bab ii tinjauan pustakarepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/bab ii.pdf · prostaglandin,...

36
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyeri 1. Pengertian Nyeri Nyeri (pain) adalah suatu konsep yang komplek untuk didefenisikan dan dipahami. Nyeri barangkali adalah suatu fenomena yang sering dihadapi oleh petugas kesehatan (Montes-Sandoval, 1999:935). Melzack dan Casey (1968:435) mengemukakan bahwa, nyeri bukan hanya suatu pengalaman sensori belaka tetapi juga berkaitan dengan motivasi dan komponen affektif individunya. The International Association for the Study of Pain (IASP) Sub- committee on Taxonomy (1986) memformulasikan definisi nyeri sebagai “an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue damage or is described in terms of such damage”. Mengacu kepada definisi ini, jelaslah terlihat bahwa pengalaman nyeri melibatkan fenomena sensori, emosional dan juga kognitif. Nyeri biasanya sering diasosiasikan dengan kerusakan jaringan, akan tetapi nyeri dapat saja timbul tanpa adanya injury dimana nyeri timbul tanpa berhubungan dengan sumber yang dapat diidentifikasi. (Ardinata, 2007:77) 2. Mekanisme Nyeri Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan respon terhadap nyeri tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses, yaitu: tranduksi/transduction, transmisi/transmission, modulasi/modulation, dan persepsi/perception (Turk & Flor, 1999:26-29). a. Transduksi/Transduction Transduksi adalah adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi ke bentuk yang dapat diakses oleh otak. Proses transduksi dimulai ketika nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan.

Upload: others

Post on 29-Nov-2020

8 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyeri

1. Pengertian Nyeri

Nyeri (pain) adalah suatu konsep yang komplek untuk didefenisikan

dan dipahami. Nyeri barangkali adalah suatu fenomena yang sering dihadapi

oleh petugas kesehatan (Montes-Sandoval, 1999:935). Melzack dan Casey

(1968:435) mengemukakan bahwa, nyeri bukan hanya suatu pengalaman

sensori belaka tetapi juga berkaitan dengan motivasi dan komponen affektif

individunya.

The International Association for the Study of Pain (IASP) Sub-

committee on Taxonomy (1986) memformulasikan definisi nyeri sebagai “an

unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or

potential tissue damage or is described in terms of such damage”. Mengacu

kepada definisi ini, jelaslah terlihat bahwa pengalaman nyeri melibatkan

fenomena sensori, emosional dan juga kognitif. Nyeri biasanya sering

diasosiasikan dengan kerusakan jaringan, akan tetapi nyeri dapat saja timbul

tanpa adanya injury dimana nyeri timbul tanpa berhubungan dengan sumber

yang dapat diidentifikasi. (Ardinata, 2007:77)

2. Mekanisme Nyeri

Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan respon

terhadap nyeri tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat

proses, yaitu: tranduksi/transduction, transmisi/transmission,

modulasi/modulation, dan persepsi/perception (Turk & Flor, 1999:26-29).

a. Transduksi/Transduction

Transduksi adalah adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi ke bentuk

yang dapat diakses oleh otak. Proses transduksi dimulai ketika nociceptor

yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi.

Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon terhadap

stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

7

b. Transmisi/Transmission

Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa

impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan

saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta

yang berdiameter besar. Saraf aferen akan ber-axon pada dorsal horn di

spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral

spinalthalamic melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral.

c. Modulasi/Modulation

Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol

jalur transmisi nociceptor tersebut. Proses modulasi melibatkan sistem neural

yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi impuls

nyeri ini akan dikontrol oleh sistem saraf pusat dan mentransmisikan impuls

nyeri ini kebagian lain dari sistem saraf seperti bagian korteks. Selanjutnya

impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang

belakang untuk memodulasi efektor.

d. Persepsi/Perception

Persepsi adalah proses yang subjektif. Proses persepsi ini tidak hanya

berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja, akan tetapi juga

meliputi cognition (mengerti) dan memory (mengingat). Oleh karena itu,

faktor psikologis, emosional, dan berhavioral (perilaku) juga muncul sebagai

respon dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini

jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang melibatkan

multidimensional.

3. Multidimensionalitas Fenomena Nyeri

Nyeri adalah fenomena yang multidimensional. Ahles dan koleganya

pada tahun 1983 mengkategorikan lima dimensi dari nyeri yang dialami.

Identifikasi dimensi nyeri ini mulanya diperuntukan untuk nyeri-nyeri pada

kasus-kasus kanker. Kelima dimensi ini meliputi: dimensi fisiologi, sensori,

afektif, cognitive, dan behavior (perilaku). Sebagai tambahan, McGuire pada

tahun 1987 menambahkan dimensi sosial-kultural sebagai dimensi keenam

dalam multidimensional fenomena nyeri. Keenam dimensi dari fenomena

nyeri ini saling berhubungan, berinteraksi serta dinamis (Ardinata, 2007:78).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

8

a. Dimensi Fisiologi

Dimensi fisiologis terdiri dari penyebab organic dari nyeri tersebut seperti

kanker yang telah bermetastase ke tulang atau mungkin juga telah

menginfiltrasi ke sistem saraf (Ahles et al., 1983 dalam Ardinata, 2007:78).

Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua karakteristik yang melekat

dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri. Durasi nyeri mengacu

kepada apakah nyeri yang dialami tersebut akut atau kronik. Sedangkan pola

nyeri dapat diidentifikasi sebagai nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik,

periodik, atau juga nyeri berlanjut, menetap atau konstan (Ardinata, 2007:79).

Sumber nyeri pada kasus kanker sangatlah luas. Tumor dapat menimbulkan

nyeri somatik, viseral, dan bahkan nyeri neurophatic dengan kualitas nyeri

yang berbeda-beda serta mengenai area anatomi tubuh yang berbeda juga.

Sementara itu, penangan kanker juga berkontribusi dalam rangsang nyeri

yang dialami oleh pasien kanker seperti prosedur diagnostik dan standar

modalitas terapi seperti pembedahan, radioterapi dan kemoterapi. Standar

terapi ini menimbulkan nyeri akut dalam jangka pendek atau juga bahkan

nyeri kronik (Ardinata ,2007:79).

b. Dimensi Afektif

Dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu terhadap nyeri

yang dirasakanya. Menurut McGuire dan Sheilder pada tahun 1993, dimensi

afektif dari nyeri identik dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-

pasien yang mudah sekali mengalami kondisi depresi atau gangguan

psikologis lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat

dibandingkan dengan pasien lainnya. Buckelew, Parker, dan Keefe beserta

kolega pada tahun 1994, menemukan bahwa keparahan nyeri berhubungan

signifikan dengan kondisi depresi individu yang mengalami nyeri kronik.

Mereka juga menyatakan bahwa semakin berat nyeri yang dialami, maka

semakin tinggi tingkat depresi individu tersebut (Ardinata, 2007:79).

c. Dimensi Sosio-kultural

Dimensi sosio-kultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari faktor

demografi, adat istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang berhubungan

yang dapat mempengaruhi persepsi dan respon seseorang terhadap nyerinya

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

9

(McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007). Kultur atau budaya

memiliki peran yang kuat untuk menentukan faktor sikap individu dalam

mempersepsikan dan merespon nyerinya. Sementara itu sikap individu ini

juga berkaitan dengan faktor usia, jenis kelamin dan ras. McGuire pada tahun

1984, menemukan bahwa wanita berkulit non-putih dan yang berkulit putih

memiliki perbedaan yang signifikan dalam melaporkan nyerinya. Wanita

berkulit bukan putih melaporkan nyeri yang lebih rendah bila dibandingkan

dengan wanita berkulit putih ketika mengalami nyeri (Ardinata, 2007:79).

