bab ii teori umum a. definisi maqasid shari

23
20 BAB II TEORI UMUM MAQA< S} ID SHARI< ’AH A. Definisi Maqa> s} id Shari< ’ah Maqa> sid al-shari< ’ah Secara bahasa (lughawi) terdiri dari dua kata, yakni maqa> s} id dan shari< ’ah. Maqa> s} id adalah bentuk plural dari maqs} ad yang berakar dari kata kerja ( ﻗﺼﺪ- ﯾﻘﺼﺪ- ﻗﺼﺪا- وﻣﻘﺼﺪا). Yang berarti niat, maksud atau tujuan 1 . Sedangkan kata al-shari< ’ah berasal dari kata shara’a al-shai’ yang berarti menjelaskan sesuatu, atau diambil dari al-shar’ah dan al-shari< ’ah dengan arti tempat sumber air yang tidak pernah terputus 2 . Terkadang bisa juga diartikan sumber air, di mana orang ramai mengambil air. Selain itu shari < ’ah berasal dari akar kata shara’a, yashri’u, shar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu pekerjaan 3 , dengan demikian al-shari < ’ah mempunyai pengertian pekerjaan yang baru mulai dilaksanakan. Shara’a juga berarti menjelaskan, menerangkan dan menunjukkan jalan. Jadi, secara bahasa shari< ’ah menunjukkan kepada tiga pengertian, yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan juga awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan. Adapun pengertian Maqa> s} id Shari< ’ah secara istilah al-Sha> t} ibi> tidak membuat ta’ri> f yang khusus, beliau cuma mengungkapkan tentang 1 A.W. Munawwir, Kamus Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997),1123 2 Yusuf Al-Qard} awi, Fikih Maqa> s} id Shari’ah, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar:, 2007), 12 3 Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press:, 2007), 36

Upload: dinhdat

Post on 11-Aug-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

20

BAB II

TEORI UMUM MAQA<S}ID SHARI<’AH

A. Definisi Maqa>s}id Shari<’ah

Maqa>sid al-shari<’ah Secara bahasa (lughawi) terdiri dari dua

kata, yakni maqa>s}id dan shari<’ah. Maqa>s}id adalah bentuk plural

dari maqs}ad yang berakar dari kata kerja ( ومقصدا -قصدا -یقصد - قصد ). Yang

berarti niat, maksud atau tujuan1. Sedangkan kata al-shari<’ah berasal dari

kata shara’a al-shai’ yang berarti menjelaskan sesuatu, atau diambil

dari al-shar’ah dan al-shari<’ah dengan arti tempat sumber air yang tidak

pernah terputus2. Terkadang bisa juga diartikan sumber air, di mana orang

ramai mengambil air. Selain itu shari<’ah berasal dari akar kata shara’a,

yashri’u, shar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu pekerjaan3,

dengan demikian al-shari<’ah mempunyai pengertian pekerjaan yang baru

mulai dilaksanakan. Shara’a juga berarti menjelaskan, menerangkan dan

menunjukkan jalan. Jadi, secara bahasa shari<’ah menunjukkan kepada

tiga pengertian, yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan

terang dan juga awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan.

Adapun pengertian Maqa>s}id Shari<’ah secara istilah al-Sha>t}ibi>

tidak membuat ta’ri>f yang khusus, beliau cuma mengungkapkan tentang

1 A.W. Munawwir, Kamus Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya : Pustaka Progresif,

1997),1123 2 Yusuf Al-Qard}awi, Fikih Maqa>s}id Shari’ah, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar:, 2007), 12 3 Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press:, 2007), 36

Page 2: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

21

shari<’ah dan fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-

Muwa>faqa>t :

وضعت لتحقيق مقاصد الشارع يف قيام مصاحلهم يف الدين والدنيا معا .… هذه الشريعة“Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”.

االحكام مشروعة ملصاحل العباد “Hukum-hukum diundangkan untuk kemashlahatan hamba”.4

Dari ungkapan al-Sha>t}ibi> tersebut bisa dikatakan bahwa Al- Sha>t}ibi> tidak

mendefinisikan Maqa>s}id Shari>’ah secara konfrehensif cuma menegaskan bahwa

doktrin Maq>as}id Shari’ah adalah mas}lahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat

manusia baik di dunia maupun diakhirat. Oleh karena itu al-Sha>t}ibi> meletakkan

posisi mas}lahat sebagai ‘illat hukum atau alasan penshariatan hukum Islam.

