bab ii tinjauan pustaka 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

24
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit 2.3.1 Definisi Kulit Kulit adalah organ terbesar tubuh manusia yang menutupi seluruh permukaan luar tubuh. Pada tubuh manusia dewasa, kulit membentuk sekitar 16 % dari berat badan dan meliputi area seluas 1,5 sampai 2 m 2 . Kulit dan struktur asesorisnya membentuk sistem integumen. Sistem integumen rentan terhadap berbagai penyakit, gangguan, dan cedera. Kulit memberikan perlindungan menyeluruh bagi tubuh dan bertanggung jawab lebih dari sekedar estetika tubuh. Kulit terdiri dari tiga lapisan, epidermis, dermis, dan hipodermis, anatomi dan fungsi dari ketiganya sangat bervariasi (Kolarsick et al., 2011; Biga et al., 2020). 2.3.2 Fungsi Kulit Kulit dan struktur aksesorinya memiliki berbagai fungsi penting, seperti melindungi tubuh dari invasi mikroorganisme, bahan kimia, dan faktor lingkungan lainnya; mencegah dehidrasi; bertindak sebagai organ sensorik; memodulasi suhu tubuh dan keseimbangan elektrolit; dan mensintesis vitamin D. Hipodermis yang mendasari peran penting dalam menyimpan lemak, membentuk "bantalan" di atas struktur di bawahnya, dan menyediakan sistem isolasi dari suhu dingin (Biga et al., 2020). Berikut penjelasan tentang fungsi sistem integumen menurut Biga et al. (2020). 1) Perlindungan Kulit melindungi seluruh tubuh dari elemen dasar alam seperti angin, air, dan sinar UV dengan bertindak sebagai penghalang fisik, kimia, dan biologis. Kulit bertindak sebagai penghalang atau pelindung terhadap hilangnya air dari tubuh. Hal ini terjadi karena adanya lapisan keratin dan glikolipid di lapisan epidermis. Hal ini juga merupakan garis pertahanan pertama terhadap aktivitas abrasif karena kontak dengan pasir, mikroba, atau bahan kimia yang berbahaya. Keringat yang dikeluarkan dari kelenjar keringat mencegah mikroba mengkolonisasi permukaan kulit secara berlebihan dengan menghasilkan dermicidin yang memiliki sifat antibiotik. Kulit memiliki lingkungan yang gersang dengan pH asam yang membuatnya tidak ramah bagi mikro organisme.

Upload: others

Post on 08-May-2022

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit

2.3.1 Definisi Kulit

Kulit adalah organ terbesar tubuh manusia yang menutupi seluruh permukaan

luar tubuh. Pada tubuh manusia dewasa, kulit membentuk sekitar 16 % dari berat

badan dan meliputi area seluas 1,5 sampai 2 m2. Kulit dan struktur asesorisnya

membentuk sistem integumen. Sistem integumen rentan terhadap berbagai

penyakit, gangguan, dan cedera. Kulit memberikan perlindungan menyeluruh bagi

tubuh dan bertanggung jawab lebih dari sekedar estetika tubuh. Kulit terdiri dari

tiga lapisan, epidermis, dermis, dan hipodermis, anatomi dan fungsi dari ketiganya

sangat bervariasi (Kolarsick et al., 2011; Biga et al., 2020).

2.3.2 Fungsi Kulit

Kulit dan struktur aksesorinya memiliki berbagai fungsi penting, seperti

melindungi tubuh dari invasi mikroorganisme, bahan kimia, dan faktor lingkungan

lainnya; mencegah dehidrasi; bertindak sebagai organ sensorik; memodulasi suhu

tubuh dan keseimbangan elektrolit; dan mensintesis vitamin D. Hipodermis yang

mendasari peran penting dalam menyimpan lemak, membentuk "bantalan" di atas

struktur di bawahnya, dan menyediakan sistem isolasi dari suhu dingin (Biga et al.,

2020). Berikut penjelasan tentang fungsi sistem integumen menurut Biga et al.

(2020).

1) Perlindungan

Kulit melindungi seluruh tubuh dari elemen dasar alam seperti angin, air,

dan sinar UV dengan bertindak sebagai penghalang fisik, kimia, dan biologis.

Kulit bertindak sebagai penghalang atau pelindung terhadap hilangnya air dari

tubuh. Hal ini terjadi karena adanya lapisan keratin dan glikolipid di lapisan

epidermis. Hal ini juga merupakan garis pertahanan pertama terhadap aktivitas

abrasif karena kontak dengan pasir, mikroba, atau bahan kimia yang berbahaya.

Keringat yang dikeluarkan dari kelenjar keringat mencegah mikroba

mengkolonisasi permukaan kulit secara berlebihan dengan menghasilkan

dermicidin yang memiliki sifat antibiotik. Kulit memiliki lingkungan yang

gersang dengan pH asam yang membuatnya tidak ramah bagi mikro organisme.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

7

2) Fungsi Sensorik

Ilustrasi menggambarkan fakta bahwa seseorang bisa merasakan semut

merayap di kulinya, kemudian akan timbul keinginan untuk menjentikkannya

sebelum digigit oleh semut. Hal ini terjadi karena kulit terutama rambut yang

menonjol dari folikel rambut di kulit dapat merasakan perubahan lingkungan.

Pleksus akar rambut yang mengelilingi pangkal folikel rambut dapat

merasakan gangguan, dan kemudian mengirimkan informasi tersebut ke saraf

pusat sistem (otak dan sumsum tulang belakang) yang kemudian dapat

merespon dengan mengaktifkan otot rangka mata seseorang untuk melihat

semut dan otot rangka tubuh untuk melawan semut. Kulit bertindak sebagai

organ indera karena epidermis, dermis, dan hipodermis mengandung saraf

sensorik khusus struktur yang mendeteksi sentuhan, suhu permukaan, dan

nyeri. Reseptor ini lebih terkonsentrasi di ujung jari, yang paling sensitif

terhadap sentuhan, terutama sel darah Meissner (sel sentuhan) yang merespon

sentuhan ringan, dan sel darah Pacinian (sel darah lamellated), yang merespon

getaran.

