kendala yang timbul dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan
Pajak di samping peningkatan Sumber Daya Manusia terutama di bidang pendidikan
yang terlibat langsung dalam kegiatan di Pengadilan Pajak.
36
4. Kendala Dalam Penyelesaian Pajak Pada Pengadilan Pajak
Kendala-kendala yang timbul dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan
Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Bidang administratif
Adanya keharusan membayar 50% (limapuluh persen) dari jumlah pajak yang
terutang. Persyaratan keharusan membayar 50% (limapuluh persen) dari jumlah
pajak terutang dari Wajib Pajak, sebelum mengajukan permohonan banding,
telah melanggar asas praduga tak bersalah. Tujuan Wajib Pajak mengajukan
permohonan banding ke Pengadilan Pajak pada hakikatnya karena menolak
penetapan pajak dari fiskus dan menolak keputusan keberatan yang diajukan
DirJend Pajak. Oleh Wajib Pajak, DirJend Pajak dianggap telah bersalah dan
melanggar ketentuan hukum yang berlaku dalam mengambil keputusan dan
menentukan jumlah pajak terutang, oleh karenanya Wajib Pajak memohon agar
pengadilan mengeluarkan putusan agar membatalkan keputusan dari DirJend
Pajak dimaksud.42
Namun dengan adanya ketentuan keharusan membayar terlebih dahulu ½
(setengah) dari kewajiban Wajib Pajak, berarti Wajib Pajak dianggap telah
bersalah. Secara a contrarium DirJend Pajak dianggap telah benar dan tidak
melanggar ketentuan hukum dalam mengambil keputusan menentukan jumlah
pajak terutang. Ketentuan ini pun telah melanggar asas keadilan dan HAM
karena hak Wajib Pajak untuk memperoleh keadilan melalui institusi Pengadilan
Pajak telah di kebiri dengan adanya kewajiban melaksanakan terlebih dahulu
keputusan tersebut, walaupun hanya sebagian. Pada hal keputusan tersebut
belum atau akan diuji kebenarannya oleh hakim di pengadilan, artinya ada
kemungkinan keputusan tersebut bertentangan dengan peraturan hukum dan
harus dibatalkan.
2). Bidang yudisial
Yaitu mengenai kewajiban Hakim untuk menghadirkan pihak terbanding atau
tergugat dalam pemeriksaan dipersidangan. Berdasarkan Pasal 46 Undang-
Undang Pengadilan Pajak disebutkan “bahwa pemohon banding atau penggugat
dapat memberitahukan kepada Ketua untuk hadir dalam persiapan untuk
memberikan keterangan lisan”. Kata-kata “dapat” mengandung arti bahwa tidak
42 http://www.klikpajak.com diakses tanggal 18 Maret 2013, jam:15:30 WIB.
37
ada kewajiban hakim untuk menghadirkannya dipersidangan. Dengan demikian
pemohon banding atau penggugat tidak mutlak mempunyai hak untuk hadir
dipersidangan, karena dengan kata-kata dapat tersebut keputusan untuk bisa
hadir atau tidak pemohon banding atau penggugat dipersidangan ditentukan oleh
Hakim, berdasarkan perlu atau tidaknya pemohon banding atau penggugat
dimintakan keterangannya dipersidangan.
Hal ini berarti telah melanggar hak Wajib Pajak selaku pemohon banding atau
penggugat untuk membela kepentingannya semaksimal mungkin dengan
menyampaikan pendapatnya secara lisan dipersidangan. Kendala di bidang
yudisial lainnya adalah tidak adanya kesempatan untuk menempuh upaya
hukum biasa bagi para pihak yang bersengketa, dan hanya ada upaya hukum
luar biasa berupa PK ke Mahkamah Agung. Hal ini dianggap telah melanggar
hak untuk memperoleh keadilan dengan cara mengajukan pemeriksaan ulang
vertikal kepada institusi pengadilan yang lebih tinggi sesuai dengan sistem yang
secara umum berlaku.
Adanya upaya hukum PK ke Mahkamah Agung memang diakui sebagai suatu
peningkatan dibandingkan dengan saat badan peradilan pajak bernama BPSP,
yang sama sekali tidak memberi peluang untuk menempuh upaya hukum.
Namun hal ini tidak berarti sepenuhnya dapat diterima oleh Wajib Pajak sebagai
pihak pencari keadilan.
