bab ii tinjauan pustaka 2.1. pengertian jalaneprints.umm.ac.id/61947/3/bab ii.pdfjalan khusus...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Jalan
Menurut Undang-Undang No. 38 tahun 2004, jalan adalah prasarana
transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap
dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada
permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air,
serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
2.2. Klasifikasi Jalan
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1997), jalan raya pada umumnya
dapat digolongkan dalam 4 klasifikasi, yaitu: klasifikasi menurut fungsi jalan,
klasifikasi menurut kelas jalan, klasifikasi menurut medan jalan, dan klasifikasi
menurut wewenang jalan.
2.2.1. Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan
Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas:
Jalan Arteri: Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk
dibatasi secara efisien,
Jalan Kolektor: Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi
dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan
jumlah jalan masuk dibatasi,
Jalan Lokal: Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.
7
2.2.2. Klasifikasi Menurut Kelas Jalan
Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam
satuan ton. Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan
klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Klasifikasi Menurut Kelas Jalan
Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat
MST (ton)
Arteri
I >10
II 10
III A 8
Kolektor III A
8 III B
Lokal III C 8 Sumber: DPU (1997)
2.2.3. Klasifikasi Menurut Medan Jalan
Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar
kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Klasifikasi menurut medan
jalan dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Klasifikasi Berdasarkan Medan Jalan
No. Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)
1 Datar D < 3
2 Perbukitan B 3 – 25
3 Pegunungan G > 25
Sumber: DPU (1997)
2.2.4. Klasifikasi Menurut Wewenang Pembinaan Jalan
Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai PP. No.26/1985
adalah jalan Nasional, Jalan Provinsi, Jalan Kabupaten/Kotamadya, Jalan Desa, dan
Jalan Khusus.
Jalan Nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem
jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibu kota provinsi dan
jalan strategis nasional serta jalan tol.
8
Jalan Provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan
primer yang menghubungkan ibu kota provinsi dengan ibu kota
kabupaten/kota, atau antar ibu kota kabupaten/kota dan jalan strategis
provinsi.
Jalan Kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan
primer yang tidak termasuk pada jalan nasional dan jalan provinsi yang
menghubungkan ibu kota kabupaten dengan ibu kota kecamatan.
Jalan Desa merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan
dan/atau antar pemukiman di dalam desa serta jalan lingkungan.
Jalan Khusus merupakan jalan yang dibangun dan dipelihara oleh
instansi atau badan hukum atau perorangan untuk melayani
kepentingan masing-masing.
2.3. Pengertian Perkerasan Jalan
Menurut Saodang (2005), perkerasan jalan adalah lapisan konstruksi yang
dipasang langsung di atas tanah dasar badan jalan pada jalur lalu lintas yang
bertujuan untuk menerima dan menahan beban langsung dari lalu lintas.
2.4. Kinerja Perkerasan Jalan
Berdasarkan suatu studi oleh Sasuwuk, Waani dan Rumayar (2019), dalam
Highway Research Board (1962), kinerja perkerasan jalan merupakan fungsi dari
kemampuan relatif pada perkerasan untuk melayani lalu lintas dalam suatu periode
tertentu.
Menurut Sukirman (1999), kinerja perkerasan jalan (pavement performance)
meliputi 3 hal, yaitu:
Keamanan, yang ditentukan oleh besarnya gesekan akibat adanya kontak
antara ban dan permukaan jalan. Besarnya gaya gesek yang terjadi
dipengaruhi oleh bentuk dan kondisi ban, tekstur permukaan jalan, kondisi
cuaca, dan lain sebagainya.
9
Wujud perkerasan (structural perkerasan), sehubungan dengan kondisi fisik
dari jalan tersebut seperti adanya retak-retak, amblas, alur, gelombang dan
lain sebagainya.
Fungsi pelayanan (functional performance), sehubungan dengan bagaimana
perkerasan tersebut memberikan pelayanan kepada pemakai jalan. Wujud
perkerasan dan fungsi pelayanan umumnya merupakan satu kesatuan yang
dapat di gambarkan dengan “kenyamanan mengemudi (riding quality)”.
2.5. Umur Rencana
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987), dijelaskan bahwa umur
rencana adalah jumlah waktu dan tahun dihitung sejak jalan tersebut mulai dibuka
sampai saat diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu diberi lapis permukaan
yang baru. Umur rencana adalah jumlah tahun dari saat jalan tersebut dibuka untuk
lalu lintas kendaraan sampai diperlukan suatu perbaikan yang bersifat struktural.
Menurut Sukirman (1999), selama umur rencana tersebut pemeliharaan
perkerasan jalan tetap harus dilakukan, seperti pelapisan non struktural yang
berfungsi sebagai lapisan aus dan kedap air. Umur rencana untuk perkerasan lentur
jalan baru umumnya diambil 20 tahun dan untuk peningkatan jalan 10 tahun. Umur
rencana yang lebih besar dari 20 tahun tidak lagi ekonomis karena perkembangan
lalu lintas yang terlalu besar dan sukar mendapatkan ketelitian yang memadai.
Sedangkan menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003),
umur rencana perkerasan jalan ditentukan atas pertimbangan klasifikasi fungsional
jalan, pola lalu lintas serta nilai ekonomi jalan yang bersangkutan, yang dapat
ditentukan antara lain dengan metode Benefit Cost Ratio, Internal Rate of Return,
kombinasi dari metode tersebut atau cara lain yang tidak terlepas dari pola
pengembangan wilayah. Umumnya perkerasan beton semen dapat direncanakan
dengan umur rencana 20 tahun sampai 40 tahun.
10
2.6. Jenis Konstruksi Perkerasan
Menurut Sukirman (1999), berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi
perkerasan jalan dapat dibedakan atas:
Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya
bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat. Pelat beton
dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas tanah dasar dengan atau tanpa
lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat
beton.
Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan
kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur di atas perkerasan
kaku, atau perkerasan kaku di atas perkerasan lentur.
