bab ii sistem jual beli as-salam dalam pandangan...

15
20 BAB II SISTEM JUAL BELI AS-SALAM DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM A. Pengertian Jual Beli Salam (Pesanan) Melihat dewasa ini kehidupan manusia yang semakin kompleks dengan masalah transaksi, Islam memperlebar ajaran yang lebih terperici mengenai masalah jual beli, tentang syarat-syarat jual beli maupun rukun-rukun jual beli. Namun dalam Islam, jauh sebelum adanya sistem jual beli seperti sekarang ini, Rasul telah memberikan keringanan dalam hal pemesanan dan penyerahan objek yang diperjualbelikan ini. Jual beli dapat dilakukan meskipun objek transaksi tidak ada pada saat dan di tempat transaksi dilakukan. Jual beli ini dikenal dengan istilah jual beli salam yang juga dikenal dengan jual beli as Salaf. Kedua itu merupakan istilah dalam bahasa arab yang mengandung makna “penyerahan”. Sedangkan para fuqahamenyebutnya dengan al-Mahawij (barang-barang mendesak) karena ia sejenis jual beli barang yang tidak ada di tempat, sementara dua pokok yang melakukan transaksi jual beli mendesak. 1 Kata “salamberasal dari kata “at-taslim” (ىْ ِ هْ ظ انت). Kata ini semakna dengan kata as-salaf” ( فَ ه انظ) yang mengandung pengertian memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil di kemudian hari. Pengertian ini terkandung juga dalam firman Allah Ta'ala: 1 Sayyid sabiq, Figh Sunnah V, Jakarta: Cakrawala Publishing,2009, cet. ke- 1 h. 217

Upload: lamkhanh

Post on 27-Feb-2018

241 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

20

BAB II

SISTEM JUAL BELI AS-SALAM DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Jual Beli Salam (Pesanan)

Melihat dewasa ini kehidupan manusia yang semakin kompleks dengan

masalah transaksi, Islam memperlebar ajaran yang lebih terperici mengenai

masalah jual beli, tentang syarat-syarat jual beli maupun rukun-rukun jual beli.

Namun dalam Islam, jauh sebelum adanya sistem jual beli seperti sekarang ini,

Rasul telah memberikan keringanan dalam hal pemesanan dan penyerahan objek

yang diperjualbelikan ini.

Jual beli dapat dilakukan meskipun objek transaksi tidak ada pada saat dan di

tempat transaksi dilakukan. Jual beli ini dikenal dengan istilah jual beli salam yang juga

dikenal dengan jual beli as Salaf. Kedua itu merupakan istilah dalam bahasa arab

yang mengandung makna “penyerahan”. Sedangkan para fuqaha‟ menyebutnya

dengan al-Mahawij (barang-barang mendesak) karena ia sejenis jual beli barang

yang tidak ada di tempat, sementara dua pokok yang melakukan transaksi jual beli

mendesak.1

Kata “salam” berasal dari kata “at-taslim” (ى Kata ini semakna dengan kata .(انتظه

“as-salaf” (انظهف) yang mengandung pengertian memberikan sesuatu dengan

mengharapkan hasil di kemudian hari. Pengertian ini terkandung juga dalam

firman Allah Ta'ala:

1 Sayyid sabiq, Figh Sunnah V, Jakarta: Cakrawala Publishing,2009, cet. ke- 1 h. 217

21

Artinya: “(Kepada mereka dikatakan), 'Makan dan minumlah dengan sedap,

disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.'” (QS.