Gambar 2.1 Mikrograf Cahaya Sel Darah Meissner (Biga et al., 2020)

Sel darah Meissner adalah sejenis reseptor sentuh yang terletak di dekat

papilla dermal ke membran basal dan stratum basale dari epidermis atasnya.

Selain reseptor khusus ini, terdapat saraf sensorik terhubung ke setiap folikel

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

8

rambut, reseptor rasa sakit dan suhu yang tersebar di seluruh kulit, dan saraf

motorik mempersarafi otot dan kelenjar arrector pili. Persarafan yang kaya ini

membantu seseorang merasakan lingkungan dan memberikan reaksi yang

sesuai.

3) Termoregulator

Sistem integumen membantu mengatur suhu tubuh melalui hubungan yang

erat dengan sistem saraf simpatis. Kelenjar keringat pada struktur aksesori kulit

bertugas mengeluarkan air, garam, dan zat lain untuk mendinginkan tubuh saat

suhu tubuh menjadi hangat. Jika tubuh menjadi terlalu hangat karena suhu

tinggi, aktivitas yang kuat atau kombinasi kedua kondisi tersebut, kelenjar

keringat akan dirangsang oleh sistem saraf simpatis untuk menghasilkan

jumlah keringat yang besar, sebanyak 0,7 hingga 1,5 L per jam untuk orang

yang aktif. Saat keringat menguap dari permukaan kulit, maka tubuh

didinginkan saat panas tubuh telah hilang. Selain berkeringat, arteriol di dermis

membesar sehingga panas berlebih yang dibawa oleh darah dapat hilang dari

kulit dan lingkungan sekitarnya. Hal ini yang menyebabkan timbulnya

kemerahan pada kulit, ditinjau dari pengalaman seseorang saat berolahraga.

Jika suhu kulit turun terlalu banyak (seperti suhu lingkungan di bawah titik

beku), konservasi panas inti tubuh bisa mengakibatkan kulit benar-benar

membeku, suatu kondisi yang disebut radang dingin (frostbite).

Gambar 2.2 Mekanisme termoregulasi kulit (Biga et al., 2020)

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

9

4) Sintesis Vitamin D

Lapisan epidermis kulit mensintesis vitamin D saat terkena radiasi UV.

Saat terpapar sinar matahari kulit membentuk vitamin D3 yang disebut

cholecalciferol yang disintesis dari turunan kolesterol steroid di kulit. Hati

mengubah kolekalsiferol menjadi kalsidiol, yang kemudian diubah menjadi

kalsitriol (bentuk kimia aktif vitamin) di ginjal. Vitamin D penting untuk

penyerapan normal kalsium dan fosfor, yang dibutuhkan untuk kesehatan

tulang. Tidak adanya paparan sinar matahari dapat menyebabkan kekurangan

vitamin D dalam tubuh, sehingga menyebabkan kondisi yang disebut rakhitis.

Kondisi dimana tulang cacat karena kekurangan kalsium, menyebabkan kaki

bengkok. Lansia yang menderita kekurangan vitamin D dapat menyebabkan

kondisi yang disebut osteomalacia. Saat ini, vitamin D ditambahkan sebagai

suplemen dalam makanan termasuk susu dan jus jeruk untuk mengimbangi

kebutuhan akan paparan sinar matahari

2.3.3 Anatomi Kulit

Gambar 2.3 Anatomi kulit manusia (Yousef, Alhajj and Sharma, 2020)

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

10

2.3.4 Lapisan Kulit

Gambar 2.4 Lapisan kulit (Biga et al., 2020)

Menurut Yousef, Alhajj dan Sharma (2020) kulit tersusun atas tiga lapisan utama

yaitu:

2.1.4.1 Epidermis

Gambar 2.5 Lapisan Epidermis (Biga et al., 2020)

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

11

Lapisan epidermis terdiri dari empat lapisan meliputi stratum basale (bagian

terdalam dari epidermis), stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lucidum,

dan stratum korneum (bagian paling dangkal dari epidermis).

1) Stratum basale

Stratum basale (stratum germinativum) adalah lapisan terdalam membran

basal (lamina basal) menjadi pemisah antara dipisahkan epidermis dan dermis

dan dilekatkan oleh hemidesmosom. Sel-sel yang ditemukan di lapisan ini

berbentuk kuboid hingga kolumnar sel induk aktif mitosis yang terus-menerus

memproduksi keratinosit. Lapisan ini juga mengandung sel melanosit yang

menghasilkan pigmen melanin. Melanin memberi warna pada rambut dan kulit,

dan juga membantu melindungi DNA dalam inti sel hidup dari epidermis dari

kerusakan radiasi ultraviolet (UV).

2) Stratum spinosum

Stratum spinosum juga dikenal sebagai lapisan sel prickle, mengandung

sel polihedral yang tidak teratur selama proses sitoplasma. Stratum spinosum

terdiri dari 8-10 lapisan keratinosit yang terbentuk sebagai hasil pembelahan

sel di stratum basale. Di antara keratinosit pada lapisan ini merupakan dapat

ditemukan jenis sel dendritik yang disebut sel Langerhans yang berfungsi

sebagai makrofag untuk fagosit bakteri, partikel asing, dan sel rusak yang

terjadi di lapisan ini.

3) Stratum Granulosum

Stratum Granulosum terdiri dari 3-5 lapis sel, berisi sel berbentuk diamond

dengan butiran keratohyalin dan butiran lamelar. Butiran keratohyalin

mengandung prekursor keratin yang akhirnya berkumpul, berikatan silang, dan

membentuk bundel. Butiran lamelar mengandung glikolipid yang disekresikan

ke permukaan sel dan berfungsi sebagai lem, menjaga sel-sel saling menempel.

4) Stratum Lucidum

Stratum Lucidum merupakan lapisan bening tipis yang terdiri dari eleidin

yang merupakan produk transformasi dari keratohyalin. Stratum Lucidum

terdiri dari 2-3 lapisan sel dan terletak tepat di atas stratum granulosum dan di

bawah stratum korneum. Terdapat pada kulit lebih tebal seperti di telapak

tangan dan telapak kaki. Sel-sel stratum Lucidum padat dengan eleiden, protein

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

12

bening yang kaya lipid, berasal dari keratohyalin, yang memberi sel-sel ini

penampilan transparan (bening) dan menjadi barrier to water.

