bab ii signalling theory (t eori , dengan teori pendukung...

27
15 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Peran teori sangat penting untuk menjelaskan fenomena dan merumuskan suatu hipotesis penelitian. Penelitian ini menggunakan signalling theory (teori sinyal) sebagai grand theory, dengan teori pendukung yang menjelaskan secara lebih detail mengenai ERM disclosure, IC disclosure, nilai perusahaan, dan ukuran perusahaan. Hasil penelitian terdahulu juga diperlukan untuk merancang konsep-konsep yang mampu menjelaskan objek penelitian yang diteliti. Penelitian ini juga didukung oleh beberapa penjabaran hasil penelitian-penelitian sebelumnya. 2.1.1 Signalling Theory (Teori Sinyal) Signalling theory menekankan kepada pentingnya informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan bagi keputusan investasi pihak di luar perusahaan. Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi pada hakikatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran tentang keadaan masa lalu, saat ini maupun keadaan masa yang akan datang bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan dan mengenai pasaran efeknya. Informasi yang lengkap, relevan, akurat, dan tepat waktu sangat diperlukan oleh investor di pasar modal sebagai alat analisis untuk mengambil keputusan investasi. Menurut Jogiyanto (2000: 392), informasi yang dipublikasikan sebagai suatu pengumuman akan memberikan signal bagi investor dalam pengambilan

Upload: phamhanh

Post on 23-May-2018

215 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Peran teori sangat penting untuk menjelaskan fenomena dan merumuskan

suatu hipotesis penelitian. Penelitian ini menggunakan signalling theory (teori

sinyal) sebagai grand theory, dengan teori pendukung yang menjelaskan secara

lebih detail mengenai ERM disclosure, IC disclosure, nilai perusahaan, dan

ukuran perusahaan. Hasil penelitian terdahulu juga diperlukan untuk merancang

konsep-konsep yang mampu menjelaskan objek penelitian yang diteliti. Penelitian

ini juga didukung oleh beberapa penjabaran hasil penelitian-penelitian

sebelumnya.

2.1.1 Signalling Theory (Teori Sinyal)

Signalling theory menekankan kepada pentingnya informasi yang

dikeluarkan oleh perusahaan bagi keputusan investasi pihak di luar perusahaan.

Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena

informasi pada hakikatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran tentang

keadaan masa lalu, saat ini maupun keadaan masa yang akan datang bagi

kelangsungan hidup suatu perusahaan dan mengenai pasaran efeknya. Informasi

yang lengkap, relevan, akurat, dan tepat waktu sangat diperlukan oleh investor di

pasar modal sebagai alat analisis untuk mengambil keputusan investasi.

Menurut Jogiyanto (2000: 392), informasi yang dipublikasikan sebagai

suatu pengumuman akan memberikan signal bagi investor dalam pengambilan

16

keputusan investasi. Pengumuman yang mengandung nilai positif diharapkan

dapat berdampak pada reaksi pasar pada waktu pengumuman tersebut diterima

oleh pasar. Pada waktu informasi diumumkan dan semua pelaku pasar sudah

menerima informasi tersebut, pelaku pasar terlebih dahulu menginterpretasikan

dan menganalisis informasi tersebut sebagai signal baik (good news) atau signal

buruk (bad news). Pengumuman informasi yang merupakan good news bagi

investor akan berdampak pada perubahan dalam volume perdagangan saham.

Salah satu jenis informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan yang dapat menjadi

signal bagi pihak di luar perusahaan, terutama bagi pihak investor adalah laporan

tahunan. Informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan dapat berupa

informasi financial yaitu informasi yang berkaitan dengan laporan keuangan dan

informasi nonfinancial yaitu informasi yang tidak berkaitan dengan laporan

keuangan. Laporan tahunan hendaknya memuat informasi yang relevan dan

mengungkapkan informasi yang dianggap penting untuk diketahui oleh pengguna

laporan tersebut. Semua investor memerlukan informasi untuk mengevaluasi

risiko relatif setiap perusahaan sehingga dapat melakukan diversifikasi portofolio

dan kombinasi investasi dengan preferensi risiko yang diinginkan. Perusahaan

yang ingin sahamnya dibeli oleh investor harus melakukan pengungkapan laporan

keuangan secara terbuka dan transparan.

Teori Signal menjelaskan bahwa perusahaan mempunyai dorongan untuk

memberikan informasi laporan keuangan kepada pihak eksternal perusahaan.

Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi adalah karena terdapat

asimetri informasi antara perusahaan dengan pihak eksternal. Pihak eksternal

17

kemudian menilai perusahaan sebagai fungsi dari mekanisme signalling yang

berbeda-beda. Kurangnya informasi pihak luar mengenai perusahaan

menyebabkan mereka melindungi diri mereka dengan memberikan harga yang

rendah untuk perusahaan, dan kemungkinan lain pihak eksternal yang tidak

memiliki informasi akan berpersepsi sama tentang nilai semua perusahaan.

Pandangan seperti ini akan merugikan perusahaan yang memiliki kondisi yang

lebih baik karena pihak eksternal akan menilai perusahaan lebih rendah dari yang

seharusnya dan demikian juga sebaliknya. Signalling theory melandasi

pengungkapan sukarela. Sinyal ini berupa informasi mengenai upaya yang sudah

dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat

berupa promosi atau informasi lain yang dapat menyatakan bahwa perusahaan

tersebut lebih baik daripada perusahaan lain. Manajemen selalu berusaha untuk

mengungkapkan informasi privat yang menurut pertimbangannya sangat diminati

investor dan pemegang saham khususnya jika informasi tersebut merupakan berita

baik (good news). Manajemen juga berminat menyampaikan informasi yang dapat

meningkatkan kredibilitasnya dan kesuksesan perusahaan meskipun informasi

tersebut tidak diwajibkan. Pengungkapan yang bersifat sukarela merupakan signal

positif bagi perusahaan. Pengungkapan IC merupakan salah satu pengungkapan

sukarela yang bisa menjadi sinyal positif bagi perusahaan kepada pengguna

informasi keuangan.

