bab ii potret sosial masyarakat perkotaan batavia … · eropa dengan tingkat satunya yang luas dan...
TRANSCRIPT
15
BAB II
POTRET SOSIAL MASYARAKAT PERKOTAAN BATAVIA
AWAL ABAD-20
A. Kondisi Geografis Kota Batavia Awal Abad-20
Kota kolonial pertama di Indonesia adalah Batavia. Kota ini dibangun oleh
orang-orang Belanda pada 1619, dan tahun itu dianggap sebagai fase baru dalam
perkembangan kota-kota di Indonesia, karena memulai sebuah tahap
perkembangan yang cepat. Orang Eropa yang mendarat pertama kali di Batavia
bukanlah orang Belanda, melainkan para pelaut Portugis. Pada waktu itu Batavia
masih bernama Sunda Kelapa. Kedatangan orang-orang Portugis di Sunda Kelapa
tidak sempat membangun kawasan tersebut menjadi sebuah kota, artinya Portugis
tidak memiliki sumbangsih apapun bagi perkembangan Sunda Kelapa. Setelah
orang-orang Portugis berhasil diusir nama Sunda Kelapa kemudian diubah
menjadi Jayakarta, yang berarti “Kemenangan Besar”, pada 27 Juni 1527. Tanggal
tersebut sampai saat ini selalu diperingati sebagai hari kelahiran Kota Jakarta.1
Garis nasib Jakarta sejak awal abad ke-17 sebenarnya telah menjadi
ibukota di mana saat itu Belanda telah mengembangkannya dari pelabuhan
menjadi kota yang bisa dijadikan sebagai pintu gerbang bagi daerah di Nusantara
lainnya.2 Salah satu ciri kota yang dibangun oleh kolonial pada awal abad ke-17
adalah gaya bangunan Eropa yang mendominasi kawasan kota.3
1 Purnawan Basundoro, Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta: Ombak ,
2012), hlm. 85-86. 2 Fitri R. Ghozally SH, Dari Batavia Menuju Jakarta, (Jakarta: MM Corp,
2004), hlm. 14. 3 Op.cit, hlm. 88.
16
Batavia kemudian terbagi ke dalam dua wilayah yakni, Oud Batavia
(Batavia Lama) dan Nieuw Batavia (Batavia Baru). Oud Batavia merupakan kota
benteng awal pertama kali Batavia didirikan. Wilayah ini sendiri dibuat
menyerupai kota-kota di Belanda khususnya Amsterdam.4 Wilayah ini dikelilingi
oleh parit-parit yang sengaja dibuat di bagian depan, sedangkan dibagian
belakangnya dibangun gedung dan bangunan yang juga dikelilingi oleh parit,
pagar besi, dan tiang yang kuat. Pada awalnya wilayah ini dijadikan benteng,
kastil dan tempat perdagangan yang kemudian berubah menjadi tempat
pemerintahan dan pemukiman para kompeni.5
Nieuw Batavia atau Batavia baru dibangun pada masa Gubernur Jenderal
Herman Willem Daendels. Daendels memiliki rencana untuk mengubah dan
meningkatkan kesehatan Kota Batavia yang sebelumnya memburuk, salah satunya
dengan memindahkan pusat Kota Batavia ke daerah pedalaman yang kemudian
dia beri nama Weltevreden. Di sekitar Weltevreden muncul pemukiman baru,
seperti Tanah Abang, Gondangdia, Meester Cornelis, dan Menteng. Di Nieuw
Batavia, orang membangun rumah-rumah dipinggir jalan dan dinaungi oleh
pohon-pohon yang rindang. Rumah-rumah yang dibangun itu tidak seperti di Oud
Batavia, dekat dengan jalan dan bertingkat dua, namun terlihat modern seperti di
Eropa dengan tingkat satunya yang luas dan sejuk.6
Di tengah-tengah hutan, orang Belanda membangun jalan-jalan dan kanal-
kanal yang sama seperti di negerinya, tidak gentar meskipun kadang kala buaya-
4 Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1988) hlm. 48 5 Desca Dwi Savolta, “Arsitektur Indis Dalam Perkembangan Tata Kota
Batavia Awal Abad 20”, Skripsi (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010)
hlm. 24 6 Willard A. Hanna, Op. cit., hlm. 191
17
buaya menelusuri kanal hingga ke tengah kota. Struktur pertama yang mereka
dirikan adalah benteng yang pada mulanya dibangun menjorok ke laut di muara
kali Ciliwung, tapi tidak lama kemudian dikelilingi daratan karena garis pantai
bertambah jauh ke utara. Pada tahun-tahun awal Batavia, benteng tersebut adalah
VOC karena semua bangunan VOC berada di dalam benteng, seperti kediaman
gubernur jendral, bengkel, perbendaharaan, garnisun, gudang senjata, gedung
administrasi dan akuntansi, penjara, gereja pertama, dan ruang pertemuan Dewan
Hindia yang merupakan badan pemerintahan.7 Dari kali, VOC membangun kanal-
kanal yang mengelilingi dan melewati kota, serta memberikan penampilan khas
Belanda. Kali pun diluruskan sehingga menjadi kanal terbesar. Semua ini
dilakukan bukan demi nostalgia, tapi demi kegunaan yang sama seperti kanal di
kota-kota Belanda. Karena daratan Batavia terlalu rendah, maka tanah tempat
gedung-gedung dibangun harus ditinggalkan agar pemukiman tidak dilanda banjir.
Selain itu, seperti kota-kota Belanda, kanal-kanal tersebut digunakan untuk alat
transportasi.8
Batavia abad ke-20 terkenal juga dengan kemajuan transportasinya yang
berdampak pula terhadap kemajuan ekonomi di Batavia itu sendiri. Transportasi
yang lazimnya di gunakan oleh masyarakat Batavia adalah trem kuda, khususnya
oleh penduduk yang tidak memelihara kuda keretanya sendiri. Menurut Tio Tek
Hong, ada jenis kendaraan lain yang digunakan namanya kahar yang memakai
dua roda, atau kahar per atau yang disebut oleh orang Priangan dengan sebutan
kahar dongdang. Untuk di dalam kota kahar per ditarik seekor kuda, akan tetapi
7 Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, (Jakarta: Masup Jakarta,
2011), hlm. 20. 8 Ibid., hlm. 22.
