bab ii tinjauan pustaka 2.1. - eprints.umm.ac.id
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Antibiotik
2.1.1 Definisi Antibiotik
Antibiotik adalah suatu obat yang biasa digunakan untuk menghilangkan
suatu infeksi dari penyakit dengan aman, namun dapat juga menimbulkan
bahaya (Pottinger et al, 2014). Menurut (Utami, 2011) antibiotik merupakan
suatu senyawa kimia yang diproduksi mikroorganisme, khususnya adalah
fungi atau diproduksi secara sintetik yang dapat menghambat hingga dapat
membunuh bakteri atau mikroorganisme lain, sedangkan antimikroba
merupakan suatu substansi yang digunakan untuk mengobati atau mengatasi
suatu infeksi bakteri pada manusia.
2.1.2 Macam-Macam Terapi Penggunaan Antibiotik
2.1.2.1 Antibiotik Profilaksis
Penggunaan antibiotik sebelum, selama, dan hingga 24 jam pasca operasi
pada kasus yang secara klinis tidak memperlihatkan tanda-tanda infeksi
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya Infeksi Daerah Operasi (IDO)
(SPO RSUD Dr. Iskak, 2019). Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis
selain tepat dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi
antibiotik dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung
(Kemenkes RI, 2011). Pemberian 30-60 menit sebelum insisi, sekali
pemberian atau dosis tunggal dalam waktu 15-30 menit secara drip intravena
dan pemberian di kamar operasi. Pemberian antibiotik profilaksis diulang bila
terjadi perdarahan lebih dari 1500 ml atau lebih dari 30% Estimated blood
volume atau EBV (pada pasien anak > 15% EBV) atau lama operasi lebih dari
3 jam, lama pemberian maksimal 24 jam sejak pemberian antibiotik
profilaksis pertama (SPO RSUD Dr. Iskak, 2019). Penggunaan antibiotik
profilaksis terbatas hanya pada pasien dengan pasien yang memiliki risiko
tinggi terkena infeksi, pada pasien yang menerima terapi immunosupresan,
pasien kanker, dan pasien yang akan menjalani prosedur
pembedahan.Pertahanan tubuh alami pasien tersebut sangat lemah sehingga
rentan terhadap infeksi. Karena kemungkinan itu dapat terjadi infeksi oleh
7
beberapa jenis organisme dan jika sampai terjadi infeksi pada pasien akan
membawa pasien pada kondisi yang buruk maka diberikanlah antibiotik
profilaksis (Gallagher & MacDougall, 2018).
2.1.2.2 Antibiotik Empiris
Terapi antibiotik empiris merupakan penggunaan antibiotik pada kasus
infeksi bakterial atau diduga infeksi bakterial yang belum diketahui jenis
bakteri penyebab dan pola kepekaannya (SPO RSUD Dr. Iskak, 2019). Dasar
pemilihan jenis dan dosis antibiotik empiris didasarkan pada data
epidemiologi, pola resistensi, kondisi pasien, ketersediaan, dan spektrum
antibiotik (Kemenkes RI, 2011). Waktu dimulainya pemberian antibiotik
empiris berdasarkan dari situasi kedaduratan pada pasien. Pada kondisi kritis
atau darurat seperti pada pasien septic syok, pasien neutropenia febril, dan
pasien dengan meningitis bakteri, terapi empiris harus segera dimulai setelah
atau bersamaan dengan koleksi diagnostik spesimen atau kultur kuman
(Leekha et al., 2011). Pada umumunya terapi empiris diberikan sebelum
dokter dapat mengidentifikasi organisme penyebab dan pola kepekaannya.
Terapi empiris merupakan agen paling aktif terhadap kemungkinan penyebab
infeksi (Gallagher & MacDougall, 2018). Pemberian antibiotik empiris harus
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu lokasi infeksi dan jenis mikroba yang
paling banyak menginfeksi lokasi tersebut, pola resistensi bakteri pada
fasilitas kesehatan tersebut dan pengetahuan tentang bakteri yang sebelumnya
pernah menginfeksi pasien (Leekha et al., 2011).
2.1.2.3 Antibiotik Definitif
Penggunaan antibiotik definitif merupakan penggunaan antibiotik pada
kasus infeksi yang telah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
kepekaannya (SPO RSUD Dr. Iskak, 2019). Bertujuan untuk eradikasi dan
menghambat pertumbuhan bakteri berdasarkan hasil pemeriksaan
mikrobiologi. Setelah pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas dilakukan,
terapi antibiotik definitif dapat diberikan, dengan mengetahui bakteri
penyebab infeksi maka pemilihan terapi antibiotik dapat lebih tepat dan
efektif. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik definitif yaitu berdasarkan
efikasi, sensitivitas, kondisi pasien, biaya, dan minim risiko resistensi.
8
Penggunaan antibiotik definitif yaitu diutamakan menggunakan antibiotik lini
pertama dan berspektrum sempit (Kemenkes RI, 2011). Hal ini dapat
meminimalisir toksisitas, kegagalan terapi, kemungkinan berkembangnya
resistensi, dan juga membantu pengelolaan biaya yang minimal (Gallagher &
MacDougall, 2018).
2.1.3 Klasifikasi Antibiotik
Menurut Kementrian Kesehatan RI tahun 2011, antibiotik dapat
diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, berikut klasifikasinya:
1. Merusak atau menghambat dinding sel bakteri. Golongan antibiotik yang
bekerja dengan mekanisme tersebut adalah golongan beta-laktam seperti
inhibitor beta-laktamase, karbapenem, monobaktam, penisilin dan
sefalosporin, dan beberapa juga terdapat dari kelas lain seperti basitrasin
dan vankomisin
2. Memodifikasi atau menghambat sintesis protein antara lain,
aminoglikosida, golongan makrolida (azitromisin, eritromisin,
klaritromisin), klindamisin, kloramfenikol, mupisorin, spektinomisin,
dan tetrasiklin.
3. Bekerja dengan menginhibisi enzim-enzim esensial pada metabolisme
asam folat seperti sulfonamid dan trimetoprim.
4. Mempengaruhi pada metabolisme atau sintesis asam nukleat seperti
kuinolon, nitrofurantoin (Kemenkes, 2011).
2.1.3.1 Obat yang merusak atau menghambat dinding sel bakteri
2.1.3.1.1 Antibiotik golongan beta-laktam
Antibiotik beta-laktam adalah kelompok obat yang dari berbagai
golongan yang memiliki struktur cincin beta-laktam seperti inhibitor beta-
laktamase, monobaktam, penisilin, sefalosporin. Antibiotik golongan ini
umumnya bersifat bakterisid. Sebagian besar golongan ini efektif terhadap
organisme Gram positif dan negatif (Kemenkes, 2011). Semua golongan
beta-laktam dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas, seperti demam
ringan, intersitial nefritis akut hingga anafilaksis. Terdapat juga beberapa
sensitivitas silang antar kelas, namun tidak ada cara yang tepat untuk
9
memprediksi seberapa sering hal tersebut dapat terjadi (Gallagher &
MacDougall, 2018).
