bab ii tinjauan pustaka a. anatomi neck
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Neck
1. Tulang
Tulang pada neck (leher) terdiri dari 7 tulang vertebrae, dari
superior ke inferior vertebrae ini diberi nama C1 sampai C7. Dua
tulang vertebrae pada atas yakni atlas C1 dan axis C2, dan tulang
vertebrae C7 memiliki bentuk yang berbeda dengan C3-C6 (Neumann,
2017)
Gambar 2. 1 Cervical Spine (Muscolino, 2017)
a. Cervical Vertebrae 1 (C1)
Cervical vertebrae C1 atau yang dikenal dengan sebutan
atlas. Atlas tidak memiliki badan atau procesus spinosus,
sebaliknya terdapat dua arkus dibagian anterior dan posterior. Di
setiap arkus terdapat tuberkulum yang berfungsi untuk
7
menempelkan otot. Arkus pada bagian anterior lebih kecil dan
berartikulasi dengan axis (Weaker, 2012)
Gambar 2. 2C1 Atlas (Weaker, 2012)
b. Cervical Vertebrae 2 (C2)
Cervical vertebrae 2 atau juga dikenal dengan sebutan axis.
Pada bagaian C2 memiliki procesus spinosus yang sangat besar
dan sangat mudah untuk dipalpasi (Muscolino, 2017)
Gambar 2. 3 C2 Axis (Weaker, 2012)
8
c. Cervical Vertebrae (C3-C6)
C6-C7 memiliki bentuk tulang yang sama dengan bentuk
persegi panjang berukuran kecil yang relatif padat dan cangkang
kortikal yang kuat (Neumann, 2017).
Gambar 2. 4 Struktur Tulang C1-C7 (Neumann, 2017)
d. Cervical Vertebrae Prominens (C7)
C7 juga dikenal sebagai vertebra prominens merupakan
tulang cervical vertebrae yang sangat meninjol dan memiliki
ukuran terbesar dari semua tulang cervical vertebrae (Neumann,
2017)
2. Sendi
Terdapat tiga sendi pada cervical yaitu atlanto occipital joint,
atlantoaxial joint, dan Intracervical apophyseal joint (C2-C7)
a. Atlanto-Ocipital Joint
Atlanto-Ocipital Joint ini terletak diantara atlas (C1) dan occiput.
Gerakan pada yakni gerakan fleksi-ekstensi dan lateral fleksi
cervical (Muscolino, 2017)
9
b. Atlanto-Axial Joint
Atlanto-Axial Joint dikenal dengan nama joint C1-C2
karena terletak diantara atlas (C1) dan axis (C2) gerakan utama
adalah gerakan rotasi cervical ditambah dengan gerakan fleksi-
ekstensi (Muscolino, 2017).
c. Intracervical apophyseal joint (C2-C7)
Pada Intracervical apophyseal joint (C2-C7) ini terjadi
gerakan fleksi-ekstensi, rotasi dan lateral fleksi cervical
(Neumann, 2017).
Gambar 2. 5 Sendi Cervical (Neumann, 2017)
3. Ligament
Pada bagian neck terdapat beberapa ligament yaitu : anterior
longitudinal ligament, posterior longitudinal ligament, ligament falva,
intraspinous ligament, supraspinous ligamments, intertranverse
ligaments, dan nuchal ligament.
10
Gambar 2. 6 Ligament Neck (Leher) (Muscolino, 2017)
Nama ligament Lokasi ligament Fungsi ligament
Anterior
Longitudinal
Ligament
Antara bagian basilar
tulang oksipital dan
keseluruhan tulang
vertebral.
Membatasi ekstensi
atau lordosis pada
cervical dan
memperkuat sisi
anterior pada
intervertebral discs
(Neumann, 2017)
Posterior
Longitudinal
Ligament
Antara bagian basilar
tulang oksipital dan
keseluruhan tulang
vertebral.
Membatasi ekstensi
atau lordosis pada
cervical dan
memperkuat sisi
anterior pada
intervertebral discs
(Neumann, 2017)
Flava Ligament
Dua ligament
(ligamentum falvum)
berada di sisi kiri dan
kanan spinal colum.