5) Stratum Corneum

Stratum Corneum terdiri dari 20-30 lapisan sel. Stratum Corneum

merupakan lapisan paling atas, terdapat keratin dan sisik tanduk yang terdiri

dari keratinosit mati yang dikenal sebagai sel skuamosa anukleat. Stratum

Corneum adalah lapisan yang paling bervariasi ketebalannya. Dalam lapisan

ini, keratinosit yang mati mengeluarkan defensin yang merupakan bagian dari

pertahanan pertama tubuh seseorang.

2.1.4.2 Dermis

Lapisan dermis terletak dibawah lapisan epidermis. Lapisan ini terdiri dari dua

jaringan ikat yaitu :

1) Lapisan Papilar

Lapisan papilar adalah jaringan ikat areolar renggang yang terdiri dari

fibroblast, sel mast, dan makrofag. Pada lapisan ini terdapat banyak pembuluh

darah yang berfungsi untuk memberikan nutrsi pada jaringan di sekitarnya.

2) Lapisan Retikular

Lapisan retikular, yaitu bagian yang menonjol ke arah subkutan. Lapisan

retikular tersusun atas jaringan ikat yang rapat, kolagan, serta serat elsatik.

Semakin bertambahnya usia maka fungsi lapisan retikular akan semakin

menurun sehingga dapat menyebabkan terjadinya keriput pada kulit.

2.1.4.3 Hipodermis

Lapisan hipodermis merupakan lapisan yang terletak di bawah lapisan

dermis. Tidak ada garis yang memisahkan kedua lapisan ini sehingga terlihat seperti

menyatu. Lapisan ini mengandung banyak sel berlemak dan bergantung pada lokasi

tubuh. Hipodermis berisi banyak sel saraf dan pembuluh darah yang mengangkut

nutrisi.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

13

2.2 Luka

2.2.1 Definisi Luka

Luka dapat diartikan sebagai gangguan pada kontinuitas lapisan epitel kulit

atau mukosa yang disebabkan oleh trauma fisik, kimiawi atau termal sehingga

mengakibatkan terganggunya fungsi dan anatomis normal dari kulit (Dhivya,

Padma dan Santhini, 2015; Tavakoli dan Klar, 2020). Angka kejadian luka

memiliki prevalensi mencapai jutaan kasus pertahunnya. Prevalensi pasien luka di

Indonesia dengan angka tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Utara yaitu 75,6%

dan jenis luka tertinggi yang dialami penduduk Indonesia adalah luka lecet sebesar

64,1% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI, 2018).

2.2.2 Jenis-Jenis Luka

Berdasarkan sifat proses perbaikannya, Tavakoli dan Klar (2020)

mengklasifikasikan luka menjadi dua kategori utama sebagai berikut:

1) Luka Akut

Luka akut adalah luka yang dapat sembuh total dalam jangka waktu kurang

lebih 8-12 minggu. Luka akut sebagian besar disebabkan oleh cedera mekanis,

seperti kontak gesekan antara kulit dan permukaan keras (misalnya pisau),

penetrasi tembakan senjata, dan sayatan bedah. Sebaliknya, luka akut terutama

disebabkan oleh bahan kimia dan luka bakar setelah radiasi, bahan kimia

korosif, listrik, dan cedera termal.

2) Luka Kronis

Luka kronis didefinisikan sebagai luka yang menunjukkan penyembuhan

tertunda (lebih dari 12 minggu) setelah cedera awal. Luka kronis sebagian

besar disebabkan oleh kerusakan jaringan berulang atau kondisi fisiologis

seperti diabetes, gangguan angiogenesis dan persarafan. Luka kronis biasanya

terjadi akibat faktor lain dari pasien seperti penyakit kronis penyerta, infeksi,

dan perawatan primer yang buruk. Berdasarkan etiologi penyebabnya, Wound

Healing Society membagi luka kronis menjadi empat kategori yang berbeda

yaitu ulkus-pressure, ulkus diabetes, ulkus vena, dan ulkus insufisiensi arteri.

Berdasarkan tingkat kontaminasinya, menurut Herman dan Bordoni (2010)

menyatakan The Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

mengklasifikasikan luka menjadi empat kategori sebagai berikut:

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

14

1) Luka Class 1

Luka kelas 1 adalah luka bersih (clean wounds). Luka akibat pembedahan tidak

akan mengakibatkan infeksi, peradangan, dan utamanya luka dapat tertutup.

Selain itu, luka bersih tidak berhubungan dengan saluran pernapasan, saluran

pencernaan, genital, atau saluran kemih.

2) Luka Class 2

Luka kelas 2 adalah luka bersih terkontaminasi (clean contamined wounds).

Luka yang terjadi pada saluran pernapasan, saluran pencernaan, genital, atau

saluran kemih. Pada jenis luka ini memungkinkan adanya kontaminasi yang

disebabkan oleh flora normal yang hidup pada jaringan tersebut. Namun, luka

ini dalam kondisi dapat terkendali.

3) Luka Class 3

Luka kelas 3 adalah luka terkontaminasi (contamined wounds). Luka

terkontaminasi adalah luka baru dan terbuka yang dapat diakibatkan oleh

teknik pembedahan yang tidak benar atau kebocoran dari saluran pencernaan

ke dalam luka. Selain itu, sayatan yang dibuat menyebabkan peradangan

purulen akut.

4) Luka Class 4

Luka kelas 4 adalah luka terinfeksi (infected wounds). Luka ini biasanya

disebabkan oleh luka traumatis yang tidak dirawat dengan benar. Luka kelas 4

menunjukkan jaringan yang mengalami devitalisasi, dan paling sering terjadi

akibat mikroorganisme yang ada di visera berlubang atau bidang operasi. luka

ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi klinis.

