bab ii telaah pustaka a. landasan teori 1. nilai tukar...

21
8 BAB II TELAAH PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Nilai Tukar (Kurs) Krugman dan Obstfeld (1994:73) mendefinisikan nilai tukar sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Nilai tukar memainkan peranan penting dalam perdagangan internasional, karena nilai tukar memungkinkan kita untuk membandingkan harga segenap barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai negara. Menurut Todaro (2000:247) nilai tukar adalah suatu tingkat, tarif, harga dimana bank sentral bersedia menukar mata uang dari suatu negara dengan mata uang negara lain. Tujuannya adalah untuk meningkatkan harga produk ekspor dan sekaligus untuk menurunkan harga impor yang diukur berdasarkan nilai tukar mata uang setempat. Sedangkan menurut Mankiw (2006:128) nilai tukar diantara dua negara adalah harga dimana penduduk kedua negara saling melakukan perdagangan. Nilai tukar dibagi menjadi dua yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal adalah harga mata uang suatu negara dengan negara lainnya, sedangkan nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal dibagi harga relatif dalam negeri dan luar negeri (negara mitra dagang) kurs riil dijadikan sebagai acuan untuk mengukur daya saing suatu negara dengan negara lainnya.

Upload: vuongquynh

Post on 03-Jun-2018

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

BAB II

TELAAH PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Nilai Tukar (Kurs)

Krugman dan Obstfeld (1994:73) mendefinisikan nilai tukar

sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Nilai tukar

memainkan peranan penting dalam perdagangan internasional, karena nilai

tukar memungkinkan kita untuk membandingkan harga segenap barang

dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai negara.

Menurut Todaro (2000:247) nilai tukar adalah suatu tingkat, tarif,

harga dimana bank sentral bersedia menukar mata uang dari suatu negara

dengan mata uang negara lain. Tujuannya adalah untuk meningkatkan

harga produk ekspor dan sekaligus untuk menurunkan harga impor yang

diukur berdasarkan nilai tukar mata uang setempat.

Sedangkan menurut Mankiw (2006:128) nilai tukar diantara dua

negara adalah harga dimana penduduk kedua negara saling melakukan

perdagangan. Nilai tukar dibagi menjadi dua yaitu nilai tukar nominal dan

nilai tukar riil. Nilai tukar nominal adalah harga mata uang suatu

negara dengan negara lainnya, sedangkan nilai tukar riil adalah nilai tukar

nominal dibagi harga relatif dalam negeri dan luar negeri (negara mitra

dagang) kurs riil dijadikan sebagai acuan untuk mengukur daya saing suatu

negara dengan negara lainnya.

9

Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa nilai tukar

merupakan harga dari mata uang suatu negara terhadap negara lain yang

dipergunakan dalam perdagangan antar negara tersebut.

2. Sistem Nilai Tukar

Tujuan dari adanya sistem nilai tukar adalah untuk mempermudah

perdagangan dan keuangan internasional. Menurut Madura (2006:219-

225) sistem kurs dapat dikategorikan menurut seberapa kuat tingkat

pengawasan pemerintah pada kurs, yaitu:

a. Sistem kurs tetap (fixed exchange rate system)

Dalam sistem kurs tetap, kurs mata uang diatur konstan atau

hanya diperbolehkan berfluktuasi dalam kisaran yang sempit. Apabila

kurs mulai berfluktuasi terlalu besar maka pemerintah akan

melakukan intervensi untuk menjaga agar fluktuasi tetap berada pada

kisaran yang diinginkan. Keuntungan sistem kurs tetap yaitu pada

kondisi dimana kurs dibuat tetap, sebuah perusahaan internasional

dapat melakukan kegiatan bisnisnya tanpa perlu khawatir terhadap

perubahan nilai mata uang di kemudian hari. Kelemahannya yaitu

adanya risiko bahwa pemerintah akan melakukan perubahan nilai

mata uang secara mendadak, dan dari sisi makro sistem kurs tetap

dapat membuat kondisi ekonomi sebuah negara menjadi sangat

tergantung dari kondisi ekonomi negara lain.

