bab ii sejarah hijaz (tanah suci mekah dan madinah ...digilib.uinsby.ac.id/1245/6/bab 2.pdf19 bab ii...

33
19 BAB II SEJARAH HIJAZ (TANAH SUCI MEKAH DAN MADINAH) SEBELUM ABAD KE-19 A. Keadaan Politik dan Sistem Pemerintahan Hijaz Sebelum Abad Ke-19 Untuk lebih memahami sejarah Hijaz sebelum abad ke-19, maka harus ditelusuri terlebih dahulu sejarah sebelumnya, terutama tentang keterkaitannya dengan imperium Turki ‘Uthma>ni> yang sempat menguasai hampir seluruh wilayah Semenanjung Arab sejak tahun 1517 M yang juga dipercaya memiliki kekuatan militer terbesar di dunia ketika itu. 1 Turki ‘Uthma>ni> mulai menguasai sebagian besar wilayah Arab seperti Mesir dan daerah-daerah yang saat ini menjadi Libanon, Syiria, dan Palestina dari tahun 1517 M melalui penaklukan-penaklukan luar biasa yang dilakukan oleh Sultan Sali>m I (berkuasa 1512-1520 M), yang terus bertahan sampai dengan awal abad ke-20. Di sini, sejarah kekhalifahan Arab dan dinasti-dinasti muslim yang didirikan pada abad pertengahan di atas reruntuhan kerajaan Arab telah sampai pada titik akhir, dan sebaliknya sejarah modern Kerajaan Turki ‘Uthma>ni> telah dimulai. 2 Sejak saat itu Hijaz menjadi salah satu bagian dari wilayah propinsi Mesir. Dibandingkan dengan propinsi-propinsi ‘Uthma>ni> di Eropa Timur dan Asia Kecil, negeri-negeri Arab merupakan wilayah Imperium Turki ‘Uthma>ni> yang kurang mendapat perhatian serius dalam bidang politik oleh pemerintah pusat di Istambul. Hal ini karena memang wilayah Arab bukanlah wilayah perang yang membutuhkan 1 Sir John Glubb, A Short History Of The Arab Peoples, (New York: Dorset Press, 1988), 231. 2 Philip K. Hitti, History Of The Arabs: From Earliest Times To The Present , Terjemah R. Cecep Lukman, dkk. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), 902.

Upload: dodieu

Post on 08-Aug-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

19

BAB II

SEJARAH HIJAZ (TANAH SUCI MEKAH DAN MADINAH)

SEBELUM ABAD KE-19

A. Keadaan Politik dan Sistem Pemerintahan Hijaz Sebelum Abad Ke-19

Untuk lebih memahami sejarah Hijaz sebelum abad ke-19, maka harus

ditelusuri terlebih dahulu sejarah sebelumnya, terutama tentang keterkaitannya

dengan imperium Turki ‘Uthma>ni> yang sempat menguasai hampir seluruh wilayah

Semenanjung Arab sejak tahun 1517 M yang juga dipercaya memiliki kekuatan

militer terbesar di dunia ketika itu.1

Turki ‘Uthma>ni> mulai menguasai sebagian besar wilayah Arab seperti

Mesir dan daerah-daerah yang saat ini menjadi Libanon, Syiria, dan Palestina dari

tahun 1517 M melalui penaklukan-penaklukan luar biasa yang dilakukan oleh

Sultan Sali>m I (berkuasa 1512-1520 M), yang terus bertahan sampai dengan awal

abad ke-20. Di sini, sejarah kekhalifahan Arab dan dinasti-dinasti muslim yang

didirikan pada abad pertengahan di atas reruntuhan kerajaan Arab telah sampai pada

titik akhir, dan sebaliknya sejarah modern Kerajaan Turki ‘Uthma>ni> telah dimulai.2

Sejak saat itu Hijaz menjadi salah satu bagian dari wilayah propinsi Mesir.

Dibandingkan dengan propinsi-propinsi ‘Uthma>ni> di Eropa Timur dan Asia Kecil,

negeri-negeri Arab merupakan wilayah Imperium Turki ‘Uthma>ni> yang kurang

mendapat perhatian serius dalam bidang politik oleh pemerintah pusat di Istambul.

Hal ini karena memang wilayah Arab bukanlah wilayah perang yang membutuhkan

1 Sir John Glubb, A Short History Of The Arab Peoples, (New York: Dorset Press, 1988), 231. 2 Philip K. Hitti, History Of The Arabs: From Earliest Times To The Present, Terjemah R. Cecep

Lukman, dkk. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), 902.

20

panglima-panglima tentara terbaik. Oleh karena itu tidak heran apabila negeri-

negeri Arab lebih terpuruk dibandingkan dengan wilayah-wilayah Islam di bagian

dunia lainnya. Hijaz, secara politik, nasibnya lebih terpuruk lagi, karena hanya

merupakan satu bagian kecil dari wilayah-wilayah propinsi Mesir. Padahal Hijaz

pernah meraih supremasi politik atas wilayah Islam lainnya pada era awal Islam.3

Pada masa Rasulullah SAW, Hijaz dijadikan sebagai pusat kegiatan politik

dan keagamaan Islam.4 Setelah peristiwa Hijrah Rasulullah, Madinah menjelma

menjadi semacam pusat pemerintahan dimana Rasulullah SAW dan sebagian besar

sahabat bertempat tinggal dan mengatur urusan-urusan umat Islam, sedangkan

Mekah mendapatkan perhatian yang luar biasa dari para elit Islam ketika itu

sekaligus menjadi salah satu kota spiritual Islam terpenting selain Madinah.

Kemuliaan yang telah disifatkan Rasulullah terhadap kota Madinah yang menurut

beliau melebihi kemulian negeri Yaman, Syam, dan Irak terekam jelas dalam

sebuah hadis s}ah}i>h} yang diriwayatkan oleh Ima>m al-Bukha>ri>. Hadis tersebut adalah

bukti tak terbantahkan betapa pentingnya posisi kedua kota tersebut bagi umat

Islam.

ث نا بنه الله عبده عن أبهيهه، ن ع ع روة ، بنه ههشام عن مالهك، أخب رنا: ي وس فه بنه الله عبد حدي ز هي أبه بنه س فيانه عن ز ب ي ، وس عليهه الل صلى الله رس ول عت سه : قال أنه عنه الل رضه ل به ل ون ف يتحم ي بهسون، ق وم ف يأته اليمن ، ت فتح : » ي ق ول ه ، ومن أهلهي ر وامل دهي نة أطاع خي

يتحمل ون ف ي بهسون، ق وم ف يأته الشام ، وت فتح . ي علم ون كان وا لو ل ه ، ومن بهأهلهي أطاع

3 Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci: Mekah dan Madinah 1800-1925, (Jakarta:

Logos Wacana Ilmu, 1999), 22. 4 Sir John Glubb, A Short History, 42.

21

ر وامل دهي نة ، وت فتح . ي علم ون كان وا لو ل خي بهأهلهي ف يتحمل ون ي بهسون، ق وم ف يأته العهراق ه، ومن ر وامل دهي نة أطاع 5«.ي علم ون كان وا لو ل خي

“Diriwayatkan kepada kami dari Abdullah bin Yu>suf: diriwayatkan

kepada kami dari Ma>lik, dari Hisha>m bin Urwah, dari bapaknya, dari

Abdullah bin Zubayr, dari Sufya>n bin Abi> Zuhayr ra, dia berkata: Aku

telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Kelak Yaman akan

ditaklukkan, para kaum akan datang dan menyeru kepada yang lain untuk

datang, merekapun mengajak sanak keluarganya dan dari mereka ada yang

menjawabnya, dan sesungguhnya kota Madinah tetap lebih baik apabila

mereka mengetahui. Kelak Syam akan ditaklukkan, para kaum akan

datang dan menyeru kepada yang lain untuk datang, merekapun mengajak

sanak keluarganya dan dari mereka ada yang menjawabnya, dan

sesungguhnya kota Madinah tetap lebih baik apabila mereka mengetahui.

Kelak Irak akan ditaklukkan, para kaum akan datang dan menyeru kepada

yang lain untuk datang, merekapun mengajak sanak keluarganya dan dari

mereka ada yang menjawabnya, dan sesungguhnya kota Madinah tetap

lebih baik apabila mereka mengetahui.”

Berdasarkan tuntunan wahyu dari Allah SWT, dengan berpusat di kota

Madinah, Rasulullah SAW telah berhasil membentuk sebuah pemerintahan yang

berdasarkan atas pandangan kenabiannya. Dalam waktu yang cukup singkat,

pemerintahan lokal Madinah telah mampu bersaing dengan kaum Quraysh Mekah

bahkan kemudian menaklukkannya dalam peristiwa Fath}u Makkah. Tidak cukup

sampai disini, pemerintahan Islam Madinah bahkan telah mengungguli kekaisaran

Byzantium dan Sasania.6 Fakta di atas jelas menunjukkan betapa pentingnya posisi

Hijaz pada masa Rasulullah SAW.

