kanal: saluran aspirasi korban lapindo

8
1 Kanal | Edisi 7 | 2009 A Lelakon: Perempuan-Perempuan Tangguh Yok Opo Rek: Empat Lawan Satu: Hanya Promosi Bakrie hal 3 - 4 hal 5 Kabar Anyar: Warga Tanggapi Dingin Sesumbar Karsa hal 6 - 7 Ketika Korban Masuk Bursa Aroma pemilu legislatif 2009 ternyata juga melanda bumi Porong. Warga korban lumpur Lapindo pun sepertinya juga tak mau cuma menjadi sasaran kampanye. Mereka juga mengajukan diri sebagai calon legislator (caleg). Lihat saja poster, spanduk, atau baliho yang bertebaran di sekitar tanggul, di persimpangan- persimpangan jalan, maupun di bekas jalan tol Porong- Gempol. Di situ tidak saja terpampang wajah-wajah “Jakarta”, melainkan juga wajah “Porong”, “Jabon”, atau “Tanggulangin”—tiga kecamatan yang tertimpa apes luapan lumpur. Dan, mari lihat beberapa tampang “lokal” itu, khususnya yang tengah memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo. Wilayah korban lumpur di sini masuk daerah pilihan (dapil) 2, yakni Kecamatan Porong, Kecamatan Krembung, dan Kecamatan Tanggulangin. Beberapa calon pun sekaligus merupakan korban lumpur. Lihat saja H.M. Maksum Zuber asal Jatirejo, Hj. Machmudatul Fathiyah dan H. Fakhrur Rozi asal Renokenongo, Sapariadi yang juga asal Renokenongo, atau Siti Muliana yang dulu tinggal sebagai pengontrak di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perum TAS) 1. Dan masih banyak lainnya. Seolah tak mau kalah, korban di luar peta terdampak resmi juga turut maju. Contohnya, Mundir Dwi Ilmiawan, warga Desa Permisan. Mereka menempuh jalur partai berbeda-beda. Maksum, Mahmudatul, dan Rozi memilih ‘rumah’ Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sapariadi ada di Partai Barisan Nasional. Muliana masuk Partai Hanura. Sementara Ilmiawan, atau akrab disapa Iwan, ikut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Nah, apapun partai mereka, dari manapun asal desa mereka, dalam peta atau luar peta, pertanyaannya: sejauhmana sebenarnya komitmen mereka terhadap perjuangan korban lumpur? Apakah mereka mempertimbangkan pentingnya merebut hati korban lumpur? Apa strategi mereka menggandeng “saudara senasib”? “Prioritas saya kesejahteraan ekonomi dan penyelesaian kasus Lapindo,” tutur Iwan. Demi prioritas ini, Iwan juga berjanji akan meangalokasikan seratus persen pendapatannya sebagai anggota legislatif untuk usaha penguatan jaringan masyarakat, termasuk untuk perjuangan korban Lapindo. Sejak tahun 2006, Iwan memang terlihat aktif dalam pergerakan warga korban lumpur guna menuntut tanggung jawab Lapindo. Cuma jika dulu, dia sering terlihat bergerak lewat demonstrasi-demonstrasi, kini dia ingin “mencoba berteriak dari dalam”. Iwan mengakui, perjuangan ini butuh kerja keras. Bahkan, jika di dewan legislatif nanti akan bertentangan dengan partainya, Iwan berjanji tetap akan berpihak pada korban. Sebab, “Bukan partai yang menjadikan atau tidak saya sebagai anggota dewan. Tapi rakyat,” tandas Iwan. Untuk itu, Iwan pun mencoba intensif mendekati rakyat, terutama korban Lapindo. Iwan membentuk tim kampanye di tiap-tiap simpul masyarakat, selain juga menggunakan struktur ranting PDIP sendiri. Maklum, Iwan bergabung di partai banteng ini sejak 1994, dan sekarang ini menjabat sebagai Sekretaris PAC PDIP Jabon. Iwan biasanya membentuk forum-forum pertemuan untuk menyampaikan visi-misi dan menangkap aspirasi. Untuk 60 hari, misalnya, Iwan bisa menjalin komunikasi dengan 72 komunitas di Porong, Tanggulangin, Jabon, dan Krembung. Cale Cale Cale Cale Cale g g g g g Cale Cale Cale Cale Cale g g g g g

