bab ii tinjauan perlindungan hukum …e-journal.uajy.ac.id/1158/4/3hk09869.pdfdalam bidang...

56
12 BAB II TINJAUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA A. Faktor Penyebab Munculnya Kejahatan dan Penyalahgunaan Narkotika 1. Faktor Penyebab Munculnya Kejahatan Dipandang dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu perbuatan, yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi pidana. Hukum pidana semacam itu tidak bertujuan melindungi masyarakat, tetapi memperkuat alasan untuk menentang perbuatan sewenang-wenang dari penguasa. Lebih jauh lagi kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan- perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, bahkan di negara modern hampir tiap perbuatan yang dicap sebagai kejahatan oleh hampir semua penduduknya dirasakan sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan. 4 Sebab terjadinya kejahatan telah menjadi subjek yang cukup banyak mengundang spekulasi, teoritis, penelitian dan perdebatan di antara para ahli maupun masyarakat umum. Salah satu pendekatan yang menjelaskan sebab kejahatan tersebut, misalnya ada teori yang mengasumsikan kejahatan adalah bagian dari manusia alamiah, keberadaan manusia tidak terlepas dari sifat iblis. 5 4 W.A Bonger, 1982, Pengantar tentang Kriminologi, PT. Pembangunan, Jakarta, hlm. 19-20. 5 Susanto, 2011, Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta hlm.v

Upload: voliem

Post on 10-May-2018

219 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

12

BAB II

TINJAUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

A. Faktor Penyebab Munculnya Kejahatan dan Penyalahgunaan Narkotika

1. Faktor Penyebab Munculnya Kejahatan

Dipandang dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu

perbuatan, yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi pidana. Hukum

pidana semacam itu tidak bertujuan melindungi masyarakat, tetapi

memperkuat alasan untuk menentang perbuatan sewenang-wenang dari

penguasa. Lebih jauh lagi kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan-

perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, bahkan di negara modern

hampir tiap perbuatan yang dicap sebagai kejahatan oleh hampir semua

penduduknya dirasakan sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan.4

Sebab terjadinya kejahatan telah menjadi subjek yang cukup banyak

mengundang spekulasi, teoritis, penelitian dan perdebatan di antara para ahli

maupun masyarakat umum. Salah satu pendekatan yang menjelaskan sebab

kejahatan tersebut, misalnya ada teori yang mengasumsikan kejahatan adalah

bagian dari manusia alamiah, keberadaan manusia tidak terlepas dari sifat

iblis. 5

4 W.A Bonger, 1982, Pengantar tentang Kriminologi, PT. Pembangunan, Jakarta, hlm. 19-20.

5 Susanto, 2011, Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta hlm.v

13

Dalam bidang pengetahuan ilmiah kriminologi telah banyak dilakukan

studi-studi tentang masalah ini dan perkembangan pendekatan terhadap

masalah ini, masalah ini pun erat kaitannya dengan perkembangan

pendekatan di dalam kriminologi. Pendekatan klasik tentang kenakalan

remaja menghubungkan perilaku ini dalam kerangka penjelasan teori

kehendak bebas dari Beccaria, sedangkan pendekatan neo-klasik seperti

Lombroso dan Gohring mengasumsikan adanya hubungan kausal antara

stigma dengan kejahatan, dan Gohring mengkaitkan dengan beberapa faktor

penyebab antara lain tingkat kecerdasan tertentu. Perkembangan selanjutnya

menunjukan menonjolnya pendekatan klinis dengan tokohnya William Healy

yang antara lain menyebutkan faktor-faktor tingkat kecerdasan, abnormalitas

mental, kondisi rumah yang buruk serta cacad-cacad turunan dan faktor yang

terletak pada sifat-sifat individual erat kaitannya dengan timbulnya

kejahatan.6

Faktor-faktor pembawaan dan lingkungan selalu saling mempengaruhi

timbal balik, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Faktor lingkungan

tergantung dari faktor pembawaan, oleh karena itu :

1. Lingkungan seseorang ini dalam batas-batas tertentu ditentukan oleh

pilihannya sendiri. Dalam hal ini kita dapat mengadakan perbedaan antara

lingkungan yang tak dapat dipilih, umpama lingkungan anak dalam masa-

6 Mulyana W.Kusumah, 1982, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan,

Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.55-56.

14

masa mudanya, dan lingkungan yang disetujui atau menurut pilihannya,

umpama lingkungan orang dewasa pada umumnya.

2. Orangnya dapat banyak mempengaruhi dan merubah faktor-faktor

lingkungan ini, dan pengaruh dari faktor-faktor lingkungan terhadap

seseorang tertentu, sebagian besar tergantung dari kepekaannya dan lain-

lain sifatnya.

Pengaruh lingkungan dahulu sedikit-banyak ada dalam kepribadian

seseorang sekarang. Dalam batas-batas tertentu kebalikannya juga benar,

yaitu lingkungan yang telah mengelilingi seseorang untuk suatu waktu

tertentu mengandung pengaruh pribadinya. Faktor-faktor dinamis yang

bekerja dan saling mempengaruhi adalah baik faktor pembawaan maupun

lingkungan.7

Faktor-faktor yang mempengaruhi dan membentuk si anak mula masa

mudanya adalah faktor-faktor terpenting dari lingkungan kehidupannya yaitu

keluarga atau rumahnya (family or home). Memang menurut kriminologi

modern golongan faktor lingkungan ini merupakan suatu kesatuan yang

penting sekali bagi pembentukan kelakuan sosial si anak, yang akan disoroti

ialah tentang keadaan keluarga dan rumah antara lain :

1. Keadaan keluarga tidak wajar (a-typical) karena kelahiran anak diluar

pernikahan.

2. Penempatan anak di luar rumah.

7 NY. L. Moeljatno, 1982, Kriminologi, PT.Bina Aksara, Jakarta, hlm.44.

15

3. Keadaan keluarga a-typical lain, terutama mencakup broken home.

4. Keadaan-keadaan ekonomi keluarga, hubungan antar keluarga dan lain-

lain.

a. Anak tidak sah :

Sebab-sebab golongan anak tidak sah lebih besar kemungkinannya

untuk menjadi kriminal ialah :

1) Ibu-ibu diluar nikah dibanding dengan yang nikah, secara relatif

mempunyai fisik dan mental kurang, sedang diantara bapak-

bapaknya ada mempunyai depresi mental.

2) Keadaan-keadaan lingkungan yang merugikan terutama mengancam

masa kanak-kanak dan remaja sebagai penyebab yang langsung dan

tidak langsung.

Sebagian merupakan faktor-faktor ekonomi, sebagian keadaan-

keadaan keluarga yang tidak wajar, seperti ada bapak tiri atau ibu

tiri, atau tanpa bapak, atau berada di rumah penitipan anak, dan

sebagian lagi karena ada prasangka sosial dan perasaan dari si ibu

yang tidak menghendaki si anak, hal mana secara sadar atau tidak

sadar dapat mempengaruhi si anak.

b. Penempatan anak di luar rumah :

Ada perbedaan pendapat antara ahli kriminologi beraliran sosial (A)

dan yang beraliran modern (B) tentang lembaga keluarga rumah.

menurut (B) kehidupan dalam lingkungan keluarga yang normal dan

baik, adalah penting bagi pertumbuhan anak, agar ia dapat

16

menyesuaikan diri dengan masyarakat lingkungannya (dalam istilah

sekarang sehat sosial).

Sebaliknya menurut (A) lembaga keluarga merupakan sesuatu yang

buruk dan harus diganti dengan pendidikan dalam lembaga-lembaga

pemerintah yang bersifat kolektif.

c. Broken home (keluarga a-typical / tidak wajar)

Sudah sejak lama perhatian kriminologi tertuju kepada pentingnya

arti broken home bagi timbulnya kejahatan. Broken home terutama

mengenai rumah tinggal sebagai berikut : di mana salah satu orang tua

sudah meninggal, atau dimana orang tua tidak lagi hidup bersama

karena perceraian, perpisahan atau sebab-sebab lain.

Kondisi-kondisi keluarga tersebut dapat digolongkan dalam

golongan-golongan yang menyangkut faktor-faktor lebih luas yaitu :

keadaan keluarga rusak atau tidak wajar. Jadi meliputi semua keadaan

dengan susunan keluarga yang menyimpang dari yang normal.

d. Keadaan ekonomi di rumah.

Sesungguhnya perumusan tentang kondisi ekonomi keluarga

merupakan soal lain, maka kurang tepat untuk memperhatikan keadaan

penghasilan saja. Maka haruslah memperhitungkan faktor-faktor yang

secara umum, langsung mempengaruhi kondisi-kondisi penghasilan

seperti keadaan perumahan buruk, kontak dengan organisasi bantuan

sosial macam atau sifat pekerjaan orang tua, adanya pengangguran

17

dalam keluarga, jumlah anak, jatuh sakitnya si pencari uang dan lain-

lain.

Dalam menilai pentingnya kondisi-kondisi ekonomi rumah bagi

perkembangan si anak, hendaknya diperhatikan arti relatifnya kondisi-

kondisi demikian, misalnya lingkungan dimana si anak hidup, sejarah

perkembangan mental keluarga.8

Mengenai faktor penyebab munculnya kejahatan hal ini harus dikaji

sebelum dimungkinkan menjawab pertanyaan, apakah satu faktor, dan jika

demikian, yang mana dari keduanya yang memainkan peranan terpenting

dalam terjadinya kejahatan;

1. Pengaruh dari bakat terhadap lingkungan: berkali-kali telah tampak

bagaimana faktor-faktor bakat dapat mengarahkan seseorang berada dalam

suatu lingkungan yang tidak dapat diharapkan, apakah itu berdasarkan asal

usul dan kelahiran. Hal ini berlaku baik untuk mobilitas vertikal maupun

yang horizontal dan dapat berakibat baik atau buruk terhadap lingkungan

semula.