Berdasarkan etiologinya, Ather dan Harding (2019) mengklasifikasikan luka

sebagai berikut:

1) Abrasi ialah luka yang terjadi pada permukaan epitel yang umumnya

disebabkan oleh gesekan dengan permukaan benda yang kasar seperti ketika

jatuh di aspal. Kulit akan mengalami lecet yang menandakan adanya kerusakan

pada permukaan kulit. Luka abrasi tidak berbahaya namun apabila abrasi yang

terjadi cukup dalam maka akan dapat meninggalkan bekas luka yang sulit

dihilangkan.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

15

2) Insisi merupakan luka yang diakibatkan oleh benda tajam seperti pisau, kater

dan gunting. Luka jenis ini biasanya didapatkan selama proses operasi ataupun

kecelakaan kerja seperti terkena pecahan kaca dan tersayat pisau. Luka ini

dapat berbahaya dan mengakibatkan kematian apabila luka tersebut berada

pada bagian leher atau pergelangan tangan.

3) Kontusio ialah luka yang disebakan oleh trauma benda tumpul atau suatu

ledakan dan dapat memperluas kerusakan jaringan di sekitarnya. Ketika

pembuluh darah dibawah kulit mengalami kerusakan maka bagian kulit

tersebut akan mengalami memar. Luka ini dapat menimbulkan infeksi dan

compartment syndromes.

4) Laserasi merupakan luka yang terjadi apabila kekuatan trauma yang dimiliki

melampaui kekuatan regang pada jaringan kulit yang seharusnya. Contohnya

robekan pada kulit kepala akibat trauma tumpul pada kepala. Laserasi bisa

terjadi pada permukaan kulit maupun pada jaringan yang lebih dalam.

2.3 Wound Healing

2.3.1 Definisi Wound Healing

Wound Healing adalah penyembuhan luka dari hasil interaksi antar sitokin,

faktor pertumbuhan, darah dan matriks ekstraseluler. Sitokin berperan dalam

penyembuhan melalui berbagai jalur seperti merangsang produksi komponen

membran dasar, mencegah dehidrasi, meningkatkan peradangan dan pembentukan

jaringan granulasi. Proses penyembuhan luka terjadi melalui empat fase:

hemostatis, inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Lamanya penyembuhan luka ini

sangat bergantung pada jenis luka, kondisi patologis yang terkait dan jenis bahan

pembalut luka (Dhivya, Padma dan Santhini, 2015). Apabila pada proses

penyembuhan luka tidak dilakukan dengan baik maka luka akan meluas lebih jauh

ke jaringan dan struktur lain seperti jaringan subkutan, otot, tendon, saraf,

pembuluh darah serta tulang (Okur et al., 2020). Pemilihan metode yang tepat untuk

tujuan manajemen penyembuhan luka adalah kunci dalam mencapai hasil yang

terbaik dalam penanganan luka akut maupun luka kronis (Naik dan Harding, 2019).

2.3.2 Mekanisme Wound Healing

Menurut Tavakoli dan Klar (2020) proses penyembuhan luka terjadi melalui empat

fase sebagai berikut :

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

16

Gambar 2.6 Fase-Fase Penyembuhan Luka (Tavakoli and Klar, 2020)

1) Homeostasis

Pada fase pertama ini, trombosit darah diaktifkan untuk membentuk bekuan

darah dan juga berperan dalam menginisiasi leukosit. Dalam beberapa menit

pertama setelah cedera, trombosit darah mulai menempel satu sama lain

kemudian menuju lokasi luka. Saat kontak dengan kolagen, trombosit berubah

menjadi bentuk amorf menghasilkan aktivasi dan agregasi. Selanjutnya,

trombin mulai diproduksi dan mengkatalisis inisiasi kaskade koagulasi. Proses

tersebut menghasilkan aktivasi fibrin, yang membentuk jaring yang mencegah

pendarahan lebih lanjut. Selain itu, trombosit memiliki peran penting dalam

perekrutan leukosit dan inisiasi serta perkembangan peradangan.

2) Inflamasi

Pada fase inflamasi, sel-sel kekebalan (terutama neutrofil dan makrofag)

masuk ke dalam luka, fagosit merusak sel-sel mati, bakteri, dan patogen lain.

Selain itu, sel-sel inflamasi bersama dengan platelet melepaskan berbagai

faktor pertumbuhan peptida, mendorong migrasi fibroblas ke lokasi luka dan

mengaktifkan angiogenesis.

3) Proliferasi

Fase ini terjadi di hari kedua atau ketiga sesudah terkena luka dan akan

berlangsung selama 3-4 minggu. Proliferasi ditandai dengan munculnya

fibroblast pada area luka dan tumpang tindih dengan fase inflamasi

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

17

dikarenakan prosesnya terjadi secara bersamaan. Pada fase ini terjadi proses

angiogenesis atau proses pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari

pembuluh darah sebelumnya. Dengan adanya pembuluh darah yang baru maka

akan mempermudah penghantaran nutrisi dan oksigen pada jaringan yang

rusak. Pada fase ini fibroblast mulai mensintesis kolagen dan sel epitel baru

sehingga luka akan tertutup dengan baik.

4) Maturasi (Remodeling)

Maturasi merupakan fase akhir dalam penyembuhan luka. Proses ini terjadi

pada hari ke-8 sampai 2 tahun. Lamanya fase ini bergantung pada tingkat

keparahan dan ukuran luka yang terbentuk. Sintesis kolagen yang berlebihan

dapat menyebabkan pembentukan bekas luka hipertrofik atau keloid. Fase ini

ditandai dengan pergantian kolagen tipe III ke kolagen tipe I. Serat kolagen

yang baru diatur sejajar dengan garis regangan pada luka. Selain itu juga terjadi

apoptis atau kematian sel secara terprogram seperti pada sel makrofag,

kreatinosit, fibroblast, dan mikrofibroblast yang sudah tidak terpakai.

Pembuluh darah yang sudah tidak dibutuhkan juga akan mati karena apoptis.

Semua faktor yang terjadi menyebabkan peningkatan elastisitas, eritema dan

jaringan parut sehingga menghasilkan bekas luka yang memudar.

