bab ii tinjauan pustakarepository.poltekkes-tjk.ac.id/902/2/bab ii.pdf · 2019-12-17 · gambar 2.1...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kosmetika
Kosmetik berasal dari kata Yunani “Kosmetikos” yang berarti
keterampilan menghias, mengatur (Tranggono dan Latifah, 2007:6). Menurut
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
No. HK.1.23.08.11.07517 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Bahan
Kosmetika, dinyatakan bahwa definisi kosmetik adalah bahan atau sediaan
yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia
(epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan
membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan,
mengubah penampilan dan/ atau memperbaiki bau badan atau melindungi
atau memelihara tubuh pada kondisi baik (Per Ka BPOM No.
HK.1.23.08.11.07517: I: 1 (1)).
Berdasarkan bagian tubuh yang dirias, kosmetika dekoratif dapat dibagi
menjadi (Wasitaatmadja, 1997:30) :
1. Kosmetika rias kulit (wajah)
2. Kosmetika rias bibir
3. Kosmetika rias rambut
4. Kosmetika rias mata
5. Kosmetika rias kuku
Untuk kosmetik rias kulit wajah sendiri terdiri dari : bedak (skin/face
powder), compact rouge, rouge cream, fluid rouge, dan kamuflase (theater).
Perbedaan antara kosmetik tersebut terletak pada bahan dasar dan zat warna
(Wasitaatmadja, 1997:122).
Penggolongan kosmetik menurut kegunaannya bagi kulit ada dua, yaitu :
(Tranggono dan Latifah, 2007:8).
1. Kosmetik perawatan kulit (skin-care cosmetics).
a. Kosmetik untuk membersihkan kulit (cleanser): sabun, cleansing cream,
cleansing milk, dan penyakit kulit (freshner).
7
b. Kosmetik untuk melembabkan kulit (moisturizer), misalnya moisturizing
cream, night cream, anti wrinkle cream.
c. Kosmetik pelindung kulit, misalnya sunscreen cream dan sunscreen
foundation, sun block/lotion.
d. Kosmetik untuk menipiskan atau mengampelas kulit (peeling), misalnya
scrub cream yang berisi butiran-butiran halus yang berfungsi sebagai
pengampelas (abrasive).
2. Kosmetik riasan (dekoratif atau make-up).
Jenis ini diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit sehingga
menghasilkan penampilan yang lebih menarik serta menimbulkan efek
psikologis yang baik, seperti percaya diri (self confidence). Dalam kosmetik
riasan, peran zat pewarna dan zat pewangi sangat besar.
B. Kosmetika Rias / Dekoratif
Tujuan awal penggunaan kosmetika adalah mempercantik diri yaitu
usaha untuk menambah daya tarik agar lebih disukai orang lain. Usaha
tersebut dapat dilakukan dengan cara merias setiap bagian tubuh yang
terpapar oleh pandangan sehingga terlihat lebih menarik dan sekaligus juga
menutupi kekurangan (cacat) yang ada (Wasitaatmadja, 1997:122).
Peranan zat pewarna dalam kosmetik dekoratif, Zat warna untuk
kosmetik dekoratif berasal dari berbagai kelompok (Tranggono dan Latifah,
2007:91) :
1. Zat warna alam yang larut
Zat ini sekarang sudah jarang dipakai dalam kosmetik. Sebetulnya
dampak zat warna alam ini pada kulit lebih baik dari pada zat warna sintetis,
tetapi kekuatan pewarnaannya relatif lemah, tak tahan cahaya, dan relatif
mahal. Misalnya alkalain-zat warna merah yang di ekstrak dari kulit akal
alkana (Radix alcannae), klorofil daun-daun hijau, henna yang diekstrak dari
daun lawsonia inermis.
8
2. Zat warna sintetis yang larut
Zat warna sintetis pertama kali disintesis dari anilin, sekarang benzene,
toluene, anthracene, dan hasil isolasi dari coal-tar lain yang berfungsi sebagai
produk awal bagi kebanyakan zat warna dalam kelompok ini sehingga sering
disebut sebagai zat warna anilin atau coal tar.
3. Pigmen-pigmen alam
Pigmen alam adalah pigmen warna pada tanah yang memang terdapat
secara alamiah, misalnya aluminium silikat, yang warnanya tergantung pada
kandungan besi oksida atau mangan oksida. Zat warna ini murni, sama sekali
tidak berbahaya, penting untuk mewarnai bedak-krim dan make-up sticks.
Warnanya tidak seragam, tergantung asalnya, dan pada pemanasan kuat
menghasilkan pigmen warna baru.
4. Pigmen-pigmen sintetis
Sejumlah zat warna asal coal-tar juga diklasifikasikan sebagai pigmen
sintetis. Daya larutnya dalam air, alkohol, dan minyak rendah sehingga
umumnya hanya digunakan dalam bentuk bubuk padat yang terdispersi halus.
Banyak pigmen sintetis yang tidak boleh digunakan dalam preparat kosmetik
karena toksis, misalnya cadmium sulfide dan Prussian blue.
5. Lakes alam dan sintetis
Lakes dibuat dengan mempresiptasikan satu atau lebih zat warna yang
larut air di dalam satu atau lebih substrat yang tidak larut dan mengikatnya
sedemikian rupa (biasanya reaksi dengan kimia) sehingga produk akhirnya
menjadi bahan pewarna yang hampir tidak larut dalam air, minyak, atau
pelarut lain.
C. Kulit
Kullit merupakan “selimut” yang menutupi permukaan tubuh dan
memiliki fungsi utama sebagai pelindung diri dari berbagai macam gangguan
dan rangsangan luar. Hendaknya pH kosmetik diusahakan sama atau sedekat
mungkin dengan pH fisiologis “mantel asam” kulit, yaitu antara 4,5 – 6,5.
