bab ii riset

Upload: renisa-hutahaean

Post on 31-Oct-2015

367 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

renisa

TRANSCRIPT

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan dan Sikap Perawat tentang Patient safety2.1.1 Pengetahuan Perawat tentang Patient safety2.1.1.1 pengertian Notoatmodjo ( 2003 ), mendefinisikan pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan, dan perabaan. Pengetahuan manusia sebagian besar diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran serta sedikit yang diperoleh melalui penciuman, perasaan, dan perabaan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam bentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan adalah hasil dari suatu produk sistem pendidikan dan akan mendapatkan pengalaman yang nantinya akan memberikan suatu tingkat pengetahuan atau ketrampilan dapat dilakukan melalui pelatihan. Pengetahuan diperoleh dari proses belajar, yangdapat membentuk keyakinan tertentu.Jann Hidayat Tjakraatmadja dan Donald Crestofel Lantu dalam bukunya Knowledge Management disebutkan bahwa pengetahuan diperoleh dari sekumpulan informasi yang saling terhubung secara sistematik sehingga memiliki makna. Informasi diperoleh dari data yang sudah diolah (disortir, dianalisis, dan ditampilkan dalam bentuk yang dapat dikomunikasikan melalui bahasa, grafik atau tabel), sehingga memiliki arti. Selanjutnya data ini akan dimiliki seseorang dan akan tersimpan dalam neuron-neuron (menjadi memori) di otaknyaPerawat sebagai salah satu tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keselamatan pasien dan proses penyembuhan yang berlangsung sesuai dengan standar praktik keperawatan. Dimana salah satu petunjuk pengukuran kualitas layanan kesehatan adalah pencatatan keselamatan pasien (Nurachmah, 2007). Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.Budaya keselamatan (safety culture) adalah keadaan dimana staf dalam suatu organisasi memiliki kesadaran yang konstan dan aktif tentang hal yang potensial menimbulkan kesalahan. Baik staf maupun organisasi harus mampu membicarakan kesalahan (Speak Up) tanpa menyalahkan (Blaming), kemudian belajar dari kesalahan yang telah dilakukan serta mengambil tindakan perbaikan dan berbagi pengalaman tentang kesalahan itu.Patient safety adalah pasien bebas dari cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari cedera yang potensial akan terjadi (penyakit,cedera fisik/sosial psikologis, cacat, kematian ) terkait dengan pelayanan kesehatan (KKP-RS, 2008). Patient Safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk : assesment resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (DepKes,2006)Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang perlu ditangani segera di rumah sakit, maka dibuatlah standar keselamatan pasien yang terdiri dari tujuh standar, yaitu :1. Hak Pasien.2. Mendidik pasien dan keluarga.3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan.4. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien.5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien.7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien2.1.1.2 Tujuan Patient SafetyAdapun tujuan dari keselamatan pasien di rumah sakit diantaranya adalah : a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat c. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit d. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.

2.1.1.3 Sistim keselamatan pasien rumah sakita. Pelaporan insiden, laporan bersifat anonim dan rahasia.b. Analisa, belajar, riset masalah dan pengembangan taxonomy.c. Pengembangan dan penerapan solusi serta monitoring/evaluasi.d. Penetapan panduan, pedoman, SOP, standart indikator keselamatan pasien berdasarkan pengetahuan dan riset.e. Keterlibatan serta pemberdayaan pasien dan keluarganya.2.1.1.4 Standar patient safetyStandar I. Hak pasienPasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tak Diharapkan(KTD).Kriteria:a. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan.c. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan dan prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya KTD.

Standar II. Mendidik pasien dan keluarga.Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung pasien dalam asuhan pasien.Kriteria:Keselamatan pasien dalam pemberian pelayanan dapat di tingkatkan dengan keterlibatan pasien yang merupakan patner dalam proses pelayanan. Karena itu di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut di harapkan pasien dan keluarga dapat :a. Memberi informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.

Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan.Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.Kriteria:a. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit.b. Terdapat koordinasi pelayanan yang di sesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transaksi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar.c. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.d. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.

Standar IV.Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.Kriteria:a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perencanaan yang baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat dan faktor-faktor lain yang berpotensi resiko bagi pasien sesuai dengan 7 langkah menuju keselamatan pasien rumah sakitb. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja antara lain yang terkait dengan : pelaporan insiden, akreditasi, menejemen resiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan.c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua KTD/KNC, dan secara proaktif melakukan evaluasi suatu proses kasus resiko tinggi.d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan sistem yang di perlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.

Standar V Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan 7 langkah menuju keselamatan pasien rumah sakitb. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi KTD/KNCc. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien.d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji dan meningkatkan kinerja rumah rakit serta meningkatkan keselamatan pasien.e. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja Rumah Sakit dan keselamatan pasien.

Kriteria:a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.b. Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden, yang mencakup jenis kejadian yang memerlukan perhatian, mulai dari KNC/Kejadian Nyaris Cedera (Near miss) sampai dengan KTD/Kejadian Tak Diharapkan (Adverse event)c. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan pasien.d. Tersedia prosedur cepat tanggap terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jalas untuk keperluan analisis.e. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang analisis akar masalah (RCA) kejadian pada saat program keselamatan pasien mulai di laksanakan.f. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden atau kegiatan proaktif untuk memperkecil resiko, termasuk mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan dengan kejadian.g. Terdapat kolaburasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar pengelola pelayanan di dalam Rumah Sakit dengan pendekatan antar disiplin.h. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang di butuhkan dalam kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan Keselamatan Pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut.i. Tersedia sasaran terukur dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria obyektif untuk mengevaluasi efektifitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya.

Standar VI Mendidik staf tentang keselamatan pasien.a. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaiatan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas.b. Rumah sakit menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.Kriteria:a. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik tentang keselamatan paien sesuai dangan tugasnya masing- masing.b. Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice training dan member pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.c. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaburatif dalam rangka melayani pasien.

Standar VII Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.a. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternalb. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

Kriteria:a. Perlu di sediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal- hal terkait dengan keselamatan pasien.b. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada.