2.3.3 Tipe-Tipe Wound Healing

Menurut Rajendran (2018) cara penyembuhan luka terbagi menjadi tiga tipe

sebagai berikut:

1) Primary intention dilakukan dengan menutup luka menggunakan jahitan,

staples, atau perekat lain. Luka akan menutup dengan cepat dan resiko bekas

luka yang ditimbulkan sangat kecil.

2) Secondary intention yaitu luka dibiarkan terbuka. Penyembuhan yang terjadi

akan dipicu oleh reepitelisasi dan kontraksi jaringan. Cara ini berlaku untuk

ukuran luka yang luas dan diperkirakan tidak akan kembali ke bentuk semula.

3) Tertiary healing yaitu terjadi apabila penutupan luka tertunda selama beberapa

hari. Hal ini disebabkan oleh kontaminasi yang terjadi pada luka tersebut.

Sehingga diperlukan waktu tambahan untuk membersihkan luka dan

memastikan tidak ada bakteri, kuman, ataupun debris yang tersisa di dalam

luka.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

18

2.4 Sediaan Topikal

2.4.1 Definisi Sediaan Topikal

Sediaan topikal adalah obat yang diformulasikan untuk pengobatan di kulit

(Öztürk dan Yenilmez, 2018). Target terapi obat yang diberikan secara topikal

melalui kulit terbagi dalam dua kategori umum yaitu memberikan efek lokal dan

sistemik. Tindakan lokal diberikan melalui permukaan kulit yaitu tindakan yang

bekerja di stratum korneum, dan dapat memodulasi fungsi epidermis dan/atau

dermis. Produk umum dalam kategori pertama meliputi krim, gel, salep, pasta,

suspensi, losion, foam, spray, aerosol, dan larutan. Krim, salep, dan gel umumnya

disebut sebagai bentuk sediaan semipadat. Produk obat yang paling umum

diterapkan pada kulit untuk efek sistemik disebut sebagai transdermal drug delivery

systems (TDS) atau transdermal patches (USP38/NF33, 2015; Benson et al., 2019).

Sediaan topikal memiliki keuntungan antara lain penghantaran obat non-invasif,

tanpa melalui metabolisme lintas pertama, durasi kerja obat lama, frekuensi dosis

dapat diatur, tingkat obat konstan dalam plasma, penurunan toksisitas/efek samping

dari obat, peningkatan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat, dan lain-lain

(Bolla et al., 2020).

2.4.2 Mekanisme Transpor Sediaan Topikal

Fungsi utama kulit adalah bertindak sebagai penghalang (barrier) antara

tubuh dan lingkungan eksternal yang relatif tidak bersahabat. Stratum korneum

adalah lapisan terluar kulit yang kaya lipid terstruktur yang meminimalkan keluar

masuknya air, oksigen dan bahan kimia. Terapi produk sediaan topikal

menargetkan beberapa lapisan yang berbeda (yaitu epidermis, dermis dan

hipodermis), pelengkap kulit (misalnya, folikel rambut dengan kelenjar sebaceou,

keringat kelenjar dan kuku), dan jaringan di bawahnya. Wilayah target utama untuk

sebagian besar produk topikal adalah epidermis dan termasuk saraf, keratinosit,

melanosit, sel Langerhans dan folikel rambut (Gambar 2.7). Produk transdermal

menargetkan sirkulasi sistemik. Pengembangan secara berkelanjutan untuk

penghantaran obat sediaan topikal dan transdermal telah menyediakan teknologi

baru untuk dosis terkontrol, lokasi spesifik penghantaran obat yang ditargetkan,

dan/atau peningkatan penetrasi kulit, sehingga memperluas jangkauan senyawa

terapeutik yang dapat dioleskan melalui kulit (Benson et al., 2019).

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

19

Gambar 2.7 Ilustrasi diagram kulit manusia (Benson et al., 2019)

Gambar 2. 8 Obat transdermal dan tempat aplikasi yang direkomendasikan;

(Benson et al., 2019)

2.5 Gel

2.5.1 Definisi Gel

Gel (kadang-kadang disebut Jeli) merupakan sistem semipadat terdiri dari

suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang

besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Jika massa gel terdiri dari jaringan partikel

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

20

kecil yang terpisah, gel digolongkan sebagai sistem dua fase. Dalam sistem dua

fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relatif besar, massa gel kadang-

kadang dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma Bentonit). Gel fase tunggal

terdiri dari makromolekul organik yang tersebar merata dalam suatu cairan

sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang

terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari makromolekul sintetik

(misalnya Karbomer) atau dari gom alam (misalnya Tragakan). Sediaan tragakan

disebut juga musilago. Walaupun gel-gel ini umumnya mengandung air, etanol dan

minyak dapat digunakan sebagai fase pembawa. Gel dapat digunakan untuk obat

yang pemberiannya secara topikal atau dimasukkan ke dalam lubang tubuh

(USP38/NF33, 2015; Depkes RI, 2020). Contoh Voltaren gel, bioplasenton.

Penyimpanan dalam wadah tertutup baik, dalam bermulut lebar terlindung dari

cahaya dan ditempat sejuk (Murtini, 2016). Konsentrasi gelling agent sebagian

besar kurang dari 10%, biasanya dalam kisaran 0,5% hingga 2,0%, dengan

beberapa pengecualian. Thixotropy gel adalah reversibel tanpa terjadi perubahan

volume atau suhu, berupa aliran non-Newtonian (Rathod dan Mehta, 2015).

2.5.2 Struktur Gel

Gambar 2.9 Representasi Struktur Gel (Sharma dan Singh, 2018)

Sharma dan Singh (2018) menyatakan terdapat empat macam struktur gel yaitu :

1) Partikel flokulasi dalam struktur gel dua fase.

2) Jaringan partikel atau bentuk batang yang memanjang membentuk struktur

gel.

3) Serat kusut seperti yang ditemukan dalam sabun gel.

4) Daerah kristal dan amorf dalam gel karboksimetil selulosa (CMC)

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

21

2.5.3 Sifat Sediaan Gel

1) Idealnya, gelling agent harus inert, aman dan tidak bereaksi dengan formulasi

bahan lain.