Suku asal juga berperan penting dalam hal ini, di Indonesia ditemukan bahwa

nyeri yang dialami oleh pasien yang berasal dari suku Batak dan Jawa

ternyata berbeda. Berbeda dalam laporan nyerinya serta respon terhadap nyeri

itu sendiri (Suza, 2003:248).

d. Dimensi Sensori

Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri itu

timbul dan bagaimanan rasanya. Ahles dan koleganya pada tahun 1983

menyatakan bahwa terdapat tiga komponen spesifik dalam dimensi sensori,

yaitu lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri (Ardinata, 2007:79).

Lokasi dari nyeri memberikan petunjuk penyebab nyeri ditinjau dari segi

aspek sensori. Lokasi nyeri ini sendiri dapat dilaporkan oleh pasien pada dua

atau lebih lokasi (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007:79).

Kondisi dimana dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi yang berbeda

mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin banyak lokasi nyeri

yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit bagi pasien untuk

melokalisasi area nyerinya (Ardinata, 2007:79).

Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan

sering kali digambarkan dengan kata-kata seperti ringan, sedang dan berat.

Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang menggambarkan

skor dari nyeri yang dirasakan (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata,

2007:79-80).

Sedangkan kualitas nyeri adalah berkaitan dengan bagaimana nyeri itu

sebenarnya dirasakan individu. Kualitas nyeri seringkali digambarkan dengan

berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar dan gatal. Pada kasus nyeri kanker,

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

10

pasien sering melaporkan kualitas nyerinya seperti nyeri tajam, berdenyut,

pedih, menusuk, tertekan berat, atau juga bertambah (Ardinata, 2007:80).

e. Dimensi Kognitif

Dimensi kognitif dari nyeri menyangkut pengaruh nyeri yang dirasakan oleh

individu terhadap proses berpikirnya atau pandangan individu terhadap

dirinya sendiri (Ahles et al, 1983 dalam Ardinata, 2007:80). Respon pikiran

individu terhadap nyeri yang dirasakan dapat diasosiasikan dengan

kemampuan koping individu mengahadapi nyerinya. Pasien yang berpendapat

nyerinya sebagai suatu tantangan melaporkan nyeri lebih rendah dengan

tingkat depresi yang rendah juga dan disertai dengan mekanisme koping yang

lebih baik jika dibandingkan dengan pasien yang menganggap nyerinya

adalah sebagai hukuman atau sebagai musuh (Barkwell, 2005:459).

Pengetahuan adalah aspek yang penting dalam dimensi kognitif. Pengetahuan

tentang nyeri dan penanganannya dapat mempengaruhi respon seseorang

terhadap nyeri dan penanganannya. Nyeri itu sendiri dapat dimodifikasi oleh

bagaimana seseorang berpikir tentang nyeri yang dirasakannya, apa saja

pengharapannya atas nyerinya, dan apa makna nyeri tersebut dalam

kehidupannya (Ardinata, 2007:80).

f. Dimensi Perilaku (Behavioral)

Seseorang yang mengalami nyeri akan memperlihatkan perilaku tertentu.

Dimensi perilaku dari nyeri meliputi serangkaian perilaku yang dapat

diobservasi yang berhubungan dengan nyeri yang dirasakan dan bertindak

sebagai cara mengomunikasikan ke lingkungan bahwa seseorang tersebut

mengalami atau merasakan nyeri (Fordyce, 1976 dalam Ardinata, 2007:80).

Tampilan perilaku nyeri yang diperlihatkan seseorang dapat berupa guarding,

bracing, grimacing, keluhan verbal, dan perilaku mengkonsumsi obat. Keefe

dan koleganya pada tahun 1985 menemukan bahwa diantara pasien yang

mengalami kanker di area leher, perilaku menjaga (guarding) dan meringis

(grimacing) adalah perilaku yang paling sering diperlihatkan pasien ketika

merasakan nyeri. Sementara itu Harahap, Peptchitchian, dan Krippracha pada

tahun 2007 menemukan bahwa diantara pasien kanker di Indonesia perilaku

meringis (grimacing) dan menghela nafas (sighing) merupakan perilaku nyeri

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

11

yang paling sering diperlihatakan pasien sewaktu mengalami nyeri (Ardinata,

2007:80).

Lebih jauh lagi, Fordyce pada tahun 1976 mengajukan bahwa perilaku nyeri

dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau dapat juga direinforce oleh

perhatian, suport sosial, atau menghindari kegiatan yang dapat merangsang

nyeri (seperti: bekerja di kantor, pekerjaan rumah tangga). Nyeri, jika diikuti

oleh faktor pendukung, maka nyeri akan bertahan lebih lama dari waktu

penyembuhan normalnya. Romano, Turner, dan Jensen dan koleganya pada

tahun 1995 juga Paulsen dan Altmaier pada tahun 1995 menemukan bahwa

kehadiran pasangan dapat menjadi prediksi terhadap perilaku nyeri yang

diperlihatkan pasien. Sementara itu, Schwartz, Slater, dan Birchler pada tahun

1996 menemukan bahwa perilaku nyeri berhubungan dengan konflik-konflik

perkawinan. Sebagai tambahan, mereka juga menyatakan bahwa perilaku

nyeri ini juga dapat dipengaruhi oleh kondisi hubungan pasien dengan

pasangan hidupnya (Ardinata, 2007:80).

4. Manajemen Nyeri

Manajemen nyeri dapat dilakukan dengan cara mengurangi beberapa

faktor penyebab nyeri, baik secara perifer maupun secara sentral. Menurut

Hargreaves ada tiga golongan obat yang digunakan untuk menghambat kerja

serabut aferen nosiseptif, yaitu analgesik non-opioid (NSAID), analgesik

opioid, dan anastesi lokal (lidokain) (Soesanto dan Santosa, 2008:47).

Obat NSAID (Non-Steroid Anti-inflammatory Drugs) yang bekerja

dengan menghambat siklooksigenase yang mensintesis mediator nyeri seperti

prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan

utama dalam mengatasi nyeri akibat inflamasi. Bila pasien mempunyai

riwayat alergi NSAID, nefropati, peradangan mukosa saluran pencernaan, dan

kehamilan, maka parasetamol merupakan alternatif untuk mengatasi nyeri.

Tetapi bila nyeri terus berlanjut atau tidak responsif terhadap NSAID ataupun

parasetamol, maka harus dipertimbangkan penggunaan analgesik opioid

untuk jangka waktu pendek. Opioid dapat menghambat nyeri lebih kuat

daripada NSAID dengan mengaktifkan reseptor µ yang tersebar di berbagai

tempat di otak, sehingga sinyal nosiseptif dihambat secara sentral.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

12

Penggunaan analgesik opioid hampir selalu dikombinasikan dengan

parasetamol, aspirin, atau ibuprofen untuk mengurangi efek samping

analgesik opioid. Kelompok obat lain yang digunakan untuk mengatasi nyeri

adalah anastesi lokal seperti lidokain. Anastesi lokal bekerja dengan cara

menghambat sinyal nyeri pada serabut saraf tunggal yang terletak di perifer

(Soesanto dan Santosa, 2008:47).

5. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi dan Reaksi Terhadap Nyeri

McCaffery dan Pasero pada tahun 1999 menyatakan bahwa hanya

pasien yang paling mengerti dan memahami tentang nyeri yang ia rasakan.

Oleh karena itulah dikatakan pasien sebagai expert tentang nyeri yang ia

rasakan. Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dan

reaksi masing-masing individu terhadap nyeri (Prasetyo, 2010:33). Faktor-

faktor tersebut antara lain:

a. Usia

Usia merupakan variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri pada

terutama pada anak dan orang dewasa. Anak yang masih kecil mempunyai

kesulitan dalam memahami nyeri dan beranggapan kalau prosedur

pengobatan yang dilakukan dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak kecil yang

belum dapat mengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan dalam

mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada kedua

orang tuanya. Sebagian anak-anak terkadang segan untuk mengungkapkan

keberadaan nyeri yang ia alami, mereka takut akan tindakan perawatan yang

harus mereka terima nantinya (Prasetyo, 2010:33-34).

