bab ii tinjauan pustaka 2.1 tomatmedia.unpad.ac.id/thesis/240110/2012/240110120029_2_7396.pdf · 10...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tomat
Tanaman tomat (Solanum lycopersicum) termasuk ke dalam tanaman
sayuran semusim dengan famili Solanaceae. Tomat berasal dari daerah Peru dan
Ekuador, kemudian menyebar ke seluruh Amerika, Jerman, Perancis dan negara-
negara Eropa lainnya, terutama daerah yang beriklim tropis. Tanaman tomat kini
telah tersebar baik di daerah tropis maupun subtropis (Pracaya,1998). Tanaman
tomat ditanam sebagai tanaman buah di ladang, pekarangan, atau ditemukan liar
pada ketinggian 1 - 1600 m dpl. Tanaman ini tidak tahan hujan, sinar matahari terik,
serta menghendaki tanah yang gembur dan subur. Tanaman tomat memiliki habitus
berupa herba yang hidup tegak atau bersandar pada tanaman lain, berbau kuat,
tinggi 30-90 cm (Dalimartha, 2007). Tanaman tomat tergolong tanaman semusim
artinya tanaman berumur pendek yang hanya satu kali berproduksi dan setelah itu
mati. Tanaman tomat merupakan tanaman perdu atau semak yang menjalar pada
permukaan tanah dengan panjang mencapai ± dua meter (Firmanto, 2011).
Tomat pada umumnya berbentuk bulat dan berwarna merah seperti pada
Gambar 1. Tomat mempunyai bentuk yang bervariasi, tergantung dengan
varietasnya, ada yang berbentuk bulat, agak bulat, agak lonjong dan bulat telur
(oval). Ukuran buahnya juga bervariasi, yang paling kecil memiliki berat 8 gram
dan yang besar memiliki berat 180 gram. Buah tomat yang masih muda berwama
hijau muda, bila telah matang menjadi merah (Cahyono, 1998). Buah tomat muda
memiliki rasa getir dan beraroma tidak sedap, sebab masih mengandung zat
lycopersicin yang berbentuk lendir. Rasa dan aroma yang tidak sedap akan hilang
dengan sendirinya pada saat buah memasuki fase pematangan hingga matang.
Buah tomat terdiri dari 2-12 lokul yang mengandung banyak biji (Jones, 2007).
Gambar 1. Tomat (Lycopersicon esculentum)
(Putri, 2017)
11
Buah tomat merupakan produk hortikultura yang mudah diperoleh di
Indonesia. Rasa buahnya yang manis–asam digemari oleh sebagian besar
masyarakat. Buah tomat merupakan sumber vitamin C dan A, juga kaya
antioksidan. Umumnya tomat dikonsumsi dalam bentuk segar (Tugiyono, 2007).
Dalam masyarakat umum, buah tomat hanya dikonsumsi sebagai sayur tanpa
adanya pemanfaatan yang lebih. Pengolahan tomat sebagai tepung dapat menjadi
sumber makanan alternatif mengingat gizi yang dikandungnya cukup kompleks,
padahal buah tomat setelah panen akan mengalami kerusakan antara 40% - 50%
setiap tahunnya (Abdulmalik et al., 2014).
Menurut Soewito (1987), tanaman tomat dibagi menjadi tiga jenis yaitu
tomat biasa (L. commune), tomat apel (L. pyriforme) dan tomat kentang (L.
grandiforlum). Ketiga jenis tomat tersebut dibedakan berdasarkan bentuk buahnya.
Tomat biasa berbentuk bulat pipih dan beralur-alur didekat tangkainya serta lunak.
Tomat ini banyak ditanam oleh petani dan mudah didapat di pasar. Tomat kentang
bentuk buahnya agak lonjong dan keras, daunya keriting, rimbun dan berwama
hijau kelam.
Menurut Wiryanta (2002), tomat apel buahnya berbentuk bulat, kokoh dan
agak keras sedikit seperti buah apel seperi pada Gambar 2. Tomat apel merupakan
hasil persilangan dari berbagai jenis tomat sehingga dihasilkan buah yang besar dan
lebat. Tomat apel sangat cocok ditanam di daerah pegunungan atau dataran tinggi
dan termasuk ke dalam jenis tomat yang mudah ditemukan di pasar-pasar. Tomat
apel sedang dikembangkan menjadi beberapa varietas baru yang dapat ditanam di
dataran rendah.
