bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/41880/3/jiptummpp-gdl-akhirulnuz-47548-3-babii.pdf ·...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Aktivitas Fisik
2.1.1 Pengertian Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah semua gerakan otot bergaris yang membakar energi tubuh,
aktivitas fisik mencakup semua olahraga, gerakan tubuh, pekerjaan, rekreasi, kegiatan
sehari – hari, sampai kegiatan waktu libur atau waktu senggang. Semua yang membakar
energi adalah baik untuk menurunkan lemak dan gula dalam darah. Mungkin sebagian
besar orang tahu bahwa aktivitas fisik itu baik bagi kesehatan, tetapi banyak yang tidak
bisa mengatur gerakan fisik dan menyesuaikan dengan kondisi kesehatanya dan
pekerjaan atau kehidupanya sehari – hari serta tidak bisa mengatur makanan yang di
konsumsi atau kalori yang masuk (Tandra, 2009). Menurut badan kesehatan dunia
(WHO, 2010), aktivitas fisik merupakan sebagian gerakan tubuh yang dihasilkan oleh
otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik bertujuan untuk
mempertahankan dan meningkatkan beberapa komponen dari kebugaran fisik.
Latihan fisik adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang direncanakan, terstruktur,
dilakukan berulang-ulang, dan dilakukan dengan tujuan meningkatkan kesehatan dan
kebugaran. Peran aktivitas fisik bagi laki- laki maupun perempuan sangatlah penting
salah satunya dapat mencegah kematian dini, diabetes melitus tipe 2, osteoporosis dan stroke.
Aktivitas fisik dapat dilakukan tanpa memandang umur, jenis kelamin, kelompok etnis,
bentuk tubuh dan ukuran tubuh. Rekomendasi bagi progam aktivitas fisik untuk
meningkatkan kesehatan sistem kardiovaskuler pada orang dewasa melakukan paling
sedikit 2 jam 30 menit aktivitas fisik setiap minggu (U.S. Department of Health and Human
Services, 2014).
11
Menurut WHO (2010), menyatakan bahwa untuk mengukur aktivitas fisik
terdapat 4 indikator utama yaitu:
1. Durasi
Berapa lama melakukan aktivitas fisik. Lamanya durasi umunya dinyatakan dalam
menit.
2. Frekuensi
Seberapa sering atau berapa kali melakukan aktivitas fisik. Frekuensi umunya
dinyatakan dalam berapa kali perminggu.
3. Intensitas
Seberapa besar upaya yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas fisik.Untuk
menilai intensitas aktivitas fisik mengunakan pedoman METs (metabolic
equivalents). MET adalah rasio tingkat metabolisme energi saat istirahat yang
setara dengan 1 kkal/kg BB/jam. Penilaian untuk intensitas dari aktivitas fisik ini
dilihat dari 4 domain yaitu, domain pekerjaan, domain transportasi, domain
aktivitas rumah tangga, dan domain aktivitas luang. Minimal aktivitas yang harus
dilakukan yaitu 2 jam 30 menit dalam seminggu.
4. Volume
Berapa total aktivitas fisik yang dapat dilakukan.
2.1.2 Manfaat Aktivitas Fisik Terhadap Kadar Kolesterol Total
Menurut Haskell, et al (2007), dalam jurnalnya yang berjudul “physical activity and
public health”, saat beraktivitas fisik minimal 30 menit dalam sehari yang di lakukan
dengan intesitas rutin selama seminggu bisa mengurangi faktor resiko penyakit kronis
seperti : kardiorespirasi, lipoprotein, hipertensi, postprandial lipidemia, mengontrol berat
badan, dan mengontrol kadar gula darah.
12
Penderita hipertensi dan aktivitas fisik sangat erat kaitanya dengan pengontrolan
kadar kolesterol, aktivitas fisik yang teratur dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL
di dalam darah karena dengan aktivitas fisik yang teratur akan mempermudah
terjadinya metabolisme di dalam tubuh. Sehingga trigliserida yang didalam tubuh
manusia sebagai jaringan lemak (adipose) terpecah menjadi energi (Marewa, 2015).
Menurunkan kadar trigliserida membantu meningkatkan kadar kolesterol HDL (Bull
& Morrell, 2007). Manfaat aktivitas fisik pada orang dewasa (18-65 tahun) dapat
menurun resiko antara lain: hipertensi, penyakit jantung koroner, stroke, Diabetes,
Kanker, depresi, dan kematian dini (U.S. Departement of Health and Human Services, 2014).