Orang dewasa berpendapat bahwa nyeri yang terjadi merupakan sesuatu yang

harus mereka terima (Harsono, 2009:24). Seringkali lansia memiliki sumber

nyeri lebih dari satu. Sebagian lansia terkadang pasrah terhadap apa yang

mereka rasakan, mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan

konsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari (Prasetyo, 2010:34).

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam berespon terhadap nyeri.

Perbedaan jenis kelamin telah diidentifikasi dalam hal nyeri dan respon nyeri.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

13

Laki-laki memiliki sensitifitas yang lebih rendah dibandingkan wanita atau

kurang merasakan nyeri. Laki-laki kurang mengekspresikan nyeri yang

dirasakan secara berlebihan dibandingkan wanita (Harsono, 2009:26).

c. Kebudayaan

Budaya merupakan faktor penting bagi seseorang dalam merespon nyeri.

Peneliti antropologi kedokteran Lipton dan Marbach pada tahun 1984

menyatakan bahwa latar belakang budaya mempengaruhi komunikasi,

ekspresi, dan respon terhadap nyeri. Suku juga mempunyai peran bagaimana

cara individu menerima dan mengkomunikasikan nyeri mereka (Harsono,

2009:27).

Ekspresi nyeri dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu tenang dan emosi

pasien tenang umumnya akan diam berkenaan dengan nyeri, mereka memiliki

sikap dapat menahan nyeri. Sedangkan pasien yang emosional akan

berekspresi secara verbal dan akan menunjukkan tingkah laku nyeri dengan

merintih dan menangis (Farida, 2010:10).

d. Makna Nyeri

Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara

seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Individu akan berbeda-beda

mempersepsikan nyeri apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman,

kehilangan, hukuman, dan tantangan. Misalnya Seorang wanita yang

merasakan nyeri saat bersalin akan mempersepsikan nyeri secara berbeda

dengan wanita lainnya yang nyeri karena dipukul oleh suaminya (Prasetyo,

2010:35).

e. Lokasi dan Tingkat Keparahan Nyeri

Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan pada

masing-masing individu. Nyeri yang dirasakan mungkin terasa ringan,

sedang, atau bisa jadi merupakan nyeri yang berat. Dalam kaitannya dengan

kualitas nyeri, masing-masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan

nyeri seperti tertusuk, nyeri tumpul, berdenyut, terbakar, dan lain lain, sebagai

contoh individu yang tertusuk jarum akan melaporkan nyeri yang berbeda

dengan individu yang terkena luka bakar (Prasetyo, 2010:35).

f. Perhatian

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

14

Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi

nyari. Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan meningkatkan respon

nyeri sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan penurunan

respon nyeri. Konsep inilah yang mendasari berbagai terapi untuk

menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing, dan

masase (Prasetyo, 2010:36).

g. Ansietas (Kecemasan)

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas yang

dirasakan seseorang seringkali meningkatkan persepsi nyeri, akan tetapi nyeri

juga dapat menimbulkan perasaan ansietas. Sebagai contoh seseorang yang

menderita kanker kronis dan merasa takut akan kondisi penyakitnya akan

semakin meningkatkan persepsi nyerinya (Prasetyo, 2010:36).

Ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan

persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan

nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi

nyeri (Farida, 2010:11).

h. Keletihan

Kelemahan atau keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan

menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan

koping individu (Prasetyo, 2010:36).

i. Pengalaman Nyeri Sebelumnya

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman yang

telah dirasakan individu tersebut tidak berarti bahwa individu tersebut akan

mudah dalam menghadapi nyeri pada masa yang mendatang. Seseorang yang

terbiasa merasakan nyeri akan lebih siap dan mudah mengantisipasi nyeri

daripada individu yang mempunyai pengalaman sedikit tentang nyeri

(Prasetyo, 2010:36).

j. Dukungan Keluarga dan Sosial

Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran

dari orang terdekat. Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan

dukungan, bantuan, perlindungan dari anggota keluarga, atau teman terdekat.

Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

15

semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting

untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri, karena kehadiran orang terdekat

akan meminimalkan kesepian dan ketakutan (Prasetyo, 2010:37).

k. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan terhadap

terjadinya perubahan perilaku, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan

pada seseorang, maka berarti telah mengalami proses belajar yang lebih

sering, dengan kata lain tingkat pendidikan mencerminkan intensitas

terjadinya proses belajar (Harsono, 2009:28-29).

l. Sikap dan Keyakinan terhadap Nyeri

Sikap dan keyakinan terhadap nyeri dapat mempunyai pengaruh yang kuat

tentang bagaimana nyeri dirasakan dan cara pengelolaan nyeri. Nyeri akut

sering dirasakan sebagai sebuah tanda dari kerusakan jaringan. Pengenalan

terhadap nyeri memungkinkan individu untuk membuat keputusan kapan

nyeri memberikan tanda potensial berbahaya, atau kerusakan jaringan, dan

sumber apa atau derajat nyeri dapat dianggap aman (Harsono, 2009:30).

m. Pola koping

Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit

adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus klien

kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk

nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik

maupun psikologis. Penting untuk mengerti sumber koping individu selama

nyeri. Sumber-sumber koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga,

latihan dan bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk mensupport

pasien dan menurunkan nyeri pasien (Farida, 2010:13).

Sumber koping lebih dari sekitar metode teknik. Seorang klien mungkin

tergantung pada support emosional dari anak-anak, keluarga atau teman.

Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat meminimalkan kesendirian.

Kepercayaan pada agama dapat memberi kenyamanan untuk berdo’a,

memberikan banyak kekuatan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang datang

(Farida, 2010:13).

n. Efek Plasebo

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

16

Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau

tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut benar benar

bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah merupakan efek

positif. Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan

keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali makin banyak

petunjuk yang diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif

intervensi tersebut nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi

diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan

nyeri dibanding dengan pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang

didapatnya tidak mempunyai efek apapun. Hubungan pasien –perawat yang

positif dapat juga menjadi peran yang amat penting dalam meningkatkan efek

plasebo (Farida, 2010:12).

o. Status Pernikahan

Pasien yang tinggal sendiri/bercerai cenderung melakukan penggunaan

analgesik lebih tinggi bila dibandingkan pasien yang menikah maupun belum

menikah. Hingga saat ini, belum ditemukan sebuah penelitian yang

membandingkan ketiga status pernikahan tersebut dalam hal kaitannya

dengan frekuensi penggunaan analgesik. Penelitian oleh Miguel et al pada

tahun 2008 di Spanyol dan Jain et al pada tahun 2016 di India menyatakan

bahwa pasien yang sudah menikah melakukan pengobatan analgesik lebih

tinggi dibandingkan pasien yang belum menikah (Halim, Prayitno, dan

Wibowo, 2018:90).