5 Abi> ‘Abdullah Muh}ammad bin Isma>’i>l ibn Ibra>hi>m bin al-Mughi>rah al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 1 (Beiru>t: Da>r al-Kotob al-‘Ilmiyyah, 2009), 462. 6 Michael H. Hart, The 100: A Ranking of The Most Influential Persons in History, Terjemah Ken

Ndaru dan Nurul Islam, (Jakarta: Penerbit Noura, 2009), 7.

22

Pada masa Khulafa>’ al-Ra>shidu>n, sebagai penerus perjuangan Rasulullah,

Madinah tetap menjadi pusat pemerintahan Islam, bahkan lebih dari itu, Madinah

juga menjadi kota terpenting dalam pembentukan awal peradaban Islam. Khali>fah

pertama sebagai pemimpin Madinah adalah Abu> Bakr (memimpin 632-634 M).

setelah dua tahun memimpin, Abu> Bakr telah memantapkan kepemimpinan

Madinah dalam sebuah masyarakat tunggal yang mempersatukan seluruh Arabia.7

Tidak berbeda dengan kedua pendahulunya, masa kepemimpinan Umar bin

al-Khat}t}a>b (634-644 M) tetap menjadikan Madinah sebagai pusat pemerintahan

Islam. Dalam sepuluh tahun pemerintahan Ami>r al-Mu’mini>n Umar bin al-

Khat}t}a>b, penaklukan paling penting umat Islam di Madinah terjadi. Syiria dan

Palestina yang saat itu menjadi bagian dari Kerajaan Byzantium ditaklukkan dalam

peristiwa Yarmuk (636 M). Dalam peperangan itu, pasukan Islam secara gemilang

menang atas pasukan Byzantium. Selanjutnya, dalam peperangan Qadisya (637 M),

Irak juga dapat direbut dari tangan kerajaan Persia Sasania. Pada 641 M, seluruh

Irak berada di bawah kekuasaan Islam. Belum cukup sampai disitu, dalam

peperangan Nehavend umat Islam mendapatkan kemenangan yang gemilang dari

kerajaan Persia.

Saat ‘Umar wafat pada 644 M, sebagian besar bagian barat Iran juga telah

jatuh ke dalam kekuasaan Islam yang notabenenya berpusat di kota Madinah.8

Dengan penaklukan-penaklukan tersebut, posisi Madinah otomatis menjadi

7 Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011), 29. 8 Michael H. Hart, The 100, 286.

23

semakin kuat dan sentral, baik dalam bidang politik, ekonomi, soisal maupun

keagamaan.

Sepeninggal ‘Umar, berturut-turut ‘Uthma>n bin ‘Affa>n dan ‘Ali>> bin Abi>

T{a>lib terpilih menjadi khali>fah, yaitu pada (644-656 M) kemudian (656-661 M).

Pada rentang waktu antara 644 M sampai 661 M, Madinah tetap menjadi pusat

politik dan pemerintahan umat Islam dan serangkaian futu>h}a>t penting terjadi. Pada

era ‘Uthma>n, Tripoli, kepulauan Siprus, Armenia, Kaukasia, Persia Timur, dan

India telah tunduk di bawah panji-panji Islam Madinah. Dalam pemerintahan ‘Ali>>,

muncul kelompok yang sangat fanatik kepada ‘Ali>> ibn Abi> T{a>lib (Shi>’ah ‘Ali>)

sebagai embrio dari kelompok Syi’ah yang dikemudian hari memiliki peran yang

besar dalam arah perjalanan sejarah Islam.9

Peralihan kekuasaan dari Khulafa>’ al-Ra>shidu>n kepada Bani ‘Umayyah

pada 661 M menyebabkan terjadinya perpindahan pusat pemerintahan Islam dari

kota Madinah di Hijaz ke Damaskus di Syiria sekaligus dimulainya sebuah khila>fah

yang berbasis pada klan (keluarga). Khila>fah Bani ‘Umayyah memang merupakan

negara monarki-patrimonial pertama di dunia Islam yang terinspirasi dari kerajaan

Byzantium. Dipilihnya Damaskus sebagai pusat pemerintahan dapat dimaknai

bahwa dalam menjalankan pemerintahannya, Bani ‘Umayyah lebih memilih model

kekaisaran Byzantium yang diramu dengan tradisi khila>fah awal. Memang model

Byzantium begitu menonjol dalam sistem suksesi (patrimonial) dan dalam

kebijakan-kebijakan kenegaraan.10 Hal ini wajar karena selama hampir 500 tahun,

9 Syamsul Bakri, Peta Sejarah, 30-31. 10 Nourouzzaman Shiddiqi, Pengantar Sejarah Muslim, (Yogyakarta: Mentarai Masa, 1989), 72.

24

Damaskus merupakan ibukota Propinsi Syiria di bawah kekaisaran Byzantium.

Maka wajar jika kebudayaan Byzantium telah meresap dalam kebudayaan

masyarakat Damaskus yang selanjutnya juga mempengaruhi gaya kepemimpinan

Bani ‘Umayyah. Dengan perpindahan ini, tentu saja Hijaz secara otomatis berubah

hanya sebagai daerah vassal (t}abi> ah) dan pemerintahannya terkait (mengikuti)

kebijakan-kebijakan politik Damaskus.11

Tentu perpindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus ini

menimbulkan gejolak politik dan kekecewaan yang mendalam bagi para umat Islam

di Madinah khususnya. Namun kekecewaan ini dapat diredam oleh Mu’a>wiyah bin

Abi> Sufya>n, Khali>fah pertama Bani ‘Umayyah yang berkuasa pada tahun 661-680

M, dengan mengirimkan hadiah-hadiah yang sangat besar yang didedikasikan

kepada para Ulama dan penduduk Hijaz dengan tujuan agar mereka loyal kepada

pemerintahan baru Islam di Damaskus. Untuk itu, Mu’a>wiyah mengutus orang

untuk menemui tokoh-tokoh Hijaz, seperti Abdullah bin ‘Abba>s, Abdullah bin

Ja’far, ‘Abdullah bin Zubayr, dan ‘Abdullah bin ‘Uthma>n dalam rangka

menghormati kedudukan dan memenuhi kebutuhan mereka, dan membanjiri hadiah

bagi mereka dalam jumlah yang sangat besar.12

Namun hal ini tidak berlangsung lama. Ketika Yazi>d bin Mu’a>wiyah

diangkat sebagai Khali>fah menggantikan ayahnya, pemberontakan penduduk Hijaz

menuntut dikembalikannya pusat pemerintahan Islam ke Madinah yang dipimpin

oleh Abdullah bin Zubayr atau Ibn Zubayr meledak. Ibn Zubayr merupakan

11 Syamsul Bakri, Peta Sejarah, 37. 12 Ahmad al-Siba>’i>, Ta>ri>kh Mekah, Vol. 1. (Mekah: Maktabah al-S{afa>, 1420), 111.

25

anggota dari Bani As’ad. Sebagai orang muda, Abdullah berpartisipasi secara aktif

dalam berbagai kampanye peperangan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad,

seperti Pertempuran Badar dan Pertempuran Uhud, malah di Uhud, dia termasuk

salah seorang yang melindungi Muhammad pada saat kekalahan pihak muslim,

dimana sahabat-sahabat yang lain melarikan diri.13

Ibn Zubayr tidak aktif dalam politik selama masa kekuasaan Mu’a>wiyah,

tetapi pada masa Yazi>d I, ia menolak untuk berbaiat terhadap Khali>fah yang baru

tersebut. Setelah kematian H{usayn bin ‘Ali> > di Pertempuran Karbala, Ibn Zubayr

kembali ke Hijaz, dan menyatakan dirinya sebagai Khali>fah yang sebenarnya,

kemudian dia mulai membentuk pasukan. Secepatnya Ibn Zubayr

mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan mengirim seorang gubernur ke Kufah.

Segera, Ibn Zubayr memantapkan keuasaannya di Irak, Selatan Arabia dan sebagian

besar Syiria, serta sebagian Mesir. Ibn Zubayr memperoleh keuntungan yang besar

dari ketidak-puasan rakyat terhadap kekuasaan Bani ‘Umayyah.14

Tokoh lain yang tidak mengakui pengangkatan Yazi>d bin Mu’a>wiyah

adalah H{usayn bin ‘Ali>>. Bahkan kaum Syi’ah di Irak mengangkat H{usayn sebagai

Khali>fah sehingga terjadi pertempuran di Karbala yang menewaskan H{usayn bin

‘Ali>>. Diriwayatkan, kepala H{usayn dipenggal dan dibawa tentara Bani ‘Umayyah

ke Damaskus untuk menyenangkan Khali>fah Yazi>d kala itu, sedangkan tubuhnya

13 Philip K. Hitti, History Of The Arabs, 146. 14 Ahmad al-Siba>’i>, Ta>ri>kh Mekah, 81.

26

dikubur di Karbala.15 Peristiwa ini diabadikan oleh kaum Syi’ah di seluruh dunia

hingga saat ini.