2.1.1.5 Langkah penerapan program patient safety (DepKes.2006)1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.2. Membangun komitmen dan fokus yang jelas tentang keselamatan pasien.3. Membangun sistem dan proses managemen resiko serta melakukan identifikasi dan assessmen terhadap potensial masalah.4. Membangun sistim pelaporan.5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien.6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien dengan melakukan analisis akar masalah.7. Mencegah cedera melalui implementasi sistim keselamatan pasien dengan menggunakan informasi yang ada.2.1.1.6 Solusi keselamatan pasien1) Tehnik Pemberian Obat Perawat profesional mempunyai peranan yang penting dalam pelaksanaan pemberian obat. Untuk dapat memberikan obat secara benar dan efektif, perawat harus mengetahui tentang indikasi, dosis, dan cara pemberian obat dan efek samping yang mungkin terjadi dari setiap obat yang diberikan (Priharjo, 1995). Untuk menghindari kesalahan, maka perawat tidak boleh memberikan sampai ia benar-benar memahami obat yang diberikan. Dengan kemajuan bidang farmasi, maka jenis dan jumlah obat juga semakin bervariasi. Untuk mengantisipasi hal ini, maka perawat harus rajin dalam belajar dan membaca berbagai informasi baru tentang obat-obatan. Sebelum memberikan suatu obat, maka perawat harus yakin bahwa obat tersebut benar-benar diorderkan oleh dokter. Dalam hal ini perawat berpegang pada prinsip lima benar yang meliputi: benar ordernya, benar obatnya, benar pasiennya, benar cara pemberiannya dan benar waktu pemberiannya. Perawat mempunyai peranan dalam melakukan pengkajian secara berkelanjutan, perawat harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang farmakologi obat yang diberikan kepada pasien sehingga dapat mengobservasi keefektivitasan obat dan mendeteksi adanya kemungkinan toksisitas (Priharjo, 1995). Perawat sebagai tenaga kesehatan, tidak sekedar memberikan pil, untuk diminum atau injeksi melalui pembuluh darah, namun juga mengobservasi respon klien terhadap pemberian obat tersebut. Perawat juga memiliki peran yang utama dalam meningkatkan dan mempertahankan dengan mendorong klien untuk proaktif jika membutuhkan pengobatan.2) Identintifikasi pasien Identifikasi adalah pengumpulan data dan pencatatan segala keterangan tentang bukti-bukti dari seseorang sehingga kita dapat menetapkan dan mempersamakan keterangan tersebut dengan individu seseorang, dengan kata lain bahwa dengan identifikasi kita dapat mengetahui identitas seseorang dan dengan identitas tersebut kita dapat mengenal seseorang dengan membedakan dari orang lain.Untuk mengadakan identifikasi ada 3 hal yang diperlukan: 1. Mengenali secara fisik: a. Melihat wajah/fisik seseorang secara umum b. Membandingkan seseorang dengan gambar/foto 2. Memperoleh keterangan pribadi antara lain a. Nama b. Alamat c. Agama d. Tempat/Tanggal lahir e. Tanda tangan f. Nama orang tua/Suami/Istri dsb. 3. Mengadakan penggabungan antara pengenalan fisik dengan keterangan pribadi, dari penggabungan tersebut biasanya yang paling dapat dipercaya berupa KTP, Pasport, SIM dsb. Masalah-masalah yang timbul akibat dari kesalahan identifikasi akan menyebabkan kerugian bagi rumah sakit karena akan terjadi pemborosan waktu, tenaga, materi ataupun pekerjaan yang tidak efisien dan lebih jauh akan merugikan pasien itu sendiri, misalnya kesalahan pemberian obat/tindakan dsb. Sebaiknya identifikasi pasien dilakukan sebelum pasien diperiksa/dirawat, oleh karena itu sedapat mungkin keterangan-keterangan dapat diminta langsung kepada pasien sendiri, tetapi bila tidak mungkin dapat dimintakan keterangan kepada famili atau teman terdekat yang ada. Pengumpulan data identifikasi dirumah sakit sebaiknya dilakukan dengan cara wawancara dan pengisian formulir dan akan lebih baik bila didukung dengan keterangan-keterangan lain yang bersifat legal, misalnya KTP, Pasport, SIM dsb.3) Komunikasi Keperawatan Komunikasi merupakan proses yang sangant khusus dan berarti dalam berhubungan antar manusia. Pada profesi keperawatan komunikasi menjadi lebih bermakna karena merupakan metode utama dalam mengimplementasikan proses keperawatan. Pengalaman ilmu untuk menolong sesama memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang besar (M. Jenny, 2003). Komunikasi adalah sesuatu yang kompleks, sehingga banyak model yang digunakan dalam menjelaskan bagaimana cara organisasi dan orang berkomunikasi. Dasar model umum proses komunikasi terlihat pada gambar dibawah ini, yang menunjukkan bahwa setiap komunikasi pasti ada pengirim pesan dan penerima pesan. Pesan tersebut dapat berupa verbal, tertulis maupun non verbal. Proses ini juga melibatkan suatu lingkungan internal dan eksternal, dimana komunikasi dilaksanakan. Lingkungan internal meliputi: nilai-nilai, kepercayaan, temperamen, dan tingkat stres pengirim pesan, sedangkan faktor eksternal meliputi: keadaan cuaca, suhu, faktor kekuasaan, dan waktu. Kedua belah pihak (pengirim dan penerima pesan) harus peka terhadap faktor internal dan faktor eksternal, seperti persepsi dari komunikasi yang ditentukan oleh lingkungan eksternal yang ada.a. Komunikasi Dalam Asuhan Keperawatan Komunikasi dalam praktik keperawatan profesional merupakan unsur utama bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan untuk mencapai hasil yang optimal. Kegiatan keperawatan yang memerlukan komunikasi meliputi (1) komun ikasi saat timbang terima; (2) interview/anamnesis; (3) komunikasi melalui komputer; (4) komunikasi rahasia pasien; (5) komunikasi melalui sentuhan; (6) komunikasi dalam pendokumentasian; (7) komunikasi antara perawat dengan tim kesehatan lainnya; (8) komunikasi antara perawat dan pasien.1. Komunikasi Saat Timbang Terima Pada saat timbang terima, diperlukan suatu komunikasi yang jelas tentang kebutuhan klien terhadap apa yang sudah dilakukan intervensi dan yang belum, serta respons pasien yang terjadi. Perawat melakukan timbang terima dengan berjalan bersama dengan perawat lainnya, dan menyampaikan kondisi pasien secara akurat di dekat pasien. Cara ini lebih efektif dari pada harus menghabiskan waktu orang lain untuk membaca, dan membantu perawat dalam menerima timbang terima secara nyata. 2. Anamnesis Anamnesis atau wawancara kepada pasien merupakan kegiatan yang selalu dilakukan oleh perawat kepada pasien pada saat pelaksanaan asuhan keperawatan (proses keperawatan). perawat melakukan anamnesis kepada pasien, keluarga, dokter dan tim kerja lainnya. 3. Komunikasi Melalui Komputer Komputer merupakan suatu alat komun ikasi cepat dan akurat pada manajemen keperawatan saat ini. Penulisan data-data klien dalam komputer akan mempermudah perawat lain dalam mengidentifikasi masalah pasien dan memberikan intervensi yang akurat. Melalui komputer, informasi-informasi terbaru dapat cepat diperoleh dengan menggunakan internet, bila perawat mengalami kesul;itan dalam menangani masalah klien.4. Komunikasi Tentang Kerahasiaan. Pasien yang masuk dalam sistem pelayanan kesehatan menyerahkan rahasia dan rasa percaya kepada institusi. Perawat sering dihadapkan pada suatu dilema dalam menyimpan rahasia pasien, di satu sisi dia membutuhkan informasi dengan menghubungkan apa yang dikatakan klien dengan orang lain, di lain pihak dia harus memegang janji untuk tidak menyampaikan informasi tersebut kepada siapapun. 5. Komunikasi Melalui Sentuhan Komunikasi melalui sentuhan kepada pasien merupakan metode dalam mendekatkan hubungan antara pasien dengan perawat. Sentuhan yang diberikan oleh perawat juga dapat berguna sebagai terapi bagi pasien, khususnya pasien dengan depresi, kecemasan, dan kebingungan dalam mengambil suatu keputusan. Tetapi yang perlu dicatat dalam sentuhan tersebut adalah perbedaan jenis kelamin antara perawat dan pasien, dalam situasi ini perlu adanya persetujuan. 6. Dokementasi Sebagai Alat Komunikasi. Dokumentasi adalah salah satu alat yang sering digunakan dalam komunikasi keperawatan dalam memvalidasi asuhan keperawatan, sarana komunikasi antar tim kesehatan lainnya, dan merupakan dokumen paten dalam penberian asuhan keperawatan. Menurut Nursalam (2002) kapan saja perawat melihat pencatatan kesehatan, maka perawat dapat memberi dan menerima pendapat dan pemikiran. Dalam kenyataannya, dengan semakin kompleksnya pelayanan keperawatan dan peningkatan kualitas keperawatan, perawat tidak hanya dituntut untuk meningkatkan mutu pelayanan, tetapi dituntut untuk dapat mendokumentasikan secara benar. Keterampilan dokumentasi yang efektif memungkinkan perawat untuk mengkomunikasikan kepada tenaga kesehatan lainnya, dan menjelaskan apa yang sudah, sedang dan akan dikerjakan perawat. 7. Komunikasi Perawat Dan Tim Kesehatan Lainnya. Komunikasi yang baik akan meningkatkan hubungan profesional antar perawat dan tim kesehatan lainnya: dokter, ahli gizi, fisioterapis, dan lain-lain. Pengembangan model praktik keperawatan profesional merupakan sarana peningkatan komunikasi antar perawat dan tim kesehatan lainnya.