Gambar 2. Tomat Apel (Wiryanta, 2002)
12
Kandungan yang terdapat dalam buah tomat meliputi alkaloid solanin
(0,007%), saponin, asam folat, asam malat, asam sitrat, biflavonoid, protein, lemak,
gula (fruktosa, glukosa), adenin, trigonelin, kolin, tomatin, mineral (Ca, Mg, P, K,
Na, Fe, sulfur, klorin), vitamin (B1, B2, B6, C, E, niasin), histamin, dan likopen
(Dalimartha, 2007). Buah tomat mengandung gizi yang lengkap dan penting bagi
manusia. Buah tomat kaya akan vitamin C dan beberapa antioksidan, diantaranya
vitamin E dan likopen. Buah tomat juga mengandung serat makanan alami yang
sangat baik bagi pencernaan manusia dan juga adanya protein dalam buah tomat
menjadikannya buah yang sangat sarat gizi.
Tomat sebagai sumber vitamin sangat baik untuk mencegah dan mengobati
berbagai macam penyakit, seperti sariawan karena kekurangan vitamin C,
xeropthalmia pada mata akibat kekurangan vitamin A, beri-beri, radang syaraf,
lemahnya otot-otot, dermatitis, bibir menjadi merah dan radang lidah akibat
kekurangan vitamin B. Tomat sebagai sumber mineral bermanfaat untuk
pembentukan tulang dan gigi (zat kapur dan fosfor), sedangkan zat besi (Fe) yang
terkandung di dalam buah tomat dapat berfungsi untuk pembentukan sel darah
merah atau hemoglobin. Buah tomat juga mengandung serat yang berfungsi
memperlancar proses pencernaan. Tomat mengandung zat potasium yang sangat
bermanfaat untuk menurunkan gejala tekanan darah tinggi (Firmanto, 2011).
Kandungan nilai gizi pada tomat segar per 180 gram dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Gizi Tomat Segar Per 180 Gram
Komponen Zat Gizi Jumlah
Vitamin A (IU) 1121,40
Vitamin C (mg) 34,38
Vitamin K (mcg) 14,22
Serat (g) 1,98
Protein (g) 1,53
Vitamin B1 (mg) 0,11
Vitamin B2 (mg) 1,13
Vitamin B3 (mg) 0,09
Vitamin B5 (mg) 0,44
Vitamin B6 (mg) 0,14
Vitamin E (mg) 0,68
Fosfor (mg) 43,20
Zat besi (mg) 0,81
Magnesium (mg) 18,80
Kalium (mg) 399,60
Mangan (mg) 0,19
Tembaga (mg) 0,13
(Sumber : Whfoods.org, 2007)
13
Tomat mengandung vitamin yang baik untuk mencegah dan mengobati
berbagai macam penyakit, serta menurut Tranggono dan Latifah (2007), kandungan
vitamin E pada tomat segar dan pada sari tomat per 100 gram adalah sebesar 0,38
mg dan 0,91 mg. Vitamin E sudah banyak digunakan dalam kosmetik diantaranya
adalah sebagai pelembab dan sebagai agen antioksidan. Vitamin E dapat
mengurangi penuaan kulit akibat sinar matahari dan mencegah pembentukan sel
kanker kulit. Manfaat vitamin E yang lain adalah memelihara stabilitas jaringan ikat
di dalam sel sehingga kelenturan dan kekenyalan kulit terjaga. Berdasarkan hal
tersebut pengolahan tomat menjadi masker atau bahan tambahan dalam produk
perawatan kulit sangatlah direkomendasikan.
2.2 Pengeringan
Pengeringan merupakan pengurangan kelembaban atau sejumlah kecil air
dari bahan padat (Mujumdar, 2006). Prinsip pengeringan melibatkan dua hal yaitu
panas yang diberikan pada bahan dan air yang harus dikeluarkan dari bahan
(Supriyono, 2003). Tujuan utama pengeringan komoditas pertanian adalah untuk
pengawetan, meningkatkan daya tahan, mengurangi biaya pengemasan,
mengurangi bobot pengangkutan, memperbaiki cita rasa bahan, dan
mempertahankan kandungan nutrisi bahan (Achanta dan Okos, 2000).
Bahan pangan yang dihasilkan dari produk-produk pertanian pada
umumnya mengandung kadar air. Kadar air jika tidak dihilangkan dapat
mempengaruhi kondisi fisik bahan pangan. Sebagian bahan pangan segar
mengandung air 70% atau lebih. Bahan pangan mengandung dua jenis air yaitu air
bebas dan air terikat. Air bebas adalah air yang mudah dikeluakan melalui
penguapan, sedangkan air terikat adalah air yang sulit dikeluarkan meskipun
dengan cara pengeringan (Winarno dkk, 1980).
Proses pengeringan akan mengakibatkan produk yang dikeringkan
mengalami perubahan warna, tekstur, rasa, dan aroma. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pengeringan terdiri dari faktor udara pengering dan sifat bahan.
