bab ii tinjauan perlindungan hukum …e-journal.uajy.ac.id/1158/4/3hk09869.pdfdalam bidang...
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
A. Faktor Penyebab Munculnya Kejahatan dan Penyalahgunaan Narkotika
1. Faktor Penyebab Munculnya Kejahatan
Dipandang dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu
perbuatan, yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi pidana. Hukum
pidana semacam itu tidak bertujuan melindungi masyarakat, tetapi
memperkuat alasan untuk menentang perbuatan sewenang-wenang dari
penguasa. Lebih jauh lagi kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan-
perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, bahkan di negara modern
hampir tiap perbuatan yang dicap sebagai kejahatan oleh hampir semua
penduduknya dirasakan sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan.4
Sebab terjadinya kejahatan telah menjadi subjek yang cukup banyak
mengundang spekulasi, teoritis, penelitian dan perdebatan di antara para ahli
maupun masyarakat umum. Salah satu pendekatan yang menjelaskan sebab
kejahatan tersebut, misalnya ada teori yang mengasumsikan kejahatan adalah
bagian dari manusia alamiah, keberadaan manusia tidak terlepas dari sifat
iblis. 5
4 W.A Bonger, 1982, Pengantar tentang Kriminologi, PT. Pembangunan, Jakarta, hlm. 19-20.
5 Susanto, 2011, Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta hlm.v
13
Dalam bidang pengetahuan ilmiah kriminologi telah banyak dilakukan
studi-studi tentang masalah ini dan perkembangan pendekatan terhadap
masalah ini, masalah ini pun erat kaitannya dengan perkembangan
pendekatan di dalam kriminologi. Pendekatan klasik tentang kenakalan
remaja menghubungkan perilaku ini dalam kerangka penjelasan teori
kehendak bebas dari Beccaria, sedangkan pendekatan neo-klasik seperti
Lombroso dan Gohring mengasumsikan adanya hubungan kausal antara
stigma dengan kejahatan, dan Gohring mengkaitkan dengan beberapa faktor
penyebab antara lain tingkat kecerdasan tertentu. Perkembangan selanjutnya
menunjukan menonjolnya pendekatan klinis dengan tokohnya William Healy
yang antara lain menyebutkan faktor-faktor tingkat kecerdasan, abnormalitas
mental, kondisi rumah yang buruk serta cacad-cacad turunan dan faktor yang
terletak pada sifat-sifat individual erat kaitannya dengan timbulnya
kejahatan.6
Faktor-faktor pembawaan dan lingkungan selalu saling mempengaruhi
timbal balik, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Faktor lingkungan
tergantung dari faktor pembawaan, oleh karena itu :
1. Lingkungan seseorang ini dalam batas-batas tertentu ditentukan oleh
pilihannya sendiri. Dalam hal ini kita dapat mengadakan perbedaan antara
lingkungan yang tak dapat dipilih, umpama lingkungan anak dalam masa-
6 Mulyana W.Kusumah, 1982, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.55-56.
14
masa mudanya, dan lingkungan yang disetujui atau menurut pilihannya,
umpama lingkungan orang dewasa pada umumnya.
2. Orangnya dapat banyak mempengaruhi dan merubah faktor-faktor
lingkungan ini, dan pengaruh dari faktor-faktor lingkungan terhadap
seseorang tertentu, sebagian besar tergantung dari kepekaannya dan lain-
lain sifatnya.
Pengaruh lingkungan dahulu sedikit-banyak ada dalam kepribadian
seseorang sekarang. Dalam batas-batas tertentu kebalikannya juga benar,
yaitu lingkungan yang telah mengelilingi seseorang untuk suatu waktu
tertentu mengandung pengaruh pribadinya. Faktor-faktor dinamis yang
bekerja dan saling mempengaruhi adalah baik faktor pembawaan maupun
lingkungan.7
Faktor-faktor yang mempengaruhi dan membentuk si anak mula masa
mudanya adalah faktor-faktor terpenting dari lingkungan kehidupannya yaitu
keluarga atau rumahnya (family or home). Memang menurut kriminologi
modern golongan faktor lingkungan ini merupakan suatu kesatuan yang
penting sekali bagi pembentukan kelakuan sosial si anak, yang akan disoroti
ialah tentang keadaan keluarga dan rumah antara lain :
1. Keadaan keluarga tidak wajar (a-typical) karena kelahiran anak diluar
pernikahan.
2. Penempatan anak di luar rumah.
7 NY. L. Moeljatno, 1982, Kriminologi, PT.Bina Aksara, Jakarta, hlm.44.
15
3. Keadaan keluarga a-typical lain, terutama mencakup broken home.
4. Keadaan-keadaan ekonomi keluarga, hubungan antar keluarga dan lain-
lain.
a. Anak tidak sah :
Sebab-sebab golongan anak tidak sah lebih besar kemungkinannya
untuk menjadi kriminal ialah :
1) Ibu-ibu diluar nikah dibanding dengan yang nikah, secara relatif
mempunyai fisik dan mental kurang, sedang diantara bapak-
bapaknya ada mempunyai depresi mental.
2) Keadaan-keadaan lingkungan yang merugikan terutama mengancam
masa kanak-kanak dan remaja sebagai penyebab yang langsung dan
tidak langsung.
Sebagian merupakan faktor-faktor ekonomi, sebagian keadaan-
keadaan keluarga yang tidak wajar, seperti ada bapak tiri atau ibu
tiri, atau tanpa bapak, atau berada di rumah penitipan anak, dan
sebagian lagi karena ada prasangka sosial dan perasaan dari si ibu
yang tidak menghendaki si anak, hal mana secara sadar atau tidak
sadar dapat mempengaruhi si anak.
b. Penempatan anak di luar rumah :
Ada perbedaan pendapat antara ahli kriminologi beraliran sosial (A)
dan yang beraliran modern (B) tentang lembaga keluarga rumah.
menurut (B) kehidupan dalam lingkungan keluarga yang normal dan
baik, adalah penting bagi pertumbuhan anak, agar ia dapat
16
menyesuaikan diri dengan masyarakat lingkungannya (dalam istilah
sekarang sehat sosial).
Sebaliknya menurut (A) lembaga keluarga merupakan sesuatu yang
buruk dan harus diganti dengan pendidikan dalam lembaga-lembaga
pemerintah yang bersifat kolektif.
c. Broken home (keluarga a-typical / tidak wajar)
Sudah sejak lama perhatian kriminologi tertuju kepada pentingnya
arti broken home bagi timbulnya kejahatan. Broken home terutama
mengenai rumah tinggal sebagai berikut : di mana salah satu orang tua
sudah meninggal, atau dimana orang tua tidak lagi hidup bersama
karena perceraian, perpisahan atau sebab-sebab lain.
Kondisi-kondisi keluarga tersebut dapat digolongkan dalam
golongan-golongan yang menyangkut faktor-faktor lebih luas yaitu :
keadaan keluarga rusak atau tidak wajar. Jadi meliputi semua keadaan
dengan susunan keluarga yang menyimpang dari yang normal.
d. Keadaan ekonomi di rumah.
Sesungguhnya perumusan tentang kondisi ekonomi keluarga
merupakan soal lain, maka kurang tepat untuk memperhatikan keadaan
penghasilan saja. Maka haruslah memperhitungkan faktor-faktor yang
secara umum, langsung mempengaruhi kondisi-kondisi penghasilan
seperti keadaan perumahan buruk, kontak dengan organisasi bantuan
sosial macam atau sifat pekerjaan orang tua, adanya pengangguran
17
dalam keluarga, jumlah anak, jatuh sakitnya si pencari uang dan lain-
lain.
Dalam menilai pentingnya kondisi-kondisi ekonomi rumah bagi
perkembangan si anak, hendaknya diperhatikan arti relatifnya kondisi-
kondisi demikian, misalnya lingkungan dimana si anak hidup, sejarah
perkembangan mental keluarga.8
Mengenai faktor penyebab munculnya kejahatan hal ini harus dikaji
sebelum dimungkinkan menjawab pertanyaan, apakah satu faktor, dan jika
demikian, yang mana dari keduanya yang memainkan peranan terpenting
dalam terjadinya kejahatan;
1. Pengaruh dari bakat terhadap lingkungan: berkali-kali telah tampak
bagaimana faktor-faktor bakat dapat mengarahkan seseorang berada dalam
suatu lingkungan yang tidak dapat diharapkan, apakah itu berdasarkan asal
usul dan kelahiran. Hal ini berlaku baik untuk mobilitas vertikal maupun
yang horizontal dan dapat berakibat baik atau buruk terhadap lingkungan
semula.
Untuk sebagian, suatu perubahan lingkungan yang demikian adalah akibat
dari suatu pilihan pekerjaan khusus. Pilihan pekerjaan khusus itu dapat
pula ditentukan oleh bakat, terutama dalam kasus-kasus dimana pilihan
pekerjaan khusus itu dalam keluarga atau kelompok, dimana si individu
berasal, terutama tidak lazim, dan dimana faktor imitasi (meniru) atau
pengaruh lingkungan tidak berperan.
8 Ibid. hlm 112-117.
18
2. Pengaruh dari lingkungan terhadap bakat. Dalam hal ini perlu dibedakan :
a. Pengaruh yang “tidak sebenarnya”, dimana akibat dari lingkungan
terhadap sifat-sifat yang ada dalam bakat :
1) Tidak tampak keluar atau tidak dapat berkembang. Misalnya, dalam
suatu lingkungan dimana setiap orang buta aksara, maka bakat
menulis tidak akan tampak keluar.