2.1.2 ERM Disclosure

Risiko merupakan situasi ketika terdapat ketidakpastian mengenai dampak

yang terjadi, keuntungan maupun kerugian (Institute of Chartered Accountants in

18

England and Wales, 2002). Risiko yang dihadapi perusahaan dibagi menjadi

risiko keuangan, risiko operasi, risiko teknologi, risiko integritas, dan risiko

strategi (Linsley dan Shrives, 2006). Risiko keuangan merupakan risiko yang

berkaitan dengan instrumen keuangan perusahaan seperti risiko pasar, kredit,

likuiditas, serta tingkat bunga atas arus kas. Risiko operasi berkaitan dengan

kepuasan pelanggan, pengembangan produk, pencarian sumber daya, kegagalan

produk, dan lingkungan. Risiko teknologi berkaitan dengan akses, ketersediaan,

dan infrastruktur. Risiko integritas berkaitan dengan kecurangan manajemen dan

karyawan, tindakan ilegal, dan reputasi. Risiko strategi berkaitan dengan

pengamatan lingkungan, industri, portofolio bisnis, pesaing, peraturan, politik dan

kekusaan. Semua elemen yang terdapat dalam risiko harus dapat dikelola oleh

perusahaan. Pengelolaan risiko dapat mempengaruhi tujuan perusahaan. Risiko

harus dapat dikelola dengan baik sehingga risiko yang ada tidak berdampak buruk

pada perusahaan, tetapi dapat membantu perusahaan dalam memahami

ketidakpastian kondisi ekonomi.

Pengelolaan atas risiko yang dihadapi perusahaan disebut dengan

manajemen risiko. Manajemen risiko adalah proses dan metode yang digunakan

oleh perusahaan untuk mengelola risikonya yang berhubungan dengan pencapaian

tujuan-tujuan perusahaan (Amran et al., 2009). Manajemen risiko yang dipilih

setiap perusahaan umumnya berbeda satu sama lain, walaupun perusahaan-

perusahaan tersebut dalam industri yang sejenis yang mungkin menghadapi risiko

yang serupa. Hal ini dikarenakan manajemen yang berbeda memiliki strategi

pengelolaan, toleransi terhadap risiko, dan tujuan yang berbeda pula, sehingga

19

penting bagi investor untuk lebih memperhatikan kunci risiko bisnis dan

pengelolaan risiko yang dilakukan oleh perusahaan. Menurut Lajili dan Zeghal

(2005), kerangka kerja manajemen risiko melibatkan proses-proses sebagai

berikut.

1) Mengidentifikasi, mengukur, dan menilai tipe atau jenis risiko yang mungkin

dihadapi perusahaan.

2) Memilih metode atau tindakan strategis yang tepat untuk mengontrol risiko,

termasuk menentukan pilihan untuk menghindari risiko, mengurangi risiko,

atau memindahkan risiko ke pihak lain.

3) Memonitor dan mengawasi semua tindakan yang direncanakan untuk

mengatasi risiko yang mungkin dihadapi.

Pengungkapan merupakan penyampaian informasi yang bermanfaat bagi

pihak yang membutuhkan. Pengungkapan memiliki tiga konsep, yaitu

pengungkapan yang cukup (adequate), wajar (fair), dan lengkap (full) (Ghozali

dan Chariri, 2007). Pengungkapan yang cukup berarti mencakup pengungkapan

minimal yang harus dilakukan agar laporan keuangan tidak menyesatkan.

Pengungkapan secara wajar menunjukkan tujuan etis agar saat memberikan

perlakuan yang sama dan bersifat umum bagi semua pemakai laporan keuangan,

sedangkan pengungkapan yang lengkap mensyaratkan perlunya menyajikan

semua informasi yang relevan (Ghozali dan Chariri, 2007). Linsley dan Shrives

(2006), menyatakan bahwa perusahaan dikatakan telah mengungkapkan risiko jika

pembaca laporan tahunan diberi informasi mengenai prospek, bahaya, kerugian,

dan ancaman yang akan berdampak bagi perusahaan pada masa sekarang ataupun

20

dimasa mendatang. Penyampaian informasi mengenai risiko tersebut menjadi

kebutuhan stakeholder. Beberapa peneliti menyatakan manfaat dan pentingnya

pengungkapan risiko yaitu sebagai berikut.

1) Menyediakan transparansi yang lebih besar dan meningkatkan kepercayaan

investor (Linsley dan Shrives, 2006; Abraham dan Cox, 2007; Latridis,

2008).

2) Memperbaiki image perusahaan dan memberi informasi kepada stakeholder

mengenai kemampuan manajerial perusahaan dalam mengelola risiko

(Latridis, 2008 dalam Hassan, 2009).

3) Dapat menentukan profil risiko perusahaan, estimasi nilai pasar, dan akurasi

ramalan harga sekuritas bagi investor (Beretta dan Bozzolan, 2004).

4) Mengurangi asimetri informasi antara manajemen dan investor serta untuk

mengurangi biaya pendanaan eksternal perusahaan (Bujaki et al., 1999 dalam

Aljifri dan Hussainey, 2007).

ERM disclosure dapat diartikan sebagai pengungkapan atas risiko-risiko

yang telah dikelola perusahaan atau pengungkapan atas upaya perusahaan dalam

mengendalikan risiko. ERM disclosure berpotensi memiliki manfaat untuk para

analis, investor, dan stakeholders (Amran et al., 2009). Setiap perusahaan publik

diwajibkan membuat laporan tahunan sebagai sarana pertanggungjawaban

terutama kepada pemegang saham. Laporan tahunan (annual report) merupakan

laporan yang diterbitkan oleh pihak manajemen perusahaan setahun sekali yang

berisi informasi financial dan nonfinancial perusahaan yang berguna bagi pihak

stakeholders untuk menganalisis kondisi perusahaan pada periode tersebut.

