bab ii sistim kontrak migas - benny l

Upload: dominggus-mangalik-rante-lembang

Post on 07-Jan-2016

31 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

teknik perminyakan

TRANSCRIPT

BAB IISISTEM KONTRAK DI INDUSTRIHULU MIGAS

2.1. Latar BelakangAkses terhadap sumber daya migas dalam bentuk pengaturan kegiatan dan kerjasama antara investor dengan pemerintah telah dimulai sejak pertengahan abad 18. Sistem kerjasama untuk kegiatan hulu migas pada awalnya hanya dalam bentuk konsesi. Bagi Negara produsen minyak, mengingat pendapatan dari sector ini sangat signifikan dalam menopang pembangunan, tidak mengherankan apabila muncul tuntutan agar Negara tidak saja memperoleh bagian penerimaan yang meningkat tetapi juga mempunyai peran yang lebih besar.Tahun 1948, Venezuela memperkenalkan mekanisme yang popular dengan sebutan: 50/50 profit sharing, di mana bagian penerimaan Negara dari royalty, pajak penghasilan dan pajaak lainnya paling tidak, sama dengan laba perusahaan minyak. Sementara, Arab Saudi dengan semangat yang sama, memberlakukan pajak penghasilan sebesar 50%. Mekanisme 50/50 ini selanjutnya menyebar ke pelbagai Negara Timur Tengah lainnya. Tuntutan agar Negara tuan rumah berperan lebih besar, ditandai dengan munculnya kontrak partisipasi antara minyak perusahaan minyak Iran (NIOC) dan AGIP/Eni (Italia) pada 1957. Terobosan inisiatif ini dimunculkan oleh AGIP/Eni untuk menentang dominasi Seven Sisters. Model kontrak partisipasi diperkenalkan dengan bagi hasil sebesar 75% untuk NIOC dan 25% untuk AGIP/ Eni, di mana tingkat partisipasi masing-masing sebesar: 50%. Model ini kemudian digunakan oleh NIOC dengan perusahaan lain di Iran, juga AGIP/Eni di beberapa negara lain, seperti: Tunisia dan Mesir. Model kontrak partisipasi kemudian diadopsi oleh Negara produsen minyak lain, khususnya di Wilayah Timur Tengah.Sementara di wilayah Amerika Latin, telah berdiri perusahaan minyak milik Negara (National Oil Company/NOC) seperti: Petrobras di Brazil pada 1953 dan YPF di Argentina pada 1958. Perusahaan ini memperoleh hak monopoli untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Pada awalnya, hanya system kontrak jasa (risk services agreement) yang digunakan. Kemudian, system ini juga ditiru oleh beberapa negara, seperti: Iran dan Irak.Dorongan agar keterlibatan pemerintah lebih besar lagi, melatarbelakangi lahirnya system Production Sharing Contract (PSC). Pada system PSC, kepemilikan (ownership) dan pengawasan ada di tangan pemerintah. Posisi perusahaan diturunkan menjadi kontraktor yang menanggung risiko dan memperoleh pemulihan biaya (cost recover) setelah tahap komersial dicapai. Kontraktor juga memperoleh bagian dari keuntungan (profit share).Kelahiran PSC dalam dunia migas internasional merupakan terobosan luar biasa karena sebelumnya dengan system konsesi, peran negara masih minimal, di mana negara hanya menerima pembayaran berupa royalty dan pajak. Adanya klausul partisipasi pada system konsesi sebenarnya juga meningkatkan peran negara, namun masih relative pasif. Munculnya system PSC mengubah aturan main (rule of the game). Indonesia dicatat sebagai pelopor PSC. Sistem ini kemudian menjadi popular dipakai di mancanegara hingga saat ini.

2.2. Kelahiran OpecTerbentuknya OPEC pada 1960, tidak terlepas dari keinginan agar negara tuan rumah berperan lebih besar. Di samping itu, kehadiran OPEC berfungsi untuk menjamin harga komoditas minyak tidak anjlok. Pada saat itu, minyak merupakan bagian yang paling penting sekaligus merupakan salah satu sumber utama pendapatan bagi negara untuk menopang pembangunan.OPEC dibentuk pada saat konferensi di Baghdad, Irak, yang bertujuan untuk koordinasi dan penyelarasan kebijakan sesama negara anggota dalam rangka mengamankan tingkat harga minyak yang wajar dan stabil.