Faktor yang dapat mempengaruhi pengeringan suatu bahan pangan adalah sifat fisik
dan kimia dari bahan pangan, pengaturan susunan bahan pangan, sifat fisik dari
14
lingkungan sekitar alat pengering dan proses pemindahan dari media pemanas ke
bahan yang dikeringkan (Buckle, 1987).
Udara yang terdapat dalam proses pengeringan mempunyai fungsi sebagai
pemberi panas pada bahan, sehingga menyebabkan terjadinya penguapan air.
Fungsi lain dari udara adalah untuk mengangkut uap air yang dikeluarkan oleh
bahan yang dikeringkan. Kecepatan pengeringan akan naik apabila kecepatan udara
ditingkatkan. Kadar air akhir apabila mulai mencapai kesetimbangannya, maka
akan membuat waktu pengeringan juga ikut naik atau dengan kata lain lebih cepat
(Muarif, 2013).
2.3 Laju Pengeringan
Penjadwalan pengeringan dan penentuan ukuran peralatan pengeringan
dapat diatur dengan mengetahui waktu yang dibutuhkkan untuk mengeringkan
suatu bahan dengan kadar air tertentu hingga mencapai keadaan yang diharapkan,
selain itu dengan megetahui waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan suatu
bahan maka dapat diketahui hubungan antara perbedaan kondisi pengeringan
lainnya dengan waktu pengeringan.Untuk mengetahui hal tersebut maka diperlukan
pengukuran laju pengeringan. Pengukuran laju pengeringan dapat dilakukan
dengan tiga metode yaitu drying test, kurva laju pengeringan dan waktu
pengeringan (Treyball, 1981). Kurva laju pengeringan menggambarkan hubungan
antara laju pengeringan terhadap waktu pengeringan. Pengeringan memiliki dua
periode utama yaitu periode pengeringan dengan laju pengeringan tetap dan periode
pengeringan dengan laju pengeringan menurun, kedua periode ini dibatasi oleh
kadar air kritis (Henderson dan Perry, 1976). Kurva laju pengeringan terdapat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Kurva Laju Pengeringan Terhadap Waktu
15
Keterangan:
A – B : fase pemanasan permulaan (transien), pada fase ini terjadi kejenuhan
semua (psedosaturation) di permukaan bahan, serta terjadi
penyesuaian suhu pada bahan dari suhu ruangan hingga mencapai
suhu di dalam udara pengering.
B – C : periode pengeringan tetap. Periode laju pengeringan tetap ditandai
dengan penguapan air dari suatu permukaan bahan yang
dikeringkan. Laju pengeringan tetap ini akan berlangsung terus
selama air bermigrasi ke permukaan (ke tempat penguapan
berlangsung) lebih besar daripada air yang menguap dari
permukaan. Menurut Treyball (1981) pada fase ini panas yang keluar
dari sekeliling permukaan pengeringan sama dengan panas yang
diserap bahan sehingga kecepatan pengeringan tetap.
C – D : periode pengeringan menurun. Dimulainya fase ini merupakan akhir
dari periode pengeringan dengan laju tetap, perubahan kedua periode
tersebut dibatasi oleh kadar air kritis. Menurut Taib dkk (1988) kadar
air kritis adalah kadar air terendah disaat laju air bebas dari dalam
bahan ke permukaan sama dengan laju pengambilan uap air
maksimum dari bahan. Keadaan laju pengeringan menurun
permukaan bahan yang dikeringkan sudah jenuh dan mulai kelihatan
ada bagian yang mongering. Menurut Taib dkk (1988), pada periode
laju pengeringan menurun permukaan bahan tidak lagi diitutupi oleh
lapisan air. Energi panas yang diperoleh bahan digunakan untuk
menguapkan sisa air bebas yang jumlahnya sangat sedikit,
menguapkan air dari rongga sel, menarik air melalui pipa kapiler ke
permukaan bahan serta melepaskan air dari ikatannya.
2.4 Pengeringan Pembusaan (Foam Mat Drying)
Pengeringan pembusaan (foam mat drying) merupakan salah satu metode
pengeringan yang digunakan untuk membuat bubuk. Menurut Heriyanto (2014),
pengeringan pembusaan adalah cara pengeringan bahan berbentuk cair yang
sebelumnya dijadikan busa terlebih dahulu dengan menambahkan zat pembusa
16
terhadap bahan yang tahan terhadap panas dan merupakan salah satu pengeringan
yang digunakan terhadap senyawa yang menyebabkan lengket jika dikeringkan.
Metode pengeringan pembusaan dilakukan dengan cara menambahkan
bahan pembusa untuk mempercepat proses pengeringan, menurunkan kadar air, dan
menghasilkan produk bubuk yang remah. Metode pengeringan pembusaan ini
memiliki kelebihan daripada metode pengeringan lain karena relatif sederhana dan
prosesnya tidak mahal. Suhu yang digunakan rerlatif rendah (˂70ºC) sehingga
warna, aroma, dan komponen gizi produk dapat dipertahankan (Kamsiati, 2006).