10

b. Sistem kurs mengambang bebas (freely floating exchange rate system)

Dalam sistem kurs mengambang bebas, kurs ditentukan

sepenuhnya oleh pasar tanpa intervensi dari pemerintah. Pada kondisi

kurs yang mengambang, kurs akan disesuaikan secara terus-menerus

sesuai dengan kondisi penawaran dan permintaan dari mata uang

tersebut. Keuntungan dari sistem ini yaitu kondisi ekonomi suatu

negara akan lebih terlindungi dari kondisi ekonomi di negara lain.

Kelemahannya tidak memerlukan campur tangan dari pemerintah.

c. Sistem kurs mengambang terkendali (managed float exchange rate

system)

Sistem ini berada pada sistem kurs tetap dan sistem kurs

mengambang bebas. Fluktuasi kurs dibiarkan mengambang dari hari ke

hari dan tidak ada batasan-batasan resmi, pada kondisi tertentu

pemerintah sewaktu-waktu dapat melakukan intervensi untuk

menghindarkan fluktuasi yang terlalu jauh dari mata uangnya.

d. Sistem kurs terikat (pegged exchange rate system)

Dalam sistem ini mata uang lokal mereka diikatkan nilainya

pada sebuah valuta asing atau pada sebuah jenis mata uang

tertentu. Nilai mata uang lokal akan mengikuti fluktuasi dari nilai

mata uang yang dijadikan ikatan tersebut. Mata uang yang telah

diikat pada valuta asing tidak dapat diikat lagi pada mata uang yang

lain. Bila telah diikat dengan Dollar AS maka mata uang tersebut

harus mengikuti pergerakan Dollar AS terhadap mata uang lain.

11

Suatu negara tidak dapat mengikatkan mata uangnya terhadap

seluruh mata uang lain, karena negara tersebut akan terpengaruh

oleh pergerakan mata uang lain terhadap mata uang yang menjadi

ikatannya.

3. Teori Nilai Tukar

a. Teori Mundell-Fleming

Model Mundell-Fleming digunakan untuk menganalisa efek

penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas dalam pelaksanaan

kebijakan ekonomi suatu negara yang berperekonomian kecil dan

terbuka. Model Mundell-Fleming adalah versi perekonomian terbuka

dari model IS-LM. Kedua model tersebut menekankan interaksi antara

pasar barang dan pasar uang, serta mengasumsikan bahwa tingkat harga

adalah tetap dan menunjukkan apa yang menyebabkan fluktuasi jangka

pendek dalam perekonomian. Model Mundell-Fleming merupakan

model yang memadukan antara keseimbangan internal dan eksternal.

Keseimbangan internal adalah keseimbangan antara pasar barang (IS),

pasar uang (LM). Sementara itu keseimbangan eksternal ditunjukkan

oleh keseimbangan neraca pembayaran. Menurut Mundell-Fleming,

perekonomian terbuka dengan mobilitas modal sempurna dapat

dijelaskan sebagai berikut (Mankiw, 2006:332):

Y = C (Y-T) + I (r*) +G +NX (e) (2.1)

M/P = L (r*, Y) (2.2)

12

Persamaan (2.1) menjelaskan keseimbangan di pasar barang

(sektor riil), sehingga akan membentuk kurva IS*. Sedangkan,

persamaan (2.2) menjelaskan keseimbangan di pasar uang (sektor

moneter), dan akan menghasilkan kurva LM* Variabel eksogen dalam

model ini adalah variabel kebijakan fiskal (G dan T), variabel kebijakan

moneter (M), tingkat harga (P), dan tingkat bunga dunia (r*).

Sedangkan variabel endogen adalah pendapatan nasional (Y) dan nilai

tukar nominal (Mankiw, 2006: 332).

Keseimbangan di pasar barang ditentukan oleh permintaan

agregat dari barang-barang domestik yang terdiri dari absorpsi

domestik dan neraca perdagangan. Keseimbangan neraca

perdagangan ditentukan oleh tiga komponen yaitu pendapatan luar

negeri dan domestik serta nilai tukar riil. Kondisi kedua yang

membentuk model ini adalah keseimbangan di pasar uang.