2) Gelling agent harus menghasilkan sifat padat yang baik pada saat

penyimpanan, tidak mudah pecah saat terkena geseran kekuatan yang

dihasilkan dengan menggetarkan botol atau pada saat aplikasi topikal.

3) Sediaan gel harus memiliki agen anti-mikroba yang sesuai untuk mencegah

aktivitas mikroba.

4) Gel topikal tidak boleh lengket.

5) Gel oftalmik harus steril.

6) Viskositas sediaan gel meningkat dengan adanya peningkatan efektif

kepadatan ikatan silang gel. Namun, apabila terjadi peningkatan suhu maka

dapat meningkatkan atau menurunkan viskositas, tergantung pada interaksi

molekuler antara polimer dan pelarut.

7) Terdapat ikatan yang kuat antara fase terdispersi dan media air sehingga gel

tetap homogen dan tidak mengendap dengan bebas (Rathod and Mehta, 2015;

Sharma and Singh, 2018)

2.5.4 Karakteristik Sediaan Gel

1) Swelling, yaitu ketika zat pembentuk gel dibiarkan bersentuhan dengan cairan

yang melarutkannya, maka sejumlah besar cairan diserap oleh zat tersebut dan

volumenya akan meningkat. Proses ini disebut swelling (pembengkakan).

Fenomena ini terjadi sebagai hasil penetrasi pelarut ke dalam matriks.

2) Syneresis, yaitu terjadinya kontraksi secara spontan di dalammassa gel dan

media cairan yang terjerap didalamnya akan dikeluarkan. Sineresis terjadi

peningkatan seiring dengan penurunan konsentrasi gelling agent.

3) Ageing, biasanya sistem koloid secara alami menunjukkan agregasi yang

lambat. Proses ini dikenal sebagai ageing. Dalam gel, agieng menyebabkan

pembentukan jaringan gelling agent secara bertahap.

4) Structure, sifat kekakuan gel terjadi karena adanya jaringan yang dibentuk oleh

interlinking partikel gelling agent. Sifat partikel dan tegangan, mengokohkan

dan mengurangi hambatan aliran.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

22

5) Rheology, larutan gelling agent dan dispersi padatan yang diflokulasi bersifat

semu, yaitu mengikuti sifat aliran Non-Newtonian yang ditandai dengan

penurunan viskositas dengan peningkatan laju geser (Sharma dan Singh, 2018).

2.5.5 Klasifikasi Gel

Menurut Sharma dan Singh (2018) gel dapat diklasifikasikan berdasarkan fase

koloid, sifat pelarut yang digunakan, sifat fisik dan sifat reologi gel.

2.5.5.1 Berdasarkan Sifat Koloid

1) Sistem Dua Fase (Anorganik)

Dalam tipe ini, ukuran partikel fase terdispersi cukup besar dan membentuk

struktur tiga dimensi di seluruh gel dan pasti thixotropic, yaitu bentuk setengah

padat saat berdiri dan berubah menjadi cair saat diaduk.

2) Sistem Fase Tunggal (Organik)

Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang diedarkan secara

seragam di dalam cairan sedemikian rupa sehingga tidak ada batas yang terlihat

ditemukan antara makromolekul terdispersi dan cairan.

2.5.5.2 Berdasarkan Sifat Pelarut yang Digunakan

1) Hydrogel (berbahan dasar air)

Dalam hidrogel, air berperan sebagai fase cair kontinyu. Misalnya gelatin,

turunan selulosa, gel poloxamer.

2) Gel Organik (pelarut non-air)

Gel organik menggunakan pelarut non-air sebagai fase kontinyu. Misalnya gel

Plastibase olag dan dispersi logam dalam minyak.

3) Xerogels

Xerogel merepresentasikan gel padat dengan konsentrasi pelarut yang lebih

rendah. Xerogel diproduksi oleh penguapan pelarut yang meninggalkan

kerangka gel, misalnya tragacanth ribbons, selulosa kering, dan polistiren.

2.5.5.3 Berdasarkan Sifat Fisik

1) Elastic gel

Molekul berserat bergabung secara bersamaan pada titik persimpangan dengan

ikatan yang relatif lemah, yaitu ikatan hidrogen dan interaksi dipol. Gel agar,

pektin, guar gum, dan alginat menunjukkan sifat elastis.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

23

2) Rigid gels

Rigid gels merupakan makromolekul gel. Dalam silika gel, molekul asam

silikat ditahan oleh ikatan Si-O-Si-O untuk menghasilkan struktur polimer

yang memiliki jaringan pori-pori.

2.5.5.4 Berdasarkan Sifat Reologi

Pada umumnya, gel menunjukkan sifat aliran non-Newtonian. Berdasarkan sifat

reologinya, gel dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis

1) Plastic gels

Plot rheogram memberikan yield value di atas distorsi gel elastis dan mulai

mengalir, misalnya suspensi flokulasi aluminium hidroksida, badan Bingham,

menunjukkan aliran plastis.

2) Pseudo plastic gels

Terjadi penurunan viskositas gel jenis ini dengan peningkatan laju geser, tanpa

yield value, misalnya dispersi cairan dari tragakan, natrium alginat, Na CMC,

dll menunjukkan aliran plastis semu.

3) Thixotropic gels

Pada gel jenis ini, ikatan antar partikel sangat lemah dan dapat dipecah dengan

cara digoyang-goyang. Larutan yang dihasilkan akan membentuk kembali gel

karena tumbukan partikel dan mengikat kembali (transformasi gel-sol-gel

isotermal reversibel), misalnya bentonit dan agar.

2.5.6 Kegunaan Gel

1) Sebagai sistem penghantaran obat yang diberikan secara topikal.

2) Untuk obat topikal yang dioleskan langsung ke kulit, selaput lendir atau mata.

3) Sebagai obat injeksi long acting secara intramuskuler.

4) Sebagai pengikat dalam granulasi tablet, koloid pelindung dalam suspensi,

pengental dalam cairan oral dan basis supositoria.

5) Sebagai kosmetik seperti sampo, produk wewangian, pasta gigi, sediaan

perawatan kulit dan rambut.