Menurut Heriyanto (2014), penambahan busa dalam metode pengeringan
pembusaan bertujuan untuk mempercepat proses penguapan air walaupun tanpa
suhu yang terlalu tinggi. Bahan yang dikeringkan menggunakan busa pada suhu 50-
80ºC dapat menghasilkan kadar air 2-5% bb. Tujuan dari proses pembusaan adalah
untuk mempertebal lapisan ampas yang melindungi komponen yang ada selama
proses pengeringan berlangsung. Penambahan konsentrasi busa dapat membuat
rongga yang akan memperluas permukaan yang akan dikeringkan sehingga proses
pengeringan berlangsung lebih cepat. Hasil dari pengeringan pembuasaan adalah
bubuk yang mempunyai densitas atau kepadatan yag rendah (ringan) dan bersifat
remah.
Bahan tambahan yang umum digunakan dalam pengeringan pembusaan
adalah putih telur. Penambahan bahan pembusa ini dimaksudkan untuk
mempercepat pengeringan, menurunkan kadar air, dan menghasilkan produk bubuk
yang remah. Busa maka akan mempercepat proses penguapan air walaupun tanpa
suhu yang terlalu tinggi, produk yang dikeringkan menggunakan busa pada suhu
50-80ºC dapat menghasilkan kadar air 2-5% bb (Heriyanto, 2014). Menurut
Mulyoharjo dan Wijoyono (1988), penambahan konsentrasi busa dapat
mempersingkat waktu pengeringan karena rongga yang terbentuk dapat
memperluas bidang permukaan yang akan dikeringkan.
Zat pembusa yang dapat digunakan dalam pengeringan pembusaan
diantaranya adalah putih telur, Tween 80, CMC dan susu. Pembuatan bubuk tomat
dengan pengeringan pembusaan Kamsiati (2006) menggunakan putih telur dengan
konsentrasi 0%,2% dan 5% dan Tween 80 dengan konsentrasi 0%; 0,2% dan 0,5%
dengan tambahan zat pengisi dekstrin 15%. Kadam et al., (2012) dalam pembuatan
17
bubuk tomat menggunakan metode pengeringan pembusaan menggunakan zat
pembusa putih telur (0%, 0,5%, 1%,1,5%, dan 2%),CMC (0%, 0,25%, 0,5%,
0,75%, dan 1%) dan susu (0%, 3%, 5%, 7% dan 9%). Qadri dan Srivastava (2014)
menggunakan putih telur dengan konsentrasi 10% dalam pembuatan bubuk tomat
dengan pengeringan pembusaan berbantu oven gelombang mikro. Putih telur
banyak menjadi pilihan dalam pengeringan pembusaan karena dapat membentuk
lapisan berupa gelembung udara yang dapat melindungi komponen penting seperti
nutrisi pada bahan selama mengalami kontak dengan udara panas selama
pengeringan selain itu harga putih telur relatif murah dan mudah didapatkan
(Kamsiati, 2006).
2.5 Pemanasan Gelombang Mikro
Gelombang mikro merupakan bagian dari spektrum elektromagnetik
dengan panjang gelombang 1 mm hingga 1 m dengan frekuensi yang sesuai antara
300 MHz dan 300 GHz (Thostenson, 1999). Pemanasan gelombang mikro mengacu
pada penggunaan gelombang elektromagnetik frekuensi tertentu untuk
menghasilkan panas dalam bahan. Pemanfaatan energi gelombang mikro dapat
mengurangi biaya, eknomis, dan kompetitif untuk diimplementasikan ke dalam
sistem industri (Silaghi, 2009).
Pemanasan gelombang mikro memiliki sejumlah keunggulan kuatitatif dan
kualiatif dibandingkan pemaasan konvensional. Keuntungan utama adalah tempat
dimana panas yang dihasilkan berasal dari produk itu sendiri, karena itu pengaruh
konduktivitas panas atau perpindahan panas koefisien tidak memainkan peranan
penting. Bahan yang berukuran lebih besar dapat dipanaskan dalam waktu yang
lebih singkat dengan distribusi suhu yang merata.
Pemanasan gelombang mikro disebabkan kemampuan bahan untuk
menyerap energi gelombang mikro dan mengubahnya menjadi panas. Pemanasan
gelombang mikro pada bahan terutama terjadi karena mekanisme dipolar atau ionik.