Keseimbangan terbentuk saat permintaan uang sama dengan

penawaran uang. Penawaran uang dalam perekonomian terbuka di

bawah rezim nilai tukar fleksibel ditentukan oleh otoritas moneter

(eksogen). Sedangkan kondisi ketiga adalah keseimbangan neraca

pembayaran. Keseimbangan neraca pembayaran dipengaruhi oleh

faktor-faktor yang mempengaruhi neraca perdagangan yaitu

pendapatan domestik dan nilai tukar riil serta yang mempengaruhi

neraca modal ditentukan oleh perbedaan suku bunga dalam dan luar

negeri.

13

Gambar 2.1 Keseimbangan Internal dan Eksternal pada Model

Mundell-Fleming

Sumber: Dornbusch dan Fischer, 1997

Keseimbangan internal dan eksternal pada model Mundell-Fleming

ditunjukkan pada Gambar 2.1. Kebijakan bank sentral untuk menambah

uang beredar akan menggeser kurva LM ke LM’. Atau dengan

fenomena capital inflow, aliran modal yang masuk ke negara

berkembang menyebabkan permintaan mata uang domestik meningkat.

Hasilnya adalah pada poin E’ tingkat suku bunga lebih rendah dan

output yang diperoleh lebih besar. Dengan demikian arus modal akan

mengalir ke luar negeri, neraca pembayaran akan mengalami defisit

sementara itu nilai tukar akan terdepresiasi. Ekspor neto akan

mengalami peningkatan akibat depresiasi Rupiah yang artinya akan

menggeser kurva IS ke IS’ dan mencapai keseimbangan pada titik E”.

Suku bunga kembali pada tingkat suku bunga dunia, depresiasi

menyebabkan peningkatan pendapatan. Sedangkan kebijakan moneter

bekerja dengan cara meningkatkan ekspor neto (Dornbusch dan Fischer,

1997:200).

14

Sehubungan dengan keseimbangan eksternal, nilai tukar dalam

sistem nilai tukar mengambang akan ditentukan oleh interaksi antara

permintaan dan penawaran. Pasar valuta asing (valas) merupakan salah

satu bentuk pasar dimana komoditi yang diperdagangkan adalah valas,

seperti Dollar AS, Euro, Yen Jepang, dan sebagainya. Semakin tinggi

nilai tukar (nilai Dollar AS meningkat) akan menyebabkan jumlah

permintaan akan Dollar AS menurun. Sebaliknya, korelasi searah antara

nilai tukar dan penawaran Dollar AS.

b. Pendekatan Neraca Pembayaran

Pendekatan ini lebih menekankan pada konsep aliran (flow

concept) dimana menurut pendekatan ini nilai tukar sebuah mata

uang ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang terjadi dalam

pasar valuta asing. Permintaan valas berasal dari transaksi pembayaran

yang diakukan kepada asing. Transaksi tersebut bisa berupa impor

barang atau jasa maupun berupa pembelian surat berharga milik

asing. Selanjutnya, transaksi-transaksi tersebut dicatat dalam sisi

debit neraca pembayaran. Sedangkan penawaran valas berasal dari

penerimaan valas yang diperoleh dari impor barang atau jasa

maupun dari penjualan surat berharga kepada pihak asing.

Selanjutnya transaksi-transaksi tersebut dicatat dalam sisi kredit

neraca pembayaran. Penentuan kurs melalui pendekatan neraca

pembayaran dapat dilihat dalam Gambar 2.2.

15

Gambar 2.2 Penentuan Kurs dalam Pendekatan Neraca

Pembayaran

Sumber: Kuncoro, 2001.

Dalam Gambar 2.2, kurs Dollar yang dinilai dengan Rupiah

digambarkan oleh sumbu vertikal, sedangkan volume permintaan

Dollar AS digambarkan dengan sumbu horizontal. Permintaan

(demand) yang dinotasikan dengan huruf D mempunyai sumbu yang

negatif yang artinya semakin tinggi nilai tukar, maka akan semakin

tinggi pula harga yang harus dibayarkan atas barang atau jasa yang

diimpor dari asing maupun maupun surat berharga milik asing

keadaan tersebut selanjutnya akan berakibat pada menurunnya

permintaan akan impor maupun permintaan akan valas itu sendiri.