6) Gel NaCl untuk elektrokardiografi Sodium fluoride dan gel asam fosfat untuk

profilaksis perawatan gigi

7) Basis untuk patch testing

8) Pelumas (lubricant) untuk kateter (Sharma dan Singh, 2018).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

24

2.5.7 Formulasi Sediaan Gel

1) Pelarut (Vehicle / Solvent)

Biasanya air yang dimurnikan digunakan sebagai pelarut. Untuk meningkatkan

kelarutan agen terapeutik dalam bentuk sediaan dan / atau untuk meningkatkan

penetrasi obat ke seluruh kulit, kosolvent dapat digunakan, misalnya alkohol,

gliserol, PG, PEG 400, dll

2) Gelling Agent

Gelling Agent merupakan agen pembentuk gel yang berperan penting dalam

pembuatan sediaan gel.

3) Larutan Penyangga (Buffer)

Buffer mungkin terlibat dalam gel berbasis air dan hidroalkohol untuk

mengontrol pH formulasi, misalnya, Fosfat, sitrat, dll.

4) Pengawet

Penambahan bahan pengawet meningkatkan stabilitas atau umur simpan gel,

misalnya Parabens, fenolat, dll.

5) Antioksidan

Ini dapat digabungkan dalam formulasi untuk meningkatkan stabilitas kimiawi

dari agen terapeutik yang rentan terhadap degradasi oksidatif. Antioksidan

yang larut dalam air umumnya digunakan karena mayoritas gel berbahan dasar

air, misalnya Sodium metabisulphite, sodium formaldehyde sulfoxylate, dll.

6) Sweetening agents

Perasa (mis. Butterscotch, apricot, peach, vanilla, wintergreen mint, cherry,

mint, dll.) Dan zat pemanis (mis. Sukrosa, glukosa cair, gliserol, sorbitol, dll.)

Hanya disertakan dalam gel yang dimaksudkan untuk pemberian ke dalam oral.

rongga (misalnya untuk pengobatan infeksi, peradangan, ulserasi, dll.) (Sharma

dan Singh, 2018).

2.5.8 Jenis-Jenis Gelling Agent

Menurut Sharma dan Singh (2018) basis pembentuk gel atau polimer

diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Polimer alami

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

25

Polimer ini ditemukan secara alami dan dapat disintesis oleh makhluk hidup,

misalnya protein seperti kolagen, gelatin dll dan polisakarida seperti agar,

tragakan, pektin dan permen karet dll.

2) Polimer semi sintetik

Jenis polimer ini adalah sebagian besar dibentuk dari polimer alami dengan

modifikasi kimia, seperti turunan selulosa : karboksimetilelulosa,

metilselulosa, hidroksipropil selulosa dan selulosa hidroksietil.

3) Polimer sintetis

Polimer yang dibuat dalam kondisi in-vitro disebut polimer sintetik. Ini juga

dikenal sebagai polimer buatan manusia, misalnya Karbomer karbopol 940,

karbopol 934, Poloksamer, Poliakrilamida, Polivinil alkohol dan Polietilen.

4) Zat anorganik - Aluminium hidroksida dan Besitonite

5) Surfaktan - Alkohol sebrotearyle dan Brij-96.

Tabel II.1 Klasifikasi umum dan berbagai bentuk gel yang digunakan

Berikut macam-macam gelling agent menurut (Rowe, Sheskey and Quinn, 2009).

1) Aluminum stearate

2) Carbomers

3) Carboxymethylcellulose sodium

4) Carrageenan

5) Chitosan

6) Colloidal silicon dioxide

7) Gelatin

8) Glyceryl monooleate

9) Glyceryl palmitostearate

10) Guar gum

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

26

11) Hydroxyethyl cellulose

12) Hydroxymethyl cellulose

13) Pectin

14) Polyethylene alkyl ethers

15) Polyethylene glycol

16) Polyethylene oxide

17) Polymethacrylates

18) Propylene carbonate

19) Sodium ascorbate

20) Sorbitol

21) Xanthan gum

22) Zinc acetate

2.5.9 Sediaan Gel yang Baik

Sediaan Gel untuk dermatologis harus thixotropic, tidak berminyak, mudah

dilepas, tidak menodai, larut dalam air atau larut dan kompatibel dengan sejumlah

bahan. Mereka juga harus memiliki sifat demulcent, emollient dan spreadability

yang baik (Sharma dan Singh, 2018).

2.6 Studi Literatur

2.6.1 Definisi Studi Literatur

Menurut Melfianora (2019) studi literatur merupakan istilah lain dari kajian

pustaka, tinjauan pustaka, kajian teoritis, landasan teori, telaah pustaka (literature

review), dan tinjauan teoritis. Data studi literatur merupakan data-data yang dapat

diperoleh dari sumber pustaka atau dokumen tidak harus bertemu dengan responden

atau penelitian lapangan. Penelitian studi literatur adalah penelitian yang

persiapannya sama dengan penelitian lainnya akan tetapi yang membedakan dari

keduanya adalah sumber dan metode pengumpulan data dengan cara mengambil

data di pustaka, membaca, mencatat, dan mengolah bahan penelitian. Selain data,

beberapa hal yang harus ada dalam sebuah penelitian agar dapat dikatakan ilmiah,

juga memerlukan hal lain seperti rumusan masalah, landasan teori, analisis data,

dan pengambilan kesimpulan. Variabel pada penelitian studi literatur bersifat tidak

baku.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

27

2.6.2 Tujuan Studi Literatur

Sebuah literature riview membutuhkan perencanaan dan penulisan yang

jelas, hal tersebut memerlukan penulisan berulang. Kaidah penulisan yang baik

berlaku saat menulis literature riview (misalnya, struktur penyusunan yang jelas,

pengantar, kesimpulan, dan transisi antar bagian). Selain itu, mengingat tujuan

melakukan review saat menulis, dan mengomunikasikan dengan jelas dan efektif

(Djamba and Neuman, 2014). Menurut (Djamba and Neuman, 2014) menyatakan

beberapa tujuan peneliti menulis literature riview sebagai berikut :

1) Untuk mendemonstrasikan sejauhmana peneliti mengenali kumpulan ilmu

pengetahuan dan menunjukkan kredibilitasnya (dibidang tersebut). Sebuah

review memberi informasi kepada pembaca sejauhmana peneliti mengenal para

peneliti lain di bidang diteliti itu dan mengenali isu-isu pokok di dalam bidang

tersebut. Sebuah review yang baik akan memberi kesan pada pembacanya

tentang latar belakang, kemampuan dan kompentensi peneliti di bidang yang

akan diteliti.