Upload: tifa-foundation

Post on 17-Mar-2016

245 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

berisi tentang aspirasi korban lapindo

TRANSCRIPT

1Kanal | Edisi 7 | 2009

A

Lelakon:Perempuan-Perempuan Tangguh

Yok Opo Rek:Empat Lawan Satu: Hanya Promosi Bakrie

hal 3 - 4

hal 5

Kabar Anyar:Warga Tanggapi Dingin Sesumbar Karsa

hal 6 - 7

Ketika KorbanMasuk Bursa

Aroma pemilu legislatif 2009 ternyata juga melanda

bumi Porong. Warga korban lumpur Lapindo pun

sepertinya juga tak mau cuma menjadi sasaran

kampanye. Mereka juga mengajukan diri sebagai calon

legislator (caleg). Lihat saja poster, spanduk, atau baliho

yang bertebaran di sekitar tanggul, di persimpangan-

persimpangan jalan, maupun di bekas jalan tol Porong-

Gempol. Di situ tidak saja terpampang wajah-wajah

“Jakarta”, melainkan juga wajah “Porong”, “Jabon”,

atau “Tanggulangin”—tiga kecamatan yang tertimpa

apes luapan lumpur.

Dan, mari lihat beberapa tampang “lokal” itu,

khususnya yang tengah memperebutkan kursi Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo. Wilayah

korban lumpur di sini masuk daerah pilihan (dapil) 2,

yakni Kecamatan Porong, Kecamatan Krembung, dan

Kecamatan Tanggulangin. Beberapa calon pun sekaligus

merupakan korban lumpur. Lihat saja H.M. Maksum

Zuber asal Jatirejo, Hj. Machmudatul Fathiyah dan H.

Fakhrur Rozi asal Renokenongo, Sapariadi yang juga

asal Renokenongo, atau Siti Muliana yang dulu tinggal

sebagai pengontrak di Perumahan Tanggulangin Anggun

Sejahtera (Perum TAS) 1. Dan masih banyak lainnya.

Seolah tak mau kalah, korban di luar peta terdampak

resmi juga turut maju. Contohnya, Mundir Dwi

Ilmiawan, warga Desa Permisan.

Mereka menempuh jalur partai berbeda-beda.Maksum, Mahmudatul, dan Rozi memilih ‘rumah’ PartaiKebangkitan Bangsa (PKB). Sapariadi ada di PartaiBarisan Nasional. Muliana masuk Partai Hanura.

Sementara Ilmiawan, atau akrab disapa Iwan, ikut Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Nah, apapun

partai mereka, dari manapun asal desa mereka, dalam

peta atau luar peta, pertanyaannya: sejauhmana

sebenarnya komitmen mereka terhadap perjuangan

korban lumpur? Apakah mereka mempertimbangkan

pentingnya merebut hati korban lumpur? Apa strategi

mereka menggandeng “saudara senasib”?

“Prioritas saya kesejahteraan ekonomi dan

penyelesaian kasus Lapindo,” tutur Iwan. Demi prioritas

ini, Iwan juga berjanji akan meangalokasikan seratus

persen pendapatannya sebagai anggota legislatif untuk

usaha penguatan jaringan masyarakat, termasuk untuk

perjuangan korban Lapindo.

Sejak tahun 2006, Iwan memang terlihat aktif dalampergerakan warga korban lumpur guna menuntuttanggung jawab Lapindo. Cuma jika dulu, dia seringterlihat bergerak lewat demonstrasi-demonstrasi, kini diaingin “mencoba berteriak dari dalam”. Iwan mengakui,perjuangan ini butuh kerja keras. Bahkan, jika di dewanlegislatif nanti akan bertentangan dengan partainya,Iwan berjanji tetap akan berpihak pada korban. Sebab,“Bukan partai yang menjadikan atau tidak saya sebagaianggota dewan. Tapi rakyat,” tandas Iwan.