Untuk sebagian, suatu perubahan lingkungan yang demikian adalah akibat

dari suatu pilihan pekerjaan khusus. Pilihan pekerjaan khusus itu dapat

pula ditentukan oleh bakat, terutama dalam kasus-kasus dimana pilihan

pekerjaan khusus itu dalam keluarga atau kelompok, dimana si individu

berasal, terutama tidak lazim, dan dimana faktor imitasi (meniru) atau

pengaruh lingkungan tidak berperan.

8 Ibid. hlm 112-117.

18

2. Pengaruh dari lingkungan terhadap bakat. Dalam hal ini perlu dibedakan :

a. Pengaruh yang “tidak sebenarnya”, dimana akibat dari lingkungan

terhadap sifat-sifat yang ada dalam bakat :

1) Tidak tampak keluar atau tidak dapat berkembang. Misalnya, dalam

suatu lingkungan dimana setiap orang buta aksara, maka bakat

menulis tidak akan tampak keluar.

2) Dengan sengaja dikekang, terutama oleh orang tua atau para

pendidik. Misalnya, sifat rasa seni dalam suatu keluarga dimana ada

pendapat dominan, bahwa semua seni adalah tidak susila atau

seniman tidak ada akan dalam kemelaratan.

b. Pengaruh “yang sebenarnya”, dimana lingkungan mempengaruhi bakat

terutama para pengikut “behaviorism” berpendapat bahwa bakat pada

hakekatnya tidak berbeda-beda, sehingga sangat dipengaruhi oleh

lingkungan melalui jalan pembentukan kebiasaan.

Kejahatan dari seorang manusia normal adalah akibat kebersamaan dari

bakat dan lingkungan, dimana kali ini yang satu, kemudian faktor lain

lagi yang berpengaruh, dan dimana kedua faktor tersebut dapat saling

mempengaruhi.9

Telah disadari bahwa kejahatan dari segi apapun tidak boleh dibiarkan

merajalela dalam pergaulan hidup, oleh karena itu berbicara mengenai

kejahatan maka harus dibedakan mengenai kejahatan dalam arti yuridis

(perbuatan yang termasuk tindak pidana) dan kejahatan dalam arti sosiologis

9 J.E Sahetapy, 1992, Kriminologi Suatu Pengantar, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.124-126

19

(perbuatan yang patut dipidana). Perbuatan yang termasuk tindak pidana

adalah perbuatan dalam arti melanggar undang-undang, dan perbuatan yang

patut dipidana adalah perbuatan yang melanggar norma atau kesusilaan yang

ada di masyarakat tetapi tidak diatur dalam perundang-undangan.10

Anak dan Remaja adalah sumber potensial dari suatu negara yang besar.

Apabila mereka gagal untuk menyumbangkan darma baktinya kepada

kesejahteraan umum, atau yang lebih menyedihkan lagi bila mereka hanya

menjadi perusak dan penghalang, maka masyarakat tidak akan mengalami

kemajuan bahkan sebaliknya hanya akan mendapatkan kehancuran, karena

kejahatan dapat menyebabkan penderitaan pribadi maupun penderitaan

masyarakat.

Peningkatan kenakalan remaja merupakan ancaman serius bagi masa

depan suatu negara. Sikap pandang saat ini banyak remaja yang tidak jeli

dalam memilih kawan bergaulnya, sehingga banyak remaja yang tadinya

tergolong kategori positif, setelah lama bergaul dengan kawan-kawannya

yang termasuk kategori negatif, hilanglah sifat-sifat positif yang tadinya

melekat pada si remaja tersebut. Banyak remaja pecandu narkotika yang

semula kecanduannya diawali perasaan sekedar ingin tahu/iseng-iseng, tetapi

ternyata awal ingin tahu/iseng itu selanjutnya malah mewujudkan dirinya

sebagai seorang pengguna narkotika secara illegal, selain itu ada juga

pengaruh yang datangnya dari dalam diri remaja itu sendiri, diantaranya saja

datang dari rasa cemas, gelisah, sakit hati atau frustasi akibat gagal bercinta

10

Rena Yulia, 2010, VIKTIMOLOGI Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha

Ilmu, Yogyakarta, hlm.86.

20

atau sekolah, sehingga demi membebaskan segenap kerusuhan batin, remaja

tak jarang menyalahgunakan pemakaian narkotika, dalam angannya tumbuh

anggapan bahwa menggunakan narkotika akan menjadi malaikat pembebas

penderitaannya.

Dengan bidang jelajah viktimologi, hasilnya dapat digunakan untuk

usaha-usaha dalam melindungi dan memperbaiki kedudukan korban

kejahatan, disamping memberi kemungkinan dalam usaha-usaha untuk

mengubah nilai-nilai, aturan-aturan dan praktek yang menjadikan orang atau

masyarakat menjadi korban kejahatan, dengan demikian juga dapat digunakan

usaha-usaha perbaikan dalam penegakan hukum, sehingga dapat melindungi

korban kejahatan.

2. Penyebab Penyalahgunaan Narkotika

Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkam yang

berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.11

Secara etimologis

narkotika berasal dari bahasa Inggris yaitu narcose atau narcosis yang berarti

menidurkan.12

Narkotika berasal dari perkataan narcotic yang artinya sesuatu

yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stupor

(bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius.13

11

Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Islam, Alumni, Bandung, hlm.36. 12

Jhon M. Elhols dan Hasan Sadili, 1996, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta,

hlm.390. 13

Ibid

21

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memberi

pengertian narkotika sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Narkotika pada dasarnya dapat dimanfaatkan dan digunakan secara legal

untuk kepentingan pengobatan atau pelayanan kesehatan dan ilmu

pengetahuan. Kenyataannya akhir-aknir ini banyak pengguna narkotika diluar

tujuan tersebut.

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan

Saksi dan Korban dalam Pasal 1 ayat (2) korban adalah seseorang yang

mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang

diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sementara pengertian korban dalam

lingkup viktimologi memiliki arti yang luas, karena tidak hanya terbatas pada

individu yang secara nyata menderita kerugian, tetapi juga kelompok,

korporasi swasta maupun pemerintah.14

Berita kriminal di media massa, baik media cetak maupun elektronik

dipenuhi oleh berita tentang penyalahgunaan narkotika. Korban narkotika

meluas ke semua lapisan masyarakat dari pelajar, mahasiswa, artis, supir

angkot, pekerja, anak jalanan dan pengangguran, hal ini dapat terjadi

dikarenakan narkotika dapat dengan mudah diperoleh bahkan sudah dapat di

14

Didik,1997, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Rineka Cipta,

Jakarta, hlm.3

22

racik sendiri dan pabrik narkotika secara ilegal pun sudah di dapati di

Indonesia.

Kejahatan narkotika merupakan kejahatan internasional (International

Crime) dan kejahatan yang terorganisir (Organize Crime), serta mempunyai

jaringan yang luas. Kejahatan internasional ini membuktikan adanya

peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan kearah organisasi kejahatan

transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukan kerja sama yang

bersifat regional maupun internasional.15

Hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tanggal 10 agustus

2011 pengguna narkoba di Indonesia berjumlah 3,81 juta jiwa. Fakta

menunjukkan dari 3,81 juta pengguna narkoba di indonesia, sebanyak 232

diantaranya adalah perempuan, tidak hanya itu, populasi perempuan di

Indonesia cukup besar, yakni mencapai 49,9 persen. Semakin banyak

perempuan yang menjadi pengguna narkoba, maka nasib generasi bangsa

kedepan semakin terancam. Kalau digabung perempuan dengan anak maka

jumlah mayoritas, yakni mencapai 70 persen. Anak yang dimaksud ialah

mereka yang berusia di bawah 18 tahun.16

Data ungkap penyalahgunaan narkotika yang ada di Polresta Yogyakarta

dari tahun 2010 - 2012 ialah :

15

Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologis Hukum,

PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. hlm.2 16

http://www.depdagri.go.id/news/2011/08/10/pengguna-narkoba-di-indonesia-381-juta, Fajar,

Pengguna Narkoba di Indonesia 3,81 juta, 6 Maret 2012.