Yazi>d mencoba untuk menghentikan pemberontakan Ibn Zubayr dengan

menyerbu Mekah pada tahun 682 M, ia mengirim pasukan yang dipimpin oleh

H{usayn bin Numayr. Pada saat pengepungan Mekah, H{usayn menggunakan ketapel

yang berakibat pada hancurnya Ka'bah. Tetapi karena mendengar kematian Yazi>d

yang tiba-tiba, maka H{usayn bin Numayr menghentikan pengepungan tersebut dan

kembali ke Damaskus. Maka Ibn Zubayr dapat terbebaskan dan ia membangun

kembali Ka'bah yang berantakan karena serbuan pasukan ‘Umayyah. Kematian

Yazi>d yang tiba-tiba ini mengakibatkan pula makin kacaunya kekuasaan Bani

‘Umayyah.16 Untuk beberapa tahun, Hijaz digoncang pemberontakan Ibn Zubayr

yang akhirnya dapat ditaklukan oleh tentara Khali>fah ‘Abd al-Ma>lik bin Marwa>n

(berkuasa 692-705 M) di bawah komando al-Hajja>j.17

Gelombang ketidak-puasan terhadap Damaskus semakin besar di

penghujung era Bani ‘Umayyah, yaitu pada masa Marwa>n bin Muhammad,

Khali>fah terakhir Bani ‘Umayyah. Hal ini disebabkan semakin menguatnya pihak

oposisi (Bani ‘Abba>s) yang ditopang oleh keluarga Bani Hashi>m dan para

pendukung ‘Ali>> bin Abi> T{a>lib di Hijaz. Pemberontakan ini menyebabkan

tergulingnya Khali>fah Marwa>n bin Muhammad sekaligus menandakan berakhirnya

kebesaran Bani ‘Umayyah dan dimulainya era ‘Abba>siyah.18

15 Hasan Ibrahim Hasan, Ta>kh al-Isla>mi> al-Siya>si> wa al-Di>ni> wa Thaqafi> wa al-Ijtima>’i > (Kairo: Da>r

al-Nahd}ah, 1979), 69. 16 O.Hashem, Muhammad Sang Nabi: Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail,

(Jakarta: Ufuk Press, 2006), 124. 17 Syamsul Bakri, Peta Sejarah, 38. 18 Ibid., 46.

27

Setelah ‘Abba>siyah berkuasa (750-1258 M) tidak secara otomatis para

kelompok ‘Alawiyyi>n (keturunan ‘Ali>> bin Abi> T{a>lib) di Hijaz yang notabenenya

merupakan pendukung ‘Abba>siyyah mendapatkan kembali supremasi politiknya

yang terampas selama periode ‘Umayyah. Setelah Bani ‘Abba>s memantapkan

kekuasaannya terhadap dunia Islam, mereka dengan segera memindahkan ibukota

pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad dan berbalik memusuhi kaum ‘Alawiyyi>n

dan kelompok Syi’ah yang telah ikut membantu dalam menggulingkan Bani

‘Umayyah.

Kebijakan ini mengundang gejolak politik karena ketidak-puasan terhadap

Baghdad. Walaupun hal itu tidak mengubah sikap dermawan pemerintah Baghdad

terhadap penduduk Hijaz sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Bani

‘Umayyah demi merebut simpati mereka. Persaingan politik antara ‘Abba>siyyah

dan golongan ‘Alawiyyi>n di Mekah ini menyebabkan Mekah sejak itu hampir-

hampir tidak pernah mengalami stabilitas politik.19 Gerakan politik ‘Alawiyyi>n

diantaranya dilakukan oleh Muhammad dan Ibrahim. Keduanya adalah putra

‘Abdullah bin H{asan bin ‘Ali>> bin Abi> T{alib yang berkedudukan di Hijaz. Namun

akhirnya pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Bani ‘Abba>siyyah.20

Pada masa Bani ‘Abba>siyyah di Baghdad ini, Khali>fah menjalankan

pemerintahan langsung dengan menjadikan Hijaz, Yaman, dan Yamamah dihimpun

menjadi satu propinsi dengan menempatkan gubernurnya di Mekah. Dengan

19 Ah}mad Mah}mu>d dan Ibra>hi>m Shari>f, al-‘A>lam al-Isla>mi>, (Mesir: Da>r al-Ma’a>rif, t.th), 408-410. 20 Syamsul Bakri, Peta Sejarah, 77.

28

kebijakan ini kemerdekaan berpolitik penduduk Hijaz dapat dikatakan hampir tidak

ada sama sekali karena seluruh kebijakan harus sesuai dengan kehendak Baghdad.21

Pada masa ‘Abba>siyyah ini Mekah diserbu oleh kelompok Syi’ah

Qaramit}ah, salah satu sempalan Syi’ah yang selanjutnya berkembang menjadi suatu

gerakan yang paling jahat yang pernah ada dalam sejarah politik Islam.22 Di bawah

komando Abu> T}a>hir Sulayma>n, kelompok ini menebarkan ketakutan dan

memotong rute-rute haji ke Mekah. Kejahatan mereka mencapai puncaknya pada

tahun 930 M dengan menyerang Mekah, berhasil membawa kabur H{ajar Aswad,23

membunuh lebih dari 30.000 jamaah haji di Mekah dan melemparkan sebagian

mayat mereka ke dalam sumur Zamzam. Setelah menghilang selama kurang lebih

dua puluh tiga tahun, H{ajar Aswad berhasil dibawa pulang kembali ke Mekah pada

tahun 951 M atas perintah penguasa Dinasti Fa>t{imiyyah yaitu al-Mas}u>r.24

Sedangkan di pihak lain, Bani Ikhshidiyyah (935-969 M) juga berusaha

menguasai Mekah karena melihat bahwa kota tersebut memiliki arti penting bagi

orang-orang Islam secara keseluruhan. Dinasti ini berakhir tahun 969 M setelah

wilayahnya dikuasai oleh Dinasti Syi’ah Fa>t{imiyyah.25 Diantara wilayah bekas

kekuasaan Bani Ikhshidiyyah yang berhasil dikuasai Dinasti Fa>t{imiyyah adalah

Mesir. Di tangan mereka pula, kota Kairo dibangun sebagai ibukota Fa>t{imiyyah

21 Ahmad al-Siba>’i>, Ta>ri>kh Mekah, 149. 22 Syi’ah Qaramithah adalah bagian dari Isma>’iliyyah yang terkenal ghula>h dalam ajaran-ajarannya.

Asy-Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, Vol.

I (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), 169. 23 Imam Ghazali Said, Praktik Manasik Haji & Umrah Rasulullah: Sejarah dan Ragam

Pemahamannya di Kalangan Kaum Muslim Indonesia (Surabaya: Diantama, 2012), 298. 24 Philip K. Hitti, History Of The Arabs, 563-564. 25 Syamsul Bakri, Peta Sejarah, 85,

29

yang baru, di samping membangun masjid besar al-Azhar sebagai embrio dari

Universitas Al-Azhar, salah satu universitas Islam tertua di dunia.26

Dengan berdirinya Dinasti Fa>t}imiyyah (909-1171 M) inilah perjuangan

kelompok ‘Alawiyyi>n memperlihatkan hasil nyata dengan keberhasilan mereka

menguasai negeri-negeri penting yang sebelumnya tunduk pada Baghdad.

Sedangkan pemerintahan eksekutif di Baghdad sendiri telah jatuh di tangan Dinasti

Buwaihi (945-1055 M).27 Saat itu peran Khali>fah ‘Abba>siyyah tidak lebih dari

sekedar simbol penerus tradisi Rasul. Pada waktu bersamaan, di Hijaz kelompok

‘Alawiyyi>n juga berhasil mendirikan pemerintahan, yang pimpinan tertingginya

adalah Ja’far bin Muhammad yang kelak akan menurunkan para Shari>f, sebutan

untuk penguasa Mekkah, menggantikan posisi pemerintahan Bani Ikhshidiyyah

sebelumnya yang telah dikalahkan oleh Fa>t}imiyyah. Inilah awal berlakunya Niz}a>m

al-Ashra>f (system pemerintahan para Shari>f) di Hijaz, dengan Mekah sebagai

pusatnya.28

Untuk menegakan pemerintahan di Mekah tersebut, Ja’far mendapat

bantuan dari Dinsti Fa>t}imiyyah, dengan syarat harus tunduk kepada Fa>t}imiyyah.

Untuk selanjutnya, penguasa Fa>t}imiyyah menempatkan perwakilannya di Mekah.

Sejak itu sampai akhir abad ke-18, Hijaz dalam sebagian besar sejarahnya menjadi

negeri taklukan dari dinasti-dinasti yang berkuasa di Mesir.29

26 Ibid., 91. 27 Syamsul Bakri, Peta Sejarah, 86. 28 Ahmad al-Siba>’i>, Ta>ri>kh Mekah, 212. 29 Badri Yatim, Sejarah Sosial, 26.