2.1.3.1.2 Penisilin
Penisilin merupakan antibiotik yang pertama kali ditemukan oleh
Alexander Fleming dari jamur dengan genus Penicillium (Goodman &
Gilman, 2012). Golongan penisilin mempunyai persamaan sifat kimiawi,
mekanisme kerja, farmakologi, dan karakterisktik imunologis dengan
sefalosforin, monobaktam, karbapenem, dan penghambat beta-laktamase.
Semua obat tersebut merupakan senyawa beta laktam yang dinamakan
demikian karena mempunyai cincin beta-laktam beranggota empat yang unik
(Katzung, 2012). Hidrolisis cincin beta-laktam oleh bakteri Γ-lactamases
akan menghasilkan asam penilloid yang mana asam penilloit tidak memiliki
aktivitas antibakteri (Katzung, 2018). Penisilin memiliki waktu paruh yang
relatif singkat ( kurang dari 2 jam) sehingga harus diberikan beberapa kali.
Sebagian besar waktu paruh penisilin yang berkepanjangan dapat
menyebabkan disfungsi ginjal (Gallagher & MacDougall, 2018).
Polisakarida tersebut mengandung gula amino, N-asetilglukosamin, dan
asam N-asetilmuramik yang mengikat 5 peptida dari asam amino, dimana
rangkaian peptida ini akan berakhir di D-alanyl dan D-alanin. Penicillin
binding protein (PBP) akan menghilangkan terminal D-alanin sehingga akan
terbentuk sambung silang (cross linking) dengan peptida terdekat. Reaksi
sambung silang ini akan menyebabkan kekakuan struktural pada dinding sel
bakteri. Antibiotik beta laktam merupakan analog struktural alami substrat D-
Alanyl dan D-Alanin yang secara kovalen mengikat ke situs aktif PBP yang
mengakibatkan penghambatan reaksi transpeptidase dan menghentikan
sintesis peptidoglikan yang merupakan salah satu komponen sel bakteri,
sehingga sel mengalami kematian (Deck, Daniel H. 2015).
Derivat penisilin yang sering dipakai secara luas sebagai terapi
pengobatan infeksi bakteri yaitu benzilpenisilin, penisilin G prokain, penisilin
G benzatin, penisilin V, fenetisilin, metisilin, nafsilin, tikarsilin, sulbenisilin,
karbenisilin, amoksisilin, ampisilin, flukloksasilin, dikloksasilin, kloksasilin
dan oksasilin (Siswandono, 2016). Golongan penisilin diklasifikasikan
10
berdasarkan spektrum aktivitas antibiotiknya, antara lain penisilin G dan
penisilin V, penisilin yang resisten terhadap beta-laktamase, aminopenislin,
karboksipenislin, ureidopenisilin. Pengklasifikasiannya seperti berikut:
Tabel II. 1 Antibiotik Golongan Penisilin
Golongan Contoh Aktivitas
Penisilin G dan
Penisilin V
Penisilin G
dan Penisilin
V
Sangat aktif terhadap kokus Gram
positif, tetapi cepat dihidrolisis oleh
penisilinase atau beta-laktamase.
Tidak efektif terhadap S.aureus
Aminopenisilin Ampisilin,
Amoksisilin
Selain memiliki aktivitas terhadap
bakteri Gram-positif, juga memiliki
aktivitas pada mikroorganisme
Gram negatif, seperti Haemophilus
influenzae, Escherichia coli, dan
Proteus mirabilis. Obat-obat ini
sering diberikan bersama inhibitor
betalaktamase (asam klavulanat,
sulbaktam, tazobaktam) untuk
mencegah hidrolisis oleh
betalaktamase yang semakin
banyak ditemukan pada bakteri
Gram negatif ini.
Ureidopenisilin mezlosilin,
azlosilin,dan
piperasilin
Aktivitas antibiotik terhadap
Pseudomonas, Klebsiella, dan
Gramnegatif lainnya. Golongan ini
dirusak oleh beta-laktamase.
Sumber: Kemenkes RI, 2011; Katzung et al, 2013; Siswandono, 2016
11
Lanjutan tabel II.1 Antibiotik golongan Penisilin
Golongan Contoh Aktivitas
Karboksipenisilin karbenisilin,
tikarsilin
Antibiotik yang digunakan
untuk bakteri Pseudomonas,
Enterobacter, dan Proteus.
Aktivitas antibiotik lebih
rendah dibanding ampisilin
terhadap kokus Gram-positif,
dan kurang aktif dibanding
piperasilin dalam melawan
Pseudomonas. Golongan ini
dirusak oleh beta-laktamase.
Sumber: Kemenkes RI, 2011; Katzung et al, 2013; Siswandono, 2016
Penisilin V merupakan bentuk oral dari penisilin G. Spektrumnya baik
untuk bakteri Treponema pallidum, streptococci termasuk Streptococcus
pneumoniae, dan berspektrum sedang pada bakteri enterococci. Benzathine
dan prokain merupakan penisilin yang dapat diberikan secara intramuskular
karena dapat memberikan efek depot. Natural penisilin umumnya digunakan
untuk indikasi sifilis, terutama neurosifilis. Selain itu penisilin juga
digunakan pada pasien yang rentan terhadap infeksi streptococcus seperti
faringitis atau endokarditis (Gallagher & MacDougall, 2018).
Penisilin G (Benzil Penisilin) merupakan klasifikasi dari antibiotik
golongan penisilin yang diindikasikan pada pasien dengan penyakit
pneumonia, infeksi tenggorokan, otitis media, penyakit Lyme, endokarditis
streptokokus, infeksi meningokokus, enterokolitis nekrotika, fasciitis
nekrotika, leptospirosis, antraks, aktinomikosis, abses otak, gas gangren,
selulitis, osteomielitis. Sedangkan obat antibiotik ini dikontraindikasikan
kepada pasien hipersensitif. Dosis pemakaian penisilin pada infeksi ringan
sampai sedang pada organisme yang sensitif adalah dengan cara injeksi secara
intramuskular (i.m.) atau dengan intravena (IV) lambat atau infus Intravena
(Gallagher & MacDougall, 2018).
