bab ii stroke

77
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep Medik a. Stroke 1) Definisi Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi (WHO, 2005). Kelompok umur lebih dari 40 tahun merupakan faktor risiko tinggi terjadinya stroke. Definisi stroke menurut Waluyo, (2009) adalah suatu gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh karena gangguan peredaran darah otak, dimana secara 10

Upload: unhiwaikabu

Post on 03-Dec-2015

10 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kesehatan

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Stroke

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Konsep Medik

a. Stroke

1) Definisi

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun

global akut, lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan

aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan

peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke

sekunder karena trauma maupun infeksi (WHO, 2005).

Kelompok umur lebih dari 40 tahun merupakan faktor

risiko tinggi terjadinya stroke.

Definisi stroke menurut Waluyo, (2009) adalah suatu

gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh karena

gangguan peredaran darah otak, dimana secara

mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat

(dalam beberapa jam) timbul gejala dan tanda yang

sesuai dengan daerah fokal di otak yang terganggu.

Stroke merupakan masalah kesehatan mayor di dunia,

menjadi penyebab kematian ketiga setelah penyakit

jantung dan kanker, serta menjadi penyebab kecacatan

utama (Mulyatsih, 2008).

10

Page 2: BAB II Stroke

11

Stroke adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan

jaringan otak yang disebabkan kurangnya aliran darah ke

otak sehingga mengganggu kebutuhan darah dan oksigen

ke jaringan otak (Sjahrir, 2006).

2) Klasifikasi

Setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan,

preventif, dan prognosa yang berbeda, walaupun

patogenesisnya serupa. Klasifikasi modifikasi marshall

(Misbach, 2009), diantaranya :

a) Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya

(1) Stroke iskemik (sekitar 80% sampai 85% stroke

terjadi).

i. Transient Ischemic Attack (TIA).

ii. Trombosis serebri.

iii. Embolia serebri.

(2) Stroke hemoragik (sekitar 15% sampai 20% stroke

terjadi).

i. Perdarahan intra serebral.

ii. Perdarahan subarachnoid.

b) Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu.

(1) Transient Ischemic Attack.

(2) Stroke in evolution.

(3) Completed stroke.

Page 3: BAB II Stroke

12

c) Berdasarkan sistem pembuluh darah.

(1) istem karotis.

(2) Sistem vertebro-basilar.

Sindroma ini memberikan informasi yang berharga

mengenai lokasi anatomi pembuluh darah, etiologi, dan

prognosa stroke. Kira-kira 1% pasien stroke tidak

cocok dengan salah satu sindrome ini (Hankey, 2010).

3) Tanda dan Gejala Stroke

Gejala stroke dapat dibedakan atas gejala/ tanda akibat

lesi dan gejala/ tanda yang diakibatkan oleh

komplikasinya (Sudoyo, 2007). Gejala akibat lesi bisa

sangat jelas dan mudah untuk didiagnosis akan tetapi

dapat sedemikian tidak jelas sehingga diperlukan

kecermatan tinggi untuk mengenalinya.

Tanda dan gejala stroke (De Freitas et al., 2009) yaitu

a) Hemidefisit motoric

b) Hemidefisit sensorik

c) Penurunan kesadaran

d) Kelumpuhan nervus fasialis (VII) dan hipoglosus (XII)

yang bersifat sentral

e) Gangguan fungsi luhur seperti kesulitan ber- bahasa

(afasia) dan gangguan fungsi intelektual (demensia),

f) Buta separuh lapangan pandang (hemianopsia)

Page 4: BAB II Stroke

13

g) Defisit batang otak

Pasien dapat datang dalam keadaan sadar dengan

keluhan lemah separuh badan pada saat bangun tidur

atau sedang bekerja akan tetapi tidak jarang pasien

datang dalam keadaan koma sehingga memerlukan

penyingkiran diagnosis banding sebelum mengarah ke

stroke. Secara umum gejala tergantung pada besar dan

letak lesi di otak yang menyebabkan gejala dan tanda

organ yang dipersarafi oleh bagian tersebut. Jenis

patologi (hemoragik atau nonhemoragik) secara umum

tidak menyebabkan perbedaan dari tampilan gejala,

kecuali bahwa pada jenis hemoragik sering kali ditandai

dengan nyeri kepala hebat terutama terjadi saat bekerja.

Beberapa perbedaan yang terdapat pada stroke hemisfer

kiri dan kanan dapat dilihat dari tanda-tanda yang

didapatkan dan dengan pemeriksaan neurologis

sederhana dapat diketahui kira-kira letak lesi seperti yang

terlihat di bawah ini yaitu:

a) Lesi di korteks:

i. Gejala terlokalisasi dan mengenai daerah

kontralateral dari letak lesi.

ii. Hilangnya sensasi kortikal (diskriminasi dua titik)

ambang sensorik yang bervasiasi.

Page 5: BAB II Stroke

14

iii. Kurang perhatian terhadap rangsang sensorik.

iv. Bicara dan penglihatan mungkin terkena.

b) Lesi di kapsula:

i. Lebih luas dan mengenai daerah kontra lateral dari

letak lesi.

ii. Sensasi primer menghilang.

iii. Bicara dan penglihan mungkin terganggu.

c) Lesi di batang otak:

i. Luas dan bertentangan dengan letak lesi

ii. Mengenai saraf kepala sesisi dengan letak lesi (III-

IV otak tengah), (V,VI,VII, di pons), (IX, X, XI, XII di

medula).

d) Lesi di medula spinalis:

i. Neuron motorik bawah di daerah lesi, sesisi

ii. Neuron motorik atas di bawah lesi, berlawan

dengan letak lesi

iii. Gangguan sensorik Gejala akibat komplikasi akut

menyebabkan kematian lima kali lebih banyak

dibanding akibat lesi, dan bersama-sama keduanya

menyebabkan sekitar 20% kematian pada hari

pertama.

Komplikasi akut yang terjadi adalah:

a) Kenaikan tekanan darah.

Keadaan ini biasanya merupakan mekanisme

kompensasi sebagai upaya mengejar kekurangan

Page 6: BAB II Stroke

15

pasokan darah di tempat lesi. Oleh karena itu, kecuali

bila menunjukkan nilai yang sangat tinggi (sistolik >

220/ diastolik > 130) tekanan darah tidak perlu

diturunkan karena akan turun sendiri selama 48 jam.

Pada pasien hipertensi kronis, tekanan darah juga

tidak perlu diturunkan segera.

b) Kadar gula darah.

Pasien stroke sering kali merupakan pasien DM,

sehingga kadar gula darah pasca stroke tinggi. Akan

tetapi sering kali terjadi kenaikan kadar gula darah

pasien sebagi reaksi kompensasi atau mekanisme

stres.

c) Gangguan jantung baik sebagai penyebab maupun

sebagai komplikasi.

Keadaan ini memerlukan perhatian khusus, sering kali

memperburuk keaadn stroke, bahkan sering

merupakan penyebab kematian.

d) Gangguan respirasi, baik akibat infeksi maupun akibat

penekanan di pusat nafas.

e) Infeksi dan sepsis, merupakan komplikasi stroke yang

serius

f) Gangguan ginjal dan hati.

g) Ulcer stres, yang sering menyebabkan terjadinya

hematemesis dan melena (Sudoyo, 2007)

Page 7: BAB II Stroke

16

Beberapa penyebab stroke (Sjahrir, 2006), diantaranya :

a) Trombosis.