30

B. Niz}a>m al-Ashra>f di Hijaz

Yang dimaksudkan dengan Niz}a>m al-Ashra>f (pemerintahan para Shari>f)

adalah pemerintahan yang dipegang oleh keturunan para Shari>f, yaitu keturunan

H{asan ibn Ali> ibn Abi> T{a>lib yang pertama kali ditegakkan oleh Ja’far ibn

Muhammad bin H{usayn bin Muhammad al-Sya>’ir pada tahun 968 M. Dalam

sejarahnya, Niz}a>m al-Ashra>f berganti keturunan sebanyak empat kali, dimulai dari

keturunan Ja’far ibn Muhamamd ibn al-H{usayn, kemudian pindah kepada

keturunan Sulayma>n al-Jun, lalu berganti lagi kepada keturunan Abu> Ha>shim

Muhammad ibn Ja’far, dan terakhir adalah keturunan Qata>dah.30

Berdasarkan pada empat kali perpindahan ini kemudian dikatakan bahwa

Niz}a>m al-Ashra>f yang berkuasa di Hijaz selama kurang lebih sepuluh abad terdiri

dari empat t}abaqah yang memimpin secara bergantian, yaitu: Pertama, T}abaqah

keturunan Ja’far ibn Muhammad ibn al-H{usayn (968-1063 M); Kedua, T}abaqah

keturuna Sulayma>n al-Jun yang kemudian disebut sebagai Sulaymaniyyu>n (1063-

1065 M); Ketiga, T}abaqah keturunan Abu> Ha>shim Muhammad ibn Ja’far yang

disebut juga dengan Ha>shimiyyah atau Hawa>shim (1065-1201 M); dan Keempat,

T}abaqah keturunan Qata>dah yang berkuasa dari tahun 1201 M sampai berakhirnya

model pemerintahan Niz}a>m al-Ashra>f ini yaitu pada tahun 1925 M.

Kekuasaan atas Mekah berada di tangan keturunan Ja’far ibn Muhammad

ibn al-H{usayn sebagai dinasti pertama Niz}a>m al-Ashra>f lebih kurang selama 100

tahun. Setelah itu, kekuasaannya berpindah kepada keturunan paman-pamannya

30 Bernad Lewis (ed.), The Cambridge History of Islam, Vol.1, (London: Cambridge University

Press, 1970), 210.

31

dari golongan Sulaymaniyyu>n, mereka adalah keturunan dari Sulayma>n al-Jun,

yang merupakan dinasti kedua pemerintah para Shari>f. Akan tetapi orang-orang

Fa>t}imiyyah merasa bahwa orang-orang Sulaymaniyyu>n cenderung tidak sejalan

dengannya, maka penguasa Fa>t}imiyyah kemudian mengutus perwaliaanya yang

berkedudukan di Yaman untuk menyerbu Mekah, mencopot kekuasaan dari

golongan Sulaymaniyyu>n dan menyerahkannya kepada dinasti ketiga Niz}a>m al-

Ashra>f yaitu keturunan dari Abu> Ha>shim Muhammad ibn Ja’far. Kekuasaan dinasti

ini berlangsung sampai dengan tahun 1201 M atau selama satu setengah abad.31

Di penghujung masa Ayyu>biyyah, terjadi pengantian dinasti para Shari>f

untuk yang terakhir kali. Pada tahun 1201 M dinasti ketiga jatuh dan muncul dinasti

keempat dari keturuna Qata>dah. Hal itu terjadi setelah Qata>dah ibn Idri>s dapat

mengalahkan penguasa Mekah sebelumnya. Tidak berselang lama, kekuasaan

Ayyu>biyyah di Mesir berakhir, yaitu pada tahun 1250 M dan kemudian digantikan

oleh dinasti Mama>lik Atra>k (Mama>lik Bah}ri>). Setelah itu, kekuasaan ‘Abba>siyyah

di Baghdad jatuh akibat serangan Hulagu Khan dari Mongolia pada tahun 1258 M.

Sebagaimana dinasti Fa>t}imiyyah dan Ayyu>biyyah, Dinasti Mama>lik Atra>k

juga meluaskan wilayah kekuasaannya sampai ke negeri Hijaz. Sultan Bayba>r

(1260-1277 M), Sultan termasyhur dalam sejarah Dinasti Mama>lik, menjalin

hubungan dengan Shari>f Mekah waktu itu, dengan memberi mereka hadiah yang

besar. Membacakan doa bagi penguasa Mama>lik Atra>k di Mesir dalam mimbar

Masjidil Haram merupakan sebuah tanda kepatuhan Hijaz terhadap Mesir. Posisi

dan pengaruh Mama>lik Atra>k semakin kuat setelah berhasil mengalahkan tentara

31 Ahmad al-Siba>’i>, Ta>ri>kh Mekah, 213.

32

Mongol di ‘Ain Jalut pada tahun 1260 M. Kemenangan itu menjadikan Mesir

sebagai pemimpin negeri-negeri di Semenanjung Arab dan dunia Islam secara

umum. Hal itu diperkuat dengan pindahnya Khali>fah ‘Abba>siyyah dari Baghdad ke

Mesir.32

Mengenai kebijakan Sultan Mama>lik terhadap Hijaz, di samping mereka

mempertahankan para Shari>f sebagai penguasa di Hijaz, penguasa Mama>lik Atra>k

juga meresmikan penguasa baru, mengutus para qa>d}i>, khatib, imam, muazin, serta

mengirim sajadah dan kebutuhan-kebutuhan Masjidil Haram setiap tahunnya. Di

samping itu, Mama>lik Atra>k juga menempatkan bala tentaranya di Mekah untuk

mengamankan kekuasaannya di negeri Hijaz serta untuk menjamin kelangsungan

kekuasaannya di negeri itu.

Setelah Mama>lik Atra>k berakhir dan digantikan oleh Mama>lik Sirkasia

(Mama>lik Burji>) di Mesir, Shari>f Mekah, Ahmad bin ‘Ajlan memandang perlunya

menjalin hubungan dengan pemerintahan baru di Mesir dan mengharapkan agar

hubungan pemerintahan Shari>f Mekah dengan Mama>lik Burji> di Mesir tetap seperti

hubungan Mesir-Mekah sebelumnya. Untuk itu Shari>f Mekah mengirim utusannya

dengan membawa upeti dan hadiah-hadiah lainnya yang kemudian mendapatkan

jawaban positif dari penguasa Mesir tersebut.

Namun, Negara Mama>lik sendiri, sejak diperintah Mama>lik Sirkasia,

memperlihatkan tanda-tanda kemunduran. Menjelang akhir kekuasaan, Mama>lik

dipimpin oleh para Sultan yang terdiri dari orang-orang yang tidak cakap, bermoral

rendah, tidak menyukai ilmu pengetahuan, serta hidup degan berfoya-foya.

32 Philip K. Hitti, History Of The Arabs, 863.

33

Kemorosotan itu terbukti dengan kalahnya angkatan laut Mama>lik Sirkasia dalam

peperangan melawan angkatan laut Portugis dalam perang Diu pada bulan februari

1509 M. Kekalahan Mesir itu sendiri menyababkan menurunnya kekuatan

ekonomi, militer, dan politik di Mesir.

Kemorosotan itu tentu saja membawa pengaruh pada suasana politik di

Hijaz. Oleh karena itu, para Shari>f Mekah sejak itu tidak lagi patuh kepada

kebijakan-kebijakan Mesir, bahkan sebagian mereka ada yang menolak Ami>r yang

telah ditentukan dari Mesir dengan kekuatan senjata dan berhasil mengantikan

kedudukannya, sehingga para penguasa Mama>lik Sirkasia terpaksa memberikan

persetujuan resmi kepada penguasa baru itu.33

Bersamaan dengan jatuhnya Mesir ke bawah kekuasaaan Turki ‘Uthma>ni>

pada 1517 M, Shari>f Mekah ikut menyatakan tunduk kepada kekuasaan Turki

‘Uthma>ni> itu.34 Tunduknya para Shari>f Mekah ini dapat dimaklumi mengingat para

Sultan‘Uthma>ni > di Turki benar-benar memberikan perhatian yang besar terhadap

kesejahteraan para pemimpin Hijaz selain juga melakukan perbaikan substansial

dalam keamanan, khususnya yang berkaitan dengan dua kota suci, Mekah dan

Madinah.35

Secara umum dapat dikatakan bahwa arti penting Mekah dan Madinah

sebagai pusat spiritual Islam, menyebabkan kekuasan para Shari>f di Hijaz selalu

diintervensi oleh kekuasaan dinasti-dinasti Islam yang kuat. Hal itu terlihat dari

do’a para khatib jum’at di Masjidil Haram Mekah dan juga Masjid Nabawi di

33 Ahmad al-Siba>’i>, Ta>ri>kh Mekah, 320. 34 Joseph J. Malone, The Arab Lands of western Asia, (USA: Englewod Cliffs, 1973), 143. 35 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII:

Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta: Penerbit Kencana, 2004). 64.