18
untuk perjalanan diluar kota ke tempat jauh ditarik oleh sedikitnya dua ekor kuda
gunung.9 Kemudian ada Dos a dos (sado), yang namanya menunjukkan,
penumpangnya yang harus duduk dengan belakangnya menghadapi belakang
penumpang lain (dua duduk di bagian muka, termasuk kusirnya, dan dua duduk di
belakang). Lalu muncul delman yang namanya berasal dari nama tuan Deleman
yang mulai menggunakan kendaraan model ini. Bagi orang-orang yang mampu,
terutama tuan-tuan toko biasanya menggunakan kereta palankijn yang ditarik
dengan dua kuda, beroda empat, memuat dua penumpang yang duduk di dua
bangku saling berhadap-hadapan, yang keretanya ditutup dan menggunakan
sepasang jendela. Ada E.B.R.O (Eerste Bataviasche Rijtuig Onderneming) dan
R.O.P.O (Rijtuig Onderneming Petodjo Oost), ini sejenis kereta tenda. Kemudian
ada Stroomtram (trem uap) Maatschappij di Batavia yang mengambil rute dari
Kota Intan Lewat Glodok, Hermonie, Pasar Baru, Pasar Senen, Kramat ke
Jatinegara. Kemudian berkembang lagi Batavia Electrische Tram Maatschappij
menjalankan trem listrik dari Kota Intan melalui Javasche Bank (sekarang Bank
Indonesia), Kebon Tengsek, Jembatan Baru, Jembatan Senti, Jalan Jakarta, dekat
jagal babi (yang kemudian berkembang menjadi jagal kerbau, sapi dan kambing),
lalu ke selatan arah Pasar Senen lewat Kalilio, Tanah Tinggi ke Kramat, jalan ini
serupa namun tidak menyaingi Stroomtram (trem uap). Namun, pada
perkembangannya trem uap digantikan dengan trem listrik.10 Sekitar tahun 1903
muncul automobil di Batavia dan awal 1911 mesin terbang pertama muncul.
Dengan demikian perlahan-lahan dari tahun ke tahun kendaraan di dalam kota
9 Tio Tek Hong, Keadaan Jakarta Tempo Doeloe, Sebuah Kenangan
1882-1959, (Jakarta: Masup Jakarta, 2007) hlm. 75 10 Ibid., hlm. 76
19
bermunculan, namun kendaraan-kendaraan itu belum ada pada masa masih ada
tramway.
B. Demografi dan Sosial Ekonomi di Batavia
Awal abad-19, Kota Batavia diwarnai oleh kehadiran empat kelompok ras
yaitu, Belanda, Indo-Eropa, Cina, Arab, serta Pribumi. Maka dari itu timbul
berbagai pemukiman penduduk yaitu, orang Eropa, orang Timur Asing, dan
juga berbagai suku bangsa di Indonesia, kemudian timbul stratifikasi sosial yang
berdasarkan ras dan keagamaan.11 Batavia sudah menjadi kota yang berkembang
dengan jumlah populasi penduduknya yang terus meningkat. Hal ini adalah akibat
dari dihapuskannya perdagangan budak, sehingga Pulau Jawa menggantikan
pulau-pulau lain sebagai sumber imigran yang masuk ke kota Batavia.12 Faktor
yang kuat dan sangat mempengaruhi pertumbuhan penduduk di Batavia didasari
oleh adanya pembangunan pelabuhan Tanjung Priok (1877), perluasan fungsi
pemerintahan di bawah pengaruh Politik Etis, dan bertambahnya penduduk Jawa
yang cepat telah menyebabkan terjadinya gelombang imigrasi secara besar-
besaran dari daerah pedalaman. Dalam beberapa dekade gelombang imigran
tersebut telah merubah karakter penduduk, melipat gandakan jumlahnya, dan
menimbulkan situasi seperti yang terjadi pada tahun 1930, populasi kota Batavia
(termasuk Weltevreden) tumbuh menjadi 435.000, tiga kali lipat dari populasi
tahun 1900. Imigrasi membuat kota semakin meluas, dan pada 1935 wilayah
11 Desca Dwi Savolta, “Arsitektur Indis Dalam Perkembangan Tata Kota
Batavia Awal Abad 20”, Skripsi (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010)
hlm. 30. 12 Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2007)
hlm.18
20
pinggiran Meester Cornelis dimasukkan ke dalam batas kota sehingga total
populasinya melebihi setengah juta orang. Dengan demikian, Batavia menjadi
kota terbesar di Hindia Belanda dan mengalahkan saingan terdahulunya yakni
Surabaya.13 Mengenai populasi penduduk di wilayah Batavia dan sekitarnya
digambarkan melalui pengelompokkan etnis tahun 1930 dalam tabel di bawah ini.
Tabel I
Populasi Batavia (Djakarta Raya) pada Tahun 1930 melalui
Pengelompokan Etnis
Keterangan
Suku/Etnis
A
Batavia-
Mr.Cornelis
(sensus)
B
Daerah
pinggiran
(estimasi
A+B
Djakarta Raya
(estimasi
Djakarta &
sekitarnya
Pribumi
Betawi 192.897 220.000 418.900 778.953
Sunda 132.251 15.000 150.300 494.547
Jawa 58.708 1.000 59.700 142.863
Melayu 5.220 100 5.300 8.293
Kelompok
Sulawesi Utara
3.736 100 3.800 3.882
Minang 3.186 - 3.200 3.204
Kelompok
Maluku
2.034 - 2.000 1.263
Batak 1.253 - 1.300 1.263
Depok &
Masyarakat
Tugu
721 200 900 998
Kelompok
Sumatra Utara
799 - 800 817
Madura 317 - 300 397
Lain-lain dan
tidak diketahui
5.553 1.400 6.900 7.063
Sub Total 409.655 243.800 653.400 1.443.517
Non Pribumi
Tionghoa 78.185 9.400 88.200 136.829
Eropa 37.076 100 37.200 37.504
Lain-lain 7.469 400 7.900 8.243
Total 533.015 253.800 768.800 1.636.098
Sumber: Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2007)
13 Susan Blackburn., Op. cit., hlm. 124
21
Dari tabel telah menunjukkan betapa keadaan Batavia di awal abad-20
amat lah beragam dari segi etnis, yang didasari pula semakin berkembangnya pola
kehidupan di kota Batavia. Dengan demikian berarti secara kelompok masyarakat
Batavia menjadi kota yang sangat heterogen. Namun, keberagaman etnis yang ada
di Batavia sendiri bukan menjadi hal yang mudah untuk saling berbaur terlebih
mengenai urusan gaya hidup. Golongan Timur Asing seperti Cina sukar berbaur
atau berasimilasi dengan penduduk pribumi. Walaupun golongan Cina sukar
berasimilasi, tetapi ada juga orang Cina yang meleburkan diri menjadi orang
Betawi.14 Modernisasi yang mulai terbangun serta dorongan kebangkitan
semangat kebebasan pada awal abad ke-20 agaknya telah merubah pola pikir
masyarakat Batavia untuk bisa berbaur, terlebih dengan adanya percampuran atau
perkawinan antar etnis yang secara terus-menerus berlangsung di Batavia.
