lembaga pengawasan sistem peradilan terpadu

Upload: golok-pembunuh-sapi

Post on 12-Jul-2015

371 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

BAB I. PENDAHULUANA. LATAR BELAKANG Akhir -akhir ini proses penegakan hukum sebagai suatu wacana dalam masyarakat kembali menjadi topik yang sangat hangat dibicarakan. Berbagai komentar dan pendapat baik yang berbentuk pandangan ataupun penilaian dari berbagai kalangan masyarakat selalu menghiasi media massa yang ada di negeri ini. Beberapa hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan dengan proses penegakan hukum tersebut adalah masalah tidak memuaskan atau bahkan bisa dikatakan buruknya kinerja sistem dan pelayanan peradilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum1, yang disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan dan kemampuan, atau bahkan kurangnya ketulusan dari mereka yang terlibat dalam sistem peradilan, baik hakim, pengacara, maupun masyarakat pencari keadilan, selain tentunya disebabkan karena adanya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam proses beracara di lembaga peradilan. Semua hal tersebut akhirnya melahirkan pesimisme masyarakat untuk tetap menyelesaikan sengketa melalui lembaga peradilan, sehingga yang terjadi adalah main hakim sendiri2. Sebagai suatu sistem, kinerja peradilan sekarang ini berada pada titik nadir yang sangat ekstrim. Berbagai keluhan baik dari masyarakat dan para pencari keadilan seolah -olah sudah tidak dapat lagi menjad i media kontrol bagi lembaga tersebut untuk selanjutnya melakukan berbagai perbaikan yang signifikan bagi terciptanya suatu sistem peradilan yang ideal dan sesuai dengan harapan masyarakat. Secara praktek, teori peradilan yang mempunyai asas sederhana, cepat, dan biaya ringan terlihat sudah sangat sulit untuk ditemukan dan diterapkan oleh lembaga dan aparat peradilan yang ada saat ini. Keadaan tersebut diperparah oleh lemahnya manajemen perkara di pengadilan, yang salah satunya dapat dilihat dari permohonan kasasi kasus praperadilan Ginandjar Kartasamita. Permohonan kasasi tersebut sempat tertunda selama lebih kurang enam bulan, karena

1 2

Suara Pembaharuan, 31 Maret 2002. Suara Pembaharuan, 23 September 2001

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 1 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

berkas perkara yang ada di dalam disket milik panitera terkena virus sehingga membutuhkan waktu enam bulan untuk mendapatkannya kembali 3. Kriteria buruknya pelayanan lembaga peradilan dapat dilihat dan diukur juga dari pelayanannya yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat sangat tidak optimal. Pelayanan yang tidak optimal tersebut diantaranya adalah, lambatnya proses penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap suatu kasus, banyaknya persyaratan administratif yang harus ditempuh saat pendaftaran perkara di pengadilan, banyaknya pungutan di luar biaya administrasi resmi4 dan banyaknya perkara kasasi yang menumpuk di Mahkamah Agung 5 sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini. DATA PERKARA KASASI DAN PENINJAUAN KEMBALI YANG MASUK DAN DIPUTUS MAHKAMAH AGUNG RI PERIODE 1997 2001

PERKARA MASUK NO 1 1 2 3 4 5 TAHUN 2 1997 1998 1999 2000 2001 Jumlah Kasasi 3 5.259 7.815 6.958 7.325 5.740 33.097 4 837 883 850 899 884 4.353 PK 5 6.096 8.698 7.808 8.244 6.624 37.470 Jumlah

PERKARA PUTUS Kasasi 6 5.884 7.723 9.780 6.594 4.208 34.189 7 1.063 1.792 969 297 404 4.525 PK Jumlah 8 6.947 9.515 10.749 6.891 4.612 43.239 KETERANGAN 9 Sisa 1996 Kasasi : 12.916 PK : 3.200 Perkara th

Jumlah :16.116 Perkara Th 2001 Jan Sep 2001

3

Kompas, 15 Januari 2002

4 Untuk pendaftaran perkara perdata di pengadilan seorang pencari keadilan harus membayar biaya pendaftaran perkara yang tidak bisa ditentukan secara tepat, walaupun dalam formulir telah tertera biaya resminya, namun untuk memperlicin maka dikenakan biaya tidak resmi yang bervariasi. (Laporan hasil pemantauan peradilan terhadap pola -pola korupsi pada proses beracara di peradilan umum). Hal ini diperkuat dengan pernyataan pengacara AI, untuk memperoleh putusan ia harus mengeluarkan biaya mencapai Rp.500.000 , padahal dalam salinan putusan tertulis Rp. 125.000, -. Lihat Kompas, 30 Nopember 2001) 5 Tumpukan perkara di Mahkamah Agung pada awal tahun 2001 adalah 11.892, perkara tersebut adalah perkara sisa dari penyelesaian perkara yang masuk di MA (laporan akhir tahun 2000 MA).

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 2 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 1997 1998 1999 2000 2001 Kasasi PK

Gbr. Diagram perkara Kasasi dan PK yang masuk di MA10000 8000 6000 Kasasi 4000 2000 0 1997 1998 1999 2000 2001 PK

Gbr. Diagram penyelesaian perkara Kasasi dan PK di MA berdasarkan data diatas tersebut dapat diketahui : Rata rata perkara yang masuk pertahun Perkara kasasi Perkara PK = 33.097 = 6.619 5 = 4353 = 5 Rata rata perkara yang putus pertahun adalah Perkara kasasi Perkara PK = 34.189 = 6837 5 = 4525 5 Proses perkara pengadilan yang dilalui mulai dari pendaftaran sampai keluar putusan terlalu berbelit -belit, tidak efisien dan mahal. Ditambah lagi dengan buruknya manajemen pembagian perkara serta penunjukan hakim untuk menangani perkara = 905 870

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 3 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

dianggap tidak proporsional dan acceptable. Selain itu prosedur penetapan putusan pengadilan juga dianggap tidak transparan oleh publik. Hal diatas menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan semakin menipis dari hari ke hari. Sedangkan di sisi lain, ada tuduhan bahwa lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman pada umumnya sudah tidak independen dan mandiri dalam menjalankan kinerja serta mengeluarkan putusan-putusannya. Campur tangan pihak eksekutif dalam proses peradilan menjadi salah satu indikasi ketidakmandirian lembaga peradilan terseb ut, keadaan demikian seperti yang terjadi pada masa pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid. Pada saat itu Presiden secara terbuka telah menyatakan penghentian proses hukum yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap tiga orang konglomerat. Dugaan atas penyimpangan tersebut diperkuat oleh Tap MPR No. VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Pada Sidang Tahunan dimana MPR berpendapat terjadinya penumpukan perkara adalah disebabkan karena kinerja Mahkamah Agung yang lamban, kecenderungan pengajuan proses hukum ke tingkat kasasi, penanganan perkara yang tidak profesional di Mahkamah Agung, masih terdapat indikasi KKN, dan pengaruh pihak -pihak lain di luar Mahkamah Agung. Atas dasar laporan tersebut, MPR dalam ketetapannya merekomendasikan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan pembenahan dalam rangka peningkatan kinerja untuk penegakkan hukum, antara lain: a. Mahkamah Agung perlu secara terus menerus meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi seluruh jajaran hakim di semua tingkatan agar integritas, moralitas, wawasan, profesionalisme, dan keterampilannya dapat mendukung pelaksanaan tugasnya; b. Mahkamah Agung perlu segera menyelesaikan tunggakan-tunggakan perkara dengan meningkatkan jumlah dan kualitas putusan; c. Mahkamah Agung perlu segera menerapkan asas-asas sistem peradilan terpadu (Integrated Judiciary System); d. Mahkamah Agung perlu membuat peraturan untuk membatasi masuknya perkara kasasi. ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 4 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Sistem peradilan terpadu sebagaimana yang terdapat dalam butir c, akhir-akhir ini memang telah mejadi wacana yang cukup hangat di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Salah satu sebabnya adalah diakibatkan oleh kesadaran publik yang semakin baik tentang peradilan, kemudian menjadikan suatu pemahaman yang lebih dalam bahwa proses peradilan dari awal sampai akhir merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah -pisahkan. Hal tersebut sebagaimana juga diutarakan dalam salah satu teori tentang peradilan terpadu itu sendiri, yaitu the collective institutions through which in accused offender passes until the accusations have been dispossed of or the assessed punishment concluded 6. Dalam hal ini dapatlah dinyatakan bahwa kesatuan dalam pelaksanaan sistem adalah bagian terbaik untuk mendapatkan hasil yang optimal bagi kepentingan semua unsur yang terkait dengan sistem. Namun dalam hal ini, sistem peradilan pidana terpadu bukanlah suatu sistem yang bekerja dalam satu unit kerja atau bagian yang menyatu secara harfiah melainkan adanya kombinasi yang serasi antar sub sistem untuk mencapai satu tujuan. Hal keterpaduan, sebagaimana yang dinyatakan Pillai the concept of an Integrated Criminal Justice System does not envisage the entire system working as one unit or department or as different section on one unified service. Rather, it might b said to work on the principle of unity in diversity e somewhat like that under which the armed forces function. Each of the three main armed services own its distinctive roles, its training schemes, its own personnel, and its own operational method7. B ertolak dari keadaan itu, maka sangatlah diperlukan suatu konsep atau teori yang menjabarkan tentang keterpaduan sistem peradilan tersebut. Untuk selanjutnya dijadikan sebagai landasan dalam dunia hukum kita pada saat berpraktek dalam proses peradilan , baik secara administrasi ataupun dalam hal manajemennya.Berkaitan dengan sistem peradilan terpadu tersebut, dalam hukum acara pidana sebenarnya telah lama menjadi suatu wacana yang sangat penting dan perlu terus dielaborasi untuk mendapatkan suatu

6 7

Bryan A Garner, Black Law Dictionary, St. Paul, Minn: West Group. P. 381.