2.7. Perkerasan Lentur Metode Bina Marga SKBI-2.3.26.1987
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987), perkerasan lentur adalah
perkerasan yang umumnya menggunakan bahan campuran beraspal sebagai lapis
permukaan serta bahan berbutir sebagai lapisan di bawahnya.
2.7.1. Struktur Lapis Perkerasan Jalan
Pada umumnya lapisan perkerasan jalan dibagi menjadi tiga bagian,
meliputi: lapis pondasi bawah, lapis pondasi, dan lapis permukaan. Struktur lapis
perkerasan dapat dilihat pada Gambar 2.1.
D1 Lapis Permukaan
D2 Lapis Pondasi
D3 Lapis Pondasi
Bawah
Gambar 2.1. Susunan Lapis Perkerasan Jalan (DPU, 1987)
11
2.7.1.1. Tanah Dasar
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari
sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Umumnya persoalan yang menyangkut
tanah dasar adalah sebagai berikut:
Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah
tertentu akibat beban lalu lintas,
Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan
kadar air,
Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti
pada daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan
kedudukannya, atau akibat pelaksanaan,
Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu
lintas dari macam tanah tertentu,
Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan
yang diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir kasar (granular soil)
yang tidak dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan.
Untuk sedapat mungkin mencegah timbulnya persoalan di atas maka tanah dasar
harus dikerjakan sesuai dengan "Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Jalan Raya" edisi SKBI-2.3.26.1987.
2.7.1.2. Lapis Pondasi Bawah
Fungsi lapis pondasi bawah antara lain:
Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan
menyebarkan beban roda,
Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar
lapisan-lapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan
biaya konstruksi),
Untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi,
Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar.
12
Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar
terhadap roda-roda alat-alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa
harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca. Bermacam-macam tipe
tanah setempat (CBR ≥ 20%, PI ≤ 10%) yang relatif lebih baik dari tanah dasar
dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah. Campuran-campuran tanah
setempat dengan kapur atau semen portland dalam beberapa hal sangat dianjurkan,
agar dapat bantuan yang efektif terhadap kestabilan konstruksi perkerasan.
2.7.1.3. Lapis Pondasi
Fungsi lapis pondasi antara lain:
Sebagai bagian perkerasan yang menahan beban roda,
Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.
Bahan-bahan untuk lapis pondasi umumnya harus cukup kuat dan awet
sehingga dapat menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan
untuk digunakan sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan
pertimbangan sebaik-baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik. Bermacam-
macam bahan alam/bahan setempat (CBR ≥ 50%, PI ≤ 4%) dapat digunakan
sebagai bahan lapis pondasi, antara lain: batu pecah, kerikil pecah dan stabilisasi
tanah dengan semen atau kapur.
2.7.1.4. Lapis Permukaan
Fungsi lapis permukaan antara lain:
Sebagai bahan perkerasan untuk menahan beban roda,
Sebagai lapisan rapat air untuk melindungi badan jalan kerusakan
akibat cuaca,
Sebagai lapisan aus (wearing course).
Bahan untuk lapis permukaan umumnya adalah sama dengan bahan untuk
lapis pondasi, dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal
diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri
memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung
13
lapisan terhadap beban roda lalu lintas. Pemilihan bahan untuk lapis permukaan
perlu dipertimbangkan kegunaan, umur rencana serta pentahapan konstruksi, agar
dicapai manfaat yang sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan.
2.7.2. Jumlah Jalur dan Koefisien Distribusi Kendaraan (C)
Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas jalan
raya, yang menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas
jalur, maka jumlah jalur ditentukan dari lebar perkerasan menurut Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan
Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur (n)
L < 5,50 m 1 jalur
5,50 m ≤ L < 8,25 m 2 jalur
8,25 m ≤ L < 11,25 m 3 jalur
11,25 m ≤ L < 15,00 m 4 jalur
15,00 m ≤ L < 18,75 m 5 jalur
18,75 m ≤ L < 22,00 m 6 jalur
Sumber: DPU (1987)
Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat
pada jalur rencana ditentukan menurut Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Koefisien Distribusi Kendaraan (C)
Jumlah
Lajur
Kendaraan Ringan*) Kendaraan Berat**)
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 lajur 1,00 1,00 1,00 1,000
2 lajur 0,60 0,50 0,70 0,500
3 lajur 0,40 0,40 0,50 0,475
4 lajur - 0,30 - 0,450
5 lajur - 0,25 - 0,425
6 lajur - 0,20 - 0,400
Sumber: DPU (1987)
*) Berat total <5 ton, seperti, mobil penumpang, pick up, mobil hantaran
**) Berat total >5 ton, seperti, bus, truk, traktor, semi trailer, trailer
14
2.7.3. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Angka Ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (setiap
kendaraan) ditentukan berdasarkan daftar pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Beban Sumbu Angka Ekivalen
Kg Lb Sumbu
tunggal
Sumbu
ganda
1000 2205 0,0002 -
2000 4409 0,0036 0,0003
3000 6614 0,0183 0,0016
4000 8818 0,0577 0,0050
5000 11023 0,1410 0,0121
6000 13228 0,2923 0,0251
7000 15432 0,5415 0,0466
8000 17637 0,9238 0,0794
8160 18000 1,0000 0,0860
9000 19841 1,4798 0,1273
10000 22046 2,2555 0,1940
11000 24251 3,3022 0,2840
12000 26455 4,6770 0,4022
13000 28660 6,4419 0,5540
14000 30864 8,6647 0,7452
15000 33069 11,4184 0,9820
16000 35276 14,7815 1,2712
Sumber: DPU (1987)
2.7.4. Lalu Lintas Harian Rata-rata dan Rumus-rumus Lintas Ekivalen
a. Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR) setiap jenis kendaraan ditentukan
pada awal umur rencana, yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa
median atau masing-masing arah pada jalan dengan median.
b. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
LEP = ∑LHRj × Cj × Ej
n
j=1
Catatan: j = jenis kendaraan
15
c. Lintas Ekivalen Akhir (LEA) dihitung dengan rumus sebagai berikut:
LEA = ∑LHRj(1 + i)UR × Cj × Ej
n
j=1
Catatan: i = perkembangan lalu lintas
j = jenis kendaraan
d. Lintas Ekivalen Tengah (LET) dihitung dengan rumus sebagai berikut:
LET = 1 2 × (LEP + LEA)⁄
e. Lintas Ekivalesn Rencana (LER) dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
LER = LET × FP
FP ditentukan dengan rumus:
LET = UR 10⁄
2.7.5. Penentuan Harga California Bearing Ratio (CBR)
CBR lapangan biasanya digunakan untuk perencanaan lapis tambahan
(overlay). Untuk mengetahui nilai CBR dapat dilakukan sebagai berikut:
pengambilan contoh tanah dasar dilakukan dengan menggunakan tabung
(undisturb) – kemudian direndam dan diperiksa nilai CBR-nya atau pengukuran
langsung di lapangan (saat musim hujan, bila musim kemarau dilakukan
perendaman).
CBR laboratorium biasanya dipakai untuk perencanaan pembangunan jalan
baru. Sementara ini dianjurkan untuk mendasarkan daya dukung tanah dasar hanya
kepada pengukuran nilai CBR. Sedangkan cara lainnya yang bisa dipergunakan
diantaranya: Group Index, Plate Bearing Test atau R-value.
Setiap segmen jalan mempunyai satu nilai CBR yang dapat mewakili daya
dukung tanah dasar dan dipergunakan sebagai data perencanaan tebal lapisan
perkerasan dari segmen tersebut. Nilai CBR segmen dapat ditentukan dengan
menggunakan cara analisis atau cara grafis.
16
a. Metode Analitis
CBRsegmen = CBRrata−rata −CBRmax − CBRmin
R
Catatan: nilai R tergantung dari jumlah data yang terdapat dalam 1 (satu)
segmen, sebagaimana yang tertera pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6. Nilai R untuk Perhitungan CBR Segmen
Jumlah Titik
Pengamatan Nilai R
2 1,41
3 1,91
4 2,24
5 2,48
6 2,67
7 2,83
8 2,96
9 3,08
> 10 3,18
Sumber: Sukirman (1999)
b. Metode Grafis
Harga yang mewakili dari sejumlah harga CBR yang dilaporkan,
ditentukan sebagai berikut:
1. Tentukan harga CBR terendah,
2. Tentukan berapa banyak nilai CBR yang sama atau lebih besar dari
masing-masing nilai CBR dan kemudian disusun secara tabelaris
mulai dari nilai CBR terkecil sampai yang terbesar,
3. Angka terbanyak diberi nilai 100%, angka yang lain merupakan
prosentase dari 100%,
4. Buat grafik hubungan antara harga CBR dan prosentase jumlah tadi,
5. Nilai CBR segmen adalah nilai pada keadaan 90% dari grafik tersebut.
2.7.6. Daya Dukung Tanah (DDT) dan CBR
Dalam perencanaan tebal lapis perkerasan lentur, daya dukung tanah (DDT)
ditetapkan berdasarkan grafik korelasi antara nilai CBR dan DDT. Adapun grafik
korelasi antara nilai CBR dan DDT dapat dilihat pada Gambar 2.2.
17
Gambar 2.2. Korelasi antara Nilai CBR dengan DDT (DPU, 1987)
2.7.7. Faktor Regional (FR)
Keadaan lapangan mencakup permeabilitas tanah, perlengkapan drainase,
bentuk alinyemen serta persentase kendaraan dengan berat 13 ton, dan kendaraan
yang berhenti, sedangkan keadaan iklim mencakup curah hujan rata-rata per tahun.
Mengingat persyaratan penggunaan disesuaikan dengan "Petunjuk Perencanaan
Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya" edisi SKBI-2.3.26.1987, maka pengaruh
keadaan lapangan yang menyangkut permeabilitas tanah dan perlengkapan drainase
dapat dianggap sama. Dengan demikian dalam penentuan tebal perkerasan ini,
Faktor Regional hanya dipengaruhi oleh bentuk alinyemen (kelandaian dan
tikungan), persentase kendaraan berat dan yang berhenti serta iklim (curah hujan)
sebagaimana yang tertera pada Tabel 2.7.
18
Tabel 2.7. Faktor Regional (FR)
Kelandaiannn I
(< 6%)
Kelandaian II
(6 – 10%)
Kelandaian III
(>10%)
% kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat
≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 %
Iklim I
< 900 mm/th
0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5
Iklim II
> 900 mm/th
1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5
Sumber: DPU (1987)
Catatan: Pada bagian-bagian jalan tertentu, seperti persimpangan, pemberhentian
atau tikungan tajam (jari-jari 30 m) FR ditambah dengan 0,5. Pada daerah rawa-
rawa FR ditambah dengan 1,0.
2.7.8. Indeks Permukaan (IP)
Menurut Departemen Pekerjaan Umum, Indeks Permukaan menyatakan
nilai daripada kerataan atau kehalusan serta kekokohan permukaan yang bertalian
dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. Adapun beberapa nilai IP
beserta artinya adalah seperti di bawah ini:
IP = 1,0 : menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga
sangat mengganggu lalu Iintas kendaraan.
IP = 1,5 : tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak terputus).
IP = 2,0 : tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap.
IP = 2,5 : menyatakan permukaan jalan yang masih cukup stabil dan baik.
Dalam menentukan indeks permukaan (IP) pada akhir umur rencana, perlu
dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas
ekivalen rencana (LER), yang dapat dilihat pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8. Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IP)
LER = Lintas Ekivalen
Rencana *)
Klasifikasi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
100 – 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
> 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5
Sumber: DPU (1987)
19
*) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal.
Catatan: Pada proyek-proyek penunjang jalan, JAPAT/jalan murah atau jalan
darurat maka IP dapat diambil 1,0.