Banyaknya terjadi perkawinan campuran merupakan salah satu penyebab
dari makin melemahnya artikulasi identitas etnik. Anak hasil dari perkawinan
campuran pria Eropa dengan perempuan Asia memunculkan kelompok penduduk
Meztizo15. Sedangkan anak hasil perkawinan campuran orang Tionghoa dengan
orang pribumi biasa disebut dengan Peranakan (Tionghoa muslim). Meski
demikian, dapat dipastikan bahwa perkawinan campuran lebih banyak lagi terjadi
di antara etnis pribumi. Para pemimpin etnis pribumi seringkali memberi contoh
dalam melakukan perkawinan campuran.16
14 Desca Dwi Savolta., Op. cit., hlm. 34. 15 Mestizo adalah orang-orang Kristen yang ayahnya berasal dari Eropa
dan beribu Asia. Secara kuantitatif orang Eropa dan Mestizo merupakan penduduk
minoritas di Batavia, lihat pada Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2007) hlm. xvii.
16 Ibid., xx.
22
Dalam kehidupan ekonomi di Batavia terutama yang berasal dari kelas
menengah ke bawah merupakan kelas ekonomi informal yang umumnya lahir dari
tradisi pasar tradisional, di mana kegiatan di dalamnya berlangsung secara
interaktif antara penjual dan pembeli, serta barang yang dijajakan ditempatkan
dalam tempat yang strategis (kaki lima, persimpangan jalan atau di pusat
keramaian) atau dijajakan dari rumah ke rumah (asongan). Penduduk pribumi
mendapatkan penghasilan berdagang dari hasil bumi. Produksi kerajinan, dan
pemberian pelayanan, seperti mengemudi sais/kusir kereta sado, kuli, penjahit,
tukang sepatu, tukang kayu, pembatu rumah tangga, binatu/tukang cuci pakaian,
pembuat pelana dan pedati, buruh diindustri rakyat, yaitu memproduksi topi dan
kaset. Diantara mereka ada juga yang menjadi pegawai kantor rendahan, seperti
pengatar surat dan pegawai kantor, sedangkan yang lain melakukan usaha sendiri,
seperti pedagang keliling. Mereka ini biasanya tinggal dikampung yang
berdekatan dengan daerah tempat tinggal orang Eropa. Pendapatan kalangan
bawah ini tidak tetap, kerena pekerjaan mereka serabutan dan hanya cukup untuk
makan.17 Selain itu penduduk pribumi mendapatkan penghasilan dari menjual
tanaman tunai, sedikit produksi kerajinan tangan dan memberikan jasa pelayanan
seperti menjadi kusir sado atau gerobak lembu, serta menjadi pencuci pakaian.
Banyak diantaranya yang menanam sirih dan menjual daunnya sebagai bahan
untuk mengunyah sirih. Para lelaki mengumpulkan buah, kayu bakar, rumput
(untuk populasi kuda yang semakin banyak) dan sayuran untuk dijual ke kota.
Industri rumahan juga menjadi aspek ekonomi yang penting bagi masyarakat
pribumi. Di sejumlah wilayah, penduduknya menganyam topi dan tikar, serta
17 Desca Dwi Savolta., Op. cit., hlm. 38
23
banyak perempuan yang mendapat penghasilan dari membatik di rumah. Namun,
teknik mencap yang diperkenalkan pada abad ke-19 telah mengurangi pekerjaan
bagi kaum perempuan. Sebelumnya membatik umumnya dilakukan oleh kaum
wanita, namun seiring penggunaan cap yang dalam proses membatik dan terbilang
cukup berat sehingga dibutuhkan tenaga laki-laki sebagai pekerja, dan hal ini pun
dilakukan di pabrik-pabrik yang umumnya dimiliki oleh orang Tionghoa.18
Peran orang cina dalam karesidenan terus menimbulkan kecemasan dan
kecemburuan dikalangan orang Eropa. Salah satu penyebab utama kecemasan
tersebut adalah cara orang Cina kaya membeli lahan. Pemerintah di Batavia
menjual tanah-tanah yang sangat luas di karesidenan Batavia, dan hal itu membuat
kota tersebut memiliki proporsi tanah swasta tertinggi di Jawa. Para pembeli awal
tanah-tanah ini biasanya orang Eropa, tapi selama abad ke-19 sebagian besar
properti tersebut jatuh ke tangan orang Cina. Meskipun banyak juga orang Cina
yang menjadi kuli atau pedagang dan pedagang kaki lima dengan pendapatan
kecil, namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat cukup banyak jumlah
pengusaha Cina sukses di Batavia.19
Kehidupan golongan Timur Asing dan orang Tionghoa secara umumnya
mereka bergerak di perdagangan dan menjadi orang yang kaya namun, ada pula
yang tetap menjadi kuli dan hidup dalam kemiskinan. Kehidupan mereka tak
berbeda jauh dengan golongan Pribumi kebanyakan. Bahkan golongan Indo
sekalipun yang sering juga disebut dengan Eurasia mayoritasnya miskin dan hidup
di daerah pinggiran Kemayoran, sebelah utara Weltevreden.20 Meski begitu
18 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 93 19 Ibid., hlm. 84. 20 Ibid., hlm. 83
24
golongan Eurasia ini tetap berusaha keras menjalani kebiasaan orang Eropa yang
hidup mewah, seperti makan makanan yang mahal serta berbusana Eropa. Dimana
ketika itu banyak dari laki-laki orang Eropa terlebih berada dalam trah bangsawan
memiliki dan memelihara perempuan Pribumi untuk dijadikan nyai atau gundik
yang dapat diambil dari anak atau istri pekerja perkebunan atau dari kampung
orang Pribumi.21 Bagi para keturunan Indo atau Eurasia sendiri hal ini merupakan
suatu kebanggaan dan sekaligus “kutukan”, kebanggaan karena terlahir dari
golongan yang paling atas dalam strata sosial di masyarakat Batavia, yakni
masyarakat Eropa, sedangkan “kutukan” karena mereka sendiri tidak dalam
golongan mereka berasal yakni Eropa dan Pribumi. Mereka yang bukan keturunan
murni sangat sulit diterima dalam kelompoknya karena dianggap berbeda. Hal ini
pula lah yang mengakibatkan sulitnya bagi mereka untuk menempati posisi yang
lebih tinggi sebagai pegawai negeri karena kemampuan bahasa Belanda-nya yang
kurang serta tidak memiliki kesempatan pendidikan yang baik hingga ke jenjang
yang lebih tinggi. Bahkan setelah itu, mereka menghadapi peraturan diskriminasi
yang menyatakan bahwa siapa pun yang tidak mengenyam pendidikan di Belanda,
tidak dapat menempati posisi yang lebih tinggi sebagai pegawai negeri.22
Kehidupan masyarakat Eropa menjadi patokan peradaban paling tinggi di
Batavia dengan segala kemewahannya. Kemajuan kebudayaan barat menjadi salah
satu faktor berkembangnya kehidupan masyarakat Eropa yang mewah. Para laki-
laki Eropa memang melakukan rutinitas pekerjaan harian yang tidak terlalu
berbeda dengan yang ada di Eropa. Namun, tidak banyak yang dilakukan para
21 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis, Dari Zaman Kompeni sampai
Revolusi, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011) hlm.72 22 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 83.