(1) Aterosklerosis (tersering).

(2) Vaskulitis : arteritis temporalis, poliarteritis nodosa.

(3) Robeknya arteri : karotis, vertebralis (spontan atau

traumatik).

(4) Gangguan darah: polisitemia, hemoglobinopati

(penyakit sel sabit).

b) Embolisme.

(1) Sumber di jantung: fibrilasi atrium (tersering), infark

miokardium, penyakit jantung reumatik, penyakit

katup jantung, katup prostetik, kardiomiopati

iskemik.

(2) Sumber trombo emboli aterosklerosis di arteri :

bifurkasio karotis komunis, arteri vertrebralis distal.

(3) Keadaan hiper koagulasi : kontrasepsi oral,

karsinoma.

c) Vasokonstriksi.

Vasospasma serebrum setelah peradarahan

subaraknoid.

4) Epidemiologi

Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan

serta merupakan satu dari tiga penyebab terbesar

Page 8: BAB II Stroke

17

kematian di Amerika Serikat, termasuk di banyak negara

lainnya di dunia, setelah penyakit jantung dan kanker.

Hampir ¾ juta individu di Amerika Serikat mengalami

stroke setiap tahunnya dan dari jumlah tersebut sebanyak

150.000 orang (90.000 wanita dan 60.000 pria) meninggal

akibat stroke. Sekitar 1,5 juta penduduk di Cina meninggal

setiap tahunnya akibat stroke (Caplan, 2007).

Insiden stroke bervariasi di berbagai negara Eropa,

diperkirakan terdapat 100-200 kasus stroke baru per

100.000 penduduk per tahun (Hacke, 2005). Di Amerika

diperkirakan terdapat lebih dari 700.000 insiden stroke per

tahun, dengan 4,8 juta penderita yang bertahan hidup

(Goldstein, 2006).

Di Amerika Selatan rata-rata insiden stroke pertahun 0,

35-1,83 per 1000 penduduk (Saposnik, 2008). Di antara

penduduk asli Amerika, Indian/ Alaska yang berumur

diatas usia 18 tahun, 5,1% mengalami stroke. Diantara

orang Amerika yang berkulit hitam atau Afrika angkanya

3,2% pada mereka yang berkulit putih 2,5% dan pada

orang-orang Asia 2,4%. Prevalensi silent infark serebri

diantara umur 55-64 tahun kira-kira 11%. Prevalensi ini

meningkat menjadi 22% diantara umur 65-69 tahun, 28%

diantara umur 70-74 tahun, 32% diantara umur 75-79

Page 9: BAB II Stroke

18

tahun, 40% diantara umur 80-85 tahun dan 43% pada

umur diatas 85 tahun. Bila angka ini digunakan pada

tahun 1998 pada perkiraan populasi di Amerika maka

diperkirakan 13 juta penduduk mengalami silent stroke

(Rosamond, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh oleh Machfoed di beberapa

rumah sakit di Surabaya diperoleh data bahwa dari 1.397

pasien yang didiagnosa dengan stroke, 808 pria dan 589

wanita. Sebanyak 1001 (71,73%) pasien adalah stroke

iskemik dan 396 (28,27%) adalah stroke hemoragik. Umur

rata-rata untuk semua pasien stroke adalah 76,43 tahun

dengan umur rata-rata untuk pasien stroke iskemik 77,43

tahun dengan umur rata-rata untuk pasien stroke iskemik

77,43 tahun dan 75,21 tahun untuk stroke hemoragik

(Machfoed, 2006).

Meskipun dapat mengenai semua usia, insiden stroke

meningkat dengan bertambahnya usia dan terjadi lebih

banyak pada wanita usia muda tetapi tidak pada usia

yang lebih tua (Misbach, 2009).

Penyakit serebrovaskuler (CVD) atau stroke yag

menyerang kelompok usia diatas usia 40 tahun adalah

setiap kelainan otak akibat proses patologi pada sistem

pembuluh darah otak. Proses ini dapat disebabkan

Page 10: BAB II Stroke

19

penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis dan

emboli, pecahnya dinding pembuluh darah dan perubahan

viskositas maupun kualitas darah sendiri. Perubahan

dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya

dapat bersifat primer karena kelainan kongenital maupun

degeneratif atau akibat proses lain seperti peradangan,

atherosclerosis, hipertensi, dan diabetes mellitus

(Misbach, 2009).

Stroke menjadi penyebab kecacatan utama diantara

semua orang dewasa dan kecacatan yang memerlukan

fasilitas perawatan jangka panjang diantara populasi usia

dan merupakan penyebab utama gangguan fungsional

dengan 20% penderita yang masih bertahan hidup

memerlukan perawatan institusi setelah 3 bulan dan 15%

sampai 30% menjadi cacat permanen. Stroke juga

merupakan kejadian yang dapat merubah kehidupan yang

tidak hanya mengenai seseorang yang dapat menjadi

cacat tetapi juga seluruh keluarga dan pengasuh yang lain

(Goldstein, 2006).

5) Gambaran klinis

Proses penyumbatan pembuluh darah otak mempunyai

beberapa sifat klinis yang spesifik (Sacco, 2010):

a) Timbul mendadak. Timbulnya gejala mendadak dan

jarang didahului oleh gejala pendahuluan (warning

Page 11: BAB II Stroke

20

signs) seperti sakit kepala, mual, muntah, dan

sebagainya.

b) Menunjukkan gejala neurologis kontraleteral terhadap

pembuluh yang tersumbat. Tampak sangat jelas pada

penyakit pembuluh darah otak sistem karotis dan

perlu lebih teliti pada observasi sistem vertebra-basilar

meskipun prinsipnya sama.

c) Kesadaran dapat menurun sampai koma terutama

pada perdarahan otak sedangkan pada stroke iskemik

lebih jarang terjadi penurunan kesadaran.

6) Patogenesis

a) Patogenesis umum

Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi

dimana saja di dalam arteri – arteri yang membentuk

sirkulus Willisi : arteri karotis interna dan sistem

vertebrobasilar atau semua cabang–cabangnya.

Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak

terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi

infark atau kematian jaringan. Proses patologik yang

mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses

yang terjadi di dalam pembuluh darah yang

memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa, (1)

keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri,

Page 12: BAB II Stroke

21

seperti aterosklerosis dan thrombosis, robeknya

dinding pembuluh darah, atau peradangan; (2)

berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran

darah, misalnya syok hiperviskositas darah; (3)

gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus

infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh

ekstrakranium; atau (4) ruptur vaskular didalam

jaringan otak atau ruang subaraknoid (Misbach, 2009).

Berdasarkan patogenesis stroke, maka perjalanan

sakit akan dijabarkan dibawah ini menjadi (Sacco,

2010):

(1) Stadium prapatogenesis, yaitu stadium sebelum

terjadi gejala stroke. Stadium ini umumnya

penderita sudah mempunyai faktor risiko atau

memiliki gaya hidup yang mengakibatkan penderita

menderita penyakit degeneratif.

(2) Stadium patogenesis, yaitu stadium ini dimulai saat

terbentuk lesi patologik sampai saat lesi tersebut

menetap. Gangguan fungsi otak disini adalah akibat

adanya lesi pada otak. Lesi ini umumnya

mengalami pemulihan sampai akhirnya terdapat

lesi yang menetap. Secara klinis defisit neurologik

yang terjadi juga mengalami pemulihan sampai

Page 13: BAB II Stroke

22

taraf tertentu.