Karena ketentuan PK di samping dibatasi oleh persyaratanpersyaratan (Pasal 91
Undang-Undang Pengadilan Pajak) juga permohonan PK oleh Wajib Pajak
sebagai pemohon banding atau penggugat baru dapat dilakukan setelah seluruh
hutang pajaknya dilunasi. Karena prinsip bahwa putusan Pengadilan Pajak
merupakan putusan yang final dan mempunyai kekuatan hukum tetap, serta asas
bahwa permohonan PK tidak menghentikan atau menangguhkan pelaksanaan
putusan, mengharuskan Wajib Pajak membayar lunas seluruh utang pajaknya
sebelum mengajukan PK. Hal ini sudah barang tentu sangat memberatkan bagi
Wajib Pajak dan sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa
keharusan membayar lunas utang pajak sebelum pengajuan PK telah melanggar
asas keadilan.
Walaupun ada ketentuan yang mengatur untuk memberikan kompensasi imbalan
bunga 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (duapuluh empat) bulan,
38
apabila ternyata putusan pengadilan mengabulkan permohonan pemohon
banding (Pasal 87 Undang- Undang Pengadilan Pajak), namun ketentuan adanya
pemberian kompensasi ini masih tidak seimbang dengan beban pemohon
banding yang harus membayar pajaknya sementara perkara masih berjalan.
5. Upaya Untuk Mengatasi Kendala Yang Timbul Dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak Di Pengadilan Pajak
Apabila ditinjau dari latar belakang lahirnya Pengadilan Pajak maka untuk
mengatasi kendala yang timbul dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan
Pajak yaitu:
1). Pada saat ini sedang diproses usulan perubahan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 terutama tentang Pasal yang mewajibkan pembayaran 50%
(limapuluh persen) dari pajak terhutang. Terkait dengan hal tersebut dengan
adanya usulan revisi mengenai penghapusan kewajiban pembayaran 50%
(limapuluh persen) dari pajak terutang akan dapat mewujudkan asas sederhana,
cepat dan biaya ringan, dan fungsi Pengadilan Pajak sebagai institusi yang
berwenang dalam mengurusi masalah sengketa pajak dapat menjadi lebih
efektif.
2). Dilakukannya usulan untuk revisi terhadap Pasal yang mengatur tentang
kehadiran pihak terbanding dan tergugat, pemeriksaan di persidangan serta Pasal
mengenai pengaturan pemberian bunga 2% (dua persen) setiap bulan atas
kelebihan pembayaran pajak apabila permohonan banding Wajib Pajak
dikabulkan. Sehingga pasal mengenai kedua hal tersebut cukup diatur dalam
Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan dan bukan diatur dalam Undang-
Undang Pengadilan Pajak.
3). Selain usaha untuk mengatasi kendala yang timbul di atas para pihak Pengadilan
Pajak pada saat ini melakukan peningkatan pendidikan baik terhadap para
Hakim maupun pihak administrasi di Pengadilan Pajak hal ini bertujuan agar
semua pihak yang terkait dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Pajak
dapat lebih memahami aturan-aturan yang telah ada dan dapat memiliki
persamaan persepsi dalam menginterpretasikan aturan yang telah ada.
39
F. Penutup
1. Kesimpulan
Pengadilan Pajak yang ada saat ini secara historis merupakan penyempurnaan
dari institusi Pengadilan Pajak yang ada sebelumnya yaitu BPSP. Untuk mengatasi
kekurangan dan kelemahan BPSP, khususnya penerapan sistem Kekuasaan
Kehakiman dengan pemeriksaan ulang berjenjang ke Mahkamah Agung, maka dalam
Pengadilan Pajak diberlakukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah
Agung. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus yang termasuk dalam
peradilan TUN, oleh karenanya Pengadilan Pajak tidak berdiri sendiri melainkan
menjadi bagian dalam peradilan TUN dan secara hukum konstitusional.
Sifat dari putusan Pengadilan Pajak adalah putusan yang final (putusan akhir)
dan langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya upaya hukum hanya PK
ke Mahkamah Agung, juga dimaksudkan agar adanya pemeriksaan sengketa pajak
yang mencerminkan asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan. Kendala
yang timbul dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak ini terdiri dari
kendala di bidang administratif dan bidang yudisial. Kewajiban wajib pajak untuk
membayar 50% (lima puluh persen) dari pajak terutang dirasa sangat memberatkan si
wajib pajak. Hal tersebut dianggap melanggar asas praduga tak bersalah. Mengenai
kewajiban hakim untuk menghadirkan penggugat atau pemohon banding merupakan
kendala di bidang yudisial. Dengan tidak hadirnya penggugat atau pemohon banding
di persidangan menjadikan penggugat atau pemohon banding tidak bisa membela diri
mereka secara maksimal, sehingga lahirnya suatu putusan dari Pengadilan Pajak
terkadang tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh penggugat atau pemohon
banding. Proses usulan revisi mengenai Pasal pengaturan pembayaran 50% (lima
puluh persen) pajak terutang oleh si Wajib Pajak merupakan upaya yang dilakukan
untuk mengatasi kendala yang timbul dalam penyelesaian sengketa pajak di
Pengadilan Pajak di samping peningkatan Sumber Daya Manusia terutama di bidang
pendidikan yang terlibat langsung dalam kegiatan di Pengadilan Pajak.