25
perempuan Eropa selain berkunjung di pagi dan sore hari. Budak-budak terus
menjadi tenaga kerja di rumah selama sekitar 20 tahun pertama abad ke-19.23 Pada
awalnya kebutuhan akan budak-budak ini diperlukan untuk pemenuhan tenaga
kerja dalam pembangunan benteng di Batavia. Perbudakan menjadi budaya baru
yang melahirkan ungkapan bahwa pangkat dan kekayaan seorang pejabat bisa
diukur dari jumlah budak yang dimilikinya.24 Orang Belanda enggan mengakhiri
perbudakan, mereka baru menghapuskannya secara resmi pada 1859, tapi lama-
kelamaan perbudakan sudah tidak mode lagi. Bagaimanapun juga, bahwa rumah-
rumah orang Eropa penuh dengan orang Indonesia yang bertelanjang kaki dan
masing-masing memiliki tugas khusus sehingga membuat perempuan Eropa tidak
perlu melakukan apa-apa. Mayoritas orang Eropa yang tinggal cukup lama di
Batavia mengeluhkan kebosanan. Sejumlah kritikus menyindir kehidupan
Batavia. Salah satu yang paling terkenal adalah Bas Veth melalui karyanya yang
berjudul Het Leven in Nederlandsch-Indie yang ditulis setelah tinggal di koloni
tersebut pada 1879-1891. Kalimat pembukanya langsung menyerang, “Bagi saya,
Hindia Belanda adalah perwujudan dari kesengsaraan”. Hal yang paling tidak
disukainya di kota-kota seperti Batavia adalah kehidupan Eropa yang
materialistis. Para lelaki Batavia adalah orang mata duitan, penjilat atau orang
kaya baru.25
Datarnya kehidupan publik orang Eropa terlihat dalam arena politis.
Sedikit sekali orang Eropa “swasta” di Batavia, sebagian besar bekerja pada salah
satu cabang pemerintahan, baik sipil maupun militer, dan mereka sangat sensitif
23 Ibid., hlm. 78. 24 Fitri R. Ghozally, Dari Batavia Menuju Jakarta, (Jakarta: MM Corp,
2004) hlm. 30. 25 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 79-80.
26
terhadap otoritas masing-masing.26 Terlihat jelas bahwa masyarakat Eropa adalah
kelompok yang hidup makmur dengan tingkat pendapatan yang tinggi, yang
terlihat dari gaya hidup mereka yang mewah.
Menurut laporan Meyer Ranneft Huender; diperhitungkan bahwa
penghasilan satu keluarga Pribumi untuk satu tahun f.225, jadi dalam sebulan
mereka berpenghasilan f.18,75. sebagian lagi berpenghasilan dalam satu tahun
f.45, jadi dalam sebulan hanya berpenghasilan f.3,75 belum termasuk potongan
pajak sebesar 10%, di dalamnya tidak dijelaskan pendapatan tersebut didapat dari
bekerja di sektor apa saja. Sedangkan seorang Belanda pendapatannya f.9000 atau
lebih dari f.10.000, tergantung dari posisi dan kedudukannya. Jika seorang
Belanda pendapatannya kecil maka presentase untuk pajak kecil dibawah 10%.
Sedangkan pendapatan Pribumi yang sudah kecil ini sendiri masih harus dikenai
pajak 10%, dan bagi golongan Belanda diberikan dispensasi oleh pemerintah
Hindia Belanda.27 Pendapatan bumiputra yang kecil masih harus dikenai pajak
10%, sedangkan bagi golongan Belanda diberikan dispensasi. Keadaan ekonomi
yang berat sebelah semakin terasa lebih berat bagi masyarakat pribumi.
C. Ruang Publik dan Gaya Hidup di Batavia Abad-20
Kota Batavia terpisah menjadi tiga bagian terdiri atas bagian utara
(Batavia Lama) terkenal sebagai pusat perdagangan besar berjalan; bagian tengah
(Batavia Centrum) meliputi Noordwijk, Rijswijk, Pasar Baru, daerah bagian kota
yang terletaknya di tengah-tengah sangat dipengaruhi proses urbanisasi seperti
daerah bagian kota yang letaknya ditengah-tengah sangat dipengaruhi proses
26 Ibid., hlm. 81. 27 Desca Dwi Savolta, Op. cit., hlm. 40.
27
urbanisasi seperti kampung Sawah Besar, Pasar Senen, Gambir, Tanah Abang dan
Melayu. Daerah yang terletak di zona luar menunjukkan angka kepadatan yang
relatif rendah. Zona terakhir ini merupakan daerah perbatasan atau peralihan
(urban frige) bahwa daerah pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan daerah
perkotaan tidak luput dari pengaruh daerah sekelilingnya. Di daerah kota bagian
tengah banyak terdapat perkantoran, hotel, warung dan tempat hiburan; bagian
selatan yang dimulai kira-kira pada batas utara Koningsplein merupakan
perkampungan rumah tinggal.
Pembagian daerah ini tidak murni karena di bagian utara Batavia lama
masih dapat dijumpai sedikit perdagangan kecil, tapi kebanyakan milik orang
Eropa dan ditempat tersebut tidak terdapat rumah tinggal orang Eropa. Bagian
tengah sebaliknya merupakan tempat pemukiman orang Eropa yang terlibat dalam
usaha dagang. Disisi tengah ini merupakan pusat perhubungan dan pemukiman
menunjukkan perbedaan dari bagian selatan yang tenang yang merupakan bagian
terbaru dan terbesar, selain pembagian tiga daerah tersebut terdapat pembagian
“Kota Atas”, atau “Kota Pemukiman”, dan “Kota Bawah”. Wilayah pusat
merupakan wilayah pemukiman elite pemerintahan kolonial Belanda, sedangkan
pusat perdagangan ditempati oleh orang Cina dan Timur Asing lainnya seperti
Arab dan India, kawasan pemukiman tersebut memperlihatkan struktur dan
konstruksi pemukiman yang berbeda, baik dan segi teknologi, kontruksi bagunan,
pemakaian energi, maupun dalam susunan tata ruang, pemukiman-pemukiman
tersebut menggambarkan pemukiman yang berbeda. Perbedaan ini tampak jelas
28
dalam gaya hidup pemukiman yang satu mempersentasikan gaya hidup perkotaan,
sedangkan yang lain gaya hidup rural atau pedesaan.28
Pembangunan yang makin bertambah tidak sesuai dengan tata ruang
mengakibatkan adanya gubuk-gubuk yang berhimpit di dalam kampung-kampung
kota. Selain itu, permukiman kampung cenderung tersebar di seluruh kota,
berdekatan dengan tempat bekerja dan tempat tinggal orang Eropa. karena itulah,
kondisi kesehatan di kampung juga harus menjadi perhatian orang Eropa.