Al-Haqqah: 24).2

Jual beli pesanan dalam fiqih Islam disebut as-salam menurut bahasa

penduduk hijaz, sedangkan bahasa penduduk iraq as-salaf. Kedua kata ini

mempunyai makna yang sama, sebagaimana dua kata tersebut digunakan oleh

Nabi, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah ketika membicarakan akad

bay’salam, beliau menggunakan kata as-salaf disamping as-salam, sehingga dua

kata tersebut merupakan kata yang sinonim. Secara terminologi ulama‟ fiqh

mendefinisikannya :

تأخزانث انال رأص ف تقذو أ أ انذية ف يصف شء ابع بعاجم جمٲ بع

الجم

Artinya : “menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual

suatu barang yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal di awal,

sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari”.3

Sedangkan Ulama‟ Syafi‟yah dan Hanabilah mendefinisikannya sebagai berikut:

عقذ بجهض يقبض بذية يصف عه عقذ

Artinya : “akad yang disepakati dengan menentukan ciri-ciri tertentu dengan

membayar harganya terlebih dulu, sedangkan barangnya diserahkan ( kepada

pembeli ) kemudian hari’4

Sedangkan, para ulama mendefinisikan “jual beli salam” dengan ungkapan

jual beli barang yang disifati (dengan kriteria tertentu/ spesifikasi tertentu), dalam

2 Departemen Agama RI. Al Qur’an dan terjemahnya juz 1-30, Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1995, hal. 3 Nasrun Haroen,Fiqh Muamalah,Jakarta: Gaya Media Pratama,2007, h.147

4 Ibid., h.147

22

tanggungan (penjual), dengan pembayaran kontan di majelis akad. Dengan kata

lain, bisa dikatakan bahwa “jual beli salam” adalah akad pemesanan suatu barang

yang memiliki kriteria yang telah disepakati, dan dengan pembayaran tunai pada

saat akad dilaksanakan.

Pendapat di atas sudah cukup untuk memberikan perwakilan penjelasan

dari akad tersebut, di mana inti dari pendapat tersebut adalah bahwa akad salam

merupakan akad pesanan dengan membayar terlebih dahulu dan barangnya

diserahkan kemudian, tapi ciri-ciri barang tersebut haruslah jelas penyifatannya.

Masih banyak lagi pendapat yang diungkapkan para pemikir dalam masalah ini,

sebagaimana al-Qurthuby , An-Nawawi dan ulama‟ malikiyah, serta yang lain,

mereka ikut andil memberikan sumbangsih pemikiran dalam masalah ini, akan

tetapi karena pendapatnya hampir sama dengan pandapat yang diungkapkan

diatas, maka penulis berfikir bahwa pendapat diatas sudah cukup untuk

mewakilinya.

Dengan demikian, “jual beli salam” adalah akad jual beli yang memiliki

kekhususan (karakteristik) yang berbeda dari jenis jual beli lainnya, dengan dua

hal:

1. Pembayaran dilakukan di awal (secara kontan di majelis akad), dan dari

sinilah sehingga “jual beli salam” dinamakan juga “as-salaf”.

2. Serah terima barang oleh pembeli yang membelinya diakhirkan sampai

waktu yang telah ditentukan dalam majelis akad.

23

B. Dasar Hukum Jual Beli Salam

Jual-beli dengan cara salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh

Islam guna menghindari riba. Dan mungkin ini merupakan salah satu hikmah

disebutkannya syari'at jual-beli salam seusai larangan memakan riba.

1. Dalil Al-Qur’an

Allah Ta'ala berfirman:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak

secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan

hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan

24

janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,

meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu

mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada

Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.

jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau

Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan

dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki

(di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua

orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa

Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi

keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang

itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian

itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat

kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali

jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka

tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah

apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit

menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu

adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah

mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Qs. Al Baqarah: 282)5

2. As Sunnah

تزيذ انظائ داد اب يظهى انبخار ار﴿ يعهو فكم فهظهف شء ف أطهف ي

﴾عباص اب ع ياج اب

Artinya: “Jika kamu melakukan jual beli salam, maka lakukanlah dalam ukuran

tertentu, timbangan tertentu, dan waktu tertentu ( HR Bukhari, Muslim, Abu

Daud, An-Nasa‟i at Tirmizi dan Ibn Majah dari Ibnu „Abbas).6

عذك يانض التبع ن قال طهى عه هلل صه اانب ا حشاو ب حكى ع

Artinya :“dari hakim bin hizam, sesungguhnya Nabi bersabda: janganlah

menjual sesuatu yang tidak ada padamu”7

انظة انثار ف ظهف ى انذ طهى عه هللا صه انب قذو قال عباص اب ع

يعهو اجم ان عهو س يعهو كم ف فهظهف ثز ف اطهف ي فقال انظت

Artinya : “dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, Nabi datang ke Madinah, dimana

masyarakat melakukan transaksi salam (memesan) kurma selama dua tahun dan

5 Departemen Agama RI. Al Qur’an dan terjemahnya juz 1-30, Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1995, hal. 6 Ibid., h. 148