23

DATA UNGKAP TAHUN 2010

TAHUN KLASIFIKASI

TSK

PROFESI TSK BARANG

BUKTI

2010 1) Laki-laki:

90 Orang

2) Perempuan:

3 Orang

Mahasiswa : 30

Orang

Swasta : 28

Orang

Wiraswasta : 15

Orang

Buruh : 2

Orang

Seniman : 1

Orang

TK Parkir : 3

Orang

Dagang : 4

Orang

Pengangguran : 5

Orang

Sopir : 1

Orang

Pelajar : 4

Orang

Shabu : 14,5 gr

Putaw : 0,5 gr

Ganja : 7957,6

gr

Ekstasy : 190 btr

DATA UNGKAP TAHUN 2011

TAHUN KLASIFIKASI

TSK

PROFESI TSK BARANG

BUKTI

2011 1) Laki-laki:

64 Orang

2) Perempuan:

2 Orang

Mahasiswa : 20

Orang

Swasta : 18

Orang

Wiraswasta : 14

Orang

Buruh : 2

Shabu : 14,9 gr

Ganja: 1404,66

gr

24

Orang

Seniman : 1

Orang

TK Parkir : 1

Orang

Pengangguran : 5

Orang

Pelajar : 1

Orang

Satpam : 2

Orang

Pengamen : 2

Orang

DATA UNGKAP TAHUN 2012

TAHUN KLASIFIKASI

TSK

PROFESI TSK BARANG

BUKTI

JANUARI s/d

APRIL

2012

1) Laki-laki:

34 Orang

2) Perempuan:

- Orang

Mahasiswa : 14

Orang

Wiraswasta : 7

Orang

Pengangguran : 4

Orang

Buruh : 3

Orang

Seniman : 1

Orang

Freelance : 1

Orang

Sopir : 1

Orang

Penulis : 1

Orang

Swasta : 2

Orang

Ganja : 4262,3

gr

Shabu : 1,2 gr

Heroin : 101 gr

25

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

dalam Pasal 1 ayat (15) yang dimaksud dengan Penyalahgunaan narkotika

ialah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

Penyalahgunaan narkotika dapat diartikan sebagai tindakan atau perbuatan

yang tidak sebagaimana mestinya (menyimpang atau bertentengan dengan

yang seharusnya) yang mempergunakan narkotika secara berlebihan

(overdosis) sehingga membahayakan diri sendiri, baik secara fisik maupun

psikis.17

Menurut Dr. Luthfi Baraja, terdapat tiga pendekatan untuk terjadinya

penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika yaitu pendekatan

organobiologik, psikodinamik dan psikososial. Ketiga pendekatan tersebut

tidaklah berdiri sendiri melainkan saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Dari sudut pandang organobiologik (susunan syaraf pusat/otak) mekanisme

terjadinya adiksi (ketagihan) hingga dependensi (ketergantungan) dikenal

dengan dua istilah, yaitu gangguan mental organik atau sindrom otak organik;

seperti gaduh, gelisah, dan kekacauan dalam fungsi kongnitif (alam pikiran),

efektif (alam perasaan/emosi) dan psikomotor (perilaku) yang disebabkan

efek langsung terhadap susunan syaraf pusat (otak).18

Seseorang akan menjadi ketergantungan narkotika, apabila seseorang

dengan terus-menerus diberikan zat tersebut. Hal ini berkaitan dengan teori

adaptasi sekuler (neuro-adaptation), tubuh beradaptasi dengan menambah

jumlah teseptor dan sel-sel syaraf bekerja keras. Jika zat dihentikan , sel yang

masih bekerja keras tadi mengalami kehausan, yang dari luar tampak sebagai

gejala-gejala putus obat. Gejala putus obat tersebut memaksa orang untuk

mengulangi pemakaian zat tersebut.19

Dengan teori psikodinamik dinyatakan bahwa seseorang akan terlibat

penyalahgunaan narkotika sampai ketergantungan, apabila pada orang itu

terdapat faktor penyebab (factor contribusi) dan faktor pencetus yang saling

17

A.W Widjaya,1985, Masalah kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, Amirco,

Bandung, hlm.13 18

Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkoba Dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana

Nasional, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.99 19

Ibid. hlm.100.

26

keterkaitan satu dengan yang lain. Faktor predisposisi seseorang dengan

gangguan kepribadian (anti sosial) ditandai dengan perasaan tidak puas

terhadap orang lain. Selain itu yang bersangkutan tidak mampu untuk

berfungsi secara wajar dan efektif dalam pergaulan di rumah, di sekolah, atau

di tempat kerja, gangguan lain sebagai penyerta berupa rasa cemas dan

depresi. Untuk mengatasi ketidak mampuan dan menghilangkan rasa

kecemasan atau depresinya, maka orang tersebut cenderung untuk

menggunakan narkotika. Semestinya orang itu dapat mengobati dirinya

dengan datang ke dokter/psikiater untuk mendapatkan terapi yang tepat

sehingga dapat dicegah keterlibatannya dalam penyalahgunaan narkotika.

Faktor kontribusi; seseorang dengan kondisi keluarga yang tidak baik

akan merasa tertekan, dan rasa tertekan inilah sebagai faktor penyerta bagi

dirinya untuk terlibat dalam penyalahgunaan narkotika. Disfungsi keluarga

yang dimaksud antara lain: keluarga tidak utuh, kedua orang tua terlalu sibuk,

lingkungan interpersonal dengan orang tua yang tidak baik.

Faktor pencetus; bahwa pengaruh teman sebaya, tersedia dan mudah di

dapatinya narkotika mempunyai andil sebagai faktor pencetus seseorang

terlibat penyalahgunaan/ketergantungan narkotika.20

Pada awalnya narkotika ditemukan untuk kepentingan pengobatan dan

menolong orang sakit, sejak zaman prasejarah manusia sudah mengenal zat

psikoaktif (termasuk didalamnya narkotika, psikotropika, alkohol, dan zat-zat

20

Ibid.

27

lainnya yang memabukkan). Berbagai dedaunan, buah-buahan, akar-akaran,

dan bunga dari berbagai jenis tanaman yang sudah lama diketahui manusia

akan efek farmatologinya, sejarah mencatat ganja sudah digunakan orang

sejak tahun 2700 SM. Opium telah digunakan bangsa Mesir kuno untuk

menenangkan bagi yang sedang menangis, meskipun demikian, di samping

zat-zat tersebut digunakan untuk pengobatan, namun tidak jarang pula

digunakan untuk kepentingan kenikmatan secara pribadi.21

Pengguna zat psikoaktif pada satu sisi terkadang memiliki keterkaitan

dengan keadaan suatu masyarakat, hal ini disebabkan beberapa zat tertentu

dibenarkan pemakaiannya oleh masyarakat tertentu pula, karena berhubungan

dengan adat dan keberagaman, sedangkan zat yang sama ditentang oleh

bangsa lain.22

Hubungan antar bangsa di dunia yang juga bertambah pesat

juga menyebabkan kemajuan dibidang teknologi telekomunikasi dan media

massa yang begitu cepatnya akan berimplikasi pada tersebarnya psikoaktif

dan semakin dikenal umat manusia, serta semakin bertambah pada kasus-

kasus penyalahgunaan narkotika.

Dalam negara Indonesia obat-obatan untuk tujuan medis secara legal

diresepkan oleh dokter atau apoteker terdidik guna mencegah dan mengobati

penyakit, contoh dari obat-obatan ini seperti pelega tenggorokan,

parasetamol, sirup batuk, dan aspirin. Akan tetapi, pemakaian obat tanpa

21

Danny I. Yatim, 1989, Kepribadian, Keluarga dan Narkotika: Tinjauan Sosial-Psikologis, Pen

Arcan , Jakarta, hlm.51. 22

BA. Sitanggang, 1981, Pendidikan Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Karya Utama,

Jakarta, hlm.67.

28

petunjuk medis merupakan penyalahgunaan. Biasanyaa penyalahgunaan akan

memiliki akibat yang serius dan dalam beberapa kasus biasanya dapat

menjadi fatal.

Seorang penyalahguna narkotika tidak dapat hidup secara normal, ia

bertingkah laku aneh dan menciptakan ketergantungan fisik dan psikologis

pada tingkat yang berbeda-beda. Ketergantungan narkotika berarti tidak akan

dapat hidup tanpa narkotika, hal ini dikarenakan ketergantungan fisik

menyebabkan timbulnya rasa sakit bila ada usaha untuk mengurangi

pemakaiannya bila pemakaiannya dihentikan. Ketergantungan secara

psikologis menimbulkan tingkah laku yang kompulsif untuk memperoleh

narkotika tersebut, keadaan ini semakin memburuk jika tubuh sang pemakai

menjadi kebal akan narkotika, sehingga kebutuhan tubuh akan narkotika

menjadi meningkat untuk dapat sampai pada efek yang sama tingginya. Dosis

yang tinggi dan pemakaian yang sering, diperlukan untuk menenangkan

keinginan yang besar, dan hal ini dapat menyebabkan kematian.23

Banyak penyebab seseorang menyalahgunakan obat-obatan terlarang

atau narkotika sehingga menjadi korban penyalahgunaan narkotika,

penyebabnya adalah :

1. Keingin tahuan yang besar tanpa sadar akibatnya.

2. Keinginan untuk mencoba karena penasaran.

3. Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun).

4. Keinginan untuk mengikuti tren atau gaya (fashionable).

5. Keinginan untuk diterima oleh lingkungan pergaulannya.

6. Lari dari kebosanan atau kegetiran hidup.

7. Pengertian yang salah bahwa penggunaan yang sekali-sekali tidak akan

menimbulkan ketagihan.

23

Hadiman, 2005, Pengawasan Serta Peran Aktif Orang Tua dan Aparat Dalam Penanggulangan

dan Penyalahgunaan Narkoba, Jakarta, hlm.5.

29

8. Semakin mudah untuk mendapatkan narkotika dimana-mana dengan harga

relatif murah. (available).

9. Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga tidak

mampu menolak narkotika secara tegas.24

Menurut Sudarsono, bahwa penyalahgunaan narkotika di latar belakangi

oleh beberapa sebab, yaitu :

1. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang

berbahaya seperti ngebut dan bergaul dengan wanita.

2. Menunjukkan tindakan menentang orang tua, guru dan norma sosial.

3. Mempermudah penyaluran dan perbuatan seks.

4. Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman

emosional.

5. Mencari dan menemukan arti hidup.

6. Mengisi kekosongan dan kesepian hidup.

7. Menghilangkan kegelisahan, frustasi dan kepepet hidup.

8. Mengikuti kemauan kawan-kawan dalam rangka pembinaan solidaritas

9. Iseng-iseng saja dan rasa ingin tahu. 25

Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli, setidaknya ada

beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan narkotika

diantaranya sebagai berikut :

1. Faktor individu, terdiri dari aspek kepribadian, dan kecemasan/depresi,

yang termasuk dalam aspek kepribadian antara lain, kepribadian yang

ingin tahu, mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan

yang termasuk dalam kecemasan/depresi adalah karena tidak mampu

menyelesaikan kesulitan hidup, sehingga melarikan diri dalam penggunaan

narkotika dan obat-obat terlarang.