2) Dengan sengaja dikekang, terutama oleh orang tua atau para
pendidik. Misalnya, sifat rasa seni dalam suatu keluarga dimana ada
pendapat dominan, bahwa semua seni adalah tidak susila atau
seniman tidak ada akan dalam kemelaratan.
b. Pengaruh “yang sebenarnya”, dimana lingkungan mempengaruhi bakat
terutama para pengikut “behaviorism” berpendapat bahwa bakat pada
hakekatnya tidak berbeda-beda, sehingga sangat dipengaruhi oleh
lingkungan melalui jalan pembentukan kebiasaan.
Kejahatan dari seorang manusia normal adalah akibat kebersamaan dari
bakat dan lingkungan, dimana kali ini yang satu, kemudian faktor lain
lagi yang berpengaruh, dan dimana kedua faktor tersebut dapat saling
mempengaruhi.9
Telah disadari bahwa kejahatan dari segi apapun tidak boleh dibiarkan
merajalela dalam pergaulan hidup, oleh karena itu berbicara mengenai
kejahatan maka harus dibedakan mengenai kejahatan dalam arti yuridis
(perbuatan yang termasuk tindak pidana) dan kejahatan dalam arti sosiologis
9 J.E Sahetapy, 1992, Kriminologi Suatu Pengantar, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.124-126
19
(perbuatan yang patut dipidana). Perbuatan yang termasuk tindak pidana
adalah perbuatan dalam arti melanggar undang-undang, dan perbuatan yang
patut dipidana adalah perbuatan yang melanggar norma atau kesusilaan yang
ada di masyarakat tetapi tidak diatur dalam perundang-undangan.10
Anak dan Remaja adalah sumber potensial dari suatu negara yang besar.
Apabila mereka gagal untuk menyumbangkan darma baktinya kepada
kesejahteraan umum, atau yang lebih menyedihkan lagi bila mereka hanya
menjadi perusak dan penghalang, maka masyarakat tidak akan mengalami
kemajuan bahkan sebaliknya hanya akan mendapatkan kehancuran, karena
kejahatan dapat menyebabkan penderitaan pribadi maupun penderitaan
masyarakat.
Peningkatan kenakalan remaja merupakan ancaman serius bagi masa
depan suatu negara. Sikap pandang saat ini banyak remaja yang tidak jeli
dalam memilih kawan bergaulnya, sehingga banyak remaja yang tadinya
tergolong kategori positif, setelah lama bergaul dengan kawan-kawannya
yang termasuk kategori negatif, hilanglah sifat-sifat positif yang tadinya
melekat pada si remaja tersebut. Banyak remaja pecandu narkotika yang
semula kecanduannya diawali perasaan sekedar ingin tahu/iseng-iseng, tetapi
ternyata awal ingin tahu/iseng itu selanjutnya malah mewujudkan dirinya
sebagai seorang pengguna narkotika secara illegal, selain itu ada juga
pengaruh yang datangnya dari dalam diri remaja itu sendiri, diantaranya saja
datang dari rasa cemas, gelisah, sakit hati atau frustasi akibat gagal bercinta
10
Rena Yulia, 2010, VIKTIMOLOGI Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha
Ilmu, Yogyakarta, hlm.86.
20
atau sekolah, sehingga demi membebaskan segenap kerusuhan batin, remaja
tak jarang menyalahgunakan pemakaian narkotika, dalam angannya tumbuh
anggapan bahwa menggunakan narkotika akan menjadi malaikat pembebas
penderitaannya.
Dengan bidang jelajah viktimologi, hasilnya dapat digunakan untuk
usaha-usaha dalam melindungi dan memperbaiki kedudukan korban
kejahatan, disamping memberi kemungkinan dalam usaha-usaha untuk
mengubah nilai-nilai, aturan-aturan dan praktek yang menjadikan orang atau
masyarakat menjadi korban kejahatan, dengan demikian juga dapat digunakan
usaha-usaha perbaikan dalam penegakan hukum, sehingga dapat melindungi
korban kejahatan.
2. Penyebab Penyalahgunaan Narkotika
Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkam yang
berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.11
Secara etimologis
narkotika berasal dari bahasa Inggris yaitu narcose atau narcosis yang berarti
menidurkan.12
Narkotika berasal dari perkataan narcotic yang artinya sesuatu
yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stupor
(bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius.13
11
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Islam, Alumni, Bandung, hlm.36. 12
Jhon M. Elhols dan Hasan Sadili, 1996, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta,
hlm.390. 13
Ibid
21
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memberi
pengertian narkotika sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika pada dasarnya dapat dimanfaatkan dan digunakan secara legal
untuk kepentingan pengobatan atau pelayanan kesehatan dan ilmu
pengetahuan. Kenyataannya akhir-aknir ini banyak pengguna narkotika diluar
tujuan tersebut.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban dalam Pasal 1 ayat (2) korban adalah seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sementara pengertian korban dalam
lingkup viktimologi memiliki arti yang luas, karena tidak hanya terbatas pada
individu yang secara nyata menderita kerugian, tetapi juga kelompok,
korporasi swasta maupun pemerintah.14
Berita kriminal di media massa, baik media cetak maupun elektronik
dipenuhi oleh berita tentang penyalahgunaan narkotika. Korban narkotika
meluas ke semua lapisan masyarakat dari pelajar, mahasiswa, artis, supir
angkot, pekerja, anak jalanan dan pengangguran, hal ini dapat terjadi
dikarenakan narkotika dapat dengan mudah diperoleh bahkan sudah dapat di
14
Didik,1997, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Rineka Cipta,
Jakarta, hlm.3
22
racik sendiri dan pabrik narkotika secara ilegal pun sudah di dapati di
Indonesia.
Kejahatan narkotika merupakan kejahatan internasional (International
Crime) dan kejahatan yang terorganisir (Organize Crime), serta mempunyai
jaringan yang luas. Kejahatan internasional ini membuktikan adanya
peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan kearah organisasi kejahatan
transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukan kerja sama yang
bersifat regional maupun internasional.15
Hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tanggal 10 agustus
2011 pengguna narkoba di Indonesia berjumlah 3,81 juta jiwa. Fakta
menunjukkan dari 3,81 juta pengguna narkoba di indonesia, sebanyak 232
diantaranya adalah perempuan, tidak hanya itu, populasi perempuan di
Indonesia cukup besar, yakni mencapai 49,9 persen. Semakin banyak
perempuan yang menjadi pengguna narkoba, maka nasib generasi bangsa
kedepan semakin terancam. Kalau digabung perempuan dengan anak maka
jumlah mayoritas, yakni mencapai 70 persen. Anak yang dimaksud ialah
mereka yang berusia di bawah 18 tahun.16
Data ungkap penyalahgunaan narkotika yang ada di Polresta Yogyakarta
dari tahun 2010 - 2012 ialah :
15
Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologis Hukum,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. hlm.2 16
http://www.depdagri.go.id/news/2011/08/10/pengguna-narkoba-di-indonesia-381-juta, Fajar,
Pengguna Narkoba di Indonesia 3,81 juta, 6 Maret 2012.
23
DATA UNGKAP TAHUN 2010
TAHUN KLASIFIKASI
TSK
PROFESI TSK BARANG
BUKTI
2010 1) Laki-laki:
90 Orang
2) Perempuan:
3 Orang
Mahasiswa : 30
Orang
Swasta : 28
Orang
Wiraswasta : 15
Orang
Buruh : 2
Orang
Seniman : 1
Orang
TK Parkir : 3
Orang
Dagang : 4
Orang
Pengangguran : 5
Orang
Sopir : 1
Orang
Pelajar : 4
Orang
Shabu : 14,5 gr
Putaw : 0,5 gr
Ganja : 7957,6
gr
Ekstasy : 190 btr
DATA UNGKAP TAHUN 2011
TAHUN KLASIFIKASI
TSK
PROFESI TSK BARANG
BUKTI
2011 1) Laki-laki:
64 Orang
2) Perempuan:
2 Orang
Mahasiswa : 20
Orang
Swasta : 18
Orang
Wiraswasta : 14
Orang
Buruh : 2
Shabu : 14,9 gr
Ganja: 1404,66
gr
24
Orang
Seniman : 1
Orang
TK Parkir : 1
Orang
Pengangguran : 5
Orang
Pelajar : 1
Orang
Satpam : 2
Orang
Pengamen : 2
Orang
DATA UNGKAP TAHUN 2012
TAHUN KLASIFIKASI
TSK
PROFESI TSK BARANG
BUKTI
JANUARI s/d
APRIL
2012
1) Laki-laki:
34 Orang
2) Perempuan:
- Orang
Mahasiswa : 14
Orang
Wiraswasta : 7
Orang
Pengangguran : 4
Orang
Buruh : 3
Orang
Seniman : 1
Orang
Freelance : 1
Orang
Sopir : 1
Orang
Penulis : 1
Orang
Swasta : 2
Orang
Ganja : 4262,3
gr
Shabu : 1,2 gr
Heroin : 101 gr
25
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
dalam Pasal 1 ayat (15) yang dimaksud dengan Penyalahgunaan narkotika
ialah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Penyalahgunaan narkotika dapat diartikan sebagai tindakan atau perbuatan
yang tidak sebagaimana mestinya (menyimpang atau bertentengan dengan
yang seharusnya) yang mempergunakan narkotika secara berlebihan
(overdosis) sehingga membahayakan diri sendiri, baik secara fisik maupun
psikis.17
Menurut Dr. Luthfi Baraja, terdapat tiga pendekatan untuk terjadinya
penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika yaitu pendekatan
organobiologik, psikodinamik dan psikososial. Ketiga pendekatan tersebut
tidaklah berdiri sendiri melainkan saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Dari sudut pandang organobiologik (susunan syaraf pusat/otak) mekanisme
terjadinya adiksi (ketagihan) hingga dependensi (ketergantungan) dikenal
dengan dua istilah, yaitu gangguan mental organik atau sindrom otak organik;
seperti gaduh, gelisah, dan kekacauan dalam fungsi kongnitif (alam pikiran),
efektif (alam perasaan/emosi) dan psikomotor (perilaku) yang disebabkan
efek langsung terhadap susunan syaraf pusat (otak).18
Seseorang akan menjadi ketergantungan narkotika, apabila seseorang
dengan terus-menerus diberikan zat tersebut. Hal ini berkaitan dengan teori
adaptasi sekuler (neuro-adaptation), tubuh beradaptasi dengan menambah
jumlah teseptor dan sel-sel syaraf bekerja keras. Jika zat dihentikan , sel yang
masih bekerja keras tadi mengalami kehausan, yang dari luar tampak sebagai
gejala-gejala putus obat. Gejala putus obat tersebut memaksa orang untuk
mengulangi pemakaian zat tersebut.19
Dengan teori psikodinamik dinyatakan bahwa seseorang akan terlibat
penyalahgunaan narkotika sampai ketergantungan, apabila pada orang itu
terdapat faktor penyebab (factor contribusi) dan faktor pencetus yang saling
17
A.W Widjaya,1985, Masalah kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, Amirco,
Bandung, hlm.13 18
Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkoba Dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana
Nasional, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.99 19
Ibid. hlm.100.