Untuk itu, Iwan pun mencoba intensif mendekatirakyat, terutama korban Lapindo. Iwan membentuk timkampanye di tiap-tiap simpul masyarakat, selain jugamenggunakan struktur ranting PDIP sendiri. Maklum,Iwan bergabung di partai banteng ini sejak 1994, dansekarang ini menjabat sebagai Sekretaris PAC PDIPJabon. Iwan biasanya membentuk forum-forumpertemuan untuk menyampaikan visi-misi danmenangkap aspirasi. Untuk 60 hari, misalnya, Iwan bisamenjalin komunikasi dengan 72 komunitas di Porong,Tanggulangin, Jabon, dan Krembung.

CaleCaleCaleCaleCalegggggCaleCaleCaleCaleCaleggggg

2 Kanal | Edisi 7 | 2009

Diterbitkan oleh Kanal Korban Lapindo Penanggung Jawab Mujtaba Hamdi (LapisBudaya Indonesia) Sidang Redaksi Mujtaba Hamdi, Winarko, Rahman Seblat, JamboreC, Imam Shofwan Reporter A. Novik, Ahmad S Nizar Desain & Fotografi RahmanSeblat Alamat Jl KusumaBangsa 36 Gedang Porong Sidoarjo Telp. 0343-851823Website www.korbanlapindo.net Email kontak[at]korbanlapindo.net

Didukung oleh Lapis Budaya Indonesia dan Yayasan Tifa

Tapi, Iwan mengaku kesulitanmenyentuh warga korbanLapindo dari dalam peta

terdampak. Selain karena merekasendiri terpencar dan datanya susah

untuk didapat, juga karena, menurutIwan, warga korban di dalam peta lebih

pragmatis dalam merespon sosialisasicaleg. “Kalau korban di pinggiran (sekitar tanggul) lebihenak, lebih antusias. Tapi (korban dari) dalam peta lebihsusah. Mungkin harus bawa bantuan dulu untuk bisa masuk

ke sana,” tutur Iwan.

Lain lagi dengan Muliana. Perempuan korban Lapindo

dari kalangan pengontran Perum TAS 1 ini sadar, anggota

dewan sekarang ini tidak bisa berbuat banyak terhadap

nasib korban Lapindo. Namun, sebagai caleg dari Partai

Hanura, Muli berjanji akan bersikap berbeda dari anggota

dewan sekarang. “Saya akan serius membawa agenda

kesejahteraan masyarakat korban Lapindo baik dalam peta

maupun luar peta,” tegas Muli yang terlahir 31 tahun lalu

ini. Muli juga berjanji akan menyuarakan aspirasi semua

korban Lapindo, bukan kelompok tertentu saja. “Saya tidak

memilih-milih mana yang akan diperjuangkan, semua akan

saya aspirasikan,” ujarnya lagi.

Muli tidak saja berjanji akan memperjuangkan nasibkorban Lapindo, tapi juga melibatkan mereka dalam prosespencalonan dirinya. “Saya melibatkan beberapa kawankorban Lapindo juga untuk membantu kampanye saya, danmereka sama sekali tanpa bayaran,” ujarnya. Ini semangatanti politik uang (money politics), menurut Muli. Dankarena tanpa uang, Muli memilih jalur personal. Muliberkunjung dari pintu ke pintu, door to door. “Setiap harisaya meyakinkan mereka, untuk kasus Lapindo ini sayaserius,” tuturnya.

Semangat anti politik uang itu akan dia pegang jika nantiduduk sebagai anggota dewan. “Jangan bicara denganpolitik uang, tapi dengan hati nurani, karena ini masalahmanusia,” sambung Muli. Dengan politik hati nurani, Muliberjanji akan konsisten membela korban Lapindo. “Sayaakan konsisten menyuarakan kasus Lapindo ini. Dan tidakikut dalam konstelasi yang akan memperburuk kondisikorban,” tandasnya.

