bab ii cha2eprints.ung.ac.id/6401/3/2012-1-48401-821309033-bab2...memutus satu mata rantai...

23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Antibiotik 2.1.1 Sejarah Antibiotik Antibiotik pertama (penisilin) ditemukan pada tahun 1928 oleh Alexander Fleming, seorang ahli mikrobiologi dari Inggris. Tahun 1930-an, penisilin mulai diresepkan untuk mengobati penyakit-penyakit infeksi. Sebelum antibiotik ditemukan, banyak infeksi yang tidak bisa disembuhkan dan menyebabkan kematian. Namun sejak penisilin ditemukan, jutaan penderita infeksi di seluruh dunia, bisa diselamatkan nyawanya. Begitu hebatnya antibiotik, sehingga sejak tahun 1944–1972, rata-rata harapan hidup manusia meningkat delapan tahun (Nurrachmi, 2009). Antibiotik, seperti yang kita ketahui saat ini ternyata berasal dari bakteri yang dilemahkan, tidak ada yang menduga bahwa bakteri lemah tersebut mampu membunuh bakteri lain yang berkembang dalam tubuh makhluk hidup. Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama jamur, yang dapat menghambat pertumbuhan ataupun membunuh mikroba lain (Schwartz dkk, 2000). Namun seiring berjalannya waktu, satu demi satu bakteri mulai kebal terhadap antibiotik. Tahun 1950-an, telah muncul jenis bakteri baru yang tidak lagi bisa dilawan dengan penisilin. Untungnya, para ilmuwan terus-menerus melakukan penelitian. Untuk sementara waktu, dunia masih boleh bergembira

Upload: vokhue

Post on 02-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Antibiotik

2.1.1 Sejarah Antibiotik

Antibiotik pertama (penisilin) ditemukan pada tahun 1928 oleh Alexander

Fleming, seorang ahli mikrobiologi dari Inggris. Tahun 1930-an, penisilin mulai

diresepkan untuk mengobati penyakit-penyakit infeksi. Sebelum antibiotik

ditemukan, banyak infeksi yang tidak bisa disembuhkan dan menyebabkan

kematian. Namun sejak penisilin ditemukan, jutaan penderita infeksi di seluruh

dunia, bisa diselamatkan nyawanya. Begitu hebatnya antibiotik, sehingga sejak

tahun 1944–1972, rata-rata harapan hidup manusia meningkat delapan tahun

(Nurrachmi, 2009).

Antibiotik, seperti yang kita ketahui saat ini ternyata berasal dari bakteri

yang dilemahkan, tidak ada yang menduga bahwa bakteri lemah tersebut mampu

membunuh bakteri lain yang berkembang dalam tubuh makhluk hidup.

Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama jamur, yang dapat

menghambat pertumbuhan ataupun membunuh mikroba lain (Schwartz dkk,

2000).

Namun seiring berjalannya waktu, satu demi satu bakteri mulai kebal

terhadap antibiotik. Tahun 1950-an, telah muncul jenis bakteri baru yang tidak

lagi bisa dilawan dengan penisilin. Untungnya, para ilmuwan terus-menerus

melakukan penelitian. Untuk sementara waktu, dunia masih boleh bergembira

karena para ilmuwan berhasil menemukan antibiotik - antibiotik baru. Antara

tahun 1950 – 1960-an, jenis bakteri yang resisten masih belum mengkhawatirkan,

karena penemuan antibiotik baru masih bisa membasminya. Namun sejak akhir

1960-an, tidak ada lagi penemuan baru yang bisa diandalkan. Dan pada tahun

1999, ilmuwan berhasil mengembangkan antibiotik baru. Meskipun cepat dengan

semakin banyaknya bakteri-bakteri super yang kebal antibiotik (Nurrachmi,

2009).

Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang

mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam

organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotik

khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam

bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap

mutan atau transforman. Antibiotik bekerja seperti pestisida dengan menekan atau

memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri.

Antibiotik berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desifektan

membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman

untuk hidup (Schwartz dkk, 1995).

Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun

seperti strychnine, antibiotik dijuluki "peluru ajaib": obat yang membidik penyakit

tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus,

jamur, atau nonbakteri lainnya, dan setiap antibiotik sangat beragam

keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotik yang

membidik bakteri gram negatif atau gram positif, ada pula yang spektrumnya

lebih luas. Keefektifannya juga bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan

antibiotik mencapai lokasi tersebut. Antibiotik oral mudah digunakan bila efektif,

dan antibiotik intravena (melalui infus) digunakan untuk kasus yang lebih serius.

