bab ii teori dasar 2.1 perubahan iklim - · pdf filekemampuan yang berbeda pula dalam hal...
TRANSCRIPT
II - 1
BAB II
TEORI DASAR
2.1 Perubahan Iklim
Perubahan iklim sebagai implikasi dari pemanasan global telah mengakibatkan
ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan
bumi. Perubahan iklim baru dapat diketahui setelah periode waktu yang panjang.
Hingga saat ini penelitian-penelitian terkait perubahan iklim telah banyak dilakukan,
sebagian besar mengindikasikan akan adanya kenaikan temperatur global walaupun
besarnya belum dapat dipastikan. Gambar 2.1 menampilkan adanya trend kenaikan
anomali temperatur global berdasarkan kondisi pada akhir abad ke-19.
Gambar 2.1 Grafik anomali temperatur global
(Sumber: www.metoffice.gov.uk)
Sejak tahun 1950, anomali temperatur global mengalami kenaikan secara kontinu
hingga mencapai 0,70C pada tahun 2000. Kondisi ini mengindikasikan adanya
perubahan iklim skala global. Definisi perubahan iklim adalah semua perubahan
dalam iklim dalam suatu kurun waktu, apakah karena perubahan alamiah atau sebagai
akibat aktivitas manusia (UNDP Indonesia, 2007). Sedangkan berdasarkan
Assessment Report (AR4) Working Group I IPCC, istilah perubahan iklim mengacu
pada sebuah perubahan dari keadaan iklim (sebagai contoh dengan menggunakan uji
II - 2
statistik) oleh perubahan pada nilai rata-ratanya dan atau variabilitasnya dan
berlangsung lama pada periode berikutnya, baik pada periode dekadal atau yang lebih
panjang (AR4 IPCC, 2007 dalam Kurniawan, 2008). Iklim memiliki kecenderungan
berubah yang dapat diakibatkan oleh dua faktor. Faktor pertama adalah akibat
aktivitas manusia seperti urbanisasi, deforestasi, dan industrialisasi. Sedangkan faktor
kedua adalah akibat aktivitas alam seperti pergeseran kontinen, letusan gunung api,
perubahan orbit bumi terhadap matahari, noda matahari, dan peristiwa El-nino
(Tjasyono, 2004). Aktivitas manusia yang tidak terkontrol semakin memicu
terjadinya penyimpangan pada sistem iklim, jika tidak dapat dikendalikan dampaknya
justru dapat mengancam kehidupan manusia.
Beberapa respon fisis yang dapat diamati akibat perubahan iklim diantaranya adalah
peningkatan temperatur rata-rata, peningkatan laju rata-rata evaporasi dan presipitasi,
peningkatan tinggi muka laut, dan beberapa perubahan yang terjadi di biosfer.
Berbagai respon tersebut selanjutnya dijadikan bahan acuan dalam membuat simulasi
dan prediksi perubahan iklim. Sebagian besar pekerjaan ini didasarkan pada
penggunaan beberapa model iklim yang berbasis model numerik dan memiliki
kemampuan dalam mensimulasikan berbagai proses fisis itu secara fundamental
(Kurniawan, 2008).
2.2 Kondisi dan Perubahan Tutupan Hutan Kalimantan
2.2.1 Kondisi Hutan di Kalimantan
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam di bumi yang sangat besar manfaatnya
bagi kehidupan manusia, baik ditinjau dari segi ekonomis maupun dari fungsinya
dalam ekosistem dan lingkungan. Namun dilihat dari kondisinya saat ini, luas hutan
di Indonesia mengalami penurunan yang cukup drastis dan sebagian besar kondisinya
sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya
sebesar 72 persen (World Resource Institute, 1997).
II - 3
Salah satu kawasan di Indonesia yang memiliki luas hutan tropis terluas adalah Pulau
Kalimantan. Namun pada kenyataanya, laju penurunan luas hutan di kawasan ini tiap
tahunnya sangat tinggi dan sulit dikendalikan. Lahan hutan yang luas di Kalimantan
telah dieksploitasi secara buruk dan pengelolaanya pun tidak sesuai dengan aturan
yang jelas, sehingga banyak yang tinggal menyisakan bentang lahan kering dan
gersang. Kebakaran hutan pun seringkali terjadi terutama pada musim kemarau yang
berkepanjangan. Hingga saat ini belum ada upaya nyata untuk mengembalikan
kondisinya seperti semula. Gambar 2.2 menunjukan perbedaan kondisi hutan
Kalimantan pada pertengahan tahun 1980an dengan awal tahun 2000.