kebakaran yang sering terjdadi di perkampungan padat juga memunculkan rasa
takut di kalangan orang Eropa terhadap keselamatan mereka sendiri.29
Program perbaikan kampung pada dasarnya terdiri dari pembangunan
jalan dan jalan setapak beraspal yang dilengkapi dengan selokan. Melihat
dampaknya terhadap kehidupan para penduduk kampung, proyek-proyek lain
kemungkinan juga memberikan manfaat yang sama, terutama proyek pekerjaan
penanggulangan banjir oleh Ir. Van Breen yang diselesaikan pada 1918.30
Bangunan yang di bangun sepanjang jalan, akibatnya semua jenis pelayanan
masyarakat misalnya pengiriman pos, penjagaan keamanan oleh polisi, pemadam
kebakaran semakin sulit berjalan dengan lancar. Lalu lintas makin bertambah,
sebab jika bentuk kota meluas kebanyakan jurusan dan jaraknya makin jauh,
karena jarak jauh menyebabkan fasilitas kota modern seperti listrik, saluran air
menjadi mahal karena harus di pasang pipa-pipa utama lebih banyak dari pada
jaringan yang menuju kerumah-rumah.31 Untuk memecahkan masalah
28 Ibid., hlm. 60-61. 29 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 166. 30 Ibid, hlm. 167. 31 W .F Wertheim (ed), The Indonesia Town, (Bruxel-les: S.A Manteaux),
1960, hlm. 40.
29
perhubungan antara bagian kota dibuat jalan kereta api kota. Jalan Trem dipasang
jalur-jalurnya sejak dimulai tahun 1880, pemasangan jalur-jalur meluas ke seluruh
kota yang berlangsung sampai 1915 menghubungkan bagian-bagian kota.
Perkantoran pemerintah dan perdagangan di Batavia masih tetap terpusat
didaerah khusus, di Batavia Centrum, atau di Batavia Lama, dan lainnya di
Koningsplein (sekarang Taman Monas). Di Batavia Centrum terdapat bukti nyata
tentang kemajuan yang baru dicapai, yaitu Gedung Java Bank, suatu bagunan
moderen dengan gaya tahun dua puluhan dan di sampingnya gedung NHM
(Nederlandsche Handel Maatschappij) dan Stasiun Pusat Kereta Api. Banyak
pabrik, kantor, bengkel dan gudang berdiri di sekitar kali besar yang terletak di
kedua pinggir Sungai Ciliwung. Walaupun gedung-gedung terpelihara rapi,
disapu, dipel, dicat atau dilabur putih dan selalu dikunjungi oleh orang-orang
Eropa di siang hari untuk urusan-urusan usaha mereka. Tetapi udaranya tidak
sehat akibat bau yang menyengat dari Sungai Ciliwung.32
Weltevreden merupakan pusat dari kota Batavia baru yang mampu
menarik minat masyarakat untuk datang kesana. Berbagai tempat menarik
menjadi tujuan baik itu masyarakat sekitar maupun wisatawan baik dalam negeri
maupun luar negeri. Weltevreden yaitu pemukiman pinggiran kota yang
mengelilingi Koningsplein. Wilayah yang dikelilingi oleh garis pertahanan Van
den Bosch pada 1835.33 Pemukiman Weltevreden mengacu pada daerah
Koningsplein. Waltevreden memiliki potensi bagus karena posisi topografisnya
yang relatif tinggi yang dapat menjamin kelancaran sanitasi. Sangat berbeda
dengan keadaan pemukiman pribumi yang berada didaerah rendah, berawa,
32 Desca Dwi Savolta, Op. cit., hlm. 65-66 33 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 73.
30
becek, tidak sehat dan kurang mendapatkan perhatian pemerintah kolonial
Belanda. Pemberian nama Weltevreden juga mengacu pada satu bagian kecil
dalam wilayah tersebut, yakni Waterlooplein. Waterlooplein merupakan lapangan
yang digunakan oleh angkatan darat dari Hindia Belanda sebagai arena latihan
militer mereka. Nama Waterlooplein sengaja diambil dari nama Waterloo, dimana
sebagai pengingat kemenangan di Waterloo. Di sana juga terpancang sebuah tugu
yang di atasnya terdapat patung singa, sehingga kerap masyarakat Batavia
mengenalnya dengan sebutan lapangan singa.34 Pihak militer yang kerap
menggunakan lapangan ini juga membantu dalam membentuk kebudayaan kota
melalui klab mereka, yakni Concordia yang terletak di sisi selata dari
Waterlooplein (kini jadi lokasi Hotel Borobudur).
Dari tata letaknya, Weltevreden merupakan daerah yang sangat
mendukung gagasan kota taman pada masa teknik otomotif masih sedikit
memproduksi kendaraan dengan kecepatan diatas 30 km/jam. Kebanyakan
penghuni Weltevreden menggunakan kuda dan berjalan kaki. Rancangan dari
Weltevreden antara lain meletakkan jalan-jalan: jalan Van Heutz Boulevard (Jalan
Teuku Umar), Javastraat (Jalan Agus Salim, diteruskan Bisschoopplein,
mampangweg (Jalan Cik Di Tiro). Ujung-ujung jalan itu bertemu dengan
Boulevard Oranjelaan (Jalan Diponegoro) dan Nassaulaan (Jalan Iman Bonjol)
dan membentuk daerah pemukiman hingga ke bagian utara rel kereta api.
Nassaulaan menjadi poros penting memasuki kawasan pemukiman Gondangdia
Baru. Di jalan-jalan ini dibangun rumah-rumah indah dan sehat. Kawasan
Menteng dan Gondangdia baru udaranya sejuk, rumahnya besar dan bagus, parit-
34 Threes Susilawati (ed), Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe, (Jakarta:
PT Gramedia, 1988) hlm. 88.
31
parit kecil tertata teratur dan airnya lancar, pohon teratur disekitar jalan, jalannya
bersih dan selalu disiram. Saluran air minum lancar, rumah-rumah terlihat bersih
dan jendelanya besar membuat sirkulasi udara dengan bebas masuk kedalam
rumah.35
Batavia dapat membanggakan diri, memiliki setengah lusin hotel kelas
satu, yang paling terkenal ialah Hotel des Indes (dengan harga ƒ7-15 per hari, ala
Amerika), dengan kamar-kamar, bungalo dan flat-flat kecil, dengan jalan atau
gang yang dinaungi oleh pohon-pohon besar. Hotel des Indes, pada zaman
Belanda sangat terkenal. Saat ini sudah tidak terdapat lagi bekasnya karena sudah
diratakan dengan tanah dan diatasnya didirikan pertokoan di Jalan Gadjah Mada.