Sedangkan penawaran (supply) valas yang dinotasikan dengan huruf

S mempunyai sumbu yang positif. Artinya semakin tinggi nilai

valas maka akan semakin tinggi pula penawaran terhadap valas..

16

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar

a. Pembalikan Modal

Pembalikan arus modal merupakan istilah inklusif untuk semua

perubahan negatif utama arus modal bersih. Pembalikan dapat

mencerminkan perilaku baik investor asing dan domestik. Pembalikan

modal dapat menyebabkan krisis mata uang karena aliran modal dari

luar negeri terbatas. Namun, pembalikan modal juga dapat terjadi

sebagai respon dari adanya perubahan dalam kebijakan makroekonomi

yang dirancang untuk mencegah kemungkinan serangan spekulatif di

masa depan atau sebagai konsekuensi dari shok perdagangan (Kim et

al., 2014).

Sementara itu sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dalam era

globalisasi pembalikan modal memberikan dampak negatif terhadap

perekonomian yang ditinggalkannya. Menurut beberapa ekonom

(Dornbusch, Goldfajn dan Valdes, 1995) sudden capital reversal juga

berdampak pada terjadinya pembalikan neraca transaksi berjalan dan

proses penyesuaian ekonomi yang mahal. Sebagian besar krisis

ekonomi yang terjadi di negara berkembang dewasa ini ditandai oleh

terjadinya pembalikan modal (Calvo, 1998) yang diikuti oleh

menurunnya output secara signifikan.

Sula (2006) melakukan penelitian dengan menggunakan metode

probit dan data panel guna mengetahui faktor penyebab utama

terjadinya pembalikan modal. Ditemukan bahwa penyebab utama

17

terjadinya pembalikan modal adalah tingginya aliran modal masuk

pada periode sebelumnya (sekitar satu hingga tiga tahun sebelumnya),

serta komposisi aliran modal masuk yang didominasi oleh non FDI.

b. Neraca Transaksi Berjalan

Neraca transaksi berjalan (current account) adalah ukuran

perdagangan barang dan jasa internasional suatu negara yang

paling luas. Komponen utamanya adalah neraca perdagangan, yaitu

selisih antara ekspor dan impor.

Pada neraca transaksi berjalan, ekspor dicatat sebagai kredit karena

menghasilkan devisa bagi negara. Sedangkan impor dicatat sebagai

debit karena mengeluarkan devisa dari negara. Selain ekspor dan

impor, transaksi lain yang termasuk dalam neraca transaksi berjalan

adalah pendapatan faktor dan transaksi satu arah (unilateral transfer).

Calderon et al (2000) meneliti defisit neraca transaksi berjalan di

44 negara berkembang dengan rentang waktu 1966 sampai dengan

1995. Kajian tersebut menemukan bahwa (i) semakin tinggi

pertumbuhan ekonomi suatu negara berkembang cenderung akan

semakin tinggi defisit neraca transaksi berjalan yang terjadi, (ii)

semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara maju cenderung

akan semakin rendah defisit neraca transaksi berjalan yang dialaminya,

(iii) semakin tinggi tingkat tabungan akan semakin rendah defisit neraca

transaksi berjalan yang terjadi, (iv) apresiasi nilai tukar riil

meningkatkan defisit neraca transaksi berjalan, dan (v) tingkat bunga

18

internasional yang semakin rendah mengarah pada peningkatan defisit

neraca transaksi berjalan.

c. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia

Tingkat suku bunga diukur dengan menggunakan suku bunga

yang ditentukan oleh Bank Indonesia selaku penguasa moneter melalui

Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Besar kecilnya suku bunga sangat

tergantung dari kondisi makro yang berkembang di Indonesia. SBI

adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia

sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan)

dengan sistem diskonto/bunga. SBI merupakan salah satu

mekanisme yang digunakan Bank Indonesia untuk mengontrol

kestabilan nilai Rupiah. Pada saat menjual SBI, Bank Indonesia dapat

menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Tingkat suku bunga

yang berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan oleh mekanisme

pasar berdasarkan sistem lelang.