2. Faktor sosial budaya, terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh teman.

Kondisi keluarga disini merupakan kondisi yang disharmonis seperti orang

tua yang bercerai, orang tua yang sibuk dan jarang dirumah, serta

24

Ibid hlm.10. 25

Sudarsono, 1992, Kenakalan Remaja, Rineke Cipta, jakarta, hlm.67.

30

perekonomian keluarga yang serba berlebihan maupun yang serba

kekurangan. Sedangkan yang termasuk dalam pengaruh teman misalnya

karena berteman dengan seorang yang ternyata pemakai narkotika dan

ingin diterima dalam suatu kelompok.

3. Faktor lingkungan, lingkungan yang tidak baik maupun tidak mendukung

dan menampung segala sesuatu yang menyangkut perkembangan

psikologis anak dan kurangnya perhatian terhadap anak, juga bisa

mengarahkan seorang anak untuk menjadi user/pemakai narkotika.

4. Faktor narkotika itu sendiri. Mudahnya didapati didukung dengan faktor

yang sudah disebut diatas, semakin memperlengkap timbulnya

penyalahgunaan narkotika.26

Dalam penjelasan hasil wawancara mengenai penyebab penyalahgunaan

narkotika yang dikemukakan oleh Kardiyana, penyebab penyalahgunaan

narkotika antara tersangka yang satu dan tersangka yang lain itu berbeda, ada

beberapa penyebab, yaitu :

1. Orientasi pada ekonomi,

Menyalahgunakan narkotika untuk kesenangan sesaat, disebabkan karena

situasi ekonomi yang berlebihan ataupun yang kekurangan.

Sementara bagi pengedar/penjual narkotika secara ilegal tersebut hal ini

merupakan menjadi pekerjaan yang sangat besar keuntungannya untuk

memperoleh uang.

26

AR. Sujono dan Bony Daniel, 2011, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.7.

31

2. Faktor keluarga, (Broken Home)

Dalam kehidupan keluarga mempunyai pengaruh untuk seseorang

melakukan penyalahgunaan narkotika, keluarga yang dimaksud

diantaranya ialah keluarga yang bermasalah, seperti keluarga tidak utuh

(tanpa adanya ayah / tanpa adanya ibu), terjadinya pertengkaran dalam

keluarga yang terus-menerus (tidak harmonis), dan kurangnya

mendapatkan perhatian serta kasih sayang dari orang tua.

3. Penyebab situasi lingkungan,

Aktivitas ingkungan di sekitar rumah sangat berpengaruh, karena sebagian

tersangka saat di interogasi memberikan alasan penyalahgunaan narkotika

karena di lingkungannya mudah di dapati narkotika tersebut.

4. Karena hobi, (hobby)

Ada tersangka yang mengatakan karena telah hobi menggunakan

narkotika, dalam hal ini sangat sulit penanganannya untuk memberikan

kesadaran kepada tersangka tersebut.

5. Rasa ingin tahu / coba-coba,

Ingin tahu rasa menggunakan atau memakai narkotika tersebut.

6. Terlanjur kecanduan,

Karena sekali menggunakan dan kemudian tetap ingin menggunakan

narkotika tersebut.

7. Karena ketergantungan,

32

Saat pengguna narkotika tersebut merasakan sakit/sakaw, maka berusaha

untuk mendapatkan narkotika itu agar sakit yang dirasakan dapat sembuh

atau sehat kembali.

Jenis narkotika yang sering didapati dari penyalahguna narkotika tersebut

ialah ganja (baik tanaman yang sudah dipanen maupun yang sedang ditanam),

shabu-shabu, putaw, ekstasi, dan heroin.27

Berikut ini penulis kemukakan beberapa jenis narkotika yang cukup

populer dan sering disalahgunakan :

1. Opium

Opium adalah getah berwarna putih seperti susu yang keluar dari kotak biji

tanaman papaver samni vervum yang belum masak. Jika buah candu yang

bulat telur itu kena torehan, getah tersebut jika ditampung dan kemudian

dijemur akan menjadi opium mentah. Cara modern untuk memprosesnya

sekarang adalah dengan jalan mengolah jeraminya secara besar-besaran,

kemudian dari jerami candu yang matang setelah diproses akan

menghasilkan alkolida dalam bentuk cairan, padat dan bubuk.28

Dalam perkembangan selanjutnya opium dibagi menjadi :

a. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari dua

tanaman papaver somni verum yang hanya mengalami pengolahan

27

Kardiyana, Pangkat AIPTU, Jabatan KURMINTU (kepala urusan administrasi satuan narkoba

Polresta Yogyakarta), Hasil Wawancara, tanggal 11 April 2012, Polrestabes Yogyakarta. 28

Andi Hamzah dan RM. Surahman, 1994, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Sinar Grafika,

Jakarta, hlm.16.

33

sekedar untuk pembungkusan dari pengangkutan tanpa memerhatikan

kadar morfinnya.

b. Opium masak adalah :

1) Candu, yakni yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu

rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan pemanasan dan

peragian, atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud

mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

2) Jicing, yakni sisa-sisa dari candu yang telah dihisap, tanpa

memerhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan

lain.

3) Jicingko, yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

c. Opium obat adalah opium mentah yang tidak mengalami pengolahan

sehingga sesuai untuk pengobatan baik dalam bubuk atau dicampur

dengan zat-zat netral sesuai dengan syarat farmakologi.

2. Morphin

Perkataan “morphin” itu berasal dari bahasa Yunani “Morpheus” yang

artinya dewa mimpi yang dipuja-puja, nama ini cocok dengan pecandu

morphin, karena merasa play di awang-awang.

Morphin adalah jenis narkotika yang bahan bakunya berasal dari candu

atau opium, sekitar 4-21% morphin dapat dihasilkan dari opium. Morphin

adalah prototipe analgetik yang kuat, tidak berbau, rasanya pahit,

berbentuk kristal putih, dan warnanya makin lama berubah menjadi

kecokelat-cokelatan.

34

Morphin adalah alkoloida utama dari opium, ada tiga macam morphin

yang beredar di masyarakat, yaitu :

a. Cairan yang berwarna putih, yang disimpan di dalam sampul atau botol

kecil dan pemakaiannya dengan cara injeksi.

b. Bubuk atau serbuk berwarna putih seperti bubuk kapur atau tepung dan

mudah larut di dalam air, ia cepat sekali lenyap tanpa bekas.

Pemakaiannya adalah dengan cara menginjeksi, merokok, dan kadang-

kadang dengan menyilet tubuh.

c. Tablet kecil berwarna putih, pemakaiannya dengan menelan

Efek yang ditimbulkan : Mengalami pelambatan dan kekacauan pada saat

berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari, mengalami kerusakan

pada liver dan ginjal, peningkatan terkena resiko virus HIV, hepatitid,

penyakit infeksi lainnya melalui jarum suntik serta penurunan hasrat dalam

hubungan sex, dan kematian karena overdosis.

Gejala intoksikasi (keracunan) : konstraksi pupil (dilatasi pupil karena

anoksida akibat overdosis berat) dan satu atau lebih tanda berikut yang

berkembang selama, atau segera setelah pemakaiannya, yaitu menjadi

mengantuk atau koma bicara, gangguan atensi atau daya ingat. Perilaku

perubahan psikologis yang bermakna secara klinis misalnya euforia awal

diikuti oleh apatis, disforia, agitasi atau retardari psikomotor, gangguan

pertimbangan, atau gangguan fungsi sosial.

Gejala putus obat : gejala putus obat dimulai dalam enam (6) sampai

delapan (8) jam setelah dosis terakhir. Biasanya setelah suatu periode satu

35

sampai dua minggu pemakaian kontinu atau pemberian antagonis narkotik.

Sindroma putus obat mencapai puncak intensitasnya selama hari kedua

atau ketiga dan menghilang selama 7 sampai 10 hari setelahnya, tetapi

beberapa gejala mungkin menetap selama enam bulan atau lebih lama.29

3. Ganja

Tanaman ganja adalah damar yang diambil dari semua tanaman genus

cannabis, termasuk biji dan buahnya. Damar ganja adalah damar yang

diambil dari tanaman ganja, termasuk hasil pengolahannya yang

menggunakan damar sebagai bahan dasar.

Ganja bagi para pengedar maupun pecandu diistilahkan dengan cimeng,

gele, daun, rumput jayus, jum, barang, marijuana, gelek hijau, bunga, ikat,

dan labang. Pohon ganja termasuk tumbuhan liar, ia dapat tumbuh di

daerah tropis maupun subtropis, pohon ini tahan terhadap macam-macam

musim dan iklim., sehingga pohon ini dapat tumbuh di daratan Tiongkok

Asia Barat, Asia Tengah, dan Afrika bagian utara.

Efek yang ditimbulkan : efek euforia dari ganja telah dikenal, efek medis

yang potensial adalah sebagai analgesik, antic-onvulsan dan hipnotik.

Belakangan ini juga telah berhasil digunakan untuk mengobati mual

sekunder yang disebabkan terapi kanker dan untuk menstimulasi nafsu

makan pada pasien dengan sindroma imunodefisiensi sindrom. Ganja juga

digunakan untuk pengobatan glaukoma.

4. Cocaine

29

Hadiman, Op. Cit., hlm 90.

36

tanaman koka adalah tanaman dari semua genus erithroxylon dari keluarga

erythroxlaceae. Daun koka adalah daun yang belum atau sudah

dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus

erythroxylon dari keluarga erythroxlaceae, yang menghasilkan kokain

secara langsung atau melalui perubahan kimia. Kokain mentah adalah

semua hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara

langsung untuk mendapatkan koakain.