Agaknya, caleg-caleg dari kalangan korban lumpur inisepakat untuk memperjuangan secara serius nasib saudara-saudara mereka. Seperti juga Iwan dan Muli, Sapariadi,caleg asal Desa Renokenongo juga berjanji akanmenjadikan kasus Lapindo sebagai prioritas. Sapariadimengaku pernah menjadi Ketua Forum Silaturrahmi RakyatKorban Lumpur Lapindo, yang memperjuangkan uangkontrak, jatah hidup (jadup), dan uang boyongan rumah. Iasendiri memutuskan untuk maju sebagai caleg dari PartaiBarisan Nasional lantaran adanya dorongan dari sesamakorban lumpur. Sama seperti Muli, Sapariadi tidak sepakatdengan pendekatan politik uang untuk meraih suara.

Namun, meskipun caleg-caleg dari korban lumpurmenyatakan serius akan memperjuangkan saudara mereka,warga korban lumpur sendiri tak sepenuhnya yakin akan halitu. Nur Cholifa, 37 tahun, warga Desa Jatirejo, misalnya.Belum lama ini, Cholifah didatangi salah satu tim suksescaleg DPRD Sidoarjo. Dia diberi wawasan, atau tepatnyadiceramahi, soal pentingnya Pemilu 2009. Ia juga diberisembako, kaos dan stiker bergambar si caleg. Toh, Cholifapesimis caleg-caleg tersebut bisa meringankanpermasalahan korban lumpur.

“Mereka ‘kan mencalonkan sebagai caleg di DPRDSidoarjo. Tidak mungkin bisa ngomong mampumenyelesaikan persoalan korban lumpur,” ujar Cholifa.Bahkan, Pemilu 2009 ini, bagi Cholifa, tidak akanmenciptakan banyak perubahan bagi korban lumpur. “Janji-janji yang ditawarkan para caleg, menurut saya, cuma janji-janji saja. Belum tentu nanti mereka yang sudah jadi akanmemperjuangkan nasib korban lumpur,” tegasnya.

Pesimisme Cholifa ini bukan tanpa alasan. Ia punyapengalaman ketika berlangsung pemilihan gubernur (pilgub)Jatim 2008 silam. Saat itu, Cholifa juga didatangi salah satutim sukses calon gubernur. Ia dijanjikan akan diberi modalusaha jika mau memilih calon yang ditawarkan. Tapi,setelah pilgub usai, bantuan modal belum juga diberikan.“Pada pilgub kemarin, saya disuruh nyoblos salah satucalon gubernur. Dijanjikan akan diberi modal, tapikenyataannya tidak ada. Apalagi sekarang, banyak calegyang menawarkan janji-janji perubahan pada korban lumpur.Saya tidak percaya,” tutur Cholifa.

Mulyadi, 28 tahun, juga tidak antusias terhadap Pemilu2009. Bagi pemuda asal Desa Jatirejo ini, kebanyakanparpol tidak berani berkomitmen untuk menyelesaikan kasuslumpur Lapindo. Mulyadi, yang kini tinggal di rumah istrinyadi Desa Tebel, Sidoarjo, pernah ditawari menjadi salah satutim sukses. Tapi ia menolak. Mulyadi tidak percaya adanyaperubahan melalui Pemilu 2009. “Janji-janji yang ditawarkancaleg dan partai politik, untuk menuntaskan masalah korbanlumpur, tidak mungkin terwujudkan. Meskipun banyakwarga korban yang mencalonkan diri jadi caleg,” ujarnya.

Ketidakpercayaan terhadap caleg dan Pemilu itutampaknya telah menyebar luas di kalangan korban lumpur.Tapi, Safari, 48 tahun, warga Desa Kedungbendo masihberharap, janji dan komitmen para caleg dan parpol untukmemperjuangkan nasib korban lumpur bisa dibuktikan.Karena itu, Safari yang dulu tinggal di Kawasan KompleksAngkatan Laut ini mendukung jika ada korban lumpur yangmaju sebagai caleg. “Saya sangat mendukung warga korbanyang mencalonkan jadi anggota legislatif, yang berani danberkomitmen menyelesaikan kasus lumpur semuanya,”ujarnya.