4) Cairan Elektrolit Pekat (Consentrated)Farmakope Indonesia (1995) menyebutkan, sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda yaitu; (1) obat atau larutan atau emulsi yang digunakan untuk injeksi, ditandai dengan nama, (2) sediaan padat kering atau cairan pekat tidak mengandung dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah persyaratan injeksi, dan dapat dibedakan dari nama dan bentuknya, (3) sediaan mengandung satu atau lebih zat padat, pengencer atau bahan tambahan lain, (4) sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikkan secara intravena atau kedalam saluran spinal, (5) sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan pembawa yang sesuai.5) Akurasi Pemberian Obat Pada pengalihan Pelayanan Pada pemindahan pasien/penglihan pelayanan dari suatu ruangan ke ruangan yang lain juga memerlukan tindakan pelaksanaan benar pasien yang terdiri dari memeriksa kembali identitas pasien, mencocokkan nama pasien dengan nama didalam rekam medis dan mencocokkan nama pasien yang tertera dalam etiket/lebel obat dengan identitas pasien6) Pemasangan Kateter dan NGT (Naso Gastric Tube)a. Pemasangan Kateter Pemasangan kateter dilakukan hanya bila perlu saja dan segera dilepas bila tidak diperlukan lagi. Alasan pemasangan kateter tidak boleh hanya untuk kemudahan personil dalam memberikan asuhan kepada pasien. Cara drainage urine yang lain seperti: kateter kondom, kateter suprapubik, kateterisasi selang seling (intermiten) dapat digunakan sebagai kateterisasi menetap bila memungkinkan.b. Nasogastric Tube Tindakan pemasangan selang Nasogastrik adalah proses medis yaitu memasukkan sebuah selang plastik (selang nasogastrik, NG tube) melalui hidung, melewati tenggorokan dan terus sampai ke dalam lambung 7) Alat Injeksi Sekali Pakai 1. Jarum Suntik Injeksi telah digunakan untuk pertama kalinya pada manusia sejak tahun 1660, meskipun demikian perkembangan pertama injeksi semprot baru berlangsung pada tahun 1852, khususnya pada saat dikenalnya ampul gelas. Injeksi adalah sediaan steril yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui selaput lendir. Umumnya hanya larutan obat dalam air yang bisa diberikan secara intravena. Suspensi tidak bisa diberikan karena bahaya hambatan pembuluh kapiler. Suspensi air, minyak dan larutan minyak biasanya tidak dapat diberikan secara subcutan, karena akan timbul rasa sakit dan iritasi.2. Persyaratan dalam Larutan Injeksi Kerja optimal dan sifat tersatukan dari larutan obat yang diberikan secara parenteral hanya akan diperoleh jika persyaratan berikut terpenuhi : a. Sesuai kandungan bahan obat yang dinyatakan di dalam etiket dan yang ada dalam sediaan, tidak terjadi penggunaan efek selama penyimpanan akibat perusakan kimia dan sebagainya.b. Penggunaan wadah yang cocok, yang tidak hanya memungkinkan sediaan tetap steril tetapi juga mencegah terjadinya antaraksi dan antarbahan obat dan material dinding wadah. 3. Intravena Merupakan larutan yang mengandung cairan yang tidak menimbulkan iritasi yang dapat bercampur dengan air, volume 1 ml sampai 10 ml. larutan ini biasanya isotonis dan hipertonis. Bila larutan hipertonis maka disuntikkan perlahan-lahan. Larutan injeksi intravena harus jernih betul, bebas dari endapan dan partikel padat, karena dapat menyumbat kaapiler dan menyebabkan kematian HIV/AIDS merupakan dua kata yang memiliki arti berbeda. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) adalah penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus tersebut diduga kuat berasal dari virus kera di Afrika yang telah mengalami mutasi. Jika seseorang terjangkit virus ini, maka tubuh manusia tidak mempunyai daya tahan, sehingga mudah diserang oleh berbagai macam penyakit. Dianggap mematikan karena penderita AIDS pada umumnya terkena lebih dari satu penytakit.Walaupun AIDS sangat mematikan, penularannya tidak semudah penularan virus lain. Virus HIV tidak ditularkan melalui kontak biasa seperti jabat tangan, pelukan, batuk, bersin, peralatan makan dan mandi. Virus HIV dapat masuk melalui luka di kulit atau selaput lendir. Penularannya dapat terjadi melalui hubungan seksual, tranfusi darah, dan penggunaan jarum suntik yang tidak steril, serta ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan menyusui

2.1.2 Sikap Perawat Tentang Patient safety2.1.2.1 pengertian Sikap adalah respon atau reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, tidak dapat dilihat secara langsung sehingga sikap hanya dapat ditafsirkan dari perilaku yang tampak. Sikap merupakan produk dari proses sosialisasi , seseorang memberikan reaksi sesuai dengan rangsangan yang ditemuinya. Sikap dapat diartikan suatu kontrak untuk memungkinkan terlihatnya suatu aktivitas.

2.1.2.2 Tingkatan sikapBerbagai tingkatan sikap antara lain:1. Menerima(receiving)Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). misalnya : sikap perawat terhadap program patient safety dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian perawat terhadap sosialisasi tentang pentingnya program patient safety.

2. Merespon(responding)Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan meyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.3. Menghargai(valuing)Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. misalnya : seorang perawat yang mengajak perawat yang lain untuk berperilaku menerapkan patient safety adalah bukti bahwa perawat tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap program patient safety.4. Bertanggungjawab(responsible)Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. misalnya, seorang perawat mau menerapkan keselamatan pasien, meskipun mendapat tantangan dari teman sejawatnya

Sikap terhadap patient safety adalah pendapat atau penilaian orang terhadap hal-hal yang berkaitan dengan patient safety, yang mencakup sekurang-kurangnya 4 variabel yaitu :a. Sikap terhadap risiko yang bisa terjadi bila tidak menerapkan program patient safetyb. Sikap tentang faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi keselamatan pasien.c. Sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia.d. Sikap untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan.Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong seluruh RS-RS se-Indonesia untuk menerapkan sembilan solusi keselamataan rumah sakit baik secara langsung maupun bertahap. Adapun sembilan solusi keselamatan pasien tersebut adalah: 1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication Names). Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Dengan puluhan ribu obat yang ada saat ini di pasar, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama merek atau generik serta kemasan. Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk pengurangan risiko dan memastikan terbacanya resep, lebel, atau penggunaan perintah yang dicetak lebih dulu, maupun pembuatan resep secara elektrolit.2. Pastikan Identfikasi Pasien. Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara benar sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, tranfusi maupun pemeriksaan; pelaksanaan prosedur yang keliru orang; penyerahan bayi kepada yang bukan keluarganya, dsb. Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini; standarisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini; serta penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama. 3. Komunikasi secara benar saat serah terima/pengoperan pasien. Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/pengoperan pasien antara unit-unit pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien.rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis; memberikan kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada sat serah terima. 4. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar. Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasus-kasus dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi. Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan; pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan prosedur; dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur, sesaat sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan identitas pasien, prosedur dan sisi yang akan dibedah. 5. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated) Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras memiliki profil risiko, cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya. Rekomendasinya adalah membuat standardissasi dari dosis, unit ukuran dan istilah; dan pencegahan atas campur aduk/bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik.6. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan. Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi/pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk mencegah salah obat (medications error) pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya adalah menciptakaan suatu daftar yanng paling lengkap dan akurat dan seluruh medikasi yng sedang diterima pasien juga disebut sebagai home medication list, sebagai perbandingan dengan daftar saat administrasi, penyerahan dan/ atau perintah pemulangan bilamana menuliskan perintah medikasi; dan komunikasikan daftar tersebut kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer atau dilepaskan. 7. Hindari salah kateter dan salah sambung selang (tube). Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) yang bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan slang dan spuit yang salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru. Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara detail/rinci bila sedang mengerjakan pemberian medikasi serta pemberian makan (misalnya slang yang benar, dan bilamana menyambung alat-alat kepada pasien (misalnya menggunakan sambungan dan slang yang benar). 8. Gunakan alat injeksi sekali pakai Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran HIV, HBV, dan HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang (reuce) dari jarum suntik. Rekomendasinya adalah perlunya melarang pakai ulang jarum difasilitas layaanan kesehatan; pelatihan periodik para petugas di lembaga-lembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-prinsip pengendalian infeksi, edukasi terhadap pasien dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui darah; dan praktek jarum suntik sekali pakai yang aman. 9. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi nosokomial diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan tangan yang efektif adalah ukuran preventif yang primer untuk menghindarkan masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan, seperti alkohol, hand-rubs, dsb. Yang disediakan pada titik-titik pelayanan tersedianya sumber air pada semua kran, pendididkan staf mengenai teknik kebersihan tangan yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja; dan pengukuran kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan/ observasi dan tehnik-tehnik yang lain.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan

2.2 Universal Precautions2.2.1 Pengertian Menurut WHO dalam Nasronudin (2007), universal precautions merupakan suatu pedoman yang ditetapkan oleh the Centers for Disease Control and Prevention CDC Atlanta dan the Occupational Safety and Health Administration (OSHA), untuk mencegah transmisi dari berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan. Sementara itu menurut Kurniawati dan Nursalam (2007), kewaspadaan Universal (KU) atau Universal Precautions (UP) adalah suatu cara untuk mencegah penularan penyakit dari cairan tubuh, baik dari pasien ke petugas kesehatan dan sebaliknya juga dari pasien ke pasien lainnya.2.2.2 Tujuan Universal PrecautionsKurniawati dan Nursalam (2007), menyebutkan bahwa Universal precautions perlu diterapkan dengan tujuan :1. Mengendalikan infeksi secara konsisten Universal precautions merupakan upaya pengendalian infeksi yang harus diterapkan dalam pelayanan kesehatan kepada semua pasien, setiap waktu, untuk mengurangi risiko infeksi yang ditularkan,melalui darah.2. Memastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak didiagnosis atau tidak terlihat seperti berisiko Prinsip universal precautions diharapkan akan mendapat perlindungan maksimal dari infeksi yang ditularkan melalui darah maupun cairan tubuh yang lain baik infeksi yang telah diagnosis maupun yang belum diketahui.3. Mengurangi risiko bagi petugas kesehatan dan pasienUniversal precautions tersebut bertujuan tidak hanya melindungi petugas dari risiko terpajan oleh infeksi HIV namun juga melindungi klien yang mempunyai kecenderungan rentan terhadap segala infeksi yang mungkin terbawa oleh petugas.4. Asumsi bahwa risiko atau infeksi berbahayaUniversal precautions ini juga sangat diperlukan untuk mencegah infeksi lain yang bersifat nosokomial terutama untuk infeksi yang ditularkan melalui darah / cairan tubuh.

2.2.3 Macam Universal Precautions Tindakan pencegahan universal meliputi hal-hal sebagai berikut :1. Cuci tanganMencuci tangan merupakan teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan infeksi (Potter & Perry, 2005). Tujuan mencuci tangan adalah untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba total pada saat itu. Mikroorganisme pada kulit manusia dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu flora residen dan flora transien. Flora residen adalah mikrorganisme yang secara konsisten dapat diisolasi dari tangan manusia, tidak mudah dihilangkan dengan gesekan mekanis yang telah beradaptasi pada kehidupan tangan manusia. Flora transien yang flora transit atau flora kontaminasi, yang jenisnya tergantung dari lingkungan tempat bekerja.Mikroorganisme ini dengan mudah dapat dihilangkan dari permukaan dengan gesekan mekanis dan pencucian dengan sabun atau detergen. Cuci tangan harus dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan walupun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain untuk menghilangkan atau mengurangi mikrorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran penyakit dapat di kurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi. Tangan harus di cuci sebelum dan sesudah memakai sarung tangan. Cuci tangan tidak dapat digantikan oleh pemakaian sarung tangan. Mencuci tangan dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan walaupun memakai sarung tangan dan alat pelindung lain. Tindakan ini untuk menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran infeksi dapat dikurangi dan lingkungan kerja tetap terjaga. Cuci tangan dilakukan pada saat sebelum; memeriksa (kontak langsung dengan pasien), memakai sarung tangan ketika akan melakukan menyuntik dan pemasangan infus. Cuci tangan harus dilakukan pada saat yang diantisipasi akan terjadi perpindahan kumanCuci tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan walaupun memakai sarung tangan dan alat pelindung diri lain. Tindakan ini penting untuk mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran infeksi dapat dikurangi dan lingkungan kerja terjaga dari infeksi (Kurniawati & Nursalam, 2007). Indikator mencuci tangan digunakan dan harus dilakukan untuk antisipasi terjadinya perpindahan kuman melalui tangan yaitu:a. Sebelum melakukan tindakan, misalnya saat akan memeriksa (kontak langsung dengan klien), saat akan memakai sarung tangan bersih maupun steril, saat akan melakukan injeksi dan pemasangan infus.b. Setelah melakukan tindakan, misalnya setelah memeriksa pasien, setelah memegang alat bekas pakai dan bahan yang terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa.a. Cara Cuci TanganCuci tangan higienik atau rutin yang berfungsi mengurangi kotoran dan flora yang ada di tangan dengan menggunakan sabun atau detergen. Cuci tangan aseptic yaitu cuci tangan yang dilakukan sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan menggunakan antiseptik. Cuci tangan bedah yaitu cuci tangan yang dilakukan sebelum melakukan tindakan bedah aseptik dengan antiseptik dan sikat steril.Langkah mencuci tangan (Potter & Perry, 2005) adalah sebagai berikut:1) Gunakan wastapel yang mudah digapai dengan air mengalir yang hangat, sabun biasa atau sabun antimikrobial, lap tangan kertas atau pengering.2) Lepaskan lap tangan dan gulung lengan panjang keatas pergelangan tangan. Hindari memakai cincin, lepaskan selama mencuci tangan.3) Jaga supaya kuku tetap pendek dan datar.4) Inspeksipermukaan tangan dan jari akan adanya luka atau sayatan pada kulit dan kutikula.5) Berdiri didepan wastapel. Jaga agar tangan dan seragam tidak menyentuh wastapel. 6) Alirkan air. Tekan pedal dengan kaki untuk mengatur aliran dan suhu atau dorong pedal lutut secara lateral untuk mengatur aliran dan suhu.7) Hindari percikan air mengenai seragam.8) Atur aliran air sehingga suhu hangat.9) Basahi tangan dan lengan bawah dengan seksama sebelum mengalirkan air hangat. Pertahankan supaya tangan dan lengan bawah lebih rendah dari pada siku selama mencuci tangan.10) Taruh sedikit sabun biasa atau sabun anti mikrobial cair pada tangan, sabuni dengan seksama.11) Gosok kedua tangan dengan cepat paling sedikit 10 15 detik. Jalin jari-jari tangan dan gosok telapak dan bagian punggung tangan dengan dengan gerakan sirkuler paling sedikit masing-masing lima kali. Pertahankan supaya ujung jari berada dibawah untuk memungkinkan pemusnahan mikroorganisme.12) Jika daerah di bawah kuku kotor, bersihkan dengan kuku jari tangan yang satunya, dan tambah sabun atau stik orangewood yang bersih13) Bilas tangan dan pergelangan tangan dengan seksama, pertahankan supaya letak tangan dibawah siku.14) Ulangi langkah 10 sampai a2 namun tambah periode mencuci tangannya 1, 2, 3 dan detik.15) Keringkan tangan dengan seksama dan jari tangan ke pergelangan tangan dan lengan bawah dengan handuk kertas (tisue) atau pengering.16) Jika digunakan, buang handuk kertas pada tempat yang tepat.17) Tutup air dengan kaki dan pedal lutut.b. Indikasi Cuci TanganCuci tangan harus dilakukan pada saat yang di antisipasi akan terjadi perpindahan kuman melalui tangan yaitu sebelum malakukan suatu tindakan yang seharusnya dilakukan secara bersih dan setelah melakukan tindakan yang memungkinkan terjadi pencemaran seperti:Sebelum melakukan tindakan misalnya memulai pekerjaan, saat akan memeriksa, saat akan memakai sarung tangan yang steril atau sarung tangan yang telah didesinfeksi tingkat tinggi untuk melakukan tindakan, saat akan melakukan peralatan yang telah di DTT, saat akan injeksi , saat hendak pulang ke rumah.Setelah melakukan tindakan yang memungkinkan terjadi pencemaran. Misalnya setalah memeriksa pasien, setelah mamakai alat bekas pakai dan bahan lain yang beresiko terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa, darah atau cairan tubuh lain, setelah membuka sarung tangan.c. Sarana Cuci TanganSarana cuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan saluran pembuangan atau bak penampungan yang memadai. Dengan guyuran air mengalir tersebut diharapkan mikroorganisme akan terlepas ditambah gesekan mekanis atau kimiawi saat mencuci tangan mikroorganisme akan terhalau dan tidak menempel lagi di permukaan kulit. Air mengalir tersebut dapat berupa kran atau dengan cara mengguyur dengan gayung.Penggunaan sabun tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat dan mengurangi jumlah mikroorganisme dengan jalan mengurangi tegangan permukaan sehingga mikroorganisme mudah terlepas dari permukaan kulit . Jumlah mikroorganisme akan berkurang dengan sering mencuci tangan. Larutan antiseptik atau anti mikroba topikal yang dipakai pada kulit atau jaringan hidup lain menghambat aktivitas atau membunuh mikroorganisme pada kulit. Kulit manusia tidak dapat disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara maksimal terutama pada kuman transien. Kriteria memilih antiseptik adalah sebagai berikut:a. Efektifitasb. Kecepatan aktivitas awalc. Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk meredam pertumbuhan.d. Tidak mengakibatkan iritasai kulite. Tidak menyebabkan alergif. Afektif sekali pakai, tidak perlu diulang-ulang.g. Dapat diterima secara visual maupun estetik.