Tanaman koka tumbuh dan subur di daerah yang berketinggian 400-600

meter di atas permukaan laut. Di Indonesia tanaman koka ini banyak

terdapat di daerah Jawa Timur, sedangkan penghasil koka terbesar ialah

bagian negara Amerika Selatan, yaitu Bolivia dan Peru yang tumbuh di

lereng gunung ades.

Bentuk dan macam cocaine yang terdapat di dunia perdagangan gelap

diantaranya yaitu :

a. Cairan berwarna putih atau tanpa warna,

b. Kristal berwarna putih seperti damar (getah perca),

c. Bubuk berwarna putih seperti tepung,

d. Tablet berwarna putih.

Efek yang ditimbulkan : kokain digunakan karena secara karakteristik

menyebabkan elasi, eufiria, peningkatan harga diri dan perasaan perbaikan

pada tugas mental dan fisik. Kokain dalam dosis rendah dapat disertai

dengan perbaikan kinerja pada beberapa tugas kognitif.

36

tanaman koka adalah tanaman dari semua genus erithroxylon dari keluarga

erythroxlaceae. Daun koka adalah daun yang belum atau sudah

dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus

erythroxylon dari keluarga erythroxlaceae, yang menghasilkan kokain

secara langsung atau melalui perubahan kimia. Kokain mentah adalah

semua hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara

langsung untuk mendapatkan koakain.

Tanaman koka tumbuh dan subur di daerah yang berketinggian 400-600

meter di atas permukaan laut. Di Indonesia tanaman koka ini banyak

terdapat di daerah Jawa Timur, sedangkan penghasil koka terbesar ialah

bagian negara Amerika Selatan, yaitu Bolivia dan Peru yang tumbuh di

lereng gunung ades.

Bentuk dan macam cocaine yang terdapat di dunia perdagangan gelap

diantaranya yaitu :

a. Cairan berwarna putih atau tanpa warna,

b. Kristal berwarna putih seperti damar (getah perca),

c. Bubuk berwarna putih seperti tepung,

d. Tablet berwarna putih.

Efek yang ditimbulkan : kokain digunakan karena secara karakteristik

menyebabkan elasi, eufiria, peningkatan harga diri dan perasaan perbaikan

pada tugas mental dan fisik. Kokain dalam dosis rendah dapat disertai

dengan perbaikan kinerja pada beberapa tugas kognitif.

37

Gejala intoksikasi kokain : pada pengguna kokain dosis tinggi gejala

intoksikasi dapat terjadi, seperti agitasi iritabilitas gangguan dalam

pertimbangan perilaku seksual yang impulsif.

Gejala putus zat : setelah menghentikan pemakaian kokain atau setelah

intoksikasi akut terjadi depresi pascaintoksikasi (crash) yang ditandai

dengan disforia, anhedonia, kecemasan, iritabilitas kelelahan,

hipersomnolensi. Pada pemakaian kokain ringan sampai sedang, gejala

putus kokain menghilang dalam 18 jam, pada pemakaian berat gejala putus

kokain bisa berlangsung sampai satu minggu. Gejala putus kokain juga

dapat disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri, orang yang

mengalami putus kokain seringkali berusaha mengobati sendiri gejalanya

dengan alkohol, sedatif hipnotik, atau obat antiensletas seperti diazepam

(valium).

5. Heroin

Setelah ditemukan zat kimia morphine pada tahun 1806 oleh Fredich

Sertumer, kemudian pada tahun 1898 Dr.Dresser, seorang ilmuwan

kebangsaan jerman, telah menemukan zat heroin. Semula zat baru ini

diduga dapat menggantikan morphine dalam dunia kedokteran dan

bermanfaat untuk mengobati para morpinis, akan tetapi harapan tersebut

tidak berlangsung lama, karena terbukti adanya kecanduan yang

berlebihan bahkan lebih cepat dari pada morphine serta lebih susah

disembuhkan bagi para pecandunya.

38

Heroin adalah suatu zat semi sintesis turunan morphine, pembuatan heroin

melalui proses penyulingan dan proses kimia lainnya di laboratorium

dengan cara acethalasi dengan aceticanydrida. Bahan bakunya adalah

morphine, asam cuka, anhidraid atau asetilklorid. Heroin dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Heroin nomor satu, bentuknya masih merupakan bubuk atau gumpalan

yang berwarna kuning tua sampai cokelat, jenis ini sebagian besar

masih berisi morphine dan merupakan hasil ekstraksi, nama di pasaran

gelapnya disebut gula merah (red sugar).

b. Heroin nomor dua, sudah merupakan bubuk berwarna abu-abu sampai

putih dan masih merupakan bentuk transisi dari morphine ke heroin

yang belum murni.

c. Heroin nomor tiga, merupakan bubuk butir-butir kecil kebanyakan agak

berwarna abu-abu juga diberi warna lain untuk menandai ciri khas oleh

pembuatnya. Biasanya masih di campur kafein, barbital, dan kinin.

d. Heroin nomor empat, bentuknya sudah merupakan kristal khusus untuk

disuntikkan.

Si pemakai biasanya menggunakan dengan menyedot, dan yang lebih

praktis diinjeksikan.

6. Shabu-shabu

Shabu-shabu berbentuk seperti bumbu masak, yakni kristal kecil-kecil

berwarna putih, tidak berbau, serta mudah larut dalam air alkohol. Air

shabu-shabu juga termasuk dalam turunan amphetamine yang jika

39

dikonsumsi memiliki pengaruh yang kuat terhadap fungsi otak,

pemakaiannya segera akan aktif, banyak ide, tidak merasa lelah meski

sudah bekerja lama, tidak merasa lapar, dan tiba-tiba memiliki rasa

percaya diri yang besar.

7. Putaw

Jenis narkotika ini marak diperedarkan dan dikonsumsi oleh generasi

muda dewasa ini, khususnya sebagai “trend anak modern”, agar dianggap

tidak ketinggalan zaman. Istilah putaw sebenarnya merupakan minuman

khas Cina yang mengandung alkohol dan rasanya seperti green sand, ,

akan tetapi oleh para pecandu narkotika barang sejenis heroin yang masih

serumpun dengan ganja itu dijuluki putaw. Hanya saja kadar narkotika

yang dikandung putaw lebih rendah atau dapat disebut heroin kualitas

empat sampai enam.

Para junkies (istilah bagi para pecandu putaw), mereka biasanya dengan

cara mengejar dragon (naga), yaitu bubuk/kristal putaw dipanaskan diatas

kertas timah, lalu keluarlah yang menyerupai dragon (naga) kemudian

asap itu dihisap melalui hidung atau mulut. Cara lain adalah dengan

nyipet, yaitu cara menyuntikan putaw yang dilarutkan kedalam air hangat

ke pembuluh darah , kemungkinan tertular virus HIV/AIDS menjadi resiko

cara seperti ini, karena memakai jarum suntik secara bersamaan, jadi

kebanyakan dari mereka (jungkies) memilih dengan cara mengejar

dragon.30

30

Mardani, Op. Cit., hlm.88.

40

8. Ectasy

Ectasy ditemukan dan mulai dibuat pada kurun waktu tahun 1950an,

industri militer Amerika Serikat mengalami kegagalan didalam percobaan

penggunaan ectasy sebagai serum kebenaran, setelah itu ectasy dipakai

oleh para dokter ahli jiwa. Ectasy mulai beraksi setelah 20 sampai 60

menit digunakan. Efeknya seluruh tubuh akan terasa melayang, kadang-

kadang lengan, kaki, dan rahang terasa kaku, serta mulut terasa kering,

pupil mata membesar dan jantung berdegup lebih kencang. Jenis reaksi

fisik tersebut biasanya tidak terlalu lama, selebihnya akan timbul perasaan

seolah-olah akan menjadi hebat dalam segala hal dan segala perasaan malu

menjadi hilang, pikiran terasa kosong, rileks, dan asyik.31

B. Hak dan Kewajiban Korban Penyalahgunaan Narkotika

1. Hak dan kewajiban korban pada umumnya

Penjabaran HAM berkaitan dengan perlindungan korban dan saksi

tertuang dalam beberapa undang-undang, dapat dikemukakan bahwa menurut

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi

dan korban, disebutkan perlindungan saksi dan korban berdasarkan pada :

1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia,

2. Rasa aman,

3. Keadilan,

4. Tidak diskriminatif,

31

Hadiman, Op.Cit., hlm. 84.

41

5. Kepastian hukum.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) lebih

mengutamakan hak-hak tersangka / terdakwa, namun demikian terdapat

beberapa asas KUHAP yang dapat dijadikan landasan perlindungan korban,

misalnya :

1. Perlakuan yang sama di depan hukum.

2. Asas cepat, sederhana dan biaya ringan.

3. Peradilan yang bebas.

4. Peradilan terbuka untuk umum.

5. Ganti kerugian.

6. Keadilan dan kepastian hukum.32

Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian tentu korban

mempunyai hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban. Untuk

mengetahui hak-hak korban secara yuridis dapat dilihat dalam perundang-

undangan, salah satunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Pasal 5

undang-undang tersebut menyebutkan beberapa hak korban dan saksi yaitu

sebagai berikut :

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian

yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

32

Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban dan saksi, Sinar Grafika, Jakarta,

hlm.36.

42

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan.

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan.

4. Mendapat penerjemah.

5. Bebas dari pertanyaan menjerat.

6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus

7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.

8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.

9. Mendapat identitas baru.

10. Mendapatkan tempat kediaman baru.

11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.

12. Mendapat nasihat hukum.

13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir.