Kelembaban air menyebabkan pemanasan dielektrik karena sifat dipol air. Medan
listrik akan berisolasi pada molekul air, molekul dipolar terpolarisasi secara
permanen mencoba untuk mengubah kembali ke arah medan listrik, karena
frekuensi tinggi medan listrik, penyesuaian ini terjadi pada satu juta kali per detik
18
menyebabkan gesekan internal molekul yang mengakibatkan pemanasan
volumetrik material (Chandrasekaran et al., 2013).
Gelombang mikro memiliki kemampuan untuk menembus dan
menghasilkan panas volumetrik dalam bahan, karena interaksi dalam medan listrik
dengan molekul air maka akan meningkatkan tekanan uap air sehingga terjadi
penguapan air. Penguapan air menyebabkan terjadinya penurunan kadar air pada
bahan pangan. Penurunan kadar air menggunakan pemanasan gelombang mikro
disebabkan karena adanya beberapa tahapan yang terjadi, yang pertama adalah
penguapan yang lemah dan tahap selanjutnya adalah penguapan intensif (Arballo
et al., 2012).
2.5.1 Prinsip Kerja Oven Gelombang Mikro
Gelombang mikro terdiri dari tiga komponen yaitu sumber gelombang
mikro, jaringan transmisi, dan aplikator. Daya pada oven gelombang mikro
dihidupkan oleh energi listrik yang tersalur ke dalam oven gelombang mikro yang
dapat menghidupkan magnetron. Sumber gelombang mikro menghasilkan radiasi
elektromagnetik, jalur transmisi mengantarkan energi elektromagentik dari sumber
aplikator ke aplikator, dan aplikator akan mengaplikasikan energi yang akan diserap
atau dipantulkan oleh bahan (Thostenson, 1999).
Sumber gelombang mikro yang paling banyak digunakan adalah magnetron
(Vollmer, 2004). Prinsip kerja magnetron secara sederhana yaitu mengkonversi
tenaga listrik biasa dari stopkontak menjadi gelombang radio yang sangat singkat
(sekitar 4 inchi dari puncak) dengan frekuensi sekitar 2450 MHz. Frekuensi tersebut
akan menghasilkan energi yang mudah diserap oleh air, lemak dan gula, sehingga
menghasilkan getaran yang sangat cepat dan suhu tinggi, untuk menghasilkan
beberapa tingkatan energi pada gelombang mikro digunakan power level (Food
Safety and Inspection Service, 2011). Komponen utama pada oven gelombang
mikro dapat dilihat pada Gambar 4.
Berdasarkan Widianarko, dkk. (2000), magnetron menghasilkan gelombang
mikro di dalam oven yang akan disalurkan oleh wave guide. Wave guide ini
berfungsi untuk menyalurkan gelombang mikro agar mengarah ke ruang oven.
Namun sebelum masuk ke dalam ruang oven, gelombang mikro ini masuk ke dalam
19
stirrer yang berupa kipas yang berfungsi menyebarkan gelombang mikro ke dalam
ruang oven.
Gambar 4. Komponen Utama Gelombang Mikro (Tull, 1987)
Gelombang mikro yang bekerja secara sinusoidal kemudian akan memantul
pada dinding di dalam ruang oven dan tertuju kepada bahan yang sedang di olah.
Gelombang mikro ini beriknteraksi sebanyak 4,9 juta kali dalam setiap detik dengan
gerakan bolak balik. Gerakan bolak balik tersebut yang menyebabkan terjadinya
agitasi partikel air dalam bahan yang menimbulkan gesekan antara yang membuat
tekanan parsial di dalam bahan meningkat. Partikel air tersebut akan berpindah ke
tekanan parsial yang tinggi di dalam bahan ke tekanan parsial rendah di luar bahan.
Air keluar dari bahan secara tidak langsung akan menguap dengan bantuan
gelombang mikro dan membuat bahan di dalam ruang oven tersebut menjadi
kering.
Lampu halogen yang terdapat pada bagian atas (langit-langit oven) dan
bawah (lantai oven) dan meja putar di dalam oven gelombang mikro berfungsi
untuk meningkatkan keseragaman pemanasan pada bahan dalam arah radial.
Keseragaman pemanasan bervariasi di seluruh sumbu rotasi karena ada perubahan
dalam radiasi elektromagnetik sepanjang sumbu. Kontur suhu makanan yang
berputar lebih merata dibandingkan dengan makanan yang tidak berputar
(Chandrasekaran et al., 2013).
Energi yang dihasilkan oleh sumber gelombang mikro akan diaplikasikan
pada bahan aplikator, oleh sebab itu desain dari aplikator sangat penting
(Thotenson, 1999). Aplikator yang paling umum digunakan adalah rongga
20
multimode, yang pada dasarnya adalah sebuah kotak besar, setidaknya satu dimensi
lebih besar dari ruang bebas panjang gelombang radiasi (122 mm pada 2450 MHz).