34

Madinah yang kadang-kadang ditujukan kepada penguasa Bani ‘Abba>siyyah, lalu

pada penguasa Fa>t{imiyyah, atau kadang kepada penguasa Dinasti Zanki di Syiria,

dan bahkan kadang-kadang untuk dua dinasti sekaligus. Hal itu karena para Shari>f

tidak mempunyai tentara yang kuat dan tidak memiliki penghasilan yang banyak,

sehingga negaranya selalu terombang ambing antara keuasaan-kekuasaan besar.

Akan tetapi kecuali do’a yang dibacakan di atas mimbar dan upeti yang harus

dibayar, dinasti-dinasti penguasa tersebut lebih sering tidak sampai mencampuri

kemerdekaan politik Mekah dalam kaitannya dengan suksesi kepemimpinan dalam

Niz}a>m al-Ashra>f walaupun dalam skala yang terbatas.36

C. Potret Aktifitas Ibadah di Tanah Suci Sebelum Abad ke-19

Untuk mendapatkan gambaran tentang dinamika aktifitas ibadah di Tanah

Suci sebelum abad ke-19, paling tidak bisa dilihat dari dua aktifitas ibadah utama

di sana, yaitu: Pertama, tradisi shalat berjamaah di Masjidil Haram yang dalam

sejarahnya pernah memiliki empat maqa>ma>t shalat sebagai representasi dari empat

madhhab fikih utama Sunni dalam Islam; dan Kedua, ibadah haji dimana kota

Mekah merupakan tujuan satu-satunya bagi seluruh umat Islam yang ingin

menyempurnakan rukun Islamnya yang kelima.

1. Tradisi Empat Maqa>ma>t Shalat di Haramayn

Mekah dan Madinah dimana ada Masjidil Haram dan masjid Nabawi, sering

juga disebut dengan “dua haram”, menduduki posisi yang sangat istimewa dalam

Islam dan kehidupan kaum muslim.37 Haramayn merupakan tempat Islam

36 Badri Yatim, Sejarah Sosial, 26. 37 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 51.

35

diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Mekah adalah kiblat, ke arah mana para

penganut Islam menghadapkan wajah dalam shalatnya, dan dimana mereka

melakukan ibadah haji dengan signifikansi keagamaan khas seperti itu, tidak heran

kalau banyak keutamaan diletakkan kepada Mekah dan Madinah.

Berkaitan dengan masalah di atas, terdapat sebuah tradisi unik di Haramayn

yang berkenaan dengan ibadah shalat berjamaah, yaitu terbentuknya empat

maqa>ma>t shalat; H{anafi>, Ma>liki>, Sha>fi’i> dan H{anbali> di Masjidil Haram. Apabila

menengok ke belakang, fenomena ini tidak terlepas dari kenyataan yang terjadi

pada awal abad ke-10 M, ketika kaum Syi’ah muncul ke panggung kekuasaan di

hampir seluruh Timur Tengah.38 Hal ini merupakan pukulan telak bagi kaum Sunni,

yang jelas menimbulkan dampak-dampak yang tidak sedikit, baik dari segi politik

maupun tradisi keagamaan. Salah satu dampak yang nyata adalah terbentuknya

mih}ra>b-mih}ra>b shalat di Masjidil Haram tersebut.

Munculnya empat maqa>ma>t shalat; H{anafi>, Ma>liki>, Sha>fi’i> dan H{anbali> di

Masjidil Haram memang tidak dapat dilepaskan dari sejarah munculnya Dinasti

Syi’ah Fa>t}imiyyah di Mesir yang berhasil memegang kendali atas daerah Hijaz

(Mekah dan Madinah). Sejarah mencatat bahwa Syi’ah mulai berakar di Hijaz pada

masa Fa>t{imiyyah ini. Berbarengan dengan bermulanya kekuasaan Dinasti

Fa>t}imiyyah di Hijaz ini pula, niz{a>m al-ashra>f (sistem pemerintahan para shari>f,

keturunan H{asan ibn ‘Ali> ibn Abi> Ta>lib) mulai menancapkan kuku kekuasaannya

38 Philip. K. Hitti, History of The Arabs, 791.

36

di Hijaz. Sejak itu, ajaran Syi’ah mulai tersebar di wilayah Haramayn tersebut,

selain aliran Sunnah yang sudah mengakar kuat sejak lama.39

Berhubungan dengan persoalan aliran Sunni-Syi’ah di atas, pada periode ini

di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi terdapat maqa>m-maqa>m (secara harfiah

berarti: “tempat berdiri” atau mihrab ima>m-ima>m madhhab dalam memimpin shalat

berjamaah bagi penganut madhhabnya. Adanya maqa>m-maqa>m tersebut

menunjukkan terdapatnya beberapa kelompok shalat jamaah di sana. Berbilangnya

jumlah shalat jamaah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi ini bersifat unik dan

membuat kedua masjid ini berbeda dari masjid-masjid lainnya di dunia Islam.40

Sebagaimana dikutip oleh Ah{mad al-Siba>’i>, Syaikh Basalamah dalam

kitabnya ‘Ima>rah al-Masjid, mereka menyatakan bahwa di Masjidil Haram terdapat

empat maqa>m yang diperkirakan dibangun antara abad ke-4 dan ke-5 H (abad ke-

11 M), atau pada terjadi sekitar masa dawlah Fa>t}imiyyah berkuasa.41 Alasannya

adalah bahwa para sejarawan dan para pengembara (penulis rihlah) yang

menggambarkan keadaan Masjidil Haram pada masa sebelum Fa>t}imiyyah tidak ada

yang menjelaskan persoalan itu. Ah{mad al-Siba>’i> sendiri membenarkan pendapat

ini. Ia memperkirakan bahwa dibangunnya empat maqa>m itu tidak lama setelah

ima>m-ima>m madhhab menunaikan shalat jamaah di Masjidil Haram secara

bergantian.42

39 Ah}mad al-Siba>’i>, Ta>ri>kh Mekah, 214. 40 Badri Yatim, Sejarah Sosial, 58. 41 Al-Siba>’i>, Ta>ri>kh Mekah, 220. 42 Ibid., 220.

37

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa empat maqa>m pertama

yang dibangun pada masa Fa>t}imiyyah itu adalah maqa>m madhhab Sha>fi’i>, maqa>m

madhhab H{anafi>, maqa>m madhhab Ma>liki>, dan maqa>m madhhab Syi’ah

Zaydiyyah43. Ada kemungkinan bahwa pada mulanya madhhab H{anbali> tidak

membentuk jamaah tersendiri karena jumlah pengikutnya sedikit. Akan tetapi,

setelah maqa>m madhhab Zaydi> dibatalkan, posisinya diganti oleh madhhab

H{anbali>. Oleh karena itu, adanya shalat jamaah menurut madhhab H{anbali> itu baru

ada pada masa Mama>lik, karena pada masa inilah pembatalan shalat jamaah

menurut madhhab Zaydi> terjadi.44 Tradisi ini terus berlanjut sampai awal abad ke-

19, tepatnya ketika Dinasti Su’u>d berhasil menguasai Hijaz sekaligus memaksakan

paham Wahhabi kepada segenap penduduknya.45

2. Ibadah Haji Sebelum Abad ke-19

Takluknya Mesir di bawah kendali dinasti Turki Uthma>ni> pada 1517 M juga

ditandai dengan peningkatan jumlah jamaah haji ke tanah suci. Salah satu faktor

terpenting dari peningkatan jumlah jamaah haji ke Haramayn tersebut menurut

Azyumardi Azra adalah kebangkitan kembali perdagangan di Lautan India sejak

awal abad ke-15 selain juga karena penegakan kekuasaan Turki Uthma>ni> di

Semenanjung Arab dan sebagian besar Afrika Utara. Hal ini nampak jelas dari

bantuan finansial dan perhatian yang luar biasa dari Sultan Sali>m I terhadap fasilitas

43 Al-Zaydiyyah adalah para pengikut Za>id ibn ‘Ali> ibn H{usayn ibn ‘Ali> ibn abi> T{a>lib. Menurut

mereka, ima>mah hanya berada di tangan keturunan Fa>t}imah dan tidak ada ima>mah selain dari

mereka. Lihat: Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Terj. Asywadie

Syukur, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), 131. 44 Badri Yatim, Sejarah Sosial, 60. 45 Thoha Hamim, Islam & NU Di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer: Dialektika

Kehidupan Politik, Agama, Pendidikan dan Sosial Masyarakat Muslim (Surabaya: Diantama, 2004),

222.