NV Pillai, The Adminisstartion of Criminal Justice: Unity in Divesity, in Criminal Justice in Asia: the Quest for n Integrated Approach, Tokyo, UNAFEI, 1982.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 5 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

kondisi yang ideal. Muladi menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana, pemberantasan kejahatan, dan untuk mencapai kesejahteraan sosial8. Adapun yang menjadi fungsi yang seharusnya dijalankan oleh SPPT ini adalah9: a. Melindungi masyarakat melalui upaya penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, dan melakukan upaya inkapasiti terhadap orang yang merupakan ancaman terhadap masyarakat. b. Menegakkan dan memajukan the rule of law dan penghormatan pada hukum, dengan menjamin adanya due process of law dan perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa, dan terpidana, melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan. c. Menjaga hukum dan ketertiban. d. Menghukum pelaku kejahatan sesuai falsafah pemidanaan yang dianut. e. Membantu dan memberi nasihat pada korban kejahatan. Dengan demikian, atas dasar teori dan fakta yang telah disebutkan di atas, sudah sewajarnya bila saat ini d ibentuk suatu konsep pengawasan, baik yang berbentuk lembaga atau berupa sistem yang bertugas sebagai sarana kontrol bagi pelaksanaan sistem peradilan, khususnya sistem peradilan pidana terpadu yang ada sekarang. Konsep dan metode pengawasan yang baik dan dapat dijalankan secara benar menjadi harapan masyarakat agar dapat menghilangkan penyimpangan yang terjadi, setidaktidaknya dapat menekan jumlah keluhan masyarakat atas kinerja aparat penegak hukum. Selain itu pembentukan konsep pengawasan ini juga merupakan langkah strategis untuk menciptakan kinerja dan pelayanan peradilan yang lebih baik, seperti yang diinginkan oleh masyarakat. Sehingga diharapkan dapat terjadi pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.

9

Davies, 1995

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 6 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

B. RUANG LINGKUP PERMASALAHAN Pokok pemasalahan dalam penelitian ini didasarkan pada asumsi adanya distorsi, bahwa pengadilan tidak menjalankan hukum acara pidana dan hukum acara lainnya secara benar. Hal ini disebabkan karena seringkali terdapat suatu penafsiran yang berbeda-beda dari para aparat penegak hukum, bahkan seringkali mengarah pada ketidakpatuhan terhadap hukum positif yang ada, baik dalam hukum acara pidana, hukum acara lainnya maupun administrasi peradilan dalam praktek sehari-hari di lembaga peradilan. Berangkat dari hal tersebut maka timbul suatu kebutuhan untuk membentuk satu konsep pengawasan, baik dalam bentuk lembaga ataupun sekedar sistem yang mempunyai otoritas dalam menyatakan bahwa seorang aparat lembaga peradilan telah melanggar hukum acara, serta mempunyai kewenangan memberikan sanksi langsung melalui instansinya. Adapun yang menjadi poin -poin utama yang akan kami teliti dan elaborasi lebih jauh dalam penelitian ini adalah : 1. Seperti apakah bentuk dan kedudukan lembaga pengawas sistem peradilan (pidana) terpadu yang sesuai dan dapat diterapkan pada sistem administrasi kekuasaan kehakiman yang dianut oleh Indonesia? 2. Sampai sejauh manakah fungsi, tugas dan wewenang dari lembaga pengawas sistem peradilan pidana terpadu ini dalam makro sistem kekuasaan kehakiman Indo nesia? 3. Siapa sajakah yang berhak duduk sebagai anggota dari lembaga pengawas sistem peradilan pidana terpadu ini dan bagaimanakah mekanisme pemilihannya? 4. Bagaimanakah metode kerja dan bentuk pertanggungjawaban lembaga pengawas sistem peradilan pidana terpadu ini dan kepada siapakah pertanggungjawaban tersebut diberikan? C. MAKSUD DAN TUJUAN Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah : a. Mendapatkan semua informasi dan pengetahuan yang cukup mendalam tentang segala hal yang berkaitan dengan konsep pengawasan, baik dalam hubungannya ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 7 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

dengan sistem dan atau lembaga pengawasan. Selanjutnya, informasi tersebut dapat dijadikan masukan dasar bagi pembentukan konsep/model lembaga pengawas sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia yang berdasarkan pada hukum positif dan peraturan perundang -undangan yang baru dibentuk atau merupakan penyempurnaan dari peraturan yang sudah ada. b. Menciptakan sistem yang optimal sebagai modal dasar bagi terciptanya keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. D. SASARAN Sedangk an yang menjadi sasaran utama dari penelitian ini adalah lembaga-lembaga yang terkait dalam sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia, dalam hal ini dimulai dari lembaga yang bertugas dalam proses penyelidikan hingga pada lembaga yang bertugas dalam tahap pelaksanaan putusan . Adapun untuk peradilan -peradilan lainnya seperti perdata dan tata usaha negara dalam penelitian ini akan dijadikan sebagai sasaran tambahan untuk melengkapi data yang dapat digunakan sehubungan dengan pembentukan lembaga pengawas sistem peradilan pidana terpadu. Lembaga-lembaga yang menjadi sasaran penelitian ini adalah: a. Kepolisian b. Kejaksaan c. Pengadilan d. Lembaga Pemasyarakatan e. Advokat E. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian ini bersifat eksplanatoris. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Dalam hal ini analisis kualitatif digunakan untuk menggali asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan lembaga peradilan dan untuk mengetahui pendapat dari narasumber serta masyarakat hukum lainnya.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 8 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

2. Daerah Penelitian dan Responden Penelitian ini dilaksanakan di empat kota besar di Indonesia, yaitu di Jakarta, Medan, Surabaya dan Makasar dengan lebih menitikberatkan pada aparat-aparat dan lembagalembaga yang terkait dengan sistem peradilan di masing-masing kota tersebut. Adapun pemilihan kota-kota tersebut didasarkan pada tingginya tingkat aktivitas perekonomian, aktivitas politik, dan aktivitas sosial kemasyarakatan yang menjadikan kompleksitas permasalahan hukum yang ada lebih beragam dibanding kota-kota lainnya. Dalam hal ini keadaan tersebut juga akan sangat berpengaruh pada tingkat permasalahan hukum yang ada di kota yang bersangkutan. Adapun untuk responden dalam penelitian ini datanya adalah sebagai berikut:

Profesi Jakarta Akademisi Pengurus LSM Polisi Jaksa Hakim Panitera Pengacara/ Advokat Jumlah 160 10 8 43 43 19 17 20

Jumlah Responden Medan 9 6 42 19 19 17 20 Makasar 9 6 42 19 19 17 20 Surabaya 9 6 42 19 19 17 20

132

132

132

Sedangkan yang dipilih sebagai nara sumber adalah para pakar dan ahli yang berkaitan dengan lembaga dan sistem peradilan, khususnya dalam hal administrasi dan pengawasan. Pakar dan ahli tersebut berasal dari kalangan akademisi, praktisi hukum seperti hakim, jaksa, polisi dan pengacara, serta aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di dunia hukum. Adapun daftar nara sumber tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2. Abdul Rahman Saleh Achmad Lopa

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 9 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Ahwil Luthan Asmara Nababan Bambang Widjojanto Denny Kailimang H.P. Panggabean Irianto Subiakto Johnson Panjaitan Luhut M. Pangaribuan M. Surahman Ramelan Yan Apul

3. Alat dan Teknik Pengumpulan Data Alat dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah berupa studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis bahan -bahan hukum, baik bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder. Sedangkan studi lapangan digunakan untuk mengumpulkan data berupa pendapat dari masyarakat hukum dan non hukum mengenai pembentukan konsep pengawasan ini. Studi lapangan dilakukan dengan cara: a. Wawancara mendalam (indepth interview) Metode ini bertujuan untuk menangkap pendapat dan pemikiran para ahli yang menjadi narasumber dalam penelitian ini. Instrumen yang digunakan dalam wawancara mendalam ini adalah pedoman wawan cara (interview guidelines), dimana instrumen tersebut disusun dengan mengacu pada masalah yang akan dikaji. b. Kuesioner Metode yang dipakai dalam penyebaran kuesioner ini adalah metode purposive. Dalam metode ini responden dipilih secara sengaja dan sesuai dengan kriteria responden penelitian yang telah ditentukan sebelumnya, serta memiliki kaitan dengan objek penelitian.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 10 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

4. Analisis Data Hasil penelitian akan dianalisis secara kualitatif dengan cara melakukan penggabungan data hasil studi literatur dan studi lapangan. Data tersebut kemudian diolah dan dicari keterkaitan serta hubungannya antara satu dengan yang lainnya, sehingga diperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian. Namun dalam hal penelitian ini, berkaitan dengan analisis data yang dilakukan, terdapat beberapa keterbatasan dan kelemahan, yaitu objek penelitian ini dinilai terlalu luas, hal ini dikarenakan pengertian peradilan itu sendiri memiliki pengertian yang luas dan beragam. Cakupan penelitian yang luas ini tidak diimbangi dengan ketersediaan waktu dan biaya yang cukup. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kami membatasi pada persoalan yang dinilai memiliki potensi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang -undangan. 5. Jadwal Penelitian dengan tema Administrasi peradilan : Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Terpadu, merupakan kerjasama antara Komisi Hukum Nasional (KHN) dengan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Univrsitas Indonesia (MaPPI-FHUI) yang dilakukan selama 12 bulan. Dalam kurun waktu tersebut terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan sebagai sarana untuk memperoleh data guna mendapatkan hasil akhir yang cukup optimal.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 11 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

BAB II. ANALISIS ADMINISTRASI PERADILANApabila kita berbicara mengenai masalah administrasi, maka terdapat dua macam pengertian administrasi. Pertama; court administration, yang dalam hal ini berarti keadministrasian atau tertib administrasi yang harus dilaksanakan berkaitan dengan jalannya kasus tindak pidana dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pelaksanaan putusan dalam sistem peradilan pidana, dan kedua; administration of justice yang dalam hal ini dapat berarti segala hal yang mencakup tertib hukum pidana formil dan materiil yang harus dipatuhi dalam proses penanganan perkara dan tata cara serta praktek litigasi 10. Dua makna yang terkandung di dalam pengertian administrasi peradilan tersebut sangat berkaitan erat dengan kesatuan tanggung jawab yudisial (judicial responsibility) yang mengandung tiga dimensi pertanggungjawaban, yaitu11: 1. Tanggung jawab administrasi (administrative responsibility) 2. Tanggung jawab prosedural (procedural responsibility), yang menuntut ketelitian atau akurasi hukum acara yang dipergunakan 3. Tanggung jawab substansi (substantif responsibility), yang berhubungan dengan ketepatan pengkaitan antara fakta dan hukum yang berlaku Berdasarkan pemahaman tentang administrasi tersebut, maka untuk mencapai tujuan yang demikian diperlukan suatu sistem dan manajemen yang mengatur sistem tersebut, terutama dalam hal ini berkaitan dengan wacana yang mengemuka yaitu mengenai penegakan hukum, khususnya hukum pidana. Dan karena yang menjadi fokus perhatian tidak termasuk badan -badan di luar tugas penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemasyarakatan atau yang lebih dikenal dengan tugas peradilan pidana, maka kemudian munculah istilah sistem peradilan pidana12.