Sedangkan Zahruddin Abd Al-Rahman mendefinisikan Maqa>s}id Shari’ah sebagai:

املقاصد هو الغاية واالسرار اليت وضعها الشارع عند كل حكم من احكامه مراعاة ملصاحل 5الناس

“ Maqas}id Shari<’ah adalah tujuan dan rahasia yang ditetapkan oleh Sha>ri’ pada setiap hukum-hukumnya untuk menjaga kemaslahatan manusia”.

sebagian ulama’ menyimpulkan definisi maqa>s}id al-shari>’ah

sebagai :

1. Tujuan-tujuan, nilai, dan faidah yang ingin dicapai dari

diturunkannya shari>’at, baik secara global ataupun secara rinci. Bisa

4 Al- Shat}ibi, Al-Muwa>faqa>t, Jilid II, (Kairo: Must}afa Muhammad, t.th.), 9 5 Zahruddin Abd Al-Rahman, Maqa>s}id Shari’ah fi< Ahka>m al-Buyu>’ (Libanon: Da>r al-kutub al-

Ilmiyah, 2009), 25

Page 3: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

22

juga bermakna tujuan-tujuan diturunkannya shari>’at untuk

merealisasikan kemaslahatan umat manusia.6

2. Kemaslahatan untuk umat manusia yang bersifat segera (di dunia / al-

‘a>jilah) ataupun di masa yang akan datang (di akhirat / al-a>jilah),

sebagai tujuan dari Allah karena telah masuk Islam dan melaksanakan

shari’at-Nya.7 Maqa>sid al-shari>’ah kadang juga disebut dengan kata-

kata “ al-hikam, al-‘illah, al-ma’a>ni>, dan al-mas}a>lih}.8

B. Dasar Maqa>s}id Shari<’ah

Beberapa kandungan ayat al-Qur’a>n yang menunjukkan konsep Maqa>s}id

al-shari>’ah yang menunjukkan bahwa hukum-hukum Tuhan mengandung

kemaslahatan.9 Diantara ayat-ayat tersebut adalah :

- Surat al-Nisa’ ayat 165 :

رسال مبشرين ومنذرين لئال يكون للناس على اهللا حجة بعدالرسل“Mereka kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pambawa peringatan, agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.”10

- Surat al-Zariyat ayat 56 :

وماخلقت اجلن واإلنس إالليعبدون“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahKu.”11

- Surat al-‘Ankabut ayat 45 :

6 Ahmad al-Raisu>ni>, al-Fikr al-Maqa>s}idi>, qawa>’iduhu wa fawa>’iduhu, (riba>t}: al-da>r al-baid}a>’,

1999), 13 7 Muhammad bakr Isma>’i>l Habi>b, Maqa>s}id al-Shari>’ah, Ta’s}i>lan wa Taf’i>lan, (tk, tp, tt), 18 8 Ibid, 25 9 Al- Shat}ibi, Al-Muwa>faqa>t, Jilid II, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), 6-7 10 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Al-Jumanatul Ali, 2004), 524 11 Ibid, 402

Page 4: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

23

إن الصالة تنهى عن الفحشاءواملنكر“Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.”12

Berdasarkan ayat-ayat diatas, al-Sha>t}ibi> mengatakan bahwa maqa>s}id al-

shari<’ah dalam arti kemaslahatan terdapat dalam aspek-aspek hukum secara

keseluruhan.13 Yakni, apabila terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang

tidak ditemukan secara jelas dimensi kemaslahatannya, dapat dianalisis melalui

maqa>s}id al-shari<’ah yang dilihat dari ruh shari’at dan tujuan umum dari agama

Islam.

C. Prinsip Maqa>s}id Shari<’ah

Pembagian maqa>s}id Shari<’ah menjadi tiga tingkatan kemaslahatan,

yaitu d}aru>riya>t, ha>jiya>t dan Tahsi>niya>t. Pembagian tersebut tidak secara

parsial berdiri sendiri karena antara satu dengan yang lain saling melengkapi

dan mengisi kekurangannya14. Kemaslahatan d}aru>riyat adalah bagian

terpenting dari kemaslahatan haji>ya>t dan tahsi>niya>t. Jika d{aru>riyat itu rusak

maka yang lainnya juga ikut rusak, karena d}aru>riyat itu dapat diibaratkan

sebagai imamnya, ha>jiya>t sebagai na>filahnya dan tahsi>niyat itu sesuatu yang

penting selain nafilah.15 Maka dari itu sangat penting kita memelihara

d}aru>riyat terlebih dahulu daripada memelihara ha>jiyat ataupun tahsi>niyat.