Gambar 2.2 Perubahan kondisi hutan antara (a) pertengahan tahun 1980 dan (b)
awal tahun 2000 (Sumber: European Communities)
2.2.2 Deforestasi dan Degradasi Hutan Di Kalimantan
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diketahui bahwa hutan tropis Indonesia
telah mengalami deforestasi. Definisi deforestasi menurut Departemen Kehutanan
Indonesia adalah perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi bukan hutan
(termasuk perubahan untuk perkebunan, pemukiman, kawasan industri, dan lain-lain).
Hingga saat ini, deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia masih terus terjadi.
a b
II - 4
Gambar 2.3 Penurunan tutupan vegetasi hutan antara tahun 1985 s.d 2000
(Sumber: Departemen Kehutanan Indonesia, 2008)
Berdasarkan data dan hasil analisis Departemen Kehutanan, pada periode 1985-1997
laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Pada
periode 1997-2000 terjadi peningkatan laju deforestasi yang cukup signifikan yaitu
mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2000-
2005 menjadi sebesar 1,08 juta hektar. Gambar 2.3 menunjukan bahwa pada periode
tahun 1985 s/d 1987, penurunan tutupan vegetasi hutan yang sangat besar terjadi di
Kalimantan dan Sumatera. Sedangkan pada periode 1997 s/d 2000 selain terjadi di
Kalimantan dan Sumatera, laju deforestasi tertinggi juga terjadi di Papua. Sedangkan
pada periode berikutnya, yaitu antara tahun 2000 s/d 2005 terjadi penurunan angka
rata-rata tutupan vegetasi hutan.
Tabel 2.1 Luas hutan di pulau Kalimantan
Propinsi
Luas
Wilayah
(Ha)
1985 1991 1997 2000
Luas
Hutan
(Ha)
% Luas
Hutan
(Ha)
% Luas
Hutan
(Ha)
% Luas
Hutan
(Ha)
%
Kalimantan Barat
14.546.318 8.700.600 59,8 8.117.960 55,8 6.717.026 46,1 6.736.261 46,3
Kalimantan Tengah
15.249.222 11.614.400 76,2 11.492.950 75,4 9.900.00 64,9 9.320.771 61,1
Kalimantan Selatan
3.703.550 1.795.900 48,5 1.749.360 47,2 999.182 27,0 648.000 17,5
Kalimantan Timur
19.504.912 19.875.100 91,6 17.584.260 90,2 13.900.00 71,3 12.477.309 64,0
Total 53.004.002 41.986.000 79,2 38.944.530 73,5 31.516.208 59,5 29.181.953 55,1
(sumber: http://www.theodora.com/maps/new/indonesia_maps.html)
II - 5
Berdasarkan grafik pada gambar 2.3 dapat dilihat bahwa laju deforestasi tertinggi di
Indonesia untuk tahun 1985 hingga tahun 2000 terjadi di Pulau Kalimantan. Tingkat
deforestasinya hingga mencapai 0,9 juta hektar tiap tahunnya. Luas tutupan hutan
sejak tahun 1985 hingga 2000 untuk 4 propinsi di Kalimantan disajikan pada tabel
2.1. Persentase total luas hutan di Kalimantan sejak tahun 1985 hingga tahun 1991
mengalami penurunan sebesar 5,7%. Laju deforestasi ini meningkat dari tahun 1991
hingga tahun 1997 sebesar 14%.
2.2.3 Pengaruh Hutan Terhadap Iklim
Hutan merupakan komponen penyeimbang berbagai siklus di alam termasuk untuk
sirkulasi iklim dan cuaca skala lokal. Peran hutan dalam mengatur temperatur bumi
dan pola cuaca adalah dengan menyimpan karbon dan air dalam jumlah besar. Secara
umum hubungan antara iklim, vegetasi, dan hutan sangat kompleks dan masih
membutuhkan penelitian lebih lanjut. Kondisi hutan yang berbeda akan memiliki
kemampuan yang berbeda pula dalam hal mengatur iklim mikro di sekitarnya,
misalnya temperatur udara, kelembaban udara, penerimaan cahaya matahari, dan
defisit tekanan uap air.