Adapun hak-hak para korban menurut Van Boven adalah hak untuk

tahu, hak atas keadilan, dan hak atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang

menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun nonmaterial

bagi para korban.33

Menurut Arif Gosita hak-hak korban itu mencakup :

1. Mendapatkan ganti kerugian atau penderitaannya. Pemberian ganti

kerugian tersebut harus sesuai dengan kemampuan memberi ganti kerugian

pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban dalam terjadinya

kejahatan dan delikuensi tersebut.

33

Theo Van Boven, 2002, Mereka yang Menjadi Korban, Elsam, Jakarta, hlm. xv.

43

2. Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku, (tidak mau diberi restitusi

karena tidak memerlukannya)

3. Mendapatkan restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya bila pihak korban

meninggal dunia karena tindakan tersebut.

4. Mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi.

5. Mendapat hak miliknya kembali.

6. Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor dan

menjadi saksi.

7. Mendapatkan bantuan penasihat hukum.

8. Mempergunakan upaya hukum. (rechtmidden).34

Dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum mengedepankan

hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan. Banyak

ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang

memadai baik perlindungan yang sifatnya immateriil maupun materiil, korban

kejahatan lebih ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan

yaitu hanya sebagai saksi, sehingga kemungkinan bagi korban untuk

memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan hak nya adalah kecil.

Pemenuhan terhadap hak-hak korban merupakan hal yang terpenting

dalam perlindungan korban. Bagi negara dan/atau pemerintah merupakan

keharusan dan wajib hukumnya mendorong, mendukung, dan memenuhi

kewajiban untuk melindungi warganya termasuk korban sesuai perintah

Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang ada.

Keseimbangan dari hak yang melekat, terdapat kewajiban-kewajiban

yang harus dilakukan oleh korban, yaitu sebagai berikut :

1. Tidak membuat korban dengan mengadakan pembalasan (main hakim

sendiri).

34

Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, CV Akademika Pressindo, Jakarta, hlm.53.

44

2. Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah perbuatan, dan korban lebih

banyak lagi.

3. Mencegah kehancuran si pembuat korban baik oleh diri sendiri maupun

oleh orang lain.

4. Ikut serta membina pembuat korban.

5. Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi.

6. Tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan

pembuat korban.

7. Memberi kesempatan kepada pembuat korban untuk memberi kompensasi

pada pihak korban sesuai dengan kemampuan (mencicil bertahap/imbalan

jasa).

8. Menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan.35

2. Hak dan kewajiban korban penyalahgunaan narkotika

Dalam penjelasan Pasal 54, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja

menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau

diancam untuk menggunakan narkotika. Korban penyalahgunaan narkotika

mempunyai hak dan kewajiban, dalam wawancara dengan Kardiyana hak dan

kewajiban korban penyalahgunaan narkotika ialah :

- Hak;

35

Bambang Waluyo, Op. Cit., hlm.44-45.

45

Korban penyalahgunaan narkotika berhak mendapatkan pengobatan

dan/atau rahabilitasi.

- Kewajiban;

Korban penyalahgunaan narkotika wajib melapor diri kepada instansi

terkait atau kepolisi (kasatreskrim narkotika). Instansi terkait yaitu pusat

kesehatan masyarakat, rumah sakit, klinik yang ditunjuk.36

Ketentuan mengenai rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur dari Pasal 54 sampai dengan

Pasal 59, yaitu sebagai berikut :

Pasal 54

Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 55

1. Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib

melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit dan/atau

lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh

pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

2. Pecandu yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan

oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit

dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk

36

Kardiyana, Loc. Cit.

46

oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan

melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

3. Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 56

1) Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan dirumah sakit yang

ditunjuk oleh Menteri.

2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi

pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu

narkotika setelah mendapat persetujuan menteri.

Pasal 57

Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu

narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat

melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.

Pasal 58

Rehabilitasi sosial mantan pecandu narkotika diselenggarakan baik oleh

instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.

Pasal 59

1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal

57 diatur dengan peratuaran menteri.

47

2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur

dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang sosial.

C. Upaya Mengurangi Terjadinya Korban Penyalahgunaan Narkotika

Penjelasan dari Kardiyana, dalam upaya untuk mengurangi terjadinya

korban penyalahgunaan narkotika, Kepolisian Polresta Yogyakarta

melakukan upaya preemtif dan prefentif yaitu sebagai berikut :

1. Preemtif,

Melakukan kegiatan pembinaan dan penyuluhan di lingkungan sekolah,

masjid, gereja, organisasi masyarakat dan lingkungan masyarakat RT/RW.

Dalam hal ini memberikan pengarahan, penjelasan, bahaya dan dampak

buruk akibat dari penyalahgunaan narkotika tersebut.

2. Preventif,

Melakukan kegiatan-kegiatan razia ditempat hiburan (diskotik), kos-

kosan, asrama, sambil melakukan sosialisasi keterkaitan dengan narkotika

dan penyalahgunaan narkotika.37

Untuk mencegah penyalahgunaan narkotika atau bahaya narkoba dapat

juga dilakukan oleh lingkungan pendidikan dan masyarakat;

1. Pencegahan penyalahgunaan narkoba melalui lingkungan pendidikan.

Program pendidikan yang efektif dan luas merupakan bagian yang penting

dari tindakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika diseluruh dunia.

Dibanyak negara penyalahgunaan narkotika telah mempengaruhi pelbagai

37

ibid

48

kelompok umur dan penduduk, mutlak bahwa setiap individu dijajaran

pendidikan umum dan formal beserta keluarganya diberitahu tentang

bahaya penyalahgunaan narkotika.

Pencegahan melalui pendidikan perlu dipandang sebagai suatu proses

berkesinambungan dengan tujuan untuk mengetahui sebab musabab

manusia menyalahgunakan narkotika, serta untuk membantu kaum remaja

dan dewasa dalam mencari jalan keluar dari kesulitannya tanpa berpaling

ke narkotika.

Kurikulum dan program-program yang dikembangkan sebagai bahan dari

strategi nasional untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat, perlu

disusun untuk memperkuat motivasi masyarakat menghindari

penyalahgunaan narkotika. Indikasi menunjukan bahwa pengaruh

pendidikan pencegahan paling baik apabila :

a. Diterapkan dilingkungan sosial, ekonomi dan budaya yang sesuai.

b. Secara terpadu dimasukkan dalam kerangka (framework pelajaran

akademis, sosial dan budaya).

c. Mendukung suatu cara hidup yang sehat sebagai tujuan utama, dari

pada memberi tekanan kepada pantang terhadap narkotika dan akibat

negatifnya.

d. Tidak melibatkan unsur-unsur yang menimbulkan ingin tahu atau ingin

mencoba-coba (umpama penjelasan terinci tentang keadaan euphoria,

dan lain-lain), tetapi dengan jelas menunjukkan akibat-akibat negatif

49

dan merusak serta menekankan pengaruh positif dari kegiatan-kegiatan

dan cara-cara hidup yang bebas dari narkoba.

Tindakan yang disarankan ditingkat nasional ialah badan yang berwenang

perlu mendirikan suatu unit yang bersifat multidisiplin, dimana para

pendidik yang telah menerima training dalam bidang pencegahan harus

berperan didalamnya.38

2. Pencegahan penyalahgunaan narkoba melalui lingkungan masyarakat.

Dukungan dan keikutsertaan organisasi masyarakat maupun badan-badan

penegak hukum, badan-badan kesehatan sosial dan pendidikan yang

terlihat dalam program pencegahan penyalahgunaan narkoba, sangat

diperlukan dalam menanggulangi faktor-faktor yang dapat mendorong

berkembangnya penyalahgunaan narkoba. Organisasi masyarakat maupun

badan-badan kesehatan maupun badan sosial lainnya sangat tepat untuk

mendeteksi penyalahgunaan narkoba serta akibatnya dan mengenai

kelompok-kelompok yang rawan terhadap masalah ini.

Sebagian besar dari kegiatan masyarakat tersebut dilakukan secara

sukarela, oleh karena itu perlu adanya koordinasi secara efektif guna

menjamin bahwa kegiatan dalam rangka pencegahan penyalahgunaan

narkoba sejalan dengan rencana nasional guna pencegahan masalah

tersebut.

Tindakan yang disarankan ditingkat nasional ialah semua kelompok

swasta, asosiasi dan perkumpulan, khususnya yang secara langsung

38

Hadiman, 2001, Penanggulangan Korban Narkoba Meningkatkan Peran Keluarga dan

Lingkungan, FKUI, Jakarta, hlm. 37-38.

50

berhubungan dengan kaum muda dan golongan/kelompok perlu

menyiapkan serta menyebarkan informasi tentang bahaya penyalahgunaan

narkoba kepada anggota-anggotanya. Organisasi-organisasi tersebut dapat

diminta untuk menyediakan membuat secara sukarela suatu paket program

yang terdiri dari bimbingan dan nasehat, pendidikan, pencegahan,

kewaspadaan terhadap penyalahgunaan narkoba, referral (rujukan),

detoksifikasi, dan rehabilitasi. Sedapat mungkin kegiatan-kegiatan tersebut

dikoordinasikan untuk menjamin keselarasannya dengan kebijaksanaan

nasional, dan akan lebih baik bila sesuai juga dengan rekomendasi-

rekomendasi internasional tentang pencegahan penyalahgunaan narkoba.39

Pencegahan peredaran gelap narkotika dan penggunaan narkotika

secara ilegal juga membutuhkan peran serta masyarakat, dalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 memberikan pengaturan yang sangat tegas

dalam hal peran serta masyarakat dalam rangka memberantas segala bentuk

penggunaan dan peredaran narkotika/prekursor narkotika, peran serta

masyarakat tersebut ialah :

Pasal 104

Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk

berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan

dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Pasal 105

39

Ibid, hlm. 43-44.