Berada pada
sepanjang garis
anterior laminae
vertebra di dalam
spinal kanal tulang
vertebrae (Muscolino,
2017)
Interspinous
Ligament
Pada bagian posterior
ligament sepanjang
permukaan bagian
posterior vertebralis
antara axis (C2).
Fleksi limit pada
spinal joint
(Muscolino, 2017).
11
Supraspious
ligament
Berada disepanjang
tepi posterior
processus spinosus
pada vertebrae.
Membatasi fleksi pada
spinal joint
(Muscolino, 2017).
Intertranverse
Ligament
Berada di antara
processus transversus
Membatasi
kontralateral lateral
fleksi pada spinal joint
(Muscolino, 2017)
Nuchal
Ligaments
Membentang di
sepanjang dan
diantara spinous
processus dari C7 ke
external occipital
protuberance (EOP).
Membatasi fleksi pada
spinal joint dan
sebagai pengikat pada
otot neck (leher)
(Muscolino, 2017).
Tabel 2. 1 Ligament Neck (Leher)
4. Otot
a. M. Sternocleidomastoid
Biasanya terletak pada bagian superficial pada bagaian
anterior pada leher. Pada bagian inferior menempel pada 2 bagian:
medial menempel pada sternal dan baguian lateral menempel pada
bagian clavicular (Neumann, 2017).
Gambar 2. 7 M. Sternocleidomastoid (Muscolino, 2017)
b. M. Scalene
M scalene menempel pada bagian tubercles processus
tranversus yakni pada C3-C6 (Neumann, 2017).
12
Gambar 2. 8 M Scalene (Muscolino, 2017)
c. M. Longus Colli dan M. Longus Capitis
Longus colli dan longus capitis terletak dibagian dalam
sampai cervical viscera (trachea dan esophagus) di kedua sisi
cervical columna (Neumann, 2017).
Gambar 2. 9 M Longus Colii dan M Longus Capitis
(Muscolino, 2017)
d. M. Rectus Capitis Anteriror dan Rectus Capitis Lateralis
Rectus capitis anterior dan rectus capitis lateralis adalah
dua otot yang pendek dan merupakan otot pada bagian deep
(dalam) yang melintang pada processus tranversus dari atlas (C1)
dan masuk ke bagian inferior tulang oksipital (Neumann, 2017).
13
Gambar 2. 10 M Rectus Capitis Anterior dan Rectus Capitis
Lateralis (Muscolino, 2017)
e. M. Splenius Cervicis dan Capitis
M. splenius cervicis dan capitis adalah pasangan otot yang
berbentuk panjang dan tipis. Otot splenius terletak dari bagian
inferior ligamentum nuchae dan processus spinosus dari C7 ke T6,
jauh lebih dalam dari otot trapezius . splenius cervicis menempel
pada tubercles posterior dari processus tranversus C1-
C3(Neumann, 2017)
Gambar 2. 11 Splenius Cervicis dan Capitis (Muscolino,
2017)
14
f. M. Suboccipital
Otot suboccipital terdiri dari empat pasang otot yaitu:
obliqus capitis superior, obliqus capitis inferior, rectus capitis
posterior minor, rectus capitis posterior major. Otot-otot tersebut
terletak pada bagian yang sangat dalam pada neck (leher), dan
terletak pada superficial dari sendi atlantooccipital dan atlanto-
axial. Otot ini relatif pendek tapi tebal dan menempel pada bagian
atlas (C1), axis (C2), dan tulang occipital (Neumann, 2017).
Gambar 2. 12 M. Suboccipital (Neumann, 2017)
5. Osteokinematik dan Artokinematik
Osteokinematik adalah pergerakan sendi yang dilihat dari gerak
tulang saja. Arthokinematik adalah gerakan yang terjadi pada
permukaan sendi. Dari kedua gerakan dapat diuraikan menjadi
gerakan traksi-kompresi, translasi, dan spin. Sedangkan gerakan
fisiologisnya berupa fleksi, ekstensi, lateral fleksi, dan rotasi
(Abdurachman, 2017).
15
Gambar 2. 13Gerakan ekstensi A. Atlanto-Ocipital Joint, B.