2.1.3 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Fisik
Semua faktor yang memainkan peran dalam tingkat aktivitas fisik pada orang
dewasa, yaitu: faktor personal, faktor sosial, faktor ekonomi, dan faktor lingkungan.
Memahami pentingnya hambatan pada aktivitas fisik untuk memastikan efektivitas
dalam meningkatkan tingkat aktivitas fisik. Berikut beberapa faktor- faktor yang
mempengaruhi aktivitas fisik pada orang dengan usia dewasa (18 – 65 tahun), antara
lain : (1) Usia lanjut, (2) Ekonomi rendah, (3) Peluang waktu yang sedikit, (4) Motivasi
rendah, (5) Obesitas, dan (6) Persepsi yang buruk terhadap kesehatan (U.S. Department
of Health and Human Services, 2014).
2.1.4 Aktivitas Fisik pada Penderita Hipertensi
Menurut beberapa penelitian (dalam U.S. Department of Health and Human Services,
2014) menyimpulkan bahwa latihan aerobik selama 150 menit setiap minggu dapat
menurunkan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik sekitar 6 - 7 mmHg.
Aktivitas fisik yang dapat dilakukan oleh penderita hipertensi yaitu latihan aerobik.
Aerobik merupakan aktivitas fisik yang menggunakan otot – otot besar. Contoh dari
aktivitas aerobik antara lain: berjalan, jalan cepat, bersepeda, berenang, menari,
13
bermain basket, dll. Aktivitas aerobik bertujuan agar jantung dapat berdetak lebih cepat
untuk memenuhi gerakan tubuh saat beraktivitas. Jika aktivitas aerobik dilakukan
secara teratur dapat mempertahankan fungsi sistem kardiovaskular tetap kuat dan
bugar (U.S. Department of Health and Human Services, 2014).
2.1.5 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kadar Kolesterol Total
Aktivitas fisik yang teratur dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL di dalam
darah karena dengan aktivitas fisik yang teratur akan mempermudah terjadinya
metabolisme di dalam tubuh. Sehingga trigliserida yang didalam tubuh manusia sebagai
jaringan lemak (adipose) terpecah menjadi energi (Marewa, 2015). Menurunkan kadar
trigliserida membantu meningkatkan kadar kolesterol HDL (Bull & Morrell, 2007).
Manfaat aktivitas fisik pada orang dewasa (18-65 tahun) dapat menurun resiko antara
lain: hipertensi, penyakit jantung koroner, stroke, Diabetes, Kanker, depresi, dan
kematian dini (U.S. Departement of Health and Human Services, 2014).
2.1.6 Jenis Aktivitas Fisik untuk Usia Dewasa (18-65 tahun)
Menurut WHO (2010), jenis Aktivitas fisik untuk usia dewasa dibagi menjadi 5
antara lain:
1. Aktivitas bekerja
Aktivitas bekerja sesuatu aktivitas yang dilakukan manusia untuk tujuan tertentu
yang dilakukan dengan cara baik dan benar (Shofianty, Widhiantoro, &
Pramudita, 2007).
2. Transportasi
Berjalan kaki merupakan model transportasi aktif untuk berpindah dari satu
tempat ke tempat yang lain (Hartmann, 2006).
14
3. Aktivitas pekerjaan rumah
Pekerjaan yang tidak menghasilkan imbalan atau jasa, aktivitas pekerjaan rumah
dapat dilakukan bertujuan agar rumah dan sekitar rumah terlihat bersih dan rapi,
misalnya mencuci pakaian, mengepel lantai, menyiram tanaman, dll
(Poerwopesito, & Utomo, 2011).
4. Olahraga
Olahraga adalah suatu kegiatan yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh
kita.Sebelum berolahraga dianjurkan untuk melakukan pemansan supaya
terhindar dari cidera (Sari, 2010).
5. Rekreasi
Rekreasi adalah sesuatu kegiatan yang dilakukan seseorang ketika memiliki waktu
luang untuk menyegarkan fikiran dan badan, atau sebagai hiburan setelah
menjalani rutinitas yang membosankan (Graha, 2007).