7 Sayyid sabiq,Op.cit, h. 218

25

tiga tahun, kemudian Nabi bersabda, barang siapa melakukan akad salam

terhadap sesuatu, hendaklah dilakukan dengan takaran yang jelas, timbangan

yang jelas, dan sampai batas waktu yang jelas”8

Fuqaha yang membolehkan salam pada hewan berpegangan pada hadits

yang diriwayatkan dari Ibnu Umar:

عه أخذ أ فايز٬ اإلبم ففذت جشا جش أ أيز طهى عه هللا صه هللا رطل أ

﴾داد را﴿ انصذقة إبم إن بانبعز انبعز فأخذ انصذقة قالص

Artinya: “Sesungguhnya Nabi Saw. menyuruh dia untuk menyiapkan harga harus

ditentukan, baik dengan ditakar, ditimbang, atau dihitung, dan tidak hanya

diperkirakan saja.”

C. Rukun9 dan Syarat Jual Beli As-Salam

Sebagaimana diketahui bahwa pada setiap aqad terdapat rukun. Dan salam

adalah salah dari aqad transaksi keuangan dari jenis jual beli. Oleh karena itu,

rukun salam sama dengan rukun yang ada pada jual beli. Bedanya terdapat syarat-

syarat yang lebih banyak dari aqad jual beli. Menurut pendapat jumhur ulama

(selain Hanafi), ada tiga rukun salam yaitu:

1. Adanya shigat10

, yaitu adanya ijab dan qabul

2. Dua orang yang bertransaksi (muslam atau rabbu salam dan muslam ilaih)

8 CD Hadits,Kutub at-Tis’ah,Muslim no .301

9 Rukun (Ar.: rakana, yurkanu, ruknan, rukuunan: tiang, sandaran, atau unsur). Suatu

unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan

sah atau tidaknya prbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu.

Rukun berbeda dengan syarat yang juga menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan. Syarat

bukan merupakan bagian yang terdapat dalam suatu perbuatan, tetapi di luar perbuatan tersebut.

Contoh: rukuk dan sujud adalah rukun shalat karena rukuk dan sujud merupakan bagian yang

terdapat dalam shalat. Tetapi wudhu adalah syarat sah shalat, karena dia merupkan urusan

tersendiri yang terdapat di luar shalat. (baca Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam,

Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. 1, 1996, hlm. 1510) 10

Sighat al-aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan

kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau

tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan mmenerima dari pihak kedua atas

penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. (Baca: Gemala Dewi. hal. 63)

26

3. Obyek, yaitu muslim alaih (Muslam fiihi atau barang dan ra’sul mal atau

harga)

Sedangkan ulama Hanafi berpendapat bahwa hanya ijab dan qabul masuk

dalam kategori rukun salam, sedangkan 2 orang yang bertransaksi dan obyeknya

(barang) termasuk kategori syarat.

Syarat-syarat dalam akad as-salam

1. Uangya hendaklah dibayar di tempat akad,berarti pembayaran dilakukan

lebih dulu.

2. Barangnya menjadi utang bagi si penjual

3. Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan berarti pada

waktu yang dijanjikan barang itu harus sudah ada.

4. Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, baik takaran, timbangan,

ukuran, ataupun bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang

semacam itu. 11

5. Diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya. Dengan sifat itu, berarti

harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat berbeda. Sifat-sifat

ini hendaknya jelas sehingga tidak ada keraguan yang akan

mengakibatkan perselisihan nanti antara pembeli kedua belah pihak

(sipenjual dan sipembeli). Begitu juga macamnya, harus pula disebutkan,

misalnya daging kambing, daging sapi, atau daging kerbau.