2. Penggunaan alat pelindung diri (APD)Alat pelindung diri digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta kulit yang tidah utuh dan selaput lendir pasien. Penggunaan alat pelindung diri yang sesuai untuk setiap tindakan seperti :a. Penggunaan Sarung TanganMelindungi tangan dari bahan infeksius dan melindungi pasien dari mikroorganisme pada tangan petugas. Alat ini merupakan pembatas fisik terpenting untuk mencegah penyebaran infeksi dan harus selalu diganti untuk mecegah infeksi silang. Menurut Tiedjen (2004), ada tiga jenis sarung tangan yaitu:1) Sarung tangan bedah, dipakai sewaktu melakukan tindakan infasif atau pembedahan.2) Sarung tangan pemeriksaan, dipakai untuk melindungi petugas kesehatan sewaktu malakukan pemeriksaan atau pekerjaan rutin.3) Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memproses peralatan, menangani bahan-bahan terkontaminasi, dan sewaktu membersihkan permukaan yang terkontaminasi. Hal hal yang perlu di perhatikan dalam pengunaan sarung tang meliputi ( Depkes RI, 2003; Rosdahl dan Marry, 2008; WHO, 2004)a. Mencuci tangan sabun sebelum dan sesudah mengunakan sarung tanganb. Mengganti sarung tangan jika berganti pasien atau sobekc. Mengganti sarung tangan segera setelah melakukan tindakand. Menggunakan sarung tangan saat mengunakan alat nonkontaminasie. Menggunakan satu tangan untuk satu prosedur tindakanf. Menghindari kontak dengan benda benda selain dalam tindakang. Menghindari pengunaan atau mendaur ulang kembali sarung tangan sekali pakai.

b. Alat pelindung wajah Alat pelindung wajah merupakan pealatan wajib perawat untuk menjaga keamanan dirinya dalam menjalankan asuhan keperawatan. Alat pelindung wajah dapat melindungi selaput lender dibagian mulut, hidung, dan mata perawat terhadap resio percikan darah maupun cairan tubuh manusia ( hegner, 2010). Alat pelindung wajah terdiri dari dua alat yaitu masker dan kaca mata pelindung ( Depkes RI,2003). Kedua alat pelindung diri tersebut dapat digunakan terpisah maupun bersamaan sesuai dengan jenis tindakan.Masker bagian dari alat pelindung wajah khususnya untuk melindungi membrane mukosa pada mulut dan hidung perawat ketia berinteraksi dengan pasien. Masker dianjurkan untuk selalu digunakan perawat ketika melakukan tindakan dengan semua pasien khususnya pasien TB ( Depkes RI, 2003). Hal ini diharapkan mampu melindungi perawat terhadap transmisi infeksi melalui uadara. Secara umum masker dibagi menjadi dua jenis yaitu masker standard an masker khusus yang dibuat untuk menyaring parikel parikel atau mikroorganisme kecil ( Rosdahl & Marry, 2008 ). Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketia mengunkan lasker (Rosdahl & Marry, 2008; WHO, 2004):a. Mengunakan masker sebelum memasang sarung tanagnb. Tidak dianjurkan menyentuh masker ketika menggunakannyac. Mengganti masker ketika kotor dan lembabd. Melepaskan masker dilakukan seelah melepasen sarung tangan dan cici tangane. Tidak membiarkan masker menggantung dileherf. Segera melepaskan masker jika tidak digukan g. Tidak dianjurkan menggunakan kembali masker selaki pakai

Kaca mata sebagai bagian dari APD yang bertujuan melindungi mata. Kaca mata digunakan untuk mencegah masuknya cairan darh maupun cairan tubuh lainnya pada mata ( Potter & Perry , 2005 ) penggunaan kaca mata digunakan sesuai dengan kebutuhan dan tindakan yang memiliki resiko tinggi terpapar dengan darah ataau cairan tubuh lainnya.

c. Penutup kepalaPenutup kepala sebagai bagian dari standard precaution memiliki fungsi dua arah. Fungsi pertama, penutup epala membantu mencegah terjadinya percikan darahmaupun cairan pasien pada rambut apsien ( Depkes RI, 2003 ). Selain itu, penutup kepala dapat mencegah jatunya miroorganisme yang ada di rambut maupun kulit kepala ke area steril ( Depkes RI, 2003 ) . Kedua fungsi tersebut sangat penting untuk diperhatikan oleh perawat.