26
keterkaitan satu dengan yang lain. Faktor predisposisi seseorang dengan
gangguan kepribadian (anti sosial) ditandai dengan perasaan tidak puas
terhadap orang lain. Selain itu yang bersangkutan tidak mampu untuk
berfungsi secara wajar dan efektif dalam pergaulan di rumah, di sekolah, atau
di tempat kerja, gangguan lain sebagai penyerta berupa rasa cemas dan
depresi. Untuk mengatasi ketidak mampuan dan menghilangkan rasa
kecemasan atau depresinya, maka orang tersebut cenderung untuk
menggunakan narkotika. Semestinya orang itu dapat mengobati dirinya
dengan datang ke dokter/psikiater untuk mendapatkan terapi yang tepat
sehingga dapat dicegah keterlibatannya dalam penyalahgunaan narkotika.
Faktor kontribusi; seseorang dengan kondisi keluarga yang tidak baik
akan merasa tertekan, dan rasa tertekan inilah sebagai faktor penyerta bagi
dirinya untuk terlibat dalam penyalahgunaan narkotika. Disfungsi keluarga
yang dimaksud antara lain: keluarga tidak utuh, kedua orang tua terlalu sibuk,
lingkungan interpersonal dengan orang tua yang tidak baik.
Faktor pencetus; bahwa pengaruh teman sebaya, tersedia dan mudah di
dapatinya narkotika mempunyai andil sebagai faktor pencetus seseorang
terlibat penyalahgunaan/ketergantungan narkotika.20
Pada awalnya narkotika ditemukan untuk kepentingan pengobatan dan
menolong orang sakit, sejak zaman prasejarah manusia sudah mengenal zat
psikoaktif (termasuk didalamnya narkotika, psikotropika, alkohol, dan zat-zat
20
Ibid.
27
lainnya yang memabukkan). Berbagai dedaunan, buah-buahan, akar-akaran,
dan bunga dari berbagai jenis tanaman yang sudah lama diketahui manusia
akan efek farmatologinya, sejarah mencatat ganja sudah digunakan orang
sejak tahun 2700 SM. Opium telah digunakan bangsa Mesir kuno untuk
menenangkan bagi yang sedang menangis, meskipun demikian, di samping
zat-zat tersebut digunakan untuk pengobatan, namun tidak jarang pula
digunakan untuk kepentingan kenikmatan secara pribadi.21
Pengguna zat psikoaktif pada satu sisi terkadang memiliki keterkaitan
dengan keadaan suatu masyarakat, hal ini disebabkan beberapa zat tertentu
dibenarkan pemakaiannya oleh masyarakat tertentu pula, karena berhubungan
dengan adat dan keberagaman, sedangkan zat yang sama ditentang oleh
bangsa lain.22
Hubungan antar bangsa di dunia yang juga bertambah pesat
juga menyebabkan kemajuan dibidang teknologi telekomunikasi dan media
massa yang begitu cepatnya akan berimplikasi pada tersebarnya psikoaktif
dan semakin dikenal umat manusia, serta semakin bertambah pada kasus-
kasus penyalahgunaan narkotika.
Dalam negara Indonesia obat-obatan untuk tujuan medis secara legal
diresepkan oleh dokter atau apoteker terdidik guna mencegah dan mengobati
penyakit, contoh dari obat-obatan ini seperti pelega tenggorokan,
parasetamol, sirup batuk, dan aspirin. Akan tetapi, pemakaian obat tanpa
21
Danny I. Yatim, 1989, Kepribadian, Keluarga dan Narkotika: Tinjauan Sosial-Psikologis, Pen
Arcan , Jakarta, hlm.51. 22
BA. Sitanggang, 1981, Pendidikan Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Karya Utama,
Jakarta, hlm.67.
28
petunjuk medis merupakan penyalahgunaan. Biasanyaa penyalahgunaan akan
memiliki akibat yang serius dan dalam beberapa kasus biasanya dapat
menjadi fatal.
Seorang penyalahguna narkotika tidak dapat hidup secara normal, ia
bertingkah laku aneh dan menciptakan ketergantungan fisik dan psikologis
pada tingkat yang berbeda-beda. Ketergantungan narkotika berarti tidak akan
dapat hidup tanpa narkotika, hal ini dikarenakan ketergantungan fisik
menyebabkan timbulnya rasa sakit bila ada usaha untuk mengurangi
pemakaiannya bila pemakaiannya dihentikan. Ketergantungan secara
psikologis menimbulkan tingkah laku yang kompulsif untuk memperoleh
narkotika tersebut, keadaan ini semakin memburuk jika tubuh sang pemakai
menjadi kebal akan narkotika, sehingga kebutuhan tubuh akan narkotika
menjadi meningkat untuk dapat sampai pada efek yang sama tingginya. Dosis
yang tinggi dan pemakaian yang sering, diperlukan untuk menenangkan
keinginan yang besar, dan hal ini dapat menyebabkan kematian.23
Banyak penyebab seseorang menyalahgunakan obat-obatan terlarang
atau narkotika sehingga menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
penyebabnya adalah :
1. Keingin tahuan yang besar tanpa sadar akibatnya.
2. Keinginan untuk mencoba karena penasaran.
3. Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun).
4. Keinginan untuk mengikuti tren atau gaya (fashionable).
5. Keinginan untuk diterima oleh lingkungan pergaulannya.
6. Lari dari kebosanan atau kegetiran hidup.
7. Pengertian yang salah bahwa penggunaan yang sekali-sekali tidak akan
menimbulkan ketagihan.
23
Hadiman, 2005, Pengawasan Serta Peran Aktif Orang Tua dan Aparat Dalam Penanggulangan
dan Penyalahgunaan Narkoba, Jakarta, hlm.5.
29
8. Semakin mudah untuk mendapatkan narkotika dimana-mana dengan harga
relatif murah. (available).
9. Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga tidak
mampu menolak narkotika secara tegas.24
Menurut Sudarsono, bahwa penyalahgunaan narkotika di latar belakangi
oleh beberapa sebab, yaitu :
1. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang
berbahaya seperti ngebut dan bergaul dengan wanita.
2. Menunjukkan tindakan menentang orang tua, guru dan norma sosial.
3. Mempermudah penyaluran dan perbuatan seks.
4. Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman
emosional.
5. Mencari dan menemukan arti hidup.
6. Mengisi kekosongan dan kesepian hidup.
7. Menghilangkan kegelisahan, frustasi dan kepepet hidup.
8. Mengikuti kemauan kawan-kawan dalam rangka pembinaan solidaritas
9. Iseng-iseng saja dan rasa ingin tahu. 25
Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli, setidaknya ada
beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan narkotika
diantaranya sebagai berikut :
1. Faktor individu, terdiri dari aspek kepribadian, dan kecemasan/depresi,
yang termasuk dalam aspek kepribadian antara lain, kepribadian yang
ingin tahu, mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan
yang termasuk dalam kecemasan/depresi adalah karena tidak mampu
menyelesaikan kesulitan hidup, sehingga melarikan diri dalam penggunaan
narkotika dan obat-obat terlarang.
2. Faktor sosial budaya, terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh teman.
Kondisi keluarga disini merupakan kondisi yang disharmonis seperti orang
tua yang bercerai, orang tua yang sibuk dan jarang dirumah, serta
24
Ibid hlm.10. 25
Sudarsono, 1992, Kenakalan Remaja, Rineke Cipta, jakarta, hlm.67.
30
perekonomian keluarga yang serba berlebihan maupun yang serba
kekurangan. Sedangkan yang termasuk dalam pengaruh teman misalnya
karena berteman dengan seorang yang ternyata pemakai narkotika dan
ingin diterima dalam suatu kelompok.