21

Informasi yang dimuat dalam laporan tahunan ini lebih dikenal dengan istilah

pengungkapan laporan tahunan atau annual report disclosure. Ada dua

pengungkapan dalam pelaporan keuangan tahunan yang telah ditetapkan oleh

Bapepam No. Kep. 38/ PM/ 1996 kemudian direvisi dalam Bapepam Nomor Kep-

134/ BL/ 2006, dan berdasarkan ketentuan dari Ikatan Akuntansi Indonesia

tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan Bagi Emiten atau Perusahaan

Publik yaitu sebagai berikut.

1) Pengungkapan wajib (mandatory disclosure) yaitu informasi yang harus

diungkapkan oleh emiten yang diatur oleh peraturan pasar modal di suatu

negara.

2) Voluntary disclosure yaitu pengungkapan yang dilakukan secara sukarela

oleh perusahaan tanpa diharuskan oleh standar yang ada. Perusahaan akan

melakukan pengungkapan melebihi kewajiban pengungkapan minimal jika

tidak ingin ketinggalan praktik-praktik pengungkapan kompetitif yang dapat

memberikan manfaat bagi perusahaan, dan merasa pengungkapan semacam

itu akan dapat membantu menurunkan biaya modal. Perusahaan-perusahaan

akan mengungkapkan lebih sedikit apabila merasa pengungkapan tersebut

akan menampakkan rahasia kepada pesaing atau menampakkan sisi buruk

perusahaan di depan berbagai pihak.

Pengungkapan manajemen risiko perusahaan merupakan salah satu elemen

dari informasi laporan nonfinancial perusahaan. Berdasarkan ERM framework

yang dikeluarkan COSO, terdapat 108 item ERM disclosure yang mencakup

delapan dimensi yaitu: (1) lingkungan internal, (2) penetapan tujuan, (3)

22

identifikasi kejadian, (4) penilaian risiko, (5) respon atas risiko, (6) kegiatan

pengawasan, (7) informasi dan komunikasi, dan (8) pemantauan (Desender,

2007). Kedelapan komponen ini diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan

perusahaan yang meliputi tujuan strategis, operasional, pelaporan keuangan,

maupun kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Berikut ini adalah

komponen-komponen ERM.

1) Lingkungan internal (internal environment)

Lingkungan internal sangat menentukan karakteristik dari sebuah organisasi

dan memberi dasar bagi cara pandang terhadap risiko dari setiap orang dalam

organisasi tersebut. Lingkungan internal ini termasuk, filosofi manajemen

risiko dan risk appetite, nilai-nilai etika dan integritas.

2) Penentuan tujuan (objective setting)

Tujuan perusahaan harus ada terlebih dahulu sebelum manajemen dapat

mengidentifikasi kejadian-kejadian yang berpotensi mempengaruhi

pencapaian tujuan tersebut. ERM memastikan bahwa manajemen memiliki

sebuah proses untuk menetapkan tujuan yang dipilih atau ditetapkan serta

mendukung misi perusahaan dan konsisten dengan risk appetite-nya.

3) Identifikasi kejadian (event identification)

Kejadian internal dan eksternal yang mempengaruhi pencapaian tujuan

perusahaan harus diidentifikasi dan dibedakan antara risiko dan peluang.

Peluang dikembalikan (channeled back) kepada proses penetapan strategi

atau tujuan manajemen.

23

4) Penilaian risiko (risk assessment)

Risiko dianalisis dengan memperhitungkan kemungkinan terjadinya

(likelihood) dan dampaknya (impact), sebagai dasar bagi penentuan

pengelolaan risiko tersebut.

5) Respon risiko (risk response)

Manajemen memilih respon risiko untuk menghindar (avoiding), menerima

(accepting), mengurangi (reducing), atau mengalihkan (sharing risk) dan

mengembangkan satu set kegiatan agar risiko tersebut sesuai dengan toleransi

(risk tolerance) dan risk appetite.

6) Kegiatan pengendalian (control activities)

Kebijakan dan prosedur yang ditetapkan dan diimplementasikan untuk

membantu memastikan respon risiko berjalan dengan efektif.

7) Informasi dan komunikasi (information and communication)

Informasi yang relevan diidentifikasi, dan dikomunikasikan dalam bentuk dan

waktu yang memungkinkan setiap orang menjalankan tanggungjawabnya.

8) Pengawasan (monitoring)

Keseluruhan proses ERM dimonitor dan modifikasi dilakukan apabila perlu.

Pengawasan dilakukan secara melekat pada kegiatan manajemen yang

berjalan terus-menerus, melalui evaluasi secara khusus, atau dengan

keduanya.

Badan regulator di Indonesia mengeluarkan aturan-aturan yang

mensyaratkan adanya informasi terkait risiko yang dilaporkan perusahaan dalam

annual report, seperti yang tertuang dalam PSAK No. 60 (Revisi 2010) tentang

24

Instrumen Keuangan: Pengungkapan, yang menyebutkan bahwa informasi yang

dapat digunakan oleh pengguna laporan keuangan untuk mengevaluasi jenis dan

tingkat risiko dari instrumen keuangan harus diungkapkan. Pengungkapan

informasi tersebut berupa pengungkapan kualitatif dan pengungkapan

kuantitatif. Dalam pengungkapan kualitatif, entitas diwajibkan mengungkapkan

eksposur risiko, bagaimana risiko timbul, tujuan, kebijakan dan proses

pengelolaan risiko serta metode pengukuran risiko. Dalam pengungkapan

kuantitatif, entitas diharuskan mengungkapkan risiko kredit, risiko likuiditas, dan

risiko pasar termasuk membuat analisis sensitivitas untuk setiap jenis risiko pasar.