2.3. Partisipasi, Nasionalisasi Dan PrivatisasiSalah satu tujuan Negara produsen minyak pada awal tahun 1970-an adalah memperoleh kepemilikan berupa partisipasi pemerintah yang lebih besar dari konsesi ladang minyak. Adalah Menteri Perminyakan Arab Saudi, Ahmad Zaki Yamani, yang gencar mendukung hak partisipasi ini melalui pembicaraan dengan Aramco pada 1964.Dari tahun 1967 sampai 1973, negara-negara di kawasan teluk (Arab Saudi, Kuwait, Abu Dhabi, dan Qatar), bersama dengan Iran dan Irak, memulai proses re-negosiasi system konsesi mereka berdasarkan konsep partisipasi. Di tengah proses tersebut, Iran dan Irak menarik diri. Iran menyatakan tidak tertarik dengan konsep partisipasi. Mereka memilih untuk mencari alternative kesepakatan lain dengan konsorsium perusahaan minyak asing. Sedangkan Irak, pada Juni 1972, mengambil tindakan nasionalisasi industry minyak mereka. Sementara itu, empat negara teluk yang lainnya, melanjutkan negoisasi melalui delegasi yang dipimpin oleh Ahmad Yaman.Arab Saudi lebih memilih alternatif partisipasi ketimbang nasionalisasi. Isu partisipasi ini juga didukung oleh situasi politik di kancah internasional pada saat itu, ketika Majelis Umum PBB mengumumkan Resolusi tentang Kedaulatan atas Sumber Daya Alam (Permanent Sovereignty over Natural Resources). Resolusi terkait dimulai pada 1952, kemudian diikuti oleh sejumlah resolusi. Resolusi yang penting adalah resolusi 2158 (XXI), dikeluarkan pada 1966 yang menyerukan kepada negara produsen minyak untuk memaksimalkan investasi sumber daya migas sehingga dapat memperoleh kendali penuh atas urusan-urusan operasi, produksi, manajemen, dan pemasaran. Resolusi PBB ini dianggap oleh negara tuan rumah sebagai suatu dukungan yang tidak terbantahkan dalam upaya mengubah sistem konsesi lama dan mencari upaya agar dapat terlibat dan berperan lebih besar.Konferensi OPEC ke 24, Juli 1971, memutuskan untuk: segera mengambil langkah dalam rangka implementasi prinsip partisipasi dalam konsesi ladang minyak. Konferensi juga memutuskan agar Negara anggota memulai negoisasi dengan perusahaan minyak international (IOC) baik secara individu maupun kelompok, dalam rangka implementasi sebagaimana diusulkan oleh konferensi. Pada tahap ini, berapa besar tingkat partisipasi belum secara jelas disebutkan, namun dipahami bahwa 20% adalah tingkat minimal yang diharapkan terus bertambah sehingga mencapai 51%.Pada tanggal 5 Oktober 1972, di New York, dilakukan penanda tanganan kesepakatan umum mengenai partisipasi (General Agreement on Participation) antara OPEC dan beberapa IOC; yang intinya bahwa efektif Januari 1978 meningkat sebesar 5% setiap tahun selama 4 tahun, pada tahun terakhir, kenaikan partisipasi pemerintah sebesar 6%. Dengan demikian, efektif Januari 1982, total partisipasi pemerintah sebesar 51%. Pada praktiknya, peningkatan pertisipasi ini di beberapa negara berubah menjadi nasionalisasi (100% milik negara). Seperti di Venezuela, nasionalisasi terjadi pada 1976, yang diikuti oleh pembentukan perusahaan migas negara (PDVSA), Kuwait (1975, KOC), Qatar (1975, QGPC sekarang QP), Arab Saudi (1980, Aramco). Setelah melakukan nasionalisasi, untuk tetap memperoleh dukungan keahlian dalam bidang teknologi perminyakan dan jasa konsultasi, pemerintah membentuk kerjasama dengan perusahaan pengelola konsesi sebelumya dalam bentuk Technical Service Agreement (TSA), di mana perusahaan hanya sebagai pemberi jasa dan tidak memperoleh akses terhadap produksi minyak.Perkembangan selanjutnya dari tarik menarik kepentingan antara Negara produsen minyak dengan IOC, ditandai dengan situasi politik yang mempengaruhi harga minyak. Embargo minyak pada 1973 oleh Arab Saudi dan negara Timur Tengah terhadap Amerika Serikat dan negara barat lainnya mendorong kenaikan harga minyak dari di bawah 3$/barel. Perang Iran vs. Irak tahun 1980 juga mempengaruhi pasokan minyak, sehingga mendorong kenaikan harga minyak.Perlu dicatat di sini, gelombang nasionalisasi terjadi pada saat harga minyak cenderung meningkat. Ketika harga minyak turun drastic pada level 8 $/barel pada 1986, pemerintah khususnya di Negara industry melakukan privatisasi terhadap perusahaan migas nasional mereka. Di Inggris, BP di privatisasi, Total di Perancis, Eni di Itali, Respol di Spanyol, dan Petro Canada di Kanada. Gelombang privatisasi terhadap YPF pada 1993. Brazil juga melakukan semiprivatisasi terhadap Petrobras. Disebut semi privatisasi karena bagian (share) pemerintah masih domain. Hal yang sama dilakukan Norwegia untuk perusahaan migas nasional mereka (Statoil) pada 2001.Pada era harga minyak rendah (sekitar 1980-1990), banyak Negara tuan rumah aktif berpromosi agar investasi migas mereka menarik bagi investor dengan menawarkan ketentuan dan persyaratan yang menarik dan bersaing. Sebaliknya, ketika harga minyak meningkatkan kembali ketat. Beberapa Negara mengubah aturan dalam rangka meningkatkan porsi pemerintah, kecenderungan nasionalisasi terjadi kembali.

2.4. KlasifikasiPaling tidak, ada empat factor yang membuat industri hulu migas berbeda dengan industri lainnya, antara lain: pertama, lamanya waktu antara saat terjadinya pengeluaran (expenditure) dengan pendapatan (revenue), kedua, keputusan yang dibuat berdasarkan risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih, ketiga, sector ini memerlukan investasi biaya capital yang relative besar, keempat, dibalik semua risiko tersebut, industry migas juga menjanjikan keuntungan yang sangat besar.Risiko tinggi, penggunaan teknologi canggih, dan sumber daya manusia terlatih serta besarnya capital yang diperlukan, membuat Negara, khususnya Negara berkembang, merasa perlu mengundang investor asing untuk melakukan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi tersebut.Salah satu pakar system fiscal perminyakan, Daniel Johnston, membuat klasifikasi kontrak di industri hulu migas yang ditunjukkan pada gambar 1.1 Pada prinsipnya, pengaturan system kontrak migas antara negara tuan rumah dan investor dapat dibagi menjadi dua, yaitu system konsesi dan sitem kontrak. Sistem kontrak dapat digolongkan menjadi Production Sharing Contact (PSC) dan Service Contract, selanjutnya Service Contract dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu Pure dan Risk Service Contract.