51

Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredearan gelap

narkotika dan prekursor narkotika.

Pasal 106

Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika

diwujudkan dalam bentuk :

a. Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah

terjadi tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.

b. Memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan

informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan

prekursor narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani

perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.

c. Menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada

penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana

narkotika dan prekursor narkotika.

d. Memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan

kepada penegak hukum atau BNN.

e. Memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan

melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.

Pasal 107

52

Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau

BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap narkotika

dan prekursor narkotika.

Pasal 108

1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, Pasal

105, dan Pasal 106 dapat dibentuk dalam suatu wadah yang dikoordinasi

oleh BNN.

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan

kepala BNN.

Badan Narkotika Nasional menyatakan bahwa metode pencegahan dan

pemberantasan narkoba yang paling mendasar dan efektif adalah promotif

dan preventif. Upaya yang paling praktis dan nyata adalah represif, upaya

manusiawi adalah kuratif dan rehabilitatif.

Tentang upaya promotif : disebut program preemtif atau program pembinaan.

Program ini ditujukan kepada masyarakat yang belum memakai narkoba, atau

bahkan belum mengenal narkoba. Prinsipnya adalah dengan meningkatkan

peranan atau kegiatan agar kelompok ini secara nyata lebih sejahtera sehingga

tidak pernah berpikir untuk memperoleh kebahagian semua dengan memakai

narkoba.

Tentang upaya preventif : disebut program pencegahan. Program ini

ditujukan kepada masyarakat sehat yang belum mengenal narkoba agar

mengetahui seluk beluk narkoba, sehingga tidak tertarik untuk

53

menyalahgunakannya. Selain dilakukan oleh pemerintah (instansi terkait)

program ini juga sangat efektif jika dibantu oleh instansi dan institusi lain,

termasuk lembaga professional terkait, lembaga swadaya masyarakat,

perkumpulan, ormas, dan lain-lain.

Tentang upaya kuratif : disebut program pengobatan. Program kuratif

ditujukan kepada pemakai narkoba, tujuannya adalah mengobati

ketergantungan dan menyembuhkan penyakit sebagai akibat dari pemakaian

narkoba, sekaligus menghentikan pemakaian narkoba. Tidak sembarang

orang boleh mengobati pemakai narkoba, pemakaian narkoba sering diikuti

oleh masuknya penyakit-penyakit berbahaya serta gangguan mental dan

moral. Pengobatannya harus dilakukan oleh dokter yang mempelajari narkoba

secara khusus. Pengobatan terhadap pemakai narkoba sangat rumit dan

membutuhkan kesabaran luar biasa dari dokter, keluarga dan penderita. Inilah

sebabnya mengapa pengobatan pemakai narkoba memerlukan biaya besar,

tetapi hasilnya banyak yang gagal, kunci sukses pengobatan adalah kerjasama

yang baik antara dokter, keluarga dan penderita.

Tentang upaya rehabilitatif : yaitu upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga

yang ditujukan kepada si pemakai narkoba yang sudah menjalani program

kuratif. Tujuannya agar ia tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan

yang disebabkan oleh bekas pemakaian narkoba. Seperti kerusakan fisik

(syaraf, otak, darah, jantung, paru-paru, ginjal, hati, dan lain-lain), kerusakan

mental, perubahan karakter kearah negatif, asocial dan penyakit-penyakit

ikutan (HIV/AIDS, hepatitis, sifilis, dan lain-lain) itulah sebabnya mengapa

54

pengobatan narkoba tanpa upaya pemulihan (rehabilitasi) tidak bermanfaat.

Setelah sembuh masih banyak masalah lain yang akan timbul, semua dampak

negatif tersebut sangat sulit diatasai. Karenanya banyak pemakai narkoba

yang ketika “sudah sadar” malah mengalami putus asa kemudian bunuh diri.

Tentang upaya represif : yaitu program penindakan terhadap produsen,

Bandar, pengedar dan pemakai berdasar hukum. Program ini merupakan

instansi pemerintah yang berkewajiban mengawasi dan mengendalikan

produksi maupun distribusi semua zat yang tergolong narkoba. Selain

mengendalikan produksi dan distibusi, program represif berupa penindakan

juga dilakukan terhadap pemakai sebagai pelanggar undang-undang tentang

narkoba.40

Upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika wajib dilakukan mulai

dari keluarga, orang tua harus dapat mengidentifikasi sikap dan perilaku anak

karena kebanyakan penyalahgunaan narkotika dimulai atau terdapat pada

masa remeja dengan mengingat bahwa remaja adalah usia yang mengalami

perubahan biologis, psikologis maupun sosial. Anak atau remaja mempunyai

resiko besar untuk menjadi penyalahguna narkotika dimana beberapa ciri-ciri

pada anak yang harus diperhatikan adalah :

1. Perubahan tingkah laku yang tiba-tiba belakangan ini terhadap kegiatan

sekolah, keluarga dan teman-teman. Menjadi kasar tidak sopan dan penuh

rahasia, serta jadi mudah curiga terhadap orang lain.

40

http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=ArtikelCegah&op=detail_artikel_cega

h&id=151&mn=2&smn=e, Badan Narkotika Nasional, 29 april 2012.

55

2. Marah yang tidak terkontrol, yang tidak biasanya dan perubahan suasana

hati yang tiba-tiba.

3. Lebih banyak menyendiri dari biasanya, sering bengong dan

berhalusinasi.41

4. Memiliki kecenderungan untuk selalu memberontak.

5. Sering terlihat depresi, cemas, dan berkepribadian dis-sosial.

6. Sering melakukan perbuatan yang menyimpang dari aturan.

7. Kurang percaya diri, minder dan memiliki persepsi pribadi akan citra diri

yang negatif.

8. Hanya ingin senang-senang saja.

9. Sering merasa kesepian dan tidak lagi taat kepada ajaran agama.42

Untuk mengurangi terjadinya korban penyalahgunaan narkotika

keikutsertaan semua pihak sangat diperlukan. Keadaan di sekolah, di rumah,

dan di dalam masyarakat harus dapat saling mengisi dan merupakan kontrol

yang tidak dapat diabaikan peranannya, yang terpenting adalah keluarga.

Perilaku atau perbuaran dalam keluarga dikontrol. Korban penyalahgunaan

narkotika tidak dapat diberantas, namun dapat diminimalisasikan melalui

lingkungan yang paling terdekat, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.

41

Hadiman, Op. Cit., hlm. 14. 42

AR Sujono, Bony Daniel, Op. Cit., hlm. 209.

56

D. Pertimbangan Perlu Adanya Perlindungan Hukum Bagi Korban

Penyalahgunaan Narkotika

Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara

memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional, oleh

karena itu masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius. Pentingnya

perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius dapat dilihat dari

dibentuknya Declaration of Basic Principal of Justice for Victims of Crime

and Abuse of Power oleh PBB, sebagai hasil dari The Sevent United Nation

Conggres on the Prevention of Crime and the treatment of Ofenders, yang

berlangsung di Milan, Italia, September 1985.

Sepanjang menyangkut korban kejahatan dalam deklarasi PBB tersebut

telah menganjurkan agar paling sedikit diperhatikan 4 (empat) hal sebagai

berikut :

1. Jalan masuk untuk memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil

(acces to justice and fair treatment).

2. Pembayaran ganti rugi (restitution) oleh pelaku tindak pidana kepada

korban, keluarganya atau orang lain yang kehidupannya dirumuskan dalam

bentuk sanksi pidana dalam perundang-undangan yang berlaku.

3. Apabila terpidana tidak mampu, negara diharapkan membayar santunan

(compensation) finansial kepada korban, keluarganya atau mereka yang

menjadi tanggungan korban.

57

4. Bantuan materiil, medis, psikologis dan sosial kepada korban, baik melalui

negara, sukarelawan, dan masyarakat (assistance).43

Sebagaimana diketahui bahwa kajian hukum pidana dalam kaitannya

dengan korban berkaitan dengan pertanyaan dasar mengenai apakah ada

kejahatan (pelanggaran hukum pidana) terjadi, siapa pelakunya dan siapa

yang menderita kerugian oleh suatu kejahatan, selanjutnya perlu ditambahkan

lagi apa kerugiannya dan bagaimana kerugian tersebut dipulihkan.

Konsep kejahatan dan siapa yang menjadi korban kejahatan adalah

pangkal-tolak untuk menjelaskan bagaimana posisi hukum korban. Ada dua

konsep kejahatan , pertama, kejahatan dipahami sebagai pelanggaran terhadap

negara atau kepentingan publik yang direpresentasikan oleh instrumen

demokratik negara dan, kedua, kejahatan dipahami sebagai pelanggaran

terhadap kepentingan orang perseorangan dan juga melanggar kepentingan

masyarakat, negara dan esensinya juga melanggar kepentingan pelakunya

sendiri. Konsep yang pertama dilandasi oleh pemikiran yang berbasis pada

konsep keadilan retributif (retributive justice) dan konsep yang kedua pada

konsep keadilan restoratif (restorative justice).44

Korban kejahatan adalah orang yang dirugikan karena pelanggaran

hukum pidana (kejahatan), pertama dan terutama adalah orang yang lansung

menderita karena kejahatan disebut korban sesungguhnya (primer), kemudian

43

Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu,

Yogyakarta, hlm. 177. 44

Ibid, hlm. 185-186

58

disebut korban, sedangkan yang lainnya sebagai korban yang tidak langsung

(sekunder). Dalam hal terjadinya suatu kejahatan, sebetulnya korban

utamanya adalah masyarakat dan negara, berupa hilangnya rasa damai dan

aman serta runtuhnya kewibawaan negara di mata masyarakat dalam artian

masyarakat akan menganggap bahwa negaranya tidak mampu melindungi

warganya dari kejahatan.