3. Faktor lingkungan, lingkungan yang tidak baik maupun tidak mendukung
dan menampung segala sesuatu yang menyangkut perkembangan
psikologis anak dan kurangnya perhatian terhadap anak, juga bisa
mengarahkan seorang anak untuk menjadi user/pemakai narkotika.
4. Faktor narkotika itu sendiri. Mudahnya didapati didukung dengan faktor
yang sudah disebut diatas, semakin memperlengkap timbulnya
penyalahgunaan narkotika.26
Dalam penjelasan hasil wawancara mengenai penyebab penyalahgunaan
narkotika yang dikemukakan oleh Kardiyana, penyebab penyalahgunaan
narkotika antara tersangka yang satu dan tersangka yang lain itu berbeda, ada
beberapa penyebab, yaitu :
1. Orientasi pada ekonomi,
Menyalahgunakan narkotika untuk kesenangan sesaat, disebabkan karena
situasi ekonomi yang berlebihan ataupun yang kekurangan.
Sementara bagi pengedar/penjual narkotika secara ilegal tersebut hal ini
merupakan menjadi pekerjaan yang sangat besar keuntungannya untuk
memperoleh uang.
26
AR. Sujono dan Bony Daniel, 2011, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.7.
31
2. Faktor keluarga, (Broken Home)
Dalam kehidupan keluarga mempunyai pengaruh untuk seseorang
melakukan penyalahgunaan narkotika, keluarga yang dimaksud
diantaranya ialah keluarga yang bermasalah, seperti keluarga tidak utuh
(tanpa adanya ayah / tanpa adanya ibu), terjadinya pertengkaran dalam
keluarga yang terus-menerus (tidak harmonis), dan kurangnya
mendapatkan perhatian serta kasih sayang dari orang tua.
3. Penyebab situasi lingkungan,
Aktivitas ingkungan di sekitar rumah sangat berpengaruh, karena sebagian
tersangka saat di interogasi memberikan alasan penyalahgunaan narkotika
karena di lingkungannya mudah di dapati narkotika tersebut.
4. Karena hobi, (hobby)
Ada tersangka yang mengatakan karena telah hobi menggunakan
narkotika, dalam hal ini sangat sulit penanganannya untuk memberikan
kesadaran kepada tersangka tersebut.
5. Rasa ingin tahu / coba-coba,
Ingin tahu rasa menggunakan atau memakai narkotika tersebut.
6. Terlanjur kecanduan,
Karena sekali menggunakan dan kemudian tetap ingin menggunakan
narkotika tersebut.
7. Karena ketergantungan,
32
Saat pengguna narkotika tersebut merasakan sakit/sakaw, maka berusaha
untuk mendapatkan narkotika itu agar sakit yang dirasakan dapat sembuh
atau sehat kembali.
Jenis narkotika yang sering didapati dari penyalahguna narkotika tersebut
ialah ganja (baik tanaman yang sudah dipanen maupun yang sedang ditanam),
shabu-shabu, putaw, ekstasi, dan heroin.27
Berikut ini penulis kemukakan beberapa jenis narkotika yang cukup
populer dan sering disalahgunakan :
1. Opium
Opium adalah getah berwarna putih seperti susu yang keluar dari kotak biji
tanaman papaver samni vervum yang belum masak. Jika buah candu yang
bulat telur itu kena torehan, getah tersebut jika ditampung dan kemudian
dijemur akan menjadi opium mentah. Cara modern untuk memprosesnya
sekarang adalah dengan jalan mengolah jeraminya secara besar-besaran,
kemudian dari jerami candu yang matang setelah diproses akan
menghasilkan alkolida dalam bentuk cairan, padat dan bubuk.28
Dalam perkembangan selanjutnya opium dibagi menjadi :
a. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari dua
tanaman papaver somni verum yang hanya mengalami pengolahan
27
Kardiyana, Pangkat AIPTU, Jabatan KURMINTU (kepala urusan administrasi satuan narkoba
Polresta Yogyakarta), Hasil Wawancara, tanggal 11 April 2012, Polrestabes Yogyakarta. 28
Andi Hamzah dan RM. Surahman, 1994, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm.16.
33
sekedar untuk pembungkusan dari pengangkutan tanpa memerhatikan
kadar morfinnya.
b. Opium masak adalah :
1) Candu, yakni yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu
rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan pemanasan dan
peragian, atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud
mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
2) Jicing, yakni sisa-sisa dari candu yang telah dihisap, tanpa
memerhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan
lain.
3) Jicingko, yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
c. Opium obat adalah opium mentah yang tidak mengalami pengolahan
sehingga sesuai untuk pengobatan baik dalam bubuk atau dicampur
dengan zat-zat netral sesuai dengan syarat farmakologi.
2. Morphin
Perkataan “morphin” itu berasal dari bahasa Yunani “Morpheus” yang
artinya dewa mimpi yang dipuja-puja, nama ini cocok dengan pecandu
morphin, karena merasa play di awang-awang.
Morphin adalah jenis narkotika yang bahan bakunya berasal dari candu
atau opium, sekitar 4-21% morphin dapat dihasilkan dari opium. Morphin
adalah prototipe analgetik yang kuat, tidak berbau, rasanya pahit,
berbentuk kristal putih, dan warnanya makin lama berubah menjadi
kecokelat-cokelatan.
34
Morphin adalah alkoloida utama dari opium, ada tiga macam morphin
yang beredar di masyarakat, yaitu :
a. Cairan yang berwarna putih, yang disimpan di dalam sampul atau botol
kecil dan pemakaiannya dengan cara injeksi.
b. Bubuk atau serbuk berwarna putih seperti bubuk kapur atau tepung dan
mudah larut di dalam air, ia cepat sekali lenyap tanpa bekas.
Pemakaiannya adalah dengan cara menginjeksi, merokok, dan kadang-
kadang dengan menyilet tubuh.
c. Tablet kecil berwarna putih, pemakaiannya dengan menelan
Efek yang ditimbulkan : Mengalami pelambatan dan kekacauan pada saat
berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari, mengalami kerusakan
pada liver dan ginjal, peningkatan terkena resiko virus HIV, hepatitid,
penyakit infeksi lainnya melalui jarum suntik serta penurunan hasrat dalam
hubungan sex, dan kematian karena overdosis.
Gejala intoksikasi (keracunan) : konstraksi pupil (dilatasi pupil karena
anoksida akibat overdosis berat) dan satu atau lebih tanda berikut yang
berkembang selama, atau segera setelah pemakaiannya, yaitu menjadi
mengantuk atau koma bicara, gangguan atensi atau daya ingat. Perilaku
perubahan psikologis yang bermakna secara klinis misalnya euforia awal
diikuti oleh apatis, disforia, agitasi atau retardari psikomotor, gangguan
pertimbangan, atau gangguan fungsi sosial.
Gejala putus obat : gejala putus obat dimulai dalam enam (6) sampai
delapan (8) jam setelah dosis terakhir. Biasanya setelah suatu periode satu
35
sampai dua minggu pemakaian kontinu atau pemberian antagonis narkotik.
Sindroma putus obat mencapai puncak intensitasnya selama hari kedua
atau ketiga dan menghilang selama 7 sampai 10 hari setelahnya, tetapi
beberapa gejala mungkin menetap selama enam bulan atau lebih lama.29
3. Ganja
Tanaman ganja adalah damar yang diambil dari semua tanaman genus
cannabis, termasuk biji dan buahnya. Damar ganja adalah damar yang
diambil dari tanaman ganja, termasuk hasil pengolahannya yang
menggunakan damar sebagai bahan dasar.
Ganja bagi para pengedar maupun pecandu diistilahkan dengan cimeng,
gele, daun, rumput jayus, jum, barang, marijuana, gelek hijau, bunga, ikat,
dan labang. Pohon ganja termasuk tumbuhan liar, ia dapat tumbuh di
daerah tropis maupun subtropis, pohon ini tahan terhadap macam-macam
musim dan iklim., sehingga pohon ini dapat tumbuh di daratan Tiongkok
Asia Barat, Asia Tengah, dan Afrika bagian utara.
Efek yang ditimbulkan : efek euforia dari ganja telah dikenal, efek medis
yang potensial adalah sebagai analgesik, antic-onvulsan dan hipnotik.
Belakangan ini juga telah berhasil digunakan untuk mengobati mual
sekunder yang disebabkan terapi kanker dan untuk menstimulasi nafsu
makan pada pasien dengan sindroma imunodefisiensi sindrom. Ganja juga
digunakan untuk pengobatan glaukoma.
4. Cocaine
29
Hadiman, Op. Cit., hlm 90.
36
tanaman koka adalah tanaman dari semua genus erithroxylon dari keluarga
erythroxlaceae. Daun koka adalah daun yang belum atau sudah
dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus
erythroxylon dari keluarga erythroxlaceae, yang menghasilkan kokain
secara langsung atau melalui perubahan kimia. Kokain mentah adalah
semua hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara
langsung untuk mendapatkan koakain.
Tanaman koka tumbuh dan subur di daerah yang berketinggian 400-600
meter di atas permukaan laut. Di Indonesia tanaman koka ini banyak
terdapat di daerah Jawa Timur, sedangkan penghasil koka terbesar ialah
bagian negara Amerika Selatan, yaitu Bolivia dan Peru yang tumbuh di
lereng gunung ades.