Sementara itu, Suharto, 45 tahun, asal Desa Jatirejo,mengakui memang banyak caleg dan parpol memberi janji-janji penyelesaian kasus lumpur. “Itu trik mereka meraupsuara korban. Tapi seyogyanya juga bisa berkomitmenmemberi penyelesaian kasus lumpur, tanpa pengecualian,”tegasnya. Meski begitu, Suharto juga mengharapkan, wargayang mencalonkan sebagai anggota legislatif itu bisamengubah situasi korban lumpur Lapindo. Hanya saja,Suharto ragu terhadap kapasitas caleg-caleg tersebut jikaakhirnya mereka nanti terpilih. Sehingga, “saya belum tahu,caleg mana yang pantas saya pilih,” ujarnya. (vik/re/ba)

3Kanal | Edisi 7 | 2009

B

Perempuan-Perempuan

Bagaimana nasib satu keluarga

patrilinial di desa, jika suami,

sebagai tulang punggung keluarga,

tak berfungsi dengan baik atau

lumpuh sama sekali? Bagaimana

keluarga ini melanjutkan hidup

sehari-hari? Bagaimana sekolah

anak-anak mereka? Bagaimana

kalau mereka sakit? Dan daftar pertanyaan panjang

lainnya masih bisa diuraikan dengan jawaban terbata-

bata. Pertanyaan lebih ekstremnya: bagaimana jika

kelumpuhan ini terjadi massal? Anda akan

membayangkan hal-hal buruk.

Tapi ini bukan bayangan, bukan imajinasi. Ini fakta

yang sudah dua tahun setengah ini berlangsung di dekat

kita, sangat dekat. Ini kisah ribuan suami yang

pekerjaannya direnggut bencana lumpur Lapindo,

sementara istri-istri dan anak-anak perempuan, dengan

segala keterbatasannya, dipaksa menanggung beban

keluarga semuanya. Ya, semuanya.

Perempuan itu, Asfeiyah namanya (45 tahun), masih

tegak sebagai ibu rumah tangga di Pasar Baru Porong.

Suaminya Pak Sanep (45 tahun), sebelum bencana

Lapindo, adalah seorang pengrajin emas, tapi sudah lebih

dari tiga tahun tidak bekerja lagi.

“Orangnya bodoh, buta huruf, bisa baca tapi tak bisa

nulis, jadi pemalu,” Asfeiyah mencoba menerangkan

kenapa suaminya jadi pengangguran.

Suaminya memang berhenti jadi perngrajin emas

beberapa tahun sebelum bencana lumpur. Saat itu,

keluarga Asfeiyah masih tinggal di Renokenongo.

Asfeiyah menjadi tukang jahit dan suaminya bekerja

serabutan.

“Kalau ada yang mengajak bekerja, (ya bekerja),

kalau tidak ya tidak. Nggak bisa cari sendiri,” jelas

Asfeiyah.

Di Renokenongo, sebelum bencana Lapindo,

Asfeiyah sering mendapat orderan dari tetangga yang

minta dibikinin baju. Seminggu dua kali dia dapat order,

itu menurut itungan paling jarang bagi Asfeiyah.

“Lumayan bisa dapat 50 ribu (per potong),” jelas

Asfeiyah. Kehidupannya di Renokenongo memang sulit

tapi di pengungsian lebih sulit lagi. Sekarang tak ada lagi

orang yang minta dibikinin baju, kalau ada paling-paling

cuma tambal baju alias vermak.

Kalau boleh memilih, Asfeiyah tentu memilih untuk

bertempat tinggal di rumahnya di Renokenongo. Untung

tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Bencana

lumpur Lapindo datang begitu tiba-tiba dan tak memberi

pilihan lain pada Asfeiyah

sekeluarga selain pindah ke

pengungsian di Pasar Baru

Porong. Dan ini bagai mimpi

buruk buatnya. Semua

anggota keluarganya tak

satupun yang bekerja dan dia satu-

satunya yang banting-tulang untuk

semua anggota keluarga.