38

dan keamanan rute ibadah haji di Mekah. Hal ini dapat tercermin dari pertumbuhan

Jeddah sebagai pelabuhan utama bagi jamaah haji yang berasal dari kawasan Lautan

India.46

Jeddah pertama kali dibangun oleh Khali>fah ‘Uthma>n bin ‘Affa>n pada tahun

646 M sebagai akses utama bagi wilayah Mekah di Laut Tengah. Sampai awal abad

ke-15, Jeddah hanyalah sebuah desa yang tidak maju. Diriwayatkan bahwa ketika

Ibn Jubayr berlabuh di Jeddah pada tahun 1184 M, ia menuturkan bahwa penduduk

Jeddah kala itu menempuh kehidupan dengan sangat buruk. Mereka

memperlakukan jamaah haji dengan cara yang lebih jelek daripada perlakuan

mereka terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen yang harus membayar upeti.

Mereka bahkan merampok dan mengumpulkan kebanyakan bahan makanan yang

dibawa oleh para jamaah haji dan mencari berbagai alasan untuk dapat

mempergunakan semua yang mereka miliki.47

Kondisi Jeddah yang menyedihkan itu tidaklah mengherankan mengingat

pada masa Ibn Jubayr, Jeddah bukanlah pelabuhan penting dalam kegiatan

perdagangan rempah-rempah antara Timur dan Barat. Perdagangan pada masa-

masa itu lebih banyak dilakukan melaui pelabuhan Hormuz dan Aden, dan

pelabuhan-pelabuhan di Mesir. Hal ini disebabkan karena para Shari>f Mekah dan

selanjutnya para petugas pelabuhan Jeddah yang memberlakukan pajak yang sangat

tinggi terhadap pedagang, baik muslim maupun non-muslim yang melewati

pelabuhan itu.48

46 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 65. 47 Ibnu Jubayr, The Travels of Ibn Jubayr, (Leyden: E.Brill Press, 1907), 70. 48 F.E. Peters, Jerussalem and Mecca: The Typology of The Holy City in The Near East, (New York:

New York University Press, 1986), 227.

39

Pada masa S{ala>h al-Di>n al-Ayyu>bi> dan sebagian besar pengguasa Dinasti

Ayyu>biyyah di Mesir (1169-1252 M), mereka menjalankan kebijakan membatasi

kehadiran pedagang non-muslim di sepanjang rute perdagangan Laut Tengah untuk

mencegah penyusupan yang dilakukan oleh laskar Salib yang berencana menyerang

Mekah melalui Jeddah. Dengan kata lain, hanya muslim yang diizinkan melayari

Laut Tengah dan berlabuh di pelabuhan Jeddah. Sedangkan para pedagang Eropa

dibatasi hanya sampai di Alexandria dan rute trans-Mediterania.

Menjelang akhir abad ke-13, yaitu masa kekuasaan Dinasti Mamluk di

Mesir (1425 M), Sultan Barsbay mengambil alih pengelolaan pelabuhan Jeddah

dari tangan Shari>f Mekah. Sultan Mamluk tersebut memberikan kepada mereka

hanya sebagian kecil dari keuntungan perdagangan yang dihasilkan pelabuhan

Jeddah. Dua tahun kemudian, Sultan juga memperbesar pelabuhan dan membangun

sebuah masjid baru.49

Kebijakan di atas menghasilkan sebuah kebangkitan penting bagi Jeddah

sekaligus berdampak signifikan terhadap perdagangan di sana yang pada akhirnya

juga mempengaruhi jumlah jamaah haji yang datang. Jeddah secara bertahap

bangkit menjadi sebuah pelabuhan penting di wilayah Semenanjung Arab. Bahkan

perkembangannya bisa melampaui pelabuhan Aden yang mulai dijangkiti

penyebaran bajak laut. Pedagang asing pun semakin banyak singgah di Jeddah.

Pada 1425 M, hanya 14 kapal India yang dilaporkan berlabuh di Jeddah. Setahun

kemudian, sekitar 40 kapal India dan Persia yang berlabuh di sana, dan menjelang

49 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 69.

40

akhir abad 15 jumlah kapal India yang berlabuh meningkat pesat mencapai sekitar

100 buah kapal.

Kebangkitan Jeddah menjadi pelabuhan dengan reputasi internasional telak

menarik, tidak hanya pedagang, namun juga para ulama pecinta ilmu dari luar

Hijaz. Pada era Dinasti Mamluk ini, para penguasa dan dermawan muslim India,

misalnya, mulai mendirikan riba>t} dan madrasah mereka sendiri di Mekah dan

Madinah; bahkan seorang pedagang kaya India pada pertengahan abad ke-16 M

mendirikan rumah-rumah wakaf di Jeddah. Jumlah jamaah haji dari India juga terus

meningkat. Di Varthema ketika berada di Mekah pada tahun 1504 M mengamati

banyaknya jumlah jamaah haji dari India Major (anak benua India) dan juga dari

kepulauan Nusantara.50

Kebijakan Dinasti Mamluk tersebut dapat juga dipandang sebagai

momentum khusus bagi gelombang para Ulama yang berbondong-bondong ke

Mekah dan Madinah. Hal ini harus pula dipandang dengan perspektif sosio-

ekonomi ibadah haji, bahwa terdapat dua faktor utama yang menyebabkan

terjadinya perkembangan dalam pelaksanaan ibadah haji; Pertama, penegakan

kekuasaan Turki ‘Uthma>ni> di Semenanjung Arab, dan Kedua, kebangkitan kembali

perdagangan di Lautan India sebagai akibat dari pelabuhan Jeddah yang semakin

maju.

Perkembangan terus berlanjut, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa

setelah Turki ‘Uthma>ni> mengambil alih Hijaz pada tahun 1517 M, penguasa-

penguasa ‘Uthma>ni> memberikan mandat secara formal kepada pemerintah propinsi

50 Ibid., 70.

41

Mesir yang membawahi Hijaz untuk mengelola dana bantuan subsidi guna

mendukung dan mempertahankan tempat-tempat suci, khususnya dua masjid suci

sebagai tujuan utama para jamaah haji, dan juga institusi-institusi sosial keagamaan

serta penduduk Hijaz secara umum.51

Kebijakan khusus Turki ‘Uthma>ni> ini menghasilkan perkembangan konstan

sarana-sarana umum di Tanah Suci, termasuk madrasah, riba>t} dan asrama haji.

Perbaikan sarana-sarana semacam ini jelas sangat menguntungkan jamaah haji,

yang pada gilirannya mendorong peningkatan jumlah jamaah haji.52

D. Model Pendidikan di Tanah Suci Sebelum Abad ke-19

Sebelum berdirinya sekolah-sekolah modern, lembaga pendidikan di Hijaz

terdiri atas dua jenjang, yaitu al-Ta’li>m al-Awwali> (lembaga pendidikan dasar) dan

al-Ta’li>m al-‘A<li> (lembaga pendidikan tinggi). Al-Ta’li>m al-Awwali> adalah proses

belajar mengajar yang berlangsung di Kutta>b. biasanya pada jenjang ini yang

diajarkan terbatas pada ilmu Pengetahuan dasar kegamaan Islam, yaitu membaca

dan menulis, menghafal al-Qur’a>n, atau bagian-bagian yang mudah dan pendek,

sebagian hadis-hadis Nabi SAW, ilmu hitung dan beberapa materi dasar lainnya.53

Kutta>b adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam.

Pada awalnya kutta>b berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan

membaca bagi anak-anak atau para penuntut ilmu pemula. Kutta>b sendiri

sebenarnya telah ada di negeri Arab sebelum datangnya Islam, tetapi belum begitu

51Ahmad al-Siba>’i>, Ta>ri>kh Mekah, Vol. II. (Mekah: Maktabah al-S{afa>, 1420), 343-345. 52 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 71. 53 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Vol. 3 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

1997), 86.

42

dikenal. Kutta>b dalam bentuk awalnya ini hanya berupa ruangan di rumah seorang

guru.