(3) Stadium pascapatogenesis, yaitu stadium ini secara

klinis ditandai dengan defisit neurologik yang

cenderung menetap. Usaha yang dapat dilakukan

adalah mengusahakan adaptasi dengan lingkungan

atau sedapat mungkin lingkungan beradaptasi

dengan keadaan penderita.

Sehubungan dengan penalataksanaanya maka stadium

patogenoesis dapat dibagi menjadi tiga fase (Sacco,

2010), yaitu :

(1) Fase hiperakut atau fase emergensi. Fase ini

berlangsung selama 0-3/12 jam pasca onset.

Penatalaksanaan fase ini lebih ditujukkan untuk

menegakkan diagnosis dan usaha untuk

membatasi lesi patologik yang terbentuk.

(2) Fase akut. Fase ini berlangsung sesudah 12 jam –

14 hari pasca onset. Penatalaksanaan pada fase ini

ditujukkan untuk prevensi terjadinya komplikasi,

usaha yang sangat fokus pada restorasi/rehabilitasi

dini dan usaha preventif sekunder.

(3) Fase sub-akut. Fase ini berlangsung sesudah 14

hari – kurang dari 180 hari pasca onset dan

kebanyakan penderita sudah tidak dirawat di rumah

sakit serta penatalaksanaan lebih ditujukkan untuk

Page 14: BAB II Stroke

23

usaha preventif sekunder serta usaha yang fokus

pada neuro restorasi / rehabilitasi dan usaha

menghindari komplikasi.

b) Patogenesis stroke iskemik

Stroke iskemik terjadi akibat obstruksi atau bekuan

disatu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum.

Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus)

yang terbentuk didalam suatu pembuluh otak atau

pembuluh organ distal kemudian bekuan dapat

terlepas pada trombus vaskular distal, atau mungkin

terbentuk didalam suatu organ seperti jantung, dan

kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai

suatu embolus (Amir, 2009).

Pangkal arteria karotis interna (tempat arteria karotis

komunis bercabang menjadi arteria karotis interna dan

eksterna) merupakan tempat tersering terbentuknya

arteriosklerosis. Sumbatan aliran di arteria karotis

interna sering merupakan penyebab stroke pada orang

berusia lanjut, yang sering mengalami pembentukan

plak arteriosklerosis di pembuluh darah sehingga

terjadi penyempitan atau stenosis (Amir, 2009).

c) Patogenesis stroke hemoragik

Stroke haemoragik terjadi akibat tekanan darah yang

sangat tinggi dapat mengakibatkan terjadinya

Page 15: BAB II Stroke

24

gangguan peredaran darah otak atau stroke

haemoragik yang dapat dibedakan menjadi dua jenis

yaitu, perdarahan subarachnoid dan perdarahan

intraserebral (Nelson, 2005) sebagai berikut:

(1) Perdarahan sub-araknoid

Patogenesis perdarahan subaraknoid yaitu darah

keluar dari dinding pembuluh darah menuju ke

permukaan otak dan tersebar dengan cepat melalui

aliran cairan otak ke dalam ruangan di sekitar otak.

Perdarahan sering kali berasal dari rupturnya

aneurisma di basal otak atau pada sirkulasi willisii.

Perdarahan subaraknoid timbul spontan pada

umumnya dan sekitar 10 % disebabkan karena

tekanan darah yang naik dan terjadi saat aktivitas.

(2) Perdarahan intraserebral

Patogenesis perdarahan intraserebral adalah akibat

rusaknya struktur vaskular yang sudah lemah

akibat aneurisma yang disebabkan oleh kenaikan

darah atau pecahnya pembuluh darah otak akibat

tekanan darah, atau pecahnya pembuluh darah

otak akibat tekanan darah yang melebihi toleransi.

7) Diagnosis

a) Anamnesis

Proses anamnesis akan ditemukan kelumpuhan

Page 16: BAB II Stroke

25

anggota gerak sebelah badan, mulut mencong atau

bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi dengan

baik. Keadaan ini timbul sangat mendadak, dapat

sewaktu bangun tidur, sedang bekerja, ataupun

sewaktu istirahat.

b) Pemeriksaan fisik

Penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta

fungsi vital seperti tekanan darah kiri dan kanan, nadi,

pernafasan, tentukan juga tingkat kesadaran

penderita. Jika kesadaran menurun, tentukan skor

dengan skala koma glasglow agar pemantauan

selanjutnya lebih mudah, tetapi seandainya penderita

sadar tentukan berat kerusakan neurologis yang

terjadi, disertai pemeriksaan saraf – saraf otak dan

motorik apakah fungsi komunikasi masih baik atau

adakah disfasia. Jika kesadaran menurun dan nilai

skala koma glasglow telah ditentukan, setelah itu

lakukan pemeriksaan refleks – refleks batang otak

yaitu :

(1) Reaksi pupil terhadap cahaya.

(2) Refleks kornea.

(3) Refleks okulosefalik.

(4) Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat

Page 17: BAB II Stroke

26

pernafasan Cheyne Stoke, hiperventilasi neurogen,

kluster, apneustik dan ataksik. Setelah itu tentukan

kelumpuhan yang terjadi pada saraf – saraf otak

dan anggota gerak. Kegawatan kehidupan sangat

erat hubungannya dengan kesadaran menurun,

karena makin dalam penurunan kesadaran, makin

kurang baik prognosis neurologis maupun

kehidupan. Kemungkinan perdarahan intra serebral

dapat luas sekali jika terjadi perdarahan–

perdarahan retina atau preretina pada pemeriksaan

funduskopi.

c) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan cek

laboratorium, pemeriksaan neurokardiologi,

pemeriksaan radiologi, penjelasannya adalah sebagai

berikut :

(1) Laboratorium.

i. Pemeriksaan darah rutin

ii. Pemeriksaan kimia darah lengkap

Gula darah sewaktu.

Stroke akut terjadi hiperglikemia reaktif. Gula

darah dapat mencapai 250 mg dalam serum

dan kemudian berangsur – angsur kembali

Page 18: BAB II Stroke

27

turun.

Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi

hati, enzim SGOT/SGPT/CPK, dan profil lipid

(trigliserid, LDH-HDL kolesterol serta total

lipid).

iii. Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap).

Waktu protrombin.

Kadar fibrinogen.

Viskositas plasma.

iv. Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas

indikasi Homosistein.

(2) Pemeriksaan neurokardiologi

Sebagian kecil penderita stroke terdapat perubahan

elektrokardiografi. Perubahan ini dapat berarti

kemungkinan mendapat serangan infark jantung,

atau pada stroke dapat terjadi perubahan –

perubahan elektrokardiografi sebagai akibat

perdarahan otak yang menyerupai suatu infark

miokard. Pemeriksaan khusus atas indikasi

misalnya CK-MB follow up nya akan memastikan

diagnosis. Pada pemeriksaan EKG dan

pemeriksaan fisik mengarah kepada kemungkinan

adanya potensial source of cardiac emboli (PSCE)

Page 19: BAB II Stroke

28

maka pemeriksaan echocardiografi terutama

transesofagial echocardiografi (TEE) dapat diminta

untuk visualisasi emboli cardial.