Kosmetik demikian disebut kosmetik dengan “pH balanced”. Yang paling
menentukan warna kulit adalah melanin. Jumlah, tipe, ukuran dan distribusi
9
pigmen melanin ini akan menentukan variasi warna kulit berbagai golongan
ras/bangsa di dunia (Tranggono dan Latifah, 2007:11,21,27).
D. Pewarna Pipi
Cat pipi atau lebih dikenal pewarna pipi adalah sediaan kosmetik yang
digunakan untuk mewarnai pipi dengan sentuhan artistik sehingga dapat
meningkatkan estetika dalam tatarias wajah. Cat pipi dibuat dalam berbagai
warna yang bervariasi mulai dari warna merah jambu pucat hingga merah
biru tua. Cat pipi lazim mengandung pigmen merah atau merah kecoklatan
dengan kadar tinggi. Cat pipi yang mengandung pigmen kadar rendah
digunakan sebagai pelembut warna atau pencampur untuk memperoleh efek
yang mencolok (Depkes, 1985:189).
Sumber : http://www.cosmopolitan.co.id
Gambar 2.1 Pewarna Pipi
Berdasarkan bentuknya, terdapat beberapa jenis perona pipi diantaranya,
(Muliyawan & Suriana, 2013:241):
1. Bentuk serbuk satu warna.
Bentuk perona pipi jenis ini mirip dengan bedak padat. Perona pipi ini
merupakan jenis yang paling populer. Untuk mengulaskan perona pipi, jenis
ini bisa menggunakan bantuan brush atau spons.
10
Ulaskan spons atau brush pada perona pipi, lalu tepuk – tepuk di bagian
tulang pipi.
2. Bentuk puff
Pada bagian atas kemasan, perona pipi jenis ini terdapat puff yang
menempel ke kemasan. Jadi, untuk memakai puff itu bisa langsung diulaskan
pada pipi.
3. Bentuk cream
Menggunakan perona pipi berbentuk cream akan membuat pipi terlihat
lebih lembap dan alami.
4. Bentuk gradasi
Kemasan pewarna pipi jenis ini mirip dengan bentuk padat (compact) 1
warna. Bedanya, dalam kemasan itu terdapat beberapa warna perona pipi
yang senada. Hasil gabungan warna itu bisa membuat pipi tampak lebih
cerah.
5. Bentuk multi cream
Perona pipi jenis cream ini biasanya bisa digunakan untuk pipi sekaligus
bibir.
6. Bentuk batang
Perona pipi jenis ini dikemas dalam tube mirip lipstik. Penggunaannya
cukup mudah karena langsung dioleskan di pipi.
7. Bentuk powder ball
Perona pipi jenis ini bentuknya seperti bola-bola kecil dengan aneka
warna yang ditempatkan dalam wadah seperti mangkuk. Untuk
mengaplikasikannya memerlukan bantuan kuas. Poleskan kuas pada bola-
bola warna itu, lalu poleskan pada pipi. Jenis pewarna pipi ini dapat
digunakan untuk semua jenis kulit.
E. Krim
Krim adalah sediaan setengah padat, berupa emulsi mengandung air tidak
kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar. Ada dua tipe krim,
krim tipe minyak-air dan tipe air-minyak. Pemilihan zat pengemulsi harus
disesuaikan dengan jenis dan sifat yang dikehendaki seperti emulgid, lemak
11
bulu domba, setaseum, setilalkohol, stearilalkohol, trietanolaminil stearat dan
golongan sorbitan, polisorbat, polietilenglikol, sabun. Umumnya zat
pengawet yang digunakan metil paraben 0,12% hingga 0,18% atau propil
paraben 0,02% hingga 0,05% (Depkes RI, 1979:8).
Krim harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut (Widodo,
2013:168) :
1. Stabil. Krim harus bebas dari inkompatabilitas, stabil pada suhu kamar, dan
kelembaban yang ada di dalam kamar
2. Lunak. Semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak
serta homogen.
3. Mudah dipakai. Umumnya, krim tipe emulsi adalah yang paling mudah
dipakai dan dihilangkan dari kulit
4. Terdistribusi secara merata. Harus terdispersi merata melalui dasar krim
padar atau cair pada penggunaan.
Krim digolongkan menjadi dua tipe, yakni (Widodo, 2013:169) :
1. Tipe a/m, yaitu air terdispersi dalam minyak. Contohnya, cold cream. Cold
cream adalah sediaan kosmetik yang digunakan untuk memberikan rasa
dingin dan nyaman pada kulit, sebagai krim pembersih, berwarna putih, dan
bebas dari butiran. Cold cream mengandung mineral oil dalam jumlah besar.
2. Tipe m/a, yaitu minyak terdispersi dalam air. Contohnya vanishing cream.
Vanishing cream adalah sediaan kosmetik yang digunakan untuk
membersihkan, melembabkan, dan sebagai alas bedak. Vanishing cream
sebagai pelembab (moisturizing) akan meninggalkan lapisan berminyak/film
pada kulit.