Peredaran uang yang terlalu banyak di masyarakat akan

mengakibatkan masyarakat cenderung membelanjakan uangnya yang

pada akhirnya bisa berdampak pada kenaikan harga-harga barang,

yang salah satunya sebagai faktor pemicu inflasi. Menaikkan suku

bunga SBI, yang berarti bank–bank dan lembaga keuangan akan

terdorong untuk membeli SBI. Adanya bunga yang tinggi dalam

SBI membuat bank dan lembaga keuangan menikmatinya, ini akan

memberikan tingkat bunga yang lebih tinggi untuk produknya.

19

Bunga yang tinggi akan berdampak pada alokasi dana investasi bagi

para investor. Salah satu sifat tingkat bunga adalah mudah berubah-

ubah, yang terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat dan

berjangka waktu pendek. Tingkat bunga jangka panjang relatif kurang

berfluktuatif (Permana, 2009).

Teori yang dapat menjelaskan pengaruh tingkat bunga terhadap

perubahan kurs mata uang asing adalah teori International Fisher Effect

(IFE Theory). Teori ini menggabungkan teori PPP dengan teori Effect

Fisher yang ditemukan oleh ekonom yang bernama Irving Fisher.

Menurut teori IFE, nilai mata uang dari negara yang memiliki tingkat

bunga tinggi atau lebih tinggi dari negara lain akan mengalami

depresiasi. Jika tingkat bunga domestik lebih tinggi dari tingkat bunga

negara asing, maka nilai mata uang domestik akan terdepresiasi,

sedangkan mata uang asing akan terapresiasi.

Nilai tukar dan tingkat suku bunga juga memiliki kaitan erat

dengan istilah Purchasing Power Parity (PPP) atau Teori Paritas Daya

Beli. Teori Paritas Daya Beli didefinisikan sebagai perbedaan harga

suatu barang yang sama tetapi dijual dengan harga yang berbeda. Teori

ini memaparkan bahwa perubahan dalam inflasi relatif (perbandingan

inflasi antar negara) antara dua negara harus diimbangi pula oleh

perubahan dalam nilai tukar untuk menjaga kesamaan harga barang di

antara kedua negara tersebut (Daniels et al, 2007).

20

d. Jumlah Uang Beredar

Uang adalah stok aset yang dapat dipergunakan untuk keperluan

transaksi (Herlambang, dkk, 2002:114). Uang adalah persediaan aset

yang dapat dengan segera digunakan untuk melakukan transaksi

(Mankiw, 2006:76). Uang beredar (M2) meliputi mata uang dalam

peredaran, uang giral, uang kuasi. Uang kuasi terdiri dari deposito

berjangka, tabungan, dan rekening/tabungan valas milik swasta

domestik (Sukirno, 2004:281). Jumlah uang yang tersedia disebut

jumlah uang beredar (money supply), dalam perekonomian yang

menggunakan uang komoditas, jumlah uang beredar adalah jumlah

dari komoditas itu dan pemerintah mengendalikan jumlah uang

beredar (Mankiw, 2006:79).

Menurut Nopirin (1992:170), meskipun secara umum dapat

dikatakan bahwa jumlah uang beredar (JUB) dapat ditentukan

secara langsung oleh Bank Sentral tanpa mempersoalkan

hubungannya dengan uang primer, namun pada kenyataannya JUB

pada suatu periode merupakan hasil perilaku dari bank sentral,

bank umum (termasuk lembaga keuangan bukan bank), masyarakat

secara bersama-sama. Faktor utama yang mempengaruhi jumlah

uang adalah cadangan minimum tetapi hasil seluruhnya terhadap

jumlah uang masih tergantung pada sikap masyarakat. Jadi bank

sentral tidak begitu mudah untuk mengatur JUB karena ada banyak

faktor yang mempengaruhinya.

21

Untuk mengendalikan inflasi dan menstabilkan nilai tukar Rupiah,

Bank Indonesia menggunakan pendekatan kuantitas yakni jumlah uang

yang beredar, yaitu level base money. Menurut Charles et al. (1999),

pengaruh uang beredar terhadap nilai tukar dapat dipisahkan menjadi

dua, yaitu:

1) Domestic credit mempunyai hubungan yang positif terhadap

nilai tukar, dimana bila terjadi penambahan domestic credit,

maka likuiditas akan menyebabkan tekanan depresiasi Rupiah

meningkat.