Antibiotik kadangkala dapat digunakan setempat, seperti tetes mata dan salep

(Schwartz dkk, 1995).

Istilah antibiotik muncul pada literatur mikrobiologi awal tahun 1928.

Menurut Selman Waksman, antibiotik adalah substansi kimia yang diperoleh dari

mikroorganisme, dalam larutan encer mereka mempunyai kemampuan

menghambat pertumbuhan dan membinasakan mikroba lain. Pada tahun 1929,

Fleming mengamati substansi bakteri-ostatik yang dihasilkan jamur Penicillium

notatum dan diberi nama Penicillin. Sejak itu penisilin dikenal dan diketahui

dapat diproduksi oleh berbagai jamur. Namun karena kurang stabil terutama bio-

aktivitasnya akan hilang bila diuapkan sampai kering, maka penisilin kemudian

ditinggalkan. Sekitar tahun 1939, Florey dan kawan-kawan melakukan percobaan

kembali terhadap kemungkinan penggunaan penisilin Fleming untuk terapi. Tahun

1940, Chain dan kawan-kawan juga melakukan penelitian penisilin, mereka

membiakkan organisme Fleming dan pada waktu ekstraksi dikontrol pada

temperatur rendah, akhirnya mereka mampu memekatkan penisilin sampai 1000

kali, serta dapat menghasilkan garam penisilin berbentuk bubuk kering yang

mempunyai stabilitas baik terutama bila disimpan. Hasil ini merupakan kemajuan

besar dalam perkembangan produksi antibiotik terutama penisilin dan merupakan

tonggak sejarah manusia dalam memerangi penyakit infeksi (Pudjaworto, 2002).

Pada waktu yang hampir sama, di Rockefeller Institute for Medical

Research New York. Dubos menemukan antibiotik komplek tyrothricin yang

diproduksi oleh bakteri tanah Baccilus brevis. Selanjutnya Dubos, Waksman dan

Woodruff menemukan aktinomisin yang diperoleh dari biakan aktinomisetes.

Pada tahun 1944 Selman Waksman menemukan streptomisin yang merupakan

salah satu antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces anggota dari

aktinomisetes. Streptomisin merupakan anti tuberkulosis yang mujarab,

perkembangan ini merangsang penelitian lebih lanjut terhadap genus streptomises

dalam usaha mencari mikroorganisme penghasil antibiotik. Sejak itu

aktinomisetes terutama streptomises menjadi gudang utama untuk memperoleh

antibiotik baru. Pada berbagai lembaga penelitian dilakukan pencarian antibiotik

dari berbagai tipe mikroorganisme terutama aktinomisetes dan telah berhasil

mendapatkan antibiotik baru. Pada tahun 1945 telah ditemukan basitrasin yang

dihasilkan oleh Bacillus, diikuti khloramfenikol oleh Strepto-myces venezuelae

dan polimiksin oleh B. polymyxa pada tahun 1947, khlortetrasiklin oleh S.

aureofaciens pada tahun 1948 dan neomisin oleh S. fradiae tahun 1949,

oksitetrasiklin 1950 dan eritromisin 1952, keduanya dihasilkan oleh Streptomyces.

Kanamisin ditemukan oleh Umezawa dan koleganya tahun 1957 dari biakan

streptomyces. Semua ini merupakan antibiotik yang sangat penting dan sampai

saat ini masih diperhitungkan sebagai salah satu antibiotik untuk melawan infeksi

(Nurrachmi, 2009).

Pada tahun enam puluhan, penemuan antibiotik agak berkurang tetapi usaha

penemuan dilakukan untuk aplikasi yang lebih luas yaitu untuk mencari

antifungal, anti mikoplasmal, anti spirochetal, anti protozoal, anti tumor, anti

virus, dan antibiotik untuk penggunaan non-medis. Pada dekade ini problem

resistensi bakteri terhadap antibiotik mulai muncul dan telah berkembang,

sehingga memacu mencari antibiotik baru atau derivat antibiotik yang telah

dikenal untuk menggantikan antibiotik yang sudah ada (Nurrachmi, 2009).

2.1.2 Definisi Antibiotik

Antimikroba adalah obat yang membunuh mikroorgamisme atau menekan

pertumbuhan atau perkembangbiakannya, khususnya yang merugikan manusia.