F. Formula Sediaan Krim Pewarna Pipi
Beberapa formula dari sediaan krim pewarna pipi diantaranya adalah :
1. Formula pewarna pipi menurut Formularium Kosmetika Indonesia
(1985:192)
Vaselin 400
Asetil lanolat 50
Asetil monogliserida 100
Isopropil miristat 390
Ozokerit 50
Malam karnauba 10
12
Parfum 2,0
Pigmen 5,0
2. Formula pewarna pipi menurut The New Cosmetic Formulary (1970:6)
Stearic acid 25%
Water 61, ½%
Glycerin 10%
Spermaceti 5.0
Potassium hydroxide 1%
Oil-soluble dye 2 ½%
Perfume to suit
3. Formula pewarna pipi menurut Keithler, dalam Tranggono dan Latifah,
(2007:95)
Petrolatum, white, short fiber 20.0
Isopropyl myristate 30.0
Beeswax 14.0
Cetyl alkohol 3.0
Triethanolamine lauryl sulfate 0.4
Borax 1.0
Propilene glycol 2.0
Lake 8.0
Perfume 0.4
Presertative 0.15
Aqua destilata 20.95
4. Formula pewarna pipi menurut Formulasi Kosmetik Indonesia (2012:109)
Pewarna 8,0
Isopropil miristat 30,0
Vaselin Album 20,0
Lemak lebah 14,0
Setilalkohol 3,0
Trietanolamin laurilsulfat 0,4
Boraks 1,0
Air 20,95
Propilenglikol 2,0
Metil paraben 0,15
Pewangi 0,40
Berdasarkan pemilihan bahan oleh peneliti, maka peneliti menggunakan
formula Keithler, dalam Tranggono dan Latifah, 2007. Dalam penelitian ini
digunakannya variasi konsentrasi ekstrak daun jati (Tectona grandis L.f.) 0%,
5%, 10%, dan 15%.
13
G. Bahan Pembuatan Krim Pewarna Pipi
1. Petrolatum, white, short fiber (Vaselin putih)
a. Pemerian : massa lembut dan halus. putih sampai agak kuning, tidak berbau
dan hampir tidak berasa, transparan, sedikit fluoresensi
b. Kelarutan : hampir tidak larut dalam air, alkohol, aseton dan gliserol. larut
dalam benzena, koloroform, eter, heksana.
c. Kegunaan : bahan dasar, emolien (Wade & Paul, 1994:194).
2. Isopropyl myristate (Isopropil ester asam miristat)
a. Pemerian : transparan, tidak berwarna, tidak berbau, rasa hambar.
b. Kelarutan : larut dalam hidrokarbon cair, lilin, lemak, 1:3 alkohol 90%, tidak
larut dalam air, gliserin dan propilen glikol
c. Kegunaan : emolien, pelarut (Wade & Paul, 1994:148).
3. Cetyl alkohol (Setil alkohol)
a. Pemerian : Serpihan putih licin, granul, kubus, bau dan rasa khas lemah,
b. Kelarutan : Tidak larut dalam air, larut dalam etanol, aseton, benzen,
c. Kegunaan : Pengemulsi (Wade & Paul, 1994:63).
4. Beeswax (Cera Flava)
a. Pemerian : zat padat berwarna kekuningan, bau enak seperti madu, agak
rapuh, jika dingin menjadi elastis, jika hangat dan keras patahannya buram
dan berbutir-butir.
b. Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, sukar larut dalam etanol, larut dalam
kloroform, larut dalam eter hangat, larut dalam minyak lemak dan minyak
atsiri
c. Kegunaan : bahan dasar (Depkes RI, 1979:140).
5. Triethanolamine lauryl sulfate (dodecyl sulfate)
a. Pemerian : Cairan tidak bewarna dengan bau ringan
b. Kelarutan : bercampur dengan air
c. Kegunaan : surfaktan (NCBI, 2005).
6. Boraks (Natrium Tetraborat)
a. Pemerian : Hablur transparan tidak berwarna atau serbuk hablur putih; tidak
berbau; rasa asin dan basa. Dalam udara kering merapuh
14
b. Kelarutan : larut dalam 20 bagian air, dalam 0,6 bagian air mendidih dan
dalam 1 bagian gliserol P; praktis tidak larut dalam etanol (95%) P
c. Kegunaan : bahan pengawet (Depkes RI, 1979:427).
7. Propylene glycol (Propilen glikol)
a. Pemerian : cairan kental, jernih, tidak berwarna, rasa manis, praktis tidak
berbau
b. Kelarutan : dapat bercampur dengan air, aseton, kloroform, bercampur 1:6
eter dan beberapa minyak esensial, tetapi tidak dapat bercampur dengan
minyak lemak.
c. Kegunaan : pelarut (Wade & Paul, 1994:241).
8. Aqua destilata (Air suling)
a. Pemerian : cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidak mempunyai rasa
b. Kegunaan : Pelarut (Depkes RI, 1979:96).
9. Tokoferol (Vitamin E)
a. Pemerian : tidak berbau atau sedikit berbau; tidak berasa atau sedikit berasa.
b. Kelarutan: praktis tidak larut dalam air; larut dalam etanol (95%) P, dalam
eter P, aseton P, dan dalam minyak nabati; sangat mudah larut dalam
kloroform P
c. Kegunaan : Antioksidan (Depkes RI, 1979:606).
10. Oleum citri (Minyak jeruk)
a. Pemerian: cairan, kuning pucat atau kuning kehijauan, bau khas; rasa pedas
dan agak pahit
b. Kelarutan: larut dalam 12 bagian volume etanol 90% P, larutan agak
beropalesensi; dapat bercampur dengan etanol mutlak P
c. Kegunaan: Pewangi (Depkes RI, 1979:455).
H. Evaluasi Sediaan Krim Pewarna Pipi
1. Uji Tipe Krim
Jika emulsi diteteskan pada kertas saring tersebut terjadi noda minyak,
berarti emulsi tersebut tipe w/o, tetapi jika terjadi basah merata berarti emulsi
tersebut tipe o/w (Syamsuni, 2006:133).
15
2. Uji Organoleptis
Uji Organoleptis dilakukan dengan pancaindra. Komponen yang
dievaluasi meliputi bau, warna, aroma dan tekstur terhadap sediaan yang
dihasilkan (Widodo, 2013:173). Panelis yang digunakan sebanyak 15 orang.
(Setyaningsih, dkk, 2010:22).