Atlanto-Axial Joint, C. Intracervical apophyseal joint
(Neumann, 2017)
Gambar 2. 14 Gerakan fleksi A. Atlanto-Ocipital Joint, B.
Atlanto-Axial Joint, C. Intracervical apophyseal joint
(Neumann, 2017)
Gambar 2. 15Gerakan rotasi A. Atlanto-Axial Joint, B.
Intracervical apophyseal joint (Neumann, 2017)
16
B. Non-Specific Neck Pain
1. Definisi
Non-specific neck pain merupakan nyeri leher yang di definisikan
sebagai nyeri pada bagian posterior dan lateral antara leher pada garis
nuchal superiror dan spinous processus thoracis vertebrae pertama
tanpa tanda atau gejala patalogi struktural utama serta tidak ada tanda-
tanda neurologis dan patologi spesifik (Hidalgo et al., 2017). Menurut
sumber yang berbeda non-specific neck pain didefinisikan sebagai
nyeri leher sederhana, tidak ada penyakit tersembunyi yang
menyebabkan rasa sakit. Ditandai dengan rasa nyeri pada kulit,
ligament, dan otot. Mekanisme patofisiologi dari non-specific neck
pain tidak diketahui secara jelas karena banyak faktor penyebab dari
non-specific neck pain (Yasin et al., 2019). Menurut Bailey et al.,
(2020), non-specific neck pain juga didefinisikan sebagai rasa sakit
atau ketidaknyamanan pada sekitar leher dan shoulder girdle, dengan
atau tanpa nyeri perubahan sensorik ke lengan dengan atau tanpa
gangguan cervical range of movement (ROM) dan tidak adanya
infeksi, inflamasi atau patologi struktural (misal, fracture)
2. Epidemiologi
Pada tahun 2017 jumlah kasus neck pain adalah 288,7 juta (95%
interval ketidakpastian 254,7 sampai 323,5 juta) dengan standar usia
poin prevalensi per 100000 penduduk dari 3551,1. Jumlah kecacatan
akibat neck pain pada level gelobal tahun 2017 mencapai 28,6 juta
(95% interval 20,0-40,2 juta) dengan standar usia per 100000
17
penduduk, dan ini juga tidak berubah dari tahun 1990 hingga 2017.
Menurut data global neck pain sering terjadi pada wanita dibandingkan
dengan pria, meskipun tidak begitu signifikan dengan jumlah 0.05
(Safiri et al., 2017). Di Indonesia setiap tahunnya terdapat jumlah
prevalensi sekitar 16,6% populasi dewasa yang mengalami keluhan,
bahkan 0,6% mengalami keluhan neck pain yang lebih berat
(Nadhifah et al., 2019).
3. Etiologi
Non-specific neck pain mengacu pada nyeri leher yang penyebab
utamanya tidak bisa ditelusuri ke penyakit sistemik tertentu. Non-
specific neck pain bisa disebabkan karena multifaktor dalam etiologi
mencakup jenis kelamin, usia, kesehatan yang buruk dan postur yang
salah (Kaka et al., 2017). Non-specific neck pain memiliki banyak
faktor dengan faktor etiologi berupa alignment yang buruk, suasana
hati yang turun, ketegangan leher dan cedera olahraga (Yasin et al.,
2019).
4. Patofisiologi
Patofisiologi dari non-specific neck pain memang tidak di ketahui
secara jelas karena banyak faktor yang menyebabkan non-specific neck
pain. Dari beberapa faktor tersebut membuat terjadinya pemendekan
otot (muscle contracture) sehingga menggangu keseimbangan otot
dalam mempertahankan posisi postural (musculair disbalance)
akibatnya terjadi hypertonus pada otot-otot yang mengalami
18
pemendekan (contracture). Hypertonus yang terjadi terus menerus
menjadi salah satu pencetus nyeri (Haryanto & Kuntono, 2016).
5. Klasifikasi
Klasifikasi neck pain berdasarkan durasi: Akut nyeri kurang dari 6
mingggu, subakut nyeri 3 bulan, dan kronis nyeri lebih dari 3 bulan
(Cohen, 2015).