Peraturan lain yang mengatur tentang pengungkapan risiko adalah

Keputusan Ketua Bapepam LK Nomor: Kep-431/ BL/ 2012 mengenai

Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten atau Perusahaan Publik,

bahwa perusahaan diharuskan untuk menyajikan penjelasan mengenai risiko-

risiko yang dapat mempengaruhi kelangsungan usaha yang dihadapi perusahaan

serta upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengelola risiko tersebut. Bank

Indonesia juga memiliki ketentuan tersendiri terkait dengan permasalahan

pengungkapan risiko seperti yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia

Nomor: 14/ 14/ PBI/ 2012 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank.

Peraturan tersebut mengharuskan Bank untuk menyusun Laporan Tahunan paling

kurang mencakup jenis risiko dan potensi kerugian (risk exposures) yang dihadapi

Bank serta praktek manajemen risiko yang diterapkan Bank.

Bagi Bank Umum Konvensional praktek manajemen risiko minimum

mengenai risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, risiko

25

strategik, risiko reputasi, risiko kepatuhan, dan risiko hukum. Perusahaan

keuangan memiliki ketentuan yang lebih ketat terkait pengungkapan risiko

daripada perusahaan nonkeuangan. Ketentuan yang membedakan keduanya yaitu

selain harus memenuhi ketentuan PSAK 60 dan Keputusan Ketua Bapepam LK

Nomor: Kep-431/ BL/ 2012, perusahaan keuangan juga diwajibkan memenuhi

ketentuan minimum pengungkapan seperti yang disyaratkan dalam Peraturan

Bank Indonesia Nomor 14/ 14PBI/ 2012. Ketentuan lain yaitu perusahaan

keuangan diwajibkan mengungkapkan keberadaan komite manajemen risiko,

sedangkan perusahaan nonkeuangan hanya sekedar pada himbauan (Wardhana,

2013). Kelonggaran ketentuan pengungkapan risiko pada perusahaan

nonkeuangan menjadikannya cenderung untuk hanya menyajikan informasi risiko

secara umum dan kurang terperinci.

2.1.3 IC Disclosure

IC dapat didefinisikan sebagai jumlah dari yang dihasilkan oleh tiga

elemen utama organisasi (human capital, structural capital, dan customer capital)

yang berkaitan dengan pengetahuan dan teknologi yang dapat memberikan nilai

lebih bagi perusahaan berupa keunggulan bersaing organisasi. Banyak para

praktisi yang menyatakan bahwa IC terdiri dari tiga elemen utama (Stewart, 1998;

Sveiby, 1997; Saint-Onge, 1996; dan Bontis, 2000) yaitu sebagai berikut.

1) Human capital (modal manusia)

Human capital merupakan lifeblood dalam modal intelektual. Human capital

merupakan sumber innovation dan improvement, tetapi merupakan komponen

yang sulit untuk diukur. Human capital juga merupakan tempat

26

bersumbernya pengetahuan yang sangat berguna, keterampilan, dan

kompetensi dalam suatu organisasi atau perusahaan. Human capital

mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi

terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang ada

dalam perusahaan tersebut. Human capital akan meningkat jika perusahaan

mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya.

2) Structural capital atau organizational capital (modal organisasi)

Structural capital merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan dalam

memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung

usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta

kinerja bisnis secara keseluruhan, misalnya sistem operasional perusahaan,

proses manufakturing, budaya organisasi, filosofi manajemen dan semua

bentuk intellectual property yang dimiliki perusahaan. Seorang individu dapat

memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, tetapi jika organisasi memiliki

sistem dan prosedur yang buruk maka IC tidak dapat mencapai kinerja secara

optimal dan potensi yang ada tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.

3) Relational capital atau customer capital (modal pelanggan)

Elemen ini merupakan komponen modal intelektual yang memberikan nilai

secara nyata. Relational capital merupakan hubungan yang harmonis atau

association network yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya,

yaitu yang berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari

pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan, berasal

dari hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat

27

sekitar. Relational capital dapat muncul dari berbagai bagian diluar

lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut.

Laporan keuangan dinilai gagal dalam menggambarkan luas cakupan nilai

intangible asset (Lev dan Zarowin, 1999) sehingga memunculkan peningkatan

asimetri informasi antara perusahaan dengan user (Barth et al., 2001). Model

pelaporan bisnis yang lama menggunakan prinsip-prinsip yang hanya berdasarkan

relevansi dengan pengukuran dan penilaian sumber daya modal fisik (pabrik,

peralatan dan persediaan). Model tradisional semakin dianggap kuno ketika

digunakan oleh pengguna informasi keuangan di era “Ekonomi Baru” karena

gagal untuk memberikan dasar yang cocok untuk mengukur dan melaporkan

sumber daya IC. Canibano et al. (2000) menyebutkan bahwa pendekatan yang

pantas digunakan untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan adalah dengan

mendorong peningkatan IC disclosure. Galbraith dan Merrill (2001) mendukung

pernyataan tersebut dan berpendapat bahwa informasi yang berkaitan dengan

penciptaan kekayaan, khususnya sumber daya IC, dimasukkan dalam dokumen-

dokumen seperti laporan keuangan dan laporan tahunan untuk lebih membantu

investor dalam proses pengambilan keputusan di era “Ekonomi Baru”.

IC didefinisikan sebagai sumber daya pengetahuan yang dimiliki

perusahaan dalam bentuk karyawan, proses atau teknologi, dan pelanggan yang

bisa digunakan perusahaan dalam proses penciptaan nilai bagi perusahaan. Singh

dan Zahn (2007) dalam penelitiannya menggunakan indeks pengungkapan IC

yang dikembangkan dari indeks penelitian sebelumnya oleh Beaulieu et al.