Penelitian oleh Balbuena et al pada tahun 2009 di Meksiko menyatakan

bahwa pasien yang tinggal sendiri melakukan pengobatan analgesik lebih

sering dibandingkan pasien yang menikah. Perbedaan hasil penelitian ini

dapat disebabkan oleh pasien yang tinggal sendiri/bercerai cenderung

memiliki tingkat stress yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang belum

menikah dan menikah. Stress dapat menjadi salah satu faktor yang memicu

nyeri. Oleh sebab itu, pasien yang tinggal sendiri dapat melakukan

penggunaan analgesik lebih sering bila dibandingkan dengan pasien yang

menikah atau belum menikah (Halim, Prayitno, dan Wibowo, 2018:90).

p. Status Pekerjaan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

17

Pasien yang bekerja melakukan pengobatan analgesik lebih tinggi

dibandingkan pasien yang tidak bekerja. Hasil tersebut serupa dengan hasil

penelitian oleh Miguel et al pada tahun 2008 di Spanyol dan Simon et al pada

tahun 2015 di India yang menyatakan bahwa pasien yang bekerja melakukan

pengobatan lebih sering dibandingkan dengan pasien yang tidak bekerja. Hal

tersebut dapat disebabkan oleh tingkat stress pada pasien yang bekerja lebih

tinggi bila dibandingkan dengan pasien yang tidak bekerja. Sebuah penelitian

oleh Premchand VG pada tahun 2015 di India menyatakan tingkat stress pada

pasien yang bekerja lebih tinggi bila dibandingkan pasien yang tidak bekerja.

Stress merupakan salah satu bagian dari emosi yang dapat pemicu nyeri

(Halim, Prayitno, dan Wibowo, 2018:90).

B. Analgesik

1. Pengolongan Analgesik

Analgesik yang tersedia untuk mengatasi nyeri terbagi menjadi 2

kelompok besar yaitu : analgesik non-opioid atau non-narkotik (misalnya

NSAID dan paracetamol) dan analgesik opioid atau narkotik. Adapun

analgesik non-narkotik bekerja sangat baik dalam menangani nyeri. Obat

NSAID yang bekerja dengan menghambat siklooksigenase yang mensintesis

mediator nyeri seperti prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan

sebagai obat pilhan utama dalam mengatasi nyeri akibat inflamasi. Sedangkan

analgesik opioid atau narkotik (misalnya Tramadol) dapat menghambat nyeri

lebih kuat daripada NSAID dengan mengaktifkan reseptor µ yang tersebar di

berbagai tempat di otak, sehingga sinyal nosiseptif dihambat secara sentral

(Naharuddin, 2013:10).

2. Mekanisme Kerja Obat Analgesik

Obat analgesik bekerja di dua tempat utama, yaitu perifer dan

sentral. Golongan obat NSAID bekerja diperifer dengan menghambat

pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan

sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgesik opioid bekerja di

sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis

sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

18

saraf spinal tidak terjadi (Naharuddin, 2013:11).

Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang

mengalami metabolisme melalui enzim siklooksigenase. Prostaglandin yang

lepas ini akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi,

edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga

prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu

rangsangan nyeri (Naharuddin, 2013:11-12).

Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang

mengkatalisis sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat NSAID

memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan produksi mediator

prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek yakni baik yang

positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung,

penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan

dua isoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai

COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2.COX-1 terutama terdapat

pada mukosa lambung, perenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam

proses hemeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal

dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan

terutama terdapat pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan

inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis (Naharuddin, 2013:12).

3. Analgesik Opiod

Analgesik opioid bekerja pada reseptor yang disebarluaskan di

seluruh otak dan medulla spinalis. Analgesik opioid bekerja di sentral dengan

cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi

penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak

terjadi (Naharuddin, 2013:13).

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat

seperti opium. Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau

menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai efek

farmakodinamik yang lain. Istilah analgesik narkotik dahulu seringkali

digunakan, akan tetapi karena golongan obat ini dapat menimbulkan

analgesia tanpa menyebabkan tidur atau menurunnya kesadaran maka istilah

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

19

analgesik narkotik menjadi kurang tepat (Farmakologi dan Terapi, 2016:214).

Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui kerjanya di daerah

otak yang mengandung peptide yang memiliki sifat farmakologik menyerupai

opioid. Terdapat 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu (µ), delta (δ), dan

kappa (ҡ). Reseptor µ memperantarai efek analgesik mirip morfin, euphoria,

depresi nafas, miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor ҡ

diduga memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi

serta miosis dan depresi nafas yang tidak sekuat agonis µ. Selain itu

disusunan saraf pusat juga didapatkan reseptor δ yang selektif terhadap

enkefalin dan reseptor epsion yang sangat selektif terhadap beta-endorfin

tetapi tidak mempunyai afinitas seperti enkefalin (Farmakologi dan Terapi,

2016:214-215).

Klasifikasi Obat Golongan Opioid. Berdasarkan kerjanya pada

reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi : (1) Agonis penuh (kuat), (2)

Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang), (3) Campuran agonis dan

antagonis, dan (4) Antagonis. Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai

efek agonis, sedangkan agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau

sebagai antagonis dengan menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor

opioid dan mengurangi efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis

dan antagonis adalah opioid yang memiliki efek agonis pada subtipe reseptor

opioid dan sebagai suatu parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor

opioid lainnya. Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi

menjadi derivat fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan

benzomorfan (Farmakologi dan Terapi, 2016:215).

a. Morfin dan Alkaloid Opium

Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah

dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan:

(1) Golongan Fenantren, misalnya Morfin dan Kodein dan (2) Golongan

Benizilisokinolin, misalnya Noskapin dan Papaverin (Farmakologi dan

Terapi, 2016:215-216).

1) Indikasi

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

20

Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau

menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-

opioid. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai infark miokard,

neoplasma, kolik renal, oklusio akut vaskular perifer, pulmonal, perikarditis

akut, dan nyeri akibat trauma misalnya luka bakar dan pascabedah

(Farmakologi dan Terapi, 2016:220).

2) Farmakodinamik

Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan

karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor µ. Selain itu morfin juga

mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor δ dan ҡ (Farmakologi

dan Terapi, 2016:217).

Efek morfin terhadap Susunan Saraf Pusat berupa analgesia dan

narkosis. Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien

yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah dan pada orang normal

seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai

mual dan muntah (Farmakologi dan Terapi, 2016:217).

b. Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin Lain

1) Indikasi

Meperidin yang juga dikenal sebagai petidin. Meperidin hanya

digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis,

meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada

morfin (Farmakologi dan Terapi, 2016:224).

Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik

dan sebagai obat praanestetik. Untuk menimbulkan analgesia obstetrik

dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang menyebabkan depresi napas

pada janin (Farmakologi dan Terapi, 2016:224).

2) Farmakodinamik

Efek farmakodinamik meperidin dan derivat fenilpiperidin lain

serupa satu dengan yang lain. Meperidin terutama bekerja sebagai agonis

reseptor µ (Farmakologi dan Terapi, 2016:222).

Pada Susunan Saraf Pusat, meperidin menimbulkan analgesia,

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

21

sedasi, euforia, depresi napas dan efek sentral lain. Efek analgetik meperidin

mulai timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2

jam (Farmakologi dan Terapi, 2016:222).

c. Metadon dan Opioid Lain

1) Metadon

a) Indikasi

Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri

yang dapat dipengaruhi morfin, tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon

sedikit lebih kuat daripada morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit

setelah pemberian parenteral atau 30-60 menit setelah pemberian oral. Obat

ini menyebabkan depresi napas pada janin sehingga tidak dianjurkan sebagai

analgesik pada persalinan (Farmakologi dan Terapi, 2016:227).

b) Farmakodinamik

Di Susunan Saraf Pusat, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama

kuat dengan efek 10 mg morfin. Setelah pemerian metadon beulang kali

timbul efek sedasi yang jelas. Dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi

napas yang sama kuat seperti morfin dan dapat bertahan lebih dari 24 jam

setelah dosis tunggal. Metadon juga berefek antitusif, menimbulkan

hiperglikemia, hipotemia, dan pelepasan ADH (Farmakologi dan Terapi,

2016:226).