12 Ibid, 105 13 Al- Shat}ibi, Al-Muwa>faqa>t, Jilid II, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), 6-7 14 Wahbah Al-Zuhaili>, Us}ul al-Fiqh, juz II, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1986), 1026 15 Muhammad Sa’id Ramd}an al-Bu>t}i, D}awa>bit} al-mas}lahah fi al-Shari’ah al isla>miyah,

(Damaskus, Muassasah al-risa>lah,1977), 129

Page 5: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

24

Prinsip maqa>s}id shari<’ah adalah menjaga kemaslahatan, Sasaran dari

kemaslahatan itu adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta,

kelima-limanya tersusun secara teratur menurut skala prioritas masing-

masing.16 Dalil maslahat itu tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’a>n, as-

sunnah, dan qiyas, harus mendahulukan yang lebih penting, serta mengikuti

prinsip dasar dalam maqa>s}id shari<’ah. Jika pertentangan antara dua perkara

yang sama maka harus didahulukan maslahah yang lebih umum daripada

maslahah yang lebih khusus.17

Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hamba

dunia dan akhirat. seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat,

kemaslahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang

dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum

Islam.18 Hal senada juga dikemukakan oleh al-sha>t}ibi, Ia menegaskan bahwa

semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan

hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum

yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma> la>

yut}a>q’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan).19 Dalam

rangka mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama

16 Wahbah Al-Zuhaili>, Us}ul al-Fiqh juz II, (Libanon, Da>r al-kutub al-Ilmiyah, 2009), 1026 17 Muhammad Sa’id Ramd}an al-Bu>t}i, D}awa>bit} al-mas}lahah fi al-Shari’ah al isla>miyah,

(Damaskus: Muassasah al-risa>lah,1977), 129 18 Ibn Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in Rabb al- ‘Alamin, Jilid III, (Beirut: Da>r al-Jayl, t.th.),.3. lihat

juga Izzuddin Ibn Abd al-salam, Qawa>id al-Ahkam fi Mas}a>lih al -Anam , jilid II,(Bairut: Dar al-Jail, t.thn), 72. Wahbah Zuhaili, Us}ul al-Fiqh al-Islami, Jilid II, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1986), 1017.

19 Al- Shat}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi Us}ul al- Shari’ah, juz II, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), 150.

Page 6: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

25

Us}ul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi,

semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin

terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi Maqa>s}id al-Sha>ri’ah dimaksud

adalah memelihara Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan Harta.20

Pengelompokan ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas.

Urutan level ini secara hirarkhis akan terlihat kepentingan dan

siknifikansinya, manakala masing-masing level satu sama lain saling

bertentangan. Dalam konteks ini level D}aru>riyya>t menempati peringkat

pertama disusul H{a>jiyya>t dan Tah{siniyya>t. level D}aruriyya>t adalah

memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Bila

kebutuhan ini tidak terpenuhi akan mengancam eksistensi kelima tujuan

diatas. Sementara level H{ajiyya>t tidak mengancam hanya saja menimbulkan

kesulitan bagi manusia. Selanjutnya pada level Tah{siniyya>t, adalah

kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam

masyarakat dan dihadapan Allah Swt. Sebagai contoh, dalam memelihara

unsur Agama, aspek d}aruriayya>tnya antara lain mendirikan Shalat, shalat

merupakan aspek d}aruriayya>t, keharusan menghadap kiblat merupakan aspek

h{ajiyya>t, dan menutup aurat merupakan aspeks tah{siniyyat.21 Ketiga level

ini, pada hakikatnya adalah berupaya untuk memelihara kelima misi hukum

Islam.

20 Abi H{a>mid Muhammad bin Muh{ammad al-Ghaza>li, al-mustas}fa> min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut:

Dar al-Fikr, t.th), 20 21 Ibid, 72

Page 7: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

26

Guna mendapatkan gambaran koprehensif tentang tujuan Shari<’ah,

berikut ini akan dijelaskan kelima misi pokok menurut kebutuhan dan skala

prioritas masing-masing.

1. Memelihara Agama (Hifz} al-di>n)

Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat

dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara Agama dalam peringkat D}aruriyya>t, yaitu

memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang

masuk peringkat primer, seperti melaksanakan Shalat lima

waktu. Kalau shalat itu diabaikan maka akan terancamlah

eksistensi Agama.

b. Memelihara Agama dalam peringkat H{ajiyya>t, yaitu

melaksanakan ketentuan Agama, dengan maksud menghindari

kesulitan, seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang

yang sedang berpergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan

maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan

hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.

c. Memelihara agama dalam peringkat tah}siniyya>t, yaitu

mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat

manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap

tuhan. misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar

shalat, membersihkan badan pakaian dan tempat, ketiga ini

Page 8: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

27

kerap kaitannya dengan Akhlak yang terpuji. Kalau hal ini

tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan

mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi

orang yang melakukannya.

2. Memelihara jiwa (H{ifz} al-Nafs)

Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan

menjadi tiga peringkat:

a. memelihara jiwa dalam peringkat d}aruriyya>t, seperti memenuhi

kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.

Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat

terancamnya eksistensi jiwa manusia.

b. memelihara jiwa, dalam peringkat h}ajiyya>t, seperti diperbolehkan

berburu binatang dan mencari ikan dilaut untuk menikmati

makanan yang lezat dan halal. kalau kegiatan ini diabaikan, maka

tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya

mempersulit hidupnya.

c. Memelihara dalam tingkat tah{siniyya>t, seperti ditetapkannya

tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan

dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam

eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan

seseorang.

3. Memelihara Akal (H{ifz} al-aql)

Page 9: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

28

Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan

menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara akal dalam peringkat d}aruriyya>t,seperti diharamkan

meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan,

maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.

b. Memelihara aqal dalam peringkat h}ajiyya>t, seperti dianjurkannya

menurut Ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka

tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang,

dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

c. Memelihara akal dalam peringkat tah}siniyya>t. Seperti

menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu

yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak

akan mengancam eksistensi akal secara langsung.

4. Memelihara keturunan (H{ifz} al-nasl)

Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat

dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. memelihara keturunan dalam peringkat d}aruriyya>t, seperti

dishari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini

diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.

b. memelihara keturunan dalam peringkat h}ajiyya>t, seperti

ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada

waktu akad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu

Page 10: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

29

tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami

kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl, sedangkan dalam

kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak

menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya

tidak harmonis.

c. memelihara keturunan dalam peringkat tah}siniyya>t, seperti

dishari’tkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini

dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal

ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan,

dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.

5. Memelihara Harta (H{ifz} al-ma>l)

Dilihat dari segi kepentingannya, Memelihara harta dapat dibedakan

menjadi tiga peringkat:

a. memelihara harta dalam peringkat d{aruriyya>t, seperti Shari’at

tentang tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta

orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan itu

dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.

b. memelihara harta dalam peringkat h}ajiyya>t seperti shari’at tentang

jual beli dengan cara salam (pesanan). Apabila cara ini tidak

dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan

akan mempersulit orang yang memerlukan modal.

Page 11: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

30

c. memelihara harta dalam peringkat tah}siniyya>t, seperti ketentuan

tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal

ini erat kaitannya dengan etika bermua’malah atau etika bisnis.

Hal ini juga akan mempengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu,

sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya

peringkat yang kedua dan pertama.22

Cara untuk menjaga yang lima tadi dapat ditempuh dengan dua

cara yaitu:

1. Dari segi adanya (min na>hiyyati al-wujud) yaitu dengan cara

manjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan

keberadaannya seperti :

a. Menjaga agama dari segi al-wujud misalnya shalat dan

zakat.

b. Menjaga jiwa dari segi al-wujud misalnya makan dan

minum.

c. Menjaga akal dari segi al-wujud misalnya makan dan

mencari ilmu.

d. Menjaga al-nasl dari segi al-wujud misalnya nikah.

e. Menjaga al-mal dari segi al-wujud misalnya jual beli dan

mencari rizki23.

22 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

1997), 128 – 131 23 Al- Sha>t}ibi, Al-Muwa>faqa>t, Jilid II, (Kairo: Da>r Ibn ‘Affa>n, t.th.), 17-19.

Page 12: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

31

2. Dari segi tidak ada (min na>hiyyati al- ‘adam) yaitu dengan cara

mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya.

seperti :

a. Menjaga agama dari segi al-‘adam misalnya jihad dan

hukuman bagi orang murtad.

b. Menjaga jiwa dari segi al-‘adam misalnya hukuman qis}as}

dan diyat.

c. Menjaga akal dari segi al-‘adam misalnya had bagi peminum

khamr.

d. Menjaga al-nasl dari segi al-‘adam misalnya had bagi pezina

dan muqdzif.

e. Menjaga al-mal dari segi al-‘adam misalnya riba, memotong

tangan pencuri24.

D. Macam-macam Maqa>s}id Shari<’ah

Maq>as}id Shari<’ah terbagi pada dua bagian penting yakni Maksud

Sha>ri’ (qas}du al-sha>ri’) dan Maksud Mukallaf (qas}du al-mukallaf)25.

Maksud Sha>ri’ kemudian dibagi lagi menjadi empat bagian yaitu26:

1. Qas}du al-Sha>ri’ fi Wad}’i al-Shari<’ah (maksud sha>ri’ dalam

menetapakan syariat). Dalam bagian ini mengacu kepada suatu

24 Ibid., 19. 25 Dalam hal beribadah, harus disertai dengan niat yang jelas dan sah secara shar’i dan harus

dibedakan amalan yang termasuk ibadah dan amalan yang termasuk adat, hukumnya pun harus dibedakan. al-Sha>t}ibi, Al-Muwa>faqa>t, juz II, (Kairo: Mus}t}afa> Muhammad, t.th.), 323-324.