Contractual SystemRisk Service ContractPure Service ContractService ContractProduction Sharing ContractConcessionary SystemPetroleum Fiscal Arrangements

Gambar 1.1 Klasifikasi Kontrak di Industri Hulu Migas

Sistem Konsesi Dari pelbagai jenis kontrak migas, system konsesi adalah sistem yang paling tua dan tetap banyak digunakan hingga saat ini. Pada sistem konsesi, perusahaan migas diberikan hak ekslusif untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi selama periode tertentu.Karakter sistem konsesi adalah bahwa semua hasil produksi dalam wilayah konsesi tersebut dimiliki oleh perusahaan migas, sementara negara menerima pembayaran royalti yang besarnya secara umum berupa persentase dari pendapatan bruto. Selain royalti, negara juga akan memperoleh pajak. Karena cadangan di bawah permukaan tanah adalah milik negara, titik atau tempat proses terjadinya perpindahan kepemilikan (transfers of ownership) terjadi di kepala sumur (wellhead).Sistem konsesi tradisional seperti ini memiliki kelemahan yaitu membatasi keterlibatan negara selaku tuan rumah. Di samping itu system konsesi tradisional juga ditandai oleh: jangka waktu yang lama, luas area konsesi yang sangat besar (bisa mencakup total wilayah suatu negara atau satu provinsi), tidak ada mekanisme pengembalian sebagian wilayah (relinquishment) dan lain-lain.Dalam perkembangannya, system konsesi tradisional ini mengalami banyak perubahan untuk mengakomodasi kepentingan negara tuan rumah. Perkembangan tersebut, antara lain: peningkatan bagian pemerintah baik dari royalti maupun pajak, seperti pemberlakuan pajak khusus terhadap keuntungan yang berlebihan (special tax on excessive profit) dan jenis pajak pajak lainnya. Di samping itu, dalam rangka ikut terlibat langsung dalam bisnis hulu migas, maka diperkenalkan ketentuan mengenai partisipasi pemerintah (government participation).Pada sistem konsesi modern, luas area konsesi jauh lebih kecil dibandingkan dengan system konsesi tradisional. Periodenya juga jauh lebih pendek (sekadar ilustrasi, periode konsesi tradisional bisa mencapai 60 tahun, sementara sistem konsesi modern hanya 20-25 tahun). Sistem konsesi modern juga dikenal dengan sebutan system royalty/tax.

Production Sharing Contract (PSC) Secara konsep dan asal muasal, bisa saja sebelumnya PSC telah dikenal di beberapa Negara, termasuk Indonesia. Namun dalam praktiknya, industri migas mancanegara mancatat Indonesia sebagai pelopor yang ditandai dengan kesepakatan kontrak system PSC pertama pada 1966. Sampai saat ini, system PSC ini digunakan di banyak negara. Sistem PSC muncul karena adanya tuntutan agar pemerintah tidak bersifat pasif, namun mempunyai peran yang lebih besar terhadap pengawasan kegiatan operasional migas yang dilakukan oleh perusahaan migas internasional. Menurut Le Leuch, kesuksesan system PSC pada awalnya lebih dipicu oleh motivasi politik, mengingat dalam system PSC perusahaan migas internasional hanya menjadi kontraktor dan hanya berhak mendapat sebagian dari produksi.Karakteristik system PSC antara lain meliputi: perusahaan migas ditunjuk oleh pemerintah sebagai kontraktor pada suatu wilayah kerja tertentu, kontraktor menanggung semua risiko dan biaya eksplorasi berhasil (terjadi penemuan migas yang komersial), kontraktor diberi kesempatan untuk memperoleh pengembalian atau pemulihan biaya (cost recovery) dari hasil produksi. Kontraktor juga memperoleh bagian dari produksi setelah dikurangi cost recovery yang disebut profit share atau dikenal juga dengan istilah profit split atau profit oil. Kontraktor selanjutnya diwajibkan membayar pajak penghasilan dan pajak lainnya. Semua peralatan dan instalasi menjadi milik negara.

Service Contract Istilah kontrak jasa (service contract) mengacu kepada kontrak antara pemerintah dengan perusahaan migas yang dikaitkan dengan kinerja jasa yang berhubungan dengan kegiatan eksplorasi, pengembangan, dan produksi migas. Pada system kontrak jasa, pengembalian biaya kontraktor dilakukan dalam bentuk kas atau tunai, tidak dalam bentuk natura (in kind). Namun demikian, di dalam beberapa system kontrak jasa, bisa saja dibuat aturan di mana kontraktor dimungkinkan membeli kembali (buy-back) sejumlah minyak mentah hasil produksi sesuai harga jenis minyak mentah tersebut di pasar. Pure Service Contract Pure Service Contract adalah jenis perjanjian antara pemerintah dengan kontraktor, umumnya terkait dengan jasa bantuan teknis yang harus dilaksanakan selama periode tertentu. Pemerintah membayar fee terhadap jasa yang diberikan kontraktor, biasanya dikaitkan dengan produksi, misal: pembayaran 1$/barel untuk setiap barel yang diproduksikan. Pada saat ini, model seperti ini relative sudah jarang digunakan.

Risk Service Contract Kontrak jasa yang saat ini lebih banyak digunakan adalah dalam bentuk Risk Service Contract, yang sepintas mirip dengan PSC, namun berbeda dalam hal pembayaran kepada kontraktor. Pada sistem PSC, setelah cost recovery, kontraktor memperoleh profit share. Sementara, pada sistem Risk Service Contract, kontraktor memperoleh service fee. Pembayaran service fee tersebut biasanya dalam bentuk kas, bukan dalam bentuk natura (in kind).Di samping jenis kontrak migas yang telah dibahas di atas, dalam pola kerjasama antara negara tuan rumah dan IOC, juga dikenali istilah kontrak partisipasi dan kontrak kemitraan (joint venture). Kontrak partisipasi muncul setelah sistem konsesi lama ditinggalkan karena pada saat itu ada desakan dari negara-negara tuan rumah agar terlibat langsung di dalam industri migas. Sebenarnya baik partisipasi maupun kemitraan, bukanlah bentuk baru dari system kontrak migas yang ada. Sebagai ilustrasi:misalnya model partisipasi antara IOC X dengan suatu negara, maka bentuknya tetap merupakan salah satu dari sistem kontrak migas yang tersedia (yaitu: konsesi, PSC, dan SC). Partisipasi di sini hanya mengatur seberapa besar kepemilikan masing-masing pihak (participating interest). Bentuknya kontraknya bisa dalam bentuk Konsesi, PSC, maupun Kontrak Jasa. Hal yang sama juga dengan kontrak kemitraan yang dibuat beberapa perusahaan (NOC dan IOC, atau konsorsium IOC) yang mempunyai kepemilikan pada suatu Wilayah Kerja. Kontrak mereka dengan pemerintah tetap dalam bentuk salah satu dari yang tersebut di atas.