Ketika Islam datang, tradisi belajar membaca dan menulis di kutta>b

semakin marak, terutama setelah peristiwa perang Badar dimana para tawanan

perang menebus kemerdekaan diri mereka dengan mengajarkan umat Islam

membaca dan menulis. Pada masa Rasulullah SAW, orang-orang Islam yang baru

pandai menulis dan membaca hampir semuanya dipekerjakan oleh beliau sebagai

penulis wahyu.54

Pada abad ke-8 M, ketika kutta>b telah meluas di negeri-negeri muslim,

kurikulumnya mulai ditekankan bukan hanya pada kegiatan membaca dan menulis,

tetapi juga pada pengajaran al-Qur’a>n dan Hadis yang menyangkut keimanan dan

akhlak di samping juga Bahasa Arab. Semenjak abad ini sampai menjelang abad

ke-19, kutta>b di dunia Islam terkenal sebagai jenjang pendidikan pertama yang

harus ditempuh oleh kanak-kanak kaum muslimin (al-Ta’li>m al-Awwali>).55

Sedangkan Al-Ta’li>m al-‘A<li> (lembaga pendidikan tinggi) adalah proses

belajar mengajar bagi orang yang ingin melanjutkan studinya setelah menamatkan

proses belajar mengajar di kutta>b. Al-Ta’li>m al-A<li> ini biasanya berlangsung di

Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di kota Madinah. Memang dalam kasus ini,

Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dapat dipandang sebagai perguruan tinggi

dalam tingkat pendidikannya, setara dengan yang dimiliki oleh Universitas al-

Azhar Mesir.56

54 Ibid., 87. 55 Ibid., 88. 56 Badri Yatim, Sejarah Sosial, 207.

43

Di h}alaqah-h}alaqah ‘ilmiyyah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi

diberikan pelajaran yang lebih tinggi, yaitu ilmu-ilmu keagamaan Islam, bahasa

Arab, Ta>rikh (sejarah), Tara>jim (biografi tokoh-tokoh), al-Riya>d}iyya>t

(matematika/ilmu hitung), al-Matiq (logika), dan al-Fara>id} (ilmu waris). Karena

banyaknya jumlah h}alaqah ketika itu, yang pengajarannya terus berlangsung dari

setelah shalat Subuh hingga selepas Isya, maka para penuntut ilmu diberi kebebasan

untuk memilih h}alaqah ‘ilmiyyah yang diminatinya, sesuai dengan ilmu

pengetahuan yang ingin diperdalamnya. Pengajaran yang berlangsung di dua

masjid suci tersebut memang banyak diyakini memiliki kualitas dan kurikulum

yang setara dengan yang terdapat di Universitas al-Azhar Mesir.

Tidak ada kurikulum yang jelas di Masjidil Haram. Setiap guru memberikan

kepada penuntut ilmu mata pelajaran yang dikuasainya sesuai dengan ijazah yang

diterimanya dari gurunya dahulu. Apabila kuliah berkenaan dengan ilmu-ilmu

tashri>’, maka pelajar diperkenankan untuk memilih guru yang dikehendakinya.

Namun, dalam kuliah yang berkenaan dengan ilmu fikih, maka penuntut ilmu

diharuskan untuk memilih yang sesuai dengan madhhab yang dianutnya.

Pengajaran fikih sendiri diselenggarakan untuk empat madhhab.57

Diantara empat madhhab fikih, penuntut ilmu di halaqah madhhab H{anafi>

terbilang sangat banyak, lebih dari yang lain. Hal ini wajar mengingat bahwa

madhhab H{anafi> merupakan madhhab resmi pemerintah Turki Uthma>ni> ketika itu.

Apalagi, para guru fikih madhhab H{anafi> memperoleh gaji yang lebih besar di

57 Ibid., 208.

44

Mekah dan Madinah. Jumlah pengajar di Masjidil Haram berkisar antara 50 sampai

60 orang, dan sepertiganya adalah ulama madhhab H{anafi>.

Sebagaimana dalam masalah materi kuliah, metode pengajaran di h}alaqah-

h}alaqah ‘ilmiyyah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi tidak banyak mengalami

perkembangan dari metode yang sudah biasa digunakan beberapa abad

sebelumnya. Baru di akhir masa pemerintahan Turki Uthma>ni> atas Hijaz, yaitu pada

awal abad ke-20, di h}alaqah-h}alaqah itu dilangsungkan ujian yang teratur dan

dilanjutkan pada masa Raja H{usayn ibn ‘Ali>. Meskipun begitu, pengajaran-

pengajaran di Masjidil Haram tetap menggunakan metode lama yang mandul.58

Bahkan, ketika Hijaz memasuki era revolusi Arab tahun 1916 M sampai

akhir pemerintahan Raja H{usayn ibn ‘Ali>, proses pembelajaran di Tanah Suci juga

tidak mengalami perubahan-perubahan yang berarti.59

E. Hubungan antara Syariat dan Tasawuf di kalangan penduduk Hijaz Sebelum

Abad ke-19

Dalam lapangan pemikiran keagamaan, Hijaz pada abad ke-17 dan abad ke-

18 menyaksikan terjadinya proses reformasi dalam Islam. Menurut Azyumardi

Azra, paling tidak pada masa itu tengah terjadi proses pendekatan kembali antara

tasawuf dan syariat, yang kemudian melahirkan neo-sufisme. Proses itu,

sebagaimana diungkapkannya, semakin lama semakin kuat ke arah ortodoksi.

Sebagaimana dapat dipahami dari pernyataan di atas, kehidupan beragama di dunia

Islam, termasuk di Hijaz, dari akhir abad ke-12 didominasi oleh pemikiran tasawuf

58 Ibid., 209. 59 Ibid., 212.

45

berkat perjuangan al-Ghaza>li> dalam menggabungkan antara sufisme dan syariah

yang sebelumnya selalu bertentangan.60

Kenyataan ini menjadi menarik apabila kita mengingat bahwa Hijaz adalah

negeri kelahiran Islam yang ortodoksinya sangat kuat. Oleh karena itu, akan segera

muncul pernyataan tentang kapan awal mula tasawuf masuk dan berkembang di

Hijaz, dan apa pula sebab sufisme mampu mendominasi kehidupan beragama dan

menggeser dominasi ortodoksi. Apapula yang melatarbelakangi terjadinya arus

balik ketika kelompok ortodoksi kembali mendominasi kehidupan beragama pada

sekitar abad ke-18.61 Untuk memahami pertanyaan di atas, perlu ditilik dulu pasang

surut hubungan sufisme dan syariah di dunia Islam akhir Abad pertengahan.

Keadaan spiritual Islam pada akhir Abad pertengahan, secara umum,

ditandai dengan ketegangan antara Islam yang lebih berorientasi pada syariah dan

sufisme. Dimulai sejak abad ke-10, di kalangan tarekat muncul doktrin baru yang

secara umum banyak pertentangan, baik dengan kelompok Islam ortodoks maupun

dengan praktek sufisme pada masa-masa lebih awal. Jika pada tiga abad pertama

Hijriah, para pengembara di jalan tasawuf memperlihatkan semangat independensi

dan kreativitas yang tinggi, maka pada abad-abad yang lebih belakangan ini mereka

menunjukkan disiplin yang keras dengan penyerahan diri secara mutlak kepada

syaikh atau khali>fah tarekat yang bersangkutan. Jika pada abad IX, Junayd al-

Baghda>di> (w.910 M) misalnya, mengajarkan bahwa seorang sa>lik harus berlaku

60 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 123. 61 Badri Yatim, Sejarah Sosial, 48.

46

sebagai wayang dari Tuhan, kini diajarkan bahwa ia harus berlaku sebagai “mayat

di tangan orang-orang yang memandikannya.”62

Akan tetapi, bersamaan dengan perkembangan di atas, sejak akhir abad ke-

9, usaha-usaha mulai dilakukan di kalangan kaum sufi, seperti al-Kharra>z dan

Junayd al-Baghda>di>, untuk menjembatani jurang yang ada diantara umat Islam

yang berorientasi pada syariah dan tasawuf, dengan mengupayakan agar yang

terakhir ini tetap berada di dalam batas-batas yang bisa ditoleransi. Suatu instrumen

yang tangguh di dalam rapprochement ini adalah ah}a>di>th baru yang disebarkan di

kalangan umat Islam sepanjang abad IX dan X dengan tujuan ganda, yaitu:

Pertama, memajukan kepentingan tasawuf; Kedua, sekaligus membawa tasawuf ini

ke dalam lingkungan syariah.63

Pada perempatan terakhir abad ke-10, sejumlah tokoh menulis buku-buku,

seperti kitab al-Luma>’ oleh al-Sarra>j (w.987 M) dan ‘Pengantar Menuju Jalan-Jalan

Sufi oleh al-Kalabadhi> (w.995 M) untuk menggalakkan model sufisme moderat

dengan struktur ide-ide yang konsisten sekaligus menunjang ortodoksi. Kegiatan

ini kemudian diikuti oleh sebuah buku yang terkenal karangan al-Qushayri> (w.1073

M), al-Risa>lah. Kitab ini merupakan manifesto sintesa antara Sufisme dan syariat.64

Gerakan pembaruan tasawuf ini mencapai puncaknya dengan kehadiran al-

Ghaza>li> (w.1111 M), seorang tokoh monumental yang telah menjadi tiang utama

gerakan tersebut. Tokoh yang mendapatkan julukan ‘H{ujjah al-Isla>m’ telah terbukti

menjadi tokoh yang sangat menentukan perkembangan Islam selanjutnya, lebih

62 Azyumardi Azra, Renaisans Islam, 123. 63 Fazlur Rahman, Islam, alih Bahasa Ahsin Mohammad, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2010), 201. 64 Ibid.

47

banyak melalui apa yang diajarkannya berdasarkan pengalaman pribadinya,

daripada apa yang dipikirkannya. Ia berhasil merumuskan sintesis baru antara

sufisme dan kalam, yang pada akhirnya, melalui pengaruhnya, sufisme dapat

memperoleh restu dari Ijma>’ atau konsensus masyarakat Islam.65

Kekuatan sintesis itu terletak pada kenyataan bahwa al-Ghaza>li>

memberikan basis spiritual kepada ajaran moral praktis Islam sehingga dapat

membawanya kembali ke dalam dimensi-dimensi keagamaannya yang asli.