2.1.7 Kategori Aktivitas Fisik
Menurut IPAQ (2005), kategori aktivitas fisik di nilai berdasarkan kriteria sebagai
berikut:
1. HEPA Active (Health Enhancing Physical Activity) :
Seseorang yang memiliki salah satu kriteria berikut ini sudah diklasifikasikan
dalam HEPA active, yaitu:
a. Aktivitas dengan intensitas berat setidaknya mencapai 3 hari. Jumlah minimal
aktivitas fisik 1500 MET menit/minggu, Contohnya: kuli angkut barang, kuli
bangunan, penggali kabel jalan dan mencari pakan ternak.
b. Aktivitas fisik selama 7 hari dengan kombinasi berjalan, intensitas sedang dan
intensitas berat dengan jumlah minimal 3000 MET menit/minggu,
contohnya: berjalan sejauh 6 – 10 km, bersepeda, menyapu dan mengepel.
15
2. Minimally Active
Seseorang yang tidak memiliki kriteria HEPA active dan memiliki salah satu
kriteria berikut ini sudah diklasifikasikan dalam minimally active, yaitu:
a. Aktivitas dengan intensitas kuat selama 3 hari atau lebih minimal 20 menit
per hari.
b. Aktivitas intensitas sedang dan / atau berjalan selama 5 hari atau lebih
setidaknya 30 menit per hari.
c. Aktivitas fisik selama 5 hari atau lebih dengan kombinasi kombinasi berjalan,
intensitas sedang dan intensitas yang kuat dengan jumlah minimal 600 MET
menit / minggu, contohnya: memasak, merawat anak, mencuci baju, dan
memsihkan halaman rumah.
3. Inactive
Seseorang yang tidak memenuhi salah satu dari semua kriteria yang telah
disebutkan dalam HEPA active maupun minimally active.
2.2 Konsep Kolesterol
2.2.1 Pengertian Kolesterol
Kolesterol merupakan salah satu turunan lemak yang tergolong steroid, selalu
berikatan dengan asam lemak lain dalam bentuk ester. Kolesterol berfungsi
menjalankan beberapa organ tubuh seperti empedu, hormon penghasil vitamin D dan
menggerakkan fungsi beberapa bahan makanan. Salah satu proses kimia oleh enzim,
kolesterol terjadi di pankreas saat absorbsi kolesterol di usus (duodenum) (Fatma, 2010).
Steroid adalah sekelompok senyawa yang mempunyai karakteristik struktur cincin
kompleks dengan berbagai variasi. Steroid yang banyak terdapat dalam pangan adalah
16
kolesterol yang berada dalam jaringan hewani (ergosterol) dan dalam makanan nabati.
Kolesterol adalah sterol yang paling dikenal masyarakat (Almatsier, 2009).
Kolesterol dalam darah yang berlebihan dapat mengakibatkan penyempitan dan
penyumbatan pembuluh darah yang kemudian dapat menyebabkan penyakit jantung.
Kadar kolesterol normal adalah sekitar <200 mg/dl dan dapat dikatakan
hiperkolesterolemia jika kadar kolesterol >200 mg/dl, sedangkan kadar kolesterol LDL
tidak melebihi angka 100 mg/dl (Fatma, 2010).
2.2.2 Klasifikasi Kolesterol
Menurut Rubenstein, Wayne, & Bradley (2007) masalah yang paling sering
muncul adalah peningkatan kadar kolesterol. Walaupun penyebabnya biasanya
poligenik, atau sekunder akibat penyakit lain, penyebab familia lain hiperlipidemia yang
lebih jarang dijumpai harus dipertimbangkan sehingga bisa dilakukan skrining pada
anggota keluarga.
Klasifikasi WHO Fredrickson (Tabel 2.2) kadang-kadang masih menjadi acuan:
a. Hiperkolesterolemia poligenik
Merupakan penyebab tersering peningkatan kadar kolesterol. Trigliserida bisa
normal (WHO tipe IIa) atau meningkat ( tipe IIb). Terdapat peningkatan risiko
penyakit jantung koroner, dan bisa dikurangi dengan menurunkan kadar
kolesterol.
b. Hiperkolesterolemia Familial
Pada hiperkolesterolemia familial defisiensi reseptor LDL menyebabkan
hiperkolesterolemia (berat pada bentuk homozigot, lebih ringan pada heterozigot)
yang menimbulkan aterosklerosis. Arkus kornea, xantelasma dan xantoma, tendon
adalah ciri khasnya. Pasien meninggal dini, biasanya akibat infark miokard.
Prevalensinya diperkirakan 1 dalam 500.