26 Ahmad al-Raisu>ni>, Nadhariyyat al-maqa>s}id ‘inda al-ima>m al-sha>t}ibi>, (riba>t}: da>r al-ama>n, 2009), 124.

Page 13: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

32

pertanyaan: “Apakah sesungguhnya maksud sha>ri’ dengan

menetapkan shari’atnya itu?”, Menurut al-Shat}ibi, Allah

menurunkan shariat (aturan hukum) tidak ada lain selain untuk

mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan

(jalbul mas}a>lih wa dar’ul mafa>sid). Dengan bahasa yang lebih

mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah

untuk kemaslahatan manusia itu sendiri27.

2. Qas}du al-Sha>ri’ fi Wad}’I al-Shari<’ah lil Ifha>m 28(maksud

Sha>ri’ dalam menetapkan shari<’ahnya ini adalah agar dapat

dipahami). Ada dua hal penting yang dibahas dalam bagian

ini. Pertama, shari<’ah ini diturunkan dalam Bahasa Arab. Oleh

kerena itu, untuk dapat memahaminya harus terlebih dahulu

memahami seluk beluk dan uslub bahasa Arab. Kedua, bahwa

shari’at ini ummiyyah, maksudnya untuk dapat memahaminya

tidak membutuhkan bantuan ilmu-ilmu alam seperti ilmu

hisab, kimia, fisika dan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar

shari<’ah mudah dipahami oleh semua kalangan manusia.

Apabila untuk memahami shari’ah ini memerlukan bantuan

ilmu lain seperti ilmu alam, paling tidak ada dua kendala besar

yang akan dihadapi manusia umumnya, yaitu kendala dalam

hal pemahaman dan dalam pelaksanaan. Shari<’ah mudah 27 Ibid., 125. 28 Ibid., 129.

Page 14: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

33

dipahami oleh siapa saja dan dari bidang ilmu apa saja karena

ia berpangkal kepada konsep maslahah (fahuwa ajra> ‘ala

i’tibari al-mas}lahah).

3. Qas}du al-Sha>ri’ fi< Wad}’I al-Shari<’ah li al-Taklif bi

Muqtad}a>ha>29 (maksud Sha>ri’ dalam menentukan shari’at

adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntutNya).

Masalah yang dibahas dalam bagian mengacu kepada dua

masalah pokok yaitu: Pertama, taklif (pembebanan) yang di

luar kemampuan manusia (at-taklif bima> la> yut}a>q). artinya

tidaklah dianggap taklif apabila berada di luar batas

kemampuan manusia. Kedua, taklif yang di dalamnya

terdapat mashaqah, kesulitan (al-taklif bima> fii>hi mashaqqah).

Artinya dengan adanya taklif, Shari’ tidak bermaksud

menimbulkan mashaqah bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi

sebaliknya di balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukalla.

Bila dianalogkan kepada kehidupan sehari-hari, obat pahit

yang diberikan seorang dokter kepada pasien, bukan berarti

memberikan kesulitan baru bagi sang pasien akan tetapi di

balik itu demi kesehatan si pasien itu sendiri pada masa

berikutnya. Dalam masalah agama misalnya, ketika ada

kewajiban jihad, maka sesungguhnya tidak dimaksudkan

29 Ibid., 130.

Page 15: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

34

dengannya untuk menceburkan diri dalam kebinasaan, tetapi

untuk kemaslahatan manusia itu sendiri yaitu sebagaiwasilah

amar makruf nahyil munkar. Demikian pula dengan hukum

potong tangan bagi pencuri, tidak dimaksudkan untuk merusak

anggota badan akan tetapi demi terpeliharanya harta orang

lain. Apabila dalam taklif ini ada masyaqah, maka

sesungguhnya ia bukanlah masyaqah tapi kulfah,30 sesuatu

yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari kegiatan manusia

sebagaimana dalam kacamata adat, orang yang memikul

barang atau bekerja siang malam untuk mencari kehidupan

tidak dipandang sebagai masyaqah, tetapi sebagai salah satu

keharusan dan kelaziman untuk mencari nafkah. Demikian

juga halnya dengan masalah ibadah. Masyaqah seperti ini

menurut Imam Sha>t}ibi disebut Mashaqqah Mu’ta>dah karena

dapat diterima dan dilaksanakan oleh anggota badan dan

karenanya dalam syara’ tidak dipandang sebagai masyaqah.31

4. Qas}du al-Sha>ri’ fi Dukhul al-Mukallaf Tah}ta Ahkam al-

Shari<’ah32 (tujuan sha>ri’ dalam menjadikan mukallaf dibawah

naungan hukum shari<’ah). Pembahasan ini mengacu kepada

pertanyaan: “Mengapa mukallaf melaksanakan hukum

30 Al- Sha>t}ibi, Al-Muwa>faqa>t, (Kairo: Da>r Ibn ‘Affa>n, t.th.), Jilid II, 214. 31 Ibid, 217. 32 Ahmad al-Raisu>ni>, Nadhariyyat al-maqa>s}id ‘inda al-ima>m al-sha>t}ibi>, (riba>t}: da>r al-ama>n, 2009), 135.