Dahulu hotel ini menghadap ke Sungai Ciliwung, merupakan renovasi dari sebuah
hotel yang sama. Sebelumnya memiliki gaya arsitektur klasik. Perombakan dan
perluasan tersebut, dirancang dan dibangun oleh AIA. Hotel dijadikan berlantai
dua dan sebagian berlantai tiga dalam arsitektur modern.36
Selain itu di tempat pertokoan orang-orang Eropa yang mewah dan mahal,
yakni jalan Rijswijk, terdapat toko serba ada, toko-toko buku, toko musik, toko
perabot rumah tangga, tukang-tukang jahit Inggris, dan rumah-rumah mode
dengan model dari Paris. Di pasar Baru, dekat Rijswijk, terdapat toko-toko Cina
yang bersaing dengan Glodok, melayani segala macam selera dan kantong, baik
Eropa maupun Asia. Dan di mana-mana kelihatan toko bahan makanan Cina, yang
melayani pesanan, baik melalui catatan ataupun telepon. Di rumah-rumah makan
seperti “Snoep Huis” yang sangat populer itu, orang dapat duduk pada meja
marmer sambil minum minuman hangat atau dingin atau minum ice cream coklat
35 Desca Dwi Savolta, Op. cit., hlm. 72-73. 36 Ibid., hlm. 74.
32
yang dilapisi cream dan kue-kue lezat, sambil duduk dengan santai melihat-lihat
orang lalu lalang.37 Gambaran ini merupakan salah satu kebiasaan masyarakat
Eropa yang tinggal di Batavia.
Berbicara mengenai gaya hidup masyarakat di Batavia tak lepas dari
keberagaman etnis yang terdapat di dalamnya. Seperti msayarakat Eropa di
Batavia selama pemerintahan Inggris (1811-1816), isteri Gubernur Letnan Raffles
berusaha keras mendorong mereka agar mengganti sarung dan kebaya (yang
bahkan sangat disukai para isteri anggota Raad van Indie) dengan busana model
Eropa. Ia juga memperkenalkan konsep mengenai elegan ke dalam masyarakat
kelas atas Batavia yang sangat kecil itu. Setelah kedatangan Inggris, para
perempuan muda dan orang-orang yang banyak bergaul dalam masyarakat
bersama mereka, mengadopsi busana yang biasa digunakan para perempuan
Inggris, serta sikap dan pakaian mereka menjadi lebih baik. Namun, usaha nyonya
Raffles tidak terlalu membekas. Foto-foto orang Eropa di Batavia pada abad ke-19
menunjukkan bahwa ketika di rumah, para perempuan tersebut tetap mengenakan
busana bergaya “Hindia” dan hanya mengenakan busana Eropa ketika pergi
berbelanja atau berkunjung.38 Dalam hal pakaian misalnya, gaya Barat sebelum
tahun 1850, diwujudkan dalam hal mengimpor bahan-bahan jahitan pakaian dari
India ke Jawa dan menampilkan tubuh tertutup sebagai atribut penguasa. Seperti
penggunaan jas, mantel mewah serta penggunaan aksesoris seperti arloji bagi pria,
kalung dan gelang bagi kaum perempuan. Sejarah pakaian di Eropa berhubungan
37 A. Bagoes P. Wiryomartono, Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di
Indonesia: Kajian mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota sejak
Peradaban Hindu Budha, Islam hingga sekarang, (Jakarta: Gramedia), 1995, hlm.
195. 38 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 78.
33
dengan kewarganegaraan dan politik. Sejarah pakaian di Hindia Belanda erat
kaitannya dengan kekuasaan dan jenjang dalam susunan kekuasaan. Pada awal
abad ke-20, mode pakaian Barat merupakan tanda dari revolusi-revolusi sosial
yang muncul di Eropa. Misalnya revolusi hak suara perempuan pada amandemen
ke-19 konstitusi Amerika pada 1919. Aspirasi gerakan pembaruan di Eropa dan
Amerika Serikat terhadap kebebasan telah diterjemahkan oleh para perancang
busana ke dalam pakaian yang tidak lagi membatasi gerak.39
Sejak awal abad 20, mode Barat memang dirancang untuk para perempuan
kelas menengah di Eropa yang mendapatkan hak untuk memilih, mencalonkan
diri, memasuki dunia profesi dan bisnis sebagaimana pria. Perkembangan
menonjol dalam mode-mode Barat bagi perempuan adalah pakaian santai. Kostum
yang tidak membatasi gerak membawa para perempuan keluar dari rumah, ke
lapangan-lapangan tenis, atau mengendarai sepeda. Dari perspektif pakaian
masyarakat Eropa menanamkan identitas yang sangat terpisah dengan masyarakat
lainnya.40
Orang Eropa lebih senang dengan makanan tanah airnya, seperti mertega,
anggur dan berbagai jenis bir, kentang, ikan salmon schoohoven dengan harga
f.10 per ekor yang dikirim ke Hindia Belanda dalam lemak domba dalam
kalengan timah. Namun sering kali barang-barang kebutuhan orang Eropa sangat
tergantung pada situasinya, jika mentega habis atau kapal yang datang membawa
39 Agung Wibowo, “Gaya Hidup Masyarakat Eropa di Batavia Pada Masa
Depresi Ekonomi (1930-1939)”, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu
Budaya UI, 2012, hlm. 35. 40 Ibid., hlm. 37.
34
beberapa tong atau peti mentega, maka harga makin naik, sebaliknya jika kiriman
dari orang Eropa lancar maka harga akan kembali normal kembali.41
Orang Cina, Arab, dan pribumi memiliki gaya hidup yang berbeda dengan
orang Eropa karena kelas sosial mereka yg berada dibawah orang Eropa, maka
mereka cenderung mengalami kehidupan yang cukup keras. Walaupun ada juga
diantara mereka yang hidup dalam kelas elit bangsawan. Orang Cina dalam
kalangan kelas menengah kebawah umumnya mempunyai ciri khas rabut yang
dikepang panjang dengan baju bercirikan orang Cina pada umumnya. Mereka
biasanya bekerja secara serabutan seperti memalu, mengergaji, mengecat,
menjahit, dan membangun atau melakukan kerjaan lainnya.42 Meski banyak yang
menjadi kuli atau pedagang kaki lima dengan penghasilan yang minim, namun
tidak dapat di pungkiri banyak juga orang Cina yang sukses di Batavia dan
biasanya menjalankan hidup layaknya orang Eropa. Sedangkan orang Arab yang
kebanyakan hidup dengan cara berdagang mempunyai cirri khas pakaian dengan
gamis dan penutup kepala berupa kain sorban, dengan jenggot yang menghiasi
wajah mereka. Sedangkan orang pribumi kebanyakan hidup menjadi kuli dan
pekerja kasar bertelanjang dada dan menggunakan kebaya yang agak lusuh bagi
kaum perempuan.43 Pemandangan orang Eropa, Cina, Indonesia, dan Arab dalam
menjalankan kesibukannya masing-masing memberikan gambaran bahwa
bervariasinya gaya hidup di Batavia.