d. Penggunaan Gaun pelindung ( cover grown )Gaun pelindung dapat memberikan manfaat bagi perawat untuk melindungi kulit dan pakaian dari kontaminasi cairan tubuh pasien. Gaun pelindung wajib digunakan ketika melakukan tindakan irigasi, meangani pasien dengan perdarahan massif, melakukan pembersihan luka, mauoun tindakan lainnya yang terpapar denga cairan tubuh pasien ( Depkes RI, 2003). Gaun pelimdung termasuk juga seragam kerja jika terdapat kotoran yang berasal dari cairan tubuh perawat harus segera diganti.Gaun pelindung terdiri dari beberapa macam berdasarkan pada kegunaanya. Terdapat dua jenis gaun pelindung yaitu gaun pelindung sreril dan non steril (Depkes RI, 2003). Gaun steril digunakan untuk memberikan perlindungan ketika berada di area steril seperti di ruang bersalin, ICU, rawat darurat dan pada tindkan yang membutuhkan prosedur steril. Gaun non steril digunakan pada tindakan selain pada tindakan sebelumnya.Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan perlu mengetahui pengunaan gaun pelindung secara benar. Penggunaan gaun pelindung secara benar dapat melindungi perawat dari bahaya infeksi. Hal hal perlu diperhatikan perawat dalam penggunaan pelindung meliputi ( Rosdahl & Marry, 2008 )a. Bagian dalam gaun adalah bersih dan bagian luarnya adalah yang nantinya harus dijaga ( disesuaiakan dengan jenis gaunnya )b. Ukuran gaun pelindung harus cukup panjang dan dapat menutupi seragam perawat bagian depan dan belakang namun tidak menutupi lenganc. Jika menggunkan seragam lengan panjang, seragam harus digulung diatas siku dan perawat baru menggukan gaun pelindungd. Ketika hendak melepaskan gaun pelindung, cara melepaskan adalah dari dalam kuluar untuk mencegah kontaminasi cairan denag seragame. Setelah melepaskan gaun jangan lupa untuk selalu memcuci tangan sebelum melakukan aktivitas lain.

e. Alas kaki (sepatu )Alas kaki merupakan bagian dari APD yang perlu untuk digunakan. Alas kaki melindungi perawat atau pun petugas kesehatan terhadap tumpahan aarat percikan darah maupun cairan tubuh lain. Penggunaan alas kaki juga bertujuan untuk mencaegah emungkinan tusukan benda tajam maupun kejatuhan alat kesehatan (Depkes RI, 2003) . standard alas kaki yang memenuhi APD adalah alas kaki yang menutupi seluruh ujung jari dan telapak kaki serta terbuat dari bahan yang mudah dicuci dan atahan tususkan ( Rosdahl & Marry, 2008 ). Penggunaan alas kaki termasuk juga sepatu yang dipaki sehari hari harus memenuhi standar tersebut dan juga penggunaan sepatu khusus seperti sepatu khusus diruang tertentu misalnya ruang operasi, ICU, isolasi, ruang bersalin, ruang pemulasaran jenazah (Depkes RI, 2003).Jenis bahan dapat berupa bahan tembus cairan dan bahan tidak tembus cairan. Tujuannya untuk melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah maupun cairan tubuh lain yang dapat mencemari baju seragam.