Page 16: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

35

Shari<’ah?” Jawabannya adalah untuk mengeluarkan mukallaf

dari tuntutan dan keinginan hawa nafsunya sehingga ia

menjadi seorang hamba yang dalam istilah al-Sha>t}ibi disebut:

hamba Allah yang ikhtiyaran dan bukan yang id}t}ira>ran.

Adapun Maksud Mukallaf (qas}du al-mukallaf) terbagi menjadi dua

yaitu (1) maksud mukallaf terkait dengan niat dan yang ke (2) maksud

mukallaf harus sesuai dengan maksud sha>ri’.

E. Cara Memahami Maqa>s}id al-shari>‘ah

1. Dengan memahami tata bahasa Arab (Uslu>b)

Cara pertama ini bertitik tolak dari alasan bahwa Al qur’an

sebagai sumber hukum diturunkan oleh Allah Swt., dengan

menggunakan bahasa arab sebagaimana dijelaskan dalam Alqur’an

Q.S Shura ayat 192-195:

رب ل زي ن تـ ل نه إ مني و ال لع ني . ا ألم وح ا ل به الر ن . نـز نذري مل ن ا ن م تكو ك ل لب ى قـ . علني ب يب م ر سان ع .بل

“Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.

Menurut al- Sha>t}ibi al-Qur’an dipaparkan dalam bahasa Arab

yang tinggi dan Ma’hu>d (berkembang) dalam kalangan bangsa Arab

baik dari segi lafaz}nya maupun uslu>bnya. Sebagai contoh, al-Sha>t}ibi

menyebutkan bahwa orang-orang Arab adakalanya menggunakan

Page 17: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

36

lafalz ‘a>m dengan tujuan kha>s, adakalanya dengan tujuan ‘a>m pada

satu segi dan khas pada segi yang lain33.

Berhubungan dengan pendapat al-Sha>t}ibi di atas yang

menyatakan betapa pentingnya Bahasa Arab untuk memahami al-

qur’an dan disinggungnya contoh lafaz} ‘a>m yang di Isti’malkan

(penggunaan) oleh bangsa Arab, penulis menganggap penting

menyinggung sedikit tentang lafaz} ‘a>m sebagai contoh lafaz} yang

harus dipahami bagi siapa saja yang ingin memahami maksud Sha>ri’

yang terdapat dalam al-qur’an dan hadist.

Menurut istilah Ulama’ Us}ul fiqih, ‘a>m adalah “Suatu lafaz}

yang sengaja diciptakan untuk menunjukkan kepada suatu makna

yang mencakup seluruh satuan-satuan tanpa terbatas pada satu

jumlah tertentu”.34 Lafaz} Insan umpamanya, mencakup semua yang

namanya manusia. Dilihat dari segi penerapan lafaz} ‘a>m, ulama Us}ul

Fiqh membaginya kepada tiga tingkatan, yaitu:

a, Lafalz ‘a>m yang dikehendaki darinya adalah ‘a>m.35 Artinya,

lafalz ‘am dan maksudnya juga‘am. Lafalz ‘am dalam bentuk ini

tidak didapatkan indikasi untuk memberlakukan takshis padanya.

33 Ahmad al-Raisu>ni>, Nadhariyyat al-maqa>s}id ‘inda al-ima>m al-sha>t}ibi>, (riba>t}: da>r al-ama>n, 2009),

272 34 al-Ra>zi, al-Mahs}u>l Fi> ‘Ilmi al-Us}u>l, jilid II, (Makah : Maktabah Nizar Mustafa al-Baaz, 1997),

460. 35 Wahbah Al-Zuhaili>, Us}ul al-Fiqh, juz II, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1986), 250

Page 18: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

37

b, Lafalz ‘a>m yang mengandung pernyataan Umum tetapi yang di

kehendaki darinya adalah Khusus36. ‘a>m dalam bentuk ini

terdapat indikasi yang memalingkan arti ‘a>mnya.

c, Lafalz ‘a>m yang mutlak, artinya tidak diperdapatkan tanda-tanda

untuk dikehendaki kepada umum ataupun kepada khusus37.

Masih banyak lagi istilah-istilah khusus selain lafaz} ‘am yang

berkaitan dengan pembahasan lafaz} dan dilalah lafalz yang harus

diketahui oleh seorang yang ingin memahami Maslahah (Maqa>shid

al- Syari’ah) yang terdapat dalam al-qur’an dan hadis, diantaranya

lafaz} Khas, Musytarak, Haqiqat, Majaz, Dilalah lafaz}, dan Nasakh38.