2. Saran
Oleh karena penerapan asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan
belum sepenuhnya terlaksana maka diharapkan ke depan kinerja Pengadilan Pajak
lebih ditingkatkan dengan menyempurnakan, tata tertib dan teknik pemeriksaan
sengketa pajak. Mengenai revisi pasal-pasal yang mengatur tentang kewajiban
40
membayar 50% (limapuluh persen ) agar dapat dilaksanakan secepatnya dengan
mengakomodir penerapan asas keadilan, asas kepastian hukum dan perlindungan
HAM serta asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sehingga keadilan
di bidang perpajakan akan dapat dirasakan oleh Wajib Pajak sesuai kebutuhannya.
Tentang kehadiran pemohon banding dan penggugat sebaiknya dijadikan sebagai
suatu tugas yang merupakan hal wajib bagi para hakim agar para pencari keadilan di
bidang perpajakan dapat membela diri mereka secara langsung. Peningkatan Sumber
Daya Manusia (SDM) di bidang pendidikan yang ada di Pengadilan Pajak sebaiknya
dilakukan secara berkelanjutan sehingga para SDM yang terkait dengan Pengadilan
Pajak dapat menyadari posisi dan perannya masing-masing.
41
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.
Ahmad Ali. Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.
Azhari. Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-
unsurnya, UI-Press, Jakarta, 1995.
Bagir Manan & Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
edisi revisi, Bandung: PT Alumni, 1997.
Bernard L.Tanya, Yoan N.Simanjuntak dan Markus Y Hage. Teori Hukum; Strategi
Tertib Manusia LIntas Ruang dan Generasi, Surabaya: CV Kita, 2006.
Boy Nurdin, Kedudukan dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum di Indonesia,
Bandung: PT Alumni, 2012.
C.S.T Kansil & Christine S.T.Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta , Bumi
akasara, 2002.
Enoch Stumpf Samuel. Philosophy;History & Problem. London, Mc Graw Hill
Inc,1990.
FX.Adji Samekto, Justice Not For All, Yogyakarta: Denta Press, 2008.
Gadjong, Agussalim Andi. Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Cet I,
Ghalia Indonesia, Bogor, 2007.
H. Priyono. Teori Kedailan John Rawls, dalam; Tim Redaksi Driyakarya Ed.1
Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. Jakarta. Gramedia, 1993.
Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, Jakarta, Rineka Cipta, 1997.
Jimly Assiddiqie, Kontitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.
__________, Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: PT Buana Ilmu
Populer, 2009.
J Schmandt Henry, Filsafat Politik, terjemahan Ahmad Baidlowi & Imam Bahehaqi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Mochtar Kusumaatmadja & B.Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: PT
Alumni, Bandung, 2002.
42
Montesquieu, The spirit of laws, University of California press, 1977,diterjemahkan
oleh M.Khoiril Anam, Bandung: Nusamedia, 2007.
Morison, Hukum Tata Negara RI Era Reformasi , Jakarta: Ramdina Prakarsa, 2005.
Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian
Sengketa, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007.
Muhammad Rusjdi, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Edisi Keempat,
Jakarta : PT. Indeks, 2007.
Rawls John, A Theory of Justice, Revised Edition. Offord, Oxford University Press,
1999.
Rouse WHD, The Complete Texts of Great Dialugue of Plato, New York, New York
American Library, 1970.
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, catatan Kritis tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum, Jakarta, Kompas, 2007.
Scheltama M, “De Rechtsstaat” dalam J.W.M Engels,et.all, De Recsstaat Herdacht,
W.E.J. Tjeaenk Willink-Zwole, 1989.
Sekretariat Pengadilan Pajak, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Buku Saku
Untuk Memahami Prosedur Dalam Pengadilan Pajak, Cetakan Kedua, 2008.
Soerjono Soekanto. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta:
Rajawali,1985.
Sony Devano, & Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan, Konsep, Teori dan Isu, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006.
Sri Y. Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pajak, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Umum, 2009.
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung: PT alumni, 1973.
Makalah, Internet dll
Padmo Wahyono, “Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia”, makalah
September,1988.
Widayatno Sastrohardjono & TB. Eddy Mangkuprawira, dalam Makalah “Prosedur
Beracara Dalam Pengajuan Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak”,
Jakarta, 2002.
43
Winarto Suhendro, Makalah“Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Khusus Di
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara”.
http://www. kanwilpajakkhusus.depkeu.go.id.
http://www.hukumonline.com.
http://www.klikpajak.com.
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah
Agung
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan
Pajak
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan
Militer
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
44
45