Antibiotik adalah substansi kimiawi antimikroba yang dihasilkan oleh berbagai

jenis mikroorganisme, terutama fungi yang mempunyai kemampuan untuk

menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain, dimana dalam

hal ini mikroorganisme yang dimaksud adalah bakteri. Saat ini istilah antibiotik

juga telah digunakan secara luas pada jenis-jenis antimikroba sintetik, yang tidak

diturunkan dari produk mikroorganisme, seperti golongan sulfonamid dan

kuinolon (Chambers, 2006).

2.1.3 Mekanisme Kerja Antibiotik

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dapat dikelompokkan atas

enam kelompok :

1. Bekerja lansung pada membran sel mikroorganisme.

Agen-agen antimikroba yang termasuk kelompok ini bekerja dengan cara

bereaksi dengan fosfat pada lapisan fosfolipid membran sel bakteri sehingga

meningkatkan permeabilitas membran sel dan berakibat bocornya komponen

intraseluler. Kelompok ini terutama efektif pada bekteri-bakteri gram negatif yang

mempunyai lapisan fosfor yang lebih banyak.

2. Bekerja dalam menghambat sintesis dinding sel mikroorganisme.

Antibiotik dalam kelompok ini bekerja dengan menghambat dinding sel

bakteri, terutama yang mengandung peptidoglikan, yang dimulai dari sintesis

paling dini hingga reaksi terakhir (transpeptidase) dalam rangkaian proses

tersebut. Kerusakan dinding sel akan menyebabkan lisisnya bakteri akibat

perbedaan tekanan osmotik dalam sel dan lingkungan.

3. Bekerja dalam mengacaukan sintesis protein sel mikroorganisme.

Antibiotik kelompok ini bekerja melalui ikatan yang terbentuk dengan

subunit ribosom 30S yang mengakibatkan terbacanya kode protein yang salah

oleh tRNA sehingga terbentuk protein abnormal. Secara umum antibiotik yang

termasuk kelompok ini bersifat bakterisid.

4. Bekerja dalam menghambat sintesis protein sel mikroorganisme.

Agen-agen yang termasuk kelompok ini mengacaukan fungsi subunit

ribosom 30S atau 50S yang secara reversible menghambat sintesis protein dengan

cara menghambat translokasi kompleks tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke

lokasi peptide, akibatnya rantai polipeptida tidak dapat diperpanjang. Secara

umum kelompok ini bersifat bakteriostatik.

5. Bekerja dalam mengganggu metabolisme asam nukleat pada mikroorganisme.

Ada dua mekanisme penghambat metabolisme asam nukleat. Mekanisme

pertama adalah dengan berikatan dengan enzim polymerase-RNA sehingga

menghambat sintesis RNA dan DNA bakteri. Sedangkan mekanisme kedua adalah

dengan menghambat topoisomerase.

6. Bekerja menghambat metabolisme sel mikroorganisme.

Kelompok ini bekerja memblok enzim esensial untuk pembentukan asam

folat. Ada yang bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase yang

digunakan oleh bakteri untuk mereduksi dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat

yang fungsional. Mekanisme lain dengan bersaing secara kompetitif dengan

PABA (para amino benzoat) dalam pembentukan asam folat. Kedua mekanisme

tersebut akan berdampak pada terbentuknya asam folat non fungsional sehingga

akan mengganggu kehidupan bakteri (Setiabudi dan Gan, 1995).

2.1.4 Klasifikasi Antibiotik

Secara umum antibiotik dikelompokkan berdasarkan toksisitas selektifnya,

ada antibiotik yang tergolong bakterisid, yaitu jenis-jenis antibiotik yang bersifat

membunuh bakteri; dan ada yang tergolong bakteriostatik, yaitu jenis-jenis

antibiotik yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri. Namun ada pula

pengelompokkan antibiotik yang didasarkan pada struktur kimia, efek

farmakologi, dan mekanisme kerja seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.

1. Penghambat metabolisme sel

Kelompok ini termasuk golongan sulfonamid, trimetoprim, asam p-

aminosalisilat (PAS), dan sulfon. Yang termasuk golongan sulfonamid antara lain

sulfisoksazol, sulfametoksazol, silfasitin, sulfametizol, sulfasalazin,

suksinilsulfatiazol, sulfasetamid, Ag-sulfadiazin, mafenid, dan sulfadoksin.

Kombinasi antara trimetoprin dan sulfametoksazol dikenal dengan nama

kotrimoksazol.