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) perlu
diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan)
pada awal umur rencana, menurut Tabel 2.9.
Tabel 2.9. Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana (IPo)
Jenis Permukaan IPo Roughness *)
(mm/km)
LASTON ≥ 4 ≤ 1000
3,9 – 3,5 > 1000
LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
BURDA 3,9 – 3,5 < 2000
BURTU 3,4 – 3,0 < 2000
LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3000
2,9 – 2,5 > 3000
LATASBUM 2,9 – 2,5
BURAS 2,9 – 2,5
LATASIR 2,9 – 2,5
JALAN TANAH ≤ 2,4
JALAN KERIKIL ≤ 2,4
Sumber: DPU (1987)
*) Alat pengukur roughness yang dipakai adalah roughometer NAASRA, yang
dipasang pada kendaraan standar Datsun 1500 station wagon, dengan kecepatan
kendaraan ± 32 km per jam. Gerakan sumbu belakang dalam arah vertikal
dipindahkan pada alat roughometer melalui kabel yang dipasang di tengah-tengah
sumbu belakang kendaraan, yang selanjutnya dipindahkan kepada counter melalui
"flexible drive”. Setiap putaran counter adalah sama dengan 15,2 mm gerakan
vertikal antara sumbu belakang dan body kendaraan. Alat pengukur roughness tipe
lain dapat digunakan dengan mengkalibrasikan hasil yang diperoleh terhadap
roughometer NAASRA.
20
2.7.9. Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Koefisien kekuatan relatif (a) masing-masing bahan dan kegunaannya
sebagai lapis permukaan, pondasi, pondasi bawah, ditentukan secara korelasi sesuai
nilai Marshall Test (untuk bahan dengan aspal), kuat tekan (untuk bahan yang
distabilisasi dengan semen atau kapur), atau CBR (untuk bahan lapis pondasi
bawah). Jika alat Marshall Test tidak tersedia, maka kekuatan (stabilitas) bahan
beraspal bisa diukur dengan cara lain seperti Hveem Test, Hubbard Field, dan Smith
Triaxial. Adapun koefisien kekuatan relatif tertera pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10. Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Koefisien Kekuatan
Relatif Kekuatan Bahan
Jenis Bahan
a1 a2 a3 MS (kg) Kt
(kg/cm)
CBR
(%)
0,40 - - 744 - -
0,35 - - 590 - - Laston
0,35 - - 454 - -
0,30 - - 340 - -
0,35 - - 744 - -
0,31 - - 590 - - Lasbutag
0,28 - - 454 - -
0,26 - - 340 - -
0,30 - - 340 - - HRA
0,26 - - 340 - - Aspal macadam
0,25 - - - - - Lapen (mekanis)
0,20 - - - - - Lapen (manual)
- 0,28 - 590 - -
- 0,26 - 454 - - Laston Atas
- 0,24 - 340 - -
- 0,23 - - - - Lapen (mekanis)
- 0,19 - - - - Lapen (manual)
- 0,15 - - 22 - Stab. Tanah dengan semen
- 0,13 - - 18 -
- 0,15 - - 22 - Stab. Tanah dengan kapur
- 0,13 - - 18 -
- 0,14 - - - 100 Batu pecah (kelas A)
- 0,13 - - - 80 Batu pecah (kelas B)
- 0,12 - - - 60 Batu pecah (kelas C)
- - 0,13 - - 70 Sirtu/pitrun (kelas A)
- - 0,12 - - 50 Sirtu/pitrun (kelas B)
- - 0,11 - - 30 Sirtu/pitrun (kelas C)
- - 0,10 - - 20 Tanah/lempung kepasiran
Sumber: DPU (1987)
21
2.7.10. Indeks Tebal Perkerasan (ITP)
Terdapat sembilan macam grafik nomogram yang sudah tersedia. Dalam hal
ini indeks tebal perkerasan untuk perkerasan lentur didapatkan dengan menarik
garis pada grafik nomogram, dengan melihat masing-masing nilai yang diambil dari
indeks permukaan (IPo dan IPt). Nilai daya dukung tanah dasar (DDT), lintas
ekivalen rata-rata (LER) dan faktor regional (FR) saling berpengaruh dalam grafik
nomogram ini. Salah satu contoh grafik nomogram dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Nomogram (DPU, 1987)
Langkah-langkah untuk menggunakan nomogram tersebut adalah sebagai berikut:
1. Terdapat 9 (sembilan) macam nomogram yang disediakan, tergantung pada nilai
indeks permukaan awal (IPo) dan indeks permukaan akhir (IPt),
2. Menentukan titik nilai daya dukung tanah (DDT) yang telah didapat dari korelasi
dengan nilai CBR,
3. Menentukan titik nilai LER yang telah didapat dari perhitungan,
22
4. Kemudian tarik garis lurus dari 2 titik (DDT dan LER) hingga mengenai garis
ITP.
5. Tentukan titik nilai FR dari tabel 2.7.
6. Dari titik ITP yang didapat, disambungkan dengan titik FR hingga mengenai
garis ITP̅̅ ̅̅̅.
2.7.11. Batas-batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan
Pada perkerasan lentur, susunan lapis perkerasan terdiri dari 3 lapisan utama
yaitu lapis permukaan, lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah. Tiap lapis
perkerasan memiliki nilai minimum untuk indeks tebal perkerasan yang diambil
dari nomogram ITP̅̅ ̅̅̅ berdasarkan hubungan daya dukung tanah (DDT), lintas
ekivalen rata-rata (LER) dan factor regional (FR). Adapun batas-batas minimum
tebal lapisan perkerasan dapat dilihat pada Tabel 2.11 dan Tabel 2.12.