Jenis Kontrak Migas dan Pembukuan Cadangan Salah satu perbedaan penting dari pelbagai jenis kontrak migas tersebut adalah bagaimana mekanisme transfer kepemilikan (transfer of ownership) cadangan migas yang merupakan aset negara kepada perusahaan migas. Pada sistem konsesi, transfer kepemilkian berlangsung ketika sumur diproduksi dan terjadi di kepala sumur (wellhead). Sementara untuk sistem PSC, transfer kepemilikian tidak terjadi di kepala sumur, namun pada titik ekspor. Sedangkan pada sistem service contract, sama sekali tidak terjadi transfer kepemlikianDalam kaitannya dengan hak untuk membukukan cadangan (reserves booking), pada sistem konsesi, perusahaan migas setelah pembayaran royalty dapat langsung melakukan pembukuan cadangan. Sementara pada sistem PSC, perusahaan migas juga dapat membukukan cadangan bagian mereka, yang secara umum terdiri dari cost recovery dan bagian keuntungan (profit share). Sementara pada system kontrak jasa, perusahaan migas tidak berhak sama sekali melakukan pembukukan cadangan.

Pembukuan Cadangan(Reserves Booking)

Concession

Production Sharing Contract

Service Contract

Gambar 1.2 Kepemilikan dan Pembukuan CadanganGambar 1.2 menunjukkan hubungan antara jenis kontrak dengan kepemilikan dan pembukuan cadangan. Dari perspektif hak untuk membukukan cadangan, sistem konsesi lebih menarik bagi investor, diikuti oleh sistem PSC dan Kontrak Jasa. Sementara dari perspektif mekanisme pengawasan pemerintah, sistem Kontrak Jasa dan PSC memungkinkan pengawasan pemerintah yang lebih besar dibandingkan dengan sistem Konsesi.

2.5. Mekanisme Penawaran Wilayah Kerja (WK)Dalam rangka menumbuhkan iklim investasi yang kondusif bagi kegiatan industri hulu migas, setiap Negara membuat pedoman dan peraturan terkait mekanisme penetapan dan penawaran wilayah kerja. Sebelum sampai pada tahap penawaran, tentunya pihak otoritas yang berwenang untuk industri hulu migas merencanakan dan menetapkan wilayah kerja yang akan ditawarkan. Salah satu pertimbangan utama investor terhadap suatu wilayah kerja adalah prospek geologi serta ketentuan dan persyaratan fiscal (fiscal terms & conditions). Di samping itu, tentunya faktor politik dan penegakan hokum di suatu negara juga memainkan peran yang penting.Pemerintah harus menentukan secara tepat mekanisme penawaran wilayah kerja yang digunakan. Pada umunya ada dua mekanisme, yaitu: negoisasi langsung (direct negotiation) dan lelang (competitive bidding). Semakin kompetitif suatu persaingan untuk mendapatkan suatu wilayah kerja, semakin besar peluang untuk memperoleh penawaran yang optimal. Dari sisi obyektivitas, mekanisme negoisasi langsung adalah kurang transparan, sehingga dapat menimbulkan isu KKN (korupsi, kolusi, nepotisme)Mekanisme lelang juga mempunyai kelemahan, yaitu kurang fleksibel, terkadang semua elemen diasumsi tetap (fixed) selama kontrak. Misalnya: jumlah bonus dan royalti yang harus dibayar. Kelemahan ini dapat diatasi dengan mengurangi elemen yang tetap menjadi elemen yang berupa criteria lelang (bid-able).Stein menyarankan agar proses penawaran wilayah kerja tidak dilaksanakan secara simultan namun secara bertahap. Apabila terjadi penemuan cadangan migas, dengan menawarkan sebagian wilayah kerja tersebut, pemerintah membuka peluang untuk memperoleh ketentuan dan persyaratan fiskal yang lebih baik pada masa yang akan datang untuk wilayah kerja yang masih terbuka, atau diberikan kesempatan untuk wilayah kerja prospek tersebut kepada perusahaan migas nasional. Sebagai ilustrasi: ketika terjadi penemuan cadangan besar di lapangan Tupi, Santos Basin, 250 km lepas pantai Rio de Janiero, Brazil pada 2006, pemerintah Brazil kemudian menunda penawaran blok di sekitar lokasi tersebut karena diperkirakan sangat prospektif. Dalam hal ini, Pemerintah Brazil merasa perlu membuat ketentuan baru dalam rangka memperoleh economic rent yang lebih besar.Supaya dapat memahami mekanisme penawaran wilayah kerja dengan cara lelang (competitive bidding), berikut ini diberikan ilustrasi mekanisme penawaran lelang di Vietnam.Ketentuan dan Persyaratan Kontrak: Jenis Kontrak: Production Sharing Contract (PSC) Durasi Kontrak: 30 tahun (+5), 7 tahun (+2) eksplorasi Royalti: Minyak: 4-20%, Gas 0-6% (tergantung produksi) Pajak Penghasilan: 32% Cost Recovery: Sampai 70% (ceiling) Work Program & Budget: Bagian yang dilelang (to bid) Profit Sharing: Bagian yang dilelang (to bid) Bonuses: Bagian yang dilelang (to bid) (tidak wajib) Partisipasi Pemerintah: Sampai 20%Sebagaimana dapat dilihat pada ilustrasi di atas, untuk kasus lelang Wilayah Kerja di Vietnam, ada tiga elemen yang harus dipilih sendiri oleh peserta lelang, yaitu: Work Program & Budget, Profit Sharing, dan Bonuses (untuk bonus tidak merupakan kewajiban).Kriteria evaluasi pemenang lelang biasanya terdiri dari: evaluasi teknis, financial dan kinerja. Evaluasi teknis berdasarkan komitmen pasti berupa rencana kerja selama tiga tahun pertama periode eksplorasi. Evaluasi financial mengacu kepada kompensasi yang dijanjikan (misal: bonus pada awalnya kontrak) dan kapasitas finansial untuk mendukung rencana kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang didasarkan pada laporan keuangan, neraca dan rugi/laba perusahaan setelah diaudit oleh akuntan public. Sedangakn evaluasi kinerja berhubungan dengan pengalaman dan reputasi perusahaan tersebut dalam operasi migas.