3. Uji Homogenitas
Sediaan diamati secara subjektif dengan cara mengoleskan sedikit krim
diatas kaca objek dan diamati susunan partikel yang terbentuk atau
ketidakhomogenan partikel terdispersi dalam krim yang terlihat pada kaca
objek (Depkes RI, 1979:33).
4. Uji pH
Syarat pH sediaan pemerah pipi yang baik sesuai dengan pH kulit. pH
kulit berkisar 4,5-6,5 (Tranggono dan Latifah 2007:21). Krim dan air
dicampur dengan perbandingan 60g:200ml air, kemudian diaduk hingga
homogen dan didiamkan agar mengendap. Setelah itu, pH airnya diukur
dengan pH meter (Widodo,2013:174).
5. Uji Stabilitas Sediaan
Cycling test digunakan untuk menguji kestabilan emulsi pada krim.
Siklus antara suhu kamar (25oC) dan 45
oC masing – masing selama 24 jam
sebanyak 6 siklus (Djajadisastra, 2004:24).
6. Uji Daya Sebar
Evaluasi ini dilakukan dengan cara sejumlah zat tertentu diletakkan di
atas kaca yang berskala. Kemudian, bagian atasnya diberi kaca yang sama
dan ditingkatkan bebannya, dengan diberi rentang waktu 1-2 menit.
Selanjutnya, diameter penyebaran diukur pada setiap penambahan beban, saat
sediaan berhenti menyebar (dengan waktu tertentu secara teratur) (Widodo,
2013:174).
7. Uji Penentuan Ukuran Droplet
Untuk menentukan ukuran droplet suatu sediaan krim, digunakan alat
biologi bernama mikroskop. Caranya, sediaan diletakkan pada gelas objek,
kemudian diperiksa adanya tetesan-tetesan fase dalam ukuran dan
penyebarannya (Widodo, 2013:174).
16
8. Uji Aseptabilitas Sediaan
Evaluasi ini dilakukan pada kulit beberapa orang, kemudian mereka
diberi suatu kuesioner tentang beberapa kriteria krim yang dicobakan pada
kulit mereka, seperti kemudahan dioleskan, kelembutan, sensasi yang
ditimbulkan dan kemudahan pencucian. Selanjutnya dari data tersebut, dibuat
scoring untuk masing – masing kriteria. (Widodo, 2013:175).
9. Uji Iritasi
Uji iritasi dan kepekaan kulit yang dilakukan dengan cara mengoleskan
sediaan uji pada kulit normal manusia dengan maksud untuk mengetahui
apakah sediaan itu dapat menimbulkan iritasi atau kepekaan kulit sesaat
setelah perlekatan dengan kulit. Uji tempel terbuka dilakukan dengan
mengoleskan sediaan yang dibuat pada lokasi lekatan dengan luas tertentu
(2,5 x 2,5 cm), dibiarkan terbuka dan diamati apa yang terjadi. (Depkes RI,
1985:96).
10. Uji Kesukaan (Hedonic Test).
Panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau
sebaliknya (ketidaksukaan). Tingkat – tingkat kesukaan ini disebut skala
hedonik. Tingkatan kesukaan meliputi “suka”, “tidak suka”, “netral”. Panelis
yang digunakan sebanyak 15 orang (Setyaningsih, dkk, 2010:22,59).
17
I. Tanaman Daun Jati
Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Tanaman yang
mempunyai nama ilmiah Tectona grandis linn. F. secara historis, nama tectona
berasal dari bahasa portugis (tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki
kualitas tinggi. Di Negara asalnya, tanaman jati ini dikenal dengan banyak nama
daerah, seperti ching-jagu (di wilayah Asam), saigun (Bengali), tekku (Bombay),
dan kyun (Burma). (Nugraheni, 2014:136).
Sumber : Amanda, 2019
Gambar 2.2 Daun Jati
1. Klasifikasi Tumbuhan
Berdasarkan hasil identifikasi sampel daun jati yang dilakukan di
Herbarium Medanense, diperoleh klasifikasi tumbuhan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Kelas : Dicotyledonae (berkeping dua)
Ordo : Solanales
Famili : Verbenaceae
Genus : Tectona
Spesies : Tectona grandis L.f.
2. Morfologi
Daun tunggal, rapuh, berwarna hijau kecoklatan sampai coklat tua,
helaian daun berbentuk jorong atau bundar telur, panjang helaian daun 23 cm
18
sampai 40 cm, lebar 11 cm sampai 21 cm, ujung daun runcing, pangkal daun
meruncing, tepi daun rata, tulang daun menyirip, jelas menonjol pada
permukaan, permukaan daun berambut banyak, permukaan atas lebih kasar
dari permukaan bawah. (Depkes RI, 1989:473).
Secara morfologis, tanaman jati memiliki tinggi yang dapat mencapai
sekitar 30-45 m dengan pemangkasan, batang yg bebas cabang dapat
mencapai antara 15–20 cm. Diameter batang dapat mencapai 220 cm. Kulit
kayu berwarna kecoklatan atau abu-abu yang mudah terkelupas. Pangkal
batang berakar papan pendek dan bercabang sekitar 4. Daun berbentuk
jantung membulat dengan ujung meruncing, berukuran panjang 20-50 cm dan
lebar 15–40 cm, permukaannya berbulu. Daun muda (petiola) berwarna hijau
kecoklatan, sedangkan daun tua berwarna hijau tua keabu-abuan. Tanaman
jati tergolong tanaman yang menggugurkan daun pada saat musim kemarau,
antara bulan nopember hingga januari. Setelah gugur, daun akan tumbuh lagi
pada bulan januari atau maret. Tumbuhnya daun ini juga secara umum
ditentukan oleh kondisi musim. (Nugraheni, 2014:137).