10 Muladi, Peranan Administrasi Peradilan dalam sistem peradilan pidanan terpadu (suatu kerangka diskusi), the habibie centre, hal. 3. 11 12

ibid

Rudi Satriyo, Pengawasan Bidang Administrasi Peradilan Dalam tahap Penyidikan dan Penuntutan (makalah disampaikan dalam seminar dan lokakarya tentang Administrasi Peradilan:

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 12 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

A. Proses Perjalanan Perkara 1. Pidana a. Tahap Penyelidikan Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini13. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab14. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup15. Adapun bukti permulaan yang cukup adalah sebagaimana disebutkan dalam SK Kapolri No.Pol.SKEP/04/I/1982 tanggal 18 Februari 1982 yang menentukan bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan keterangan dan data yang terkandung dalam dua diantara: 1. Laporan polisi; 2. Berita acara pemeriksaan polisi; 3. Laporan hasil penyelidikan; 4. Keterangan saksi/Saksi ahli; dan 5. Barang bukti16.

Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Terpadu yang diselenggarakan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia pada tanggal 30-31 Mei 2002)13

UU Nomor 26 tahun 2000, Pasal 1 angka 5.

Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, ps 5.15 16

14Indonesia,

Ibid, ps. 17 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1998).

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 13 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of Innocence) sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada Penyidik Apabila didapati tertangkap tangan, tanpa harus menunggu perintah penyidik, penyelidik dapat segera melakukan tindakan yang diperlukan seperti penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan 17. Selain itu penyelidik juga dapat melakukan pemeriksaan surat dan penyitaan surat serta mengambil sidik jari dan memotret atau mengambil gambar orang atau kelompok yang tertangkap tangan tersebut. Selain itu penyelidik juga dapat membawa dan menghadapkan orang atau kelompok tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini Pasal 105 KUHAP menyatakan bahwa dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik. b. Tahap Penyidikan Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing18 (Belanda) dan investigation19 (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia), KUHAP sendiri memberikan pengertian dalam Pasal 1 angka 2, sebagai berikut: Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

17 Hal tertangkap tangan diatur dalam UU No.26 tahun 2000 Pasal 11 Ayat (4), bandingkan dengan Pasal 102 Ayat (2) Jo Pasal 5 Ayat (1) huruf b UU NO.8/1981. 18 Menurut de Pinto, opsporing berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum (Hamzah, Op.cit, halaman 72)

Investigation is an examination for the purpose of discovering information about something (the new webster Dictionary, Ibid.)19

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 14 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Penyidik yang dimaksud di dalam ketentuan KUHAP adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan oleh UU. Adapun wewenang yang dimiliki penyidik, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b sampai dengan huruf j KUHAP, yaitu ; 1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya suatu tindak pidana 2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian; 3. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; 4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang; 7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 9. Mengadakan penghentian penyidikan; 10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab; Penyidikan yang dilakukan tersebut didahului dengan pemberitahuan kepada penuntut umum bahwa penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana telah mulai dilakukan. Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui mekanisme S urat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun kekurangan yang dirasa sangat menghambat adalah tidak ada ketegasan dari ketentuan tersebut kapan waktunya penyidikan harus diberitahukan kepada Penuntut Umum20. Tiap kali penyidik melakukan tugas dalam lingkup wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 KUHAP tanpa mengurangi ketentuan dalam undang-undang, harus selalu dibuat berita acara tentang pelaksanaan tugas tersebut.

Adisoeryo, Lembaga Pengawas sistem Peradilan Pidana Terpadu Dan Administrasi Peradilan sistem Peradilan Terpadu, (Makalah disampaikan pada Semiloka II: Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawas Siatem Peradilan Terpadu, Jakarta, 16 Juli 2002), hal. 13.

20Soeparno

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 15 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Apabila dalam penyidikan tersebut, tidak ditemukan bukti yang cukup atau peristiwa tersebut bukanlah peristiwa pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan 21. Dalam hal ini apabila surat perintah penghentian tersebut telah diterbitkan maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Apabila korban atau keluarganya tidak dapat menerima penghentian penyidikan tersebut, maka korban atau keluarganya, sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, dapat mengajukan praperadilan kepada ketua pengadilan sesuai dengan daerah hukumnya dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mekanisme keberatan tersebut diatur dalam Pasal 77 butir a KUHAP tentang praperadilan. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Dan dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan, dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas tersebut, maka penyid ikan dianggap selesai. c. Tahap Penuntutan Setelah proses penyidikan dilakukan maka penyidik melimpahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Ketika berkas perkara telah diterima oleh penuntut umum atau telah dianggap lengkap oleh penuntut umum maka telah masuk dalam penuntutan. Ketentuan dalam KUHAP memberikan batasan pengertian tentang penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7, yaitu: Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang -undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam sidang pengadilan.

Indonesia, UU Tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8, LN No. 76 tahun 1981, TLN No. 3209, ps. 109 ayat (2).21

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 16 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Penuntutan perkara dilakukan oleh Jaksa penuntut umum, dalam rangka pelaksanaan tugas penuntutan yang diembannya. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dalam melaksanakan penuntutan yang menjadi wewenangnya, penuntut umum segera membuat surat dakwaan berdasarkan hasil peyidikan. Dalam hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum menghentikan penuntutan yang dituangkan dalam suatu surat ketetapan. Apabila tersangka berada dalam tahanan, sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka harus seg era dikeluarkan dari tahanan. Selanjutnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut diberitahukan kepada tersangka. Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka dapat dimohonkan praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu KUHAP dan apabila kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. Penuntutan yang telah selesai dilakukan secepatnya harus segera dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri setempat, dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. Surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum diberi tanggal dan ditandatangani olehnya. Surat dakwaan tersebut berisikan identitas tersangka dan uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan. Dalam hal penuntut umum hendak mengubah surat dakwaan baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya, maka hal tersebut hanya dapat dilakukan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang 22. Perubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari

22

Ibid. ps 144 ayat 1.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 17 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

sebelum sidang dimulai 23. Dalam hal penuntut umum melakukan perubahan surat dakwaan, maka turunan surat dakwaan disampaikan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya dan penyidik24. d. Tahap Pemeriksaan Pengadilan Apabila terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan penuntutan, maka perkara tersebut diajukan ke pengadilan. Tindak pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili dan diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri yang berjumlah 3 (tiga) orang. Pada saat majelis hakim telah ditetapkan, selanjutnya ditetapkan hari sidang.

Pemberitahuan hari sidang disampaikan oleh penuntut umum kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman terakhir apabila tempat25 tinggalnya tidak diketahui . Dalam hal ini surat panggilan memuat tanggal, hari serta

jam dan untuk perkara apa ia dipanggil. Surat panggilan termaksud disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai. Surat panggilan kepada terdakwa tersebut dilakukan dengan adanya surat tanda penerimaan. Hal ini penting untuk menentukan apakah terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut atau tidak. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi tidak hadir di sidang tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan tersebut dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. Dalam hal terdakwa lebih dari seorang dan tidak semua hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. Hakim ketua sidang dapat memerintahkan agar terdakwa dihadirkan secara paksa, dalam hal telah dua kali dipanggil secara sah akan tetapi tidak hadir.

23 24 25

Ibid, ps 144 ayat 2. Ibid, ps 144 Ayat 3.

Masalah pemanggilan ini diatur dalam Pasal 145 UU NO.8/1981, termasuk tata cara pemanggilan dalam hal terdakwa tidak ada maka panggilan disampaikan kepada kepala desa dalam daerah hukum tempat kediaman terakhir dimaksud. Dalam hal terdakwa berada dalam tahanan maka surat panggilan disampaikan melalui pejabat rumah tahanan negara.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 18 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Terdakwa atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, kemudian setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Dalam hal keberatan diterima maka perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Namun apabila keberatan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal tersebut dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. Terhadap keputusan tersebut dapat diajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri. Dalam hal perlawanan diterima oleh pengadilan tinggi maka dalam waktu 14 (empat belas) hari, dalam surat penetapannya harus tertulis adanya pembatalan putusan pengadilan negeri tersebut dan memerintahkan agar pengadilan negeri yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan perkara tersebut. Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah sistem pembuktian berdasarkan undang -undang yang negatif (negatif wettelijk) 26. Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal 183 KUHAP menyatakan: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang -kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berdasarkan pernyataan tersebut, nyatalah bahwa pembuktian harus didasarkan pada alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang disertai keyakinan hakim atas alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, yang terdiri dari: 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; dan 5. Keterangan terdakwa.