12
2.1.3.1.3 Sefalosporin
Aktivitas antibiotik golongan sefalosporin serupa dengan penisilin, tetapi
sefaloporin memiliki keunggulan lebih tahan dan lebih stabil terhadap enzim
beta laktamase daripada golongan penisilin. Oleh karena itu, sefalosporin
mempunyai spektrum yang lebih luas. Sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi
berdasarkan perbedaan luas spektrum (Deck, Daniel H. 2015).Penggolongan
sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi yaitu generasi I, generasi II, generasi
III, dan generasi IV. Penggolongan tersebut seperti tabel berikut ini:
Tabel II. 2 Klasifikasi dan aktivitas Sefalosporin
Generasi Contoh Aktivitas
I
Sefaleksin Antibiotik yang efektif terhadap
Gram positif yang berbentuk
kokus seperti pneumokokus,
streptokokus, dan stafilokokus
serta memiliki aktivitas sedang
terhadap Gram negatif
Sefalotin
Sefazolin
Sefradin
Sefadroksil
II
Sefaklor Aktivitas antibiotik Gram negatif
yang lebih aktif daripada generasi
I
Sefamandol
Sefuroksim
Sefoksitin
Sefotetan
Sefmetazol
Sumber: Kemenkes RI, 2011; Katzung et al, 2013; Siswandono, 2016
13
Lanjutan tabel II.2 Klasifikasi dan aktivitas Sefalosporin
Generasi Contoh Aktivitas
III
Moksolaktam Aktivitas kurang aktif
terhadap kokus Gram positif
dibandingkan generasi I,
tapi lebih aktif terhadap
Enterobacteriaceae,
termasuk strain yang
memproduksi beta
laktamase. Seftazidim dan
sefoperazon juga aktif
terhadap P. Aeruginosa, tapi
kurang aktif dibandingkan
generasi III lainnya terhadap
kokus Gram positif
Sefotaksim
Seftriakson
Sefiksim
Sefoperazon
Sefrizoksim
Sefpodoksim
Seftazidim
IV
Sefepim Aktivitas lebih luas
dibandingkan dan lebih
stabil dari generasi
sebelumnya dan tahan
terhadap beta-laktamase
Sefpirom
Sumber: Kemenkes RI, 2011; Katzung et al, 2013; Siswandono, 2016
Sefalosporin generasi pertama memiliki aktivitas yang baik pada bakteri
cocci gram positif, seperti Streptococcus, dan Staphylococcus, tetapi
memiliki aktivitas yang kurang baik pada bakteri gram negatif (Deck, Daniel
H. 2015). Sefaleksin, sefadrin, dan sefadroksil diberikan secara per oral
karena absorbsi per oral yang baik dan lebih dianjurkan diberikan bersama
makanan karena dapat mengurangi efek samping obat pada saluran
pencernaan. Sedangkan sefazolin diberikan secara intravena. Semua obat
sefalosporin generasi 1 dieliminasi sebagian besar melalui urin (70% - 100%)
sehingga perlu dikontrol dan disesuaikan apabila terdapat gangguan fungsi
14
ginjal (Petri, William A. 2006). Sefalosporin generasi pertama banyak
digunakan sebagai antibiotik profilaksis saat prosedur pembedahan karena
spektrumnya luas, harganya terjangkau, dan insiden efek samping obat
rendah (Gallagher & MacDougall, 2018).
Sefalosporin generasi kedua mempunyai aktivitas yang lebih baik pada
bakteri gram negatif tetapi lebih rendah pada bakteri gram positif dan lebih
tahan terhadap enzim betalaktamase (Katzung, 2013). Cefmetazole dan
sefotetan memiliki aktivitas melawan bakteri anaerob. Umumnya obat-obat
sefalosporin generasi kedua diberikan secara intravena, tetapi beberapa obat
seperti Sefaklor, sefuroksim axetil, dan sefprozil dapat diberikan secara oral.
Pemberian secara intramuskular menyakitkan sehingga harus dihindari.
Penyesuaian dosis dibutuhkan ketika terjadi gangguan fungsi ginjal karena
hampir semua obat dieliminasi melalui ginjal (Siswandono, 2016).
Sefalosporin generasi kedua banyak digunakan untuk mengatasi infeksi
saluran pernafasan bagian bawah, sinusitis, otitis, pneumonia, infeksi
anaerobik campuran seperti peritonitis, diverticulitis, dan penyakit radang
panggul (Deck, Daniel H. 2015).
Sefalosporin generasi ketiga mempunyai spektrum yang lebih luas pada
bakteri gram negatif dari sefalosporin generasi sebelumnya, tetapi memiliki
aktivitas yang kurang baik pada bakteri gram positif. Selain itu, generasi ini
bisa menembus sawar darah otak dan memiliki ketahanan terhadap enzim
betalaktamase. Ceftazidime dan cefoperazone adalah golongan sefalosporin
yang memiliki aktivitas melawan bakteri Pseudomonas aeruginosa.
Sefalosporin generasi ketiga dapat menembus cairan tubuh dan jaringan
dengan baik, sehingga hampir semuanya diberikan secara intravena dengan
pengecualian sefoperazon. Hampir semua obat dieliminasi melalui urin
kecuali sefoperazon dan seftriakson yang diekskresi melalui empedu
sehingga untuk kedua obat ini tidak perlu penyesuaian dosis pada pasien
gangguan ginjal. Digunakan untuk indikasi berbagai macam infeksi serius
yang disebabkan oleh organisme yang resisten dan meningitis (Deck, Daniel
H. 2015).
15
Sefalosporin generasi keempat mempunyai spektrum yang lebih luas dari
generasi ketiga. Selain itu ketahanan terhadap betalaktamase juga lebih baik.
Sefepim memiliki aktivitas yang baik melawan P. aeruginosa,
Enterobacteriaceae, S. aureus, dan S. Pneumoniae (Deck, Daniel H. 2015).
Menembus dengan baik ke dalam cairan cerebrospinal, diberikan secara
intravena dan mengalami eliminasi dalam bentuk aktif di ginjal (80%-90%).
Penyesuaian dosis dilakukan ketika terdapat gangguan ginjal. Penggunaan di
klinis umumnya untuk terapi empiris pada infeksi di rumah sakit yang
disebabkan oleh bakteri gram positif (Petri, William A. 2006).
2.1.3.1.4 Karbapenem
Karbapenem merupakan antibiotik lini ketiga yang mempunyai aktivitas
antibiotik yang lebih luas dibanding sebagian besar beta-laktam lainnya.
Spektrum dengan aktivitas menghambat sebagian besar Gram-positif, Gram
negatif, dan anaerob (Kemenkes RI, 2011). Efek samping yang paling sering
adalah mual dan muntah, dan kejang pada dosis tinggi yang diberi pada pasien
dengan lesi (Sistem Saraf Pusat) SSP atau dengan insufisiensi ginjal.
Meropenem dan doripenem mempunyai efikasi serupa imipenem, tetapi lebih
jarang menyebabkan kejang (Kemenkes RI, 2011).
Obat yang termasuk karbapenem adalah meropenem. Antibiotik ini
diindikasikan pada pasien dengan infeksi berat oleh kuman gram negatif yang
resisten terhadap antibiotik turunan penisilin dan sefalosporin generasi ketiga
serta resisten terhadap bakteri yang memproduksi extended spectrum beta
lactamase (ESBL). Antibiotik ini dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan riwayat kejang (Tjay & Rahardja, 2010).