3. Kandungan Zat Warna Daun Jati
Penelitian yang dilakukan Ati, dkk (2006), daun muda jati di ekstraksi
hingga didapat pigmen kering yang dilarutkan dalam 2 ml aseton. Sebanyak
10 µL larutan tersebut ditotolkan pada pelat silika gel 60 F254 sebagai fase
diam, kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala berisi fase gerak. Fase
gerak untuk sampel daun muda jati adalah campuran 5% aseton : 4% metanol
: 1% isopropil alkohol dalam toluen (v/v).
Hasil KLT ekstrak daun muda jati menunjukkan terbentuknya 7 totol.
Hasil KLT tersebut menunjukkan bahwa totol 1 yang berwarna orange diduga
merupakan pigmen karotenoid. Pola spektra dengan tiga puncak serapan
seperti pada tabel merupakan pola spektra pigmen karotenoid. Warna abu –
abu yang ditunjukkan pada totol 2 teridentifikasi sebagai feofitin yang
merupakan salah satu turunan klorofil yang kehilangan ion magnesium. Hasil
KLT totol 3 dan 4 yang berwarna merah menunjukkan pigmen antosianin.
Dengan pelarut yang sama, nilai panjang gelombang pada totol 3 dan 4
19
mendekati nilai panjang gelombang absorbansi maksimum pelargonidin 3-
glukosida dan pelargonidin 3,7-diglukosida pada pada Francis, Giusti, dan
Worldstad. Totol 5 dengan warna coklat dengan warna coklat dianalisis
berdasarkan pola spektrumnya. Serapan maksimum klorofilid hasil
pemurnian mendekati serapan maksimum klorofilid menurut Jeffery dkk.
Dengan demikian totol 5 teridentifikasi sebagai klorofilid. Totol 6 berwarna
merah hati dengan kisaran Rf 0,10 – 0,12 dan totol 7 berwarna merah coklat
dengan kisaran Rf 0,06 – 0,09 belum dapat diidentifikasikan. Berdasarkan
warnanya, diduga totol 6 dan 7 merupakan pigmen antosianin.
Tabel 2.1 Kandungan Daun Jati
Sampel Totol Warna Nilai Rf Serapan maksimum
spektrum Literatur Jenis pigmen
Daun
muda
jati
1 Oranye 0,94-0,97 424,7; 450,3; 476,1 [6] β-karoten
2 Abu - abu 0,76-0,79 409,2; 665,2 [7] feofitin
3 Merah Darah 0,71-0,74 505,8
[3,8]
pelargonidin 3-
glukosida
4 Merah Tua 0,63-0,66 496,2
[3,8]
pelargonidin 3,7-
glukosida
5 Coklat 0,13-0,23 455,5; 595; 644,4 [7] klorofilid
6 Merah hati 0,10-0,12 409 [13,14] antosianin
7 Merah Coklat 0,06-0,09 417,6; 666,4 [13,14] antosianin
Sumber : Ati, dkk, 2006:327
J. Antosianin
Antosianin merupakan pewarna yang paling penting dan paling tersebar
luas dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan larut dalam air ini
adalah penyebab hampir semua warna merah jambu, merah marak, merah,
merah senduduk, ungu dan biru dalam daun, bunga, dan buah pada tingkat
tinggi. (Harborne, 1987:76). Antosianin adalah glikosida antosianidin,
aglikon yang memiliki sifat dasar kerangka 2-phenylbenzopyrylium, yang
dikenal sebagai kation flavylium. Lebih dari 90% dari semua antosianin yang
diisolasi di alam hanya didasarkan pada enam antosianidin berikut ini:
pelargonidin (plg), cyanidin (cyd), peonidin (pnd), delphinidin (dpd),
petunidin (ptd), dan malvidin (mvd), dimana dibedakan dengan pola substitusi
pada cincin B (Socaciu, 2007:257).
20
Sumber : Socaciu, 2007:258
Gambar 2.3 struktur dasar antosianin
Antosianidin yang paling umum sampai saat ini ialah sianidin yang
berwarna merah lembayung. Warna jingga disebabkan oleh pelargonidin yang
gugus hidroksilnya kurang satu dibandingkan sianidin, sedangkan warna
merah senduduk, lembayung, dan biru umumnya disebabkan oleh delfinidin
yang gugus hidroksilnya lebih satu dibandingkan sianidin (Harborne,
1987:76).
Metode ekstraksi yang paling bagus untuk bahan yang berasal dari
tanaman dengan melarutkan 1% HCl dalam metanol. Di dalam pangan,
metode ekstraksi yang paling baik adalah dengan melarutkan bahan dengan
1% HCl dalam etanol. Hal ini disebabkan karena sifat toksik dari metanol
meskipun ekstraksi dengan menggunakan etanol ini kurang efektif dan lebih
sulit untuk mendapatkan konsentratnya. Berbagai contoh ekstraksi antosianin
antara lain esktrak dengan menggunakan metanol dengan 1% HCl pada buah
cranberry dan anggur, ekstraksi dengan menggunakan metanol, asam asetat,
dan air (25:1:24) pada blueberry (Nugraheni, 2014:61).
1. Sifat Fisika dan Kimia Antosianin
Sifat fisika dan kimia dari antosianin dilihat dari kelarutan antosianin
larut dalam pelarut polar seperti metanol, aseton atau kloroform, terlebih
sering dengan air dan diasamkan dengan asam klorida atau asam format.
(Socaciu, 2007:481). Perlakuan yang paling menjaga stabilitas pigmen
Anthocyanidins Substitution pattern
R1 R2 R3
Pelargonidin (plg) H OH H
Cyanidin (cyd) OH OH H
Delphinidin (dpd) OH OH OH
Peonidin (pnd) OCH3 OH H
Petunidin (ptd) OCH3 OH OH
Malvidin (mvd) OCH3 OH OCH3
21
antosianin ekstrak daun jati adalah perlakuan pH 3 dan suhu 75oC
(Fathinatullabibah, 2014:60).