(3) Pemeriksaan radiologi

i. CT-scan otak

Perdarahan intraserebral dapat terlihat segera

dan pemeriksaan ini sangat penting karena

perbedaan manajemen perdarahan otak dan

infark otak. Pada infark otak, pemeriksaan CT-

scan otak mungkin tidak memperlihatkan

gambaran jelas jika dikerjakan pada hari – hari

pertama, biasanya tampak setelah 72 jam

serangan. Jika ukuran infark cukup besar dan

hemisferik. Perdarahan/infark di batang otak

sangat sulit diidentifikasi, oleh karena itu perlu

dilakukan pemeriksaan MRI untuk memastikan

proses patologik di batang otak.

ii. Pemeriksaan foto thoraks.

Dapat memperlihatkan keadaan jantung,

apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri

yang merupakan salah satu tanda hipertensi

kronis pada penderita stroke dan adakah

kelainan lain pada jantung.

Page 20: BAB II Stroke

29

Dapat mengidentifikasi kelainan paru yang

potensial mempengaruhi proses manajemen

dan memperburuk prognosis.

b. Penatalaksanaan Oral Hygiene

1) Pengertian

Oral Hygiene dalam kesehatan gigi dan mulut sangatlah

penting, beberapa masalah mulut dan gigi bisa terjadi

karena kita kurang menjaga kebersihan mulut dan gigi.

Kesadaran menjaga oral hygiene sangat perlu dan

merupakan obat pencegah terjadinya masalah gigi dan

mulut yang paling manjur. Oral hygiene merupakan

tindakan untuk membersihkan dan menyegarkan mulut,

gigi dan gusi (Clark, 2005).

Mulut merupakan bagian pertama dari saluran makanan

dan bagian dari sistem pernafasan (Wolf, 2005). Mulut

juga merupakan gerbang masuknya penyakit (Adam,

2008). Di dalam rongga mulut terdapat saliva yang

berfungsi sebagai pembersih mekanis dari mulut (Taylor,

2005).

Didalam rongga mulut terdapat berbagai macam

mikroorgnisme meskipun bersifat komensal, pada

keadaan tertentu bisa bersifat patogen apabila respon

penjamu terganggu. (Roeslan, 2008). Pembersihan mulut

Page 21: BAB II Stroke

30

secara alamiah yang seharusnya dilakukan oleh lidah dan

air liur, bila tidak bekerja dengan semestinya dapat

menyebabkan terjadinya infeksi rongga mulut, misalnya

penderita dengan sakit parah dan penderita yang tidak

boleh atau tidak mampu memasukkan sesuatu melalui

mulut mereka (Bouwhuizen, 2006).

Klien yang tidak sadar lebih rentan terkena kekeringan

sekresi air liur pada mukosanya karena mereka tidak

mampu untuk makan, minum, bernapas melalui mulut dan

seringkali memperoleh terapi oksigen. Klien yang tidak

sadar juga tidak bisa menelan sekresi air liur yang

mengumpul dalam mulut. Sekresi ini terdiri dari bakteri

gram negatif yang bisa menyebabkan pneumoni jika jika

dihembuskan keparu paru (Potter, 2005).

2) Tujuan

Pada penderita yang tidak berdaya perawat tidak boleh

lupa memberikan perhatian khusus pada mulut penderita.

Pengumpulan lendir dan terbentuknya kerak pada gigi dan

bibir dikenal sebagai sordes. Jika terbentuk sordes atau

lidahnya berlapis lendir menunjukan kalau kebersihan

rongga mulutnya kurang (Wolf, 2005).

Tujuan oral hygiene menurut indikasi tindakan yang

bertujukan untuk; 1) menjaga kontiunitas bibir, lidah dan

Page 22: BAB II Stroke

31

mukosa membran mulut; 2) mencegah terjadinya infeksi

rongga mulut; dan 3) melembabkan mukosa membran

mulut dan bibir, sedangkan kontra indikasi oral hygiene

bertujuan untuk : 1) mencegah penyakit gigi dan mulut; 2)

mencegah penyakit yang penularannya melalui mulut; 3)

mempertinggi daya tahan tubuh; dan 4) memperbaiki

fungsi mulut untuk meningkatkan nafsu makan (Taylor,

2005).

3) Sistem Imunitas Rongga Mulut

Menurut Roeslan (2008), sistem imunitas rongga mulut

dipengaruhi oleh :

a) Membran mukosa.

Mukosa rongga mulut terdiri atas epitel skuamosa

yang berguna sebagai barier mekanik terhadap infeksi.

Mekanisme proteksinya tergantung pada

deskuamasinya sehingga bakteri sulit melekat pada

sel epitel dan derajat keratinisasinya yang sangat

efisien menahan penetrasi microbial.

b) Nodus Limfatik

Jaringan lunak rongga mulut berhubungan dengan

nodus limfatik ekstra oral dan agregasi limfoid intra

oral. Kapiler limfatik yang terdapat pada permukaan

mukosa lidah, dasar mulut, palatum, pipi dan bibir,

Page 23: BAB II Stroke

32

mirip yang berasal dari ginggiva dan pulpa gigi. Kapiler

ini bersatu membentuk pembuluh limfatik besar dan

bergabung dengan pembuluh lmfatik yang berasal dari

bagian dalam otot lidah dan struktur lainnya. Di dalam

rongga mulut terdapat tonsil palatel.

c) Saliva Sakresi

Saliva merupakan perlindungan alamiah karena

fungsinya memelihara jaringan keras dan lunak rongga

mulut agar tetap dalam keadaan fisiologis. Saliva yang

disekresikan oleh kalenjar parotis, sub-mandibularis

dan beberapa kelenjar saliva kecil yang tersebar

dibawah mukosa, berperan dalam membersihkan

rongga mulut dari debris dan mikroorganisme, selain

bertindak sebagai pelumas pada saat mengunyah dan

berbicara.

d) Celah Ginggiva

Epitel jangsional dapat dilewati oleh komponen seluler

dan humoral dari daerah dalam bentuk cairan celah

ginggiva (CCG). Aliran CCG merupakan proses

fisiologik atau meriapakan espon terhadap inflamasi.

4) Defisit Self Care Oral Hygiene

Kebersihan gigi dan mulut perorangan adalah cara

perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan

Page 24: BAB II Stroke

33

mereka (Potter and Perry 2005). Kegiatan yang dilakukan

individu untuk memelihara kesehatan diri disebut personal

higiene (Hidayat, 2006). Yang dimaksud higiene gigi dan

mulut adalah cara perawatan diri individu untuk

memelihara kesehatan gigi dan mulut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi deficit self care oral

hygiene (Perry dan Potter, 2005) yaitu : a) citra tubuh; b)

praktik sosial; c) status sosial ekonomi; d) pengetahuan;

e) kebudayaan; f) pilihan pribadi; g) kondisi fisik.

Faktor resiko untuk masalah oral hygiene (Perry dan

Potter, 2005)

a) Masalah umum

(1) Karries gigi Karries gigi merupakan masalah umum

pada orang muda, perkembangan lubang

merupakan proses patologi yang mellibatkan

kerusakan email gigi dikarenakan kekurangan

kalsium

(2) Penyakit periodontal Adalah penyakit jaringan

sekitar gigi, seperti peradangan membran

periodontal

(3) Plak Adalah transparan dan melekat pada gigi,

khususnya dekat dasar kepala gigi pada margin

gusi

Page 25: BAB II Stroke

34

(4) Halitosis Merupakan bau napas, hal ini merupakan

masalah umum rongga mulut akibat hygiene mulut

yang buruk, makanan tertentu atau proses nfeksi

(5) Keilosis Merupakan gangguan bibir retak, trutama

pada sudut mulut

b) Masalah mulut lain

(1) Stomatitis

Kondisi peradangan pada mulut karena kontak

dengan pengiritasi, defisiensi vitamin, infeksi.