(2002), dan Bukh et al. (2005). Indeks pengungkapan tersebut terdiri dari 81 item

28

yang membagi IC menjadi enam komponen yaitu karyawan, pelanggan, teknologi

informasi, proses, riset dan pengembangan (R&D) serta pernyataan strategis. Saat

ini, regulator umumnya gagal untuk membuat penyesuaian dalam model bisnis

tradisional untuk mengkompensasi pelaporan IC agar dapat tumbuh signifikan.

Pernyataan-pernyataan mengenai IC diidentifikasi oleh para praktisi dan

akademisi sebagai alat penting bagi perusahaan dalam mengidentifikasi,

mengelola dan melaporkan nilai IC (Zambon, 2003 dalam Singh dan Zahn, 2007).

Penelitian pengungkapan IC masih dalam tahap perkembangan (Singh dan

Zahn, 2007). Salah satu aliran penelitian pengungkapan IC berfokus pada tujuan

pelaporan IC. Aliran ini pada dasarnya dikembangkan oleh praktisi dan masih

bersifat normatif. Muncul dua pendapat mengenai tujuan pelaporan IC yaitu yang

pertama adalah untuk meningkatkan efektivitas internal dari operasi perusahaan

(Bukh et al., 2005), sedangkan pandangan yang kedua yaitu pandangan Amerika

yang menunjukkan bahwa peran yang lebih penting adalah sebagai alat untuk

mengurangi ketidakpastian diantara stakeholder ketika menilai perusahaan di era

“Ekonomi Baru”. Bukh et al. (2005), sebagai pendukung pandangan Amerika

menyatakan bahwa pengungkapan informasi tentang IC diharapkan dapat

mengurangi asimetri informasi, meningkatkan likuiditas pasar saham, dan

meningkatkan permintaan efek yang diterbitkan oleh perusahaan.

2.1.4 Nilai Perusahaan

Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan

melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau para pemegang saham

(Wahidawati, 2002). Nilai perusahaan pada dasarnya diukur dari beberapa aspek

29

yaitu salah satunya adalah harga pasar saham perusahaan, karena harga pasar

saham perusahaan mencerminkan penilaian investor atas keseluruhan ekuitas yang

dimiliki (Wahyudi dan Pawestri, 2006). Harga pasar saham menunjukkan

penilaian sentral disemua pelaku pasar, harga pasar saham merupakan barometer

kinerja perusahaan.

Menurut Nurlela dan Ishlahuddin (2008), nilai perusahaan didefinisikan

sebagai nilai pasar karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran atau

keuntungan bagi pemegang saham secara maksimum jika harga saham perusahaan

meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka makin tinggi keuntungan

pemegang saham sehingga keadaan ini akan diminati oleh investor karena dengan

permintaan saham yang meningkat menyebabkan nilai perusahaan juga akan

meningkat. Nilai perusahaan dapat dicapai dengan maksimum jika para pemegang

saham menyerahkan urusan pengelolaan perusahaan kepada orang-orang yang

berkompeten dalam bidangnya, seperti manajer maupun komisaris.

Rasio-rasio keuangan digunakan investor untuk mengetahui nilai pasar

perusahaan. Rasio tersebut dapat memberikan indikasi bagi manajemen mengenai

penilaian investor terhadap kinerja perusahaan dimasa lampau dan prospeknya

dimasa depan. Terdapat beberapa rasio untuk mengukur nilai pasar perusahaan,

salah satunya Tobin’s Q. Rasio ini dinilai bisa memberikan informasi paling baik

karena dalam Tobin’s Q semua unsur hutang dan modal saham perusahaan

dihitung, tidak hanya saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas perusahaan yang

dimasukkan namun seluruh aset perusahaan. Memasukkan seluruh asset

perusahaan berarti perusahaan tidak hanya terfokus pada satu tipe investor saja

30

yaitu investor dalam bentuk saham namun juga untuk kreditur karena sumber

pembiayaan operasional perusahaan bukan hanya dari ekuitasnya saja tetapi juga

dari pinjaman yang diberikan oleh kreditur (Sukamulja, 2004). Semakin besar

nilai Tobin’s Q menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek pertumbuhan

yang baik. Hal ini dapat terjadi karena semakin besar nilai pasar aset perusahaan

dibandingkan dengan nilai buku aset perusahaan maka semakin besar kerelaan

investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan

tersebut (Sukamulja, 2004).

Nilai perusahaan dapat didefinisikan sebagai nilai wajar perusahaan yang

menggambarkan persepsi investor terhadap emiten yang bersangkutan. Menurut

Husnan dan Pudjiastuti (2004), nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia

dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Menurut Keown et

al. (2007), nilai perusahaan merupakan nilai pasar atas surat berharga hutang dan

ekuitas perusahaan yang beredar. Harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli

diartikan sebagai harga pasar atas perusahaan itu sendiri. Harga pasar berarti

harga yang bersedia dibayar oleh investor untuk setiap lembar saham perusahaan,

sehingga dapat dikatakan bahwa nilai perusahaan adalah merupakan persepsi

investor terhadap perusahaan yang selalu dikaitkan dengan harga saham. Harga

saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi. Nilai perusahaan yang

tinggi akan diikuti oleh tingginya kemakmuran pemegang saham (Brigham dan

Houston, 2006).

Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan

sebab dengan nilai perusahaan yang tinggi menunjukkan tingkat kemakmuran

31

pemegang saham juga tinggi. Nilai perusahaan yang tinggi akan membuat pasar

percaya tidak hanya pada kinerja perusahaan saat ini namun juga pada prospek

perusahaan dimasa depan. Menurut Suharli (2006), ada beberapa pendekatan yang

bisa dilakukan untuk menilai perusahaan yaitu sebagai berikut.