Dasar perspektif restorative justice bahwa konsep kejahatan adalah

perbuatan yang melanggar hak perseorangan (yaitu korban kejahatan), di

samping melanggar masyarakat, negara dan kepentingan pelanggar itu

sendiri. Jadi, setiap terjadinya pelanggaran hukum pidana sesungguhnya ada 4

(empat) kepentingan yang terkait, yaitu orang yang terlanggar haknya (korban

kejahatan), masyarakat, negara, dan pelanggar itu sendiri. Orang yang

terlanggar haknya (korban kejahatan) adalah sebagai pertama yang

berkepentingan, oleh sebab itu sistem peradilan pidana harus mengakses

keempat kepentingan tersebut dengan menempatkan kepentingan korban

kejahatan sebagai kepentingan yang utama karena tujuan penyelenggaraan

peradilan pidana adalah menyelesaikan konflik (conflict resolution) yang

terjadi akibat adanya pelanggaran hukum pidana, maka peranan negara dalam

sistem dikurangi dan sebaliknya pemberdayaan peran korban kejahatan dan

masyarakat di satu pihak dan pelanggar di pihak lain.45

Perlindungan hukum terhadap korban penyalahguna narkotika

didasarkan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

45

Ibid, hlm. 190.

59

bila diperhatikan di dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 lebih

banyak diatur mengenai pelaku dari pada mengenai korban. Kedudukan

korban dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tampaknya belum

optimal dibandingkan dengan kedudukan pelaku. Hal ini dapat dijelaskan,

dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 belum secara tegas

merumuskan ketentuan yang secara konkrit atau langsung memberikan

perlindungan hukum terhadap korban misalnya dalam hal penjatuhan pidana,

wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga

korban. Rumusan pasal-pasal dalam Undang-Undang 35 tahun 2009

cenderung pada rumusan tindak pidana, pertanggung jawaban dan ancaman

pidana.

Menurut Kardiyana, perlu adanya perlindungan hukum yang harus

diberikan kepada korban penyalahguna narkotika karena seseorang yang

menghadapai perkara penyalahgunaan narkotika diancam dengan hukuman

yang sangat berat, sehingga dalam peradilan si pelaku / si korban memang

perlu untuk mendapatkan bantuan hukum serta perlindungan hukum di

samping mereka mempunyai hak untuk dilindungi, dengan kata lain

walaupun terbukti bersalah mempunyai hak dalam perlindungan hukum.46

Pasal-pasal yang terkait dengan pertimbangan hukum yang diberikan

kepada pecandu/korban penyalahgunaan narkotika ialah :

Pasal 54

46

Kardiyana, Loc., Cit

60

Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 55

1. Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib

melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit dan/atau

lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh

pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

2. Pecandu yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan

oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit

dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk

oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan

melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

3. Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 103

1. Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat :

a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani

pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu

narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani

pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu

61

narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan penyalahgunaan

narkotika.

2. Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa

menjalani hukuman.

Berdasarkan Surat Edaran Nomor 04 Tahun 2010 tentang penempatan

penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan pecandu narkotika ke dalam

lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, bahwa penerapan

pemidanaan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 103 huruf a dan b Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika hanya

dapat dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana sebagai berikut :

a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN

dalam kondisi tertangkap tangan.

b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a diatas, ditemukan barang bukti

pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut :

1) Kelompok Metamphetamine (shabu) : 1 gram

2) Kelompok MDMA (ekstasi) : 2.4 gram = 8 butir

3) Kelompok Heroin : 1.8 gram

4) Kelompok Kokain : 1.8 gram

5) Kelompok Ganja : 5 gram

6) Daun Koka : 5 gram

7) Meskalin : 5 gram

8) Kelompok Psilosybin : 3 gram

62

9) Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) : 2 gram

10) Kelompok PCP (phencyclidine) : 3 gram

11) Kelompok fentanil : 1 gram

12) Kelompok Metadon : 0.5 gram

13) Kelompok Morfin : 1.8 gram

14) Kelompok Petidin : 0.96 gram

15) Kelompok Kodein : 72 gram

16) Kelompok Bufrenorfin : 32 mg

c. Surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan

permintaan penyidik.

d. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk

oleh hakim.

e. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran

gelap narkotika.

Pasal 127

1. Setiap penyalahguna :

a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara

paling lama 4 (empat) tahun.

b. Narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara

paling lama 2 (dua) tahun.

c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara

paling lama 1 (satu) tahun.

63

2. Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim

wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54,

Pasal 55, dan Pasal 103.

3. Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika,

penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi

sosial.

Pasal 127 ayat (3) menentukan : dalam hal penyalahguna sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban

penyalahgunaan narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan

korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja

menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau

diancam untuk menggunakan narkotika. Pengertian “tidak sengaja” ini

memang membingungkan, dalam KUHP terminologi “tidak sengaja” tidak

ditemukan, yang ada adalah “culpa” atau “lalai”. Culpa atau lalai tentulah

berbeda dengan tidak sengaja, karena culpa adalah kurang hati-hati atau tiada

penduga-duga. Wirjono Prodjodikoro memandang culpa ialah kesalahan pada

umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis,

yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat

seperti kesengajaan. Kalau yang dimaksudkan tidak sengaja merupakan

kebalikan dari sengaja, hal ini berarti tidak sengaja haruslah diartikan:

1. Tidak sengaja sebagai maksud atau tujuan,

2. Tidak sengaja sebagai keinsyafan kepastian,

3. Tidak sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan.47

Dibujuk tentulah mengacu pada pengertian dalam Pasal 55 KUHP ayat

(1) ke-2, yaitu adanya pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan

atau martabat, dengan paksaan, ancaman, penipuan, atau dengan memberi

kesempatan, sarana atau keterangan dan sengaja menganjurkan orang lain

supaya melakukan perbuatan. Karena membujuk haruslah menggunakan cara-

47

AR. Sujono dan Bony Daniel, Op. Cit., hlm. 301.

64

cara tersebut dalam KUHP baik yang membujuk maupun dibujuk dapat

dipidana, tetapi ternyata dalam ketentuan ini apabila dapat dibuktikan atau

terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika karena dibujuk tidak

dipidana namun demikian tetap wajib menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial.

Ditipu, berarti menggunakan cara-cara penipuan sehingga tertipu. Cara-

cara penipuan disini adalah adanya rangkaian kebohongan. Terkait dengan

teori “Obyektif Nachtragliche Prognose” dalam menentukan apakah suatu

kelakuan menjadi musabab dari akibat yang terlarang yang harus dijawab

ialah : apakah akibat itu, dengan mengingat semua keadaan-keadaan obyektif

yang ada pada saat sesudahnya terjadi akibat, dapat ditetapkan akan timbul

akibat dari kelakuan itu.48

Sebagai contoh adalah si A yang baru ikut

berkumpul bersama temannya, ia diberikan sebatang rokok dan kemudian

dihisap olehnya, tetapi sebelum itu diluar pengetahuannya, temannya tersebut

mencampurkan ganja dalam rokok tersebut, hingga pada saat itu terjadi razia

dan si A tertangkap dan setelah tes urine positif menggunakan narkotika yang

berjenis ganja. Dalam hal ini karena si A tidak mengetahui, bahwa temannya

mencampurkan ganja kedalam rokok tersebut maka seharusnya hal

penggunaan narkotika tersebut tidak dimasukkan dalam pertimbangan.

Karena si A tidak tahu tentang hal tersebut, maka dia tidak mempunyai

kesalahan atas penyalahgunaan narkotika tersebut, sehingga tak dapat pula

48

Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineke Cipta, cet.7, Jakarta, hlm. 110.

65

dipidana atau dikenakan pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Dipaksa dan/atau diancam, paksaan dapat berupa paksaan fisik maupun

psikis, demikian juga ancaman dapat berupa ancaman fisik maupun ancaman

psikis. Dalam Pasal 48 KUHP menyebutkan “Barang siapa melakukan

perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.

Dari uraian tersebut, maka penyalahgunaan narkotika yang dilakukan

wajib diberikan alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan

penggunaan narkotika tersebut. Jadi orang yang telah melakukan suatu tindak

pidana belum berarti ia harus dipidana. Sesuai dengan asas pertanggung

jawaban pidana yaitu „Tiada pidana tanpa kesalahan‟, asas ini sangat

dijunjung tinggi dan akan dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan jika

ada orang tidak bersalah dijatuhi pidana.

Terkait dengan pihak pengguna/user narkotika terhadap mereka sering

kali terjadi stigmatisasi dari masyarakat seperti seorang pelaku (pengedar)

padahal dia adalah korban dari narkotika tersebut. Para pecandu dan korban

penyalahguna narkotika haruslah dijamin untuk mendapatkan rehabilitasi

medis dan sosial. Dengan penyebutan istilah “rehabilitasi” sebagai bagian

dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dapat disimpulkan

bahwa istilah rehabilitasi terdiri dari 3 (tiga), yaitu :

1. Rehabilitasi : kegiatan untuk mencari alternatif-alternatif sebagai sarana

pemulihan untuk kepentingan kemanusiaan dan dalam rangka penelitian,

66

pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Sebagai contoh mencari

formula baru untuk kepentingan pengobatan dari suatu penyakit.

2. Rehabilitasi medis : proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk

membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. (Pasal 1 angka 16

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)

3. Rehabilitasi sosial : proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,

mental, maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali

melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. (Pasal 1 angka

17 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)