Neck pain terbagi menjadi 4 grades berdasarkan Neck Pain Task
Force (NPTF):
a. Grade I : nyeri leher tanpa tanda atau gejala sugestif mayor
patologi structural dan tidak ada atau ada gangguan kecil dengan
aktivitas sehari-hari.
b. Grade II: tidak ada tanda atau gejala patologi struktural utama
tetapi terganggu dalam aktivitas sehari-hari.
c. Grade III: tidak ada tanda dan gejala patologi struktural utama
tetapi adanya tanda-tanda gangguan neurologis seperti penurunan
reflex. Kelemahan, atau devisit sensorik.
d. Grade IV: terdapat tanda atau gejala patologi struktural (Bier et al.,
2017).
6. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang timbul akibat neck pain (nyeri leher) berupa
ketegangan atau spasme otot di daerah leher yang dapat
mengakibatkan kekakuaan dan keterbatasan gerak leher sehingga
fungsional leher akan terhambat (Trisnowiyanto, 2017). Selain itu
menurut sumber yang berbeda tanda gejala yang muncul adalah sakit
19
pada area leher, nyeri, kaku pada otot leher, dan terkadang terjadi
migraine dan sakit kepala (Haryanto & Kuntono, 2016).
7. Faktor Resiko
Beberapa faktor yang dapat mengakibatkan non-spesific neck pain
seperti faktor genetik, physiological seperti depresi, gangguan
kecemasan, gangguan tidur, hingga gaya hidup (Cohen & Hooten,
2017). Selain itu kurangnya aktivitas fisik dapat mengakibatkan
kurangnya kelenturan dan kekuatan otot, terkait dengan postur statis
yang membuat kelelahan otot lokal akibat posisi statis yang dilakukan
dalam waktu yang lama juga berkaitan dengan faktor terjadinya non-
spesific neck pain (Minghelli, 2020). Dari beberapa penelitian faktor
utama neck pain pada pekerja yakni faktor dari lingkungan tempat
kerja dimana pada beberapa pekerja memiliki tempat kerja yang buruk
sehingga dapat menimbulkan neck pain itu sendiri (Cohen, 2015).
C. Non-Specific Neck Pain pada Usia Produktif
1. Defenisi
Usia produktif adalah usia dalam rentang 15-64 tahun atau usia
dimana dapat melakukan kegiatan ketenagakerjaan sehingga
menghasilkan jasa ataupun barang (Adisti & Imron, 2017). Usia
produktif merupakan usia yang banyak melakukan aktifitas dan aktif
dalam melakukan pekerjaanya (Prianthara et al., 2019). Salah satu
masalah kesehatan yang sering muncul pada pekerja adalah nyeri pada
otot leher atau neck pain. Keluhan tersebut dirasakan mulai dari yang
ringan hingga sangat sakit. Neck pain atau nyeri leher merupakan
20
masalah yang umum dengan dua per tiga populasi pernah mengalami
neck pain dalam kehidupannya (Nadhifah et al., 2019). Penyakit
akibat kerja dapat timbul karena adanya ketidakseimbangan antara
tugas, organisasi dan lingkungan. Berkerja dalam posisi statis dan
repetitive secara terus-menerus dapat mengakibatkan timbulnya
penyakit kerja yang berdampak pada penurunan produktivitas kerja
(Nugraha et al., 2019).
Pada pekerja berbagai jenis pekerjaan dapat mengakibatnya nyeri
leher selama bekerja seperti pada pekerja kantoran, pekerja bank,
pekerja pabrik, supir dan orang-orang yang berkeja dengan posisi
kepala ke depan dalam jangka waktu yang lama (Yasin et al., 2019).
Terdapat beberapa faktor resiko timbulnya nyeri leher dan bahu pada
pekerja yaitu: jumalah jam kerja, postur tubuh yang salah, melakukan
gerakan yang berulang-ulang, serta mempunyai riwayat keluhan
sebelumnya (Nugraha et al., 2019). Selain faktor tersebut faktor usia
dan jenis kelamin juga berpengaruh, dimana perempuan memiliki
prevalensi lebih tinggi dan lebih rentan terhadap faktor resiko
lingkungan dibandingka pria (Nadhifah et al., 2019).