Tabel 2.11. Lapis Permukaan
ITP Tebal Minimum
(cm) Bahan
< 3,00 5 Lapis pelindung: (Buras/Burtu/Burda)
3,00 – 6,70 5 Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston
6,71 – 7,49 7,5 Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston
7,50 – 9,99 7,5 Lasbutag, Laston
≥ 10,00 10 Laston
Sumber: DPU (1987)
Tabel 2.12. Lapis Pondasi
ITP Tebal Minimum
(cm) Bahan
< 3,00 15 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah
dengan kapur
3,00 – 7,49 20*) Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah
dengan kapur
10 Laston Atas
7,50 – 9,99 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah
dengan kapur, pondasi macadam
15 Laston Atas
10 – 12,14 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah
dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston Atas
≥ 12,25 25 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah
dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston Atas
Sumber: DPU (1987)
23
Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah 10 cm.
2.7.12. Pelapisan Tambahan
Untuk perhitungan pelapisan tambahan, kondisi perkerasan jalan lama
(existing pavement) dinilai sesuai dengan kondisi perkerasan jalan sebagai berikut:
a. Lapis Permukaan
Umumnya tidak retak, sedikit deformasi pada jalur roda ....... 90 – 100%
Terlihat retak halus, sedikit deformasi pada jalur roda namun masih tetap
stabil.......................................................................................... 70 – 90%
Retak sedang, beberapa deformasi pada jalur roda, pada dasarnya masih
menunjukkan kestabilan ........................................................... 50 – 70%
Retak banyak, demikian juga deformasi pada jalur roda, menunjukkan
gejala ketidakstabilan ............................................................... 30 – 50%
b. Lapis Pondasi
Pondasi Aspal Beton atau Penetrasi Macadam
Umumnya tidak retak ............................................................. 90 – 100%
Terlihat retak halus, namun masih tetap stabil ......................... 70 – 90%
Retak sedang, pada dasarnya masih menunjukkan kestabilan . 50 – 70%
Retak banyak, menunjukkan gejala ketidakstabilan ................. 30 – 50%
Stabilisasi Tanah dengan Semen atau Kapur:
Indek Plastisitas (Plasticity Index = PI) ≤ 10 .............................. 70 – 100%
Pondasi Macadam atau Batu Pecah:
Indek Plastisitas (Plasticity Index = PI) ≤ 6 ........................... 80 – 100%
c. Lapis Pondasi Bawah
Indek plastisitas (Plasticity Index = PI) ≤ 6 ................................ 90 – 100%
Indek plastisitas (Plasticity Index = PI) > 6 ................................ 70 – 90%
2.7.13. Analisis Komponen Perkerasan
Perhitungan perencenaan didasarkan pada kekuatan relatif masing-masing
lapisan perkerasan jangka panjang, di mana penentuan tebal perkerasan dinyatakan
oleh ITP dengan rumus:
24
ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3
a1, a2, a3 = koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan
D1, D2, D3 = tebal masing-masing lapisan perkrasan (cm)
Angka 1, 2 dan 3 = masing-masing untuk lapisan permukaan, lapis pondasi
atas dan lapis pondasi bawah.
2.8. Keuntungan dan Kerugian Perkerasan Lentur
Menurut Suryawan (2009), terdapat beberapa keuntungan dan kerugian pada
pemilihan penggunaan perkerasan lentur, antara lain:
a. Perkerasan Lentur
Keuntungan:
Dapat digunakan untuk semua tingkat volume lalu lintas.
Kerusakan tidak merambat ke bagian konstruksi yang lain, kecuali jika
perkerasan terendam air.
Pada umumnya biaya awal konstruksi rendah, terutama untuk jalan lokal
dengan volume lalu lintas rendah.
Pelapisan ulang dapat dilaksanakan pada semua tingkat ketebalan
perkerasan yang diperlukan, dan lebih mudah menentukan perkiraan
pelapisan ulang.
Kerugian:
Kendali kualitas untuk job mix lebih rumit.
Sulit untuk bertahan terhadap kondisi drainase yang buruk.
Umur rencana relatif pendek, 5 – 10 tahun.
Indeks pelayanan yang terbaik hanya pada saat selesai pelaksanaan
konstruksi, setelah itu berkurang seiring dengan waktu dan frekuensi
beban lalu lintasnya.
Biaya pemeliharaan yang dikeluarkan mencapai lebih kurang dua kali
lebih besar daripada perkerasan kaku.
25
2.9. Rencana Anggaran Biaya
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2012), estimasi biaya suatu kegiatan
pekerjaan meliputi mobilisasi dan biaya pekerjaan. Biaya pekerjaan adalah total
seluruh volume pekerjaan yang masing-masig dikalikan dengan harga satuan
pekerjaan setiap mata pembayaran. Estimasi biaya termasuk pajak-pajak.
2.9.1. Pengertian Rencana Anggaran Biaya
Menurut Syawaldi dan Siswanto (2016), rencana anggaran biaya adalah:
Perhitungan banyaknya biaya yang diperlukan untuk bahan dan upah,
serta biaya-biaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan bangunan
atau proyek tertentu.
Merencanakan sesuatu bangunan dalam bentuk dan faedah
penggunaannya, beserta besar biaya yang diperlukan dan susunan-
susunan pelaksanaan dalam bidang administrasi maupun pelaksanaan
pekerjaan dalam bidang teknik.
Dua cara yang dapat dilakukan dalam penyusunan anggararan biaya, antara
lain:
Anggaran Biaya Kasar (Taksiran), sebagai pedomannya digunakan harga
satuannya tiap meter persegi luas lantai. Namun anggaran biaya kasar
dapat juga sebagai pedoman dalam penyusunan RAB yang dihitung
secara teliti.
Anggaran Biaya Teliti, proyek yang dihitung dengan teliti dan cermat
sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat penyusunan anggaran biaya.