2) Untuk menunjukkan jejak penelitian terdahulu dan menunjukkan bahwa

penelitian yang sedang dilakukan itu memiliki kaitan dengan penelitian-

penelitian sebelumnya. Sebuah review memberi outline mengenai arah

pertanyaan penelitian dan menunjukkan perkembangan dari pengetahuan yang

kita kaji. Sebuah review yang baik semestinya menempatkan penelitian

tersebut dalam konteks dan mendemonstrasikan relevansinya dengan membuat

hubungan dengan body of knowledge-nya.

3) Untuk mengintegrasikan dan merangkumkan hal yang telah diketahui dalam

bidang yang akan diteliti. Sebuah review akan mengumpulkan dan sekaligus

mensistematisasikan hasil-hasil/temuan yang beragam. Sebuah review yang

baik akan menunjukkan letak kesepahaman dan ketidaksepahaman topik dalam

penelitian serta menunjukkan letak pertanyaan utama yang belum

terjawab. Dengan kata lain, review akan menunjukkan hal yang telah diketahui

pada satu titik tertentu dan mengindikasikan arah penelitian selanjutnya.

4) Untuk mempelajari para peneliti lain dan menstimulasi ide-ide baru. Sebuah

review akan memberitahu hal-hal yang telah ditemukan peneliti lain, dengan

demikian peneliti bisa memperoleh manfaat dari hasil penelitian yang

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

28

dilakukan peneliti sebelumnya. Dengan mengetahui mengenai desain riset dan

prosedur yang dilakukan sebelumnya, peneliti pun bisa mengajukan fokus atau

menggali lebih jauh dengan sudut pandang yang berbeda.

2.6.3 Jenis-Jenis Studi Literatur

Menurut (Djamba and Neuman, 2014) menyatakan terdapat enam jenis literatur

review sebagai berikut :

1) Context review adalah sebuah review yang umum dilakukan dalam kajian

literatur. Pada jenis kajian literatur ini penulis melakukan kajian dengan

menghubungkan satu topik kajian khusus kepada isi pengetahuan yang lebih

luas.

2) Historical Review adalah bentuk review yang melacak satu topik atau satu issue

tertentu sepanjang masa. Integrative review adalah satu jenis review yang

umum, dimana penulis menyajikan dan meringkaskan keadaan tentang satu

topik tertentu, memberi masukan tentang saran dan kritikan terhadap topik

tersebut .

3) Integrative Review adalah jenis literatur review yang umum disajikan penulis.

Penulis merangkum suatu permasalahan pengetahuan yang terjadi saat ini

tentang suatu topik, serta mengemukakan fokus kesepakatan dan

ketidaksepakatan di dalamnya. Jenis review ini sering dikombinasikan dengan

context review.

4) Methodological review adalah review yang membandingkan dan mengevaluasi

kekuatan relatif metodologi dari berbagai kajian. Pada jenis ini penulis

memperlihatkan berbagai metode yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan

hasil.

5) Self-study review merupakan hasil review yang menggabungkan tujuan

pembuatan review yang pertama dan keempat sebagaimana diuraikan di atas.

Yakni membuat review yang menunjukkan sejauhmana peneliti mengenali

bidang kajian yang hendak diteliti, kemudian mempelajari hah-hal yang telah

diketahui oleh peneliti sebelumnya dan kemudian mengajukan sebuah gagasan

atau ide barunya.

6) Theoretical review adalah sebuah review khusus dimana penulis menyajikan

beberapa teori atau konsep yang berfokus pada satu topik yang sama dan

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.3 - eprints.umm.ac.id

29

membandingkan teori atau konsep tersebut atas dasar-dasar asumsi, konsistensi

logis, dan ruang lingkup penjelasannya.

2.7 Aplikasi NVivo 12 Plus

NVivo adalah sebuah perangkat lunak (software) untuk program analisis data

kualitatif maupun secara kuantitatif dengan cepat dan efektif. Perangkat lunak

kualitatif ini sangat membantu dalam mengelola dan mengatur pengkategorian data.

Meskipun beberapa program cenderung lebih linier dan kurang fleksibel dalam

kapasitasnya untuk mencerminkan temuan nonlinier, secara keseluruhan program

tersebut sangat membantu saat mengelola kumpulan data kualitatif dalam jumlah

yang besar. Salah satu keuntungan menggunakan perangkat lunak kualitatif

(NVivo) adalah untuk melakukan analisis kategorikal yang memberikan

kemampuan untuk berkolaborasi dengan jumlah peneliti yang banyak selama

proses penelitian berlangsung. Karena semakin banyak peneliti mengapresiasi

metode kualitatif, peneliti dari berbagai institusi, disiplin ilmu, negara, dan budaya

akan melakukan lebih banyak upaya kolaboratif yang memerlukan berbagai analisis

dengan memeriksa konsep kategorikal (Given, 2008).

Aplikasi ini sudah disempurnakan oleh QSR internasional yang bekerjasama

dengan universitas dan perusahaan besar di dunia. Versi terbaru NVivo ialah NVivo

12 Plus yang dapat mengelola data riset dengan metode kualitatif dan kuantitatif

secara optimal (Given, 2008). Tools yang disediakan oleh NVivo assist sebagai

berikut:

1) Melacak dan mengelola sumber data dan informasi tentang sumber tersebut

2) Melacak dan menautkan ide yang terkait dengan atau berasal dari sumber data

3) Mencari istilah atau konsep

4) Mengindeks atau mengkodekan teks atau informasi multimedia untuk

pengambilan yang mudah

5) Mengorganisir kode untuk memberikan kerangka kerja konseptual untuk

sebuah penelitian

6) Menanyakan hubungan antara konsep, tema, atau kategori

7) Membangun dan menggambar model visual dengan tautan ke data (Given,

2008).