2.6. Desain Kontrak MigasUntuk mendesain kontrak migas, terlebih dahulu harus dipahami apa saja objektif negara tuan rumah dan bagaimana pula dengan objektif investor. Sebagian objektif tentunya ada kemiripan, namun demikian tidak menutup kemungkinan ada objektif yang bertolak belakang satu sama lain. Adanya kemiripan dan perbedaan objektif ini perlu diselaraskan agar ketentuan dan persyaratan kontrak migas menjadi optimal.Objektif dari negara tuan rumah, antara lain: menggalakkan aktivitas eksplorasi untuk meningkatkan cadangan, mengawasi supaya terjadi eksploitasi yang optimal, keamanan pasokan energy, memaksimalkan bagian pemerintah, mendorong pengembangan industri domestic, transfer teknologi dan penyerapan tenaga kerja, pengembangan masyarakat sekitar dan banyak lagi lainnya. Sementara objektif investor, antara lain: memperoleh akses wilayah kerja, meningkatkan cadangan, memperoleh imbal-hasil yang tertinggi, mengoptimalkan portofolio bisnis, akses migas jangka panjang dan lain-lain.Tentu saja kita bisa membuat daftar yang lebih panjang sehubungan dengan objektif masing-masing ini. Namun intinya adalah bagaimana menyelaraskan kepentingan kedua belah pihak yang harus menjadi perhatian utama ketika mendesain ketentuan dan persyaratan kontrak migas. Dalam hal ini, perlu dicari suatu keseimbangan antara kepentingan negara dan investor supaya kontrak migas yang bersifat jangka panjang ini menjadi langgeng.Dari perspektif investor, Frank Alexander menulis bahwa ada tiga objektif yang paling utama bagi investor, yang dia istilahkan dengan tiga pilar, yaitu: hak investor apabila terjadi temuan untuk dapat melakukan investasi yang menguntungkan (right to monetize), stabililitas kontrak migas (stability), dan hak untuk memperoleh akses kearbitrase internasional (enforceable international arbitration) apabila terjadi sengketa. Seandainya salah satu pilar tidak terpenuhi, dapat berakibat batalnya rencana investasi oleh investor. Mengingat Frank Alexander adalah seorang ahli hokum energy internasioanl, tidak mengherankan apabila dua dari tiga pilar ini berbau hukum.Di dalam kontrak hulu migas, khususnya system kontraktual, seperti PSC dan SC, isu stabilitas kontrak migas ini menjadi sangat penting. Seperti dibahas sebelumnya, investasi di sector hulu migas ini tidak saja sarat risiko tetapi juga memerlukan biaya yang sangat besar, di samping itu ada jeda waktu (time-lag) yang cukup lama antara saat pengeluaran biaya dengan pendapatan yang diperoleh. Dengan demikian, cukup logis apabila calon investor migas meminta jaminan bahwa ketentuan dan persyaratan yang telah disetujui pada modal tentu tidak ingin aturan mendadak diubah. Seandainya terjadi perubahan, umumnya ada kompensasi atau penyesuaian ketentuan kontrak.Contoh ketentuan stabilisasi dapat dilihat misalnya pada Model PSC India, sebagai berikut:The Parties to this Contract shall consult promptly to make necessary revisions and adjustments to the Contract in order to maintain such expected economic benefits to each of the Parties as of Effective Date.Para pihak yang membuat Perjanjian ini harus berkonsultasi segera untuk membuat revisi yang diperlukan dan penyesuaian Kontrak dalam rangka mempertahankan manfaat ekonomi yang diharapkan bagi masing-masing Pihak, berlaku mulai tanggal efektif.Dalam Model PSC Indonesia, dapat juga ditemukan ketentuan stabilisasi, yaitu:This Contract shall not be anuulled, amended or modified in any respect, except by the mutual consent in writing of the Parties hereto and approved by the Minister.Kontrak ini tidak boleh dibatalkan, diubah atau dimodifikasi dalam hal apapun, kecuali dengan persetujuan bersama secara tertulis dari Pihak yang membuat Perjanjian dan disetujui oleh Menteri.

Pada 1995, Pemerintah Indonesia mengubah besarnya pajak penghasilan dari 48% menjadi 44%. Konsekuensinya, agar manfaat ekonomi kedua pihak dalam PSC tidak berubah, maka bagi hasil sebelum pajak, diubah sedemikian rupa, agar bagi hasil setelah pajak besarnya tetap sama.Desain ketentuan dan persyaratan fiskal dalam kontrak migas diupayakan senantiasa mengacu pada keselarasan antara kepentingan investor dan pemerintah. Dalam konteks ini, diperlukan sistem insentif bagi kedua pihak. Sebagai contoh: insentif penghematan biaya (cost saving) diperlukan untuk mendorong agar investor tidak melakukan pengeluaran biaya yang tidak begitu mendesak (goldplating). Di samping tetap menarik bagi investor, system fiscal juga harus sensitive terhadap perubahan parameter tertentu, misalnya: keuntungan, sehingga pemerintah secara otomatis dapat memperoleh tambahan bagian (share) apabila terjadi keuntungan yang berlebihan.Salah satu teknik untuk memperoleh solusi model kontrak migas yang optimal adalah dengan membuat model keekonomian proyek. Model ini dibuat mewakili beberapa scenario, seperti: cadangan migas, program eksplorasi dan produksi, profil produksi, keperluan peralatan produksi, biaya capital, biaya operasi, harga minyak, harga jual gas dan lain-lain. Dari model keekonomian ini, akan diperoleh gambaran alternative alternative solusi yang layak untuk diusulkan menjadi ketentuan dan persyaratan fiscal.