Keberhasilan al-Ghaza>li> bukan hanya dalam merekonstruksi Islam yang lebih

berorientasi pada syariah - membuat tasawuf menjadi bagian integralnya -

melainkan juga dalam upaya pembaharuan sufisme dengan menyucikannya dari

unsur-unsur yang tidak islami dan mengiringnya untuk diabadikan pada

kepentingan ortodoksi.66

Buah dari itu semua, sejak abad ke-12, tasawuf berhasil menguasai dunia

Islam secara emosional, spiritual, dan intelektual, termasuk di Hijaz. Di kalangan

Ulama, termasuk para muh}addithu>n murni, yang notabenenya banyak yang

berdomisili di Mekah dan Madinah, semakin tinggi kesadaran akan hampir

mustahilnya mengabaikan kekuatan tasawuf. Bagi mereka, menggabungkan

sebanyak mungkin warisan sufisme dalam ortodoksi dan berusaha memberikan

sumbangan yang lebih positif ke arah pengembangan tasawuf yang lebih sejalan

dengan syariah adalah suatu keniscayaan. Seperti dinyatakan Fazlur Rahman, motif

moral sufisme diperkuat, dan beberapa teknik dzikir atau mura>qabah juga diambil.

65 Nurcholis Madid (ed.), Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 110-111. 66 Abu> H{a>mid Muh}ammad bin Muh}ammad bin Muh}ammad al-Ghaza>li, Deliverance From Error

(Al-Munqidh fi> al-D{ala>l), (Boston: Twayne, 1980), 19-20.

48

Namun, objek dan isi teknik-teknik semacam ini kini diidentifikasikan dengan

doktrin syariah. Sementara tujuan tasawuf itu sendiri dirumuskan kembali sebagai

upaya penguatan keimanan dalam batas-batas syariah guna mencapai kemurnian

batin. Perkembangan inilah yang memunculkan apa yang disebut Fazlur Rahman

sebagai “neo-sufisme”, yang cenderung melahirkan semangat ortodoksi dan

menanamkan kembali cara pandang dan sikap yang positif terhadap keduniaan.67

Tetapi kegiatan kritis-sintesis serta pembaruan al-Ghaza>li> abad ke-12, pada

waktu yang sama, ternyata menjadi titik balik dalam sejarah spiritual Islam, dan

memaksa aliran ide-ide dalam masyarakat Islam ke arah divisi-divisi dan

kombinasi-kombinasi yang baru, terinspirasi dari keberhasilan besar al-Ghaza>li>

dalam mengkombinasikan antara tasawuf dan syariah. Diantara model kombinasi

yang paling kuat mempengaruhi sejarah pemikiran Islam pasca al-Ghaza>li> adalah

persambungan antara aliran-aliran filosofis dengan sufisme dalam masalah doktrin

teologi.68

Memang, dalam serangan-serangan hebat ortodoksi, yang dengan gemilang

telah berhasil dilakukan oleh al-Ghaza>li>, filsafat rasional Islam tidaklah sepenuhnya

mati, tetap mereka terdesak ke bawah permukaan diakibatkan hantaman keras al-

Ghaza>li>. Akhirnya, kelompok ini mendapatkan momentumnya dan bersiap

melakukan ‘pembalasan’ dengan wajah barunya yaitu sufisme teosofis (al-

tas}awwuf al-falsafi>). Akibatnya, tentu saja struktur formal metodologi sufi yang

dikembangkan oleh al-Ghaza>li> tidak dilirik oleh kelompok sufisme teosofis ini, dan

67 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in history, alih bahasa Anas Mahyuddin, (Bandung:

Penerbit Pustaka, 1995), 178-181. 68 Ibid., 164.

49

menggantikannya dengan suatu intuisionisme yang sangat filosofis di mana

seseorang mengklaim telah sampai pada pengetahuan metafisik.69

Awal abad ke-13, perumusan klasik dari epistimologi sufisme teosofis ini

dikerjakan oleh Ibn al-‘Ara>bi> (w.1240 M), ‘Nabi’-nya kaum sufi teosofis Islam. Di

awal magnum opusnya yang berjudul ‘al-Futu>h}a>t al-Makkiyyah’ ia membicarakan

tentang jalan-jalan ilmu pengetahuan dan menyimpulkan bahwa pengungkapan

intuitif (kashf) adalah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang meyakinkan.

Dalam tulisannya ini, Ibn al-Ara>bi> juga mengkritik para filosof yang hanya

mengandalkan akal secara eksklusif, namun disisi lain ia juga menasehatkan kepada

segenap kelompok-kelompok keagamaan dalam Islam bahwa tidak semua doktrin

filosofis harus ditolak sebagai sebuah kepalsuan. Dalam kasus ini yang sebenarnya

terjadi adalah pengambilalihan warisan filosofis yang berbasis pada nalar, untuk

kemudian oleh Ibn al-Ara>bi> dan pengikut-pengikutnya dikembangkan menjadi

suatu doktrin monistik dengan istilah intuisi mistik.70

Dari fenomena di atas, muncullah konsekuensi-konsekuensi praktis dari

doktrin monistik kaum sufisme teosofis yang lebih dikenal sebagai doktrin Wah}dah

al-Wuju>d (Kesatuan Wujud) terhadap agama Islam dan secara spesifik akan

mengancam keberlangsungan konsep syariat Islam itu sendiri. Hal tersebut

membawa para pembela ortodoksi Islam yang memang tidak mengakui validitas

objektif dari pandangan intuisi sufi tergugah untuk membuat metode-metode yang

tepat dalam rangka menghadapi tantangan-tantangan tersebut.71

69 Fazlur Rahman, Islam, 209. 70 Ibid., 210. 71 Ibid., 212.

50

Latar belakang inilah yang kemudian memberikan lapangan pembaruan

bagi Ibn Taymiyyah (w.1328 M) dan murid-muridnya, terutama Ibn Qayyim

(w.1350 M) pada abad ke-14 untuk membela ortodoksi Islam dari serangan

monisme, terutama tentang konsep Wah}dah al-Wuju>d, sekaligus menegaskan

bahwa pengalama sufi tidak memiliki validitas kebenaran dalam syariah. Tidak

hanya itu, Ibn Taymiyyah lebih jauh lagi melangkah ke belakang dan menyerang

para filosof yang doktrin-doktrinnya turut membantu melapangkan jalan bagi

kemunculan monisme.72

Jika dilihat ke belakang, ternyata doktrin Asy’ari tentang kehendak Tuhan

merupaka tonggak jalan yang besar dalam perkembangan monistik di kemudian

hari.73 Karena itu Ibn Taymiyyah berfikir bahwa sebuah keharusan untuk menyusun

suatu konsep tentang syariah yang akan mensintesiskan dualitas yang ganda tapi

analog antara paham Mu’tazilah dan Ash’ariyyah dan antara Monisme Sufi dan

realitas hukum moral. Di sisi lain, Ibn Taymiyyah juga mengemukakan

penolakannya terhadap penerimaan otoritas secara membabi buta (taqli>d) sekaligus

kritik-kritiknya yang keras terhadap teologi ortodoks Asy’ari.

Faktor inilah yang membuat ajaran Ibn Taymiyyah menimbulkan kritik-

kritik keras dari kalangan Ulama ketika itu. Akan tetapi, sedikit demi sedikit pesan

Ibn Taymiyyah ini menampakkan pengaruhnya, dan mendapatkan momentumnya

pada abad ke-18 di Hijaz dalam bentuk sebuah gerakan pembaruan Islam oleh

Muhammad ibn ‘Abd al-Wahha>b yang sangat terpengaruh dengan tulisan-tulisan

72 Fazlur Rahman, Revival & Reform in Islam, (Oxford: Oneworld Publications, 2006), 74. 73 Fazlur Rahman, Islamic Methodology, 165.

51

Ibn Taymiyyah sekaligus mengilhami gerakan Wahhabi yang ia gagas. Inilah yang

menurut Fazlur Rahman merupakan salah satu bentuk dari modernisme Islam

dalam bidang teologi.74 Berawal dari sini pula kelak terjadi sebuah kerjasama yang

saling menguntungkan antara kaum Ulama dan rezim penguasa, yaitu antara

Muhammad ibn ‘Abd al-Wahha>b dan keluarga Bani Sa’u>d di Hijaz yang

menjadikan gerak kaum Wahhabi ini tidak hanya terbatas pada lingkup keagamaan

saja namun juga masuk ke area politik dengan berdirinya kerajaan Arab Saudi

Modern di kemudian hari.75

74 Fazlur Rahman, Islam & Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The

University of Chicago Press, 1982), 136. 75 Thoha Hamim, Islam & NU Di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer: Dialektika

Kehidupan Politik, Agama, Pendidikan dan Sosial Masyarakat Muslim, (Surabaya: Penerbit

Diantama, 2004), 222.