Bentuk dan macam cocaine yang terdapat di dunia perdagangan gelap
diantaranya yaitu :
a. Cairan berwarna putih atau tanpa warna,
b. Kristal berwarna putih seperti damar (getah perca),
c. Bubuk berwarna putih seperti tepung,
d. Tablet berwarna putih.
Efek yang ditimbulkan : kokain digunakan karena secara karakteristik
menyebabkan elasi, eufiria, peningkatan harga diri dan perasaan perbaikan
pada tugas mental dan fisik. Kokain dalam dosis rendah dapat disertai
dengan perbaikan kinerja pada beberapa tugas kognitif.
36
tanaman koka adalah tanaman dari semua genus erithroxylon dari keluarga
erythroxlaceae. Daun koka adalah daun yang belum atau sudah
dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus
erythroxylon dari keluarga erythroxlaceae, yang menghasilkan kokain
secara langsung atau melalui perubahan kimia. Kokain mentah adalah
semua hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara
langsung untuk mendapatkan koakain.
Tanaman koka tumbuh dan subur di daerah yang berketinggian 400-600
meter di atas permukaan laut. Di Indonesia tanaman koka ini banyak
terdapat di daerah Jawa Timur, sedangkan penghasil koka terbesar ialah
bagian negara Amerika Selatan, yaitu Bolivia dan Peru yang tumbuh di
lereng gunung ades.
Bentuk dan macam cocaine yang terdapat di dunia perdagangan gelap
diantaranya yaitu :
a. Cairan berwarna putih atau tanpa warna,
b. Kristal berwarna putih seperti damar (getah perca),
c. Bubuk berwarna putih seperti tepung,
d. Tablet berwarna putih.
Efek yang ditimbulkan : kokain digunakan karena secara karakteristik
menyebabkan elasi, eufiria, peningkatan harga diri dan perasaan perbaikan
pada tugas mental dan fisik. Kokain dalam dosis rendah dapat disertai
dengan perbaikan kinerja pada beberapa tugas kognitif.
37
Gejala intoksikasi kokain : pada pengguna kokain dosis tinggi gejala
intoksikasi dapat terjadi, seperti agitasi iritabilitas gangguan dalam
pertimbangan perilaku seksual yang impulsif.
Gejala putus zat : setelah menghentikan pemakaian kokain atau setelah
intoksikasi akut terjadi depresi pascaintoksikasi (crash) yang ditandai
dengan disforia, anhedonia, kecemasan, iritabilitas kelelahan,
hipersomnolensi. Pada pemakaian kokain ringan sampai sedang, gejala
putus kokain menghilang dalam 18 jam, pada pemakaian berat gejala putus
kokain bisa berlangsung sampai satu minggu. Gejala putus kokain juga
dapat disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri, orang yang
mengalami putus kokain seringkali berusaha mengobati sendiri gejalanya
dengan alkohol, sedatif hipnotik, atau obat antiensletas seperti diazepam
(valium).
5. Heroin
Setelah ditemukan zat kimia morphine pada tahun 1806 oleh Fredich
Sertumer, kemudian pada tahun 1898 Dr.Dresser, seorang ilmuwan
kebangsaan jerman, telah menemukan zat heroin. Semula zat baru ini
diduga dapat menggantikan morphine dalam dunia kedokteran dan
bermanfaat untuk mengobati para morpinis, akan tetapi harapan tersebut
tidak berlangsung lama, karena terbukti adanya kecanduan yang
berlebihan bahkan lebih cepat dari pada morphine serta lebih susah
disembuhkan bagi para pecandunya.
38
Heroin adalah suatu zat semi sintesis turunan morphine, pembuatan heroin
melalui proses penyulingan dan proses kimia lainnya di laboratorium
dengan cara acethalasi dengan aceticanydrida. Bahan bakunya adalah
morphine, asam cuka, anhidraid atau asetilklorid. Heroin dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Heroin nomor satu, bentuknya masih merupakan bubuk atau gumpalan
yang berwarna kuning tua sampai cokelat, jenis ini sebagian besar
masih berisi morphine dan merupakan hasil ekstraksi, nama di pasaran
gelapnya disebut gula merah (red sugar).
b. Heroin nomor dua, sudah merupakan bubuk berwarna abu-abu sampai
putih dan masih merupakan bentuk transisi dari morphine ke heroin
yang belum murni.
c. Heroin nomor tiga, merupakan bubuk butir-butir kecil kebanyakan agak
berwarna abu-abu juga diberi warna lain untuk menandai ciri khas oleh
pembuatnya. Biasanya masih di campur kafein, barbital, dan kinin.
d. Heroin nomor empat, bentuknya sudah merupakan kristal khusus untuk
disuntikkan.
Si pemakai biasanya menggunakan dengan menyedot, dan yang lebih
praktis diinjeksikan.
6. Shabu-shabu
Shabu-shabu berbentuk seperti bumbu masak, yakni kristal kecil-kecil
berwarna putih, tidak berbau, serta mudah larut dalam air alkohol. Air
shabu-shabu juga termasuk dalam turunan amphetamine yang jika
39
dikonsumsi memiliki pengaruh yang kuat terhadap fungsi otak,
pemakaiannya segera akan aktif, banyak ide, tidak merasa lelah meski
sudah bekerja lama, tidak merasa lapar, dan tiba-tiba memiliki rasa
percaya diri yang besar.
7. Putaw
Jenis narkotika ini marak diperedarkan dan dikonsumsi oleh generasi
muda dewasa ini, khususnya sebagai “trend anak modern”, agar dianggap
tidak ketinggalan zaman. Istilah putaw sebenarnya merupakan minuman
khas Cina yang mengandung alkohol dan rasanya seperti green sand, ,
akan tetapi oleh para pecandu narkotika barang sejenis heroin yang masih
serumpun dengan ganja itu dijuluki putaw. Hanya saja kadar narkotika
yang dikandung putaw lebih rendah atau dapat disebut heroin kualitas
empat sampai enam.
Para junkies (istilah bagi para pecandu putaw), mereka biasanya dengan
cara mengejar dragon (naga), yaitu bubuk/kristal putaw dipanaskan diatas
kertas timah, lalu keluarlah yang menyerupai dragon (naga) kemudian
asap itu dihisap melalui hidung atau mulut. Cara lain adalah dengan
nyipet, yaitu cara menyuntikan putaw yang dilarutkan kedalam air hangat
ke pembuluh darah , kemungkinan tertular virus HIV/AIDS menjadi resiko
cara seperti ini, karena memakai jarum suntik secara bersamaan, jadi
kebanyakan dari mereka (jungkies) memilih dengan cara mengejar
dragon.30
30
Mardani, Op. Cit., hlm.88.
40
8. Ectasy
Ectasy ditemukan dan mulai dibuat pada kurun waktu tahun 1950an,
industri militer Amerika Serikat mengalami kegagalan didalam percobaan
penggunaan ectasy sebagai serum kebenaran, setelah itu ectasy dipakai
oleh para dokter ahli jiwa. Ectasy mulai beraksi setelah 20 sampai 60
menit digunakan. Efeknya seluruh tubuh akan terasa melayang, kadang-
kadang lengan, kaki, dan rahang terasa kaku, serta mulut terasa kering,
pupil mata membesar dan jantung berdegup lebih kencang. Jenis reaksi
fisik tersebut biasanya tidak terlalu lama, selebihnya akan timbul perasaan
seolah-olah akan menjadi hebat dalam segala hal dan segala perasaan malu
menjadi hilang, pikiran terasa kosong, rileks, dan asyik.31
B. Hak dan Kewajiban Korban Penyalahgunaan Narkotika
1. Hak dan kewajiban korban pada umumnya
Penjabaran HAM berkaitan dengan perlindungan korban dan saksi
tertuang dalam beberapa undang-undang, dapat dikemukakan bahwa menurut
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi
dan korban, disebutkan perlindungan saksi dan korban berdasarkan pada :
1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia,
2. Rasa aman,
3. Keadilan,
4. Tidak diskriminatif,
31
Hadiman, Op.Cit., hlm. 84.
41
5. Kepastian hukum.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) lebih
mengutamakan hak-hak tersangka / terdakwa, namun demikian terdapat
beberapa asas KUHAP yang dapat dijadikan landasan perlindungan korban,
misalnya :
1. Perlakuan yang sama di depan hukum.
2. Asas cepat, sederhana dan biaya ringan.
3. Peradilan yang bebas.
4. Peradilan terbuka untuk umum.
5. Ganti kerugian.
6. Keadilan dan kepastian hukum.32
Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian tentu korban
mempunyai hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban. Untuk
mengetahui hak-hak korban secara yuridis dapat dilihat dalam perundang-
undangan, salah satunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Pasal 5
undang-undang tersebut menyebutkan beberapa hak korban dan saksi yaitu
sebagai berikut :
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
32
Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban dan saksi, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm.36.
42
2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan.
3. Memberikan keterangan tanpa tekanan.
4. Mendapat penerjemah.
5. Bebas dari pertanyaan menjerat.
6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.
8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.
9. Mendapat identitas baru.
10. Mendapatkan tempat kediaman baru.
11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
12. Mendapat nasihat hukum.
13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
Adapun hak-hak para korban menurut Van Boven adalah hak untuk
tahu, hak atas keadilan, dan hak atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang
menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun nonmaterial
bagi para korban.33
Menurut Arif Gosita hak-hak korban itu mencakup :
1. Mendapatkan ganti kerugian atau penderitaannya. Pemberian ganti
kerugian tersebut harus sesuai dengan kemampuan memberi ganti kerugian
pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban dalam terjadinya
kejahatan dan delikuensi tersebut.