26

Hamzah, Ibid, hal 262.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 19 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Disamping itu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga menganut minimum pembuktian (minimum bewijs), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 tersebut. Minimum pembuktian berarti dalam memutuskan suatu perkara pidana hakim harus memutuskan berdasarkan sejumlah alat bukti. Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana memberikan batasan minimal penggunaan alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti disertai oleh keyakinan hakim. Setelah pemeriksaan telah dilaksanakan, tuntutan pidana dan pembelaan telah diajukan dalam persidangan, maka tiba saatnya m ajelis hakim memberikan putusan. Putusan majelis hakim diambil dalam suatu musyawarah majelis hakim yang merupakan permufakatan bulat yang berhasil dicapai. Apabila kebulatan tidak dapat diperoleh maka didasarkan dengan suara terbanyak, apabila mekanisme tersebut masih belum dapat mencapai suara bulat, maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang menguntungkan terdakwa. e. Tahap Pelaksanaan Putusan Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap tersebut dilakukan dengan tetap memelihara perikemanusiaan dan perikeadilan dan dilaksanakan jaksa setelah menerima salinan surat putusan pengadilan yang disampaikan oleh panitera. Dalam hal terpidana diputus hukuman mati oleh pengadilan, maka pelaksanaannya dilakukan tidak dimuka umum dan berdasarkan ketentuan undang -undang. Pelaksanaan pidana mati ini telah diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer27. Dalam hal terpidana diputus pidana penjara maka jaksa membuat surat perintah menjalankan putusan pengadilan yang dikirim kepada lembaga pemasyarakatan 28.

27

Hamzah, Op.cit. hal.320.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 20 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Apabila terpidana dipidana penjara dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan secara berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana penjara maka tata cara pelaksanaannya sesuai dengan UU No.12 tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan. Dalam rangka pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan pidana, terhadap terpidana yang dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan, maka pengawasan dan pengamatan termaksud dilakukan oleh seorang hakim yang ditunjuk dalam lingkup pengadilan yang menjadi cakupan peradilan umum. Hakim pengawas dan pengamat termaksud dipilih oleh Ketua Pengadilan untuk masa waktu dua tahun. Pengawasan yang dilakukan tersebut guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Adapun pengamatan dilakukan dalam rangka mengumpulkan bahan penelitian guna ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan. Pengamatan juga dilakukan setelah narapidana selesai menjalani pidananya. 2. Perdata a. Tahap Pendaftaran Perkara Pendaftaran perkara dilakukan di panitera pengadilan negeri setempat, dengan menyerahkan surat permohonan, gugatan, permohonan banding, permohonan kasasi, permohonan peninjauan kembali, permohonan eksekusi, dan permohonan somasi yang dilengkapi dengan Surat Keterangan Untuk Membayar (SKUM) kepada yang bersangkutan, agar membayar uang panjar perkara yang tercantum dalam SKUM kepada Pemegang Kas Pengadilan Negeri. Dalam menentukan besarnya panjar biaya perkara tersebut, haruslah mempertimbangkan jarak dan kondisi daerah tempat tinggal para pihak, agar proses persidangan yang berhubungan dengan panggilan dan pemberitahuan dapat terselenggara dengan lancar. Dalam memperhitungkan panjar biaya perkara, bagi Pengadilan tingkat Pertama, agar mempertimbangkan pula administrasi yang dipertanggungjawabkan dalam putusan sebagai biaya administrasi.

28

Ibid, hal.319.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 21 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Pendaftaran perkara tersebut dilanjutkan dengan mendaftarkan perkara yang masuk ke dalam register induk perkara perdata sesuai nomor yang tercantum pada SKUM/surat gugatan/permohonan. Pendaftaran ini diajukan setelah dilakukan pembayaran panjar biaya perkara. Nomor perkara dalam register sama dengan nomor perkara dalam buku jurnal. Perkara perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek tidak didaftarkan sebagai perkara baru. Sedangkan perlawanan pihak III (derden verzet) didaftar sebagai perkara baru. b. Tahap Penetapan Majelis Hakim Pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara harus dengan 3 (tiga) orang hakim, kecuali d itentukan lain oleh Undang -undang29. Penentuan majelis hakim didasarkan pada senioritas, dimana Ketua Pengadilan Negeri dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri selalu menjadi Ketua Majelis, kecuali dalam majelis yang tidak terdapat ketua Pengadilan Negeri atau Wakil Ketua maka Ketua majelis adalah Hakim senior. 30 Susunan Majelis hakim hendaknya ditetapkan secara tetap untuk jangka waktu tertentu. Dalam hal perkara khusus maka ketua PN dapat membentuk majelis khusus. Dalam menjalankan tugasnya majelis hakim dibantu oleh seorang panitera pengganti. Surat gugatan yang telah diberi nomor dan didaftar dalam buku register dalam waktu 3 (tiga) hari harus diserahkan ke ketua PN, untuk selanjutnya ketua PN menetapkan majelis hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara. P enetapan susunan majelis hakim dilakukan 3 (tiga) hari kerja setelah diterimanya berkas yang telah diregister. Pada prinsipnya penetapan majelis hakim dilakukan oleh Ketua PN, namun dalam hal Ketua PN karena kesibukannya berhalangan untuk menetapkan majelis hakim maka Ketua PN dapat melimpahkan wewenangnya sebagian atau seluruhnya kepada wakil Ketua PN atau Hakim senior yang bertugas di Pengadilan tersebut.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14, Ln. No. 74 tahun 1970, TLN. No. , pasal 1529

Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan administrasi Pengadilan Buku II, (Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1998), hal 97.30

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 22 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

c. Tahap Penetapan Hari Sidang Segera setelah menerima berkas perkara, hakim atau majelis hakim yang telah ditunjuk oleh Ketua PN, harus mempelajari berkas. Dalam waktu satu minggu setelah diterimanya berkas perkara harus sudah ditentukan hari sidang. Dalam hal penetapan hari sidang tersebut harus dipertimbangkan pula jadwal hari persidangan hakim yang bersangkutan agar tidak terjadi benturan hari sidang. Untuk itu hakim/ majelis hakim harus mempunyai jadwal sidang yang tetap. Penetapan hari sidang perkara gugatan, selalu harus dimusyawarahkan dengan sesama anggota Majelis Hakim dan dicatat dalam buku agenda masing-masing. Dalam menetapkan hari sidang, harus dipertimbangkan pula perihal jarak pihak yang akan dipangil. Untuk itu tenggang waktu pemanggilan hari sidang dilakukan paling sedikit adalah 3 (tiga) hari kerja, kecuali terdapat hal-hal yang mendesak31. d. Tahap Sidang Pengadilan Sidang pengadilan selalu harus dimulai pada jam 09.00, namun apabila karena keadaan yang luar biasa, sidang dapat dimulai pada waktu yang lain, namun hal itu harus diumumkan terlebih dahulu. Dalam hal sidang pengadilan tidak dapat dilakukan maka segera diumumkan pembatalannya. Sidang pemeriksaan perkara, harus selalu terbuka untuk umum, kecuali ditetapkan lain dalam Undang -undang atau peraturan yang bersangkutan 32. Hakim Ketua Majelis bertanggung jawab atas pemeriksaan perkara, serta bertanggung jawab atas pembuatan dan kebenaran berita acara persidangan dan menandatanganinya sebelum sidang berikutnya. Pada prinsipnya setiap persidangan dimulai hakim majelis berkewajiban untuk mendamaikan para pihak. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan didahului dengan pembacaan surat gugatan yang dilakukan oleh Penggugat. Berikutnya setelah gugatan dibacakan maka kepada Tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan jawaban atas gugatan yang dilakukan penggugat. Dalam tahapan selanjutnya dilakukan tahap jawab

31 32

Indonesia,HIR/146 Rbg, pasal 122

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman , UU No. 14, LN. No. 74 Tahun 1970, TLN, No. pasal 17

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 23 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

menjawab, yang dalam hal ini terdapat kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat melalui replik atau duplik. Setelah tahap jawab menjawab telah dilakukan maka dilanjutkan dengan proses pemeriksaan alat bukti. Dimana para pihak mengajukan alat bukti yang telah disiapkan guna mendukung posisi hukumnya, tahapan ini dinamakan pembuktian. Dalam hal tahap pemeriksaan bukti telah dilakukan, maka dilanjutkan dengan tahap kesimpulan para pihak. Yang selanjutnya apabila telah dilakukan maka dilanjutkan dengan pembacaan putusan majelis hakim atas perkara yang bersangkutan. e. Tahap Pelaksanaan Putusan Pelaksanaan putusan pengadilan dapat dilakukan dalam hal telah dapat dilaksanakan. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dapat dilaksanakan apabila tidak ada pengajuan upaya hukum atas putusan tersebut dari pihak lawan atau telah diterima baik oleh para pihak. Putusan deklaratoir yang hanya sekedar menerangkan atau , menetapkan suatu keadaan saja, tidak perlu dieksekusi, demikian pula putusan konstitutif, yang menciptakan atau menghapuskan suatu keadaan, tidak perlu dilaksanakan. Putusan yang perlu dieksekusi adalah putusan condemnatoir, yaitu putusan yang berisi penghukuman, dimana pihak yang kalah dihukum untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Putusan untuk melakukan sesuatu perbuatan, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, harus dinilai dalam sejumlah uang33 dan selanjutnya akan dilaksanakan seperti putusan untuk membayar sejumlah uang. Putusan untuk membayar sejumlah uang tersebut apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, akan dilaksanakan dengan cara melelang barang milik pihak yang dikalahkan, yang sebelumnya telah disita34.

33

Indonesia, HIR pasal 225 dan Rbg pasal 259.