2) Aliran modal mempunyai hubungan yang negatif terhadap nilai

tukar, karena semakin meningkat aliran modal masuk berarti

permintaan terhadap Rupiah akan semakin meningkat yang pada

akhirnya akan memperkuat posisi Rupiah.

B. Penelitian Terdahulu

Wanaset (2008) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

pergerakan nilai tukar mata uang bath Thailand. Variabel dependen yang

digunakan yaitu nilai tukar bath Thailand terhadap Dollar AS. Sedangkan variabel

independennya terdiri dari CPI, GDP, jumlah uang beredar, dan harga minyak.

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data time series per kuartal dari

Q1 1993 sampai dengan Q4 2008. Pengujian pada penelitian ini

menggunakan metode Vector Autoregressive (VAR). Hasil penelitian

menyimpulkan bahwa pada analisis impulse response dan variance

decomposition, semua variabel independen berpengaruh terhadap nilai tukar.

22

Tetapi causality test menunjukkan hasil yang berbeda, dimana GDP terpengaruh

oleh semua variabel termasuk nilai tukar, tetapi tidak ada satupun variabel

yang mempengaruhi nilai tukar.

Triyono (2008) menganalisis perubahan kurs Rupiah terhadap Dollar

Amerika Serikat. Variabel dependen yang digunakan adalah nilai tukar

Rupiah terhadap Dollar AS. Sedangkan variabel independennya terdiri dari

Jumlah Uang Beredar (JUB), inflasi, tingkat bunga SBI, dan impor. Pengujian

pada penelitian ini menggunakan metode regresi berganda dengan

menggunakan Error Correction Model (ECM). Hasil penelitian menyimpulkan

bahwa berdasarkan hasil estimasi regresi ECM dan analisis jangka panjang

variabel inflasi, SBI dan impor mempunyai pengaruh yang signifikan pada α =

5% dengan arah positif terhadap kurs. Sementara variabel JUB mempunyai

pengaruh dengan arah negatif terhadap kurs pada α = 5%. Hasil analisis dengan

uji t diketahui bahwa regresi jangka pendek variabel inflasi, SBI dan impor

tidak signifikan terhadap kurs pada α = 5%. Sementara variabel JUB berpengaruh

secara signifikan terhadap kurs pada α = 5%. Dalam regresi jangka panjang

variabel inflasi, JUB, SBI, dan impor berpengaruh secara signifikan terhadap

kurs pada α = 5%.

Nucu (2011) meneliti hubungan antara nilai tukar dengan indikator

makroekonomi yang ada di negara Romania. Variabel dependen yang

digunakan adalah nilai tukar mata uang Ron Romania terhadap Dollar AS

dan Euro. Sedangkan variabel independennya terdiri dari GDP, tingkat inflasi,

jumlah uang beredar, tingkat bunga, dan neraca pembayaran. Data yang

23

digunakan dalam penelitian ini berupa data bulanan dari periode 2000 sampai

dengan 2010. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa untuk nilai tukar Ron

terhadap Dollar AS dengan indikator makroekonomi tidak menunjukkan hasil

yang signifikan. Sedangkan untuk nilai tukar Ron terhadap Euro

menunjukkan adanya hubungan negatif signifikan antara nilai tukar

RON/EUR dengan GDP dan jumlah uang beredar. Untuk variabel inflasi dan

tingkat suku bunga menunjukkan hubungan yang positif signifikan terhadap

RON/EUR. Sedangkan untuk variabel neraca pembayaran tidak menunjukkan

adanya korelasi karena tes statistik yang tidak signifikan.

Kwan dan Yoonbai (2004) melakukan penelitian mengenai pengaruh

tingkat suku bunga terhadap nilai tukar Indonesia, Korea, Filipina dan Thailand

pasca Krisis Asia. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa pasca krisis, negara-

negara tersebut tidak menggunakan kebijakan suku bunga yang aktif untuk

menstabilkan nilai tukar. Selain itu, mata uang negara-negara tersebut juga

menunjukkan sensitivitas yang lebih besar terhadap mata uang negara lain setelah

terjadinya krisis. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa meningkatnya

fleksibilitas nilai tukar tidak mendorong stabilitas tingkat suku bunga.