Tiap hari Asfeiyah musti mengumpulkan uang 50 ribu

rupiah untuk makan semua keluarga, dan beberapa bulan

terakhir ini pendapatannya sering kurang dari itu.

Hanya pada bulan 2-8 Asfeiyah bisa bekerja normal

sebagai penjahit. Pada bulan-bulan itu banyak orderan

dari perusahaan-perusahaan pakaian. Kalau dia bisa

menyelesaikan sesuai tenggat, tiap minggu 400.000

rupiah bisa dia dapatkan. Dan ini berarti Asfiyah musti

enam belas jam di mesin jahit tiap harinya. Mulai jam 4

pagi sampai jam 4 sore dan jam 8 malam hingga jam 11.

Setelah perjuangan panjang dan melelahkan karena

sering dikibuli Lapindo selama 2 tahun lebih, Asfeiyah

dan keluarga-keluarga lain di Pasar Baru Porong yang

tergabung Paguyuban Warga Renokenongo Korban

Tangguh

Kehidupannya di Renokenongo

memang sulit tapi di

pengungsian lebih sulit lagi.

Sekarang tak ada lagi orang

yang minta dibikinin baju,

kalau ada paling-paling cuma

tambal baju alias vermak.

4 Kanal | Edisi 7 | 2009

Lapindo (Pagar Rekorlap) mendapatkan

20 persen uang aset mereka. Meski tak

sesuai keinginan, warga tak bisa menolak

cara pembayaran yang dilakukan Minarak

Lapindo, yakni dengan cara mencicil.

Bulan ini Asfeiyah mendapatkan cicilan yang

keempat dan karena tidak ada pekerjaan dia

menggunakan uang tersebut untuk modal dagang

pakaian. Meski tak ramai, Asfeiyah tiap harinya bisa

dapat pemasukan sekitar 30.000 rupiah sementara uang

untuk makan semua keluarganya adalah 50.000.

Asfeiyah tak punya pilihan lain selain menggunakan

uang rumahnya untuk makan. Bayangan untuk bisa

mendapat rumah lagi pun perlahan-lahan mulai dia

hapus.

“Yang penting semua keluarga bisa makan, Mas,”

kata Asfeiyah.

Marah, sedih, putus asa, perasaan-perasaan ini

dipendam Asfeiyah karena tak ingin keluarganya pecah.

“Kalau marah, cek-cok, takut kehilangan suami,”

tutur Asfeiyah. “Tapi kalau nggak marah nggak tahan,

Mas.”

Tak hanya Asfeiyah yang dipaksa menjadi tulang

punggung keluarga. Ribuan lainnya mengalami nasib

serupa. Seorang ibu warga Perumahan Tanggulangin

Anggun Sejahtera I juga mengalami nasib yang sama.

Nama ibu itu, Noor Hani (44 tahun), kini mengontrak

rumah di Sidokare, Sidoarjo. Alasannya tentu jelas

karena rumahnya sudah punah dimakan lumpur.

Bu Hani, begitu siswa Madrasah Aliyah Khalid bin

Walid biasanya memanggil namanya, adalah guru di MA

tersebut. Sebelum ada lumpur, suaminya Hendra Jaya

(44 tahun) punya bengkel reparasi dinamo di rumahnya.

Dia sudah punya langganan dari tetangga-tetangga di

sekitarnya. Namun lumpur Lapindo menenggelamkan

bengkel itu dan suaminya pun praktis tidak bisa bekerja

lagi.

Bagi guru swasta yang gajinya tak lebih dari 100 ribu

rupiah per bulan dan suami yang menganggur tentu

bencana Lapindo jadi pukulan yang berat bagi keluarga

ini. Keluarga ini mesti pontang-panting untuk menutup

kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Dengan tiadanya

pemasukan Hani mencoba memperkecil pengeluaran.

Caranya dengan mengurangi jatah makan sehari-hari.

“Berasnya saya kurangi dan ganti singkong yang

sama mengandung karbohidrat,” Hani berusaha

menahan air matanya saat mengatakan ini.