3. Pengelolaan Alat-Alat KesehatanPengelolaan alat kesehatan bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan atau untuk menjamin alat tersebut dalam kondisi steril dan sia pakai. Semua alat, bahan dan obat yang akan dimasukan ke dalam jaringan di bawah kulit harus dalam keadaan steril. Proses penatalaksanaan peralatan dilakukan melalui 4 tahap kegiatan yaitu dekontaminasi, pencucian, sterilisasi atau DDT dan penyimpanan. Pemilihan cara pengelolaan alat kesehatan tergantung pada kegunaan alat tersebut dan berhubungan dengan tingkat resiko penyebaran infeksi.a. DekontaminasiDekontaminasi adalah menghilangkan mikroorganisme patogen dan kotoran dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya dan dilakukan sebagai langkah pertama bagi pengelolaan pencemaran lingkungan, seperti misalnya tumpahan darah atau cairan tubuh, Juga sebagai langakah pertama pengelolaan limbah yang tidak dimusnahan dengan cara insinerasi atau pembakaran.Dekontaminasi bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan atau suatu permukaan benda, sehingga dapat melindungi petugas atau pun pasien. Dekontaminasi dilakukan dengan menggunakan bahan desinfektan yaitu suatu bahan atau larutan kimia yang digunakan untuk membunuh mikroorganisme pada benda mati dan tidak digunakan untuk kulit atau jaringan mukosa. Salah satu yang biasa dipakai terutama di negara berkembang seperti Indonesia adalah larutan klorin 0,5% atau 0,05 % sesuai dengan intensitas cemaran dan jenis alat atau permukaan yang akan didekontaminasi. Karena demikian banyak macam dan bentuk alatkesehatan maka perlu dipilih cara dekontaminasi yang tepat.Ada tiga macam pertimbangan dalam memilih cara dekontaminasi yaitu keamanan, efikasi atau efektifitas dan efisien. Keamanan dan efektifitas merupakan pertimbangan utama sedang efisien dapat dipertimbangkan kemudian setelah keamanan dan efektifitas terpenuhi. Yang dipertimbangkan dalam keamanan adalah antisifasi terjadinya kecelakaan atau penyakit pada petugas kesehatan yang mengelola benda-benda terkontaminasi dan melakukan proses dekontaminasi. Sedapat mungkin pemilahan dilakukan oleh si pemakai ditempat segera setelah selesai pemakaian selagi mereka masih menggunakan pelindung yang memadai sehingga pajanan pada petugas dapat diminimalkan.b. Pencucian alatSetelah dekontaminasi dilakukan pembersihan yang merupakan langkah penting yang harus dilakukan. Tanpa pembersihan yang memadai maka pada umumnya proses disenfeksi atau selanjutnya menjadi tidak efektif. Kotoran yang tertinggal dapat mempengaruhi fungsinya atau menyebabkan reaksi pirogen bila masuk ke dalam tubuh pasien. Pada alat kesehatan yang tidak terkontaminasi dengan darah, misalnya kursi roda, alat pengukur tekanan darah, infus pump dsb. Cukup dilap dengan larutan detergen, namun apabila jelas terkontaminasi dengan darah maka diperlukan desinfektan. Pembersihan dengan cara mencuci adalah menghilangkan segala kotoran yang kasat mata dari benda dan permukaan benda dengan sabun atau detergen, air dan sikat. Kecuali menghilangkan kotoran pencucian akan semakin menurunkan jumlah mikroorganisme yang potensial menjadi penyebab infeksi melalui alat kesehatan atau suatu permukaan benda dan juga mempersiapkan alat untuk kontak langsung dengan desinfektan atau bahan sterilisasi sehingga dapat berjalan secara sempurna.Pada pencucian digunakan detergen dan air. Pencucian harus dilakukan dengan teliti sehingga darah atau cairan tubuh lain betul-betul hilang dari permukaan tersebut. Pencucian yang hanya mengandalkan air tidak dapat menghilangkan minyak, protein dan partikel-partikel. Tidak dianjurkan mencuci dengan menggunakan sabun biasa untuk membersihkan peralatan, karena sabun yangbereaksi dengan air akan menimbulkan residu yang sulit untuk dihilangkan.c. Disinfeksi dan SterilisasiSeperti sudah dibicarakan sebelumnya bahwa faktor resiko infeksi disarana kesehatan adalah pengelolaan alat kesehatan atau cara dekontaminasi dan desinfeksi yang kurang tepat. Pengelolaan alat dikategorikan menjadi 3 yaitu:1. Resiko tinggiSuatu alat termasuk dalam kategori resiko tinggi karena penggunaan alat tersebut beresiko tinggi untuk menyebabkan infeksi apabila alat tersebut terkontaminasi oleh mikroorganisme atau spora bakterial. Alat tersebut mutlak perlu dalam keadaan steril karena penggunaannya menembus jaringan atau system pembuluh darah yang steril. Dalam kategori ini meliputi alat kesehatan bedah, kateter jantung dan alat yang ditanam. Alat-alat tersebut harus dalam keadaan steril pada saat pembeliaannya atau bila mungkin disterilkan dengan otoklaf. Apabila alat itu tidak tahan panas maka sterilisasi dilakukan dengan etilen oksida atau kalau terpaksa apabila cara lain tidak memungkinkan dilakukan streilisasi kimiawi seperi dengna glutaraldehide 2% atau hidrogen peroksida 6%. Cara tersebut harus tetap memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu pencucian yang cermat sebelumnya.2. Resiko sedangAlat yang digunakan untuk menyentuh lapisan mukosa atau kulit yang tidak utuh harus bebas dari semua mikroorganisme kecuali spora. Lapisan mukosa yang utuh pada umumnya dapat menahan infeksi spora tetapi tetap rentan terhadap infeksi basil TBC dan virus, yang termasuk dalam kategori resiko sedang antara lain alat untuk terapi pernafasan, alat anestesi, endoskopi dan ring diagfragma. Alat beresiko sedang memerlukan paling tidak desinfeksi tingkat tinggi, baik secara pasteurisasi atau kimiawi.Pemilihan proses desinfeksi harus memperhatikan efek sampingnya seperti klorin yang mempunyai sifat korosif. Laparascopi dan artroskopi yang dipakai dengan menmbus jaringan steril secara ideal harus disterilkan terlebih dahulu, namun biasanya hanya dilakukan disenfeksi tingkat tinggi saja. Disarankan agar semua alat dibilas dengan air steril untuk menghindari kontaminasi dengan mikroorganisme yang berasal dari air seperti mikrobakteria nontuberkulosa dan legionella. Bila tidak tersedia air steril dapat dengan air biasa diikuti dengan bilasan air alkohol dan cepat dikeringkan dengan semprotan udara. Semprotan udara ini dapat mengurangi cemaran mikroorganisme dan mengurangi kelembaban yang dapat mempercepat pertumbuhan bakteri.3. Resiko rendahAlat yang masuk dalam kategori resiko rendah adalah yang digunakan pada kulit yang utuh dan bukan untuk lapisan mukosa. Kulit utuh adalah pertahanan yang efektif terhadap infeksi semua jenis mikroorganisme, oleh karena itu sterilisasi tidak begitu diperlukan. Contoh alat yang masuk kategori resiko rendah adalah pispot, tensimeter, linen, tempat tidur, peralatan makan, perabotan, lantai. Walaupun peralatan tersebut mempunyai resiko rendah untuk menyebabkan infeksi, namun dapat menjadi perantara sekunder dengan jalan mengkontaminasi tangan petugaskesehatan atau peralatan yang seharusnya steril oleh karena itu alat tersebut tetap perlu didesinfeksi dengan disinfeksi tingkat rendah.Pengelolaan Benda TajamBenda tajam sangat bereskio menyebabkan perlukaan sehingga meningkatkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah. Penularan infeksi HIV, hepatitis B dan C di sarana pelayanan kesehatan, sebagian besar disebabkan kecelakaan yang dapat dicegah, yaitu tertusuk jarum suntik dan perlukaan alat tajam lainnya.Untuk menghindari perlukaan atau kecelakaan kerja maka semua benda tajam harus digunakan sekali pakai, dengan demikian jarum suntik bekas tidak boleh digunakan lagi. Sterilitas jarum suntik dan alat kesehatan yang lain yang menembus kulit atau mukosa harus dapat dijamin. Keadaan steril tidak dapat dijamin jika alatalat tersebut didaur ulang walaupun sudah di otoklaf. Tidak dianjurkan untuk melakukan daur ulang atas pertimbangan penghematan karena 17% kecelakaan kerja disebabkan oleh luka tusukan sebelum atau selama pemakaian, 70% terjadi sesudah pemakaian dan sebelum pembuangan serta 13% sesudah pembuangan.hampir 40% kecelakaan ini dapat dicegah dan kebanyakan kecelakaan kerja akibat melakukan penyarungan jarum suntik setelah penggunaannya.Perlu diperhatikan dengan cermat ketika menggunakan jarum suntik atau benda tajam lainnya. Setiap petugas kesehatan bertanggung jawab atas jarum dan alat tajam yang digunakan sendiri, yaitu sejak pembukaan paking, penggunaan, dekontaminasi hingga kepenampungan sementara yang berupa wadah alat tusukan. Untuk menjamin ketaatan prosedur tersebut maka perlu menyediakan alat limbah tajam atau tempat pembuangan alat tajam di setiap ruangan, misalnya pada ruang tindakan atau perawatan yang mudah dijangkau oleh petugas. Seperti prosedur pengelolaan alat kesehatan lainnya maka petugas harus selalu mengenakan sarung tangan tebal, misalnya saat mencuci alat dan alat tajam.Risiko kecelakaan sering terjadi pada saat memindahkan alat tajam dari satu orang ke orang lain, oleh karena itu tidak dianjurkan menyerahkan alat tajan secara langsung, melainkan menggunakan technik tanpa sentuh (hands free) yaitu menggunakan nampan atau alat perantara dan membiarkan petugas mengambil sendiri dari tempatnya, terutama pada prosedur bedah. Risiko perlukaan dapat ditekan dengan mengupayakan situasi kerja dimana petugas kesehatan mendapat pandangan bebas tanpa halangan, dengan cara meletakkan pasien pada posisi yang mudah dilihat dan mengatur sumber pencahayaan yang baik. Pada dasarnya adalah menjalankanprosedur kerja yang legeartis, seperti pada penggunaan forsep atau pingset saat mengerjakan penjahitan.Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur penyuntikan adalah pada saat petugas berusaha memasukkan kembali jarum suntik bekas pakai kedalam tutupnya, oleh karena itu sangat tidak dianjurkan untuk menutup kembali jarum suntik tersebut melainkan langsung buang ke penampungan sementara, tanpa menyentuh atau memanipulasinya seperti membengkokkannya. Jika jarum terpaksa ditutup kembali (recaping) gunakanlah dengan cara penutupan dengan satu tangan untuk mencegah jari tertusuk jarum.Sebelum dibuang ketempat pembuangan akhir atau tempat pemusnahan, maka diperlukan wadah penampungan sementara yang bersifat kedap air dan tidak mudah bocor serta kedap tusukan. Wadah penampung jarum suntik bekas pakai harus dapat digunakan dengan satu tangan agar pada saat memasukkan jarum tidak usah memeganginya dengan tangan yang lain. Wadah tersebut ditutup dan diganti setelah bagian terisi dengan limbah, dan setelah ditutup tidak dapat dibuka lagi sehingga tidak tumpah. Hal tersebut dimaksudkan agar menghindari perlukaan pada pengelolaan yang selanjutnya. Idealnya benda tajam dapat diinsinerasi, tetapi bila tidak mungkin dapat dikubur dan dikaporisasi bersama limbah lainnya.

2.3 Hubungan antara pengetahuan dan sikap perawat : patient safety terhadap tindakan universal precaution selama tindakan keperawatan