2. Menelaah ‘Illah al-Amr dan al-Nahy

Maqas}id shari>’ah dapat dipahami melalui analisis atas ‘illah

hukum yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an atau Hadis. Apabila

‘illah tersebut tertulis secara jelas maka harus mengikuti apa yang

tertulis tersebut.39 Namun apabila ‘illah tersebut tidak dapat

diketahui dengan jelas, maka yang dilakukan adalah tawaqquf.

36 Tajuddin al-Subqi, Jam’u al- Jawa>mi’, juz II, (Semarang : toha putra, t.th), 4. 37 ‘Abd Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Quwaitiyyah, 1968), 186 38 Mengenai keharusan memahami bahasa Arab, Fazlurrahman memperkuat pendapat al-Sha>t}ibi>

dengan menyatakan bahwa memahami al-Qur’an secara tepat diperlukan pengetahuan bahasa Arab termasuk dengan idiom-idiom bahasa Arab pada zaman Nabi. Lihat: Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), 48. Muh}ammad Abu> Zahrah memastikan bahwa secara pasti dapat dikatakan bahwa seluruh ulama ahl al-us}u>l al-fiqh sepakat terhadap keharusan adanya kemampuan atas bahasa Arab bagai orang yang ingin mendalami dan menggali kandungan al-Qur’an sebagai sumber hukum berbahasa Arab. Lihat: Muh}ammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (Mesir: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, 1958), 380.

39 Sebagai contoh ‘illah yang tertulis secara jelas dapat dilihat dalam penshari’atan jual beli yang bertujuan saling mendapatkan manfaat melalui sebuah transaksi, penshari’atan h}udu>d untuk memelihara jiwa, dan pensyari’atan nikah yang bertujuan untuk melestarikan keturunan.

Page 19: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

38

Mengenai hal ini al-Sha>t}ibi memberikan perhatian khusus

mengenai definisi praktis atas konsep ‘illah dalam karyanya al-

muwa>faqa>t fi> us}u>l al-shari>’ah dalam bab khusus (ba>b fi> al-shart}),

beliau membedakan antara ‘illah, sabab dan ma>ni’. Perbedaan antara

term tersebut terekam jelas dalam tulisannya:

د به ما وضع شرعا حلكم حلكمة يقتضيها ذلك احلكمفأما السبب فاملرا “sebab adalah sesuatu yang oleh shara’ dijadikan sebagai patokan adanya hukum”.40

ا األوامر او اإلباحة ا احلكم واملصاحل اليت تعلقت واملفاسد , وأما العلة فاملراد

ا النواهي اليت تعلقت “’illah adalah hikmah dan mas}lah}ah} yang berhubungan dengan perintah dan kebolehan, mafsadah dengan larangan”.41

ألنه إمنا يطلق بالنسبة إىل : وأما املانع فهو السبب املقتضى لعلة تنايف علة ما منع سبب مقتض حلكم لعلة فيه

“Ma>ni’ adalah sabab yang menjadikan hilangnya ‘illah. Dengan pijakan bahwa ditetapkannya hukum karena ‘illah yang terdapat di dalamnya”.42 Contoh praktis ‘illah hukum yang ditawarkan oleh al-Sha>t}ibi>

adalah Hadis:

40 Contoh konkret yang dapat diambil diantaranya adalah pencapaian nis}ab atas wajib zakat,

pergeseran matahari atas wajib shalat, mencari menjadi sebab atas wajib potong tangan, akad menjadi sebab diperbolehkannya memanfaatkan barang atau perpindahan hak milik.

41 Misalnya, kesulitan (mashaqqah) merupakan ‘illah atas diperbolehkannya qas}r al-s}ala>h dan ift}a>r al-s}iya>um dalam perjalanan (musafir). Sedangkan dalam perjalanan (safar) dianggap sebagai sabab diperbolehkannya qas}r al-s}}ala>h dan ift}a>r al-s}iya>m.

42 Misalnya, hutang menjadi pencegah danya aturan wajib zakat. Dengan asumsi bahwa dengan adanya seseorang mempunyai hutang, maka sabab kewajibab membayar zakat (kaya) menjadi hilang.

Page 20: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

39

ت ع ري مس ن عم ك ب ل د الم ا عب ثـن ة حد ب ا شع ثـن حد ا آدم ثـن ن أيب حد د الرمحن ب عبة كر و ب ة قال كتب أب كر أنت ب ني اثـنـني و قضي بـ ان بأن ال تـ ه وكان بسجست ن ىل اب إ

قضني حكم قول ال يـ سلم يـ ه و ي عل ت النيب صلى الله ع ان فإين مس ني غضب ني اثـنـ بـان هو غضب 43.و

“tidak boleh seorang hakim mengambil keputusan hukum dalam keadaan marah”.