(2) Glosisits

Peradangan lidah hasil karena infeksi atau cidera,

seperti luka bakar atau gigitan

(3) Gingivitis

Peradangan gusi biasanya akibat hygiene mulut

yang buruk atau defisiensi vitamin

Adapun cara menggosok gigi sebagai berikut (Nugroho,

2008). Alat-alat: a. Sikat gigi (oleskan pasta gigi

secukupnya di atas sikat gigi). b. Air bersih dalam gelas

untuk kumur. c. Baskom plastik berukuran sedang untuk

membuang air kumur. d. Handuk untuk alas di dada biar

tidak basah dan untuk membersihkan mulut setelah

selesai sikat gigi.

Cara: a. Alat (baskom, sikat gigi, pasta gigi, dan handuk)

diletakkan di atas meja kecil atau korsi didekat tempat

Page 26: BAB II Stroke

35

tidur. b. Usahakan duduk dengan posisi yang nyaman.

Bila tidak dapat duduk, usahakan untuk dapat duduk

setengah miring dengan cara menunggikan bantal untuk

menehan punggungnya. c. Handuk direntangkan melebar

sehingga menutup dada agar tidak basah. d. Sikat gigi

secara perlahan, mulai dari bagian luar lalu kedalam dan

kebelakang gigi. Arah menyikat dari atas kebawah untuk

gigi bagian atas, dan dari bawah ke atas untuk gigi bagian

bawah agar kotoran/ sisa makanan dapat tersapu. e. Beri

air bersih untuk kumur sampai bersih. f. Sisa air kumur

dituangkan dan ditampung dalam baskom plastik. g.

Bersihkan sekitar mulut dengan handuk hingga bersih dan

kering

c. Peran Perawat

1) Pengertian Peran

Peran perawat adalah segenap kewenangan yang dimiliki

oleh perawat untuk menjalankan tugas dan fungsinya

sesuai kompetensi yang dimilikinya (Gaffar, 2005).

Peran perawat dalam penatalaksanaan oral hygiene

sangat penting bagi penderita stroke, karena

ketidakmampuan penderita untuk merawat dirinya dan

ketidakmampuan penderita untuk melakukan sirkulasi air

liur bila dibiarkan saja dapat mengakibatkan terjadinya

Page 27: BAB II Stroke

36

infeksi rongga mulut, oleh karena itu diperlukan peran

perawat yang baik dan positif sebagai pemberi pelayanan

dan pendidik disamping keterampilan yang memadai.

2) Peran perawat di Rumah sakit

Hasil Lokakarya Nasional 1983 dikutip oleh Ali, 2010

peran perawat mencakup :

a) Perawat sebagai pelaksana pelayanan kesehatan

Perawat bertanggung jawab dalam memberikan

pelayanan keperawatandari yang bersifat sederhana

sampai yang paling yang kompleks, secara langsung

atau tidak langsung kepada klien sebagai individu,

keluarga, kelompok dan masyarakat. Ini merupakan

peran utama dari perawat, dimana perawat dapat

memberikan keperawatan yang profesioanal,

menerapkan ilmu atau teori, prinsip, konsep dan

menguji kebenaran dalam situasi yang nyata, apakah

kriteria profesional dapat ditampilkan dan sesuai

dengan harapan penerima jasa keperawatan

b) Perawat sebagai pengelola pelayanan dan institusi

keperawatan

Perawat bertanggung jawab dalam hal administrasi

keperawatan baik di masyarakat maupun di instansi

dalam mengelola pelayanan keperawatan untuk

Page 28: BAB II Stroke

37

individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Perawat

juga bekerja sebagai pengelola suatu sekolah maupun

pendidikan keperawatan.

c) Perawat sebagai pendidik dalam keperawatan

Perawat bertanggung jawab dalam hal pendidikan dan

pengajaran ilmu keperawatan kepada klien, tenaga

keperawatan maupun tenaga kesehatan yang lainnya.

d) Perawat sebagai peneliti dan pengembang pelayanan

keperawatan

Seorang perawat diharapkan dapat menjadi

pembaharu (inovator) dalam ilmu keperawatan karena

ia memiliki kreativitas, inisiatif, cepat tanggap terhadap

rangsangan dari lingkungannya.

3) Peran perawat secara umum

Adapun dalam kewenangannya menurut (Chitty, 2011)

perawat mempunyai tanggung jawab profesional yaitu

terdiri dari

a) Pemberi Pelayanan (Care Giver)

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, perawat

perlu membekali diri dengan pengetahuan, sikap dan

perilaku. (Kozier, 2009). Perawat memberikan asuhan

langsung atau tidak langsung sebagai individu,

keluarga dan masyarakat. Metode yang digunakan

Page 29: BAB II Stroke

38

adalah pendekatan pemecahan masalah yang disebut

proses keperawatan. Gaffar 2005) menjelaskan peran

utamanya adalah memberikan pelayanan keperawatan

kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat

sesuai diagnosa masalah yang terjadi mulai dari

masalah yang bersifat sederhana sampai yang

komplek.

b) Pendidik (Educator)

Sebagai pendidik (health educator), perawat berperan

mendidik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat

serta tenaga keperawatan atau tenaga kesehatan

yang berada di bawah tanggung jawabnya. Peran ini

dapat berupa penyuluhan kesehatan kepada klien

maupun bantuk desiminasi ilmu kepada peserta didik

keperawtan, antara sesama perawat atau tenaga

kesehatan lain (Gaffar, 2005).

c) Konselor (Counselor)

Tugas utama perawat adalah mengidentifikasi

perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan sehat

sakitnya. Adanya perubahan pola interaksi ini

merupakan dasar dalam merencanakan metode untuk

meningkatkan kemampuan aplikasinya. Konseling

diberikan kepada individu, keluarga dalam

Page 30: BAB II Stroke

39

mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan

pengalaman yang lalu (Doheny, 2007).

d) Manajer (Manager)

Dalam hal ini perawat mempunyai mempunyai peran

dan tanggung jawab dalam mengelola pelayanan

maupun pendidikan keperawatan yang berada di

bawah tanggung jawabnya sesuai dengan konsep

manajemen keperawatan dalam kerangka paradigma

keperawatan (Gaffar, 2005).

e) Peneliti (Researcher)

Seorang perawat diharapkan dapat menjadi

pembaharu dalam ilmu keperawatan karena ia

memiliki kreativitas, inisiatif, cepat tanggap terhadap

rangsangan dari lingkungannya, kegiatan ini dapat

diperoleh melalui penelitian. Penelitian pada

hakekatnya adalah melakukan evaluasi, mengukur

kemampuan, menilai dan mempertimbangkan sejauh

mana efektifitas tindakan yang telah diberikan (Gaffar,

2005).

f) Kolaborator (Collaborator)

Dalam hal ini perawat bersama klien, keluarga dan tim

kesehatan berupaya mengidentifikasi pelayanan

kesehatan yang diperlukan termasuk tukar pendapat

Page 31: BAB II Stroke

40

terhadap pelayan yang diperlukan klien, pemberi

dukungan, panduan keahlian dan keterampilan dari

berbagai profesional pemberi pelayanan kesehatan

(Gaffar, 2005).

g) Agen Perubahan (Change Agent)

Elemen ini mencakup perencanaan, kerja sama,

perubahan yang sistematis dalam berhubungan

dengan klien dan cara pemberian keperawatan kepada

klien (Gaffar, 2005).