Gelombang mikro memasuki rongga multimode mengalami beberapa refleksi
untuk membentuk pola gelombang yang diatur oleh dimensi rongga dan sifat beban.
2.5.2 Aplikasi Pemanasan Menggunakan Gelombang Mikro
Proses pemanasan gelombang mikro yang cepat menyebabkan belum
tercapaianya proses browning sehingga perubahan warna pada bahan kecil.
Gelombang mikro selain digunakan untuk thawing, pasterisasi, dan sterilisasi, juga
digunakan dalam pembakaran, memasak, pengasapan, pengeringan, pengeringan
pembekuan, dan tempering (Mathavi, 2013). Gelombang mikro biasanya tidak
menyebabkan reaksi maillard karena waktu memasak yang singkat dan suhu yang
rendah (Puligundla, 2013).
Pengeringan menggunakan gelombang mikro memiliki keuntungan yaitu
untuk mencapai tingkat pengeringan dengan cepat dan meningkatkan kualitas
beberapa produk. Dalam pengeringan menggunakan gelombang mikro karena
volumetrik air yang dihasilkan di dalam gradien tekanan internal dikembangkan,
maka air dipaksa untuk keluar sehingga penyusutan bahan makanan dapat dicegah.
(Chandrasekaran et al., 2013).
2.5.3 Daya Oven Gelombang Mikro
Tobing (2004) mengemukakan bahwa daya yang diperlukan oven
gelombang mikro berkisar antara 500 W – 1000 W, semakin besar daya yang
dimiliki semakin cepat pula bahan mengalami pengeringan. Daya awal ketika oven
gelombang mikro dinyalakan sangat tinggi sekitar 1000 watt hingga 1450 watt.
Pabrik akan memberikan tanda yang berbeda-beda untuk mengatur jumlah energi
yang diperlukan. Pada oven gelombang mikro yang digunakan pada penelitian ini
dengan merek Sharp R-222Y patokan yang digunakan jumlah energi adalah sebagai
berikut:
High untuk pemakaian energi 100%
Medium high untuk pemakaian energi 75%
21
Medium untuk pemakaian energi 50%
Medium low untuk pemakaian energi 30%, dan
Low untuk pemakaian energi 10%.
Daya memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan pengeringan.
Semakin besar daya yang digunakan pada saat pengeringan suatu bahan, maka akan
semakin cepat pula pengeringan berlangsung. Konsumsi daya akan berbanding
lurus dengan konsumsi energi listrik yang digunakan.
2.5.4 Efisiensi Pengeringan Oven Gelombang Mikro
Pengukuran efisiensi oven gelombang mikro bertujuan untuk mengetahui
seberapa efektif pengeringan tomat dengan menggunakan oven gelombang mikro.
Perhitungan efisiensi oven gelombang mikro pada pengeringan ampas tomat serta
campuran ampas tomat dan putih telur yaitu dengan membandingkan jumlah energi
yang digunakan selama pengeringan dengan energi panas oven gelombang mikro.
Menurut Singh dan Heldman (2009) panas yang dihasilkan pada oven gelombang
mikro berasal dari energi oven gelombang mikro tersebut dan bahan dielektrik.
Energi listrik yang digunakan pada pengeringan menggunakan oven gelombang
mikro merupakan jumlah dari energi sensibel pada tomat dan energi sensibel air
yang teruapkan dalam ampas tomat.
Menurut Gaikwad (2016), nilai relative dielectric constant pada tomat
merah dengan frekuensi 2450 MHz sebesar 58,07 dan nilai dielectric loss factor,
ε”, sebesar 11,83. Menurut Singh dan Heldman (2009), nilai loss tangent, tan δ,
mengindikasikan seberapa baik bahan dapat ditembus oleh medan listrik dan
bagaimana bahan dapat mendisipasi energi listrik menjadi panas. Persamaan yang
digunakan untuk menghitung efisiensi pengeringan oven gelombang mikro
dinyatakan dalam Persamaan (15).
2.6 Bubuk Tomat Kering
Tomat termasuk ke dalam sayuran yang tingkat produksinya cukup tinggi
di Indonesia. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2019), produksi tomat nasional
sebesar 976.790 ton pada tahun 2018. Tingkat produksi tomat pada saat panen raya
22
sangat tinggi namun kebutuhan tomat yang tidak sebanding dengan hasil produksi
membuat harga tomat di tingkat petani menurun drastis hingga dibeberapa wilayah
para petani membuang tomat cuma-cuma karena tidak laku dipasaran. Konsumsi
tomat dalam bentuk segar menjadi pilihan utama, namun kondisi tomat sebagai
tanaman semusim tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi segar. Kondisi tomat
segar yang perishable dan mudah mengalami kerusakan setelah panen
menyebabkan tomat mengalami kehilangan sebesar 40% - 50% setelah panen setiap
tahunnya (Abdulmalik et al., 2014).