2. Masa Kerja
Salah satu faktor yang berpengaruh timbulnya neck pain yaitu
masa kerja, dimana semakin lama waktu kerja seseorang semakin
besar resiko untuk mengalami non-specific neck pain atau nyeri pada
leher. Keluhan akan meningkat sejalan dengan aktivitas fisik yang
semakin bertambah. Hal tersebut beresiko karena keluhan-keluhan
21
pada musculoskeletal biasanya akan dirasakan pada pekerja yang
memiliki masa kerja lebih dari lima tahun. Durasi kerja juga
berpengaruh terhadap timbulnya non-specific neck pain dimana jika
pekerjaan yang dilakukan berlangsung dalam waktu yang lama maka
kemampuan tubuh akan menurun dan menyebabkan keluhan pada
anggota tubuh. Durasi atau lama dalam berkerja dibagi menjadi tiga
yaitu: durasi singkat kurang dari 1 jam per hari, durasi sedang 1-2 jam
per hari, dan durasi lama yaitu lebih dari 2 jam (Safitri et al., 2017).
Resiko non-specific neck pain meningkat pada pekerja dengan
durasi lebih dari 2 jam karena respon tubuh untuk maksimal berkerja
dalam keadaan leher statis adalah 1 sampai 2 jam. Durasi kerja
maksimal dalam sehari yaitu 8 jam, meningkatkan durasi kerja akan
berakibat dalam penurunan kemampuan kerja dan meningkatkan resiko
penyakit akibat kerja. Maka dari itu durasi kerja berfungsi sebagai
penentu kesehatan kerja pada pekerja secara tidak langsung serta
berkaitan dengan efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja (Dewi et
al., 2019).
3. Posisi Kerja
Salah satu aspek yang diperhatikan dalam ergonomi adalah posisi
kerja, dimana posisi tubuh saat berkerja yang sama dan berulang
mempunya hubungan dengan neck pain. Postur normal yaitu ketika
otot dan sendi beristirahat secara alami dan seimbang sedangkan
postur janggal adalah penyimpangan dari posisi netral (Safitri et al.,
2017). Para pekerja yang mengalami keluhan nyeri leher atau neck
22
pain jika dilihat dari posisi kerjanya adalah pekerja yang sering
menggunakan leher, tangan, dan bahu dengan gerakan yang sama.
Selain itu, berkerja dengan posisi kepala yang menunduk jangka
waktu yang lama juga merupaka faktor resiko terjadi neck pain.
Melakukan pekerjaan dengan sikap posisi kerja yang salah dapat
membuat beban kerja otot bertambah sehingga timbul rasa nyeri
(Nadhifah et al., 2019).
Pada seseorang yang berkerja dengan posisi statis secara terus
menerus membuat otot lelah dan stress, saat itu akan terjadi
penumpukan asam laktat dan substansi “p” seperti prostaglandin,
histamine, bradikinin dan serotonin. Penumpukan zat-zat tersebut
mempengaruhi aliran darah membuat aliran darah tersumbat
mengakibatkan sirkulasi dalam darah tidak lancar sehingga timbul
ketidakseimbangan metabolisme dalam otot. Hal tersebut
menimbulkan perubahan struktur jaringan dalam otot seperti terdapat
spasme, tautband, muscle imbalance dan lain sebagainya. Dimana
pada kondisi tersebut menstimulasi nosiceptor pada otot sehingga
menimbulkan rasa nyeri (Wahyuningsih et al., 2017).
D. Deep Friction Massage
1. Definisi
Deep friction massage merupakan suatu teknik pijat yang disebut
friction dimana mennel yang mengusulkan teknik tersebut pada tahun
1982. Namun deep friction massage diperkenalkan secara resmi dan di
populerkan pada dunia klinis pada tahun 1984 oleh Dr. jemes Cyriax.