4) Faktor- faktor yang mempengaruhi peran perawat

Menurut Notoatmodjo (2008), faktor faktor yang

mempengaruhi peran meliputi ; a) faktor kelas sosial; b)

faktor bentuk keluarga; c) faktor tahap perkembangan

keluarga; d) faktor model peran; e) faktor peristiwa

situsional khususnya masalah sehat atau sakit.

2. Konsep Asuhan Keperawatan

Oral hygiene adalah tindakan untuk membersihkan dan

menyegarkan mulut, gigi dan gusi (Clark, 2008), sedangkan

menurut Taylor (2008), oral hygiene adalah tindakan yang

ditujukan untuk menjaga kontinuitas bibir, lidah dan mukosa

mulut, mencegah infeksi dan melembabkan membran mulut dan

bibir, serta menurut Uliyah (2005), oral hygiene merupakan

tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien yang

Page 32: BAB II Stroke

41

dihospitalisasi. Tindakan ini dapat dilakukan oleh pasien yang

sadar secara mandiri atau dengan bantuan perawat. Untuk

pasien yang tidak mampu mempertahankan kebersihan mulut

dan gigi secara mandiri harus dipantau sepenuhnya oleh

perawat. Menurut Perry (2005), pemberian asuhan keperawatan

untuk membersihkan mulut pasien sedikitnya dua kali sehari.

Menurut Clark (2008), tujuan dari tindakan oral hygiene adalah

sebagai berikut:

a. Mencegah penyakit gigi dan mulut

b. Mencegah penyakit yang penularannya melalui mulut.

c. Mempertinggi daya tahan tubuh

d. Memperbaiki fungsi mulut untuk meningkatkan nafsu makan.

Sedangkan menurut Uliyah (2005), tujuan dari tindakan oral

hygiene, adalah:

a. Mencegah infeksi gusi dan gigi.

b. Mempertahankan kenyamanan rongga mulut.

Dari seluruh dampak masalah di atas, maka diperlukan suatu

asuhan keperawatan yang komprehensif. Dengan demikian pola

asuhan keperawatan yang tepat adalah melalui proses

perawatan yang dimulai dari pengkajian yang diambil adalah

merupakan respon klien, baik respon biopsikososial maupun

spiritual, kemudian ditetapkan suatu rencana tindakan perawatan

untuk menuntun tindakan perawatan. Dan untuk menilai keadaan

Page 33: BAB II Stroke

42

klien, diperlukan suatu evaluasi yang merujuk pada tujuan

rencana perawatan klien dengan stroke.

a. Pengkajian

Pengkajian pada pasien stroke meliputi identitas klien,

keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit

dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan pengkajian

psikososial.

(1) Identitas klien

Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua),

jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,

suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor registrasi, dan

diagnose medis.

(2) Keluhan utama

Sering menjadi alas an klien untuk meminta pertolongan

kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah

badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan

penurunan tingkat kesadaran.

(3) Penyakit sekarang

Serangan stroke sering kali berlangsung sangat

mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas.

Biasanya terjadi nyeri kepala,mual, muntah bahkan kejang

sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh

badan atau gangguan fungsi otak yang lain.

Page 34: BAB II Stroke

43

Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat

kesadaran disebabkan perubahan di dalam

intracranial.Keluahan perubahan perilaku juga umum

terjadi.Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi

letargi, tidak responsive, dan koma.

(4) Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya,

diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia, riwayat

trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan

obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat

adiktif, dan kegemukan. Pengkajian obat-obatan yang

sering digunakan klien, seperti pemakaian obat

antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan

lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol

dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian

riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat

penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk

mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan

selanjutnya.

(5) Riwayat penyakit keluarga

Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi,

diabetes mellitus, atau adanya riwayat stroke dari

generasi terdahulu.

Page 35: BAB II Stroke

44

(6) Pengkajian psikososiospiritual

Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa

dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh

persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan

perilaku klien. Dalam pola tata nilai dan kepercayaan,

klien biasanya jarang melakukan ibadah spiritual karena

tingkah laku yang tidak stabil dan kelemahan/kelumpuhan

pada salah satu sisi tubuh.

Perawat juga memasukkan pengkajian tehadap fungsi

neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang

akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif

keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah :

keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis

dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan

rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada

gangguan neurologis di dalam sistem dukungan individu.

(7) Pemeriksaan Fisik

i. B1 (Breathing)

Pada infeksi didapatkan klien batuk, peningkatan

produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot

bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.

Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada

klien dengan peningkatan produksi sekret dan

Page 36: BAB II Stroke

45

kemampuan batuk yang menurun yang sering

didapatkan pada klien stroke dengan penurunan

tingkat kesadaran koma.Pada klien dengan tingkat

kesadaran compos mentis, pengkajian inspeksi

pernapasannya tidak ada kelainan.Palpasi toraks

didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan

kiri.Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas

tambahan.

ii. B2(Blood)

Pengkajian pada system kardiovaskuler didapatkan

renjatan (syok hipovolemik) yang sering terjadi pada

klien stroke.Tekanan darah terjadi peningkatan dan

dapat terjadi hipertensi massif (tekanan darah > 200

mmHg).

iii. B3 (Brain)

Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis,

bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana

yang tersumbat), ukuran area yang perfisinya tidak

adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau

aksesori). Lesi otak yang rusak dapat membaik

sepenuhnya.

(a) Pengkajian B3 (Brain)

Merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap

dibandingkan pengkajian pada system lainnya.

Page 37: BAB II Stroke

46

(b) Pengkajian tingkat kesadaran

Kualitas kesadaran klien merupakan parameter

yang paling mendasar dan parameter yang paling

penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat

keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan

adalah indikator paling sensitive untuk disfungsi

sistem persarafan. Beberapa system digunakan

untuk membuat peringkat perubahan dalam

kewaspadaan dan keterjagaan.

Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke

biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan

semikomatosa.Jika klien sudah mengalami koma

maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai

tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk

pemantauan pemberian asuhan.

(c) Pengkajian fungsi serebral.

Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi

intelektual, kemampuan bahasa, lobus frontal, dan

hemisfer.

(d) Pengkajian saraf cranial.

Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf

cranial 1-XII.

Saraf I

Biasanya pada klien stroke tidak ada

kelainan pada fungsi penciuman.

Page 38: BAB II Stroke

47

Saraf II

Disfungsi persepsi visual karena gangguan

jaras sensori primer di antara mata dan

korteks visual. Gangguan hubungan visual-

spasial (mendapatkan hubungan dua atau

lebih objek dalam area spasial) sering

terlihat pada klien dengan hemipelgia

kiri.klien mungkin tidak dapat memakai

pakaian tanpa bantuan karena

ketidakmampuan untuk mencocokkan

pakaian ke bagian tubuh.