11

Ibrahim bin Sumaith,Fikih Islam,Bandung: Al-Biyan,1998, h 148

27

6. Disebutkan tempat menerimanya, kalau tempat akad tidak layak buat

menerima barang tersebut. Akad as-salam meski terus, berarti tidak ada

khiyar syarat.

Selain hal tersebut di atas, kaitannya dengan al-aqidain terdapat tiga hal

yang harus diperhatikan, yaitu ahliyah (kecakapan), wilayah (kewenangan), dan

wakalah (perwakilan).

a. Ahliyah (kecakapan), yaitu kecakapan seseorang untuk memiliki hak dan

kewajiban atasnya dan kecakapan melakukan tasharruf. Ahliyah dibagi

atas tiga macam:

a) Ahliyah wujub adalah kecakapan untuk memiliki suatu hak

kebendaan. Manusia dapat memiliki hak sejak dalam kandungan

untuk hak tertentu, yaitu hak waris. Hak ini akan selalu ada selama

manusia hidup.

b) Ahliyah ada’ adalah kecakapan memiliki tasharruf dan dikenai

tanggung jawab atau kewajiban, baik berupa hak Allah swt. atau hak

manusia. Ahliyah ada’ terbagi atas dua macam berikut ini:

1) Ahliyah ada’ al naqishah, yaitu kecakapan bertindak yang tidak

sempurna yang terdapat pada mumayyiz dan berakal sehat. Ia

dapat bertasharruf tetapi tidak cakap melakukan akad.

2) Ahliyah ada’ al kamilah, yaitu kecakapan bertindak yang

sempurna yang terdapat pada aqil baligh dan berakal sehat. Ia

dapat bertasharruf dan cakap untuk melakukan akad.

28

b. Wilayah (kewenangan), yaitu kekuasaan hukum yang pemiliknya dapat

bertasharruf dan melakukan akad menunaikan segala akibat hukum yang

ditimbulkan. Syarat seseorang untuk mendapatkan wilayah akad adalah

orang yang cakap bertasharruf secara sempurna. Sedangkan orang yang

kecakapan bertindaknya tidak sempurna tidak memiliki wilayah, baik

untuk dirinya sendiri maupun orang lain untuk melakukan tasharruf.

a) Niyabah ashliyah, yaitu seseorang yang menpunyai kecakapan

sempurna dan melakukan tindakan hukum untuk kepentingan dirinya

sendiri.

b) Niyabah al syar’iyyah atau wilayah niyabiyyah, yaitu kewenangan

atau kekuasaan yang diberikan kepada pihak lain yang mempunyai

kecakapan sempurna untuk melakukan tasharruf atas nama orang

lain (wali). Syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang wali adalah

sebagai berikut:

1) Mempunyai kecakapan yanng sempurna dalam melakukan

tasharruf

2) Memiliki agama yang sama (Islam) antara wali dan maula alaihi

(yang diwakili).

3) Mempunyai sifat adil, yaitu istiqamah dalam menjalankan ajaran

agama dan berakhlak mulia.

4) Mempunyai sifat amanah, dapat dipercaya.

5) Menjaga kepentingan orang yang ada dalam perwaliannya.

29

c. Wakalah (perwakilan), yaitu pengalihan kewenangan perihal harta dan

perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil

tindakan tertentu dalam hidupnya. Dalam wakalah ini, wakil, dan

muwakil (yang dimiliki) harus memiliki kecakapan bertasharruf yang

sempurna dan dilaksanakan dalam bentuk akad berupa ijab dan kabul.