23
Deep friction massage dibedakan dengan pijat umum lainya karena
teknik tersebut dapat mencapai struktur dalam tubuh seperti ligament,
tendon dan otot (Pitsillides & Stasinopoulos, 2019). Friction
merupakan salah satu bentuk massage dengan menggunakan ibu jari
dengan penekanan dan gerakan tranverse atau sirkuler dengan
permukaan jari tetap kontak dengan kulit. Teknik deep friction
bertujuan untuk mengurangi spasme atau thigtnes otot, memecahkan
jaringan parut (scart tissue) yang adhesive, serta menyusun kembali
serabut otot dan ligament ke pola yang lebih biofungsional (Tang,
2018). Deep friction massage memiliki empat tujuan utama yaitu:
untuk menginduksi pereda nyeri, menghasilkan gerakan terapeutik,
menghasilkan hipermia traumatis pada lesi kronis, dan memperbaiki
fungsi (Pitsillides & Stasinopoulos, 2019).
Gambar 2. 16 Teknik Friction Massage (Badaru, 2020)
Untuk dosis penatalaksanaan dari massage biasa dilakukan
dengan frekuensi 3 kali seminggun, intensitas deep friction, waktu
selama 5 menit per sesinya (Ladopurab et al., 2012). Massage di
24
berikan pada area leher otot-otot leher, area spine atau tulang
belakang, dan otot area chest (dada) (Skillgate et al., 2015).
2. Efek Fisiologi
Deep friction massage memilik efek menonaktifkan trigger
point pada otot yang mengalami tightness dimana tekanan yang
diberikan mampu menjangkau lapisan otot yang dalam sehingga
efektif karena tepat mencapai trigger point. Selain itu massage
memiliki efek relaksasi karena teknik ini akan merangsang tubuh
melepaskan senyawa endorphine untuk meredakan rasa sakit.
Kemudian mendapat efek relaksasi dengan melancarkan sirkulasi
pada darah. Saat nyeri meredah maka secara fungsional fungsi
leher akan terkoreksi secara baik (Winaya et al., 2019)
E. Neck Stabilization Exercise
1. Definisi
Neck stabization exercise merupakan latihan yang dirancang untuk
mengembalikan ketahanan dan koordinasi pada otot cervical. latihan ini
dilakukan dengan mengembangkan control area dari proximal tubuh
yang setabil ditandai respon bebas dan dapat diberi beban tahanan yang
berubah-ubah. Saat melakukan latihan stabilisai, dilakukan dengan
kontraksi otot statik (isometrik), karena berperan dalam menahan
segmen tubuh agar tidak bergerak (Wahyuningsih et al., 2017). Pada
neck stabilization exercise menggunakan bantuan theraband,
penggunaan theraband dengan warna yang berbeda menunjukan
resistensi yang bervariasi. Latihan dimulai dengan theraband yang
25
memiliki resistensi yang paling rendah dan berkembang ke resistensi
yang semakin besar. Selama latihan elongasi pada theraband didorong
untuk dipertahankan 100% tergantung tingkatan nyeri dan kemampuan
partisipan untuk mempertahankan elongasi (Kaka et al., 2017).
Warna theraband Peningkatan sebelum
100% elongasi
Resistensi dalam
pound 100% elongasi
Theraband merah 25% 3.7
Theraband hijau 25% 4.6
Theraband biru 25% 5.8
Tabel 2. 2 Jenis Theraband
Latihan-latihan yang dilakukan yaitu:
a. Chin Tuck: dalam posisi berdiri menarik dagu ke belakang (seolah
membuat dagu ganda) dilakukan dengan 15x repetisi.
b. Cervical Extension: dalam posisi berdiri menaikan kepala dengan
tangan seekstensi mungkin dilakukan 15x repetisi.
c. Shoulder Shurgs: dalam posisi berdiri angkat bahu hingga
membawanya sampai ke telinga dilakukan 15x repetisi.
d. Shoulder Rolls: dalam posisi berdiri putar bahu kearah depan
dengan gerakan memutar kemudian gerakan bahu kearah belakang
gerakan tersebut dilakukan 15x repetisi.
e. Scapular Retraction: dalam posisi berdiri gerakan bahu kearah
belakang secara bersamaan kemudian rileks ulangi gerakan tersebut
15x repetisi (Kaka et al., 2017).