2.9.2. Tujuan Rencana Anggaran Biaya
Menurut Syawaldi dan Siswanto (2016), tujuan dari pembuatan rencana
anggaran biaya adalah untuk mengetahui harga bagian atau item pekerjaan sebagai
pedoman untuk mengeluarkan biaya-biaya dalam masa pelaksanaan. Selain itu
supaya bangunan yang akan didirikan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
26
2.9.3. Fungsi Rencana Anggaran Biaya
Menurut Syawaldi dan Siswanto (2016), fungsi rencana anggaran biaya
adalah sebagai pedoman pelaksanaan pekerjaan dan sebagai alat pengontrol
pelaksanaan pekerjaan.
2.9.4. Analisis Harga Satuan Dasar (HSD)
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2012), komponen untuk
menyusun harga satuan pekerjaan (HSP) memerlukan HSD tenaga kerja, HSD alat,
dan HSD bahan. Berikut ini diberikan penjelasan mengenai komponen-komponen
yang dimaksud.
Perhitungan HSD Tenaga Kerja
Untuk menghitung harga satuan pekerjaan, maka perlu ditetapkan dahulu
bahan rujukan harga standar untuk upah sebagai HSD tenaga kerja. Langkah
perhitungan HSD tenaga kerja adalah sebagai berikut:
a. Tentukan jenis keterampilan tenaga kerja, misal pekerja (P), tukang (Tx),
mandor (M), atau kepala tukang (KaT)
b. Kumpulkan data upah yang sesuai dengan peraturan daerah (Gubernur,
Walikota, Bupati) setempat, data upah hasil survei di lokasi yang berdekatan
dan berlaku untuk daerah tempat lokasi pekerjaan akan dilakukan
c. Perhitungkan tenaga kerja yang didatangkan dari luar daerah dengan
memperhitungkan biaya makan, menginap dan transport
d. Tentukan jumlah hari efektif bekerja selama satu bulan (24-26 hari), dan
jumlah jam efektif dalam satu hari (7 jam)
e. Hitung biaya upah masing-masing per jam per orang
f. Rata-ratakan seluruh biaya upah per jam sebagai upah rata- rata per jam.
Gambaran untuk menetapkan perhitungan HSD upah pekerja, dengan asumsi
jumlah hari kerja rata-rata 25 hari per bulan dan jumlah jam kerja efektif per hari
selama 7 jam, dapat dilihat pada Tabel 2.13.
27
Tabel 2.13. Data Upah Pekerja
Variasi Upah Pekerja Besar
Upah
Lama Bekerja
Efektif Upah per Jam (Rp)
Sebulan
(hari)
Sehari
(jam)
Berdasarkan upah pekerja per
bulan
837.375,-
per bulan 25 7
=837.375
25 × 7
= Rp4785,00/jam
Data dasar dari instansi yang
berwenang (dikeluarkan secara
rutin di Provinsi), sesuai dengan
harga pasaran upah pekerja per
hari di lokasi pekerjaan (hasil
survey) tenaga kerja local.
30.504,6
per hari 25 7
=30.504,6
7
= Rp4357,80/jam
Bila tenaga didatangkan dari luar
daerah (luar lokasi), maka
diperhitungkan biaya transport
dan biaya tempat menginap
sementara selama kegiatan
pekerjaan berjalan per bulan.
779.471,-
per bulan 25 7
=779.471
25 × 7
= Rp4454,12/jam
Sumber: KemenPU (2012)
Dengan membandingkan ketiga harga dasar di atas, maka dapat diambil harga
satuan dasar upah pekerja rata-rata sebagai berikut:
Rp4785,00 + Rp4357,80 + Rp4454,12
3= Rp4532,31/jam
Demikian pula halnya untuk harga dasar upah berdasarkan kualifikasi, seperti
tukang, mandor, operator, dan sebagainya. Contoh daftar harga satuan dasar
(HSD) upah per jam lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.14.
Tabel 2.14. Harga Satuan Dasar (HSD) Upah per Jam
No. Uraian Kode Satuan Harga Satuan
(Rp)
1 Pekerja (L01) Jam 4532,31
2 Tukang (L02) Jam 5963,57
3 Mandor (L04) Jam 7156,29
4 Operator (L08) Jam 4054,29
5 Pembantu Operator (L09) Jam 3582,86
6 Sopir/driver (L10) Jam 6600,00
7 Pembantu Sopir/driver (L11) Jam 4337,14
8 Mekanik (L07) Jam 3928,57
9 Pembantu Mekanik (L16) Jam 2857,14
10 Kepala Tukang (L03) Jam 5000,00
Sumber: KemenPU (2012)
28
Perhitungan HSD Alat
Analisis HSD alat memerlukan data upah operator atau sopir, spesifikasi alat
meliputi tenaga mesin, kapasitas kerja alat (m³), umur ekonomis alat (dari pabrik
pembuatnya), jam kerja dalam satu tahun, dan harga alat. Faktor lainnya adalah
komponen investasi alat meliputi suku bunga bank, asuransi alat, faktor alat yang
spesifik seperti faktor bucket untuk Excavator, harga perolehan alat, dan Loader,
dan lain-lain. Contoh harga sewa alat dapat dilihat pada Tabel 2.15.