2.7. Perjanjian Antara Perusahaan Migas Investasi migas tidak saja memerlukan dana yang sangat besar tetapi juga penuh risiko dan ketidakpastian. Tentunya tidak mengherankan apabila suatu proyek migas digarap oleh beberapa IOC. Bagi IOC, turut serta ambil bagian di beberapa proyek migas secara bersama-sama dalam bentuk kemitraan, juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan portofolio mereka menyebar di mancanegara.Salah satu manfaat pelaksanaan proyek migas yang dilaksanakan secara kemitraan adalah proses saling bertukar pengalaman sesama perusahaan anggota kemitraan tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan proyek diharapkan dapat berlangsung dengan lebih efektif dan efisien. Namun demikian, harus diakui bahwa adanya beberapa perusahaan dalam suatu kemitraan akan membuat proses administrasi dan pengambilan keputusan menjadi lebih lambat dibanding dengan satu perusahaan saja.Di beberapa Negara, malah ada ketentuan bahwa proyek migas harus dikerjakan oleh konsorsium perusahaan migas, paling tidak minimal oleh dua perusahaan dalam bentuk kemitraan. Bisa jadi hal ini dimaksudkan agar tidak hanya satu perusahaan migas yang dominan di negara tersebut. Pertimbangan lain adalah sesama perusahaan migas dalam kemitraan akan saling mengawasi pelaksanaan proyek, hal ini akan sedikit mengurangi beban pemerintah dalam hal pengawasan.Kontrak migas seperti konsesi, PSC dan SC merupakan perjanjian yang mengatur hak dan kewajiban pemerintah dengan perusahaan migas, sedangkan perjanjian kemitraan sesama perusahaan migas (Joint Venture Agreement) mengatur kesepakatan berupa hak dan kewajiban sesama perusahaan migas. Dalam hal ini pemerintah tidak terlibat langsung dalam perjanjian tersebut. Keterlibatan pemerintah dalam proyek migas diwakili oleh perusahaan migas milik negara (NOC) atau perusahaan yang dibentuk untuk mewakili kepentingan pemerintah yang ikut terjun dalam bisnis hulu migas (seperti: Petoro di Norwegia). NOC dan perusahaan yang dibentuk ini akan ikut serta dalam kesepakatan kemitraan tersebut.Sesama perusahaan migas biasanya membuat perjanjian awal di antara mereka sebelum memulai negoisasi dengan negara tuan rumah untuk suatu proyek migas. Perjanjian yang mengatur kesepakatan awal ini biasa disebut Area of Mutual Interest (AMI).Perjanjian AMI merupakan instrument hukum di mana perusahaan migas sepakat melakukan operasi tertentu atau usaha bersama dalam satu kelompok pada suatu wilayah yang ditetapkan sebagai wilayah kepentingan bersama (mutual interest area). Tujuan perjanjian AMI pada dasarnya mencatat fakta bahwa suatu wilayah telah diidentifikasi sebagai wilayah kepentingan bersama di mana pada wilayah tersebut para pihak yang terlibat dalam perjanjian ini sepakat dengan aturan yang berlaku. Kesepakatan yang tertuang dalm AMI ini merupakan komitmen pihak-pihak tersebut untuk bekerja sama dalam memperoleh suatu proyek migas, tentu saja tidak selalu terkait dengan kegiatan penawaran wilayah kerja yang ditawarkan oleh pemerintah. Untuk perjanjian yang langsung terkait dengan penawaran wilayah kerja, dikenal dengan istilah perjanjian untuk melakukan penawaran tender secara bersama-sama (Joint Bidding Agreement).Menurut Thorpe, paling tidak ada empat elemen penting dalam perjanjian AMI, yaitu: peluang (opportunity), durasi (duration), tidak adanya kewajiban untuk berpartisipasi (no obligation to participate) dan ekslusif (exclusivity).Adanya peluang investasi adalah inti dari kesepakatan, bahwa diharapakan ada peluang investasi proyek migas yang dapat digarap bersama. Apakah itu dalam bentuk kontrak migas dengan pemerintah atau peluang proyek migas lainnya. Adanya peluang investasi tersebut dapat diperoleh dari informasi public (seperti pengumuman pemerintah), maupun melalui pembicaraan langsung antara salah satu dengan pemerintah. Dalam konteks informasi non-publik, maka diperlukan kesepakatan untuk menjaga kerahasiaan informasi. Durasi perjanjian bergantung dari jenis peluang investasi dan perkiraan lamanya waktu yang diperlukan. Sedangkan yang dimaksud dengan no obligation to participate, intinya adalah masing-masing pihak nantinya mempunyai kebebasan memutuskan apakah mereka tertarik atau tidak dengan ketentuan dan persyaratan dari peluang invesatsi tersebut. Apabila tidak tertarik, mereka dapat memutuskan untuk tidak berpartisipasi sehingga memberikan kesempatan kepada pihak-pihak lainnya. Namun demikian, pihak tersebut dilarang untuk menggarap proyek tersebut sendirian atau bekerjasama dengan pihak ketiga lain. Exclusivity maksudnya bahwa perjanjian ini bersifat ekslusif bagi pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak termasuk perusahaan afiliasi maupun perusahaan lain dalam kelompok perusahaan yang sama.