26
Gambar 2. 17 Neck Stabilization Exercise (Akodu et al.,
2021)
Pada penelitian lainya didapatkan perlakuan yang berbeda
yaitu terdiri dari pemanasan selama 5 menit, latihan utama 30
menit, dan pendinginan sema 5 menit. Pada pemanasan dan
pendinginan terdiri peregangan leher dan latihan utamanya yaitu:
a. Deep neck flexor isometric exercise pada posisi supine.
b. Multidirectional isometric exercise (cervical fleksi, ekstensi, rotasi)
pada posisi duduk.
c. Latihan gerakan ekstremitas atas.
d. Latihan resisten dengan theraband (Shin et al., 2020)
Gambar 2. 18 Neck Stabilization Excercise (Celenay et al.,
2016)
27
2. Efek fisiologi
Neck Stabilization exercise merupakan serangkaian latihan dengan
tujuan meningkatkan keseimbangan otot-otot leher dan punggung atas
sehingga membantu mempertahankan postural leher, meningkatkan
flexibilitas otot leher, meningkatkan daya tahan otot, serta memperbaiki
muscle imbalance. Adapun efek pemberian latihan stabilisasi dapat
meningkatkan fleksibilitas tulang belakang sekaligus mengurangi nyeri,
memulihkan disabilitas leher dan menjaga posisi leher serta mengurangi
kemungkinan reinjury (Wahyuningsih et al., 2017). Kekuatan kuartif
dari latihan stabilisasi berasal dari kemampuannya untuk meningkatkan
fungsi sensoris motoris dan merelaksasi (Kaka et al., 2017). Metode
terapi latihan pada jaringan lunak dan persendian untuk memulihkan
ROM, mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi mobilitas, motoris
dan sensoris (Celenay et al., 2016).
F. Alat Ukur
1. Visual Analog Scale
Visual Analog Scale (VAS) adalah alat ukur yang digunakan untuk
mengukur intensitas nyeri meliputi 10 cm garis, dengan setiap ujungnya
ditandai dengan tingkatan intensitas nyeri pada bagian ujung kiri diberi
tanda “no pain” (tidak ada nyeri) dan ujung kanan diberi tanda “bad
pain” (nyeri hebat). Cara penggunaanya pasien diminta untuk menandai
garis tersebut sesuai dengan tingkatan intensitaitas nyeri yang dirasakan
oleh pasien. Kemudian skor tersebut dicatat untuk melihat
perkembangan pengobtan atau terapi (Wahyuningsih et al., 2017)
28
2. Numerical Pain Rating Scale
Numerical Pain Rating Scale (NPRS) atau Numerical Rating Scale
(NRS) adalah alat ukur yang meminta pasien untuk menilai intensitas
rasa nyeri yang dirasakan dengan angka 0 hingga 10. Hasil dari NPRS
dibagi menjadi 4 kategori, yaitu 0 tidak ada rasa sakit, 1-3 nyeri
intensitas ringan, 4-6 nyeri dengan intensitas sedang dan 7-10 nyeri
dengan intensitas berat (Yustianti & Pusparini, 2019).
3. Neck Disability Index
Neck Disability Index (NDI) adalah kuisioner yang dibuat untuk
mengukur disabilitas leher. Pada kuisioner tersebut berisi 10 pertanyaan
mengenai nyeri dan aktivitas sehari-hari meliputi perawatan diri,
mengangkat, membaca, sakit kepala, konsentrasi, pekerjaan,
mengemudikan mobil, tidur dan rekreasi. Dalam kuisioner ini terdapat
pertanyaan spesifik seberapa beratnya disabilitas yang diderita pada saat
melakuakn aktifitas tertentu. Penentuan nilai atau skor pada
pengukuaran ini adalah pernyataan pertama yaitu tidak ada disabilitas
diberi nilai 0, kemudian pernyataan kedua diberi nilai 1, pernyataan
ketiga diberi nilai 2, dan seterusnya sampai pernyataan ke enam
disabilitas terberat diberi nilai 5. Setelah itu dihitung total jumlah nilai
dengan rumus: jumlah total dibagi nilai maksimal dikalikan 100 dan
hasil yang didapat akan berbentuk persentase (%) (Wahyuningsih et al.,
2017)