2.1.3.1.5 Inhibitor beta-laktamase
Inhibitor beta-laktamase melindungi antibiotik beta-laktam dengan cara
menginaktivasi beta-laktamase. Golongan antibiotik ini adalah asam
klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam. Asam klavulanat merupakan suicide
inhibitor yang mengikat beta-laktamase dari bakteri Gram-positif dan Gram-
negatif secara ireversibel. Obat ini dikombinasi dengan amoksisilin untuk
pemberian oral dan dengan tikarsilin untuk pemberian parenteral. Sulbaktam
dikombinasi dengan ampisilin untuk penggunaan parenteral, dan kombinasi
16
ini aktif terhadap kokus Grampositif, termasuk S. aureus penghasil beta-
laktamase, aerob Gram-negatif (tapi tidak terhadap Pseudomonas) dan
bakteri anaerob. Sulbaktam kurang poten dibanding klavulanat sebagai
inhibitor beta-laktamase. Tazobaktam dikombinasi dengan piperasilin untuk
penggunaan parenteral. Waktu paruhnya memanjang dengan kombinasi dan
ekskresinya melalui ginjal (Kemenkes, 2011).
2.1.3.1.6 Golongan Antibiotik Kelas Lain
2.1.3.1.6.1 Basitrasin
Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotik polipeptida, yang
utama adalah basitrasin A. Berbagai kokus dan basil Gram-positif, Neisseria,
H. influenzae, dan Treponema pallidum sensitif terhadap obat ini. Basitrasin
tersedia dalam bentuk salep mata dan kulit, serta bedak untuk topikal.
Basitrasin jarang menyebabkan hipersensitivitas. Pada beberapa sediaan,
sering dikombinasi dengan neomisin dan/atau polimiksin. Basitrasin bersifat
nefrotoksik bila memasuki sirkulasi sistemik (Kemenkes, 2011; Katzung,
2013).
2.1.3.1.6.2 Vankomisin
Vankomisin merupakan contoh antibiotik golongan glikopeptida.
Vankomisin memiliki mekanisme kerja dengan menghambat sintesis dinding
sel bakteri. Sifat dari antibiotik ini adalah bakteriosida terutama pada bakteri
gram positif. Absorbsi vankomisin buruk pada saluran pencernaan, sehingga
diberikan secara intravena. (Deck, Daniel H. 2015). Vankomisin peroral
hanya diberikan untuk terapi enterokolitis akibat C.difficile yang disebabkan
oleh penggunaan antibiotik yang berlebihan (Katzung, 2012).
2.1.3.2 Antibiotik yang memodifikasi atau menghambat sintesis protein
Obat antibiotik yang termasuk golongan ini adalah aminoglikosid,
tetrasiklin, kloramfenikol, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin),
klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin (Kemenkes, 2011).
2.1.3.2.1 Golongan aminoglikosida
Aminoglikosid diproduksi oleh jenis-jenis fungi Micromanospora dan
Streptomyces semua senyawa dan turunan semi-sintesisnya mengandung dua
atau tiga gula amino di dalam molekulnya yang saling terikat secara
17
glukosidis. Dengan adanya gugusan-amino, zat-zat ini bersifat basa lemah
dan garam sulfatnya yang digunakan dalam terapi mudah larut dalam air
(Tjay & Rahardja, 2010). Golongan ini umumnya bersifat bakterisidal
(Goodman & Gilman, 2012).
Gentamisin merupakan golongan aminoglikosid yang bersifat bakterisidal
aktif terutama pada gram negatif termasuk Pseudomonas aerogenosa,
Proteus serratia. Antibiotik ini diindikasikan pada pasien dengan pneumonia,
kolesistisis, peritonitis, septikemia, pyelo nefritis, infeksi kulit, inflamasi
pada tulang panggul, endokarditis, meningitis, listeriosis, brucellosis, pes,
pencegahan infeksi setelah pembedahan (Katzung, 2012).
2.1.3.2.2 Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan antibiotik bakteriostatik berspektrum luas yang
mekanisme kerjanya menghambat sintesis protein bakteri. Tetrasiklin masuk
ke mikroorganisme dengan difusi pasif dan sebagian dengan transpor aktif.
Tetrasikilin bekerja dengan cara mengikat subunit ribosom 30S serta
memblokir pengikatan aminoasil-tRNA ke situs akseptor pada kompleks
mRNA-ribosom dan mencegah penambahan asam amino ke peptida yang
tumbuh. Tetrasiklin digunakan dalam pengobatan atau profilaksis infeksi
protozoa, pneumonia, jerawat, eksaserbasi bronkitis, penyakit Lyme,
leptospirosis, infeksi saluran kemih dan beberapa infeksi mycobacterial
nontuberculous (Deck, Daniel H. 2015).
Doksisiklin merupakan antibiotik golongan tetrasiklin dan mempunyai
spektrum luas. Efektif pada kondisi yang disebabkan oleh klamidia sp,
riketsia sp, brucella sp dan spirochaete, Borrelia burgdorfer (Lyme disease).
Merupakan golongan tetrasiklin yang paling disukai karena mempunyai
profil farmakokinetik yang lebih baik dibandingkan dengan tetrasiklin. Tidak
diberikan pada anak usia dibawah 12 tahun atau pada wanita hamil. Antibiotik
ini diindikasikan pada pasien dengan infeksi saluran napas, termasuk
pneumonia dan bronkitis kronik, infeksi saluran urin, sifilis,klamidia,
mikoplasma, dan riketsia, prostatitis, limfogranuloma venereum, penyakit
radang pelvik dengan metronidazol, penyakit Lyme, brucellosis dengan
18
rifampisin, leptospirosis, kolera, melioidosis, pes, antraks (Gallagher &
MacDougall, 2014).
2.1.3.2.3 Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik penghambat kuat protein mikroba
dengan mengikat sub unit ribosom 50S dari bakteri secara reversibel dan
menghambat pembentukan ikatan peptida. Kloramfenikol adalah antibiotik
bakteriostatik berspektrum luas yang aktif melawan bakteri baik aerobik dan
anaerobik maupun gram positif dan gram negatif. Kloramfenikol diberikan
secara per oral, mudah menembus membran sel dan didistribusikan secara
luas hampir ke semua jaringan dan cairan tubuh, termasuk sistem araf pusat
dan cairan serebrospina(Gallagher & MacDougall, 2014). Sebagian besar
obat dieliminasi di ginjal dan sebagian kecil obat aktif diekskresikan melalui
empedu dan feces. Pemberian kloramfenikol pada bayi harus berhati hati
karena dapat menyebabkan gray baby syndrome. Kloramfenikol digunakan
untuk indikasi tifus, meningitis bakteri yang terjadi pada pasien yang
memiliki reaksi hipersensitif besar terhadap penisilin. Selain itu,
kloramfenikol juga digunakan secara topikal untuk infeksi mata karena
spektrumnya yang luas dan penetrasi baik ke dalam jaringan okular dan
aqueous humor (Deck, Daniel H. 2015; Siswandono, 2016).