Dalam analisis al-Sha>t}ibi>, keadaan marah (ghad}ab) dipahami

sebagai sabab, sedangkan ‘illah-nya adalah timbulnya keraguan (was-

was) pikiran dalam meletakkan dasar dan alasan-alasan hukum.

3. Melakukan pengamatan terhadap perilaku syariat (istiqra>’ al-

shari>‘ah fi tas}arrufa>tiha>). Cara ini dibagi menjadi dua:

a, Pengamatan atas hukum-hukum yang telah diketahui ‘illa>t-

nya, yaitu ‘illa>t-’illa>t hukum yang telah ditetapkan oleh ulama

Ushul. Dengan cara ini, menurut Ibnu ‘Ashu>r, kita akan

dengan mudah menyimpulkan maksud-maksud yang

terkandung didalam hukum-hukum tersebut. Sebagai contoh,

ketika diketahui bahwa ‘illa>t dari larangan meminang wanita

yang berada dalam pinangan orang lain atau menawar barang

yang ditawar orang lain adalah karena menghalangi seseorang

untuk memiliki apa yang dikehendakinya dapat menyebabkan

permusuhan dan kebencian, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa maqs}ad shar‘iy-nya adalah terjaminnya

keberlangsungan persaudaraan antar kaum muslimin.

Sehingga dapat dipahami kemudian, ketika peng-khit}bah

43 Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h}, IV (Kairo: al-Maktabah

al-Salafiyyah, 1400H), 332.

Page 21: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

40

ataupun penawar pertama mengurungkan niatnya, larangan itu

tidak berlaku lagi44.

b, Dengan mengamati dalil-dalil hukum yang mempunyai

kesamaan ‘illa>t. Melalui cara ini, akan diketahui bahwa ‘illa>t

itu merupakan maqs}ad yang diinginkan Sha>ri‘. Sebagai

contoh: ‘illa>t larangan menjual barang yang tidak berada

dalam genggaman penjualnya (baca: tidak dimilikinya) adalah

supaya barang-barang tersebut tetap tersedia dan beredar di

pasaran. Demikian juga larangan penimbunan barang dimana

‘illat-nya adalah supaya tidak menyebabkan sedikitnya stok

barang di pasar atau bahkan menghilangkannya dari

peredaran. Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyediaan stok

barang agar tetap beredar di pasar dan memudahkan orang

untuk mendapatkannya menjadi maqs}ad dalam hukum ini.

Demikian pula banyaknya perintah untuk memerdekakan

budak menunjukkan bahwa maqs}ad sebenarnya adalah

tercapainya kebebasan45.

4. Memahami al-Suku>t ‘an Sha>r’iyyah al-‘Amal ma’a Qiya>m al-Ma’na>

al-Muqtad}a> lah (sikap diam al-Sha>ri’ dari penshari’atan sesuatu)

Metode ini dapat dipahami sebagai melakukan pemahaman

terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang tidak disebut oleh

sha>ri’. Oleh al-Sha>t}ibi>, hal ini dibagi menjadi dua bagian:

1) al-Suku>t Karena Tidak ada motif

44 Ahmad al-Raisu>ni>, Nadhariyyat al-maqa>s}id ‘inda al-ima>m al-sha>t}ibi>, (riba>t}: da>r al-ama>n, 2009),

283. 45 Ibid., 285-289

Page 22: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

41

Adalah sikap diamnya al-sha>ri’ dalam kaitan ini

disebabkan oleh tidak adanya motif atau tidak terdapat faktor

yang dapat mendorong al-sha>ri’ untuk memberikan ketetapan

hukum. Namun seiring berputarnya waktu dapat dirasakan

manfaat positifnya. Sebagai contoh adalah penerapan hukum

Islam pasca wafat Nabi, sebagaimana pengumpulan mus}h}af al-

Qur’an.46

2) al-Suku>t Walaupun Ada Motif

Merupakan sikap diam al-sha>ri’ terhadap sebuah

persoalan hukum, walaupun pada dasarnya terdapat faktor atau

motif yang mengharuskan al-sha>ri’ untuk tidak bersikap diam saat

muncul persoalan tersebut.

Contoh yang ditawarkan adalah tidak dishari’atkannya

sujud syukur dalam maz}ab Maliki. Tidak dishari’atkannya sujud

syukur ini disebabkan karena Nabi tidak melakukannya, namun di

lain pihak faktor untuk melakukan realisasi syukur terhadap

nikmat senantiasa tidak terpisahkan dari kehidupan manusia,

kapan pun dan di mana pun. Dengan demikian, sikap diam atau

tidak dilakukannya sujud syukur oleh Nabi pada masanya

46 Asafari Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Shatibi (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1996), 100.

Page 23: BAB II TEORI UMUM A. Definisi Maqasid Shari

42

merngandung maqa>s}id al-shari>’ah bahwa sujud syukur memang

tidak dianjurkan47.

47 Ibid., 101