2. Penghambat sintesis dinding sel

Yang termasuk kelompok ini antara lain :

a. Golongan beta laktam

1) Penisillin : penisillin G, penisillin V, nafsillin,

oksasillin, kloksasillin, dikloksasillin, ampisillin, amoksisillin,

karbenisillin, tikarsillin, piperasillin, mezlosillin, dan azllosillin.

2) Sefalosporin :

i. Generasi pertama antara lain cefazolin, cefadroksil, cefaleksim,

cefalotin, cefapirin, cefradin.

ii. Generasi kedua antara lain cefaklor, cefamandol, cefonisid,

cefmetazol, cefotetam, cefoksitin, cefuroksim.

iii. Generasi ketiga antara lain cefiksim, cefoperazon, cefotaksim,

ceftazidim, ceftizoksim, ceftriakson, moksalaktam, cefdinir,

cefditoren, cefpodoxim.

b. Golongan lain antara lain :

1) Golongan karbapenem yaitu imipenem/cilastin, meropenem, ertapenem.

2) Golongan glikopeptida yaitu vankomisin dan teiklopanin.

3) Golongan polipeptida yaitu basitrasin, colistin dan polimiksin B.

4) Golongan monobaktam contohnya azetronam.

5) Sikloserin.

3. Perusak keutuhan membran sel

Yang termasuk kelompok ini adalah golongan polimiksin dan polien.

4. Pengacau sintesis protein sel

Secara umum yang termasuk dalam kelompok ini bersifat bakterisid. Yang

termasuk dalam kelompok ini adalah : golongan aminoglikosida yang antara lain

amikasin, gentamisin, neomisin, netilmisin, streptimisin, tobramisin, dan

kanamisin.

5. Penghambat sintesis protein sel

Secara umum antibiotik kelompok ini bersifat bakteriostatik, yang termasuk

dalam kelompok ini adalah : golongan tetrasiklin antara lain tetrasiklin,

minosiklin, doksisiklin, demeklosiklin, dan oksitetrasiklin.

a. Golongan makrolid antara lain azitromizin, klaritromizin, eritromisin,

diritromisin, roksitromisin, dan troleandromisin.

b. Golongan kloramfenikol dan klindamisin.

6. Pengganggu metabolisme asam nukleat

Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini yaitu :

a. Golongan rifamisin, seperti rifampin dan rifabutin.

b. Golongan kuinolon misalnya asam nalidiksat.

c. Golongan florokuinolon antara lain ciprofoksisin, enoksasin, gatifloksasin,

levofloksasin, lamefloksasin, mokasifloksasin, norfloksasin, ofloksasin, dan

trovafloksasin (Chambers, 2006).

2.1.5 Mekanisme Obat Pada Anak

Dua pertimbangan dalam penggunaan obat-obatan pada anak, yang pertama

disebabkan oleh variabilitas genetik, dimana kecepatan metabolisme atau efek

farmakologik beberapa zat ditentukan secara genetik melalui efektifitas asetilasi,

metilasi, dimetilasi, dan proses-proses lain. Pertimbangan kedua adalah kecepatan

anak memperoleh kapasitas normal untuk memetabolisme obat-obatan yang

lintasan normal metaboliknya tidak lengkap atau belum selesai digiatkan pada

waktu lahir. Aktifitas normal glukoronidase, fenilalanin, transaminase dan enzim-

enzim lain mungkin baru tercapai setelah berhai-hari atau berbulan-bulan

kemudian (Berhman dan Vaughn, 1997).

Aspek-aspek lain yang tidak sepenuhnya diketahui mengenai aspek

farmakologis meliputi reaksi paradox sebagian anak terhadap beberapa obat,

selain itu kepekaan anak agaknya meningkat terhadap beberapa obat pada

keadaan-keadaan lain; misalnya anak dengan defisiensi glukosa-6-fosfat

dehidrogenase biasanya mengalami reaksi yang lebih berat akibat meminum obat-

obatan tertentu dibandingkan dengan orang-orang dewasa yang rentan (Berhman

dan Vaughn, 1997).