Joint Operating Agreement (JOA)Ketika konsosium IOC mendapatkan suatu wilayah kerja, selanjutnya dibuatPerjanjian Operasi Bersama atau Joint Operating Agreement (JOA), yang tidak lain adalah perjanjian kesepakatan operasioanal sesama pihak-pihak yang terlibat. Pada dasarnya, JOA mengatur hubungan antara pihak dan bagaimana mereka sebagai satu kelompok melaksanakan hak dan kewajiban. Apa yang tertuang di dalam JOA relative standar, seperti disebutkan Thorpe.If you pick up a JOA for any project anywhere in the world, you tend to find much the same thing. So the JOA for an oil project onshore United States(US) is very similar to a JOA turn is very similar to a JOA under an exploration in Gabon.Apabila Anda mengambil satu JOA untuk proyek apapun di dunia ini, Anda cenderung akan menemukan banyak kemiripan. JOA untuk proyek minyak di daratan US akan sangat mirip dengan JOA untuk proyek gas di lepas pantai UK, akan mirip juga dengan JOA untuk kegiatan eksplorasi di Gabon.Asosiasi Negosiator Migas Internasioanl (Assocition of International Petroleum Negotiators AIPN) suatu lembaga independen nirlaba yang beranggotakan para professional yang terlibat dalam negoisasi energy di mancanegara, membuat standar model JOA. Model yang sekarang tersedia adalah model JOA 2002. Adanya model standar ini sangat membantu mempercepat proses pembuatan JOA.Beberapa elemen penting dalam struktur JOA antara lain: hak partisipasi (participating interest), pemilihan operator (selection of the operator), komite manajemen (management committee), sole risk dan lain-lain.JOA mengatur bagian partisipasi masing-masing pihak yang dinyatakan dalam persentase. Apabila pemerintah melalui NOC ikut berpartisipasi, pada umumnya ada perlakuan khusus dibanding pihak-pihak lain (IOC). NOC biasanya mempunyai hak untuk diajak berpartisipasi (carried participation) pada saat diumumkan telah terjadi penemuan yang komersial. IOC yang akan membiayai kegiatan eksplorasi, apabila eksplorasi tidak berhasil, maka NOC tidak ada risiko sama sekali. Sebaliknya apabila eksplorasi berhasil, NOC akan memilih untuk berpartisipasi dan mulai ikut kontribusi terhadap pembiayaan terhitung mulai saat keputusan untuk ikut berpartisipasi diambil.Salah satu pihak ditunjuk menjadi Operator yang dituangkan di dalam JOA. Biasanya pihak yang mempunyai partisipasi paling besar yang akan menjadi operator, namun pada praktiknya tidak selalu demikian. Sebagai contoh di Nigeria, kemitraan antara Nigerian National Petrolem Company/NNPC (partisipasi 60%) dengan Shell (partisipasi 40%). Walaupun bagian partisipasi NNPC lebih besar namun yang menjadi operator adalah Shell.Dalam rangka mengawasi kegiatan operasional, maka dibentuklah komite manajemen. Komite ini terdiri dari perwakilan masing-masing pihak di mana perwakilan dari operator yang menjadi ketua. Komite manajemen bertugas, antara lain: mengawasi semua urusan terkait dengan operasional, strategi eksplorasi dan produksi, menyetujui usulan program kerja & anggaran dan lain-lain.Salah satu ketentuan yang penting dalam JOA adalah sole risk, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: persepsi masing-masing perusahaan tentang risiko proyek migas tentunya dapat berbeda, sole risk berlaku ketika proposal suatu kegiatan (missal:pemboran dan pengujian sumur eksplorasi, akuisisi data seismic dan lain-lain) ditolak oleh komite manajemen, namun demikian pihak yang mendukung proposal tersebut masih mempunyai hak untuk melaksanakan proposal dengan biaya dan risiko yang ditanggung oleh mereka. Tentu saja pihak-pihak yang akan mengambil sole risk ini harus memenuhi terlebih dahulu persyaratan dan prosedur yang berlaku. Pihak yang tidak ikut ambil bagian dalam sole risk (disebut: consenting parties). Selanjutnya consenting parties ini harus membuat persetujuan diantara mereka dalam pelaksanaan proposal tersebut. Metode yang paling simple adalah mengalokasikan partisipasi sesuai dengan rasio consenting parties. Misalkan ada tiga perusahaan dalam kemitraan tersebut, masing-masing: 25%, 35% dan 40% partisipasi (participating interest). Apabila pemilik 25% memilih untuk non-consent, maka partispasi yang baru dari masing-masing consenting parties, menjadi:35/75 dan 40/75. Tentu saja masing-masing pihak dapat memilih formula yang lebih kompleks sesuai dengan kesepakatan mereka.Non-consenting party umumnya tetap diizinkan untuk memulihkan kembali hak-nya, seperti hak untuk ikut berpartisipasi pada saat pengembangan lapangan. Tentu saja ada batasan waktu tertentu, disamping itu harus bersedia mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan consenting parties yang telah sukses melaksanakan proposal yang penuh risiko tersebut. Seperti ilustrasi di atas, non-consenting party yang telah melepas hak partisipasinya sebesar 25%, diharuskan membayar kembali sebesar 25% dari biaya actual yang telah dikeluarkan, ditambah biaya premium sebesar persentase dari jumlah tersebut, missal:200% sampai 500% tergantung risiko dari aktivitas yang diambil.Contoh kasus mengenai hal ini diberikan oleh Duval et.alThe model JOA used in Eleventh Round of concession in Norway containeda non-consent premium of 1,000%.The premium may be higher for backing into an exploratory well than for an appraisal well.Model JOA yang digunakan pada putaran kesebelas (penawaran wilayah) konsesi di Norwegia memuat premi untuk non-consent sebesar 1,000%.Premi ini mungkin lebih tinggi untuk kegiatan sumur eksplorasi dibanding sumur penilai.