Surplus tomat setiap tahunnya mendorong berbagai pihak terutama
pemerintah dan industri untuk dapat menyerap tomat hasil produksi petani dan
menambah rantai produksi yang dapat mengolah tomat menjadi berbagai macam
produk olahan seperti pasta dan bubuk tomat sebagai bumbu dapur, masker wajah
maupun produk olahan lainnya. Kecenderungan masyarakat terhadap produk instan
menjadi tantangan sekaligus peluang untuk mengembangkan produk olahan
alternatif, seperti bubuk tomat, dengan kualitas yang baik dan harga yang
terjangkau sehingga membuka kemungkinan pula untuk dapat dijual dipasar
internasional. Bubuk tomat dapat diproduksi menggunakan beberapa metode
diantaranya adalah dengan menggunakan spray dryer, tunnel dryer, refractance
window dan pengeringan pembusaan.
Bubuk tomat yang banyak dijual dipasaran internasional menurut
Foodchem International Corporation (2015) memiliki warna jingga hingga jingga
kemerahan, memiliki aroma khas tomat, memiliki kadar air maksimal 7% dan kadar
abu maksimal 3% serta terbebas dari benda asing, E.coli, salmonella dan listeria.
Pengeringan tomat segar hingga menjadi bubuk tomat kering diharapkan dapat
memepertahankan kandungan gizi dan khasiat dari tomat itu sendiri. Pengolahan
bubuk tomat diharapkan pula dapat memperpanjang umur simpan tomat sehingga
dapat memenuhi kebutuhan akan tomat pada saat bukan musimnya serta dapat
mempermudah dalam proses penyimpanan dan transportasi sehingga nilai jual
tomat dapat terjaga untuk jangka waktu yang lebih lama.
Kegunaan bubuk tomat salah satunya dapat dijadikan sebagai masker wajah.
Menurut Cahyono (2008), masker wajah yang terbuat dari tomat mengandung zat
pengikat vitamin C yang dapat mencegah perkembangan bakteri sehingga jerawat
23
tidak akan meradang. Masker bubuk tomat yang beredar di pasaran salah satunya
adalah masker wajah bubuk tomat yang diproduksi oleh Mustika Ratu. Kandungan
vitamin C pada masker berasal dari ekstrak bubuk tomat, sehingga masker wajah
dari bubuk tomat ini kaya akan antioksidan. Manfaat lain dari masker wajah bubuk
tomat ini adalah dapat menjadikan kulit kusam menjadi lebih segar.
2.7 Proses Pengolahan Bubuk Tomat Kering
2.7.1 Proses Persiapan Bahan
Menurut Qadri dan Srivastava (2014), dalam pengeringan tomat
menggunakan pengeringan pembusaan berbantu oven gelombang mikro ini terdiri
dari beberapa tahapan persiapan bahan diantaranya adalah:
1. Sortasi
Sortasi merupakan kegiatan untuk memisahkan tomat segar dengan
tomat yang dalam keadaan yang tidak segar serta mengalami kerusakan
secara fisiologis maupun mekanis. Tomat yang dipilih dalam tahap
sortasi adalah tomat segar dengan lingkar permukaan 22-24 cm, hal ini
dimaksudkan agar tomat yang digunakan seragam serta memiliki warna
dominan merah.
2. Pencucian
Potensi tercemarnya tomat dengan kontaminan-kontaminan seperti
bahan kimia, mikroba selama di kebun menyebabkan proses pencucian
ini sangat diperlukan. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan tanah
dan bahan asing lainnya yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan
konsumen.
3. Blansing dan penghilangan kulit
Blansing bertujuan untuk menginaktifasi enzim, melunakkan jaringan
dan mengurangi kontaminasi mikroorganisme yang merugikan,
sehingga diperoleh mutu produk yang dikeringkan, dikalengkan dan
dibekukan dengan kualitas yang baik (Muchtadi dkk, 2010). Menurut
Witi (1990), proses blansing dapat memberikan peningkatan
permeabilitas sel pada bahan hasil pertanian yang akan mempercepat
24
proses penguapan air dari bahan sehingga proses pengeringan
berlangsung lebih cepat. Proses blansing yang digunakan pada
penelitian ini adalah blansing rebus. Blansing rebus ini, selain dapat
mengurangi kontaminasi mikroorganisme yang merugikan juga dapat
mempermudah proses penghilangan kulit tomat karena pengaruh proses
blansing yang dapat melunturkan jaringan.