33
Theo Van Boven, 2002, Mereka yang Menjadi Korban, Elsam, Jakarta, hlm. xv.
43
2. Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku, (tidak mau diberi restitusi
karena tidak memerlukannya)
3. Mendapatkan restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya bila pihak korban
meninggal dunia karena tindakan tersebut.
4. Mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi.
5. Mendapat hak miliknya kembali.
6. Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor dan
menjadi saksi.
7. Mendapatkan bantuan penasihat hukum.
8. Mempergunakan upaya hukum. (rechtmidden).34
Dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum mengedepankan
hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan. Banyak
ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang
memadai baik perlindungan yang sifatnya immateriil maupun materiil, korban
kejahatan lebih ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan
yaitu hanya sebagai saksi, sehingga kemungkinan bagi korban untuk
memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan hak nya adalah kecil.
Pemenuhan terhadap hak-hak korban merupakan hal yang terpenting
dalam perlindungan korban. Bagi negara dan/atau pemerintah merupakan
keharusan dan wajib hukumnya mendorong, mendukung, dan memenuhi
kewajiban untuk melindungi warganya termasuk korban sesuai perintah
Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang ada.
Keseimbangan dari hak yang melekat, terdapat kewajiban-kewajiban
yang harus dilakukan oleh korban, yaitu sebagai berikut :
1. Tidak membuat korban dengan mengadakan pembalasan (main hakim
sendiri).
34
Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, CV Akademika Pressindo, Jakarta, hlm.53.
44
2. Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah perbuatan, dan korban lebih
banyak lagi.
3. Mencegah kehancuran si pembuat korban baik oleh diri sendiri maupun
oleh orang lain.
4. Ikut serta membina pembuat korban.
5. Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi.
6. Tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan
pembuat korban.
7. Memberi kesempatan kepada pembuat korban untuk memberi kompensasi
pada pihak korban sesuai dengan kemampuan (mencicil bertahap/imbalan
jasa).
8. Menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan.35
2. Hak dan kewajiban korban penyalahgunaan narkotika
Dalam penjelasan Pasal 54, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja
menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau
diancam untuk menggunakan narkotika. Korban penyalahgunaan narkotika
mempunyai hak dan kewajiban, dalam wawancara dengan Kardiyana hak dan
kewajiban korban penyalahgunaan narkotika ialah :
- Hak;
35
Bambang Waluyo, Op. Cit., hlm.44-45.
45
Korban penyalahgunaan narkotika berhak mendapatkan pengobatan
dan/atau rahabilitasi.
- Kewajiban;
Korban penyalahgunaan narkotika wajib melapor diri kepada instansi
terkait atau kepolisi (kasatreskrim narkotika). Instansi terkait yaitu pusat
kesehatan masyarakat, rumah sakit, klinik yang ditunjuk.36
Ketentuan mengenai rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur dari Pasal 54 sampai dengan
Pasal 59, yaitu sebagai berikut :
Pasal 54
Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 55
1. Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib
melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
2. Pecandu yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan
oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit
dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk
36
Kardiyana, Loc. Cit.
46
oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan
melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
3. Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 56
1) Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan dirumah sakit yang
ditunjuk oleh Menteri.
2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi
pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu
narkotika setelah mendapat persetujuan menteri.
Pasal 57
Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu
narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat
melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.
Pasal 58
Rehabilitasi sosial mantan pecandu narkotika diselenggarakan baik oleh
instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.
Pasal 59
1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal
57 diatur dengan peratuaran menteri.
47
2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur
dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang sosial.
C. Upaya Mengurangi Terjadinya Korban Penyalahgunaan Narkotika
Penjelasan dari Kardiyana, dalam upaya untuk mengurangi terjadinya
korban penyalahgunaan narkotika, Kepolisian Polresta Yogyakarta
melakukan upaya preemtif dan prefentif yaitu sebagai berikut :
1. Preemtif,
Melakukan kegiatan pembinaan dan penyuluhan di lingkungan sekolah,
masjid, gereja, organisasi masyarakat dan lingkungan masyarakat RT/RW.
Dalam hal ini memberikan pengarahan, penjelasan, bahaya dan dampak
buruk akibat dari penyalahgunaan narkotika tersebut.
2. Preventif,
Melakukan kegiatan-kegiatan razia ditempat hiburan (diskotik), kos-
kosan, asrama, sambil melakukan sosialisasi keterkaitan dengan narkotika
dan penyalahgunaan narkotika.37
Untuk mencegah penyalahgunaan narkotika atau bahaya narkoba dapat
juga dilakukan oleh lingkungan pendidikan dan masyarakat;
1. Pencegahan penyalahgunaan narkoba melalui lingkungan pendidikan.
Program pendidikan yang efektif dan luas merupakan bagian yang penting
dari tindakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika diseluruh dunia.
Dibanyak negara penyalahgunaan narkotika telah mempengaruhi pelbagai
37
ibid
48
kelompok umur dan penduduk, mutlak bahwa setiap individu dijajaran
pendidikan umum dan formal beserta keluarganya diberitahu tentang
bahaya penyalahgunaan narkotika.
Pencegahan melalui pendidikan perlu dipandang sebagai suatu proses
berkesinambungan dengan tujuan untuk mengetahui sebab musabab
manusia menyalahgunakan narkotika, serta untuk membantu kaum remaja
dan dewasa dalam mencari jalan keluar dari kesulitannya tanpa berpaling
ke narkotika.
Kurikulum dan program-program yang dikembangkan sebagai bahan dari
strategi nasional untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat, perlu
disusun untuk memperkuat motivasi masyarakat menghindari
penyalahgunaan narkotika. Indikasi menunjukan bahwa pengaruh
pendidikan pencegahan paling baik apabila :
a. Diterapkan dilingkungan sosial, ekonomi dan budaya yang sesuai.
b. Secara terpadu dimasukkan dalam kerangka (framework pelajaran
akademis, sosial dan budaya).
c. Mendukung suatu cara hidup yang sehat sebagai tujuan utama, dari
pada memberi tekanan kepada pantang terhadap narkotika dan akibat
negatifnya.
d. Tidak melibatkan unsur-unsur yang menimbulkan ingin tahu atau ingin
mencoba-coba (umpama penjelasan terinci tentang keadaan euphoria,
dan lain-lain), tetapi dengan jelas menunjukkan akibat-akibat negatif
49
dan merusak serta menekankan pengaruh positif dari kegiatan-kegiatan
dan cara-cara hidup yang bebas dari narkoba.
Tindakan yang disarankan ditingkat nasional ialah badan yang berwenang
perlu mendirikan suatu unit yang bersifat multidisiplin, dimana para
pendidik yang telah menerima training dalam bidang pencegahan harus
berperan didalamnya.38
2. Pencegahan penyalahgunaan narkoba melalui lingkungan masyarakat.
Dukungan dan keikutsertaan organisasi masyarakat maupun badan-badan
penegak hukum, badan-badan kesehatan sosial dan pendidikan yang
terlihat dalam program pencegahan penyalahgunaan narkoba, sangat
diperlukan dalam menanggulangi faktor-faktor yang dapat mendorong
berkembangnya penyalahgunaan narkoba. Organisasi masyarakat maupun
badan-badan kesehatan maupun badan sosial lainnya sangat tepat untuk
mendeteksi penyalahgunaan narkoba serta akibatnya dan mengenai
kelompok-kelompok yang rawan terhadap masalah ini.
Sebagian besar dari kegiatan masyarakat tersebut dilakukan secara
sukarela, oleh karena itu perlu adanya koordinasi secara efektif guna
menjamin bahwa kegiatan dalam rangka pencegahan penyalahgunaan
narkoba sejalan dengan rencana nasional guna pencegahan masalah
tersebut.
Tindakan yang disarankan ditingkat nasional ialah semua kelompok
swasta, asosiasi dan perkumpulan, khususnya yang secara langsung
38
Hadiman, 2001, Penanggulangan Korban Narkoba Meningkatkan Peran Keluarga dan
Lingkungan, FKUI, Jakarta, hlm. 37-38.
50
berhubungan dengan kaum muda dan golongan/kelompok perlu
menyiapkan serta menyebarkan informasi tentang bahaya penyalahgunaan
narkoba kepada anggota-anggotanya. Organisasi-organisasi tersebut dapat
diminta untuk menyediakan membuat secara sukarela suatu paket program
yang terdiri dari bimbingan dan nasehat, pendidikan, pencegahan,
kewaspadaan terhadap penyalahgunaan narkoba, referral (rujukan),
detoksifikasi, dan rehabilitasi. Sedapat mungkin kegiatan-kegiatan tersebut
dikoordinasikan untuk menjamin keselarasannya dengan kebijaksanaan
nasional, dan akan lebih baik bila sesuai juga dengan rekomendasi-
rekomendasi internasional tentang pencegahan penyalahgunaan narkoba.39
Pencegahan peredaran gelap narkotika dan penggunaan narkotika
secara ilegal juga membutuhkan peran serta masyarakat, dalam Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 memberikan pengaturan yang sangat tegas
dalam hal peran serta masyarakat dalam rangka memberantas segala bentuk
penggunaan dan peredaran narkotika/prekursor narkotika, peran serta
masyarakat tersebut ialah :
Pasal 104
Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
Pasal 105
39
Ibid, hlm. 43-44.