2. Warna dan Stabilitas Antosianin
Warna dan stabilitas pigmen antosianin tergantung pada struktur molekul
secara keseluruhan. Substitusi pada struktur antosianin A dan B akan
berpengaruh pada warna antosianin. Pada kondisi asam warna antosianin
ditentukan oleh banyaknya substitusi pada cincin B. Semakin banyak
substitusi OH akan menyebabkan warna semakin biru, sedangkan metoksilasi
menyebabkan warna semakin merah. Penambahan gugus hidroksil
menghasilkan pergeseran ke arah warna biru (pelargonidin → sianidin →
delpinidin), dimana pembentukan glikosida dan metilasi menghasilkan
pergeseran ke arah warna merah (pelargonidin → pelargonidin-3-glukosida;
sianidin → peonidin). Degradasi antosianin terjadi tidak hanya selama
ekstraksi dari jaringan tumbuhan tetapi juga selama proses dan penyimpanan
jaringan makanan. (Nugraheni, 2014:81).
Kestabilan antosianin dipengaruhi oleh pH, suhu, sinar dan oksigen, serta
faktor lainnya seperti ion logam (Nugraheni, 2014:81).
a. Transformasi Struktur dan pH
Pada umumnya penambahan hidroksilasi menurunkan stabilitas,
sedangkan penambahan metilasi meningkatkan stabilitas. Faktor pH tidak
hanya mempengaruhi warna antosianin tetapi juga mempengaruhi
stabilitasnya. Antosianin akan lebih stabil dalam larutan asam jika
dibandingkan dengan larutan alkali. Dalam medium cair kemungkinan
antosianin dalam empat bentuk struktur yang tergantung pada pH.
Diantaranya basa quonidal biru (A), kation flavilium merah (AH+), basa
karbinol yang tidak berwarna (B), dan khalkon tidak berwarna (B).
b. Suhu
Pemanasan bersifat “irreversible” dalam mempengaruhi stabilitas pigmen
dimana kalkon yang tidak berwarna tidak dapat kembali menjadi kation
flavilium yang berwarna merah. Degradasi antosianin dipengaruhi oleh
temperatur.
22
c. Cahaya
Antosianin tidak stabil dalam larutan netral atau basa dan bahkan dalam
larutan asam warnanya dapat memudar perlahan-lahan akibat terkena cahaya,
sehingga larutan sebaiknya disimpan di tempat gelap dan suhu dingin.
d. Oksigen
Oksidatif mengakibatkan oksigen molekuler pada antosianin. Oksigen
dan suhu nampaknya mempercepat kerusakan antosianin. Stabilitas warna
antosianin selama proses menjadi rusak akibat oksigen.
e. Kopigmentasi
Kopigmen (penggabungan antosianin dengan antosianin atau komponen
organik lainnya) dapat mempercepat atau memperlambat proses degradasi,
tergantung kondisi lingkungan. Bentuk kompleks turun dengan adanya
protein tannin, flavonoid lainnya, dan polisakarida. Walaupun sebagian
komponen tersebut tidak berwarna, mereka dapat meningkatkan warna
antosianin dengan pergeseran batokromik, dan meningkatkan penyerapan
warna pada panjang gelombang penyerapan warna maksimum. Kompleks ini
cenderung menstabilkan selama proses dan penyimpanan.
K. Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses penyarian zat aktif dari bagian tanaman obat
yang bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam bagian
tanaman obat tersebut (Marjoni, 2016:15).
Ekstrak adalah sediaan yang dapat berupa kering, kental dan cair, dibuat
dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di
luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus
menjadi serbuk (Depkes RI, 1979:9).
Maserasi berasal dari kata “macerate” yang berarti merendam, sehingga
maserasi dapat diartikan sebagai suatu sediaan cair yang dibuat dengan cara
merendam bahan nabati menggunakan pelarut bukan air atau pelarut setengah
air seperti etanol encer selama waktu tertentu pada temperatur kamar dan
terlindung dari cahaya (Marjoni, 2016:39).
23
Prinsip kerja maserasi adalah proses melarutnya zat aktif berdasarkan
sifat kelarutannya dalam suatu pelarut. Pelarut yang digunakan, akan
menembus dinding sel dan kemudian masuk kedalam sel tanaman yang penuh
dengan zat aktif. Pelarut yang berada didalam sel mengandung zat aktif
sementara pelarut yang berada diluar sel belum terisi zat aktif, sehingga
terjadi ketidakseimbangan konsentrasi. Perbedaan konsentrasi ini akan
mengakibatkan terjadinya proses difusi, dimana larutan dengan konsentrasi
tinggi akan terdesak keluar sel dan digantikan oleh pelarut dengan konsentrasi
rendah. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sampai didapat suatu
keseimbangan konsentrasi (Marjoni, 2016:40).
Ekstraksi antosianin dari tumbuhan segar adalah dengan menghancurkan
bagian tumbuhan tersebut dalam tabung menggunakan sesedikit mungkin
methanol yang mengandung HCl pekat 1%. Cara lain, jaringan tumbuhan
yang jumlahnya lebih banyak dapat dimaserasi dalam pelarut yang
mengandung asam, lalu maserat disaring. Ekstrak kemudian dipekatkan pada
tekanan rendah dan suhu 35oC - 40
oC sampai volumenya menjadi kira-kira
seperlima volume ekstrak asal (Harborne,1987:80).