C. Kerangka Pemikiran

1. Hubungan Pembalikan Modal dengan Nilai Tukar

Aliran modal asing mengalir deras ke Indonesia paska krisis

keuangan global 2008 yang dipicu oleh permasalahan subprime mortgage di

AS. Krisis yang kemudian menyebar ke kawasan Eropa dan seluruh dunia

memaksa negara-negara maju yang terkena dampak krisis tersebut untuk

24

memindahkan dananya ke negara-negara berkembang yang kinerja

ekonominya tetap baik, termasuk Indonesia. Aliran modal asing yang

masuk ke Indonesia sebagian besar merupakan aliran modal jangka pendek

(portfolio investment). Antara triwulan III/2009 sampai dengan triwulan

III/2011 tercatat aliran modal masuk sebesar USD 49,7 miliar, dimana

58% nya merupakan portfolio investment. Aliran modal tersebut

mendorong apresiasi Rupiah sebesar 18% dari level Rp 10.500 per

USD (Juni 2009) ke level Rp 8.600 (Juni 2011).

Gambar 2.3 Aliran Modal Keluar Menyebabkan Rupiah Terdepresiasi

Sumber: Mankiw, 2006.

Paska terjadinya krisis, aliran modal jangka pendek yang masuk ke

Indonesia beberapa kali berbalik keluar (capital reversal.) Dikeluarkannya

kebijakan tapering off oleh The Fed juga menjadi salah satu penyebab

terjadinya pembalikan modal di Indonesia. Kebijakan tapering off adalah

25

proses pengurangan jumlah pembelian obligasi yang dilakukan The Fed.

Kebijakan ini mengakibatkan modal yang ada di Indonesia akhirnya ditarik

kembali ke Amerika Serikat. Keluarnya arus kas modal yang begitu deras

menyebabkan terdepresiasinya nilai riil mata uang Rupiah dan menambah

jumlah uang Rupiah yang beredar. Oleh sebab itu, Rupiah akan terus

terkoreksi ketika terjadi pembalikan modal.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Nizar (2007) disimpulkan

bahwa aliran modal masuk menyebabkan terapresiasinya nilai tukar Rupiah

terhadap Dollar AS dan sebaliknya saat terjadi pembalikan modal akan

mengakibatkan terjadinya depresiasi Rupiah.

H1= Pembalikan modal berpengaruh positif terhadap nilai tukar

Rupiah per Dollar AS (Depresiasi nilai Rupiah).

2. Hubungan Neraca Transaksi Berjalan dengan Nilai Tukar

Indonesia mulai mengalami defisit transaksi berjalan sejak kuartal

keempat tahun 2011 dan terus mengalami defisit sejak saat itu. Penurunan

permintaan dan harga komoditi global menyebabkan shok perdagangan

yang besar dan menyebabkan pendapatan ekspor komoditi Indonesia

berkurang. Di sisi lain jumlah impor terus meningkat karena pemerintah

Indonesia terus mempertahankan program subsidi bahan bakar.

Jika impor lebih tinggi dari ekspor, maka yang terjadi adalah

defisit neraca perdagangan. Sebaliknya, jika ekspor lebih tinggi dari

impor, yang terjadi adalah surplus. Ketika terjadi defisit pada neraca

perdagangan atau dengan kata lain impor lebih tinggi daripada

26

ekspor, maka akan meningkatkan permintaan terhadap valuta asing yang

akhirnya menyebabkan depresiasi mata uang lokal. Berbeda ketika

terjadi surplus pada neraca perdagangan, maka yang terjadi adalah

permintaan mata uang akan meningkat yang pada akhirnya akan

mengapresiasi mata uang domestik (Madura, 2006).

H2 = Neraca transaksi berjalan berpengaruh negatif terhadap nilai

tukar Rupiah per Dollar AS (Apresiasi nilai Rupiah).