2.8. Perjanjian Unitisasi (Unitization Agreement)Unitisasi adalah kerjasama dalam rangka pengembangan suatu lapangan oleh beberapa perusahaan migas. Kerjasama ini diperlukan karena lokasi lapisan reservoir pada lapangan tersebut saling berhubungan satu sama lain di antara dua Wilayah Kerja yang saling berbatasan. Karena Wilayah Kerja tersebut dioperasikan oleh perusahaan migas yang berbeda, maka perlu dibuat suatu perjanjian yang dikenal dengan perjanjian unitisasi. Unitisasi tidak saja berlangsung dalam satu wilayah negara, apabila lapisan reservoir berlokasi dan saling terhubung di antara dua atau beberapa negara, maka unitisasi juga diperlukan yang dikenal dengan istilah cross-border unitization.Tujuan utama unitisasi pada dasarnya adalah agar scenario pengembangan lapangan yang optimal akan terjadi, dibandingkan seandainya reservoir tersebut dikembangkan oleh perusahaan sesuai Wilayah Kerja masing-masing. Dengan adanya perjanjian unitisasi diharapkan akan terjadi efisiensi biaya, berbagi infrastruktur penunjang, optimalisasi jumlah sumur yang akan di bor, penurunan biaya produksi melalui skala ekonomi dan efisiensi kegiatan operasi. Namun yang paling penting, khususnya bagi seorang ahli perminyakan adalah bahwa unitisasi memungkinkan terjadinya pengembangan lapangan yang terintergrasi. Pengembangan yang terintergrasi ini diharapkan akan memaksimalkan proses pengangkatan migas ke permukaan (maximimize ultimate recovery) sesuai dengan pedoman dan kaidah keteknikan dan rekayasa.Salah satu isu yang penting dalam perjanjian unitisasi adalah proses penentuan dan perhitungan bagian masing-masing dari wilayah unitisasi. Proses negoisasi ini bisa berlangsung alot dan melibatkan para ahli perminyakan dan ahli geologi mengingat wilayah unitisasi ini merupakan lapisan reservoir yang berada di bawah permukaan. Perhitungan bagian masing-masing bisa disesuaikan kembali dengan bertambahnya informasi bawah permukaan. Proses perhitungan kembali ini dikenal dengan istilah redetermination yang dapat dilaksanakan beberapa kali selama periode pengembangan dan produksi. Para pihak yang berkepentingaan di sini dapat bernegosasi mengenai jadwal kapan sebaiknya redetermintion dilaksanakan, apakah itu berdasarkan tahapan dalam masa produksi. Karena tujuan redetermination adalah untuk meningkatkan akurasi, adalah logis apabila dilakukan hanya pada saat diperoleh data/informasi baru yang cukup signifikasi.Proses redetermination ini tidak saja menyita waktu tetapi juga biaya. Hasilnya akan berupa: zero sum game, di mana satu pihak akaan memperoleh bagian yang lebih kecil, sementara pihak-pihak lain akan memperoleh peningkatan bagian mereka sebesar penurunan bagian pihak lain tersebut. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ada perjanjian unitisasi yang memuat klausul: No redetermination.Di beberapa negara, peraturan dan regulasi mengenai unitisasi terdapat dalam kontrak migas antara perusahaan dengan pemerintah (Konsesi, PSC dan SC). Negara berkepentingan agar sumber daya migas dikembangkan secara optimal, oleh karena itu perjanjian unitisasi ini harus melalui persetujuan pemerintah. Sebagai contoh: di Brazil, persetujuan unitisasi dilakukan oleh National Petroleum Agency (Agencia Nacional do Petroleo ANP). Di Angola, NOC dalam hal ini Sonangol yang mempunyai otoritas menyetujui program unitisasi. Sementara, di Ekuador, NOC (Petroecuador) yang menandatangani perjanjian unitisasi dengan pihak swasta, kemudian dimintakan persetujuan Menteri Energi dan Pertambangan.Di Indonesia, perjanjian unitisasi diatur pada pasal 40 sampai dengan Pasal 43 dalam Peraturan Pemerintah (PP), No. 35 tahun 2004, tentang kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, sebagai berikut:Pasal 40Kontraktor melalui Badan Pelaksana wajib melaporkan kepada Menteri apabila diketemukan dan memperoleh bukti adanya pelamparan resevoar Minyak dan/ atau Gas Bumi yang memasuki Wilayah Kerja Kontraktor lainnya, Wilayah Terbuka atau wilayah/landas kontinen negara lain.Pasal 411. Kontraktor wajib melakukan unitisasi apabila terbukti adanya pelamparan reservoir yang memasuki Wilayah Kerja Kontraktor lainnya.2. Untuk pelamparan reservoir yang memasuki Wilayah Terbuka, Kontraktor wajib melakukan unitisasi apabila Wilayah Terbuka tersebut kemudian menjadi Wilayah Kerja.3. Dalam hal sampai dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun Wilayah Terbuka sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum menjadi Wilayah Kerja, maka Kontraktor yang bersangkutan melalui Badan Pelaksana dapat meminta bersangkutan melalui Badan Pelaksana dapat meminta perluasan Wilayah Kerjanya secara proporsional.4. Unitisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib mendapatkan persetujuan Menteri.

Pasal 42Menteri menentukan operator pelaksana unitisasi berdasarkan kesepakatan diantara para Kontraktor yang melakukan unitisasi dan pertimbangan Badan Pelaksana.Pasal 43Untuk pelamparan reservoir yang memasuki wilayah/landasan kontinen negara lain penyelesaiannya akan ditetapkan oleh Menteri berdasarkan perjanjian landas kontinen antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah negara lainnya yang terkait serta pertimbangan manfaat yang optimal bagi negara.

Sistim Kontrak Industri Hulu MigasPage 23