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa metabolisme obat-obatan

berlangsung secara kurang efisien pada fase-fase pertumbuhan dan perkembangan

yang masih dini. Namun, sistem metabolisme tersebut mencapai kematangan

masing-masing dengan kecepatan yang berbeda-beda serta beberapa jenis obat-

obatan mungkin dimetabolisme dengan lebih cepat selama masa pasca lahir bayi,

jika dibandingkan dengan metabolisme orang dewasa atau anak-anak yang berusia

lebih lanjut. Meskipun demikian dalam kebanyakan hal, penurunan dosis masih

tetap diperlukan selama masa bayi serta mungkin sekali juga dalam masa kanak-

kanak yang masih dini sebagai akibat ketidakefisien proses-proses metabolik dan

eliminasi obat pada kelompok usia ini (Berhman dan Vaughn, 1997).

2.2 Tinjauan Tentang Spektrum Kemoterapeutik dan Resistensi Antibiotik

2.2.1 Spektrum Kemoterapeutik

Spektrum kemoterapeutik dari suatu antibiotik tertentu mengacu pada

spesies organisme yang dipengaruhi oleh obat tersebut. Spektrum kemoterapeutik

dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu :

1. Spektrum sempit, yaitu antibiotik yang hanya bekerja pada suatu jenis bakteri

tertentu atau pada suatu grup bakteri tertentu. Misalnya isoniazid yang hanya

efektif terhadap mikrobakteri.

2. Spektrum sedang, yaitu antibiotik yang efektif melawan bakteri gram positif

dan sebagian atau sejumlah bakteri gram negatif, misalnya golongan beta

laktam (ampisilin).

3. Spektrum luas, antibiotik ini mempengaruhi speses bakteri secara luas.

Misalnya kloramfenikol dan tetrasiklin. Namun pemberian antibiotik spectrum

ini secara drastis dapat mengubah flora normal secara alamiah dan dapat

mencetuskan superinfeksi suatu organisme seperti kandida yang

perkembangannya secara normal dipengaruhi oleh adanya mikroorganisme

lain (Setiabudi dan Gan, 1995).

2.2.2 Resistensi

Idealnya suatu antibiotik dikatakan mempunyai efek terapeutik jika efektif

dalam menghambat pertumbuhan bakteri yang bersifat patogen dalam tubuh atau

dengan kata lain idealnya suatu antibiotik harus bersifat bakterisid. Namun untuk

mendapatkan efek terapeutik yang diharapkan dari suatu antibiotik ada dua faktor

utama yang sangat berpengaruh. Kedua faktor tersebut adalah konsentrasi dan

sistem imunitas host. Jika imunitas host intak dan aktif, bahkan antibiotik yang

bersifat bakteriostatik sudah cukup untuk terapi suatu penyakit infeksi.

Sebaliknya, jika sistem imun host kurang baik, maka sebaiknya terapi dilakukan

dengan antibiotik yang bersifat bakterisid. Konsentrasi yang cukup pada daerah

infeksi harus tercapai agar suatu antibiotik dapat menghambat pertumbuhan

bakteri patogen. Tetapi konsentrasi tersebut harus tetap lebih rendah dari level

yang bersifat toksik terhadap sel-sel tubuh host. Dengan begitu dapat dikatakan

bahwa konsentrasi yang sesuai untuk suatu antibiotik adalah konsentrasi dimana

cukup untuk mengeradikasi bakteri patogen tetapi tetap berada pada level yang

aman bagi tubuh host. Pada kondisi tersebut bakteri dikatakan sensitif terhadap

antibiotik itu Sedangkan jika konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat

pertumbuhan suatu bakteri melampaui level aman untuk tubuh host, maka

dikatakan bakteri tersebut resisten terhadap antibiotik itu (Dawson, 2002;

Katsung, 2004; Mycek dkk, 2002).

Agar suatu antibiotik dapat dikatakan efektif, maka antibiotik tersebut harus

dapat mencapai targetnya dalam bentuk aktif, dapat berikatan dengan targetnya,

dan dapat menginterfensi fungsi-sungsi targetnya. Berdasarkan hal-hal tersebut

maka resistensi suatu bakteri terhadap suatu antibiotik dapat dikaitkan dengan tiga

mekanisme, yaitu (1) tidak sampainya antibiotik tersebut pada targetnya, (2) tidak