51
Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredearan gelap
narkotika dan prekursor narkotika.
Pasal 106
Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika
diwujudkan dalam bentuk :
a. Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.
b. Memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan
informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan
prekursor narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani
perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.
c. Menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana
narkotika dan prekursor narkotika.
d. Memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan
kepada penegak hukum atau BNN.
e. Memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan
melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.
Pasal 107
52
Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau
BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap narkotika
dan prekursor narkotika.
Pasal 108
1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, Pasal
105, dan Pasal 106 dapat dibentuk dalam suatu wadah yang dikoordinasi
oleh BNN.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
kepala BNN.
Badan Narkotika Nasional menyatakan bahwa metode pencegahan dan
pemberantasan narkoba yang paling mendasar dan efektif adalah promotif
dan preventif. Upaya yang paling praktis dan nyata adalah represif, upaya
manusiawi adalah kuratif dan rehabilitatif.
Tentang upaya promotif : disebut program preemtif atau program pembinaan.
Program ini ditujukan kepada masyarakat yang belum memakai narkoba, atau
bahkan belum mengenal narkoba. Prinsipnya adalah dengan meningkatkan
peranan atau kegiatan agar kelompok ini secara nyata lebih sejahtera sehingga
tidak pernah berpikir untuk memperoleh kebahagian semua dengan memakai
narkoba.
Tentang upaya preventif : disebut program pencegahan. Program ini
ditujukan kepada masyarakat sehat yang belum mengenal narkoba agar
mengetahui seluk beluk narkoba, sehingga tidak tertarik untuk
53
menyalahgunakannya. Selain dilakukan oleh pemerintah (instansi terkait)
program ini juga sangat efektif jika dibantu oleh instansi dan institusi lain,
termasuk lembaga professional terkait, lembaga swadaya masyarakat,
perkumpulan, ormas, dan lain-lain.
Tentang upaya kuratif : disebut program pengobatan. Program kuratif
ditujukan kepada pemakai narkoba, tujuannya adalah mengobati
ketergantungan dan menyembuhkan penyakit sebagai akibat dari pemakaian
narkoba, sekaligus menghentikan pemakaian narkoba. Tidak sembarang
orang boleh mengobati pemakai narkoba, pemakaian narkoba sering diikuti
oleh masuknya penyakit-penyakit berbahaya serta gangguan mental dan
moral. Pengobatannya harus dilakukan oleh dokter yang mempelajari narkoba
secara khusus. Pengobatan terhadap pemakai narkoba sangat rumit dan
membutuhkan kesabaran luar biasa dari dokter, keluarga dan penderita. Inilah
sebabnya mengapa pengobatan pemakai narkoba memerlukan biaya besar,
tetapi hasilnya banyak yang gagal, kunci sukses pengobatan adalah kerjasama
yang baik antara dokter, keluarga dan penderita.
Tentang upaya rehabilitatif : yaitu upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga
yang ditujukan kepada si pemakai narkoba yang sudah menjalani program
kuratif. Tujuannya agar ia tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan
yang disebabkan oleh bekas pemakaian narkoba. Seperti kerusakan fisik
(syaraf, otak, darah, jantung, paru-paru, ginjal, hati, dan lain-lain), kerusakan
mental, perubahan karakter kearah negatif, asocial dan penyakit-penyakit
ikutan (HIV/AIDS, hepatitis, sifilis, dan lain-lain) itulah sebabnya mengapa
54
pengobatan narkoba tanpa upaya pemulihan (rehabilitasi) tidak bermanfaat.
Setelah sembuh masih banyak masalah lain yang akan timbul, semua dampak
negatif tersebut sangat sulit diatasai. Karenanya banyak pemakai narkoba
yang ketika “sudah sadar” malah mengalami putus asa kemudian bunuh diri.
Tentang upaya represif : yaitu program penindakan terhadap produsen,
Bandar, pengedar dan pemakai berdasar hukum. Program ini merupakan
instansi pemerintah yang berkewajiban mengawasi dan mengendalikan
produksi maupun distribusi semua zat yang tergolong narkoba. Selain
mengendalikan produksi dan distibusi, program represif berupa penindakan
juga dilakukan terhadap pemakai sebagai pelanggar undang-undang tentang
narkoba.40
Upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika wajib dilakukan mulai
dari keluarga, orang tua harus dapat mengidentifikasi sikap dan perilaku anak
karena kebanyakan penyalahgunaan narkotika dimulai atau terdapat pada
masa remeja dengan mengingat bahwa remaja adalah usia yang mengalami
perubahan biologis, psikologis maupun sosial. Anak atau remaja mempunyai
resiko besar untuk menjadi penyalahguna narkotika dimana beberapa ciri-ciri
pada anak yang harus diperhatikan adalah :
1. Perubahan tingkah laku yang tiba-tiba belakangan ini terhadap kegiatan
sekolah, keluarga dan teman-teman. Menjadi kasar tidak sopan dan penuh
rahasia, serta jadi mudah curiga terhadap orang lain.
40
http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=ArtikelCegah&op=detail_artikel_cega
h&id=151&mn=2&smn=e, Badan Narkotika Nasional, 29 april 2012.
55
2. Marah yang tidak terkontrol, yang tidak biasanya dan perubahan suasana
hati yang tiba-tiba.
3. Lebih banyak menyendiri dari biasanya, sering bengong dan
berhalusinasi.41
4. Memiliki kecenderungan untuk selalu memberontak.
5. Sering terlihat depresi, cemas, dan berkepribadian dis-sosial.
6. Sering melakukan perbuatan yang menyimpang dari aturan.
7. Kurang percaya diri, minder dan memiliki persepsi pribadi akan citra diri
yang negatif.
8. Hanya ingin senang-senang saja.
9. Sering merasa kesepian dan tidak lagi taat kepada ajaran agama.42
Untuk mengurangi terjadinya korban penyalahgunaan narkotika
keikutsertaan semua pihak sangat diperlukan. Keadaan di sekolah, di rumah,
dan di dalam masyarakat harus dapat saling mengisi dan merupakan kontrol
yang tidak dapat diabaikan peranannya, yang terpenting adalah keluarga.
Perilaku atau perbuaran dalam keluarga dikontrol. Korban penyalahgunaan
narkotika tidak dapat diberantas, namun dapat diminimalisasikan melalui
lingkungan yang paling terdekat, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
41
Hadiman, Op. Cit., hlm. 14. 42
AR Sujono, Bony Daniel, Op. Cit., hlm. 209.
56
D. Pertimbangan Perlu Adanya Perlindungan Hukum Bagi Korban
Penyalahgunaan Narkotika
Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara
memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional, oleh
karena itu masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius. Pentingnya
perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius dapat dilihat dari
dibentuknya Declaration of Basic Principal of Justice for Victims of Crime
and Abuse of Power oleh PBB, sebagai hasil dari The Sevent United Nation
Conggres on the Prevention of Crime and the treatment of Ofenders, yang
berlangsung di Milan, Italia, September 1985.
Sepanjang menyangkut korban kejahatan dalam deklarasi PBB tersebut
telah menganjurkan agar paling sedikit diperhatikan 4 (empat) hal sebagai
berikut :
1. Jalan masuk untuk memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil
(acces to justice and fair treatment).
2. Pembayaran ganti rugi (restitution) oleh pelaku tindak pidana kepada
korban, keluarganya atau orang lain yang kehidupannya dirumuskan dalam
bentuk sanksi pidana dalam perundang-undangan yang berlaku.
3. Apabila terpidana tidak mampu, negara diharapkan membayar santunan
(compensation) finansial kepada korban, keluarganya atau mereka yang
menjadi tanggungan korban.
57
4. Bantuan materiil, medis, psikologis dan sosial kepada korban, baik melalui
negara, sukarelawan, dan masyarakat (assistance).43
Sebagaimana diketahui bahwa kajian hukum pidana dalam kaitannya
dengan korban berkaitan dengan pertanyaan dasar mengenai apakah ada
kejahatan (pelanggaran hukum pidana) terjadi, siapa pelakunya dan siapa
yang menderita kerugian oleh suatu kejahatan, selanjutnya perlu ditambahkan
lagi apa kerugiannya dan bagaimana kerugian tersebut dipulihkan.
Konsep kejahatan dan siapa yang menjadi korban kejahatan adalah
pangkal-tolak untuk menjelaskan bagaimana posisi hukum korban. Ada dua
konsep kejahatan , pertama, kejahatan dipahami sebagai pelanggaran terhadap
negara atau kepentingan publik yang direpresentasikan oleh instrumen
demokratik negara dan, kedua, kejahatan dipahami sebagai pelanggaran
terhadap kepentingan orang perseorangan dan juga melanggar kepentingan
masyarakat, negara dan esensinya juga melanggar kepentingan pelakunya
sendiri. Konsep yang pertama dilandasi oleh pemikiran yang berbasis pada
konsep keadilan retributif (retributive justice) dan konsep yang kedua pada
konsep keadilan restoratif (restorative justice).44
Korban kejahatan adalah orang yang dirugikan karena pelanggaran
hukum pidana (kejahatan), pertama dan terutama adalah orang yang lansung
menderita karena kejahatan disebut korban sesungguhnya (primer), kemudian
43
Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu,
Yogyakarta, hlm. 177. 44
Ibid, hlm. 185-186
58
disebut korban, sedangkan yang lainnya sebagai korban yang tidak langsung
(sekunder). Dalam hal terjadinya suatu kejahatan, sebetulnya korban
utamanya adalah masyarakat dan negara, berupa hilangnya rasa damai dan
aman serta runtuhnya kewibawaan negara di mata masyarakat dalam artian
masyarakat akan menganggap bahwa negaranya tidak mampu melindungi
warganya dari kejahatan.