2) Propoksifen

a) Indikasi

Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga

sedang, yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi

propoksifen bersama asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi kodein

bersama asetosal. Dosis propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4 kali 65

mg sehari, dengan atau tanpa asetosal (Farmakologi dan Terapi, 2016:228).

b) Farmakodinamik

Propoksifen terutama terikat pada reseptor µ meskipun kurang

selektif dibandingkan morfin. Propoksifen 65-100 mg secara oral

memberikan efek yang sama kuat dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

22

propoksifen parenteral menimbulkan analgesia yang sama kuat dengan 50 mg

meperidin parenteral. Tetapi propoksifen menimbulkan perasaan panas dan

iritasi di tempat suntikan. Kombinasi propoksifen dengan asetosal berefek

analgesik yang jauh lebih baik daripada jika masing-masing obat diberikan

tersendiri. Obat ini tidak berefek antitusif (Farmakologi dan Terapi,

2016:228).

d. Antagonis Opioid

Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak

menimbulkan banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis

opioid atau bila opioid endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stress

atau syok. Nalokson merupakan prototip antagonis opioid yang relatif murni,

demikian pula naltrekson yang dapat diberikan pemberian oral dan

memperlihatkan masa kerja yang lebih lama daripada nalokson. Dalam dosis

besar keduanya memperlihatkan beberapa efek agonis, tetapi efek ini tidak

berarti secara klinis (Farmakologi dan Terapi, 2016:229).

a) Indikasi

Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akiat

takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat

opioid sewaktu persalinan; atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid;

dalam hal ini nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan

untuk mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik terhadap opioid

(Farmakologi dan Terapi, 2016:230).

b) Farmakodinamik

Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa Nalokson

menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya

tinggi; mengantagonis efek analgetik plasebo; mengantagonis analgesia yang

terjadi akibat perangsangan lewat jarum akupuntur. Namun, masih perlu

pembuktian lebih lanjut efek nalokson ini sebab banyak faktor fisiologi yang

berperan dalam analgesia di atas. Dugaan yang sama juga timul tentang efek

nalokson terhadap hipotensi pada hewan dalam keadaan syok, dan efeknya

dalam mencegah overating dan obesitas pada tikus-tikus yang diberi stres

berat (Farmakologi dan Terapi, 2016:229).

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

23

Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi napas yang

diduga karena kerjanya pada reseptor κ. Berbeda dengan morfin, depresi

napas tidak bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini, terutama

levalorfan memperberat depresi napas oleh morfin dosis kecil, tetapi

mengantagonis depresi napas akibat morfin dosis besar (Farmakologi dan

Terapi, 2016:229).

e. Agonis Parsial

1) Pentazosin

a) Indikasi

Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang, tetapi

kurang efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat ini juga

digunakan untuk medikasi praanestesik. Bila digunakan untuk analgesia

obstetrik, pentazosin dapat mengakibatkan depresi napas yang sebanding

meperidin (Farmakologi dan Terapi, 2016:231).

b) Farmakodinamik

Efeknya terhadap Susunan Saraf Pusat mirip dengan efek opioid

yaitu menyebabkan analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia yang

timbul agaknya karena efeknya pada reseptor κ, karena sifatnya berbeda

dengan analgesia akibat morfin. Analgesia timbul lebih dini dan hilang lebih

cepat daripada morfin. Pada dosis 60-90 mg obat ini menyebabkan disforia

dan efek psikotomimetik mirip nalorfin yang hanya dapat diantagonis oleh

nalokson. Diduga timbulnya disforia dan efek psikotomimetik karena

kerjanya pada reseptor δ (Farmakologi dan Terapi, 2016:230-231).

2) Butorfanol

a) Indikasi

Butorfanol efektif untuk mengatasi nyeri akut pascabedah sebanding

dengan morfin, meperidin atau pentazosin. Butorfanol sama efektif dengan

miperidin untuk medikasi praanestetik. Obat ini tidak dianjurkan digunakan

untuk nyeri yang menyertai infark miokard akut. Dosis butorfanol yang

dianjurkan untuk dewasa adalah dosis 1-4 mg IM atau 0,5-2 mg IV dan dapat

diulang 3-4 jam (Farmakologi dan Terapi, 2016:231).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

24

b) Farmakodinamik

Pada pasien pascabedah, suntikan 2-3 mg butorfanol menimbulkan

analgesia dan depresi napas menyerupai efek suntikan 10 mg morfin atau 80

mg meperidin. Dosis analgetik butorfanol juga meningkatkan tekanan arteri

pulmonal dan kerja jantung (Farmakologi dan Terapi, 2016:231).

3) Buprenorfin

a) Indikasi

Selain sebagai analgesik, buprenorfin juga bermanfaat untuk terapi

penunjang pasien ketergantungan opioid, dan pengobatan adiksi heroin

(Farmakologi dan Terapi, 2016:232).

b) Farmakodinamik

Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain pada Susunan

Saraf Pusat seperti morfin. Buprenorfin dapat mengantagonis depresi

pernapasan yang ditimbulkan oleh dosis anestesik fentanil sama baiknya

dengan nalokson. Depresi pernapasan yang ditimbulkan dapat dicegah oleh

penggunaan nalokson (Farmakologi dan Terapi, 2016:231).

4) Tramadol

Tramadol adalah analog kodein sintetik yang merupakan agonis

reseptor µ yang lemah. Sebagian dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh

inhibisi ambilan norepinefrin dan serotonin (Farmakologi dan Terapi,

2016:232). Tramadol adalah analgesik opioid sintetik yang bekerja di sentral

untuk mengatasi nyeri sedang hingga berat. Efek analgesik tramadol

dihasilkan melalui jalur opioid dengan cara berikatan dengan reseptor µ dan

jalur non-opioid (efek monoaminergik) dengan cara menghambat

pengambilan norepinefrin dan serotonin. Afinitas tramadol terhadap reseptor

µ relatif rendah sehingga aktivitas opioid tramadol tergolong lemah bila

dibandingkan dengan opioid lain seperti morfin dan kodein (Naharuddin,

2013:13).

a) Mekanisme Kerja Tramadol

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

25

Tramadol merupakan opioid sintetik yang tidak mengandung opioid.

Tramadol adalah analgesik yang bekerja sentral, tetapi dapat bertindak

setidaknya sebagian dengan mengikat reseptor µ opioid, menyebabkan

penghambatan jalur nyeri meningkat (Medscape, 2019. https://reference.

medscape.com/drug/ ultram-er-tramadol-343324#10).

Tramadol dan motabolit aktifnya (M1) berikatan dengan reseptor µ

opioid di susunan saraf pusat yang menyebabkan penghambatan jalur nyeri

yang meningkat, mengubah persepsi dan respons terhadap nyeri, juga

menghambat pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin, yang juga

memodifikasi tingkatan jalur nyeri. (American Pharmacist Association, 2013)

b) Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral 68% dan

100% bila digunakan secara IM. Tramadol mengalami metabolisme di hati

dan diekskresi oleh ginjal, dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol

dan 7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam setelah

penggunaan secara oral, dan mencapai puncak dalam 2-3 jam. Lama

analgesia sekitar 6 jam. Dosis Maksimal per hari yang dianjurkan 400 mg

(Farmakologi dan Terapi, 2016:232).

Bioavailabilitas tramadol pelepasan segera 75%, pelepasan

diperpanjang 85-90%. Onset: ~ 1 jam. Durasi: 9 jam. Waktu plasma puncak

yaitu pada pelepasan segera, 1,5 jam, dan pada pelepasan diperpanjang 12

jam. Protein terikat 20%. Vd: 2,5-3 L/kg. Dimetabolisme di hati oleh

CYP2D6 dan CYP3A4 melalui N- dan O-demethylation dan

glucuronidation/sulfation. Metabolitnya yaitu M1 (O-desmethyltramadol,

aktif). Metabolit M1 memiliki afinitas 200 kali lebih besar untuk reseptor

opioid daripada obat induk. Dalam metabolisme buruk CYP2D6, kadar

tramadol dapat meningkat 20% dan kadar M1 berkurang 40%. Waktu paruh

6-8 jam. Ekskresi pada urin (90%) (Medscape, 2019.

https://reference.medscape.com/drug/ ultram-er-tramadol-343324#10).

c) Indikasi

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

26

Tramadol digunakan untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat

parah. Formulasi pelepasan Tramadol yang diperpanjang diindikasikan untuk

pasien yang membutuhkan manajemen nyeri sedang sampai berat setiap saat

untuk jangka waktu yang lama (American Pharmacist Association, 2013).

d) Dosis dan Aturan Pakai

Pediatri

Pelepasan segera:

<17 tahun: Keamanan dan kemanjuran tidak ditetapkan.