aktifnya antibiotik tersebut, atau (3) berubahnya target. Terjadinya mutasi pada

dinding sel target menyebabkan tidak sampainya ataupun berkurangnya

konsentrasi antibiotik pada tragetnya, terutama jika target tersebut berada

intraseluler. Kebanyakan antibiotik bermolekul kecil yang secara alamiah dapat

menembus dinding sel bakteri melalui suatu struktur kanalis protein yang disebut

porin yang terutama ditemukan pada bakteri-bakteri gram negatif. Terjadinya

mutasi pada struktur ini akan menghambat masuknya molekul antibiotik ke dalam

sel. Begitupun dengan antibiotik yang masuk melalui transport aktif. Misalnya

gentamisin yang bekerja pada ribosom yang adalah komponen intraseluler. Untuk

dapat sampai pada target kerjanya molekul gentamisin memerlukan trasnpor aktif

melewati membran sel bakteri dengan energi yang dihasilkan dari gradien

elektrokimia yang dihasilkan oleh suatu enzim respirasi. Oleh karena itu, jika

terjadi mutasi pada enzim ini ataupun pada proses respirasi bakteri, maka kerja

gentamisin akan terhambat dan berakibat terjadinya resistensi pada obat ini

(Dawson 2002, Katsung 2004).

Mekanisme resistensi lainnya adalah inaktivasi molekul antibiotik oleh

bakteri, seperti yang terjadi pada golongan beta laktam dan aminoglokosida. Salah

satu contohnya adalah dengan adanya bakteri-bakteri tertentu yang dapat

menghasilkan enzim betalaktamase (Dawson 2002, Katsung 2004).

2.3 Tinjauan Tentang Pemilihan Antibiotik

Penggunaan antibiotik secara umum dapat dibagi menjadi tiga untuk terapi

empiris, terapi definitive dan terapi profilaksis atau preventif. Jika bakteri

penyebab suatu penyakit infeksi belum dapat diidentifikasi secara pasti, maka

penggunaan antibiotik dilakukan secara empiris dimana jenis antibiotik yang

digunakan harus dapat memberi efek pada semua jenis bakteri patogen yang

dicurigai. Pada banyak keadaan infeksi, kuman penyebab infeksi belum dapat

diketahui atau dipastikan pada saat terapi antibiotika dimulai. Dalam hal ini

pemilihan jenis antibiotika diberikan berdasarkan perkiraan kemungkinan kuman

penyebabnya. Ini dapat didasarkan pada pengalaman yang layak (pengalaman

klinis) atau berdasarkan pada pola epidemiologi kuman setempat.

Pertimbangan utama dari terapi empiris ini adalah pengobatan infeksi sedini

mungkin akan memperkecil resiko komplikasi atau perkembangan lebih lanjut

dari infeksinya, misalnya dalam menghadapi kasus-kasus infeksi berat, infeksi

pada pasien dengan kondisi depresi imunologik. Kelemahan dari terapi empiris

ini meliputi, jika pasien sebenarnya tidak menderita infeksi atau jika kepastian

kuman penyebab tidak dapat diperoleh kemudian karena sebab-sebab tertentu

(misalnya tidak diperoleh spesimen), maka terapi antibiotika seolah-olah

dilakukan menggunakan jenis antibiotik yang berspektrum luas, baik digunakan

secara kombinasi ataupun tunggal. Untuk terapi Profilaksis atau preventif yaitu

jika bakteri penyebab infeksi belum diketahui namun dilakukan upaya pemberian

antibiotik secara dini untuk mencegah penyebaran infeksi menjadi lebih parah

sehingga sering juga diberikan antibiotik yang berspektrum luas.Tetapi jika

bakteri penyebab suatu penyakit infeksi telah dapat diidentifikasi secara pasti,

maka terapi definitif-lah yang harus digunakan. Jenis antibiotik yang digunakan

harus yang berspektrum sempit untuk bakteri patogen tertentu (Katsung, 2004;

Mycek dkk, 2002).

Salah satu penyebab timbul dan meluasnya resistensi antibiotik adalah

karena pemilihan maupun penggunaan antibiotik yang inappropriate, misalnya

pemilihan antibiotik yang tidak sesuai dengan bakteri penyebab infeksi maupun

yang telah resisten. Selain itu penggunaan dosis yang tidak adekuat/suboptimal,

lama pemberian yang tidak sesuai, serta penggunaan secara berlebihan suatu jenis

antibiotik juga meningkatkan prevalensi resistensi antibiotik (Anonim, 2001).

Beberapa prinsip dasar pemilihan dan penggunaan antibiotik antara lain :

a. memilih antibiotik yang paling sesuai dengan penyebab suatu penyakit infeksi

dan dengan memperhatikan prevalensi resistensi lokal;

b. menggunakan dosis terapi yang adekuat; dan

c. memastikan penderita menyelesaikan terapi secara lengkap.