Sebanyak 200 g daun jati muda yang telah digerus diekstraksi dengan 1
liter etanol 96% yang telah dicampur dengan 5 g asam sitrat, ditutup dan
dibiarkan selama 1 malam terlindung dari cahaya sambil sering diaduk,
disaring dengan kertas saring, filtrat di tampung. Filtrat kemudian diuapkan
dengan bantuan alat rotary evaporator pada temperatur kurang lebih 45oC,
kemudian dipekatkan menggunakan freeze dryer sehingga didapatkan ekstrak
daun jati (Hidayat dan Saati, 2006:35 dalam Erinda, 2011).
Daun jati dikeringanginkan terlebih dahulu hingga kadar air 10 + 2 %.
Kemudian daun jati dikecilkan ukurannya dan diayak menggunakan ayakan
50 mesh. Selanjutnya daun jati dimaserasi selama 24 jam pada suhu ruang
dengan rasio sampel dan pelarut 1:25. Pelarut yang digunakan adalah etanol
70 % yang diasamkan dengan HCl 1 %. Hasil ekstrak kemudian disaring
dengan kertas saring dan disimpan dalam botol gelap pada suhu refrigerator
(10 ± 2oC) sampai akan digunakan untuk analisis. (Fathinatullabibah,
2014:61).
24
Pada proses esktraksi, pelarut yang digunakan diperlukan adanya
penambahan asam. Asam berfungsi untuk mendenaturasi membran sel
tanaman, kemudian melarutkan pigmen antosianin sehingga dapat keluar dari
sel, serta mencegah oksidasi (Robinson, 1995 dalam Tensiska 2006).
Evaporasi merupakan pengentalan larutan dengan cara mendidihkan atau
menguapkan pelarut yang bertujuan untuk memperkecil volume larutan dan
menurunkan aktivitas air aw (Praptingingsih, 1999 dalam Bhanuwati, 2017).
Alat yang digunakan ialah vacuum rotary evaporator. Prinsip alat ini ialah
pemisahan zat terlarut dari pelarutnya dengan pemanasan yang dipercepat
oleh putaran dari labu, pelarut dapat menguap disebabkan karena adanya
penurunan tekanan. Hal ini menyebabkan pelarut dapat dipisahkan dari zat
terlarutnya tanpa pemanasan yang tinggi (Sudjadi, 1986 dalam Bhanuwati,
2017). Salah satu tujuan evaporasi adalah untuk meningkatkan konsentrasi
atau viskositas larutan sebelum diproses lebih lanjut. Sebagai contoh pada
pengolahan gula diperlukan proses pengentalan nira tebu sebelum proses
kritstalisasi, spray drying, drum drying, dan lainnya (Wirakartakusumah,
1989 dalam Herlambang, dkk., 2014).
Pengeringan beku (freeze drying) merupakan salah satu teknik
pengeringan. Prinsip teknologi pengeringan beku ini dimulai dengan proses
pembekuan bahan baku dan dilanjutkan dengan pengeringan; yaitu
mengeluarkan/memisahkan hampir sebagian besar air dalam bahan yang
terjadi melalui mekanisme sublimasi. (Hariyadi, 2013:53,55,56)
Tabel 2.2 Perbedaan antara pengeringan biasa dan pengeringan beku
Kriteria Pengeringan Biasa Pengeringan Beku
Suhu Pengeringan 37 - 93oC (tergantung tekanan dan aliran udara
Dibawah titik beku
Mekanisme Pengeringan
Penguapan (evaporasi) Sublimasi
Laju Pengeringan Lambat dan tidak komplit Cepat dan lebih komplit
Tekanan Umumnya pada tekanan atmosfir
Tekanan Vakum
Biaya Lebih murah Lebih mahal
Sumber : Hariyadi, 2013:55
25
L. Kerangka Teori
Gambar 2.4 Kerangka Teori
SEDIAAN KOSMETIK
Daun Jati (Tectona grandis
L.f.)
mengandung senyawa
antosianin yang
memberikan warna merah
dan berpotensi menjadi
pewarna alami (Nonie,
2011).
Krim Pewarna Pipi
menggunakan pewarna alami
dari ekstrak daun jati muda
(Tecton grandis L.f.)
0%,5%,10%,15%
Formula Krim Pewarna Pipi menurut
Keithler dalam (Tranggona & Latifah, 2007):
Petrolatum, white, short fiber 20.0
Isopropyl myristate 30.0
Beeswax 14.0
Setil alkohol 3.0
Triethanolamine lauryl sulfate 0.4
Borax 1.0
Propilenglikol 2.0
Lake 8.0
Perfume 0.4
Presertative 0.15
Aqua destilata 20.95
Pengujian sifat fisik krim pewarna pipi :
1. Uji Tipe Krim (Syamsuni, 2006)
2. Uji organoleptis (Widodo, 2013)
3. Uji stabilitas sediaan (Djajadisastra,
2004)
4. Uji homogenitas (Depkes RI, 1979)
5. Uji pH (Widodo, 2013)
6. Uji Daya Sebar (Widodo, 2013)
7. Uji Penentuan Ukuran Droplet
(Widodo, 2013)
8. Uji Aseptabilitas Sediaan (Widodo,
2013)
1. Uji Kesukaan (Setyaningsih,2010)
2. Uji Iritasi (Depkes, 1985)
Kosmetik Rias
Bibir
(Wasitaatmadja
1997)
Kosmetik Rias
Rambut
(Wasitaatmadja
1997)
Kosmetik Rias
Wajah
(Wasitaatmadja
1997)
Kosmetik Rias
Mata
(Wasitaatmadja
1997)
Kosmetik Rias
Kuku
(Wasitaatmadja
1997)
Bedak
(Wasitaatmadja
1997)
Compact rouge
(Wasitaatmadja
1997)
Rouge cream
(Wasitaatmadja
1997)
Fluid rouge
(Wasitaatmadja
1997)
Kamuflase
(Wasitaatmadja
1997)
26
M. Kerangka Konsep
Gambar 2.5 Kerangka Konsep
Ekstrak daun jati muda (Tectona grandis
L.f.) dengan konsentrasi 0% 5%, 10%,
dan 15% sebagai pewarna alami dalam
formulasi krim pewarna pipi
Pengujian krim pewarna pipi :
1. Uji tipe krim
2. Uji organoleptis
3. Uji homogenitas
4. Uji pH
5. Uji stabilitas sediaan
6. Uji kesukaan
27
N. Definisi Operasional
Tabel 2.3 Definisi Operasional
Variabel Definisi
Operasional Cara ukur Alat ukur Hasil ukur
Skala
ukur
Ekstrak daun
jati muda
(Tectona
grandis L.f.)