2.1.3.2.4 Makrolida
Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat
menghambat beberapa Enterococcus dan basil Grampositif. Sebagian besar
Gram-negatif aerob resisten terhadap makrolida, namun azitromisin dapat
menghambat Salmonela. Azitromisin dan klaritromisin dapat menghambat H.
influenzae, tapi azitromisin mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga
aktif terhadap H. Pylori (Kemenkes, 2011). Makrolid bekerja dengan cara
menghambat sintesis protein melalui pengikatan subunit ribosom 50S pada
RNA secara reversibel. Eritromisin aktif terhadap bakteri aerob gram positif
bentuk coccus dan basil. Obat makrolida antara lain eritromisin, azitromisin,
clarithromisin dan telithromisin. Basis eritromisin dihancurkan oleh asam
lambung sehingga harus diberikan dengan lapisan enterik. Penyesuaian untuk
gagal ginjal tidak diperlukan karena sejumlah besar dosis yang diberikan
19
diekskresikan melalui empedu dan hilang dalam kotoran, dan hanya 5% yang
diekskresikan melalui urin. Obat terserap didistribusikan secara luas kecuali
ke otak dan cairan serebrospinal. Eritromisin dapat menembus sawar darah
plasenta dan mencapai janin. Eritromisin digunakan untuk indikasi infeksi
saluran pernafasan, pneumonia, faringitis, infeksi kulit dan jaringan lunak,
dan profilaksis endokarditis (Deck, Daniel H. 2015; Siswandono, 2016).
Azitromisin merupakan suatu senyawa cincin makrolid lakton 15-atom,
diturunkan dari eritromisin melalui penambahan nitrogen termetilisasi
kedalam cincin lakton. Spektrum aktivitas dan penggunaan klinisnya hampir
identik dengan klaritomitin. Azitromisin efektif terhadap Mavium kompleks
dan T gondii. Azitromisin sedikit kurang aktif dari pada eritromisin dan
klaritomisin terhadap stafilokokus dan streptokokus serta sedikit lebih aktif
terhadap H influenzae. Azitromisin sangat efektif terhadap klamid (Katzung,
2012). Sekitar 37% dosis diabsorpsi, dan semakin menurun dengan adanya
makanan. Obat ini dapatmeningkatkan kadar SGOT dan SGPT pada hati
(Kemenkes, 2011).
2.1.3.2.5 Klindamisin
Klindamisin menghambat sebagian besar kokus Gram-positif dan sebagian
besar bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat bakteri Gram-negatif
aerob seperti Haemophilus, Mycoplasma dan Chlamydia (Kemenkes, 2011).
Mekanisme kerja klindamisin sama dengan eritromisin. Klindamisin
terutama diberikan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri
anaerob, seperti bakteri Bakteriodes fragilis yang sering kali menimbulkan
infeksi abdomen yang diakibatkan trauma (Katzung, 2012).
2.1.3.3 Obat Antimetabolit yang Menghambat Enzim-Enzim Esensial
Dalam Metabolit Folat
2.1.3.3.1 Sulfonamida dan Trimetropim
Mekanisme kerja antibiotik golongan sulfonamid yaitu dengan
menghambat dihidropteroat sintase yang merupakan salah satu enzim yang
dibutuhkan untuk mensintesis purin dan menghambat produksi folat.
Sulfonamid peka terhadap bakteri gram positif dan gram negatif, dan
beberapa protozoa, akan tetapi aktivitasnya buruk terhadap anaerob.
20
Pseudomonas aeruginosa secara intrinsik resisten terhadap antibiotik
golongan sulfonamid. Sulfonamid diabsorbsi dan didistribusikan secara luas
ke jaringan dan cairan tubuh (termasuk sistem saraf pusat dan cairan
serebrospinal), plasenta, dan janin. Pengikatan protein bervariasi dari 20%
hingga lebih dari 90% (Deck, Daniel H. 2015). Sulfonamida diekskresikan ke
dalam urin, terutama oleh filtrasi glomerulus sehingga perlu penyesuaian
dosis untuk pasien yang mengalami gangguan ginjal. Sulfonamid jarang
digunakan sebagai agen tunggal dan biasanya dikombinasi dengan
trimetoprim untuk meningkatkan aktivitasnya. Kombinasi trimethoprim-
sulfamethoxazole adalah obat pilihan untuk infeksi seperti Pneumocystis
jiroveci, pneumonia, toksoplasmosis, nocardiosis, dan infeksi bakteri lainnya
(Petri, William A. 2011; Goodman & Gilman, 2012).
Mekanisme kerja trimetoprim yaitu selektif menghambat reduktase asam
dihidrofolat bakteri yang merupakan salah satu enzim yang dibutuhkan untuk
membentuk purin. Trimetoprim biasanya diberikan secara oral, baik tunggal
mauapun kombinasi dengan sulfamethoxazole. Trimethoprim-
sulfamethoxazole juga bisa diberikan secara intravena. Trimetoprim
diabsorbsi dengan baik di usus dan didistribusikan secara luas dalam cairan
tubuh dan jaringan, termasuk cairan serebrospinal. Diekskresikan lewat urin,
sehingga perlu dilakukan penyesuaian dosis jika klirens kreatinin 15-30
ml/menit. Trimetoprim digunakan untuk infeksi saluran kemih akut, infeksi
saluran pernafasan, infeksi gastrointestinal (Katzung, 2013; Deck, Daniel H.
2015).
2.1.3.4 Obat yang Mempengaruhi Sintesis atau Metabolisme Asam
Nukleat
Kuinolon merupakan antibiotik yang dapat mempengaruhi sintesis atau
metabolisme asam nukleat. Mekanisme antibiotik golongan kuinolon yaitu
memblokir sintesis DNA bakteri dengan menghambat bakteri topoisomerase
II (DNA gyrase) dan topoisomerase IV (Katzung, 2012). Memiliki aktivitas
aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri aerobik gram negatif dan memiliki
aktivitas terbatas terhadap organisme gram positif. Beberapa senyawa
golongan ini adalah siprofloksasin, enoksasin, lomefloksasin, levofloksasin,
21
ofloksasin, dan pefloksasin. fluoroquinolones terserap baik dengan
bioavailabilitas 80-95% dan didistribusikan secara luas dalam cairan tubuh
dan jaringan. Florokuinolon dieliminasi di ginjal baik sekresi tubular atau
filtrasi glomerular dan perlu penyesuaian dosis pada pasien dengan klirens
kreatinin kurang dari 50 ml/menit. Banyak digunakan untuk infeksi saluran
kemih, infeksi jaringan lunak, tulang dan sendi dan infeksi saluran intra-
abdomen dan infeksi saluran pernafasan atas dan bawah (Deck, Daniel H.