Saraf III, IV dan V

Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis,

padasatu sisi otot-otot okularis didapatkan

penurunan kemampuan gerakan konjugat

unilateral di sisi yang sakit.

Saraf VI

Pada beberapa keadaan stroke

menyebabkan paralisis saraf trigenimus,

penurunan kemampuan koordinasi gerakan

mengunyah, penyimpangan rahang bawah

ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu

sisi otot pterigoideus internus dan

eksternus.

Page 39: BAB II Stroke

48

Saraf VII

Persepsi pengecapan dalam batas normal,

wajah asimetris, dan otot wajah tertarik ke

bagian sisi yang sehat.

Saraf VIII

Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan

tuli persepsi.

Saraf IX dan X.

Kemampuan menelan kurang baik dan sulit

membuka mulut.

Saraf XI

Tidak ada atrofi otot

sternokleidomastoideus dan trapezius.

Saraf XII

Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu

sisi dan fasikulasi, serta indra pengecapan

normal.

(e) Pengkajian Sistem Motorik

Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN)

dan mengakibatkan kehilangan control volunteer

terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN

bersilangan, gangguan control motor volunteer

pada salah satu tubuh dapat menunjukkan

Page 40: BAB II Stroke

49

kerusakan pada UMN di sisi yang berlawanan dari

otak.

(f) Inspeksi umum

Didapatkan hemiplegia karena lesi pada sisi otak

yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan

salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain.

(g) Fasikulasi: didapatkan pada otot-otot ekstremitas

(h) Tonus Otot : didapatkan meningkat.

(i) Kekuatan Otot : pada penilaian dengan

menggunakan tingkat kekuatan otot pada sisi sakit

didatkan tingkat 0. Keseimbangan dan Koordinasi:

didapatkan mengalami gangguan karena

hemiparese dan hemiplegia.

(j) Pengkajian Reflek: pemeriksaan reflek terdiri atas

reflek profunda dan pemeriksaan reflek patologis.

Gerakan Involunter. Tidak ditemukan adanya

tremor, tic, dan distonia. Pada keadaan tertentu,

klien biasanya mengalami kejaaang umum,

terutama pada anak dengan stroke disertai

peningkatan tekanan suhu tubuh yang tinggi.

Kejang berhubungan sekunder akibat area fokal

kortikal yang peka.

(k) Pengkajian Sistem Sensorik

Dapat terjadi hemihipestesi pada persepsi terdapat

ketidakmampuan untuk mengintepretasikan

Page 41: BAB II Stroke

50

sensasi. Disfungsi persepsi visual karena

gangguan jaras sensori primer di antara mata dan

korteks visual. Kehilangan sensori karena stroke

dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau

mungkin lebih berat, dengan kehilangan

propiosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi

dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam

mengintepretasikan stimuli visual, taktil, dan

auditorius.

iv. B4 (Bladder)

Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia

urine sementara karena konfusi, ketidakmampuan

mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan

untuk mengendalikan kandung kemih karena

kerusakan control motorik dan postural. Kadang

control sfingter urine eksternal hilang atau berkurang.

Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermitten

dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang belanjut

menunjukkan kerusakan neurologis luas.

v. B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesuliatan menelan,

nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut.

Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan

Page 42: BAB II Stroke

51

produksi asam lambung sehingga menimbulkan

masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya

terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltic usus.

Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan

kerusakan neurologis luas.

vi. B6 (Bone)

Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan

kehilangan control volunter terhadap gerakan motorik.

Oleh karena neuron motor atas menyilang, gangguan

control motor volunter pada salah satu sisi tubuh

dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor

atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi

motorik paling umum adalah hemiplegia karena lesi

pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau

kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang

lain. Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan

tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor

kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga dikaji tanda-

tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol

karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik.

Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena

kelemahan, kehilangan sensori atau paralise /

hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah

pada pola aktivitas dan istirahat.

Page 43: BAB II Stroke

52

b. Diagnosa Keperawatan

Untuk membuat diagnosis keperawatan yang akurat, perawat

harus mampu melakukan hal berikut yaitu mengumpulkan

data yang valid dan berkaitan, mengelompokkan data,

membedakan diagnosis keperawatan dari masalah

kolaboratif, merumuskan diagnosis keperawatan dengan

tepat, dan memilih diagnosis prioritas (Carpenito, 2007)

meliputi :

1) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan

dengan:

a) Interupsi aliran darah

b) Gangguan oklusif, hemoragi

c) Vasospasme serebral

d) Edema serebral

e) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan:

(1) Kerusakan neuromuskuler

(2) Kelemahan, parestesia

(3) Paralisis spastis

(4) Kerusakan perseptual/ kognitif

f) Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan:

(1) Kerusakan sirkulasi serebral

(2) Kerusakan neuromuskuler

(3) Kehilangan tonus otot/ kontrol otot fasial

Page 44: BAB II Stroke

53

(4) Kelemahan/ kelelahan

g) Perubahan sensori persepsi berhubungan dengan:

(1) Perubahan resepsi sensori, transmisi, integrasi

(trauma neurologis atau defisit)

(2) Stress psikologis (penyempitan lapang perseptual

yang disebabkan oleh ansietas)

h) Kurang perawatan diri berhubungan dengan:

(1) Kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan

dan ketahanan, kehilangan kontrol/ koordinasi otot

(2) Kerusakan perseptual/ kognitif

(3) Nyeri/ketidaknyamanan

(4) Depresi

i) Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan

biofisik, psikososial, perseptual kognitif

j) Risiko tinggi kerusakan menelan berhubungan dengan

kerusakan neuromuskuler/perceptual

k) Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan

berhubungan dengan:

(1) Kurang pemajanan

(2) Keterbatasan kognitif, kesalahan interprestasi

informasi, kurang mengingat

(3) Tidak mengenal sumber-sumber informasi.

c. Perencanaan

Perencanaan adalah kategori dari perilaku keperawatan

dimana tujuan yang berpusat pada klien dan hasil yang

Page 45: BAB II Stroke

54

diperkirakan ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih

untuk mencapai tujuan tersebut (Potter, 2005). Perencanaan

merupakan langkah awal dalam menentukan apa yang

dilakukan untuk membantu klien dalam memenuhi serta

mengatasi masalah keperawatan yang telah ditentukan.

Tahap perencanaan keperawatan adalah menentukan

prioritas diagnosa keperawatan, penetapan kriteria evaluasi

dan merumuskan intervensi keperawatan.

Tujuan yang ditetapkan harus sesuai dengan SMART, yaitu

spesific (khusus), messeurable (dapat diukur), acceptable

(dapat diterima), reality (nyata) dan time (terdapat kriteria

waktu). Kriteria hasil merupakan tujuan ke arah mana

perawatan kesehatan diarahkan dan merupakan dasar untuk

memberikan asuhan keperawatan komponen pernyataan

kriteria hasil.

Rencana tindakan keperawatan yang disusun pada klien

dengan Stroke adalah sebagai berikut :

1) Diagnosa keperawatan pertama: perubahan perfusi

jaringan serebral berhubungan dengan oedema serebral.

a) Tujuan; kesadaran penuh, tidak gelisah

b) Kriteria hasil tingkat kesadaran membaik, tanda-tanda

vital stabil tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan

intrakranial.