≥17 tahun (akut): 50-100 mg pemberian oral setiap 4-6 jam bila diperlukan,

tidak melebihi 400 mg/hari.

≥17 tahun (kronis): Pemberian oral 25 mg setiap pagi pada awalnya,

meningkat 25-50 mg/hari setiap 3 hari sebagai dosis terpisah hingga 50-100

mg pemberian oral setiap 4-6 jam bila diperlukan, tidak melebihi 400

mg/hari.

Pelepasan diperpanjang:

<18 tahun: Keamanan dan kemanjuran tidak ditetapkan.

Dewasa

Pelepasan segera:

Kronis: Pemberian oral 25 mg setiap pagi pada awalnya; meningkat 25-50

mg/hari setiap 3 hari hingga 50-100 mg pemberian oral setiap 4-6 jam bila

diperlukan, tidak melebihi 400 mg/hari.

Akut: 50-100 mg pemberian oral setiap 4-6 jam bila diperlukan, tidak

melebihi 400 mg/hari.

Pelepasan diperpanjang:

100 mg pemberian oral sekali sehari pada awalnya; meningkat 100 mg/hari

setiap 5 hari, tidak melebihi 300 mg/hari.

Jangan mengunyah, menghancurkan, membelah, atau membubarkan.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

27

Geriatri

> 65 tahun: Memulai di ujung bawah kisaran dosis; tidak melebihi 300

mg/hari jika> 75 tahun.

> 75 tahun: Tidak melebihi 300 mg/hari pelepasan segera; berhati-hatilah

dengan rilis yang diperpanjang (American Pharmacist Association, 2013)

e) Reaksi Obat tidak Dikehendaki

Tabel 2.1 ROTD Berdasarkan Medscape

> 10% 1-10% <1%

Sembelit (24-46%)

Mual (24-40%)

Pusing (10-33%)

Vertigo (26-33%)

Sakit kepala (18-32%)

Somnolence (7-25%)

Muntah (9-17%)

Agitasi (7-14%)

Kecemasan (7-14%)

Labilitas emosional (7-14%)

Euforia (7-14%)

Halusinasi (7-14%)

Gugup (7-14%)

Spastisitas (7-14%)

Dispepsia (5-13%)

Asthenia (6-12%)

Pruritus (8-11%)

Diare (5-10%)

Mulut kering (5-10%)

Berkeringat (6-9%)

Hipertonia (1-5%)

Malaise (1-5%)

Gejala Menopause (1-5%)

Ruam (1-5%)

Frekuensi kemih (1-5%)

Retensi urin (1-5%)

Vasodilatasi (1-5%)

Gangguan penglihatan (1-

5%)

Kiprah abnormal

Amnesia

Disfungsi kognitif

Depresi

Kesulitan konsentrasi

Dysphoria

Disuria

Kelelahan

Halusinasi

Gangguan menstruasi

Kelemahan sistem motor

Hipotensi ortostatik

Paresthesia

Kejang

Kecenderungan bunuh diri

Sinkop

Takikardia

(Medscape, 2019. https://reference.medscape.com/drug/ ultram-er-tramadol-343324#10).

Tabel 2.2 ROTD (>10%) Berdasarkan Drug Information Handbook

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

28

Kardiovaskular Pembilasan (8% hingga 16%)

Sistem Saraf Pusat Pusing (10% hingga 33%), sakit kepala (4% hingga 32%),

mengantuk (7% hingga 25%), insomnia (2% hingga 11%)

Dermatologis Pruritus (3% hingga 12%)

Gastrointestinal Sembelit (9% hingga 46%), mual (15% hingga 40%), muntah (5%

hingga 17%), dispepsia (1% hingga 13%)

Neuromuskuler &

Kerangka

Kelemahan (4% hingga 12%)

(American Pharmacist Association, 2013)

Tabel 2.3 ROTD (1-10%) Berdasarkan Drug Information Handbook

Kardiovaskular Hipotensi ortostatik (2% hingga 5%), nyeri dada (1% hingga <5%),

hipertensi (1% hingga <5%), edema perifer (1% hingga <5%), vasodilatasi

(1% hingga <5%)

Sistem Saraf Pusat Agitasi (1% hingga <5%), kecemasan (1% hingga <5%), apatis (1%

hingga <5%), kedinginan (1% hingga <5%) kebingungan (1% hingga

<5%), gangguan koordinasi (1% hingga <5%), depersonalisasi (1%

hingga <5%), depresi (1% hingga < 5%), euforia (1% hingga <5%),

demam (1% hingga <5%) hipoestesia (1% hingga <5%), lesu (1% hingga

<5%) gugup (1% hingga 15%), nyeri (1% hingga <5%), pireksia (1%

hingga <5%), gelisah (1% hingga <5%), malaise (<1% hingga: 5%),

kelelahan (2%), vertigo (2%)

Dermatologis Dermatitis (1% hingga <5%), ruam (1% hingga <5%)

Endokrin &

Metabolik

Hot flashes (2% hingga 9%), hiperglikemia (1 % hingga <5%), gejala

menopause (1% hingga <5%)

Gastrointestinal Diare (5% hingga 10%), xerostomia (3% hingga 13%), anoreksia (1%

hingga 6%), sakit perut (1% hingga <5%), nafsu makan menurun (1%

menjadi <5%), penurunan berat badan (1% hingga <5%), perut kembung

(<1% hingga <5%)

Genitourinari Nyeri panggul (1% hingga <5%), kelainan prostat (1% hingga <5%),

kelainan urin (1% hingga <5%), infeksi saluran kemih (1% hingga <5%),

frekuensi kemih (<1% hingga <5%), retensi urin (<1 % menjadi <5%)

Neuromuskuler &

Kerangka

Arthralgia (1% hingga 5%), nyeri punggung (1% hingga <5%), kreatin

fosfokinase meningkat (1% hingga <5%), mialgia (1% menjadi <5%),

hipertonia (1% hingga <5%), nyeri leher (1% hingga <5%), kerasnya (1%

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

29

hingga 5%) paresthesia (1% hingga 5%), tremor (1% hingga <5%)

Okuler kabur penglihatan (1% hingga <5%), miosis (1% hingga <5%)

Pernafasan Bronkitis (1% hingga <5%), kongesti (sinus hidung) (1% hingga <5%),

batuk (1% hingga <5%) , dispnea (1% hingga <5%), nasofaringitis (1%

hingga <5%), faringitis (1% hingga <5%), rinitis (1% hingga <5%),

rhinohea (1% hingga <5%), sinusitis (1% hingga <5%), bersin (1% hingga

<5%), sakit tenggorokan (1% hingga <5%), infeksi saluran pernapasan

atas (1% hingga <5%)

Miscellaneous Diaphoresis (2% hingga 9%) , sindrom seperti flu (1% hingga <5%),

sindrom penarikan (1% hingga <5%), menggigil (<1% hingga <5%)

(American Pharmacist Association, 2013)

f) Potensi Interaksi Obat

Hindari Penggunaan Tramadol bersamaan dengan salah satu dari:

Azelastine (Nasal), Carbamazepine, Conivaptan, dan Paraldehide.