41 Desca Dwi Savolta, Op. cit., hlm. 39. 42 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 71. 43 Ibid.
35
D. Perkembangan Seni Pertunjukan dan Hiburan di Batavia
Perkembangan masyarakat Eropa di Batavia merupakan perkembangan
menuju masyarakat modern. Dengan meningkatnya kemakmuran ekonomi
membuat pembanguan yang pesat di Batavia pada awal abad-20 yang tidak hanya
dalam pembangunan gedung-gedung perkantoran, pertokoan, bengkel-bengkel,
sekolah-sekolah serta pemukiman-pemukimannya saja, tapi juga sarana
hiburannya sebagai salah satu penunjang dan kebutuhan masyarakat Batavia akan
rekreasi pun juga ikut tumbuh dan berkembang.
Dari segi hiburan, walaupun komunitas Eropa Batavia merupakan yang
paling besar, namun sisi kehidupan mereka tak kalah menjemukan dan monoton
dibanding kota-kota Jawa lainnya. Kehidupan mereka begitu sibuk, hanya
berkutat dari pagi hingga sore hari dengan waktu bekerja. Ketika malam tiba,
mereka melepas lelah dengan berjalan-jalan dan sesudah makan malam mereka
berada di teras depan rumah, mengobrol, membaca surat kabar atau majalah.
Anak muda Eropa biasanya bersantai di kelab. Terdapat dua kelab ternama di
Batavia yaitu De Harmonie dan Concordia di wilayah Waterloo (Lapangan
Banteng sekarang). Di dalam kelab kaum belia Eropa berpesta pora, mencari
jodoh dengan sesama orang Eropa, bergunjing dan bermain kartu, serta minum-
minum hingga mabuk berat. Setiap minggu di sana juga terdapat pegelaran musik
yang terdiri dari band-band militer yang beraksi pada sore hari. Pertunjukan ini
disaksikan bagi kaum Eropa meskipun banyak juga para bumiputra yang
penasaran dan melihat dari kejauhan. Ada beberapa kelab disediakan, ada pula
tempat untuk berkumpul dan membaca, ada pula teater bagus di daerah Pasar
Baroe, dengan perlengkapan audio-visual yang baik, namun tempat-tempat
36
hiburan itu digunakan orang Eropa hanyalah selesai bekerja atau ketika libur
saja.44 Hiburan orang Eropa tidak boleh dihadiri komunitas lain kecuali orang-
orang Indonesia, Cina, dan Arab yang sangat kaya. Tentu saja masih ada klub-
klub, tetapi jenis hiburan sudah bervariasi.45
Bervariasinya klub-klub yang ada terdapat klub-klub yang terkenal di
Batavia yaitu Societeit de Harmonie bagi kaum elit dan bangsawan, Societeit
Concordia bagi kalangan militer dan Prinsen Park dengan gedung komedinya,
tempat berdansa, kasino, restoran dan hiburan lainnya yang diperuntukan bagi
kalangan biasa.46 Khusus bagi Harmonie, tempat ini menjadi tempat paling favorit
bagi kalangan menengah ke atas di Batavia bahkan di Hindia Belanda. orang yang
masuk ke dalamnya harus menjadi anggota dalam klab tersebut. Tidak ada
seorang pejabat tinggi yang melewatkan kesempatan bekunjung ke Harmonie,
karena yang bertanggung jawab atas klab ini sendiri adalah seorang Gubernur
Jenderal. 47
Hiburan berupa Festival-festival yang memperkaya kehidupan publik di
Batavia dan perayan-perayaan jalanan kiranya menjadi pengobat rasa senang bagi
kaum kelas menengah ke bawah. Selain tak ada batasan ekonomi, masyarakat juga
dapat menikmatinya dengan santai dan senang. Seperti Wayang Cina yang terus di
pentaskan ketika kapal-kapal tiba dengan selamat dari Cina, sehingga sering
terdapat hiburan di Kota tua. Tiga festival tahunan dirayakan dengan sangat
kemegahan, yaitu Tahun Baru Cina, Pecun, dan Pu-du. Pada festival Pudu,
44 Agung Wibowo, Op. cit., hlm. 36-37. 45 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 159. 46 Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1988) hlm. 212. 47 Threes Susilawati (ed), Op. cit., hlm. 107.
37
sesajen berupa makanan dalam jumlah besar disiapkan di atas panggung untuk
arwah orang-orang yang sudah meninggal. Selanjutnya orang-orang miskin yang
telah berkumpul dipersilahkan untuk memanjat dan mengambil makanan-makan
tersebut. Dengan demikian terjadilah keramaian berebutan makanan yang
kemudian menjadi nama festival ini. Festival Pecun yang dirayakan pada
pertengahan tahun, memiliki asal usul yang tidak jelas namun selalu melibatkan
balapan perahu. Perahu lomba ini diiringi oleh perahu-perahu lain yang penuh
berisi pemain music dan penari. Tentu saja festival yang terbesar adalah Tahun
Baru Cina yang berlangsung selama 12 hari pada bulan Januari-Februari dan
berpuncak pada pesta Capgomeh.48 Ada tontonan yang namanya Gajah Dungkul,
gembalanya memukul tambur kecil sambil mengumandangkan pantun. Kemudian
perayaan ini ditutup dengan pembawaan lentera berbentuk katak, burung dan
sebagainya. lalu ada acara tahunan yang disebut Cioko (rebutan bendera). Upacara
itu sesungguhnya diadakan untuk menyembahyangi arwah orang-orang yang
sudah meninggal. Tadinya perayaan Cioko berlangsung di panggung di halaman
belakang Gedung Globe di Pasar Baru (sekarang jadi Globe Plaza), kemudian
dipindah ke belakang kelenteng di jalan Lautze yang waktu itu masih luas.49 Yang
tidak dapat ditinggalkan dalam setiap pesta Capgomeh adalah Barongsai, yaitu
tiruan naga yang digerakkan oelh sejumlah pemuda. Naga ini mengunjungi
rumah-rumah di pecinan diiringi bunyi rangkaian petasan yang ditunjukan untuk
mengusir setan. Ada juga festival yang berupa pasar malam, seperti Pasar Malam
Amal (Fancy Fair) yang diselenggarakan oleh Tiong Hoa Hwee Koan. Di
dalamnya terdapat stand-stand yang menarik, antara lain, Stand Gramophone dan
48 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 159. 49 Op. cit., hlm. 60.