17
c. Defek Apolipoprotein B-100 Familial
Disebabkan oleh penggantian asam amino tunggal dalam apolipoprotein B, yang
menyebabkan defek ikatan LDL pada reseptornya. Secara klinis tidak bisa
dibedakan dari hiperkolesterolemia familial.
d. Hipertrigliseridemia Familial
Bisa disebabkan oleh peningkatan produksi VLDL hati atau kegagalan klirens
trigliserida dari kilomikron oleh lipoprotein lipase. Hipertrigliseridemia bermakna (>10
mmol/L) berhubungan dengan xantoma eruptif, lipemia retinalis, dan pankreatitis
akut.
e. Hiperlipidemia Gabungan Familial
Keadaan ini diturunkan melalui jalur dominan autosomal. Kolesterol dan trigliserida
sama-sama meningkat. Sering kali ditemukan arkus kornea dan xantelasma (tetapi
tidak xantoma tendon), dan risiko aterosklerosis meningkat.
f. Disbetalipoproteinemia
Merupakan kelainan yang jarang terdapat di mana mutasi gen apolipoprotein E
menyebabkan peningkatan trigliserida dan kolesterol total.
g. Hiperlipidemia Sekunder
Bisa terjadi pada hipotiroidisme, sindrom nefrotik, pengobatan dengan esterogen oral atau
diuretik tiazid, penyalahgunaan alkohol, dan penyakit hati. Keadaan tersebut harus
disingkirkan saat memeriksa kelainan lipid.
18
Tabel 2.1 Klasifikasi Hiperlipidemia HIPERLIPIDEMIA
Jenis Hiperlipidemia Prevalensi
Fenotipe lipoprotein Fredrickson
/WHO
Kadar lipid tipikal
(mmol/L) Lipoprotein
Risiko penyakit jantung kronis
Risiko pankre-
atitis
Tanda-tanda klinis
Hiperkolesterolemia poligenik
- IIa
Kolesterol: 6,5-9,0
Trigliserida: normal
LDL ↑ HDL →↓
+ - Xantelasma, arkus kornea
Hiperlipidemia gabungan familial
1 : 200 IIb (IIa atau
IV)
Kolesterol: 6,5-10,0
Trigliserida: 2,5-12,0
VLDL ↑→ LDL ↑→ HDL →↓
++ - Arkus kornea,
xantelasma
Hiperkolesterolemia familial (heterozigot)
1 : 500 IIa (atau
IIb)
Kolesterol: 7,5-16,0
Trigliserida: < 5,0
LDL ↑ VLDL →↑ HDL →↑
+++ -
Xantoma tendon, arkus
kornea, xantelasma
Penyakit partikel sisa 1 : 10.000 III
Kolesterol: 9,0-14,0
Trigliserida: 9,0-14,0
IDL ↑ HDL →↑
+++ +
Xantoma, tonjolan
telapak tangan dan kadang-
kadang tendon
Sindrom kilomikronemia
- I
Kolesterol: 6,5
Trigliserida: 10,0-30,0
Kilomikron ↑
- +++
Xantoma eruptif, lipemia retinalis,
hepatosplenomegali
Hipertrigliseridemia familia
- IV (atau V)
Kolesterol: 6,5-12,0
Trigliserida: 10,0-30,0
VLDL ↑ Kilomikron
→↑ ? ++
Xantoma eruptif, lipemia retinalis,
hepatosplenomegali
Sumber: (Rubenstein, Wayne, & Bradley, 2007)
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kolesterol
Kolesterol tinggi tidak muncul begitu saja didalam tubuh. Pada kondisi normal,
tubuh memproduksi secara alami kolesterol yang diperlukan secara tepat dan sesuai.
Namun dengan adanya asupan makanan yang banyak mengandung kolesterol maka
kolesterol dalam tubuh akan meningkat secara drastis. Ada banyak sebab yang dapat
meningkatkan kolesterol didalam darah yang pertama yaitu faktor genetik, terdapat
golongan orang-orang yang memiliki produksi kolesterol secara berlebihan, dalam
kondisi normal jumlah produksi kolesterol sekitar 80% kolesterol tersebut dalam darah
diproduksi oleh tubuh secara alami (Mumpuni & Wulandari, 2011).
Kedua yaitu faktor makanan, asupan lemak merupakan hal yang sangat penting
untuk diperhatikan. Apabila asupan makan lemak yang tidak cukup maka tenaga akan
berkurang, tetapi bila kita mengkonsumsi lemak yang berlebihan maka dapat
19
mengakibatkan kerusakan pembuluh darah. Sumber asupan jenis lemak dapat
dibedakan menjadi dua yaitu lemak jenuh berasal dari daging maupun minyak kelapa
dan lemak tidak jenuh yang terdiri dari asam lemak omega 3, asam lemak omega 6, dan
asam lemak omega 9 (Mumpuni & Wulandari, 2011).