Page 46: BAB II Stroke

55

c) Intervensi

(1) Pantau/catat status neurologis secara teratur

dengan skala koma glascow

Rasional: Mengkaji adanya kecenderungan pada

tingkat kesadaran.

(2) Pantau tanda-tanda vital terutama tekanan darah.

Rasional: autoregulasi mempertahankan aliran

darah otak yang konstan.

(3) Pertahankan keadaan tirah baring.

Rasional: aktivitas/stimulasi yang kontinu dapat

meningkatkan Tekanan Intra Kranial (TIK).

(4) Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikkan

dan dalam posisi anatomis (netral).

Rasional: menurunkan tekanan arteri dengan

meningkatkan drainase dan meningkatkan

sirkulasi/ perfusi serebral.

(5) Berikan obat sesuai indikasi: contohnya

antikoagulan (heparin)

Rasional: meningkatkan/ memperbaiki aliran darah

serebral dan selanjutnya dapat mencegah

pembekuan.

2) Diagnosa keperawatan kedua: kerusakan mobilitas fisik

berhubungan dengan kelemahan.

Page 47: BAB II Stroke

56

a) Tujuan; dapat melakukan aktivitas secara minimum

b) Kriteria hasil mempertahankan posisi yang optimal,

meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang

terkena, mendemonstrasikan perilaku yang

memungkinkan aktivitas

c) Intervensi;

(1) Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas

Rasional: mengidentifikasi kelemahan/ kekuatan

dan dapat memberikan informasi bagi pemulihan

(2) Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang,

miring)

Rasional: menurunkan resiko terjadinya trauma/

iskemia jaringan

(3) Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan

pasif pada semua ekstremitas

Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan

sirkulasi, membantu mencegah kontraktur.

(4) Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan

latihan dengan menggunakan ekstremitas yang

tidak sakit.

Rasional: dapat berespons dengan baik jika daerah

yang sakit tidak menjadi lebih terganggu.

Page 48: BAB II Stroke

57

(5) Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif,

latihan resistif, dan ambulasi pasien.

Rasional: program khusus dapat dikembangkan

untuk menemukan kebutuhan yang berarti/

menjaga kekurangan tersebut dalam

keseimbangan, koordinasi dan kekuatan.

3) Diagnosa keperawatan ketiga: kerusakan komunikasi

verbal berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.

a) Tujuan; dapat berkomunikasi sesuai dengan

keadaannya.

b) Kriteria hasil; Klien dapat mengemukakan bahasa

isyarat dengan tepat, terjadi kesapahaman bahasa

antara klien, perawat dan keluarga.

c) Intervensi;

(1) Kaji tingkat kemampuan klien dalam berkomunikasi

Rasional: Perubahan dalam isi kognitif dan bicara

merupakan indikator dari derajat gangguan

serebral

(2) Minta klien untuk mengikuti perintah sederhana

Rasional: melakukan penilaian terhadap adanya

kerusakan sensorik

(3) Tunjukkan objek dan minta pasien menyebutkan

nama benda tersebut

Page 49: BAB II Stroke

58

Rasional: Melakukan penilaian terhadap adanya

kerusakan motorik

(4) Ajarkan klien tekhnik berkomunikasi non verbal

(bahasa isyarat)

Rasional: bahasa isyarat dapat membantu untuk

menyampaikan isi pesan yang dimaksud

(5) Konsultasikan dengan/ rujuk kepada ahli terapi

wicara.

Rasional: untuk mengidentifikasi kekurangan/

kebutuhan terapi.

4) Diagnosa keperawatan keempat: perubahan sensori

persepsi berhubungan dengan stress psikologis.

a) Tujuan; tidak ada perubahan perubahan persepsi.

b) Kriteria hasil mempertahankan tingkat kesadarann dan

fungsi perseptual, mengakui perubahan dalam

kemampuan.

c) Intervensi

(1) Kaji kesadaran sensorik seperti membedakan

panas/ dingin, tajam/ tumpul, rasa persendian.

Rasional: penurunan kesadaran terhadap sensorik

dan kerusakan perasaan kinetic berpengaruh buruk

terhadap keseimbangan.

(2) Catat terhadap tidak adanya perhatian pada bagian

tubuh

Page 50: BAB II Stroke

59

Rasional: adanya agnosia (kehilangan pemahaman

terhadap pendengaran, penglihatan, atau sensasi

yang lain)

(3) Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan seperti

berikan pasien suatu benda untuk menyentuh dan

meraba.

Rasional: membantu melatih kembali jaras sensorik

untuk mengintegrasikan persepsi dan interprestasi

stimulasi.

(4) Anjurkan pasien untuk mengamati kakinya bila

perlu dan menyadari posisi bagian tubuh tertentu.

Rasional: penggunaan stimulasi penglihatan dan

sentuhan membantu dalam mengintergrasikan

kembali sisi yang sakit.

(5) Bicara dengan tenang dan perlahan dengan

menggunakan kalimat yang pendek.

Rasional: pasien mungkin mengalami keterbatasan

dalam rentang perhatian atau masalah

pemahaman.

Page 51: BAB II Stroke

60

B. Kerangka Teori

Stroke Hemoragik dan Stroke Non Hemoragik

Penatalaksanaan Oral Hygiene pada Pasien Stroke

Indikasi oral hygiene:menjaga kontiunitas bibir, lidah dan mukosa membran mulutmencegah terjadinya infeksi rongga mulut melembabkan mukosa membran mulut dan bibir.

Kontra indikasi oral hygiene:mencegah penyakit gigi dan mulutmencegah penyakit yang penularannya melalui mulutmempertinggi daya tahan tubuhmemperbaiki fungsi mulut untuk meningkatkan nafsu makan.

Defisit Self Care Oral hygiene

Citra TubuhPraktik SosialStatus Sosial Ekonomi PengetahuanKebudayaanPilihan PribadiKondisi Fisik.

Tanda dan Gejala Stroke (De Freitas et al., 2009)

Hemidefisit motoricHemidefisit sensorikPenurunan kesadaranKelumpuhan nervus fasialis (VII) dan hipoglosus

(XII) yang bersifat sentralButa separuh lapangan pandang (hemianopsia)

Page 52: BAB II Stroke

61

Gambar 1. Kerangka Teori dikutip dari buku “Perilaku Kesehatan dan Ilmu Perilaku” oleh (Notoatmodjo, 2007)

Kerangka Konsep

Tanda dan Gejala Stroke (De Freitas et al., 2009)

Hemidefisit motoricHemidefisit sensorikPenurunan kesadaranKelumpuhan nervus fasialis (VII) dan hipoglosus

(XII) yang bersifat sentralButa separuh lapangan pandang (hemianopsia)

Stroke Hemoragik dan Stroke Non Hemoragik

Penatalaksanaan Oral Hygiene pada Pasien Stroke

Indikasi oral hygiene:menjaga kontiunitas bibir, lidah dan mukosa membran mulutmencegah terjadinya infeksi rongga mulut

melembabkan mukosa membran mulut dan bibir.

Kontra indikasi oral hygiene:mencegah penyakit gigi dan mulutmencegah penyakit yang penularannya melalui mulutmempertinggi daya tahan tubuhmemperbaiki fungsi mulut untuk meningkatkan nafsu makan.

Page 53: BAB II Stroke

62

Gambar 2. Kerangka Konsep dikutip dari buku “Fundamental Keperawatan, Proses dan Praktik” oleh (Potter and Perry, 2005)