2015).
2.1.3.5 Golongan Antibiotik yang berdasarkan luas spektrum kerja
Antibiotik berdasarkan luas spektrum kerjanya dibagi menjadi dua.
Antibiotik bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan atau membunuh
bakteri, dimana antibiotik yang membunuh banyak spesies bakteri disebut
antibiotik dengan spektrum luas atau broad spectrum antibiotik, sedangkan
antibiotik yang membunuh hanya beberapa spesies bakteri disebut antibiotik
spektrum sempit atau narrow spectrum antibiotik (Oliphant, 2016).
2.1.3.6 Golongan Antibiotik yang berdasarkan Farmakodinamik
Berdasarkan farmakodinamiknya, antibiotik dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu concentration dependent activity dan time dependent activity.
Concentration dependent activity adalah antibiotik yang aktivitas membunuh
bakteri berkorelasi dengan kadarnnya di dalam plasma, dan tidak tergantung
pada waktu sehingga tidak perlu dipertahankan dalam jangka waktu yang
lama. Antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal terhadap bakteri
apabila kadarnya tinggi sehingga semakin tinggi kadar antibiotik dalam
plasma maka akan semakin poten pula (Katzung, 2012). Antibiotik yang
termasuk dalam concentration dependent killing adalah golongan
aminoglikosida, fluorokuinolon, daptomisin, ketolid, metronidazole, dan
amfoterisin B. Sedangkan time dependent killing adalah antibiotik yang
aktivitas membunuh bakterinya berkorelasi dengan berapa lama antibiotik
tersebut berada pada kadar yang efektif untuk membunuh bakteri. Antibiotik
akan menghasilkan daya bunuh yang maksimal terhadap bakteri bila
kadarnya dipertahankan cukup lama di atas Kadar Hambat Minimal atau
Minimal Cincentration Inhibition (MIC) bakteri, sehingga semakin lama
22
konsentrasi antibiotik dalam plasma lebih tinggi dari MIC maka semakin
poten. Kadar yang sangat tinggi tidak meningkatkan efektivitas obat untuk
membunuh bakteri (Deck, Daniel H. 2015). Antibiotik yang termasuk dalam
time dependent killing adalah golongan beta laktam, makrolida, klindamisin,
tetrasiklin, dan glikopeptida (Katzung, 2013).
2.2 Resistensi Antibiotik
Resistensi adalah suatu kemampuan alami yang dapat dilakukan oleh suatu
organisme untuk melawan mikroorganisme, toksin/racun, atau zat lain yang
diproduksi dalam suatu terapi penyakit (Albert, Daniel. 2012). Resistensi
antibiotik terjadi ketika suatu mikroorganisme mengalami perubahan yang
menyebabkan obat yang diberikan untuk melawan bakteri tersebut menjadi
tidak efektif lagi. Pada saat kondisi ini sudah terjadi, organisme tidak dapat
dihambat lagi meskipun konsentrasi efektif telah tercapai (Pottinger et al,
2014). Waktu pembelahan bakteri berlangsung cepat dan kemampuan bakteri
untuk menerima DNA dari bakteri lain juga cepat, sehingga resistensi bakteri
terhadap antibiotik dapat terjadi sangat cepat pula (Finberg & Guharoy,
2012).
2.2.1 Mekanisme Resistensi Antibiotik
Mekanisme resistensi antibiotik terjadi pada tahapan yang berurutan
dimulai pada saat obat masuk kedalam tubuh, terakumulasi, mengikat target
hingga pada saat obat menimbulkan efek toksik. Mekanisme seperti ini dapat
dipengaruhi oleh perubahan kode gen karena mutasi pada bakteri (CDC,
2014). Terjadinya resistensi antibiotik hanya memerlukan waktu yang singkat
karena dilihat dari waktu pembelahan suatu bakteri dengan cepat dan
kemampuan bakteri untuk menerima DNA dari bakteri yang lain sehingga
kebanyakan waktu antara penemuan Antibiotik dan resistensi cukup singkat
(Finberg&Guharoy, 2012). Seperti contoh pada tahun 2010 jenis antibiotik
Ceftarolin yang efektif untuk mengatasi bakteri Staphylococcus menjadi
resisten pada tahun 2011pada suatu kelompok (CDC, 2014).
Menurut (Gumbo, 2011) terdapat lima tahapan mekanisme resistensi
antibiotik, dimana resistensi antibiotik dapat berkembang melalui satu atau
23
beberapa tahap pada saat antibiotik tersebut menuju targetnya. Mekanisme
resistensi antibiotik antara lain yaitu:
1. Resistensi melalui sistem pompa (efflux pumps). Bakteri dapat
meningkatkan aktivitas efflux dengan ekskresi yang berlebihan sehingga
pengeluaran antibiotik akan di tahan atau memberikan efek inhibisi.
2. Resistensi yang disebabkan karena terdapat perubahan sel protein
pengikat dinding. Umumnya terjadi dalam kasus antibiotik golongan beta-
laktam yang bertarget pada sintesis dinding sel.
3. Resistensi yang diakibatkan oleh bakteri karena memproduksi enzim
untuk menginaktivasi antibiotik. Enzim yang dihasilkan mampu
memodifikasi struktur antibiotik dan membuat antibiotik menjadi tidak
aktif, hal ini terjadi pada bakteri penghasil aminoglycoside-modifying
enzyme yang dapat resisten dengan antibiotik golongan aminoglikosida,
dan bakteri Eschericia coli yang dapat menghasilkan enzim beta laktamase
dan dapat menyebabkan resisten dengan antibiotik golongan beta laktam.
4. Resistensi dengan mengurangi masuknya antibiotik kedalam bakteri
karena adanya hambatan penetrasi yang disebabkan oleh perubahan
permeabilitas membran.
5. Resistensi akibat adanya perubahan dari dinding sel yang mencegah
masuknya antibiotik.
Menurut (Leekha et al., 2011) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
berkembangnya resistensi antibiotik antara lain:
a. Pemberian antibiotik empiris secara terus menerus tanpa mengetahui
bukti penyebab infeksi.
b. Perawatan klinis pasien dengan kultur yang positif tanpa adanya infeksi
atau mengetahui penyakitnya.
c. Kegagalan terapi Antibiotik spektrum sempit saat sudah diketahui
penyebab bakterinya.
d. Penggunaan antibiotik profilaksis yang diperpanjang.
e. Penggunaan antibiotik yang berlebihan.
f. Penggunaan antibiotik dalam jangka waktu yang lama.
24
2.2.2 Upaya Pencegahan Resistensi Antibiotik
Pendekatan yang dianjurkan untuk meminimalkan perkembangan
resistensi antibiotik (Gumbo, 2011) yaitu antara lain:
1. Tidak menggunakan antibiotik tanpa indikasi klinis.
2. Menggunakan antibiotik dalam waktu terapi yang sesuao untuk
membunuh bakteri serta menggunakan dengan waktu yang sesingkat
mungkin.