Tabel 2.2 Kadar Ideal Kolesterol
Kolesterol Total ≤200 mg/dL Kolesterol LDL
Tanpa PJK dan dengan kurang dari 2 faktor risiko ≤160 mg/dL Tanpa PJK dan dengan 2 atau lebih faktor risiko ≤130 mg/dL Dengan PJK <100 mg/dL
Kolesterol HDL Wanita ≥45 mg/dL Pria ≥35 mg/dL
Triasilgliserol 60-16- mg/dL (rentang normal) <500 mg/dL untuk mencegah pankreatitis
Sumber: (Marks, Marks & Smith, 1996)
Penambahan kolesterol juga dapat terjadi seiring dengan bertambahnya usia,
tidak berlangsung secara spontan tetapi berlangsung dari masa anak-anak. Mekanisme
ini berhubungan dengan aktivitas reseptor LDL, semakin bertambah umur seseorang
menyebabkan aktivitas LDL semakin menurun sehingga banyak LDL yang tidak dapat
tertangkap reseptor dan akan lebih lama berada dalam sirkulasi darah. Tingginya
kolesterol dalam darah menunjukkan tingginya kolesterol total dalam darah dimana
kolesterol LDL dan kolesterol total mempunyai korelasi yang tinggi (Bintanah &
Muryati, 2010). Fungsi utama LDL adalah untuk mengangkut kolesterol dari hati ke
jaringan yang memasukkan ke dalam membran sel. HDL membawa kolesterol yang
telah dibuang oleh sel-sel kembali ke hati untuk didaur ulang menjadi empedu dan
dieksresi kembali ke usus (Izadi et al, 2012).
2.2.4 Hubungan Kolesterol dengan Hipertensi
Survei terkini di Negara Asia melaporkan 30% penduduk Asia gagal menurunkan
kadar kolesterol jahat mereka sesuai target yang disarankan. Di Indonesia, kegagalan
20
untuk mengontrol kadar kolesterol jahat mencapai 70%. Penyakit-penyakit jantung
koroner dan stroke menjadi salah satu penyebab kematian di Indonesia. Kolesterol
yang berlebih dalam darah akan mudah melekat pada dinding pembuluh darah,
sehingga dapat menimbulkan plak yang menyempitkan pembuluh darah dan
menimbulkan aliran darah tidak lancar (aterosklerosis) (Mumpuni & Wulandari, 2011).
Dengan tidak lancarnya aliran darah dan terjadi penyempitan pada arteri dapat
membuat tekanan darah menjadi meningkat (Baradero, Dayrit & Siswandi, 2008).
Aterosklerosis dapat terjadi di beberapa organ vital tubuh seperti di otak, jantung,
ginjal, dan organ lainnya seperti tungkai. Jika aterosklerosis terjadi pada ateri jantung akan
menyebabkan serangan jantung (Mumpuni & Wulandari, 2011).
2.3 Konsep Hipertensi
2.3.1 Definisi
Tekanan darah merupakan tekanan yang dihasilkan oleh darah yang dipompa
oleh jantung terhadap pembuluh darah arteri. Tekanan darah pada saat ventrikel kiri
jantung berkontraksi sehingga pembuluh darah arteri teregang maksimal disebut
tekanan sistolik. Sedangkan tekanan diastolik adalah tekanan darah yang terjadi pada
saat jantung berelaksasi sehingga tidak ada darah mengalir dari jantung ke pembuluh
darah (Ronny, Setiawan, & Fatimah, 2008).
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah dimana tekanan sistolik lebih besar
dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih besar dari 90 mmHg, didasarkan pada dua
atau lebih pengukuran dalam kunjungan dua sampai tiga minggu. Hipertensi
menyebabkan jantung bekerja lebih keras dari biasanya, sehingga kondisi jantung dan
pembuluh darah berada di bawah tekanan. Terdapat dua tipe dari hipertensi, yaitu
hipertensi esensial (primer) dan hipertensi sekunder (Smeltzer, et al, 2010; Kowalski,
2010; Kowalak, Welsh, & Mayer, 2012).