34

Indonesia, HIR pasal 200, dan Rgb dari pasal 214-224.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 24 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Penangguhan eksekusi hanya dapat dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang memimpin eksekusi. Dalam rangka pengawasan peradilan yang baik, Ketua Pengadilan Tinggi selaku Voorpost dari Mahkamah Agung, dapat memerintahkan agar eksekusi ditunda atau diteruskan. Wewenang untuk menangguhkan atau meneruskan eksekusi tersebut ada pada Ketua Mahkamah Agung dan agar eksekusi dapat berjalan dengan baik perlu adanya kerja sama dengan instansi yang terkait di daerah. 3. Perkara Tata Usaha Negara a. Tahap Pendaftaran perkara Pendaftaran perkara dilakukan di panitera Pengadilan Tata Usaha Negara dalam lingkup wilayah hukumnya, dengan menyerahkan surat gugatan, permohonan banding, permohonan kasasi, permohonan peninjauan kembali dan permohonan eksekusi, yang dilengkapi dengan Surat Keterangan Untuk Membayar (SKUM) kepada yang bersangkutan, agar membayar uang panjar perkara yang tercantum dalam SKUM kepada Pemegang Kas PTUN. Panjar biaya perkara, dibayarkan untuk keperluan biaya kepaniteraan, materai, saksi, ahli, ahli bahasa, pemeriksaan setempat, dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan perkara atas perintah Hakim Ketua Sidang. Pendaftaran perkara tersebut dilanjutkan dengan mendaftarkan perkara yang masuk ke dalam register induk perkara sesuai nomor yang tercantum pada SKUM/surat gugatan. Pendaftaran ini dilakukan setelah dilakukan pembayaran panjar biaya perkara. Dalam hal ini nomor perkara dalam register sama dengan nomor perkara dalam buku jurnal. Sedangkan pada perkara perlawanan terhadap penetapan dismissal, dilakukan penambahan kode PLW pada nomor perkara tersebut. b. Tahap Proses Dismissal Proses Dismissal adalah proses pemeriksaan pendahuluan terhadap gugatan yang diajukan oleh penggugat, dimana dalam hal ini Ketua Pengadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan untuk membantu penggugat memenuhi kriteria yang disyaratkan undang -undang untuk mengajukan gugatan. Karena pada prinsipnya penggugat adalah pihak yang lemah, dibandingkan dengan lawan yang memiliki kekuasaan dalam bidang pemerintahan. ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 25 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Dalam proses ini ketua pengadilan meminta pihak lawan untuk memberikan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan. Pemeriksaan pendahuluan ini adalah untuk menentukan apakah perkara tersebut dapat dilanjutkan untuk disidangkan atau tidak. Dalam hal ini akan ditetapkan apakah materi gugatan memang menjadi kewenangan absolut PTUN dengan memperhatikan alasan-alasan pengajuan gugatan serta memperhatikan pula mengenai batas waktu suatu gugatan yaitu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya suatu keputusan badan atau Pejabat TUN. Penetapan dilakukan dalam permusyawaratan dengan mengh adirkan kedua belah pihak yang bersengketa untuk mendengarkannya. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan. Atas ketetapan tersebut dapat diajukan perlawanan dalam tenggang waktu 14 hari setelah diucapkan. c. Tahap Penunjukan Majelis Hakim Pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara harus dengan 3 (tiga) orang hakim, kecuali ditentukan lain oleh Undang -undang35. Penentuan majelis hakim tersebut didasarkan pada senioritas, dimana Ketua Pengadilan Negeri dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri selalu menjadi Ketua Majelis, kecuali dalam majelis yang tidak terdapat ketua Pengadilan Negeri atau Wakil Ketua maka Ketua majelis adalah Hakim senior. Susunan Majelis hakim hendaknya ditetapkan secara tetap untuk jangka waktu tertentu. Dalam menjalankan tugasnya majelis hakim dibantu oleh seorang Panitera pengganti. Surat gugatan yang telah diberi nomor dan didaftar dalam buku register, harus diserahkan ke ketua Pengadilan untuk selanjutnya ketua Pengadilan menetapkan majelis hakim yang akan memerika dan memutus perkara. Penetapan susunan majelis hakim dilakukan setelah diterimanya berkas yang telah diregister. Pada prinsipnya penetapan majelis hakim dilakukan oleh Ketua Pengadilan, namun dalam h Ketua Pengadilan al karena kesibukannya berhalangan untuk menetapkan majelis hakim maka KetuaIndonesia, Undang-Undang Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14, LN. No. 74 tahun 1970, YLN. No. ps. 15 jo Undang-Undang Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, UU No.5, Ln. No. Tahun 1986. ps. 68.35

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 26 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Pengadilan dapat melimpahkan wewenangnya sebagian atau seluruhnya kepada wakil Ketua Pengadilan atau hakim senior yang bertugas di Pengadilan tersebut. d. Tahap Penetapan Hari Sidang Segera setelah menerima berkas perkara, hakim atau majelis hakim yang telah ditunjuk oleh Ketua Pengadilan, harus mempelajari berkas. Dalam waktu satu minggu setelah diterimanya berkas perkara tersebut, harus sudah dilakukan penentuan hari sidang. Dalam hal penetapan hari sidang ini harus dipertimbangkan pula jadwal hari persidangan hakim yang bersangkutan agar tidak terjadi benturan hari sidang. Untuk itu hakim/ majelis hakim harus mempunyai jadwal sidang yang tetap. Penetapan hari sidang perkara gugatan, selalu harus dimusyawarahkan dengan sesama anggota Majelis Hakim dan dicatat dalam buku agenda masing -masing. Dalam menetapkan hari sidang, harus dipertimbangkan pula perihal jarak pihak yang akan dipangil. Untuk itu tenggang waktu pemanggilan hari sidang dilakukan paling sedikit adalah 3 (tiga) hari kerja, kecuali hal yang mendesak. e. Tahap Sidang Pengadilan Sidang pengadilan selalu harus dimulai pada jam 09.00, kecuali karena adanya keadaan yang luar biasa, sidang dapat dimulai p ada waktu yang lain, namun hal itu harus diumumkan terlebih dahulu. Dalam hal sidang pengadilan tidak dapat dilakukan maka segera diumumkan pembatalannya. Sidang pemeriksaan perkara, harus selalu terbuka untuk umum, kecuali yang menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara persidangan dapat dinyatakan tertutup36. Hakim Ketua Majelis bertanggung jawab atas pemeriksaan perkara, serta bertanggung jawab atas pembuatan dan kebenaran berita acara persidangan dan menandatanganinya sebelum sidang berikutnya. Pada prinsipnya setiap persidangan dimulai hakim majelis berkewajiban untuk mendamaikan para pihak. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan didahului dengan

Indonesia, Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 5, LN. No. tahun 1986, TLN. No. pasal 70 ayat 236

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 27 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

pembacaan isi surat gugatan dan surat yang memuat jawaban yang dilakukan oleh hakim, dimana para pihak menjelaskan seperlunya hal yang diajukan mereka masingmasing. Dalam hal jawaban belum ada maka pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya. Dalam hal tahap jawab menjawab telah dilakukan maka dilanjutkan dengan proses pemeriksaan alat bukti. Dimana para pihak mengajukan alat bukti yang telah disiapkan guna mendukung posisi hukumnya, tahapan ini dinamakan pembuktian. Dalam hal tahap pemeriksaan bukti telah dilakukan, maka dilanjutkan dengan tahap kesimpulan para pihak yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan putusan majelis hakim atas perkara yang bersangkutan. f. Tahap Pelaksanaan Putusan Pelaksanaan putusan pengadilan dapat dilakukan dalam hal telah dapat dilaksanakan. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dapat dilaksanakan apabila tidak ada pengajuan upaya hukum atas putusan tersebut dari pihak lawan atau telah diterima baik oleh para pihak. Dalam hal setelah 4 bulan putusan berkekuatan hukum tetap, Pejabat TUN diperintahkan untuk mencabut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang telah dikeluarkan, dan dengan demikian maka KTUN tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun apabila setelah 3 bulan Pejabat TUN tidak menjalankan perintah untuk mencabut KTUN dan mengeluarkan KTUN yang baru, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan, agar pengadilan memerintahkan pejabat TUN melaksanakan putusan pengadilan. Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan memerintahkan pejabat TUN yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan pengadilan. Namun apabila dengan melalui instansi atasan ini pun tidak diindahkan, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 28 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

B. Diskrepansi Administrasi Peradilan 1. Administrasi Peradilan Dalam Praktek Apabila kita mencoba menelaah secara lebih mendalam tentang administrasi peradilan, terutama sehubungan dengan manajemen perkara semenjak dari tahap penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan sebagaimana tertulis dalam bagian A di atas. Dapatlah kita temukan beberapa diskrepansi dalam pelaksanaan administrasi tersebut di lapangan, yaitu sebagai berikut: a. Peradilan Pidana Terdapat beberapa diskrepansi yang bisa kita temukan dalam proses administrasi peradilan pidana. Dalam hal ini apabila kita melihat menurut tahapan proses beracara di peradilan pidana dapatlah diuraikan sebagai berikut: 1. Tahap Penyelidikan Dalam tahap ini beberapa hal yang umum terjadi dan dapat dikategorikan sebagai suatu diskrepansi. Salah satunya adalah penggelapan perkara yang biasanya dilakukan dengan cara menghentikan perkara dengan alasan tidak cukupnya bukti, padahal hal tersebut sebenarnya tidak demikian dan perkara tersebut telah memiliki unsur pidana dan layak untuk disidik 2. Tahap Penyidikan Dalam tahap ini diskrepansi yang umum terjadi adalah adanya rekayasa Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Penyidik biasanya menawarkan pengaburan unsur unsur pidana dalam perkara tersebut sehingga dapat meringankan tersangka dalam persidangan37. Selain itu, pada tahap penyidikan ini sering kali dilakukan perpanjangan atau penguluran waktu penyidikan dan pembocoran BAP kepada pengacara. Tujuan dari perbuatan tersebut adalah agar terdakwa mau memenuhi apa yang diminta oleh penyidik apabila menginginkan unsur-unsur yang memberatkan dihindarkan darinya

37

Indonesian Corruption Watch , Profil Judicial Corruption di Peradilan Pidana.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 29 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