Dengan demikkian harus jelas objek dan tujuan akad tersebut. Biasanya,

wakil memiliki hak untuk mendapatkan upah (ketentuan wakalah ini

dapat dilihat lebih lanjut pada bab tentang bentu-bentuk akad).12

Dalam transaksi salam ini diperlukan adanya keterangan mengenai pihak-pihak

yang terlibat, yaitu orang yang melakukan transaksi secara langsung, juga syarat-

syarat ijab qabul, yaitu :

1. Pihak – pihak yang terlibat

Adapun pihak-pihak yang terlibat langsung adalah al-muslim dimana

posisinya sebagai pembeli atau pemesan, dan juga muslim ilaihi, dimana posisinya

sebagai orang yang di amanatkan untuk memesan barang dan juga barang yang

dimaksudkan. Sedangkan syarat dari penjual dan pemesan adalah baligh,13

berakal,14

cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta), dan saling meridhai.

penulis hanya bisa menyimpulkan sedikit, yaitu mereka belum termasuk sebagai

12

Gemala Dewi, ed.al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005,

Cet. I, hlm. 57-58 13

Ukuran baligh seseorang adalah bermimpi (iltiham) bagi laki-laki dan telah haid bagi

perempuan. Baligh juga dapat diukur dari usia seseorang, seperti yang tercantum dalam hadist dari

Ibnu Umar yaitu 15 tahun. Terhadap orang yang sudah baligh, sudah dapat dibebani hukum taklif

atau sudah dapat bertindak hukum, karena menurut Muhammad Imam abu Zahrah, ia sudah

berakal dan memiliki kecakapan bertindak hukum secara sempurna. . (Baca Gemala Dewi, ed.al.,

Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, Cet. I, hlm. 56) 14

Berakal, seseorang yang melakukan perikatan harus memiliki akal yang sehat. Bukan orang gila,

terganggu akalnya, ataupun kurang akalnya karena masih di bawah umursehingga dapat

mempertanggung-jawabkan transaksi yang dibuatnya. Ibid. Hal 56

30

golongan-golongan orang-orang yang dilarang bertindak sendiri, seperti anak-

anak kecil, gila, pemboros, banyak hutangnya, atau yang lainnya.

2. Syarat-syarat ijab qobul

Pernyataan dalam ijab qabul ini bisa disampaikan secara lisan, tulisan (surat

menyurat, isyarat yang dapat memberi pengertian yang jelas), hingga perbuatan

atau kebiasaan dalam melakukan ijab qabul.15

Adapun syarat-syaratnya adalah:

a. Dilakukan dalam satu tempo

b. Antara ijab dan qobul sejalan

c. Menggunakan kata as- salam atau as-salaf

d. Tidak ada khiyar syarat (hak bagi pemesan untuk menerima pesanan

atau tidak).

D. Perbedaan As-Salam dengan Jual Beli Biasa

Ada beberapa perbedaan antara jual beli salam dengan jual beli biasa yang

dikemukakan para ulama fiqh, diantaranya adalah:

1. Harga barang dalam jual beli pesanan tidak boleh dirubah dan harus

diserahkan seluruhnya waktu akad berlangsung. Umpamanya, produsen

punya utang pada konsumen, lalu harga barang yang dipesan itu dibayar

dengan utang itu, bukan dengan uang tunai. Dalam jual beli salam hal ini

tidak boleh dilakukan, karena tujuan dari jual beli pesanan dengan cara ini

tidak tercapai, yaitu membantu produsen untuk memproduksi barang. Jadi,

15

Abdul Karim Zaidan,Pengantar Studi Syariah,Jakarta:Robbani Press,2008, h. 365

31

unsur harga barang yang harus diserahkan ketika akad sangat menentukan sah

atau tidaknya jual beli ini. Berbeda dengan jual beli biasa, pembeli boleh saja

membayar barang yang ia beli dengan utang penjual pada pembeli. Dalam

artian, utang dianggap lunas dan barang diambil oleh pembeli.16

2. Harga yang diberikan berbentuk uang tunai, bukan berbentuk cek mundur.

Jika harga yang diserahkan oleh pemesan adalah cek mundur, maka jual beli

pesanan batal, karena untuk modal untuk membantu produsen tidak ada.

Berbeda dengan jual beli biasa, harga yang diserahkan boleh saja berbentuk

cek mundur.

3. Pihak produsen tidak dibenarkan menyatakan bahwa uang pembeli dibayar

kemudian, karena jika ini terjadi maka jual beli ini tidak lagi bernama jual

beli pesanan. Sedangkan dalam jual beli biasa, pihak produsen boleh berbaik

hati untuk menunda penerimaan harga barang ketika barang telah selesai

diserahkan.