Hutan dan iklim memiliki suatu keterkaitan, dimana kondisi hutan yang baik akan
menyeimbangkan sistem energi yang selanjutnya akan berpengaruh pada kondisi
iklim setempat maupun global. Di sisi lain, kondisi iklim pun dapat mempengaruhi
keberadaan hutan, misalnya musim kemarau yang panjang bisa memicu kebakaran
hutan. Antara tumbuhan dan iklim memang terdapat suatu interaksi, dimana pengaruh
tumbuhan pada iklim menjadi penting dengan semakin besarnya tumbuhan dan
semakin banyaknya jumlah tumbuhan (Tjasyono, H.K, 1999). Perubahan luas hutan
akibat deforestrasi dan kebakaran hutan akan mempengaruhi neraca energi yang akan
merubah kondisi iklim permukaan di kawasan tersebut.
II - 6
2.3 Keseimbangan Energi dan Kaitannya Terhadap Iklim
Istilah radiasi didefinisikan sebagai transfer energi yang terjadi tanpa membutuhkan
medium perantara untuk mentransmisikannya (Ritter, 2006). Definisi lain
menyebutkan bahwa radiasi adalah suatu bentuk energi yang dipancarkan oleh setiap
benda yang mempunyai temperatur di atas nol mutlak, dan merupakan satu-satunya
bentuk energi yang dapat menjalar di dalam vakum angkasa luar (Prawirowardoyo,
1996). Energi yang diperlukan untuk berbagai proses dalam atmosfer berasal dari
matahari. Sebagian radiasi matahari diserap langsung di dalam atmosfer, sebagian
lagi diteruskan melewati atmosfer dan diserap oleh permukaan. Penyerapan ini
memanaskan permukaan bumi, yang selanjutnya menjadi sumber radiasi gelombang
panjang yang disebut radiasi bumi. Radiasi neto (Q*) yang diterima digunakan untuk
proses-proses yang terjadi dalam sistem bumi. Kegunaan utama dari energi ini adalah
pada perubahan fasa air (Latent Heat, LE), perubahan temperatur udara (Sensible
Heat, H), dan pemanasan di bawah permukaan tanah (Ground heat, G) dengan
perumusan sebagai berikut:
Q* = H + LE + G
Gambar 2.4 Keseimbangan energi permukaan
(Sumber: http://nevada.usgs.gov/)
II - 7
Neraca energi adalah selisih antara radiasi yang diserap dan yang dipancarkan oleh
suatu benda atau permukaan. Pada siang hari umumnya terjadi surplus radiasi di
permukaan sedangkan atmosfer mengalami defisit radiasi. Untuk menyeimbangkan
neraca energi, maka kelebihan energi tersebut dikembalikan ke atmosfer dalam
bentuk panas laten dan panas sensible. Temperatur permukaan bumi merupakan
tanggapan dari semua fluks energi yang melewati permukaan tersebut. Adanya
penambahan atau kehilangan energi pada permukaan mengakibatkan perubahan
temperatur permukaan bumi.
Dalam menggambarkan transfer energi dapat menggunakan panah untuk
menggambarkan arah transfer panas tersebut. Selain itu digunakan pula tanda positif
dan negatif untuk menunjukan adanya penambahan panas atau kehilangan panas.
Berdasarkan ketentuan yang ditetapkan Sellers (1965) dan Oke (1987), flux non-
radiatif yang hilang secara langsung dari permukaan adalah positif. Nilai positif
tersebut mengindikasikan kehilangan panas dari permukaan sedangkan nilai negatif
menunjukan tambahan panas.
Berdasarkan penelitian sebelumnya mengenai dampak perubahan tutupan lahan hutan
terhadap unsur iklim diperoleh hasil bahwa penurunan luas hutan yang dibuat untuk
beberapa skenario akan menyebabkan perubahan pada karakteristik permukaan di
hutan, diantaranya albedo permukaan, leaf area index, tipe vegetasi, dan surface
roughness length. Perubahan karakteristik permukaan tersebut mempengaruhi unsur-
unsur neraca energi seperti sensible heat flux dan laten heat flux yang kemudian akan
mempengaruhi iklim lokal. Hasil yang diperoleh dari simulasi selama 1 tahun
menunjukkan bahwa penurunan luas hutan menyebabkan kenaikan suhu udara rata-
rata dari 25,3°C pada simulasi kontrol menjadi 25,4°C pada simulasi penurunan rasio
hutan 25% dan 25,5°C pada simulasi penurunan rasio hutan 50%. Selain itu,
intensitas curah hujan konvektif pun naik sebesar 5,21% pada simulasi penurunan
rasio hutan 25% dan 6,20 % pada simulasi penurunan rasio hutan 50% (Sofyan,
2005). Hasil penelitian ini akan coba dikembangkan dalam penelitian tugas akhir ini.