3. Tahap Penuntutan Dalam tahap ini, biasanya dikrepansi terjadi pada saat pembuatan surat dakwaan, dimana biasanya jaksa menawarkan pada piha tersangka pasal mana yang ingin k didakwakan kepadanya38 4. Tahap Pemeriksaan Pengadilan Dalam tahap ini yang paling sering terjadi dan dapat dikategorikan sebagai diskrepansi adalah tentang penentuan majelis. Pada proses ini biasanya panitera diminta oleh pengacara untuk menghubungi hakim yang dapat diajak kerjasama. Dalam modus ini, jaksa biasanya membicarakan kepada pengacara, siapa saja hakim yang dapat diajak bekerjasama39. Selanjutnya pada tahap ini sering terjadi juga penundaan pembacaan putusan. Disini jika perkara telah sampai pada saat pembacaan putusan, hakim biasanya menunda-nunda proses tersebut tanpa ada alasan yang jelas. 5. Tahap Pelaksanaan Putusan Dalam tahap ini terjadinya proses diskrepansi terlihat dengan adanya penundaan putusan yang dilakukan apabila pihak terpidana membayar sejumlah uang kepada pihak kejaksaan melalui calo perkara atau pelaksana eksekusi. Dalam bentuk lain, penundaan tersebut bisa juga dilakukan dengan menunjukan surat keterangan sakit dari dokter40. Selain itu, pada tahap ini diskrepansi juga terjadi dalam lembaga pemasyarakatan. Keadaan yang terjadi di lembaga pemasyarakatan berupa pungutan-pungutan tidak resmi yang dilakukan oleh aparat dari LP kepada narapidana yang ingin cuti atau kepada sanak saudara dari terpidana yang ingin menjenguk. Hal yang menarik untuk diketahui, bahwa ternyata hakim pengawas dan pengamat (kimwasmat) tidak berjalan sebagaimana mestinya41. Padahal menurut

38 39

ibid ibid

40

ibid Wawancara dengan Joko Harjono, Kepala Seksi Pembinaan di LP Cipinang tanggal 23

41

Mei 2002

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 30 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

keterangan nara sumber, kimwasmat yang bertugas dan berfungsi untuk mengawasi dan mengamati apakah putusan yang dikeluarkan sudah dilaksanakan dengan baik oleh jaksa dan apakah putusan tersebut mempunyai manfaat bagi terdakwa dan telah memenuhi rasa keadilan, mempunyai peranan yang sangat penting. b. Peradilan Perdata Selain dalam peradilan pidana, macam-macam diskrepansi juga bisa kita temukan dalam proses administrasi pada peradilan perdata yang terbagi menjadi peradilan contentieus (ada sengketa para pihak) dan peradilan volunter (tidak perlu ada sengketa para pihak). Menurut tahapan proses beracara di peradilan perdata yang contentieusdiuraikan sebagai berikut: 1. Tahap Pendaftaran Perkara Dalam tahap ini beberapa hal yang terjadi dan termasuk dalam kategori sebagai suatu diskrepansi ialah mengenai pembayaran biaya administrasi. Ketidakjelasan besar biaya yang harus dibayar dalam pendaftaran suatu perkara sangat bergantung pada permintaan dari pihak panitera. Selain itu, pihak yang akan berperkara dapat didahulukan perkaranya dibandingkan pihak lain, dengan cara memberikan sejumlah uang kepada panitera diluar jumlah biaya administrasi perkara yang telah dibayarkan sebelumnya.42 2. Tahap Penentuan Majelis Hakim Dalam tahap ini diskrepansi yang terjadi berupa campur tangan pihak pengacara dalam proses pemilihan hakim yang akan mengadili perkara kliennya, para pengacara tersebut bisa menghubungi Ketua Pengadilan Negeri/Tinggi yang bersangkutan. Pihak Panitera biasanya juga membantu para pengacara untuk dipertemukan dengan Ketua Pengadilan Negeri/Tinggi dalam hal pengurusan penunjukkan hakim ini. Dengan adan ya campur tangan dalam hal penunjukkan hakim oleh para pihak yang akan berperkara, diharapkan agar perkara tersebut dapat berjalan sesuai dengan keinginan para pihak tersebut.

42

Indonesian Corruption Watch , Profil Judicial Corruption di Peradilan Perdata.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 31 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

3. Persidangan Dalam tahap ini, biasanya diskrepansi terjadi ketika para pihak yang berperkara menghadap langsung Ketua Pengadilan atau Ketua Majelis Hakim atau salah satu dari Majelis Hakim yang mengadili perkaranya untuk meminta bantuan agar pihaknya bisa dimenangkan dengan memberikan tawaran tertentu. Hal ini juga bisa dilakukan dengan menggunakan jasa para calo misalnya pihak panitera maupun pegawai pengadilan lainnya sebagai penghubung antara para pihak tersebut.43 Selain itu, dalam tahap ini yang paling sering terjadi dan dapat dikategorikan sebagai diskrepansi adalah adanya kesepakatan antara para pihak dengan majelis hakim untuk menolak, atau menerima bukti tambahan yang diajukan pihak lawan. Umumnya kesepakatan ini terjadi sebelum acara pembuktian dimulai.44 4. Tahap Putusan Dalam tahap ini terjadinya proses diskrepansi terlihat dengan adanya permainan putusan yang dilakukan bila pihak yang sedang berperkara membayar sejumlah uang kepada majelis hakim, baik secara langsung maupun melalui panitera. Masing-masing pihak di hubungi secara terpisah untuk mengurangi resiko adanya kolusi dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, pihak yang mampu membayar lebih tinggi dapat menentukan keputusan hakim sesuai dengan keinginannya. Terkadang, ada juga hakim yang menerima bayaran dari kedua belah pihak dan tetap memenangkan pihak yang membayar lebih banyak, tetapi biasanya hal ini jarang dilakukan mengingat resikonya lebih besar. Selanjutnya, tentang tata cara pembayaran dari pihak berperkara kepada hakim dapat dilakukan dengan mengundang hakim ke dalam sebuah seminar dan menerima bayaran sebagai pembicara dengan jumlah besar. Seminar tersebut bisa diselenggarakan oleh rekanan Kantor Hukum yang terkait atau meminta suatu LSM untuk mengadakan suatu seminar dengan mengundang hakim itu sebagai pembicaranya. Hakim juga dapat menerima kompensasi atas putusan yang

43

ibid

44

ibid

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 32 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

dikeluarkannya dengan membeli rumah atau mobil dengan harga dibawah harga sebenarnya. Apabila hakim itu sedang mengadakan suatu acara tertentu, misalnya perkawinan anaknya, maka pihak yang berperkara dapat memberikan kompensasi tersebut dalam bentuk sumbangan terhadap perkawinan anak dari hakim tersebut. Bentuk sumbangan ini bisa juga berbentuk pendanaan pesta perkawinan dari anak tersebut.45 5. Tahap Pelaksanaan Putusan Dalam tahap ini diskrepansi yang kerap kali terjadi adalah bahwa pihak yang di kalahkan tidak mau melaksanakan putusan hakim secara sukarela dan di perlukan adanya bantuan pengadilan untuk melaksakan putusan secara paksa. Pihak yang memenangkan perkara bisa mengajukan permohonan pelaksanaan putusan ke pengadilan, dalam hal inilah Ketua PN, Panitera dan juru sita bisa mengambil kesempatan untuk mengambil keuntungan. Sedangkan pihak yang terkena sita biasanya melakukan kolusi dengan juru sita baik secara langsung maupun melalui pengacaranya, juru sita akan memainkan obyek sita, memanipulasi atau melakukan penundaan dengan alasan tertentu. Selain itu, pihak panitera bisa dengan sengaja menunda pelaksanaan eksekusi sita supaya pihak yang memperoleh hak sita memberikan bayaran yang diminta oleh panitera dan juru sita. Hal ini dapat dilakukan karena tidak adanya peraturan yang memerintahkan panitera maupun juru sita untuk segera melaksanakan sita eksekusi. 46 Sedangkan tahapan proses beracara di peradilan perdata yang sifatnya volunter (tidak perlu ada sengketa para pihak) terdapat dua bagian, yaitu Permohonan Hak dan Permohonan Penetapan Eksekusi Sita Jaminan, yang akan diuraikan sebagai berikut: 1. Tahap Pendaftaran Dalam tahap ini beberapa hal yang terjadi dan termasuk dalam kategori sebagai suatu diskrepansi ialah bahwa pihak yang mengajukan permohonan dikenakan biaya tambahan diluar ketentuan yang berlaku.45 46

ibid ibid

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 33 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

2. Tahap Pemeriksaan Dalam tahap ini diskrepansi yang terjadi adalah pemberian kompensasi kepada hakim dengan tujuan agar permohonannya dapat langsung dikabulkan terlepas dari adanya syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan yang tidak atau belum dapat dipenuhi oleh pemohon. Singkatnya dalam tahap ini diskrepansi terjadi dengan tujuan agar pertimbangan-pertimbangan yang seharusnya dikeluarkan dapat di abaikan oleh hakim. 3. Tahap Penetapan Dalam tahap ini terjadinya proses diskrepansi terlihat dengan adanya pemberian imbalan terhadap hakim atas penetapan yang mengabulkan permohonannya. Khusus untuk Permohonan Sita Jaminan, pihak pemohon harus memberikan imbalan agar penetapannya dikeluarkan kepada Ketua PN, Hakim & Panitera. 4. Tahap Pelaksanaan Penetapan Hal ini hanya bisa terdapat dalam Permohonan Eksekusi Sita Jaminan, dimana proses diskrepansi terjadi ketika Panitera meminta pemohon untuk memberikan bayaran sebagai biaya eksekusi penetapan, jika hal ini tidak dilakukan maka Panitera tidak akan menunjuk juru sita untuk melaksanakan eksekusi. Selain itu pihak Panitera bisa menghubungi pihak yang tersita untuk memberikan imbalan agar proses penyitaan dapat ditunda atau penyingkiran h arta benda bergerak milik tersita sehingga dapat luput dari proses penyitaan. c. Mahkamah Agung Sebagai salah satu lembaga tinggi negara, Mahkamah Agung yang merupakan lembaga terakhir dalam kaitannya dengan proses penyelesaian perkara, tidaklah luput dari masalah diskrepansi. Berbagai bidang dan tahap dalam proses penyelesaian perkara di Mahkamah Agung telah menjadi tempat yang rawan terjadi diskrepansi. Adapun hal tersebut secara lebih lengkap dan sistematis dapat dibawah ini47: Diskrepansi Administrasi di Mahkamah Agung dilihat dalam tabel

47

Indonesian Corruption Watch , Profil Judicial Corruption di Mahkamah Agung.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 34 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

No. 1.