21
Hipertensi adalah peningkatan pada tekanan pembuluh darah arteri yang
melebihi batas normal yaitu tekanan sistole 140 mmHg dan tekanan diastole 90 mmHg
dalam tiga kali pemeriksaan secara berturut – turut di waktu yang berbeda. Penyakit
hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kerusakan organ – organ tubuh
yang dapat menyerang fungsi dari jantung, ginjal, mata, dan dapat menyerang fungsi
pergerakan. Hipertensi juga dapat disebut sebagai penyakit “silent killer” karena tanda
dan gejala tidak dirasakan oleh penderita.
2.3.2 Klasifikasi
Klasifikasi tekanan darah tinggi pada orang dewasa usia 18 tahun ke atas dilihat
berdasarkan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik dalam satuan mmHg
dibagi menjadi beberapa stadium.
Tabel 2.3 Klasifikasi Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal Normal
Prehipertensi Hipertensi stadium 1 Hipertensi stadium 2 Hipertensi stadium 3
Kurang dari 115 Kurang dari 120
120 - 139 140 - 159 160 – 179 180 – 209
Kurang dari 75 Kurang dari 80
80 – 89 90 – 99
100 – 109 110 – 119
Sumber: (Kowalski, 2010). 2.3.3 Pengukuran Tekanan Darah
Pengukuran tekanan darah menggunakan alat sphygmomanometer dan stetoscope.
Sphygmomanometer terdiri atas manometer air raksa atau aneroid, manset udara, selang
karet, dan pompa udara dari karet yang terdapat sekrup pembuka dan penutup. Cara
pengukuran tekanan darah dimulai dengan meletakkan lengan yang akan diukur dalam
posisi terlentang, memasang manset dengan tidak ketat dan tidak longgar pada lengan
atas 3 cm diatas fossa cubiti. Pasang stetoskop di telinga, pastikan suara terdengar jelas,
palpasi arteri brankialis dan letakkan diafragma stetoskop di atas pulsasi arteri
brankialis. Tutup katup dan kembangkan manset dengan cepat sampai 30 mmHg di
22
atas tekanan sistolik yang terdengar (Hidayat, & Uliyah, 2005).
Saat tekanan manset mengembang akan menghimpit arteri sehingga tidak ada
aliran darah didalamnya. Kemudian, secara perlahan tekanan manset dikurangi
sehingga muncul suara “dup” pertama yaitu Suara korotkoff I merupakan tekanan
sistolik (Ronny, Setiawan, & Fatimah, 2008). Suara selanjutnya terjadi selama manset
mengempis sehingga menimbulkan suara korokhoff kedua. Dengan distensi arteri,
terjadi turbulensi aliran darah. Suara korokhoff ketiga merupakan suara yang lebih jelas
dan intensif. Suara korokhoff keempat menjadi redup dan bernada rendah selama manset
semakin mengempis. Suara korokhoff kelima atau terakhir menandakan hilangnya suara.
Pada usia dewasa suara korokhoff kelima merupakan tekanan diastolik (Potter, & Perry,
2010).
2.3.4 Faktor Resiko
Penyebab hipertensi sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan jelas.
Namun, faktor resiko dan faktor predisposisi terjadinya hipertensi dapat teridentifikasi,
antara lain:
1) Usia
Tekanan darah meningkat secara progresif dengan seiring bertambahnya usia
karena pembuluh darah sudah mengalami penurunan elastisitas (Dalimartha, et al,
2008). Beberapa orang dalam rentan usia diatas 25 tahun menderita hipertensi karena
proses degenerasi (Campbell, et al, 2014).
2) Jenis Kelamin
Hipertensi pada umumnya diderita oleh laki - laki pada usia dewasa muda dan
usia pertengahan awal. Sedangkan setelah usia 45 tahun, hipertensi lebih umum pada
wanita setelah masa menopouse (Dalimartha, et al, 2008).
23
3) Aktivitas
Aktivitas fisik yang berkurang merupakan faktor terjadinya hipertensi. Menurut
World Health Organization (WHO, 2010), gaya hidup duduk dalam jangka waktu yang
sangat lama merupakan penyebab pertama dari 10 kematian dan kecacatan didunia,
dan lebih dari 2 juta kematian setiap tahun disebabkan oleh kurangnya bergerak atau
aktivitas fisik. Jika aktivitas ini dilakukan secara terus menerus dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah dan risiko kardiovaskular.