Menurut ulama Hanafiyah modal atau harga beli boleh dijamin oleh

seseorang yang hadir waktu akad dan penjamin ini bertanggung jawab membayar

harga itu juga. Akan tetapi menurut Zufar ibn Huzail, pakar fiqh Hanafi, harga itu

tidak boleh dijamin oleh seseorang, karena adanya jaminan ini akan menunda

pembayaran harga yang seharusnya dibayarkan tunai waktu akad. Dalam jual beli

biasa, persoalan harga yang dijamin oleh seseorang atau dibayar dengan borog (

barang jaminan) tidaklah menjadi masalah asal keduanya sepakat.17

16

Nasrun Haroen,Fiqh Muamalah,Jakarta:Gaya Media Pratama,2007, h.151 17

Ibid,

32

Persoalan lain dalam masalah jual beli pesanan adalah masalah penyerahan

barang ketika tenggang waktu yang disepakati jatuh tempo. Dalam kaitan ini para

ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa pihak produsen wajib menyerahkan barang

itu jika waktu yang disepakati telah jatuh tempo dan di tempat waktu yang

disepakati pula. Akan tetapi, jika barang diterima pemesan dan ternyata ada cacat

atau tidak sesuai dengan ciri-ciri yang dipesan, maka dalam kasus ini pihak

konsumen boleh menyatakan apakah ia menerima atau tidak, sekalipun dalam jual

beli seperti ini hak khiyar tidakada. Pihak konsumen boleh minta ganti rugi atau

menuntut produsen untukmemperbaiki barang itu sesuai dengan pesanan.

Sedangkan menurut dalamkitab fiqh mazhab Syafi’i yang dimaksud jual beli

artinya menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan

melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas dasar kerelaan

kedua belah pihak.18

Menurut Fathi ad-Duraini, guru besar fiqh Islam di Universitas Damaskus,

prospek jual beli as-salam di dunia modern ini semakin berkembang, khususnya

antarnegara, karena dalam proses pembelian barang di luar negeri, melalui impor

ekspor, biasanya pihak produsen menawarkan barangnya hanya dengan membawa

contoh barang yang akan dijual. Kadangkala barang yang dikirim oleh produsen

tidak sesuai dengan contoh yang diperlihatkan pada konsumen. Oleh karena itu,

kaidah-kaidah as-salam (jual beli pesanan) yang disyariatkan Islam amat relevan

diterapkan, sehingga perselisihan boleh dihindari sekecil mungkin.

E. Saksi Dalam Transaksi

18

Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin,Fiqh Mazhab Syafi’i,Bandung:Pustaka Setia,2001,h 22

33

Didalam jual beli, Allah memerintahkan adanya saksi dalam akad jual beli

seperti yang ada dalam firman-Nya, yaitu:

Artinya:“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis

dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka

Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah

kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”19

Perintah dalam ayat tersebut hukumnya sunnah (dianjurkan) karena ada

kebaikan di dalamnya, dan bukan sebagai perintah wajib, sebagaimana pendapat

sebagian ulama.

Sebagian kalangan dari ulama salaf bahwa banyak akad utang piutang dan

jual beli di daerah mereka berlangsung tanpa adanya saksi dan itu sepengetahuan

ahli fiqh tidak akan membiarkan kondisi berlangsung tanpa teguran. Dalam fakta

tersebut menunjukkan bahwa para ahli fiqh menilai bahwa perintah adanya saksi

adalah sunnah. Dan kondisi tersebut sudah berlangsung sejak lama pada masa

Rasulullah hingga sekarang. Bila para sahabat dan para tabi‟in memberlakukan

adanya kesaksian dalam jual beli, hal tersebut terjadi tanpa adanya kesepakatan

19

Departemen Agama RI,Al-Quran dan terjemahannya,Semarang:Kumudasmoro,1994,

h.7

34

umum. Dari sini dapat disimpulkan bahwa penulisan dan kesaksian dalam akad

jual beli hukumnya tidak wajib.20

20

http://www.scribd.com/doc/47754455/asas-transaksi-jual-beli