Jenis Diskrepansi - Hakim memperlambat pemeriksaan perkara - Hakim mengulur waktu penetapan pekara - Hakim melakukan tawar menawar putusan

Pelaku yang Terlibat -Hakim/Majelis -Asisten Koordinator/Panitera -Asisten Hakim Agung -Pengacara/pihak yang berperkara

2.

Tawar- menawar putusan

-Pengacara/pihak yang berperkara -hakim/Majelis

3.

Pengaturan nomor urut pendaftaran

-Direktur -Asisten Koordinator/panitera -Hakim/majelis -Pengacara/pihak yang berperkara

4.

Pihak berperkara ditawari untuk memakai jasa pengacara tertentu

-Hakim yang mempunyai hubungan istimewa dengan pengacara tertentu -Pengacara yang mempunyai hubungan istimewa dengan hakim tertentu -Pihak yang berperkara

5.

- Menghilangkan data perka ra - Membuat resume yang menguntungkan salah satu pihak

-Asisten hakim -Hakim/Majelis -Pengacara/pihak yang berperkara -Hakim Agung -Pengacara/Pihak yang berperkara

6.

Hakim menunda atau menghentikan eksekusi suatu perkara

Yang apabila dipaparkan lebih detail, maka modus operandi diskrepansi di Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:48 1. Dana Tambahan Administrasi Perkara B agian administrasi dengan cara yang sangat halus dan tidak vulgar meminta dana tambahan tanpa kwitansi kepada pihak yang mengajukan kasasi. Pihak dari MA sendiri menghubungi pengacara atau pihak yang berperkara dan menanyakan apakah mau memenangkan perkara, atau sebaliknya pihak yang berperkara sendiri menghubungi

48

Ibid.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 35 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

mereka dan meminta supaya perkara dimenangkan. Terjadi kolusi antara direktur MA, asisten koordinator/panitera dan ketua tim majelis (intern MA) dengan pihak berperkara untuk mengatur perkara agar jatuh ke majelis tertentu yang favourable. Selanjutnya tawarmenawar ini diserahkan kepada pihak yang berperkara dan hakim. 2. Pemerasan yang dilakukan hakim Salah satu modus yang banyak terjadi adalah pemerasan terhadap pengacara yang perkaranya sedang diperiksa oleh hakim. Pemerasan ini tidak dilakukan secara konvensional tetapi menjadi satu rangkaian dengan kasus yang sedang diperiksa oleh hakim yang bersangkutan, dalam hal ini hakim dapat memperlambat selesainya pemeriksaan perkara, mengulur waktu penetapan putusan, serta tawar menawar putusan. Untuk kasus di daerah, seorang hakim bersedia mengeluarkan uang sebesar Rp. 250 juta kepada pejabat-pejabat di Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman agar dapat menjadi ketua pengadilan . 3. Suap yang dilakukan oleh pihak yang berperkara Kasus suap ini terjadi pada pihak -pihak yang berperkara dan atau pengacaranya. Apabila pihak yang berperkara dan atau pengacaranya menolak memberikan uang suap, maka dia akan dikalahkan sekalipun bukti-buktinya cukup kuat. Kalau seorang pengacara dikalahkan oleh hakim maka sangat sulit bagi dia untuk mengadu ke MA karena tidak ada bukti tertulis. Penyuapan terhadap seorang hakim dapat juga terjadi karena pengacara yang sedang diperiksa perkaranya aktif menghubungi hakim atau majelis hakimnya. Dalam hal pengacaranya tidak ingin menyuap hakim, maka dia akan menyerahkan masalah suap menyuap tersebut kepada kliennya. 4. Pengaturan majelis yang favourable Bentuk yang agak unik adalah berkas perkara ke Mahkamah Agung sengaja tidak dilengkapi atau cacat salah satu dokumennya. Hal itu dilakukan agar perkara diperiksa oleh majelis hakim yang dikehendaki. Pemeriksaan perkara dilakukan atas dasar nomor urut dan setiap deretan urut tertentu telah ditetepkan oleh majelis hakimnya. 5. Tawaran untuk menggunakan jasa pengacara tertentu yang favourable

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 36 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Pihak yang berperkara ditawari untuk menggunakan jasa pengacara tertentu yang mempunyai hubungan istimewa dengan hakim agung, biasanya adalah pengacara yang mempunyai hubungan saudara atau bahkan anak dari seorang hakim agung tertentu. 6. Pengaburan perkara Modus pertama dalam pengaburan perkara dilakukan oleh asisten majelis hakim agung pembuat resume yang mempunyai kesepakatan khusus dengan pihak yang berperkara. Kedua, pengaburan perkara dilakukan dengan penghilangan data dari suatu perkara oleh panitera. Biasanya tindakan itu dilakukan oleh panitera senior. Supaya permainan ini lancar maka panitera tersebut bekerja sama dengan hakim yang akan memeriksa perkara yang didaftar. 7. Putusan Sekjen atau asisten hakim agung menghubungi salah satu pihak yang bersengketa dan menawarkan pada mereka suatu putusan yang dapat memenangkan perkara mereka. Putusan itu dapat dibuat sendiri oleh sekjen atau asisten hakim agung. Dalam hal ini setelah draft putusan dibuat oleh hakim agung, pihak administrasi yang bertugas menyusun dan mengetikkan draft putusan itu ke dalam format putusan melakukan pemalsuan putusan sesuai kehendak pihak yang membayarnya. C. Penegakan Hukum 1. Penurunan Kepercayaan Terhadap Aparat Akhir -akhir ini hukum sebagai garda terdepan benteng demokrasi yang diharapkan dapat memberikan rasa keadilan terhadap masyarakat berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Hal tersebut terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa sebagian masyarakat telah menganggap peradilan yang merupakan sarana terpenting dalam dunia hukum telah dianggap buruk dan tidak mencerminkan harapan dan aspirasi masyarakat. Dalam kuisioner yang diedarkan oleh tim peneliti, salah satu pertanyaannya adalah bagaimana kondisi peradilan Indonesia saat ini, yang diajukan untuk mengetahui pendapat responden mengenai kondisi dunia peradilan Ind onesia menurut sudut ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 37 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

pandangan profesi yang digeluti oleh responden (dalam hal ini peradilan yang dimaksud adalah peradilan dalam arti luas, khususnya menyoroti pelaksanaan tugas peradilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum). Jumlah responden yang memberikan jawaban sebanyak 536 orang. Para responden berasal dari kalangan praktisi hukum, seperti polisi, jaksa, hakim , advokat/pengacara, akademisi dalam bidang hukum, dan pengurus lembaga swadaya masyarakat yang memiliki perhatian pada bidang hukum. Adapun pertanyaan yang diajukan dilakukan secara terbuka, artinya setiap responden dapat mencantumkan pendapatnya secara bebas dan tidak terbatas pada pilihan-pilihan yang diberikan oleh peneliti Maka setelah diolah berdasarkan sifat dari jawaban yang telah diberikan, diperoleh beberapa pernyataan yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu, Kelompok pertama disebut kelompok A sebanyak 10,10% dari jumlah responden memiliki kriteria sebagai berikut: pernyataan tersebut bernada positif, memiliki tingkat optimistis yang baik terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Kelompok B sebanyak 31.92% dari jumlah responden memiliki kriteria sebagai berikut: pernyataan yang diberikan disertai dengan syarat-syarat tertentu, memiliki tingkat optimistis yang relatif berada di bawah kelompok A, pernyataan dapat pula bernada negatif yang disertai suatu syarat untuk memperbaikinya. Kelompok C sebanyak 56.97%. responden memiliki kriteria sebagai berikut: pernyataan yang diberikan bernada negatif, lebih mengarah pada sifat pesimis atas proses penegakan hukum yang saat ini sedang berjalan. Apabila kita coba uraikan satu persatu, kelompok A menyatakan bahwa kondisi peradilan sudah cukup baik. kondisi yang sudah baik tersebut ditandai dengan pemeriksaan terhadap para pejabat yang dinilai telah melakukan korupsi. Koordinasi yang dilakukan antar elemen peradilan sudah membaik, hakim dalam memutus suatu perkara tidak semena-mena, tidak ada intervensi dari instansi lain dalam melakukan tugas peradilan, dan semua proses dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 38 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Beberapa responden yang masuk ke dalam kelompok ini menyatakan bahwa penyebab nilai buruk kondisi peradilan adalah ulah dari pengacara yang kalah dalam persidangan. Pengacara tersebut sebagian melakukan tindakan -tindakan yang dinilai memojokan hakim melalui pemberitaan di media massa, atau melakukan pengerahan massa ke pengadilan. Pemberitaan melalui media massa tersebut cenderung tidak proporsional atas suatu perkara. Pemberitaan yang tid ak proporsional tersebut karena ada indikasi bahwa media massa hanya mengangkat berita yang didapat dari mereka yang kalah di persidangan. Selain itu faktor kesadaran hukum masyarakat menjadi salah satu faktor terjadinya kondisi peradilan yang buruk. Kelompok B merupakan kelompok yang memiliki penilaian atas proses penegakan hukum di Indonesia dengan mengajukan syarat-syarat. Berdasarkan hasil pengumpulan pendapat dalam kelompok ini, sebagian responden menyatakan bahwa kondisi peradilan Indonesia saat ini relatif baik. Namun perlu suatu koreksi agar nilai buruk yang diberikan oleh masyarakat kepada lembaga peradilan dapat berubah menjadi baik. Responden menilai terdapat banyak titik rawan yang harus diperhatikan dalam upaya memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Titik rawan tersebut antara lain adalah kualitas SDM yang kurang baik, mafia peradilan yang dapat mengatur proses peradilan serta putusan pengadilan, masih terdapat saling tidak percaya antara penegak hukum, budaya KKN masih sangat terasa dalam setiap proses peradilan. Perlu ada kontrol antara institusi yang satu dengan institusi yang lain dan permasalahan sarana prasarana serta kesejahteraan aparat penegak hukum menjadi salah satu kendala dalam memperbaiki kualitas penegakan hukum di Indonesia. Peraturan perundangundangan dianggap perlu untuk ditinjau kembali, karena banyak peraturan perundangan -undangan yang menimbulkan multi interpretasi sehingga tidak dapat memberikan keadilan pada masyarakat. Masalah koordinasi antara penegak hukum menjadi faktor penting dalam proses penyelesaian suatu perkara. Pada masa orde baru dan era reformasi saat ini, intervensi atas proses peradilan kerapkali terjadi, khususnya dilakukan oleh kalangan eksekutif dan legislatif. Intervensi yang k erap ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 39 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