4) Merokok
Merokok sangat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Kandungan
nikotin dalam rokok dapat menyebabkan peningkatan kadar karbondioksida (CO2)
sehingga dinding pembuluh darah akan mengalami penebalan. Penebalan dinding pada
pembuluh darah akan memicu terjadinya vasokontriksi. (Dalimartha, et al, 2008;
Wiryowidagdo & Sitanggang, 2008).
5) Stress
Stress merangsang sistem saraf simpatik sehingga dapat mempengaruhi kondisi
seseorang. Stress dapat memicu kecepatan denyut jantung dan meningkatkan
kebutuhan suplai darah sehingga dapat meningkatkan tekanan darah, jika suplai darah
tidak mampu memasok kebutuhan akan menyebabkan serangan jantung dan stroke
(Dalimartha, et al, 2008; Kowalski, 2010).
6) Obesitas
Obesitas merupakan faktor yang sangat mempengaruhi. Jika seseorang
mengalami obesitas akan menyebabkan massa otot membutuhkan banyak suplai
oksigen dan nutrisi sehingga sistem resistensi perifer mengalami peningkatan dan dapat
meningkatkan tekanan pembuluh darah (Dalimartha, et al, 2008; Kowalski, 2010).
24
2.3.5 Patofisiologi Hipertensi
Regulasi tekanan darah berfungsi menjaga tekanan darah agar tetap konstan.
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan resistensi perifer yang melalui
mekanisme dari sistem persyarafan yang kompleks. Pembuluh darah memiliki
baroreseptor yang peka terhadap perubahan tekanan darah. Bila tekanan darah
meningkat maka terjadi peningkatan pada resistensi perifer dengan cara vasokontriksi
(Ronny, Setiawan, & Fatimah, 2008).
Perubahan volume cairan dapat berkaitan dengan kontrol volume sirkulasi ginjal,
jika tekanan arteri meningkat terlalu tinggi, ginjal mengekskresikan lebih banyak
natrium dan air. Akibat ekskresi ginjal, volume cairan ekstraselular dan volume darah
menurun sampai kembali normal. Sistem renin dan angiotensin pada ginjal juga
berperan penting untuk mengontrol tekanan darah arteri. Penurunan tekanan arteri
merangsang sekresi renin, kemudian renin mengatalisis menjadi angiotensin I.
Angiotensin I di ubah menjadi angiotensin II oleh converting enzyme yang terdapat di
endotel pembuluh di seluruh tubuh, terutama paru dan ginjal. Angiotensin II
mempunyai komponen aktif primer yaitu vasokontriktor yang membantu
meningkatkan tekanan arteri, namun angiotensin II dapat menurunkan ekskresi
natrium dan air oleh ginjal. Angiotensin II merangsang sel epitel ginjal untuk reabsorpsi
natrium dan air dengan cara merangsang kelenjar adrenal mengeluarkan aldosteron
(Hall, 2010).
Gangguan yang menyebabkan vasokontriksi arteriol, tahanan perifer dan
tekanan arteri yang meningkat dapat diseimbangkan dengan meningkatkan curah
jantung. Hal tersebut bertujuan untuk mengatasi tahanan perifer. Meningkatkan curah
jantung, maka sistem simpatis akan merangsang jantung untuk berdenyut lebih cepat
dan meningkatkan volume sekuncup dengan cara membuat pembuluh darah menjadi
25
kontriksi, sehingga darah yang kembali ke jantung akan lebih tinggi (Muttaqin, 2009).
2.3.6 Manifestasi Klinis
World Health Organization (WHO, 2013) menyatakan, bahwa hipertensi tidak
mempunyai gejala sama sekali (asimtomatik). Pada kasus hipertensi berat, gejala yang
sering muncul antara lain pusing, mudah lelah, sesak napas, pandangan kabur,
kekakuan pada leher bagian belakang, nyeri dada, palpitasi jantung, epistaksis, kram
otot, keringat yang berlebihan dan kesulitan tidur pada malam hari.
2.3.7 Bahaya Hipertensi
Hipertensi merupakan penyakit serius karena dampak yang ditimbulkan sangat
luas, bahkan dapat berakhir pada kematian. Kematian dapat terjadi akibat dampak dari
hipertensi atau penyakit lain yang diawali oleh hipertensi. Penyakit yang dimaksud
sebagai berikut (Lingga, 2012):
1) Kerusakan Ginjal
Tekanan darah dipengaruhi oleh angiotensin, saat tekanan darah tidak terkendali,
produksi angiotensin melonjak tinggi sehingga ginjal kelelahan dan mengalami
kerusakan. Jika hipertensi tidak tertangani dengan baik akan menyebabkan gagal ginjal.