1) Pendekatan laba antara lain dengan menggunakan metode rasio tingkat laba

atau Price Earning Ratio (PER).

2) Pendekatan arus kas yaitu dengan menggunakan metode diskonto arus kas.

3) Pendekatan dividen antara lain dengan menggunakan metode pertumbuhan

dividen.

4) Pendekatan aktiva antara lain dengan menggunakan metode penilaian aktiva.

5) Pendekatan harga saham.

6) Pendekatan Economic Value Added (EVA)

Penelitian ini tidak membahas keseluruhan pendekatan di atas tetapi

mencoba meneliti nilai perusahaan dengan pendekatan harga saham dengan

menggunakan rasio Tobin’s Q karena perhitungan dengan menggunakan rasio

Tobin’s Q lebih rasional mengingat unsur-unsur kewajiban juga dimasukkan

sebagai dasar perhitungan. Tujuan utama perusahaan menurut theory of the firm

adalah untuk memaksimumkan kekayaan atau nilai perusahaan (value of the firm)

(Salvatore, 2005). Nilai perusahaan dalam beberapa literatur yang dihitung

berdasarkan harga saham disebut dengan beberapa istilah berikut ini.

1) Price to Book Value (PBV) yaitu perbandingan antara harga saham dengan

nilai buku saham.

32

2) Market to Book Ratio (MBR) yaitu perbandingan antara harga pasar saham

dengan nilai buku saham.

3) Market to Book Assets Ratio yaitu ekpektasi pasar tentang nilai dari peluang

investasi dan pertumbuhan perusahaan yang membandingkan antara nilai

pasar aset dengan nilai buku aset.

4) Market Value of Equity yaitu nilai pasar ekuitas perusahaan menurut

penilaian para pelaku pasar. Nilai pasar ekuitas adalah jumlah ekuitas (saham

beredar) dikali dengan harga per lembar ekuitas.

5) Enterprise Value (EV) yaitu nilai kapitalisasi market yang dihitung sebagai

nilai kapitalisasi pasar ditambah total kewajiban ditambah minority interest

dan saham preferen dikurangi total kas dan ekuivalen kas.

6) Price Earnings Ratio (PER) yaitu harga yang bersedia dibayar oleh pembeli

apabila perusahaan itu dijual.

2.1.5 Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan dapat dinyatakan dalam total aktiva, penjualan, dan

kapitalisasi pasar. Semakin besar total aktiva, maka semakin banyak modal yang

ditanam. Semakin banyak penjualan, maka semakin banyak perputaran uang.

Semakin besar kapitalisasi pasar, maka semakin dikenal dalam masyarakat.

Perusahaan yang memiliki total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan

tersebut telah mencapai tahap kedewasaan karena dalam tahap ini arus kas

perusahaan telah positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka

waktu yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan bahwa perusahaan relatif

33

lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan

total aset yang kecil.

Menurut Sujoko dan Soebiantoro (2007), ukuran perusahaan yang besar

menunjukkan perusahaan mengalami perkembangan sehingga investor akan

merespon positif dan nilai perusahaan akan meningkat. Hal tersebut terjadi karena

perusahaan-perusahaan yang memilki size yang cukup besar, umumnya sudah

berada pada tahap maturity dan akan memiliki prospek pembagian dividen yang

baik dimasa yang akan datang serta pangsa pasar relatif menunjukkan daya saing

perusahaan lebih tinggi dibanding pesaing utamanya. Investor akan merespon

positif sehingga nilai perusahaan akan meningkat. Pada umumnya perusahaan

dengan ukuran yang besar memilki total aktiva yang besar sehingga dapat menarik

investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut dan akhirnya

saham tersebut mampu bertahan pada harga yang tinggi. Pada umumnya

perusahaan dengan size kecil sangat riskan terhadap perubahan kondisi ekonomi

dan cenderung kurang menguntungkan dibandingkan dengan saham dengan size

besar.

Beberapa penelitian yang berkaitan dengan pengaruh ukuran perusahaan

terhadap nilai perusahaan, menunjukkan hasil yang konsisten yaitu berpengaruh

positif signifikan, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Sujoko dan

Soebinatoro (2007), dan Herawaty (2008) yang konsisten menemukan hasil

bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai

perusahaan, hal ini menunjukkan semakin besar perusahaan maka semakin baik

nilai perusahaannya. Semakin besar ukuran perusahaan, biasanya informasi yang

34

tersedia untuk investor dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan

investasi dalam saham perusahaan tersebut semakin banyak. Ukuran perusahaan

dapat diproksikan ke dalam logaritma natural dari total aktiva (Brigham and

Houston, 2001).

2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya

Penelitian mengenai pengaruh ERM disclosure pada nilai perusahaan

ataupun pengaruh IC disclosure pada nilai perusahaan masih sangat kurang

dilakukan terutama di Indonesia. Perbedaan kondisi pasar modal dan perbedaan

regulasi pada setiap lingkungan yang berbeda, perbedaan persepsi peneliti, serta

data yang digunakan dapat berdampak pada hasil penelitian yang berbeda.

Penelitian yang dilakukan oleh Hoyt et al. (2008) yang berjudul The Value

of Enterprise Risk Management Evidence from the U.S Insurance Industry,

bertujuan untuk mengukur tingkat penerapan program ERM pada perusahaan-

perusahaan tertentu dan kemudian menilai implikasi nilai dari program ini.