Untuk kebanyakan infeksi bakteri penggunaan satu macam antibiotik sudah

cukup. Namun, untuk beberapa kondisi tertentu pemakaian dua atau lebih regimen

antibiotik diperlukan untuk meminimalkan bahaya resistensi, misalnya pada terapi

infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis (Anonim, 2001).

Berdasarkan WHO tahun 2001, prinsip-prinsip umum peresepan antibiotik

adalah sebagai berikut :

1. Spektrum antibiotik

2. Farmakokinetik dan farmakodinamik

3. Pemilihan oral dan parenteral

4. Kepatuhan dan kemudahan penggunaan

5. Dampak pada flora normal tubuh

6. Biaya pengobatan

7. Kombinasi antibiotik

8. Efek dari promosi komersial

9. Daftar obat

2.4 Masalah Penggunaan Antibiotik

Proses pemilihan antibiotik yang paling efektif untuk suatu infeksi semakin

sulit, oleh karena makin banyaknya antibiotik baru yang ditawarkan dan masing-

masing memiliki kelebihan dan kelemahan.

Penggunaan antibiotik secara irasional telah banyak dilaporkan, baik di

tingkat pelayanan kesehatan primer, rumah sakit, maupun di praktek-peraktek

swasta. Bentuk keirasionalan ini sangat beragam, mulai dari ketidaktepatan dalam

pemilihan jenis antibiotik, dosis yang tidak adekurat, cara pemberian yang tidak

tepat, frekuensi pemberian yang keliru hingga terlalu lamanya pemberian

antibiotik untuk pengobatan infeksi.

Beberapa penelitian menemukan bahwa sekitar 25-60% peresepan antibiotik

di rumah sakit dianggap irasional oleh karena beberapa alasan, antara lain (1)

tidak terbuktinya adanya infeksi bakterial; (2) pemilihan antibiotik tidak tepat; (3)

dosis yang kurang atau justru berlebihan; (4) pemberian dalam jangka waktu yang

terlalu lama ; dan (5) cenderung diresepkannya antibiotik yang relatif mahal

(Anonim, 1995).

1.1.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keirasionalan Penggunaan

Antibiotik

Adapun Faktor-faktor tersebut yaitu:

a) Ketidaktepatan Diagnosis

b) Tidak ditaatinya pedoman pengobatan

c) Terlalu mengandalkan pengalamn klinik (tidak berdasarkan bukti ilmiah)

d) Shot-gun approach

e) Terbatasnya informasi mengenai perkembangan antibiotik

f) Promosi obat yang berlebihan

g) Kurangnnya kepedulian mengenai isu biaya pengobatan

h) Tekanan dari pasien (Anonim, 1995)

1.1.2 Dampak Penggunaan Antibiotik Yang Irasional

Adapun dampak penggunaan antibiotik yang irasional adalah :

a. Dampak terhadap risiko efek samping.

b. Dampak terhadap resistensi bakteri.

c. Dampak terhadap upaya penurunan morbiditas dan mortilitas infeksi.

d. Dampak terhadap biaya pengobatan.

e. Dampak terhadap suplai obat (Anonim, 1995).

2.5 Rasionalitas Pengobatan

Rasionalitas pengobatan pada umumnya hanya mencakup lima aspek yaitu

tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis dan waspada terhadap efek

samping. Namun, secara praktis menyatakan penggunaan obat dikatakan rasional

jika memenuhi criteria sebagai berikut :

1. Tepat Diagnosis

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat.

2. Tepat dengan indikasi penyakit

Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik

misalnyadiindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian pemberian ini

hanyadianjurkan untuk pasien yang memiliki gejala adanya infeksi bakteri

3. Tepat Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis

ditegakkan dengan benar. Pemilihan obat yang tepat adalah penggunaan obat

yang efektif, aman, murah, tidak polifarmasi, drug combination (fixed),

individualisasi, serta pemilihan obat atas dasar daftar obat yang telah

ditentukan bersama.

4. Tepat Dosis

Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat dengan rentang terapi

yang sempit (narrow therapeutic margin) akan sangat beresiko timbulnya efek

samping

5. Tepat Cara Pemberian

Obat antasida dalam bentuk tablet seharusnya dikunyah baru ditelan.

Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan

membentuk ikatan yang tidak dapat diabsorbsi sehingga menurunkan

efektifitasnya.

6. Tepat Interval

Waktu pemberian/cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana

mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Obat yang harus

diminum 3x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan

interval setiap 8 jam.