38
Phonograph yang memperdengarkan lagu-lagu Tionghoa (Kongfu) dan Melayu,
Stand tembak-menembak dengan senapan angin, Stand memancing barang-
barang, Stand tombola dengan paket-paket, Stand barang-barang ajaib dan barang-
barang kuno, Monyet seperti orang, Nona cantik dari Wenen, Perang lombok dan
orang kuat.50 Kemudian juga ada kermis, semacam pasar malam gaya Belanda
atau orang Eropa yang diselenggarakan di Harmonie, yang di dalamnya tak beda
jauh dengan pasar malam yang lainnya, disana ada bebagai macam barang yang
dijual seperti pakaian, pakaian dalam wanita, tukang obat, badut, kereta-kereta
kecil yang menjual telur dan acar, dan acara ini umumnya mengikuti apa yang
sudah ada seperti kermis di Amsterdam.51
Ada satu lagi hiburan yang berupa pasar malam tahunan yang
diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda, yakni Pasar Gambir. Pasar
Gambir adalah pasar malam pertama yang dibuat oleh pemerintah Hindia
Belanda. Pasar Gambir sendiri diadakan dalam rangka perayaan penobatan Ratu
Wilhelmina sebagai Ratu Belanda pada tahun 1898 yang diadakan secara mewah,
Kota Batavia disulap menjadi tempat yang ramai dengan hiburan-hiburan, lalu
pelabuhan dan kapal-kapal di Tanjung Priok diterangi lampu-lampu. Gudang
arang pun juga dihias serta diadakannya pesta kembang api secara meriah.52 Pasar
Gambir merupakan sarana rekreasi serta hiburan untuk masyarakat Batavia berupa
pertunjukkan sulap, carrousel (komidi putar) dan American Carnaval Show.
Selain hiburan juga ada arena permainan, seperti permainan panjat-panjatan yang
hampir mirip dengan permainan Panjat Pinang, permainan olahraga bola kasti,
50 Tio Tek Hong, Op. cit., hlm.28 51 Threes Susilawati (ed), Op. cit., hlm. 108 52Ibid., hlm. 63.
39
layang-layang dan sepak bola. Namun, satu hal kerap ditunggu-tunggu masyarakat
Batavia kala itu adalah pesta kembang api yang meriah, yang dilakukan setiap
pekan terakhir Pasar Gambir. Kembang api-kembang api ini diambil dari Pabrik
Kembang Api Gortz di Krukut dan Lauw Kang Boen di Angke.53
Selain banyaknya festival yang ada di Batavia ada juga pertunjukan
panggung yang juga di gemari masyarakat Batavia. Pertunjukan panggung
merupakan hiburan yang sangat digemari masyarakat baik dari kalangan atas
hingga masyarakat kelas bawah. Biasanya berupa drama atau opera dan konser
musik. Drama agaknya lebih kepada tontonan kelas menengah ke atas. Bertempat
di Spellhuis atau gedung kesenian acara ini diperankan oleh aktris dan aktor
setempat, bahkan hingga pemain keliling. San Carlo Opera Company dari Italia
mengadakan pertunjukan setiap tahun, dan perkumpulan kebudayaan Belanda
(Kuntring) mensponsori pertunjukkan-pertunjukkan artis-artis Eropa. Hiburan
pertunjukan panggung semacam konser dan parade juga terselenggara di
Waterlooplein. Waterlooplein sendiri adalah lapangan yang digunakan oleh
angkatan darat dari Hindia Belanda sebagai arena latihan militer mereka. Nama
Waterlooplein sendiri diambil dari nama Waterloo, dimana sebagai pengingat
kemenangan di Waterloo. Di sana juga terpancang sebuah tugu yang di atasnya
terdapat patung singa, sehingga kerap masyarakat Batavia mengenalnya dengan
sebutan lapangan singa.54 Ada pula pertunjukan baik umum maupun pribadi, dari
Opera Cina atau wayang Indonesia, dan pertunjukan-pertunjukan yang selalu
populer seperti pertunjukan Miss Tjitjih, dengan pemain bukan seorang aktris
53 Gemita Tranka Magaeltra, “Pembentukan Djakarta Fair Masa Gubernur
Ali Sadikin (1968-1977)”, Skripsi, (Depok: Universitas Indonesia, 2011), hlm. 25. 54 Threes Susilawati (ed), Op. cit., hlm. 88.
40
saja, tetapi berbagai artis yang pertunjukan-pertunjukannya selalu mengandung
kejutan.55
Film juga merupakan salah satu hiburan yang mempertunjukkan gambar
bergerak pada sebuah layar. Pada tahun 1900 film pertama kali muncul di Batavia.
tepatnya tanggal 5 Desember 1900, Nederlandsche Biooscope Maatschappij
(perusahaan bioskop Belanda) menyelenggarakan pertunjukkan besar pertama
yang akan berlangsung tiap malam, pukul 19.00 di rumah di Tanah Abang
Kebondjae (Manage), sebelah pabrik kereta (bengkel mobil Maatschappij
Fuchss).56 Kemudian bioskop pun menjadi hiburan yang berkembang di Batavia.
Pertunjukkan film yang ditampilkan menarik minat masyarakat Batavia, mulai
dari kelas Eropa hingga Pribumi. Meski begitu pembagian kelas dalam bioskop
pun tetap diberlakukan, bukan semata-mata untuk kepentingan ekonomi tetapi
untuk mempertegas bahwa bangsa Eropa tetap pada kelas tertinggi dibanding
kelas lainnya.
Kemudian ada seni pertunjukan panggung yang sangat digemari. Semacam
opera yang disispkan dengan berbagai adegan lucu, dan bercerita tentang
kehidupan raja-raja dengan pakaian gemerlapan. Bentuk paduan irama musik
dengan gerak tari dalam teater melahirkan ciri Indis, yang dikenal dengan komedie
stamboel. Sementara itu, dalam bentuk musik orkes keroncong, muncul lagu
stambulan. Kemunculan komedie stamboel yang pertama di Surabaya pada awal
abad ke-20.57 Dalam perjalanannya komedi stambul banyak melakukan
pembaruan dalam cara penyajian dan repertoarnya dalam periode 1920-an
55 Willard A. Hanna, Op. cit., hlm 211. 56 Sari Wulan, “Sejarah Industri Perfilman Di Batavia Tahun 1900 –
1942”, Jurnal Diakronik, (Surakarta: Universtas Sebelas Maret, 2013) hlm. 8. 57 Djoko Soekiman, op.cit., hlm. 48.
41
merupakan awal lahirnya toneel yang merupakan perubahan dari stamboel.58
Mengenai bagaimana dari stambul ke toneel dan perkembangan toneel di Batavia
nanti akan di jelaskan pada bab selanjutnya.
58 Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900–1950, (Jakarta: Komunitas
Bambu, 2009), hlm. 3.