Dasar perspektif restorative justice bahwa konsep kejahatan adalah
perbuatan yang melanggar hak perseorangan (yaitu korban kejahatan), di
samping melanggar masyarakat, negara dan kepentingan pelanggar itu
sendiri. Jadi, setiap terjadinya pelanggaran hukum pidana sesungguhnya ada 4
(empat) kepentingan yang terkait, yaitu orang yang terlanggar haknya (korban
kejahatan), masyarakat, negara, dan pelanggar itu sendiri. Orang yang
terlanggar haknya (korban kejahatan) adalah sebagai pertama yang
berkepentingan, oleh sebab itu sistem peradilan pidana harus mengakses
keempat kepentingan tersebut dengan menempatkan kepentingan korban
kejahatan sebagai kepentingan yang utama karena tujuan penyelenggaraan
peradilan pidana adalah menyelesaikan konflik (conflict resolution) yang
terjadi akibat adanya pelanggaran hukum pidana, maka peranan negara dalam
sistem dikurangi dan sebaliknya pemberdayaan peran korban kejahatan dan
masyarakat di satu pihak dan pelanggar di pihak lain.45
Perlindungan hukum terhadap korban penyalahguna narkotika
didasarkan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
45
Ibid, hlm. 190.
59
bila diperhatikan di dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 lebih
banyak diatur mengenai pelaku dari pada mengenai korban. Kedudukan
korban dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tampaknya belum
optimal dibandingkan dengan kedudukan pelaku. Hal ini dapat dijelaskan,
dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 belum secara tegas
merumuskan ketentuan yang secara konkrit atau langsung memberikan
perlindungan hukum terhadap korban misalnya dalam hal penjatuhan pidana,
wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga
korban. Rumusan pasal-pasal dalam Undang-Undang 35 tahun 2009
cenderung pada rumusan tindak pidana, pertanggung jawaban dan ancaman
pidana.
Menurut Kardiyana, perlu adanya perlindungan hukum yang harus
diberikan kepada korban penyalahguna narkotika karena seseorang yang
menghadapai perkara penyalahgunaan narkotika diancam dengan hukuman
yang sangat berat, sehingga dalam peradilan si pelaku / si korban memang
perlu untuk mendapatkan bantuan hukum serta perlindungan hukum di
samping mereka mempunyai hak untuk dilindungi, dengan kata lain
walaupun terbukti bersalah mempunyai hak dalam perlindungan hukum.46
Pasal-pasal yang terkait dengan pertimbangan hukum yang diberikan
kepada pecandu/korban penyalahgunaan narkotika ialah :
Pasal 54
46
Kardiyana, Loc., Cit
60
Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 55
1. Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib
melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
2. Pecandu yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan
oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit
dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk
oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan
melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
3. Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 103
1. Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat :
a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu
narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu
61
narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan penyalahgunaan
narkotika.
2. Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa
menjalani hukuman.
Berdasarkan Surat Edaran Nomor 04 Tahun 2010 tentang penempatan
penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan pecandu narkotika ke dalam
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, bahwa penerapan
pemidanaan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 103 huruf a dan b Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika hanya
dapat dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana sebagai berikut :
a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN
dalam kondisi tertangkap tangan.
b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a diatas, ditemukan barang bukti
pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut :
1) Kelompok Metamphetamine (shabu) : 1 gram
2) Kelompok MDMA (ekstasi) : 2.4 gram = 8 butir
3) Kelompok Heroin : 1.8 gram
4) Kelompok Kokain : 1.8 gram
5) Kelompok Ganja : 5 gram
6) Daun Koka : 5 gram
7) Meskalin : 5 gram
8) Kelompok Psilosybin : 3 gram
62
9) Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) : 2 gram
10) Kelompok PCP (phencyclidine) : 3 gram
11) Kelompok fentanil : 1 gram
12) Kelompok Metadon : 0.5 gram
13) Kelompok Morfin : 1.8 gram
14) Kelompok Petidin : 0.96 gram
15) Kelompok Kodein : 72 gram
16) Kelompok Bufrenorfin : 32 mg
c. Surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan
permintaan penyidik.
d. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk
oleh hakim.
e. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran
gelap narkotika.
Pasal 127
1. Setiap penyalahguna :
a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun.
b. Narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun.
c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun.
63
2. Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim
wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54,
Pasal 55, dan Pasal 103.
3. Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika,
penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.
Pasal 127 ayat (3) menentukan : dalam hal penyalahguna sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban
penyalahgunaan narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan
korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja
menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau
diancam untuk menggunakan narkotika. Pengertian “tidak sengaja” ini
memang membingungkan, dalam KUHP terminologi “tidak sengaja” tidak
ditemukan, yang ada adalah “culpa” atau “lalai”. Culpa atau lalai tentulah
berbeda dengan tidak sengaja, karena culpa adalah kurang hati-hati atau tiada
penduga-duga. Wirjono Prodjodikoro memandang culpa ialah kesalahan pada
umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis,
yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat
seperti kesengajaan. Kalau yang dimaksudkan tidak sengaja merupakan
kebalikan dari sengaja, hal ini berarti tidak sengaja haruslah diartikan:
1. Tidak sengaja sebagai maksud atau tujuan,
2. Tidak sengaja sebagai keinsyafan kepastian,
3. Tidak sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan.47
Dibujuk tentulah mengacu pada pengertian dalam Pasal 55 KUHP ayat
(1) ke-2, yaitu adanya pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan
atau martabat, dengan paksaan, ancaman, penipuan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan dan sengaja menganjurkan orang lain
supaya melakukan perbuatan. Karena membujuk haruslah menggunakan cara-
47
AR. Sujono dan Bony Daniel, Op. Cit., hlm. 301.
64
cara tersebut dalam KUHP baik yang membujuk maupun dibujuk dapat
dipidana, tetapi ternyata dalam ketentuan ini apabila dapat dibuktikan atau
terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika karena dibujuk tidak
dipidana namun demikian tetap wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
Ditipu, berarti menggunakan cara-cara penipuan sehingga tertipu. Cara-
cara penipuan disini adalah adanya rangkaian kebohongan. Terkait dengan
teori “Obyektif Nachtragliche Prognose” dalam menentukan apakah suatu
kelakuan menjadi musabab dari akibat yang terlarang yang harus dijawab
ialah : apakah akibat itu, dengan mengingat semua keadaan-keadaan obyektif
yang ada pada saat sesudahnya terjadi akibat, dapat ditetapkan akan timbul
akibat dari kelakuan itu.48
Sebagai contoh adalah si A yang baru ikut
berkumpul bersama temannya, ia diberikan sebatang rokok dan kemudian
dihisap olehnya, tetapi sebelum itu diluar pengetahuannya, temannya tersebut
mencampurkan ganja dalam rokok tersebut, hingga pada saat itu terjadi razia
dan si A tertangkap dan setelah tes urine positif menggunakan narkotika yang
berjenis ganja. Dalam hal ini karena si A tidak mengetahui, bahwa temannya
mencampurkan ganja kedalam rokok tersebut maka seharusnya hal
penggunaan narkotika tersebut tidak dimasukkan dalam pertimbangan.
Karena si A tidak tahu tentang hal tersebut, maka dia tidak mempunyai
kesalahan atas penyalahgunaan narkotika tersebut, sehingga tak dapat pula
48
Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineke Cipta, cet.7, Jakarta, hlm. 110.
65
dipidana atau dikenakan pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dipaksa dan/atau diancam, paksaan dapat berupa paksaan fisik maupun
psikis, demikian juga ancaman dapat berupa ancaman fisik maupun ancaman
psikis. Dalam Pasal 48 KUHP menyebutkan “Barang siapa melakukan
perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.
Dari uraian tersebut, maka penyalahgunaan narkotika yang dilakukan
wajib diberikan alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan
penggunaan narkotika tersebut. Jadi orang yang telah melakukan suatu tindak
pidana belum berarti ia harus dipidana. Sesuai dengan asas pertanggung
jawaban pidana yaitu „Tiada pidana tanpa kesalahan‟, asas ini sangat
dijunjung tinggi dan akan dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan jika
ada orang tidak bersalah dijatuhi pidana.
Terkait dengan pihak pengguna/user narkotika terhadap mereka sering
kali terjadi stigmatisasi dari masyarakat seperti seorang pelaku (pengedar)
padahal dia adalah korban dari narkotika tersebut. Para pecandu dan korban
penyalahguna narkotika haruslah dijamin untuk mendapatkan rehabilitasi
medis dan sosial. Dengan penyebutan istilah “rehabilitasi” sebagai bagian
dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dapat disimpulkan
bahwa istilah rehabilitasi terdiri dari 3 (tiga), yaitu :
1. Rehabilitasi : kegiatan untuk mencari alternatif-alternatif sebagai sarana
pemulihan untuk kepentingan kemanusiaan dan dalam rangka penelitian,
66
pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Sebagai contoh mencari
formula baru untuk kepentingan pengobatan dari suatu penyakit.
2. Rehabilitasi medis : proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. (Pasal 1 angka 16
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)
3. Rehabilitasi sosial : proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,
mental, maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. (Pasal 1 angka
17 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)