3. Menggunakan antibiotik dengan dosis obat yang cukup dan tepat untuk
membunuh semua bakteri atau berada dalam rentang dosis terapeutik
tetapi tidak dibawah dosis MIC.
4. Penggunaan antibiotik profilaksis dan empiris harus dipantau secara hati-
hati dan hanya digunakan ketika ada indikasi yang jelas.
2.3 Tinjauan Evaluasi Antibiotik
Evaluasi penggunaan antibiotik bertujuan untuk mengetahui kualitas dari
penggunaan antibiotik. Selain itu, juga bisa dijadikan dasar dalam
menetapkan surveilans penggunaan antibiotik di rumah sakit secara
sistematik dan terstandar serta sebagai indikator kualitas layanan rumah sakit.
Evaluasi penggunaan antibiotik dapat dilakukan secara kualitatif maupun
kuantitatif. Evaluasi secara kualitatif yang bertujuan unutuk menilai
ketepatan penggunaan antibiotik dapat menggunakan metode Gyssens,
sedangkan untuk evaluasi secara kuantitatif untuk mengevaluasi jenis dan
jumlah antibiotik yang digunakan dapat dilakukan dengan metode
perhitungan DDD per 100 hari rawat (Kemenkes RI, 2011).
2.3.1 Tinjauan ATC/DDD
2.3.1.1 Definisi ATC/DDD
Defined Daily Dose atau yang biasa disingkat DDD merupakan asumsi
dosis rata-rata perhari untuk penggunaan antibiotik pada indikasi tertentu
pada orang dewasa (Kemenkes RI, 2011). Menurut WHO definisi Anatomical
Therapeutic Chemical dan Defined Daily Dose (ATC/DDD) adalah suatu
sistem klasifikasi serta pengukuran penggunaan obat yang digunakan untuk
meningkatkan kualitas penggunaan obat (WHO, 2019).
25
2.3.1.2 Manfaat Sistem ATC/DDD
Sistem ATC/DDD bermanfaat sebagai alat untuk melakukan penelitian
terkait pemanfaatan obat dalam rangka meningkatkan kualitas penggunaan
obat. Tidak hanya itu, sistem ini dapat pula digunakan untuk melakukan
perbandingan tingkat konsumsi obat secara internasional (WHO, 2019). Data
ini sangat berguna untuk melihat perubahan penggunaan obat dari waktu ke
waktu di suatu negara atau wilayah, dan data ini juga berguna untuk
membandingkan tingkat konsumsi obat antar fasilitas kesehatan, wilayah, dan
negara dan untuk mengidentifikasi penggunaan obat yang berlebihan,
penggunaan obat yang kurang serta penyalahgunaan obat-obatan
(Wertheimer & Santella,2007).
2.3.1.3 Sistem Klasifikasi ATC
Pada sistem klasifikasi ATC, obat diklasifikasikan menjadi 5 tingkat
kelompok yang berbeda sesuai dengan sistem atau organ tempat dimana obat
bekerja, struktur kimia obat, rute pemberian obat, efek farmakologi, dan
aktivitas terapi/indikasi. Perbedaan kode ATC obat akan menyebabkan
perbedaan pula pada nilai DDD (WHO, 2019).
Tabel II. 3 Makna Setiap Kode Pada Klasifikasi ATC
Sumber: WHO, 2019
Kode Keterangan
J Anti infeksi untuk penggunaan sistemik (Tingkat pertama,
kelompok anatomi)
J01 Anti bakteri untuk penggunaan sistemik
(Tingkat kedua, subkelompok terapi/farmakologi)
J01C Beta-lactam antibacterial, penicillins
(Tingkat ketiga, subkelompok farmakologi)
J01C A Penisilin berspektrum luas
(Tingkat keempat, subkelompok kimiawi obat)
J01C A01 Ampisilin
(Tingkat kelima, substansi kimiawi obat)
J01 Anti bakteri untuk penggunaan sistemik
(Tingkat kedua, subkelompok terapi/farmakologi)
26
Adapun klasifikasi antiinfeksi yang dikelompokkan sebagai berikut:
Tabel II. 4 Makna Setiap Kode Antiinfeksi pada Klasifikasi ATC
Kode Keterangan
A01AB Antiinfeksi dan antiseptik untuk terapi oral
lokal
A02BD Kombinasi eradikasi untuk Helicobacter
pylori
Kode Keterangan
A07A Antiinfeksi usus
D06 Antibiotik dan kemoterapeutik untuk
pemakaian dermatologi
D07C Kortikosteroid, kombinasi dengan antibiotik
D09AA Dressing salep dengan antiinfeksi
D10AF Antiinfeksi untuk pengobatan jerawat
G01 Antiinfeksi dan antiseptik unttuk ginekologi
P Produk antiparasit, insektisida dan repellent
S01/
S02/
S03 Sediaan untuk mata dan telinga dengan
antiinfeksi
Sumber: WHO, 2019
2.3.1.3 Perhitungan DDD
Defined Daily Doses adalah asumsi dosis rata-rata per hari penggunaan
antibiotik untuk suatu indikasi tertentu pada pasien dewasa. DDD hanya bisa
dihitung untuk obat yang memiliki kode ATC. Penilaian penggunaan
antibiotik di rumah sakit dengan satuan DDD/100 hari rawat, dan di
komunitas dengan satuan DDD/1000 penduduk (Kemenkes RI, 2011).
Rumus perhitungan konsumsi antibiotik dengan metode perhitungan DDD
per 100 hari rawat sebagai berikut:
= ( jumlah gram AB yang digunakan dalam setahun
Standar DDD WHO (gram)Γ
100
(populasi Γ365))
27
Untuk menghitung penggunaan antibiotik selama 1 tahun
a. Jumlah antibiotik terjual adalah jumlah antibiotik terjual dalam waktu 1
tahun
b. DDD WHO sesuai dengan ATC/DDD
c. Angka 100 untuk 100 hari rawat
d. Jumlah populasi: (jumlah tempat tidur X dengan Bed Occupation Rate
(BOR) Rumah Sakit dalam tahun yang sama)
e. Angka 365: lamanya hari dalam 1 tahun (Kemenkes RI, 2011)
Cara perhitungan DDD di rumah sakit yang dinyatakan dalam DDD 100
patient-days:
a. Mengumpulkan data semua pasien yang menerima terapi antibiotik
b. Mengumpulkan lamanya waktu perawatan pasien rawat inap (total length
of stay) semua pasien
c. Menghitung jumlah dosis antibiotik (gram) selama dirawat
d. Menghitung DDD 100patient-days:
(π½π’πππβ ππππ π΄π΅ π¦πππ ππππ’πππππ πππβ πππ πππ) π₯ 100
π π‘πππππ π·π·π· ππ»π πππππ ππππ π₯ (π‘ππ‘ππ πΏππ)
(Kemenkes RI, 2011).