II - 8
2.3.1 Panas Sensible
Fluks panas sensible (sensible heat flux) merupakan transfer energi antara permukaan
bumi dengan atmosfer ketika ada perbedaan temperatur diantara keduanya. Transfer
panas sensible akan terasa seperti kenaikan atau penurunan temperatur udara. Panas
pada mulanya ditransfer ke atmosfer melalui konduksi molekul air yang bertubrukan
dengan panas di permukaan. Karena udara menghangat maka timbul sirkulasi udara
ke atas melalui konveksi. Demikian transfer panas sensible selesai dalam dua langkah
proses. Karena udara merupakan konduktor yang buruk, konveksi menjadi jalan yang
paling efisien untuk mentransfer panas sensible ke udara.
Ketika daratan lebih hangat daripada udara di atasnya, panas akan ditransfer ke
atmosfer sebagai transfer panas sensible positif. Transfer panas akan meningkatkan
temperatur udara dan akan mendinginkan daratan. Jika udara lebih hangat daripada
daratan, panas akan ditransfer dari atmosfer ke permukaan menghasilkan transfer
panas sensible negatif (Ritter, 2006).
2.3.2 Panas Laten
Panas laten adalah energi yang diperlukan dalam proses evaporasi atau transpirasi air
pada permukaan dan selanjutnya akan terjadi kondensasi di troposfer. Perubahan fasa
dari cair ke gas disebut evaporasi. Jika dilihat dalam skala molekuler, maka dapat
dilihat bahwa air terdiri atas gugusan molekul air (H2O). Gugusan tersebut terikat
bersama dengan ikatan diantara atom hidrogen dari molekul air. Panas yang
ditambahkan selama evaporasi memutuskan ikatan antara gugusan sehingga
menghasilkan molekul individu yang hilang dari permukaan sebagai gas. Panas yang
digunakan dalam perubahan fasa dari cair ke gas disebut latent heat vaporization.
Disebut laten karena panas ini disimpan dalam molekul air yang selanjutnya
dikeluarkan selama proses kondensasi. Panas laten tidak dapat dirasakan karena tidak
meningkatkan temperatur molekul air (Ritter, 2006).
II - 9
2.3.3 Curah Hujan Konvektif
Penurunan rasio vegetasi di suatu kawasan cenderung meningkatkan temperatur
permukaan, karena panas dari radiasi matahari langsung diterima oleh permukaan
tanpa adanya penghamburan dan penyerapan oleh vegetasi. Naiknya temperatur
permukaan menyebabkan udara menjadi tidak stabil dan menimbulkan gangguan.
Parsel udara yang lebih panas dari udara lingkungannya akan mempunyai gaya apung
positif sehingga parsel akan bergerak terus ke atas sampai temperatur parsel sama
dengan temperatur udara lingkungan (Tjasyono, 1994). Proses kenaikan massa udara
akibat pemanasan permukaan disebut konveksi.
Gambar 2.5 menunjukan bahwa temperatur potensial ekuivalen ( e) lebih panas
apabila ada awan konvektif dibandingkan bila tidak ada awan konvektif atau pada
waktu cuaca cerah. Dari profil vertikal tersebut dapat diketahui bahwa terbentuknya
awan konvektif dibutuhkan kondisi temperatur parsel udara yang sangat tinggi. Gerak
parsel udara ke atas biasanya terpusat dalam daerah yang relatif kecil, yaitu pada
pusat sel konvektif. Jika parsel udara naik mencapai paras kondensasi maka gerakan
ke atas selanjutnya dapat dilihat dalam bentuk awan konvektif.
Gambar 2.5 Profil vertikal temperatur potensial ekivalen rata-rata e pada musim
hujan (bulan Januari) (Sumber: Tjasyono, 1994)
II - 10
Perubahan temperatur di suatu kawasan mengakibatkan perbedaan tekanan yang
semakin besar dengan daerah di sekitarnya. Sehingga udara yang mengandung uap air
dari wilayah sekitar yang bertekanan tinggi akan bergerak ke kawasan tersebut. Ini
menyebabkan kawasan tersebut menjadi lembab sehingga tetes awan yang dihasilkan
pada proses konveksi akan mencapai jenuh dan selanjutnya menghasilkan curah
hujan konvektif. Semakin tinggi temperatur di suatu kawasan akibat perubahan
tutupan lahan, maka perbedaan temperatur dengan daerah di sekitarnya pun akan
semakin besar. Hal ini menyebabkan proses pembentukan awan konvektif meningkat,
sehingga intensitas curah hujan di suatu kawasan berpotensi meningkat.