Tabel 2.15. Harga Sewa Alat
No. Uraian Kode HP Kapasitas Satuan Sewa Alat
(Rp)
1 Asphalt mixing plant E01 294,0 60,0 T/Jam 4.818.593,08
2 Asphalt finisher E02 72,4 10,0 Ton 820.779,19
3 Asphalt sprayer E03 4,0 850,0 Liter 402.799,43
4 Bulldozer 100-150 hp E04 155,0 - -
5 Compressor 4000-6500 l\m E05 60,0 5.000,0 CPM/(L/m) 106.890,74
6 Concrete mixer 0.3-0.6 m³ E06 20,0 500,0 Liter
7 Crane 10-15 ton E07 138,0 15,0 Ton
8 Dump Truck 3.5 ton E08 100,0 3,5 Ton
9 Dump Truck 10 ton E09 190,0 10,0 Ton 212.812,53
10 Excavator 80-140 hp E10 133,0 0,9 m³ 383.294,39
11 Flat bed truck 3-4 m³ E11 190,0 10,0 ton
12 Generator set E12 180,0 135,0 KVA 277.104,99
13 Motor grader >100 hp E13 135,0 10.800,0 - 327.468,61
14 Track Loader 75-100 hp E14 70,0 0,8 m³
15 Wheel Loader 1.0-1.6 m³ E15 96,0 1,5 m³ 253.964,94
16 Three wheel roller 6-8 t E16 55,0 8,0 Ton
17 Tandem roller 6-8 t. E17 82,0 8,1 Ton 379.339,78
18 Tire roller 8-10 t. E18 100,5 9,0 Ton 335.448,22
19 Vibratory roller 5-8 t. E19 82,0 7,1 Ton 316.831,09
20 Concrete vibrator E20 5,5 25,0 - 18.353,23
21 Stone crusher E21 220,0 50,0 T/Jam
22 Water pump 70-100 mm E22 6,0 - -
23 Water tanker 3000-4500 l. E23 100,0 4.000,0 Liter 155.193,02
24 Pedestrian roller E24 8,8 835,00 Ton
25 Tamper E25 4,7 121,00 Ton
26 Jack Hammer E26 0,0 1.330,00 - 15.795,70
27 Fulvi mixer E27 345,0 2.005,00 -
28 Concrete pump E28 100,0 8,00 m³ 155.156,84
29 Trailer 20 ton E29 175,0 20,00 Ton
30 Pile driver + hammer E30 25,0 2,50 Ton
31 Crane on track 35 ton E31 125,0 35,0 Ton
32 Welding set E32 40,0 250,0 Amp
33 Bore pile machine E33 150,0 2.000,0 Meter
34 Asphalt liquid mixer E34 5,0 1.000,0 Liter
35 Tronton E35 150,0 15,0 Ton
29
Tabel 2.15. Lanjutan
No. Uraian Kode HP Kapasitas Satuan Sewa Alat
(Rp)
36 Cold milling E36 248,0 1.000,0 M
37 Rock drill breaker E37 3,0 - - 266.452,13
38 Cold recycler E38 900,0 2,2 M
39 Hot recycler E39 400,0 3,0 M
40 Aggregat (chip) spreader E40 115,0 3,5 M
41 Asphalt distributor E41 115,0 4.000,0 Liter
42 Slip form paver E42 105,0 2,5 M 426.628,68
43 Concrete pan mixer E43 134,0 600,0 Liter 493.265,26
44 Concrete breaker E44 290, 20,0 m³/jam
45 Aspahlt tanker E45 190,0 4.000,0 Liter
46 Cement tanker E46 190,0 4.000,0 Liter
47 Condrete mixer (350) E47 20,0 350,0 Liter
48 Vibrating rammer E48 4,2 80,0 Kg
49 Truck mixer (agitator) E49 220,0 5,0 M³ 449.232,73
50 Bore pile machine E50 125,0 60,0 CM
51 Crane on track 75-100 ton E51 200,0 75,0 Ton
52 Blending equipment E52 50,0 30,0 Ton
53 Asphalt liquid mixer E34a 40,0 20.000,0 Liter
Sumber: KemenPU (2012)
Perhitungan HSD Bahan
Analisis HSD bahan memerlukan data harga bahan baku, serta biaya
transportasi dan biaya produksi bahan baku menjadi bahan olahan atau bahan jadi.
Produksi bahan memerlukan alat yang mungkin lebih dari satu alat. Setiap alat
dihitung kapasitas produksinya dalam satuan pengukuran per jam, dengan cara
memasukkan data kapasitas alat, faktor efisiensi alat, faktor lain dan waktu siklus
masing-masing. HSD bahan terdiri atas harga bahan baku atau HSD bahan baku,
HSD bahan olahan, dan HSD bahan jadi. Perhitungan harga satuan dasar (HSD)
bahan yang diambil dari quarry dapat menjadi dua macam, yaitu berupa bahan baku
(batu kali/gunung, pasir sungai/gunung dll), dan berupa bahan olahan (misalnya
agregat kasar dan halus hasil produksi mesin pemecah batu dan lain sebagainya).
Harga bahan di quarry berbeda dengan harga bahan yang dikirim ke base camp atau
ke tempat pekerjaan, karena perlu biaya tambahan berupa biaya pengangkutan
material dari quarry ke base camp. Contoh daftar harga satuan dasar (HSD) bahan
dan bahan olahan dapat dilihat pada Tabel 2.16.