Peningkatan Efek / Toksisitas

Tramadol dapat meningkatkan efek dari: Alkohol (Etil), Alvimopan,

Azelastine (Nasal), Carbamazepine, CNS Depressants, Desmopressin,

Penghambat MAO, Metoklopramide, Metirosine, Paraldehide, Pramipexole,

Ropinirole, Rotigotine, SSRI, Modulator Serotonin, Diuretik Thiazide,

Antagonis Vitamin K, dan Zolpidem.

Tramadol dapat ditingkatkan dengan Amfetamin, Agen Antipsikotik

(Fenotiazin), Antipsikotik, Konvaptan, Siklobenzaprine, CYP3A4 Inhibitor

(Sedang), CYP3A4 Inhibitor (Kuat), Dasatinib, Hidroksizin, Ivakaftor,

Magnesium Sulfat, Mifepristone, Perampanel, SSRI, Sodium Oxybate,

Succinylcholine, dan Tricyclic Antidepresan.

Penurunan Efek

Tramadol dapat menurunkan efek. Carbamazepine dan Pegvisomant.

Efek Tramadol dapat dikurangi oleh Ammonium Chloride, Antiemetik

(Antagonis 5HT3) Carbamazepine, Penghambat CYP2D6 (Sedang),

Penghambat CYP2D6 (Kuat); Penangkal CYP3A4 (Kuat), Deferasirox,

Campuran Opioid Agonis/Antagonis, dan Tocilizumab (American Pharmacist

Association, 2013).

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

30

Tramadol di kontraindikasi dengan alvimopan, procarbazine,

rasagiline, safinamide, selegiline. Tramadol tidak di anjurkan untuk

digunakan bersamaan dengan obat obat berikut ini: alfentanil, apalutamide,

belladonna dan opium, benzhydrocodone, buprenorphine, buprenorphine

buccal, butorphanol, clonidine, codeine, cyclobenzaprine, dacomitinib,

desvenlafaxine, dextromoramide, diamorphine, difenoxin hcl, diphenoxylate

hcl, dipipanone, duloxetine, eluxadoline, fentanyl, fentanyl intranasal,

fentanyl iontophoretic transdermal system, fentanyl transdermal, fentanyl

transmucosal, hydrocodone, hydromorphone, idelalisib, obenguane i131,

isocarboxazid, ivosidenib, levorphanol, linezolid, lorcaserin, meperidine,

methadone, methylene blue, morphine, nalbuphine, opium tincture,

oxycodone, oxymorphone, papaveretum, pentazocine, phenelzine,

procarbazine, selegiline transdermal, sodium oxybate, sufentanil, sufentanil

sl, tapentadol, tedizolid, tranylcypromine, valerian, vilazodone, vortioxetine

(Medscape, 2019. https://reference. medscape.com/drug/ ultram-er-tramadol-

343324#10)

Secara klinis, tramadol terbukti mempunyai efek samping yang lebih

rendah dibandingkan dengan opioid lainnya dalam hal depresi pernafasan,

konstipasi, dan bahaya adiksi. Depresi pernafasan dan ketergantungan

tramadol lebih rendah dibandingkan kodein atau opioid lain karena tramadol

juga bekerja pada jalur non-opioid. Depresi pernafasan akibat tramadol dapat

dihambat oleh nalokson, tapi pemberian nalokson dapat mempertinggi

kemungkinan kejang. Oleh sebab itu pasien dengan riwayat kejang atau

sedang mengkonsumsi obat penghambat Mono Amin Oksidase (MAO) atau

penghambat selektif serotonin tidak boleh diberikan tramadol. Selain itu,

tramadol juga tidak boleh diberikan pada pasien bekas pecandu narkotika

(Soesanto dan Santosa, 2008:48).

C. Penggunaan Obat yang Rasional (Kemenkes RI, 2011)

WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di

dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan

separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Secara praktis,

penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

31

1. Tepat Diagnosis

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang

tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan

terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang

diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya. Contoh :

Diare disertai darah dan lendir, serta gejala tenesmus. Diagnosis yaitu

amoebiasis maka diberikan obat Metronidazol.

2. Tepat Indikasi Penyakit

Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik,

misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian

obat ini hanya dianjurkan untuk pasien dengan gejala adanya infeksi bakteri.

3. Tepat Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis

ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang

memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. Contoh: Gejala

demam terjadi pada hampir semua kasus infeksi dan inflamasi. Untuk

sebagian besar demam, pemberian parasetamol lebih dianjurkan, karena

disamping efek antipiretiknya, obat ini relatif paling aman dibandingkan

dengan antipiretik yang lain. Pemberian antiinflamasi non steroid (misalnya

ibuprofen) hanya dianjurkan untuk demam yang terjadi akibat proses

peradangan atau inflamasi.

4. Tepat Dosis

Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap

efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat

yang dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek

samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya

kadar terapi yang diharapkan.

5. Tepat Cara Pemberian

Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula

antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

32

sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.

6. Tepat Interval Waktu Pemberian

Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan

praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian

obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum

obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut

harus diminum dengan interval setiap 8 jam.

7. Tepat lama pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-

masing. Contohnya pada Tuberkulosis, lama pemberian paling singkat adalah

6 bulan. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang

seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.

8. Waspada terhadap efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak

diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu

muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping

sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin

tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan

kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.

9. Tepat penilaian kondisi pasien

Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih

jelas terlihat pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian

aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya

nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna. Kondisi

berikut harus dipertimbangkan sebelum memutuskan pemberian obat.

a. β-bloker (misalnya propranolol) hendaknya tidak diberikan pada penderita

hipertensi yang memiliki riwayat asma, karena obat ini memberi efek

bronkhospasme.

b. Antiinflamasi Non Steroid (AINS) sebaiknya juga dihindari pada penderita

asma, karena obat golongan ini terbukti dapat mencetuskan serangan asma.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

33

c. Peresepan beberapa jenis obat seperti simetidin, klorpropamid,

aminoglikosida dan allopurinol pada usia lanjut hendaknya ekstra hati-hati,

karena waktu paruh obat-obat tersebut memanjang secara bermakna, sehingga

resiko efek toksiknya juga meningkat pada pemberian secara berulang.

d. Peresepan kuinolon (misalnya siprofloksasin dan ofloksasin), tetrasiklin,

doksisiklin, dan metronidazol pada ibu hamil sama sekali harus dihindari,

karena memberi efek buruk pada janin yang dikandung.

10. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin,

serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.

Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam

daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan

dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para

pakar di bidang pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu

diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat

yang Baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia

harus dan telah menerapkan CPOB.

11. Tepat informasi

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat

penting dalam menunjang keberhasilan terapi Sebagai contoh:

a. Peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine penderita berwarna

merah. Jika hal ini tidak diinformasikan, penderita kemungkinan besar

akan menghentikan minum obat karena menduga obat tersebut

menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk penderita

tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka

panjang.

b. Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut harus

diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1 course of

treatment), meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda atau hilang sama

sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari

berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting, agar kadar obat

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

34

dalam darah berada di atas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri

penyebab penyakit.

12. Tepat tindak lanjut (follow-up)

Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah

dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien

tidak sembuh atau mengalami efek samping.

Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering memberikan gejala

takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa

saja obatnya diganti. Demikian pula dalam penatalaksanaan syok anafilaksis,

pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika pada

pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti yang

diharapkan.

13. Tepat penyerahan obat (dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai

penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen.

Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat di

Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang dituliskan

peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien. Proses

penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien

mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga

petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.

14. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan,

ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:

a. Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak

b. Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering

c. Jenis sediaan obat terlalu beragam

d. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi

e. Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara

minum/menggunakan obat

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

35

f. Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek

ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa diberikan

penjelasan terlebih dahulu.