3. Hubungan Suku Bunga SBI dengan Nilai Tukar

Perubahan tingkat suku bunga akan berdampak pada perubahan

jumlah investasi di suatu negara. Dalam sistem nilai tukar mengambang,

perbedaan tingkat suku bunga dapat mempengaruhi aliran modal dari luar

negeri, dan selanjutnya akan mempengaruhi nilai tukar mata uang negara

tersebut terhadap mata uang asing. Apabila tingkat suku bunga dalam

negeri naik sementara tingkat suku bunga luar negeri tetap maka investor

asing akan membeli asset keuangan domestik karena menawarkan imbal

hasil yang lebih tinggi. Kondisi ini akan menyebabkan nilai tukar negara

tersebut terapresiasi.

H3 = Tingkat suku bunga SBI berpengaruh negatif terhadap nilai

tukar Rupiah per Dollar AS (Apresiasi nilai Rupiah).

4. Hubungan Jumlah Uang Beredar dengan Nilai Tukar

Di negara-negara berkembang adanya peningkatan jumlah uang

beredar diantarnya disebabkan karena adanya defisit anggaran pemerintah.

Untuk membiayai defisit tersebut, pemerintah memerintahkan Bank

27

Indonesia untuk mencetak uang lebih banyak sehingga jumlah uang

beredar di masyarakat meningkat. Menurut Miskhin (2008:130)

meningkatnya jumlah uang beredar akan mengakibatkan tingkat harga

lebih tinggi dalam jangka panjang dan akan menurunkan kurs di

masa depan. Semakin tinggi jumlah uang beredar di suatu negara akan

menyebabkan mata uang di negara tersebut terdepresiasi.

Dalam pendekatan moneter yang mendasarkan kebijakan kurs

mengambang bebas, menyatakan bahwa nilai tukar aktual mata uang

dari suatu negara dalam satuan mata uang negara lain ditentukan

oleh pertumbuhan penawaran uang dan permintaan uang. Jumlah uang

beredar yang berlebihan dalam suatu negara akan menyebabkan nilai

tukar mata uangnya melemah (depresiasi), hal itu dikarenakan tidak

diimbangi dengan permintaan yang sesuai.

Menurut Joseph, dkk (1999) bahwa pengaruh uang beredar

memiliki hubungan yang positif dengan kurs, dimana bila terjadi

penambahan uang beredar maka akan menyebabkan tekanan depresiasi

Rupiah dan USD meningkat. Semakin menaikkan jumlah uang beredar

akan menaikkan kurs yaitu mata uang Rupiah mengalami depresiasi

terhadap dollar AS, begitu sebaliknya semakin menurunkan kurs maka

mata uang Rupiah akan terapresiasi terhadap dollar AS.

H4 = Jumlah uang beredar berpengaruh positif terhadap nilai tukar

Rupiah per Dollar AS (Depresiasi nilai Rupiah).

28

Berdasarkan telaah pustaka dan hasil penelitian terdahulu,

kerangka penelitian ini dapat dijelaskan dalam gambar sebagai berikut:

+

-

-

+

D. Pengembangan Hipotesis

Variabel-variabel yang diduga mempengaruhi nilai tukar Rupiah antara

lain pembalikan modal, neraca transaksi berjalan, suku bunga SBI dan jumlah

uang beredar. Karena belum teruji kebenarannya maka diambil suatu hipotesis.

Hipotesis merupakan suatu pendapat atau kesimpulan yang sifatnya masih

sementara, belum benar-benar berstatus sebagai tesis atau dalil. Kemudian diuji

secara empiris untuk membuktikan kebenarannya. Adapun hipotesis yang

digunakan adalah sebagai berikut:

1. Diduga pembalikan modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap

nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Depresiasi nilai Rupiah).

2. Diduga neraca transaksi berjalan berpengaruh negatif dan signifikan

terhadap nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Apresiasi nilai Rupiah).

3. Diduga tingkat suku bunga SBI berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Apresiasi nilai Rupiah).

4. Diduga jumlah uang beredar berpengaruh positif dan signifikan terhadap

nilai tukar Rupiah per Dollar AS (Depresiasi nilai Rupiah).

Pembalikan Modal

Neraca Transaksi Berjalan

Suku Bunga SBI

Jumlah Uang Beredar

Kurs