30
Tabel 2.16. Harga Satuan Dasar (HSD) Bahan dan Bahan Olahan
No. Nama Bahan Kode Satuan Harga (Rp) Lokasi
1 Pasir Pasang (Sedang) M01b m³ 142.000,00 Base camp
2 Pasir Beton (Kasar) M01a m³ 96.500,00 Base camp
3 Pasir Halus (untuk HRS) M01c m³ 75.000,00 Base camp
4 Pasir Urug (ada unsur lempung) M01d m³ 96.500,00 Base camp
5 Batu Kali M02 m³ 146.500,00 Lokasi Pekerjaan
6 Agregat Kasar M03 m³ 205.392,28 Base camp
7 Agregat Halus M04 m³ 205.392,28 Base camp
8 Filler M05 Kg 550,00 Proses/Base camp
9 Batu Belah / Kerakal M06 m³ 182.300,00 Lokasi Pekerjaan
10 Gravel M07 m³ 224.300,00 Base camp
11 Bahan Tanah Timbunan M08 m³ 20.000,00 Borrow Pit/quarry
12 Bahan Pilihan M09 m³ 25.000,00 Quarry
13 Aspal M10 Kg 6.400,00 Base camp
14 Kerosen / Minyak Tanah M11 Liter 8.000,00 Base camp
15 Semen / PC (50kg) M12 Zak 60546,25 Base camp
16 Semen / PC (kg) M12 Kg 1.210,93 Base camp
17 Besi Beton M13 Kg 7.000,00 Lokasi Pekerjaan
18 Kawat Beton M14 Kg 6.000,00 Lokasi Pekerjaan
19 Kawat Bronjong M15 Kg 5.500,00 Lokasi Pekerjaan
20 Sirtu M16 m³ 139.800,00 Lokasi Pekerjaan
21 Cat Marka (Non Thermoplas) M17a Kg 22.500,00 Lokasi Pekerjaan
22 Cat Marka (Thermoplastic) M17b Kg 27.500,00 Lokasi Pekerjaan
23 Paku M18 Kg 5.500,00 Lokasi Pekerjaan
24 Kayu Perancah M19 m³ 1.250.000,00 Lokasi Pekerjaan
25 Bensin M20 Liter 5.833,80 Pertamina
26 Solar M21 Liter 6.548,35 Pertamina
27 Minyak Pelumas / Olie M22 Liter 18.000,00 Pertamina
28 Plastik Filter M23 m² 15.000,00 Lokasi Pekerjaan
29 Pipa Galvanis Dia. 1.6" M24 Batang 154.000,00 Lokasi Pekerjaan
30 Pipa Porus M25 m' 40.000,00 Lokasi Pekerjaan
31 Bahan Agr.Base Kelas A M26 m³ 198.215,28 Base camp
32 Bahan Agr.Base Kelas B M27 m³ 184.154,34 Base camp
33 Bahan Agr.Base Kelas C M28 m³ 205.953,53 Base camp
34 Bahan Agr.Base Kelas C2 M29 m³ 0,00 Tidak tersedia
35 Geotextile M30 m² 27.500,00 Lokasi Pekerjaan
36 Aspal Emulsi M31 Kg 5.000,00 Base camp
37 Gebalan Rumput M32 m² 3.500,00 Lokasi Pekerjaan
38 Thinner M33 Liter 12.000,00 Lokasi Pekerjaan
Sumber: KemenPU (2012)
31
2.10. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan referensi bagi penulis untuk melakukan
perencanaan ini. Dari penelitian terdahulu, penulis dapat memperkaya teori yang
digunakan untuk mengerjakan perencanaan yang dilakukan. Pada bagian ini penulis
mencantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu baik berupa jurnal maupun
skripsi yang terkait dengan perencanaan yang penulis lakukan, di antaranya:
1. Raja (2013), dengan judul Studi Perencanaan Lapis Tambahan (Over Lay)
Jalan Kampung Baru-Sedadap (STA.0+000 – 15 +000) Kabupaten
Nunukan. Dari penelitian yang dilakukan pada Jalan Kampung Baru -
Sedadap sepanjang 15 km menggunakan metode Bina Marga, dapat
disimpulkan bahwa tebal lapis tambah perkerasan lentur yang diperlukan
yaitu 3 cm, dengan biaya pelaksanaan sebesar Rp10.364. 013.000,00.
2. Maulana (2014), dengan judul Studi Perencanaan Tebal Lapis Tambah
Perkerasan (Overlay) Pada Jalan Simpang Serapat Marahaban (STA.
0+000 – 12+000) Kalimantan Selatan. Dari penelitian yang dilakukan pada
Jalan Simpang Serapat Marahaban sepanjang 12 km menggunakan metode
Bina Marga, dapat disimpulkan bahwa tebal lapis tambah perkerasan
lentur yang diperlukan yaitu 4 cm, dengan biaya pelaksanaan sebesar
Rp4.565.237.600,00.
3. Fuady (2014), dengan judul Studi Perencanaan Tebal Lapis Tambah
Perkerasan (Overlay) pada Jalan Maospati - Sukomoro (STA. 0+000 –
12+000) di Kabupaten Magetan Propinsi Jawa Timur. Dari penelitian yang
dilakukan pada Jalan Maospati - Sukomoro sepanjang 12 km
menggunakan metode Bina Marga, dapat disimpulkan bahwa tebal lapis
tambah perkerasan lentur yang diperlukan yaitu 4 cm, dengan biaya
pelaksanaan sebesar Rp4.565.237.600,00.
4. Amrullah (2018), dengan judul Perencanaan Tebal Lapisan Tambahan
Perkerasan Lentur pada Ruas Jalan Raya Dander Kabupaten Bojonegoro
(STA 4+000 – STA10+200). Dari penelitian yang dilakukan pada Ruas
Jalan Raya Dander sepanjang 6,2 km menggunakan metode Bina Marga,
dapat disimpulkan bahwa tebal lapis tambahan perkerasan lentur yang
32
diperlukan yaitu 3 cm, dengan biaya pelaksanaan sebesar
Rp2.101.390.297,00.
Berikut pada Tabel 2.17 penulis sajikan beberapa hasil penelitian terdahulu
yang terkait dengan perencanaan yang penulis lakukan.
Tabel 2.17. Penelitian Terdahulu
No. Nama Judul Metode Tahun
1
Ngaodang
Lumban
Raja
Studi Perencanaan Lapis Tambahan (Over Lay)
Jalan Kampung Baru-Sedadap ( STA.0+000 – 15
+000 ) Kabupaten Nunukan
Bina
Marga 2013
2 Ahcmad
Maulana
Studi Perencanaan Tebal Lapis Tambah
Perkerasan (Overlay) Pada Jalan Simpang
Serapat Marahaban (STA. 0+000 – 12+000)
Kalimantan Selatan
Bina
Marga 2014
3
Helmy
Ahmed
Fuady
Studi Perencanaan Tebal Lapis Tambah
Perkerasan (Overlay) pada Jalan Maospati -
Sukomoro (STA. 0+000 – 12+000) di Kabupaten
Magetan Propinsi Jawa Timur
Bina
Marga 2014
4 Muhammad
Amrullah
Perencanaan Tebal Lapisan Tambahan
Perkerasan Lentur pada Ruas Jalan Raya Dander
Kabupaten Bojonegoro (STA 4+000 –
STA10+200)
Bina
Marga 2018