D. Rumah Sakit

1. Pengertian Rumah Sakit

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Undang-

Undang RI, 2009).

Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Provinsi Lampung

merupakan rumah sakit swasta kelas C. Rumah sakit ini mampu memberikan

pelayanan kedokteran spesialis terbatas. Rumah sakit ini juga menampung

pelayanan rujukan dari puskesmas. Rumah Sakit ini menyelenggarakan

pelayanan pengobatan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap.

2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

a. Tugas Rumah Sakit

Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna.

b. Fungsi Rumah Sakit

1) Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai

dengan standar pelayanan rumah sakit

2) Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;

3) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan

4) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan

memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

E. Rekam Medik

Rekam Medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen

tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

36

lain yang telah diberikan kepada pasien. Isi rekam medik sekurang-kurangnya

memuat identitas pasien, tanggal dan waktu, hasil anamnesis mencakup

sekurang-kurangnya riwayat penyakit hasil pemeriksaan fisik dan penunjang

medik, diagnosis, pengobatan dan/atau tindakan, pelayanan lain yang telah

diberikan kepada pasien (Kemenkes RI, No. 269/2008:II:3(1))

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

37

F. Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber : (Prasetyo S.N., 2010), (Farmakologi…, 2016), (Kemenkes RI, 2011)

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Gangguan Nyeri

Pengobatan Nyeri

AnalgesikNon-Opioid

AnalgesikOpioid

Pentazosin

Faktor yang Memengaruhi Nyeri- Usia- Jenis Kelamin- Kebudayaan- Makna Nyeri- Lokasi dan Tingkat Keparahan- Perhatian- Tingkat Kecemasan- Keletihan- Pengalaman Nyeri Sebelumnya- Dukungan Keluarga dan Sosial- Tingkat Pendidikan- Sikap dan Keyakinan terhadap Nyeri- Gaya Koping- Efek Plasebo- Status Pernikahan- Status Pekerjaan

Rasionalitas- Tepat Diagnosis- Tepat Indikasi- Tepat Pemilihan Obat- Tepat Dosis- Tepat Cara Pemberian- Tepat Interval Waktu- Tepat Lama Pemberian- Waspada Terhadap Efek Samping- Tepat Penilaian Kondisi Pasien- Obat yang diberikan harus Efektif dan Aman- Tepat Informasi- Tepat Tindak Lanjut (Follow-Up)- Tepat Penyerahan Obat (Dispensing)- Pasien Patuh Terhadap Perintah Pengobatan

Morfin dan Alkaloid Opium

Meperidin dan DerivatFenilpiperidin Lain

Metadon dan Opioid Lain

Antagonis Opioid

Opioid ParsialButorfanol

Buprenorfin

Tramadol

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

38

G. Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Gambaran Pemberian Tramadol padapasien rawat inap dengan gangguan nyeri diRumah Sakit Pertamina Bintang AminLampung

Karakteristik sosio-demografia. Jenis Kelaminb. Usiac. Tingkat

Pendidikand. Status Pekerjaane. Status Pernikahan

Karakteristik klinisa. Penyakit Utamab. Penyakit Penyertac. Tingkatan Nyerid. Jumlah Item Obate. Bentuk Sediaan

Tramadol

Evaluasi pemberianTramadola. Ketepatan Pemilihan

Obatb. Ketepatan Indikasic. Ketepatan Dosis,d. Ketepatan Aturan

Pakai,e. ROTD (Reaksi Obat

yang TidakDikehendaki),

f. Potensi InteraksiObat

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

39

H. Definisi Operasional

Tabel 2.4 Definisi Operasional

No Variabel Definisi CaraUkur

AlatUkur

Hasil Ukur SkalaUkur

1. KarakteristikSosio-Demografi

a. Usia

b. JenisKelamin

c. TingkatPendidikan

d. StatusPekerjaan

e. StatusPernikahan

Lama hiduppasien dihitungsejak lahir sampaisaat dilakukanpengambilan dataoleh peneliti

Identitas genderpasien

Tingkatpendidikan formalyang pernahdicapai pasiensesuai denganpengakuannya

Status pekerjaanpasien saat ini

Status pernikahanpasien saat ini

ObservasidokumenRekamMedik

ObservasidokumenRekamMedik

ObservasidokumenRekamMedik

ObservasidokumenRekamMedik

ObservasidokumenRekamMedik

Checklist

Checklist

Checklist

Checklist

Checklist

1 = 0 - 18 tahun2 = 19 - 59 tahun3 = ≥ 60 tahun

1 = Perempuan2 = Laki-laki

1 = SD2 = SMP3 = SMA4 = DI5 = DIII6 = S17 = S2

1 = Bekerja2 = Tidak Bekerja

1 = Menikah2 = Belum Menikah

Ordinal

Nominal

Ordinal

Nominal

Nominal

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

40

Tabel 2.4 Definisi Operasional (Lanjutan)

No Variabel Definisi CaraUkur

AlatUkur

Hasil Ukur SkalaUkur

2. KarakteristikKlinis

a. PenyakitUtama

b. PenyakitPenyerta

c. TingkatanNyeri

d. Jumlah ItemObat

e. BentukSediaanTramadol

Penyakit yangdiderita pasien

Penyakit selainPenyakit Utamayang juga dideritapasien

Tingkatan nyeriyang dideritapasien

Jumlah item obatyang harusdiminum pasien,bersamaan denganTramadol.

Bentuk sediaanTramadol yangdiminum /digunakan pasien

ObservasidokumenRekamMedik

ObservasidokumenRekamMedik

ObservasidokumenRekamMedik

ObservasidokumenRekamMedik

ObservasidokumenRekamMedik

Checklist

Checklist

Checklist

Checklist

Checklist

Rincian penyakitutama yang dideritapasien

1 = Ada2 = Tidak Ada

1 = Ringan2 = Sedang3 = Berat

1 = ≥ 5 item2 = < 5 item

1 = Ampul2 = Kapsul3 = Ampul danKapsul

Nominal

Nominal

Ordinal

Ordinal

Nominal

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.poltekkes-tjk.ac.id/678/3/BAB II.pdf · prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin, digunakan sebagai obat pilihan utama dalam mengatasi nyeri akibat

41

Tabel 2.4 Definisi Operasional (Lanjutan)

No Variabel Definisi Cara Ukur AlatUkur

Hasil Ukur SkalaUkur

3. EvaluasiPemberianTramadol

a. TepatPemilihanObat

b. TepatIndikasi

c. Tepat Dosis

d. TepatAturanPakai

e. ROTD atauReaksi Obatyang TidakDikehendaki

f. PotensiInteraksiObat

Obat yang dipilihharus yangmemiliki efekterapi sesuaidengan spektrumpenyakit dandipilih sesuaidengan kondisipasien

Ketepatanpemilihan obatyang sesuaidengan indikasiberdasarkandiagnosis

Dosis Tramadolyang diberikanharus sesuaidengan dosislazim

PemberianTramadol harussesuai denganketepatan intervalwaktu pemberian

Efek tidakdiinginkan yangtimbul padapemberian obatdengan dosisterapi, yang harusdiwaspadai

PenggunaanTramadol yangmenimbulkanPotensi Interaksidengan obat lain

ObservasidokumenRekamMedik

ObservasidokumenRekamMedik

ObservasidokumenRekamMedik

ObservasidokumenRekamMedik

Wawancaramelaluitelepon

ObservasidokumenRekamMedik

Checklist

Checklist

Checklist

Checklist

Checklist

Checklist

1 = Tepat2 = Tidak Tepat

1 = Tepat2 = Tidak Tepat

1 = Tepat2 = Tidak Tepat

1 = Tepat2 = Tidak Tepat

1 = Ada2 = Tidak ada

1 = Ada2 = Tidak ada

Ordinal

Ordinal

Ordinal

Ordinal

Ordinal

Ordinal