2.4 Model Regional REMO
2.4.1 Deskripsi Model
REMO adalah model iklim atmosfer berskala regional dan berfungsi untuk
menurunkan skala output model global menuju skala regional yang resolusinya lebih
tinggi (metoda down-scalling).
Gambar 2.6 Proses downscaling model REMO
(Sumber: Holger, 2006)
REMO bekerja dengan resolusi spasial horizontal 0.5 dan 1/6 derajat dengan
sejumlah grid berukuran tertentu. Sedangkan resolusi vertikal model ini berkisar
antara 1000 mb hingga 10 mb atau sekitar 20 hingga 40 lapisan atmosfer.
II - 11
Seperti halnya model iklim lainnya, REMO pun menggunakan data input berupa data
statis dan data dinamis historis. Data statis meliputi data orografis dan tutupan lahan
yang sifatnya tetap tidak berubah terhadap waktu. Sedangkan data dinamis meliputi
data temperatur muka laut dan dinamika atmosfer yang selalu di-update setiap 6 jam
pada model ini.
Gambar 2.7 Asal mula model iklim regional REMO
(Sumber: Jacob, 2001)
REMO merupakan model jenis hidrostatik yang dapat dijalankan dengan metoda
fisika dari European Model/Deutschland Model (Jacob and Podzun, 1997) dengan
menggunakan metode parameterisasi model global ECHAM4 Max Planck Institute.
Model jenis hidrostatik baik digunakan untuk skala global dan regional dimana faktor
lokal seperti pegunungan, bukit, atau lereng terjal dapat diabaikan.
2.4.2 Karakteristik Model
Model ini menggunakan persamaan primitif hidro-termodinamik yang menampilkan
arus nonhidrostatik kompresibel dalam atmosfer. Parameterisasi fisika dari
ECHAM4, temperatur, uap air, kandungan air cair, tekanan permukaan, komponan
angin horizontal, kelembaban spesifik, hujan, dan sedimen salju merupakan variabel
prognostik (diramalkan). Persamaan dasar ditulis dalam bentuk adveksi dan
persamaan kontinuitas digantikan oleh persamaan prognostik tekanan pertubasi.
Beberapa spesifikasi model REMO diuraikan pada penjelasan berikut ini.
1. Representasi horizontal menggunakan grid sistem Arakawa-C sedangkan
koordinat vertikal menggunakan 20 level vertikal sistem hybrid p (tekanan) dan η.
II - 12
Titik tengah T merupakan suatu variabel yang dipengaruhi oleh u, v, dan w.
Variabel ini bisa temperatur, tekanan, kelembapan, liquid water content, dan
parameter lainnya.
Model Grid Arakawa C
Gambar 2.8 Model komputasi grid Arakawa C-2 dimensi (kiri) dan 3 dimensi
(kanan) (Sumber: Parodi, 2005)
2. Sistem diskretisasi vertikal mengikuti metoda Simmons dan Burridge.
Gambar 2.9 Struktur vertikal model REMO dengan 20 lapisan
(Sumber: Deutscher Wetterdienst, 1995)
II - 13
3. Diskretisasi waktu menggunakan system semi implisit leapfrog sedangkan sistem
adveksi menggunakan sistem eksplisit.
4. Interpolasi boundary lateral menggunakan metoda Davies dengan relaksasi
daerah boundary lateral menjadi 8 grid. Pada boundary bagian atas yang
merupakan kondisi radiatif berdasarkan metoda yang digunakan oleh Bougeault,
Klemp, dan Durran.
5. Parameterisasi radiasi diadopsi dari model European Centre for Medium-Range
Weather Forecast (ECMWF) dengan perubahan yang dilakukan oleh Rockener
dkk.
6. Skala grid parameter mikrofisika awan berdasarkan persamaan neraca curahan
Kesler dan skala subgrid proses presipitasi Tiedtke. Sistem konveksi sesuai
dengan yang dilakukan oleh Nordeng dan kondensasi menurut Sundqvist.