dalam formulasi
sediaan krim
pewarna pipi
Ekstrak yang
didapat
diformulasikan ke
dalam sedian krim
pewarna pipi
dengan
konsentrasi 5%,
10%, dan 15%
sebagai pewarna
alami
Menimbang
ekstrak daun jati
muda (Tectona
grandis L.f.)
dengan
konsentrasi 5%,
10% dan 15%
Neraca
analitik
Ekstrak daun
jati muda
(Tectona
grandis L.f.)5%,
10%, dan 15%
sebagai pewarna
alami
Ratio
Tipe Krim Menentukan jenis
sediaan krim
berupa w/o atau
o/w
Observasi
dengan
sejumlah krim
diteteskan pada
kertas saring,
jika terjadi noda
minyak krim
tipe w/o, jika
basah merata
krim tipe o/w
Checklist 1 = krim w/o
2 = krim o/w
Nominal
Organoleptis
a. Warna
b. Bau
c. Tekstur
Sensasi sistem
visual panelis
terhadap
formulasi sediaan
krim pewarna pipi
ekstrak daun jati
muda (Tectona
grandis L.f.)
dengan
konsentrasi 0%,
5%, 10%, dan
15%
Sensasi aroma
panelis melalui
indra penciuman
terhadap bau yang
kuat atau bau
yang lemah dari
formulasi sediaan
krim pewarna pipi
ekstrak daun jati
muda (Tectona
grandis L.f.)
dengan
konsentrasi 0%,
5%, 10%, dan
15%
Tekstur yang
dirasakan panelis
Observasi
Observasi
Observasi
Checklist
Checklist
Checklist
0=putih
1=coklat
2=coklat tua
3=coklat lebih
gelap
1= bau yang
kuat
2 = bau yang
lemah
1=setengah
padat
cenderung
padat
Nominal
Ordinal
Nominal
28
saat diaplikasikan
ke jari terhadap
formulasi sediaan
krim pewarna pipi
ekstrak daun jati
muda (Tectona
grandis L.f.)
dengan
konsentrasi 0%,
5%, 10%, dan
15%
2=setengah
padat
3=setengah
padat
cenderung
cair
Homogenitas Penampilan
susunan partikel
sediaan krim
pewarna pipi
ekstrak daun jati
muda (Tectona
grandis L.f.)
dengan
konsentrasi 0%,
5%, 10%, dan
15%
yang diamati pada
kaca objek
terdispersi merata
atau tidak
Observasi
terhadap sediaan
pewarna pipi
yang dioleskan
diatas kaca
objek oleh
peneliti dengan
melihat tidak
adanya butir-
butir kasar
Checklist 1=homogen
2=tidak
homogen
Ordinal
pH Besarnya nilai
keasam basaan
terhadap krim
pewarna pipi
ekstrak daun jati
muda (Tectona
grandis L.f.)
dengan
konsentrasi 0%,
5%, 10%, dan
15%
Pengukuran pH meter Nilai dalam
angka (1-14)
Rasio
Stabilitas
Sediaan
Penampilan
sediaan krim
pewarna pipi
ekstrak daun jati
muda (Tectona
grandis L.f.)
dengan
konsentrasi 5%,
10%, dan 15%
yang diamati
dengan jangka
waktu tertentu
Observasi
terhadap sediaan
pewarna pipi
dari segi bentuk,
warna, dan bau
selama
penyimpanan 12
hari ( 6 siklus )
suhu kamar
(25oC) selama
24 jam setelah
itu krim
dipindahkan
pada suhu tinggi
45oC
checklist 1 = sediaan
tetap stabil
ditandai dengan
tidakada
perubahan dari
warna, bau,
tekstur
2 = Sediaan
tidak stabil
ditandai dengan
perubahan dari
warna, bau,
tekstur.
Ordinal
Pemenuhan
syarat evaluasi
sediaan krim
pewarna pipi
Sediaan krim
pewarna pipi yang
memenuhi syarat
evaluasi sediaan
pewarna pipi
meliputi
Melihat
formulasi krim
pewarna pipi
yang memenuhi
evaluasi sediaan
krim pewarna
Checklist 1=Memenuhi
syarat jika
formulasi
krim pewarna
pipi
memenuhi
Nominal
29
organoleptik,
homogenitas, pH,
dan stabilitas
sediaan
pipi semua
evaluasi
sediaan krim
pewarna pipi
meliputi
organoleptik,
homogenitas,
pH, dan
stabilitas
sediaan
2=Tidak
memenuhi
syarat jika
formulasi
krim pewarna
pipi ada yang
tidak
memenuhi
dari salah satu
evaluasi
sediaan krim
pewarna pipi
Kesukaan Penilaian terhadap
suka atau
tidaknya formula
sediaan krim
pewarna pipi yang
sudah memenuhi
syarat evaluasi
krim pewarna pipi
terhadap panelis.
Menilai sediaan
krim pewarna
pipi yang
dilakukan oleh
15 orang panelis
Checklist 1 = suka
2 = netral
3 = tidak suka
Ordinal