7. Tepat Lama Pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing,

misalnya untuk tuberkulosis lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan.

8. Waspada Terhadap Efek Samping Pemberian

Obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang

timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi.

9. Tepat Penilaian Kondisi Pasien

Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini jelas terlihat pada

beberapa jenis obat seperti teofilin, dan aminoglikosida sebaiknya dihindarkan

karena resiko terjadinya nefrotoksik pada kelompok ini.

10. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin serta

tersedia setiap saat dengan harga terjangkau.

11. Tepat Informasi

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam

menunjang keberhasilan terapi.

12. Tepat Tindak Lanjut (Follow Up)

Pada saat memutuskan pemberian terapi harus sudah dipertimbangkan upaya

tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau

mengalami efek samping.

13. Tepat Penyerahan Obat (Dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerahan obat

dan pasien sendiri sebagai konsumen. Proses penyiapan dan penyerahan obat

harus dilakukan secara tepat agar pasien mendapatkan obat sebagaimana

seharusnya.

14. Pasien Patuh Terhadap Perintah Pengobatan

Pemberian obat dalam jangka lama tanpa informasi/ supervisi

dapatmenurunkan kepatuhan penderita (Anonim, 1995).

2.6 Profil Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. M. Dunda Limboto

Kabupaten Gorontalo

1. Sejarah Rumah Sakit

Badan pengelola rumah sakit umum daerah Dr. M. M. Dunda yang semula

bernama Rumah Sakit Umum Limboto adalah rumah sakit milik pemerintah

kabupaten Gorontalo yang berlokasi di wilayah kabupaten Gorontalo, didirikan

pada tanggal 25 November 1963 dengan kapasitas awal tempat tidur 29 buah.

Melalui surat keputusan menteri kesehatan nomor 171/Menkes/SK/1994

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. M. Dunda ditetapkan menjadi rumah sakit

kelas B. Dunda yang diambil dari nama seorang perintis kemerdekaan yang telah

mengabdikan dirinya dibidang kesehatan sehingga diabadikan menjadi nama

rumah sakit umum daerah milik pemerintah daerah kabupaten gorontalo yang

berkedudukan sebagai unit pelaksana pemerintah kabupaten gorontalo dibidang

pelayanan kesehatan masyarakat.

2. Visi dan Misi

Untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan pelayanan yang lebih baik dan

bermutu, maka pihak rumah sakit umum daerah Dr. M. M. Dunda memiliki

komitmen untuk mewujudkan pelayanan optimal (pelayanan prima) dengan

memformulasikan dalam visi dan misi, dengan program unggulannya.

Visi :

“Terwujudnya Pelayanan Kesehatan Yang Optimal”

Misi :

Untuk mewujudkan pelayanan yang lebih baik dan rancangan untuk mendukung

visi rumah sakit, maka misi yang digunakan oleh pihak rumah sakit yaitu :

1) Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

2) Menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia.

3) Kerja sama dengan mitra rumah sakit.

4) Mendukung sarana dan prasarana rumah sakit yang berkualitas dan

bermanfaat secara optimal.

5) Meningkatkan pendapatan rumah sakit.

6) Meningkatkan kesejahteraan karyawan.

3. Tujuan dan Filosofi Rumah Sakit

Tujuan Rumah Sakit adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan

kehidupan bangsa dengan Visi Departemen Kesehatan “Membuat Rakyat

Sehat”.

Filosofi :

“Keselamatan, Kesembuhan dan Kepuasan Pasien adalah Kebanggaan Kami”.

4. Tugas dan Fungsi

Tugas pokok badan pengelola rumah sakit umum daerah Dr. M. M. Dunda

Kabupaten Gorontalo, yaitu :

1) Melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna

dengan mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilakukan

secara serasi, terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta

melaksanakan upaya rujukan.

2) Melaksanakan pelayanan umum yang bermutu sesuai standar pelayanan

rumah sakit.

Adapun fungsi badan pengelola rumah sakit umum daerah Dr. M. M. Dunda

Kabupaten Gorontalo, yaitu :

1) Pelayanan medis

2) Pelayanan penunjang medis dan non medis

3) Pelayanan dan asuhan keperawatan

4) Pelayanan rujukan

5) Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan

6) Penelitian dan pengembangan

7) Pelayanan administrasi umum dan keuangan

2.7 Skema kerangka konseptual

Tepat Indikasi

Tepat Obat

Tepat Dosis

Kerasionalan

Penggunaan

Antibiotik