7. Batas lateral model REMO mempunyai resolusi waktu setiap 6 jam dan
diinterpolasi setiap 5 menit. Interpolasi yang digunakan adalah iterpolasi dengan
formula 16 titik dan interpolasi bilinier (Deutscher, 1995). Interpolasi batas lateral
akan dibentuk menjadi 8 grid.
8. Model ini menggunakan awan yang dibagi menjadi awan stratiform dan awan
konvektif. Kandungan air awan stratiform ditentukan oleh persamaan neraca yang
berkaitan dengan sumber, fase peluruhan, dan presipitasi. Secara empirik,
temperatur merupakan fungsi yang digunakan untuk menentukan kandungan es
awan, sehingga pengaruh-pengaruh tersebut dimasukkan dalam perhitungan.
Parameterisasi awan konvektif berdasarkan konsep fluks massa Tiedke dengan
beberapa perubahan sistem konveksi.
9. Temperatur tanah dihitung dari persamaan difusi dengan lima tutupan lapisan
tanah yang berbeda mencakup 10 meter di atas permukaan tanah. Data global
permukaan tanah dibentuk dari ekosistem yang kompleks menurut Hagemann
yang kemudian dikembangkan secara lebih sempurna.
10. Rata-rata dan variansi permukaan orografi dihitung dari data USGS GTOPO30
dengan resolusi spasial 1km x 1km. Semua parameter permukaan konstan
terhadap waktu artinya tidak bervariasi secara bulanan atau musiman. Sistem
II - 14
permukaan tanah menggunakan metoda yang digunakan oleh Dumenil dan
Todini. Hanya satu tipe permukaan yang muncul dari tiap grid sel (tanah, air, es).
2.4.3 Verifikasi Model
Model REMO telah banyak diaplikasikan untuk berbagai penelitian tentang cuaca
atau iklim. REMO dapat digunakan untuk simulasi iklim maupun prediksi cuaca dan
telah disesuaikan dengan kondisi iklim di Indonesia. Validasi model REMO untuk
wilayah Indonesia telah dilakukan oleh Aldrian, et.al (2004) untuk parameter curah
hujan pada penelitiannya yang berjudul Long-term simulation of Indonesian rainfall
with the MPI regional model. Pada penelitian tersebut, lima pulau besar dan tiga laut
di wilayah Indonesia menjadi studi kasus dalam penelitian tersebut. Secara umum
model REMO menghasilkan pola spasial curah hujan bulanan dan musiman dengan
baik diatas daratan namun kurang baik untuk curah hujan di lautan.
Dalam mem-validasi model ini digunakan tiga jenis data yaitu data reanalisis dari
European Centre for Medim-Range Weather Forecasts (ERA15), the National
Centers for Environmental Prediction and National Center for Atmospheric Research
(NRA) dan ECHAM4, kemudian dibandingkan dengan data stasiun. Tabel 2.3
merupakan tabel perbandingan verifikasi output model REMO dengan data curah
hujan bulanan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada 167
stasiun di seluruh Indonesia menggunakan tiga data global yang berbeda .
Tabel 2.2 Verifikasi output model REMO dengan data observasi
Pulau ERA 15 NRA ECHAM 4 Jawa 0,798 0,716 0,173 Kalimantan 0,780 0,668 0,422 Sumatra 0,708 0,682 0,637 Sulawesi 0,645 0,577 0,541 Irian 0,434 0,350 0,143
(Sumber : Aldrian, et.al., 2003)
II - 15
Gambar 2.10 merupakan grafik perbandingan variabilitas curah hujan rata-rata (kiri)
dan rata-rata bulanan (kanan) antara hasil simulasi REMO dengan data observasi
untuk Pulau Kalimantan.
Gambar 2.10 Grafik perbandingan CH hasil simulasi dengan data stasiun
(Sumber: Aldrian, et.al., 2003)
Dari tabel 2.3 dapat dilihat bahwa input model ERA 15 untuk seluruh wilayah
memiliki nilai korelasi yang tinggi dengan data observasi dibandingkan dengan data
inputan dari NRA atau ECHAM 4. Untuk wilayah Kalimantan, nilai korelasi antara
hasil simulasi (data input ERA 15) dengan data observasi memiliki korelasi yang
cukup baik, yaitu sebesar 0,780. Berdasarkan hasil verifikasi tersebut, maka data
ERA 15 menjadi data input model pada penelitian ini.