2.3.2 Tinjauan Metode Gyssens
Penggunaan antibiotik yang rasional berdasar pada pengetahuan dan
pemahaman dari penyakit infeksi dan antibiotik. Host, virulensi,
farmakokinetik dan farmakodinamik obat, identitas, dan kerentanan
mikroorganisme harus diperhatikan. Kualitas penggunaan antibiotik harus
dimaksimalkan agar menjamin keberhasilan dalam jangka panjang. Dalam
melakukan evaluasi kualitas, penilaian dinilai dengan menggunakan rekam
pemberian obat khususnya antibiotik, catatan medis pasien dan kondisi
klinisnya. Dengan menggunakan alur penilaian metode Gyssens bisa
didapatkan hasil secara kualitatif (Kemenkes RI, 2011).
Metode Gyssens berbentuk diagram alir yang diadaptasi dan
dikembangkan dari metode Kunin dengan menambahkan aspek waktu dari
pemberian didalamnya. Metode Gyssens mengevaluasi seluruh aspek
peresepan antibiotik seperti penilaian peresepan (data pasien), alternatif yang
lebih efektif, lebih tidak toksik, lebih murah, spektrum lebih sempit. Selain
28
itu juga dievaluasi lama pengobatan dan dosis, interval dan rute pemberian
serta waktu pemberian (Gyssens, 2005).
Gambar 2. 1 Bagan Alur Gyssens
Sumber: Gyssens, 2005
Dengan menggunakan diagram alur ini, evaluasi akan dilakukan secara
lengkap, pertanyaan harus berada pada urutan yang tetap sehingga tidak ada
29
parameter yang ditinggalkan. Pembacaannya dimulai dari atas (Katagori VI)
ke bawah untuk mengevaluasi keseluruhan proses.
1. Bila data tidak lengkap, berhenti di kategori VI. Yang dimaksudkan data
tidak lengkap adalah data yang tertera pada rekam medis tanpa diagnosis
kerja , atau ada halaman rekam medis yang hilang sehingga tidak dapat
dievaluasi. Pemeriksaan penunjang seperti data laboratorium tidak harus
dilakukan karena mungkin pasien tidak memiliki biaya dengan catatan
sudah direncanakan pemeriksaannya untuk mendukung diagnosis kerja.
Diagnosis kerja dapat ditegakkan secara klinis dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Apabila data lengkap, analisis dapat dilanjutkan ke
pertanyaan di bawahnya yaitu apakah indikasi pemberian antibiotik?
2. Bila tidak ada indikasi pemberian Antibiotik, maka analisis berhenti di
kategori V. Indikasi adanya infeksi ditunjukkan dengan sindrom klinis
yang mengarah pada keterlibatan bakteri. Pada awal mula infeksi
ditandai dengan demam, namun demam tidak selalu diakibatkan oleh
infeksi, oleh karena itu pengetahuan tentang penyakit infeksi, dilihat
dari parameter klinis tertentu sehingga dapat menentukan apakah pasien
membutuhkan antibiotik atau tidak. Jika terdapat indikasi pada
pemberian antibiotik, dapat dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah
pemilihan Antibiotik sudah tepat?
3. Bila ada pilihan Antibiotik lain yang lebih efektif, berhenti di kategori
IVa. Awal pemberian antibiotik dimulai pada saat bakteri penyebab
infeksi belum teridentifikasi atau diketahui, oleh karena itu diberikan
terapi empiris. Bila infeksi yang dialami berat, dapat dilakukan
kombinasi. Pilihan Antibiotik yang lebih efektif didasarkan pada hasil
pemeriksaan mikrobiologi lalu diberikan terapi Antibiotik yang
berlaku. Apabila tidak ada, pertanyaan selanjutnya adalah apakah ada
alternatif lain yang kurang toksik?
4. Bila ada pilihan antibiotik alternatif yang kurang toksik, berhenti di
kategori IVb Penyesuaian toksisitas disesuaikan dengan kondisi pasien
masing-masing seperti kelainan pada ginjal. Sehingga untuk
menghindari hal tersebut peresepan antibiotik dilakukan penyesuaian
30
(Gyssens, 2005). Apabila tidak toksik maka pertanyaan dilanjutkan ke
bawah, apakah ada alternatif lain lebih murah?
5. Bila ada antibiotik yang lebih murah daripada yang diberikan, berhenti
di kategori Ivc. Perhitungan berdasarkan harga yang ada di RS Dr. Iskak
dan dianggap sebagai obat generik. Bila tidak ada, pertanyaan
selanjutnya adalah apakah ada alternatif lain yang spektrum lebih
sempit?
6. Bila ada antibiotik lain dengan spektrum lebih sempit, maka berhenti di
kategori Ivd. Apabila tidak ada alternatif lain yang spektrum
aktivitasnya lebih sempit, dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah durasi
antibiotik yang diberikan terlalu panjang/singkat?
7. Lama pemberian antibiotik dinilai sesuai guideline yang ada yaitu
apabila durasi pemberian Antibiotik terlalu panjang, berhenti di kategori
IIIa. Namun bila durasi pemberian Antibiotik terlalu singkat, berhenti di
kategori IIIb. Apabila tidak, dilanjutkan dengan pertanyaan mengenai
dosis. Apakah dosis sudah benar?
8. Bila dosis pemberian Antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIa
Dosis pemberian Antibiotik harus diatas MIC (Minimum Inhibitory
Concentration) dapat dikatakan optimal. Selain itu, dosis yang diberikan
harus Bila dosisnya sudah tepat, dilanjutkan pertanyaan apakah interval
saat pemberian Antibiotik sudah tepat?
9. Bila interval tidak tepat, berhenti di kategori IIb
Penentuan interval dapat dilihat dari waktu paruh dan mekanisme aksi
dari obat. Bila interval pemberian antibiotik sudah tepat, dilanjutkan
pertanyaan apakah rute pemberian antibiotik sudah tepat?
10. Bila rute pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIc
Pemberian secara intravena dapat digunakan pada pasien dengan
masalah yang berat. Selanjutnya bisa disesuaikan bila dibutuhkan terapi
oral dengan respon klinik dan fungsi saluran pencernaan yang baik.
Apabila rute pemberian sudah tepat, dilanjutkan pada waktu pemberian
antibiotik apakah sudah tepat?
11. Bila waktu pemberian tidak tepat, berhenti di kategori I
31
Pemberian antibiotik profilaksis optimal yaitu 30-60 menit sebelum
dilakukan operasi dengan durasi pemberian maksimal 24 jam
(Kemenkes 2011; SPO RSUD Dr. Iskak Tulunggaung, 2019).
12. Bila antibiotik tidak termasuk kategori I sampai dengan VI, Antibiotik
tersebut merupakan katagori 0 atau tepat penggunaan.