2) Serangan Jantung
Jantung berdenyut cepat agar dapat mempompa darah lebih banyak. Namun,
arteri kehilangan elastisitas yang menyebabkan darah yang kaya oksigen tidak dapat
menyuplai ke jantung sehingga memicu peningkatan tekanan darah.
3) Stroke
Otak yang tidak tersuplai oleh darah yang kaya oksigen dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah, sehingga memicu terjadinya stroke, baik disertai atau tidak
perdarahan otak.
26
4) Glaukoma
Beberapa komplikasi dari hipertensi adalah gangguan retinopati (glaukoma).
Glaukoma terjadi karena tekanan darah yang tinggi dan berlangsung dalam jangka
waktu yang lama, sehingga menyebabkan tekanan pada intraokular mata, arteriol yang
menyuplai darah menuju mata menyempit.
5) Disfungsi Ereksi
Pada penderita hipertensi, khususnya berjenis kelamin pria sering mengeluhkan
disfungsi ereksi yang dialami. Hipertensi menyebabkan penurunan fungsi ereksi karena
terjadi penurunan produksi nitrit oksida yang berfungsi sebagai vasodilator (Lingga,
2012; Ronny, Setiawan, & Fatimah, 2008).
6) Demensia dan Alzaimer
Hipertensi dapat memicu penyakit neurologis, hipertensi yang berlangsung lama
tanpa dikendalikan menurunkan fungsi otak, terutama yang berkaitan dengan memori.
Tekanan yang tinggi pada reseptor otak akan melemahkan sistem saraf dan sejumlah
neurotransmiter yang bertugas untuk menyimpan dan mengatur memori.
2.3.8 Penatalaksanaan
1) Farmakologi
Penatalaksanaan farmakologi merupakan penatalaksanaan hipertensi dengan
menggunakan obat obatan kimiawi. Beberapa macam jenis obat hipertensi, antara lain
(Muttaqin, 2009). :
a) Diuretik
Hidroklorotiazid adalah diuretik yang sering diresepkan untuk mengobati
hipertensi ringan. Beberapa obat antihipertensi dapat menyebabkan retensi cairan, oleh
karena itu sering kali diuretik diberikan bersamaan dengan antihipertensi.
27
b) Simpatolitik
Penghambat (adrenergik berkerja di sentral simpatolitik). Penghambat
adrenergik alfa dan penghambat neuron adrenergik diklasifikasikan sebagai penekan
simpatetik atau simpatolitik.
c) Penghambat Adrenergik Alfa
Golongan obat ini berfungsi untuk memblok reseptor adrenergik alfa 1,
menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah.
d) Penghambat Neuron Adrenergik
Obat antihipertensi yang kuat dan menghambat norepinefrin dari ujung saraf
simpatis, sehingga pelepasan norepinefrin menjadi berkurang dan penurunan curah
jantung.
e) Vasodilator Arteriol yang Berkerja Langsung
Vasodilator yang berkerja langsung adalah obat tahap III yang merelaksasikan
otot-otot polos pembuluh darah arteri sehingga menyebabkan vasodilatasi. Dengan
terjadinya vasodilatasi, tekanan darah akan turun dan natrium serta air tertahan,
sehingga terjadi edema perifer. Diuretik diberikan bersamaan dengan vasodilator yang
dapat mengurangi edema.
f) Antagonis Angiotensin (ACE Inhibitor)
Obat golongan ini menghambat enzim pengubah angiotensin (ACE) yang
menghambat pembentukan angiotensin II (vasokonstriktor) dan menghambat
pelepasan adosteron. Aldosteron meningkatkan retensi natrium dan ekskresi kalium.
Jika aldosteron dihambat, natrium diekskresikan bersama air.
2) Non Farmakologi
Pada saat menggunakan terapi farmakologi, terapi non farmakologi dapat
digunakan sebagai pelengkap untuk mendapatkan efek pengobatan yang lebih baik.
28
Termasuk mengubah gaya hidup yag tidak sehat. Menurut Palmer (2007), lima langkah
dalam merubah gaya hidup yang sehat bagi penderita hipertensi yaitu: 1) mengontrol
pola makan, mengurangi konsumsi sodium dan meningkatkan konsumsi potasium,
membatasi alkohol yang berlebihan, 2) mengurangi kelebihan berat badan, 3)
mengontrol stress, 4) berhenti merokok, 5) melakukan aktivitas fisik.