4. Pengirisan dan pemisahan biji
Bubuk tomat yang berwarna jingga hingga jingga kemerahan
merupakan salah satu kriteria yang menjadi syarat mutu bubuk tomat
yang layak dijual dipasaran, selain itu warna yang bersih merupakan
daya tarik tersendiri bagi konsumen, sehingga perlu adanya pemisahan
biji dari tomat segar yang akan diproses. Tomat segar yang bebas dari
kulit diiris melintang untuk memudahkan pemisahan biji. Bubuk tomat
yang dihasilkan akan mengandung bintik-bintik hitam dan tidak
menarik apabila biji tidak dipisahkan. Tomat kembali diiris untuk
memudahkan tomat masuk ke dalam pengejus setelah tomat bebas dari
kulit dan biji.
5. Pengejusan
Tujuan dari perlakuan ini adalah untuk menghancurkan jaringan tomat
sehingga didapatkan ampas dengan tekstur yang halus dan memperluas
permukaan bahan agar proses selanjutnya berlangsung efektif. Menurut
Kartasapoetra (1994), semakin luas permukaan bahan maka semakin
luas pula permukaan bahan yang dapat berhubungan dengan medium
pemanas, sehingga massa air dari pusat bahan dapat dengan mudah
bermigrasi ke permukaan bahan lalu menguap keluar dari bahan dan
pengeringan berlangsung lebih cepat. Ampas yang dihasilkan dari
proses pengejusan merupakan bahan utama yang akan digunakan untuk
penelitian ini.
6. Pasteurisasi
Ampas tomat yang telah digiling dipasteurisasi pada suhu 65ºC selama
30 menit (Qadri dan Srivastava, 2014). Menurut Yuyun dan Gunarsa
(2011), pasteurisasi merupakan proses pemanasan bahan makanan pada
25
suhu 60ºC-72ºC selama 30 menit. Tujuan dari pasteurisasi adalah untuk
membunuh mikroba patogen atau penyebab penyakit namun bakteri lain
yang tahan panas akan tetap hidup sehingga setelah proses pasteurisasi
bahan harus disimpan dalam suhu beku (T = -16ºC).
2.7.2 Mekanisme Pengeringan Tomat dengan Pengeringan Pembusaan
Berbantu Oven Gelombang Mikro
Tomat dijus hingga dihasilkan ampas, hal ini dilakukan untuk
mempermudah dalam proses pegeringan lalu ditambahkan dengan busa putih telur
berkonsentrasi 15% kemudian dikocok dengan menggunakan mixer lalu dituangkan
ke dalam plastik anti panas untuk memudahkan dalam melepaskan lapisan tomat
kering yang terbentuk. Penambahan zat pembusa berupa putih telur dalam
pengeringan pembusaan bertujuan untuk memperluas permukaan sehingga kontak
perpindahan massa membesar.
Kontak perpindahan massa membesar dikarenakan bahan yang akan
dikeringkan telah berubah bentuk sebagian menjadi busa, akibatnya kontak dengan
udara pengering menjadi besar sehingga perpindahan massa air (yang akan
diuapkan) menjadi besar dan proses pengeringan menjadi lebih cepat. Selama
proses pengeringan, laju pengeringan dihitung dengan menimbang bahan pada
menit kelima dilanjutkan dengan penimbangan pada setiap selang 1 menit.
Pengeringan dilakukan hingga mencapai kadar air 7% (bk). Setelah didapatkan
lapisan tomat kering, maka dilanjutkan dengan proses penggilingan hingga
terbentuk bubuk tomat, lalu dilakukan pengayakan menggunakan ayakan Tyler
dengan mesh 50 untuk menyeragamkan ukuran butiran bubuk tomat.
2.8 Syarat Mutu Bubuk Tomat
Bubuk tomat kering belum memiliki standar mutu nasional, maka standar
yang digunakan sebagai acuan adalah syarat mutu bubuk tomat kering yang
digunakan dalam industri pangan sayuran kering khususnya bubuk tomat kering
yang secara luas digunakan sebagai suplemen nutrisi. Standar bubuk tomat ini
didasarkan pada standar HACCP dan ISO serta terbukti aman untuk digunakan
sebagai bahan tambahan makanan. Syarat mutu bubuk tomat tersebut terinci dalam
26
Tabel 2. Pada Gambar 4 diperlihatkan wujud dari bubuk tomat yang beredar
dipasaran yang memiliki standar sesuai dengan syarat mutu bubuk tomat pada Tabel
2.
Tabel 2. Syarat Mutu Bubuk Tomat
Komponen Standar
Wujud Bubuk,tidak lengket
Warna Jingga hingga jingga kemerahan
Rasa/Aroma Aroma khas tomat, bebas dari aroma lainnya
Kadar Air Maksimal 7,0%
Kadar Abu Maksimal 3,0%
Benda Asing Tidak ada Sumber : Foodchem International Corporation, 2015
Gambar 5. Bubuk Tomat (Foodchem International Corporation, 2015)