Rumah sakit merupakan salah satu tempat pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat terutama untuk masyarakat yang sedang sakit. Tujuan utama rumah sakit adalah memberikan pelayanan berkualitas demi tercapainya kepuasan pasien yang ditandai dengan berkurangnya keluhan dari pasien, sehingga menunjukkan kinerja perusahaan yang tinggi. Pelayanan rumah sakit saat ini tidak saja bersifat kuratif (penyembuhan) tetapi juga pemulihan (rehabilitatif). Oleh karena itu, harapan utama masyarakat datang ke rumah sakit adalah untuk mencapai keseimbangan dan kesehatan (Juwita, 2008).Pasien yang dirawat di rumah sakit sebagian besar mempunyai pertahanan tubuh yang rendah dan memiliki peluang yang besar terpapar dan mengalami infeksi (Adisaputra, 2009). Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan pejamu rentan yang terjadi melalui kode transmisi kuman yang tertentu. Cara transmisi mikroorganisme dapat terjadi melalui darah, udara baik droplet maupun airbone, dan dengan kontak langsung. Infeksi dapat terjadi antar pasien, dari pasien ke petugas, dari petugas ke petugas, dari petugas ke pasien dan antar petugas. Infeksi di rumah sakit lebih dikenal sebagai infeksi nosokomial.Kasus infeksi nosokomial terjadi hampir di seluruh negara terutama di Negara miskin dan berkembang termasuk Indonesia. Di seluruh dunia diperkirakan kasus infeksi ini rata-rata menimpa 9% dari 1,4 juta pasien rawat inap. Di Amerika Serikat, terdapat 48.000 orang setiap tahun meninggal karena infeksi di rumah sakit, umumnya karena penyakit pneumonia (Laxminarayan, 2010). Di Indonesia, lebih dari 2 milyar penduduk dunia terinfeksi virus hepatitis B, dan sekitar 130170 juta merupakan pengidap virus hepatitis C, dengan angka kematian lebih dari 350 ribu per tahun. Kasus HIV positif, secara kumulatifberjumlah 44.292 (Depkes, 2010).Infeksi di rumah sakit ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Bakteri ini berkembang di lingkungan rumah sakit yang berasal dari air, udara, lantai, makanan serta alat-alat medis maupun non medis. Sumber penularan bisa melalui tangan petugas kesehatan, jarum injeksi, kateter, kasa pembalut atau perban dan karena penanganan yang kurang tepat dalam menangani luka. Selain pasien, infeksi nosokomial ini juga dapat mengenai petugas rumah sakit yang berhubungan langsung dengan pasien maupun penunggu dan para pengunjung pasien (Bararah, 2009). Infeksi terkait sarana pelayanan kesehatan adalah tantangan yang serius bagi rumah sakit karena hal tersebut dapat menyebabkan kematian, baik langsung maupun tidak langsung serta menjadikan pasien dirawat lebih lama dan memakan biaya lebih mahal. Semakin tingginya kasus infeksi yang didapat dari rumah sakit, hendaknya pihak rumah sakit menyusun program upaya pengendalian infeksi yang serius. Salah satu strategi yang bermanfaat dalam pengendalian infeksi nosokomial adalah peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam metode universal precautions (Depkes, 2010).Pelayanan Rumah Sakit adalah pelayanan yang sangat komplek sehingga risiko terjadinya kesalahan maupun kekhilafan cukup besar. Data yang dikeluarkan di ruang stroke RS. P angka Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) berkisar 17,7% pada tahun 2007, sedangkan bulan Januari-Juni 2008 mengalami peningkatan menjadi 40,5%. Angka ini tentu saja memiliki arti yang sangat riskan bagi rumah sakit. Sejalan dengan itu, harapan masyarakat terhadap pelayanan di Rumah Sakit RS.P semakin tinggi. Harapan yang tinggi ini cenderung memunculkan masalah serius apabila harapan tidak dapat dipenuhi oleh pihak rumah sakit. Masalah yang terjadi bisa berkembang ketika masalah biaya dan manajemen lingkungan rumah sakit ikut memberikan kontribusi didalamnya.Universal precautions merupakan suatu pedoman yang ditetapkan oleh the Centers for Desease Control and Prevention (CDC) dan the Occupational Safety and Health Administration (OSHA). Pedoman ini untuk mencegah transmisi dari berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan. Tindakan universal precautions meliputi pengelolaan alat kesehatan, cuci tangan untuk mencegah infeksi silang, dan penggunaan alat pelindung diri misalnya kaca mata pelindung, masker muka, sarung tangan dan celemek untuk mencegah kemungkinan percikan dari tubuh. Universal precautions diharapkan akan mendapat perlindungan maksimal dari infeksi yang telah diagnosis maupun yang belum diketahui. Universal precautions juga berguna untuk menurunkan transmisi infeksi saluran kemih, infeksi luka operasi, pneumonia, sepsis, dan phlebitis pada individu dan tenaga kesehatan, sehingga dapat diberlakukan di semua unit pelayanan kesehatan maupun perorangan (Nasronudin, 2007).Universal precautions tidak hanya melindungi petugas dari risiko terpajan oleh infeksi namun juga melindungi klien yang mempunyai kecenderungan rentan terhadap segala infeksi yang mungkin terbawa oleh petugas (Kurniawati & Nursalam, 2007). Usaha pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan perilaku universal precautions bagi perawat. Tindakan universal precautions diperlukan kemampuan perawat untuk mencegah infeksi, ditunjang oleh sarana dan prasarana, serta Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mengatur langkah-langkah tindakan universal precautions (Kurniawati & Nursalam, 2007).Hasil penelitian Badan Litbang Kesehatan (2006) tentang upaya perawat dalam mencegah infeksi nosokomial pneumonia telah meneliti perilaku yang cuci tangan aseptik. Hasil penelitian memberi gambaran bahwa pelaksanaan prosedur cuci tangan secara aseptik sebelum melakukan tindakan perawatan invasif hanya 25% kegiatan dilaksanakan dengan baik, 12,5% cukup baik dan 62,5% kurang baik. Hasil ini menunjukkan bahwa perilaku perawat dalam mencuci tangan sebagai salah satu tindakan universal precaution sebagian besar masih kurang baik. Survei Internasional dari 5 negara (survei pasien dewasa yang sakit dirawat) menunjukkan 19% percaya bahwa suatu kesalahan telah dibuat, 11% percaya terjadi kesalahan obat atau dosis, dan 13% percaya bahwa masalah kesehatan yang serius diderita disebabkan oleh kesalahan dalam pelayanan/perawatan (Communio Lectures, Ramsay Health Care Clinical Governance Unit, 2002). Penelitian Parwitasari 2010 tentang hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap perilaku tenga medis mengenai UP dalam penanganan pasien di rumah sakit. Disatu sisi jenis penelitian yang digunakan adalah analitik atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena itu terjadi, kemudian melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena (Notoatmodjo, 2002). Penelitian ini dilakukan dilakukan kepada 72 tenaga medis yang ada di Rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang memperoleh dua macam kuisioner yaitu tingkat pengetahuan dan perilaku UP. Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan menghasilkan hasil uji statistik yaitu menunjukkan nilai r korelasi sebesar 0,552 dan nilai signifikansi sebesar 0,000. Nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,05 (taraf signifikan yang digunakan) maka Ho ditolak atau Ha diterima, sehingga dapat disimpulkan ada hubungan tingkat pengetahuan tentang UP dengan perilaku tenaga medis dalam penanganan pasien di rumah sakit PKU Muhammadiyah yogyakarta. Nilai nilai r korelasi sebesar 0,552 bernilai positif artinya semakin baik tingkat pengetahuan tentang UP semakin baik perilaku tenaga medis dalam penanganan pasien di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Nilai nilai r korelasi sebesar 0,552 terletak antara 0,400 0,599 maka hubungan tingkat pengetahuan tentang dan perilaku tenaga medis tentang UP dalam penanganan pasien di rumah sakit PKU muhammadiyah yogyakarta adalah sedang.Penelitian aryani 2009 Patient safety adalah bebas dari cidera aksidental atau menghindarkan cidera pada pasien akibat perawatan medis dan kesalahan pengobatan. Sikapperawat mendukung penerapan program patient safety sangat diperlukan untuk menjamin keselamatan pasien yang dirawat. Kurangnya sikap mendukung penerapan program merupakan masalah penting yang harus ditangani pihak manajemen RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengetahuan dan motivasi perawat yang mempengaruhi sikap mendukung penerapan program patient safety.Penelitian ini merupakan penelitian observasional, dengan pendekatan rancangan penelitian cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh perawat pelaksana di Instalasi Perawatan Intensif RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Analisis statistik yang digunakan analisis bivariat dengan uji chi square dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik metode enter. Hasil analisis diskriptif, sikap mendukung tinggi (76,3%), pengetahuan perawat baik (76,3%), motivasi perawat baik ( 71,1%). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan motivasi terhadap sikap mendukung penerapan program patient safety (p