Penelitian ini berfokus pada perusahaan asuransi Amerika Serikat untuk

mengendalikan perbedaan yang mungkin timbul akibat perbedaan regulasi dan

pasar dalam industri. Sampel ini terdiri dari 275 perusahaan asuransi yang

beroperasi di setiap tahun selama periode 1995 sampai 2005. Peneliti

menggunakan maximum-likelihood treatment effects framework untuk model

pengujian determinan ERM dan efek ERM secara simultan terhadap nilai

perusahaan. Penelitian ini menggunakan analisis regresi dan menemukan hasil

bahwa penggunaan ERM berhubungan secara positif dengan ukuran perusahaan

dan kepemilikan institusional, dan berhubungan negatif dengan penggunaan

35

reasuransi dan leverage. Penelitian ini juga mengestimasi efek ERM terhadap

Tobin’s Q, yaitu proksi standar untuk nilai perusahaan. Peneliti menemukan

hubungan positif antara nilai perusahaan dan penggunaan ERM.

Tahir dan Razali (2011) meneliti tentang hubungan antara ERM dan nilai

perusahaan: bukti empiris dari perusahaan publik Malaysia yang terdaftar, dan

penelitian ini didasarkan pada 528 perusahaan tahun 2007. Data penelitian

diperoleh dari database OSIRIS. Tobin’s Q digunakan untuk mengukur nilai

perusahaan. Hubungan yang dihipotesiskan antara nilai perusahaan dan ERM

dianalisa dengan menggunakan analisis regresi OLS. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa model regresi adalah signifikan pada tingkat 1 persen dengan

adjusted R-squared sebesar 0,654. Hasil empiris melaporkan bahwa ERM

berhubungan positif dengan nilai perusahaan tetapi tidak signifikan.

Penelitian yang menghubungkan antara komisaris independen, komite

manajemen risiko, reputasi auditor, dan konsentrasi kepemilikan sebagai variabel

independen dengan pengungkapan ERM sebagai variabel dependen dilakukan

oleh Putri (2013). Metode pemilihan sampel yang digunakan yaitu purposive

sampling dari populasi yaitu perusahaan nonfinansial yang terdaftar di BEI tahun

2009-2011. Penerapan ERM diukur menggunakan indeks ERM. Teknik analisis

yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa secara simultan komisaris independen, komite manajemen

risiko, reputasi auditor, dan konsentrasi kepemilikan berpengaruh signifikan

terhadap pengungkapan ERM. Secara parsial komite manajemen risiko, reputasi

auditor, dan konsentrasi kepemilikan berpengaruh signifikan terhadap

36

pengungkapan ERM, sedangkan komisaris independen tidak berpengaruh

signifikan terhadap pengungkapan ERM.

Widarjo (2011) menguji pengaruh modal intelektual dan pengungkapan

modal intelektual pada nilai perusahaan dengan menggunakan sampel penelitian

yaitu perusahaan yang melakukan penawaran umum saham perdana pada tahun

1999 sampai dengan tahun 2007. Penentuan sampel dilakukan dengan

menggunakan metode purposive sampling. Teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini adalah data arsip. Salah satu bentuk pengumpulan data arsip adalah

data sekunder. Data yang dianalisis adalah prospektus perusahaan yang

melakukan penawaran umum saham perdana. Dalam penelitian ini data sekunder

diperoleh dari Pusat Data Bisnis dan Ekonomi (PDBE) Fakultas Ekonomi dan

Bisnis Universitas Gajah Mada. Analisis data yang digunakan untuk menguji

penelitian ini adalah regresi linear berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa pasar yaitu calon investor tidak memberikan nilai yang lebih tinggi

terhadap perusahaan yang memiliki modal intelektual yang tinggi. Belum adanya

standar dalam pengukuran modal intelektual kemungkinan menyebabkan pasar

belum mampu melakukan penilaian yang tepat atas modal intelektual yang

dimiliki perusahaan. Kesimpulan kedua adalah pengungkapan modal intelektual

berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan setelah penawaran umum saham

perdana. Semakin tinggi pengungkapan modal intelektual maka semakin tinggi

nilai perusahaan. Perluasan pengungkapan modal intelektual akan mengurangi

asimetri informasi antara pemilik lama dengan calon investor, sehingga membantu

37

calon investor dalam menilai saham perusahaan dan dapat melakukan analisis

yang tepat mengenai prospek perusahaan di masa yang akan datang.

Penelitian yang dilakukan oleh Boedi (2008), menguji perbedaan antara

pengungkapan IC pada jenis industri lama dan industri baru, serta menguji

pengaruh pengungkapan IC terhadap kapitalisasi pasar. Penelitian ini meneliti

perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Penelitian ini

menggunakan teknik purposive sampling didalam pengumpulan data. Perusahaan

yang bergerak dibidang komputer, semi konduktor, software dan elektronik akan

diklasifikasikan sebagai industri baru sedangkan jenis industri lainnya akan diberi

kode sebagai industri lama. Data penelitian ini adalah data sekunder yang

diperoleh dari laporan tahunan perusahaan yang menjadi sampel penelitian dari

tahun 2002 sampai tahun 2006. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji

beda independent sample t-test dan regresi berganda. Hasil pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa dari lima hipotesis yang diajukan ada empat hipotesis yang

diterima. Hipotesis yang diterima yaitu hipotesis 1a (terdapat perbedaan

pengungkapan IC antara jenis industri), hipotesis 1b (terdapat perbedaan

pengungkapan IC antara jenis industri lama dan industri baru), hipotesis 3

(terdapat pengaruh antara book value terhadap kapitalisasi pasar) dan hipotesis 4

(terdapat pengaruh antara Return on Asset (ROA) Difference terhadap kapitalisasi

pasar). Terdapat satu hipotesis yang ditolak yaitu hipotesis 2 mengenai pengaruh

pengungkapan IC terhadap kapitalisasi pasar. Berdasarkan hasil penelitian

tersebut dapat disimpulkan bahwa pengungkapan IC tidak mempengaruhi

besarnya nilai kapitalisasi pasar perusahaan, namun disisi lain ditemukan bahwa

38

pengungkapan IC dari tahun ketahun mengalami peningkatan yang signifikan dan

masing-masing industri juga mengalami hasil yang berbeda terutama untuk jenis

industri baru dan industri lama.