kali dilakukan oleh kedua lembaga tersebut merupakan hal yang paling banyak mendapat sorotan dari para responden. Keluhan atas kelambatan hakim dalam menangani suatu perkara menjadi salah satu faktor penyebab wajah buruk peradilan Indonesia. Hakim banyak yang menunda-nunda putusan. Selain itu secara teknis, hakim cenderung menggampangkan masalah. Namun para responden menekankan perlu dibentuk lembaga pengawas, yang akan melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat peradilan. Selain kondisi rawan di atas, masalah kesejahteran para aparat penegak hukum harus mendapat perhatian. Peningkatan kesejahteraan tersebut dinilai dapat meningkatkan kinerja aparat hukum dan untuk mengurangi kecenderungan melakukan kolusi dan korupsi. Masalah kemandirian aparat penegak hukum menjadi salah satu unsur yang paling penting dalam upaya memberikan pelayanan hukum pada masyarakat. Kelompok C merupakan kelompok yang memiliki sikap pesimis atas proses penegakan hukum di Indonesia. Sebagian responden menyatakan bahwa kondisi peradilan saat ini sangat memprihatinkan. Alasan yang dikemukakan oleh responden pada umumnya tidak jauh berbeda dengan alasan yang telah dikemukakan oleh kelompok B. Permasalahan indikasi adanya mafia peradilan dan praktek jual beli putusan merupak an salah satu penyimpangan yang paling banyak ditemui oleh responden dari kalangan pengacara saat berpraktek di pengadilan. Kedua hal tersebut menimbulkan akibat sampingan, antara lain kecenderungan masyarakat untuk main hakim sendiri semakin tinggi. Masalah intervensi dari kalangan eksekutif dan legislatif atas kekuasaan yudikatif dinilai oleh responden sebagai salah satu faktor penyebab rusaknya peradilan di Indonesia. Berdasarkan penilaian dari responden tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses penegakan hukum di Indonesia belum dapat berjalan dengan baik sehingga belum dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Beberapa faktor yang dinilai menjadi penyebab hal tersebut adalah: adanya indikasi mafia peradilan yang melakukan jual beli putusan, praktek KKN dalam setiap proses peradilan kian marak, adanya intervensi lembaga

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 40 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

eksekutif dan legislatif terhadap lembaga yudikatif sehingga proses hukum yang dijalankan lebih kental nuansa politis dibandingkan hukum itu sendiri. Masalah peraturan perundang -undangan yang tumpang tindih menjadi salah satu faktor penyebab buruknya kondisi peradilan. Kesejahteraan aparat penegakan hukum harus mendapat perhatian sehingga mereka dapat bekerja dengan baik dan dapat menghindarkan diri dari kecenderungan untuk melakukan tindakan KKN. Dan terakhir, seluruh proses peradilan tersebut harus dapat diawasi, saat ini masalah pengawasan dinilai tidak berjalan dengan baik. Walaupun setiap institusi peradilan telah memiliki lembaga pengawas. Masalah pengawasan pada masa mendatang harus mendapat perhatian yang lebih baik dibandingkan saat ini. Dalam hal ini indikator kondisi peradilan yang buruk menurut masyarakat tersebut dapat lebih jelas terlihat menurut data-data yang diperoleh dari lapangan berikut ini:

No

Indikator Kondisi Peradilan yang Buruk Hakim Jaksa

RESPONDEN (%) Polisi Advokat/ pengacara Akademisi/LSM

1

Lembaga peradilan tidak bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme

70.2

66.7

55.8

85.4

85.4

2

Tidak ada kemandirian aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas

61.4

76.7

71.4

80.6

80.6

3

Asas sederhana, cepat dan biaya ringan tidak dapat terlaksana dengan baik.

59.9

59.0

46.8

69.3

69.3

4

Terdapat berbeda

penafsiran terhadap

yang

48.2

70.4

25.6

43.5

43.5

peraturan 21.7 23.1 21.0 29.0 29.0

perundang-undangan 5 Lain lain

Adapun yang menjadi faktor dominan penyebab buruknya kondisi peradilan Indonesia itu apabila dikuantifisir adalah sebagai berikut:

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 41 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

No

Faktor Dominan Penyebab Buruknya Kondisi Peradilan di Indonesia Hakim Jaksa

RESPONDEN (%) Polisi Advokat/ pengacara 39.1 45.0 33.0 31.6 Akademisi /LSM 37.0

1

Peraturan

perundang- undang-

undangan yang tumpang tindih 2 Perbedaan penafsiran atas 35.6 60.3 32.4 24.0 24.1

peraturan perundang undangan 3 4 5 6 SDM yang tidak berkualitas Terjadi KKN di lembaga Peradilan Lain-lain Tidak menjawab 48.0 60.5 25.1 0.00 62.9 47.4 28.4 0.00 50.4 91.1 19.2 0.00 60.7 82.3 34.1 0.00 62.8 74.2 27.4 1.6

Selain data yang telah disebutkan diatas, berdasarkan penuturan Jhonson Panjaitan 49, masalah sumber daya manusia merupakan permasalahan yang sangat mendesak untuk segera ditangani. Hal ini dapat dilihat sejak awal penerimaan yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Untuk mengatasinya harus dimulai dengan menarik orang-orang terbaik dari universitas. Namun hingga saat ini belum ada konsep yang jelas untuk digunakan dalam upaya merekrut calon pejabat peradilan. Beberapa waktu yang lalu berkembang wacana untuk menerapkan pola perekrutan seperti yang dilakukan oleh Jepang50 dalam memilih petugas peradilan51. Berdasarkan sebaran responden tersebut masalah KKN dan kualitas SDM menjadi faktor yang paling penting untuk mendapat perhatian. Hal tersebut semakin dikuatkan dengan adanya data yang berhasil diperoleh dari lembaga ombudsman. Pandangan akan buruknya dunia peradilan dan sistem hukum serta kinerja lembaga-lembaga peradilan tersebut menyebabkan kepercayaan masyarakat semakin berkurang terhadap lembaga-

49Wawancara

dilakukan pada tanggal 17 April 2002.

50Pola perekrutan yang dimaksud adalah dengan mengumpulkan para calon unruk mengikuti ujian secara bersama-sama, kemudian berdasarkan hasil uji tersebut mereka dikelompokkan berdasarkan minat dan kemampuan untuk bertugas sebagai hakim, jaksa, atau pengacara. Setelah itu mereka diberi pelatihan secara bersama-sama dalam satu tempat. Mereka dilatih dengan dasar pengetahuan yang sama, sehingga pada akhir pelatuihan diharapkan mereka memiliki persamaan persepsi dalam upaya penegkan hukum. 51

Wawancara terhadap Luhut. M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M. Pada tanggal 2 Maret 2002.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 42 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

lembaga formal tersebut dan lari untuk mengadukan dan memperjuangkan nasibnya kepada lembaga yang sebenarnya secara tata kerja tidak berada secara langsung dalam sistem peradilan Indonesia seperti Komisi Ombudsman Nasional. Berdasarkan data pengaduan masyarakat yang masuk ke Komisi Ombudsman Nasional (KON) pada tahun 2001 menunjukan bahwa pengadilan adalah lembaga paling banyak diadukan, yaitu sebanyak 45% (261 laporan) dari total laporan yang masuk, 59% mengenai Pengadilan Negeri, meliputi 19% laporan mengenai Mahkamah Agung, 13% mengenai Pengadilan Tinggi, 5% mengenai Pengadilan Tata Usaha Negara, dan 4% mengenai Peradilan Agama52. 2. Lemahnya Penegakan Hukum Bagi Aparat Apabila ditelaah lebih jauh, kualitas sumber daya manusia adalah salah satu bidang yang menjadi pusat perhatian masyarakat pemerhati hukum di Indonesia ini. Keprihatinan akan keadaan tersebut, diperparah oleh sistem pengawasan bagi aparat yang sangat lemah menyebabkan permasalahan kualitas SDM menjadi prioritas pembenahan dalam mewujudkan sistem peradilan di Indonesia. Hal ini tercermin dari tabel berikut:

Prioritas

Menata peraturan perundang-

kembali

Meningkatkan kualitas SDM (%)

Melakukan penggan-tian SDM (%)

Lain-lain (%)

Tidak menjawab (%)

undangan (%) 1 2 3 4 28.5 20.7 13.4 1.7 52.2 29.1 3.9 0.4 7.8 11.6 14.0 1.7 11.2 11.2 9.7 6.9 0.2 27.4 59.0 89.2

Secara umum, berdasarkan urutan kelompok prio ritas yang telah disusun dapat ditarik kesimpulan bahwa langkah pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas SDM. Langkah kedua adalah menata kembali peraturan perundang -undangan. Pilihan melakukan penggantian SDM merupakan langkah ketiga yang disarankan untuk

Masduki, Ombudsman dan Pengawasan Lembaga Pengadilan, (Makalah disampaikan dalam seminar sehari Pengawasan Lembaga Peradilan, diselenggarkan oleh Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 18 Juli 2002. hal. 1.

52Teten

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 43 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

dilakukan. Tetapi pilihan tersebut merupakan pilihan yang dinilai cukup ekstrem sebagaimana pernah disarankan oleh salah satu narasumber dala