Jacub (2012) menguji pengaruh IC dan pengungkapannya terhadap nilai

perusahaan. Populasi penelitian adalah perusahaan farmasi yang terdaftar di BEI

tahun 2006-2010 yaitu sejumlah sembilan perusahaan. Pemilihan sampel

dilakukan dengan sensus karena seluruh populasi digunakan sebagai sampel.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa IC dan pengungkapan IC berpengaruh

posistif dan signifikan pada nilai perusahaan.

Pengembangan yang dijadikan acuan dalam penelitian ini yang

membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah

sebagai berikut.

1) Penelitian yang dilakukan oleh Tahir dan Razali (2011) meneliti tentang

hubungan antara ERM dan nilai perusahaan: bukti empiris dari perusahaan

publik Malaysia yang terdaftar, dan penelitian ini didasarkan pada 528

perusahaan tahun 2007. Proksi ERM yang digunakan dalam penelitian Tahir

dan Razali (2011) adalah dummy. Hoyt et al. (2008) yang meneliti tentang

implikasi nilai dari penerapan ERM, berfokus pada perusahaan asuransi

Amerika Serikat. Sampel penelitian terdiri dari 275 perusahaan asuransi yang

beroperasi di setiap tahun selama periode 1995 sampai 2005, dan proksi ERM

yang digunakan adalah dummy. Pada penelitian ini, variabel independen yang

dihubungkan dengan nilai perusahaan adalah ERM disclosure dan IC

39

disclosure karena penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat

pengaruh masing-masing variabel independen tersebut terhadap nilai

perusahaan melalui nilai Standarized Coefficient Betta pada masing-masing

hubungan tersebut. Sampel penelitian yang digunakan adalah perusahaan-

perusahaan nonkeuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)

selama periode tahun 2010-2014 (pengamatan dalam penelitian ini dilakukan

selama empat tahun). Penelitian ini berfokus pada perusahaan nonkeuangan

untuk mengendalikan perbedaan yang mungkin timbul akibat perbedaan

regulasi. Pada penelitian ini proksi ERM disclosure yang digunakan adalah

indeks ERM disclosure. Proksi ini didasarkan pada proksi yang digunakan

oleh Meizaroh dan Lucyanda (2011), yaitu perhitungan item-item

pengungkapan menggunakan pendekatan dikotomi. Setiap item ERM yang

diungkapkan diberi nilai 1, dan 0 apabila tidak diungkapkan. Setiap item

akan dijumlahkan untuk memperoleh keseluruhan indeks ERM disclosure

masing-masing perusahaan. Penelitian ini menggunakan ukuran perusahaan

sebagai variabel kontrol dengan tujuan untuk mengendalikan agar hubungan

yang terjadi pada variabel dependen tersebut murni dipengaruhi oleh variabel

independen bukan oleh faktor-faktor lain.

2) Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2013), menghubungkan antara

komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor, dan

konsentrasi kepemilikan sebagai variabel independen dengan pengungkapan

ERM sebagai variabel dependen. Metode pemilihan sampel yang digunakan

yaitu purposive sampling dari populasi yaitu perusahaan nonfinansial yang

40

terdaftar di BEI tahun 2009-2011. Pada penelitian ini, ERM disclosure dan IC

disclosure digunakan sebagai variabel independen yang diuji pengaruhnya

pada nilai perusahaan. Sampel penelitian adalah perusahaan-perusahaan

nonkeuangan yang terdaftar di BEI selama periode tahun 2010-2014.

Penelitian ini berfokus pada perusahaan nonkeuangan untuk mengendalikan

perbedaan yang mungkin timbul akibat perbedaan regulasi. Penelitian ini

menggunakan ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol.

3) Widarjo (2011) menguji pengaruh modal intelektual dan pengungkapan

modal intelektual pada nilai perusahaan dengan menggunakan sampel

penelitian yaitu perusahaan yang melakukan penawaran umum saham

perdana pada tahun 1999 sampai 2007. Variabel dependen dalam penelitian

Widarjo (2011) adalah nilai perusahaan, yaitu nilai pasar perusahaan pada

hari pertama di pasar sekunder (initial market value). Nilai dari variabel ini

diperoleh dengan mengalikan jumlah seluruh saham yang ditempatkan dan

disetor penuh dengan harga penutupan per lembar saham pada hari pertama

pasar sekunder (Hartono, 2006). Jacub (2012) menggunakan perusahaan

farmasi yang terdaftar di BEI tahun 2006-2010 sebagai populasi penelitian.

Pemilihan sampel dilakukan dengan sensus karena seluruh populasi

digunakan sebagai sampel. Boedi (2008) menguji perbedaan antara

pengungkapan IC pada jenis industri lama dan industri baru, serta menguji

pengaruh pengungkapan IC terhadap kapitalisasi pasar. Kapitalisasi pasar

diukur dengan mengalikan harga pasar saham dengan jumlah saham yang

beredar. Penelitian yang dilakukan oleh Boedi (2008), meneliti perusahaan-

41

perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dari tahun 2002 sampai 2006

yang terbagi menjadi jenis industri lama dan industri baru. Pada penelitian ini,

proksi dari nilai perusahaan yang digunakan adalah Tobin’s Q yang

membandingkan antara Market Value of all Outstanding Shares (MVS)

ditambah nilai pasar hutang (debt) dengan total aset. Pada penelitian ini,

sampel penelitian adalah perusahaan-perusahaan nonkeuangan yang terdaftar

di BEI selama periode tahun 2010-2014. Penelitian ini berfokus pada

perusahaan nonkeuangan untuk mengendalikan perbedaan yang mungkin

timbul akibat perbedaan regulasi. Penelitian ini menggunakan ukuran

perusahaan sebagai variabel kontrol.