Hani juga berusaha supaya dapat pemasukan

tambahan. Dia melukis dan bikin gambar meja-kursi

belajar dan suaminya diminta membikin barangnya.

Namun itu belum cukup menutupi kebutuhan keluarga.

Hani lantas berdagang keliling pakaian dan kue supaya

asap dapurnya tak padam.

Empat orang anaknya tak semuanya bisa menerima

kesulitan ini. Hanum Anggraini (15 tahun), anak

pertamanya yang duduk di SMU II Sidoarjo, bisa

menerima kenyataan ini dan bisa bersabar.

“Tapi yang kecil suka protes, saya mencoba

mengarahkannya dengan agama,” tutur Hani. Tapi

namanya juga anak-anak masih suka rewel dan protes.

Tak hanya ibu-ibu yang rumahnya sudah terendam

lumpur yang merasakan dampak bencana Lapindo ini.

Ibu Crhristina, warga Glagaharum, juga merasakan

dampak tidak langsung bencana Lapindo.

Christina adalah istri Hafidz Affandi, kepala desa

Glagaharum periode 1990-1998 dan 1998-2007.

Keluarganya cukup terpandang dan kaya. Tanahnya

luas, punya toko bangunan, dan pabrik sepatu di pasar

wisata Tanggulangin.

Setelah tidak jadi kepala desa, praktis pendapatan

mereka bertumpu dari toko bangunan dan pabrik sepatu.

Toko ini sebelum ada lumpur mendatangkan pendapatan

yang luar biasa besar bagi keluarga Christina. Seharinya

bisa 9-12 juta. Saat itu, semua kebutuhan delapan

anaknya bisa dipenuhi bahkan berlebih.

Misalnya, semua anaknya kalau sudah masuk SMP

pasti dibelikan sepeda motor dan dibikinkan SIM. Lalu

kalau anaknya minta dibelikan laptop atau sepatu yang

harganya jutaan, saat itu juga akan dibelikannya.

Dulu kalau mau datang ke pesta kawan-kawannya,

pasti bajunya baru,” kenang Crhistina.

Sekarang semua sudah berubah. Sejak Bencana

Lapindo dua tahun lalu, satu per satu langganan Chris-

tina hilang.

“Dulu langganan saya dari Siring, Ketapang,

Kedungbendo, Jatirejo, Renokenongo, dan lainnya,” tutur

Christina. Sekarang desa-desa itu sudah tenggelam

dalam lumpur dan tak ada lagi pesanan buat Christina.

Pendapatannya menurun drastis hingga 500 ribu hingga

1 juta seharinya.

Lima dari 6 karyawannya di toko bangunan dia

pulangkan dan kini tinggal dia dan seorang pelayan toko

yang masih bertahan. Gudang-gudang tempat

penyimpanan semen dan kayu juga sekarang kosong

karena permintaan yang terus berkurang.

Akhir tahun lalu, Christina meminjamkan secara

gratis gudang ini untuk Yayasan Khalid bin Walid dan

digunakan untuk sekolah. Christina tak tega melihat

gedung sekolah Khalid bin Walid di Renokenongo

tenggelam.

“Saya juga punya banyak anak yang masih sekolah,

bagaimana kalau ini menimpa saya,” tutur Christina.

[mam]

Foto: Rahman

5Kanal | Edisi 7 | 2009

Nyaris tiga tahun sudah warga Renokenongo tinggal

berdesak-desakan di pengungsian Pasar Baru Porong (PBP).

Belakangan, dengan datangnya ratusan pedagang sayur di

lokasi pengungsian mereka, ‘rumah’ mereka kian terasa tak

nyaman. Para pedagang ini mulai pindah secara bertahap

sejak 10 Januari lalu. Sebelumnya, mereka berdagang di

depan stasiun Porong, di tanah milik Perusahan Jawatan

Kereta Api (PJKA). Meski penjualan bagus namun lokasi sempit,

tanahnya becek kalau hujan.

“Sekarang tanah itu akan digunakan perbaikan stasiun,”

tutur Iwan, seorang pedagang rempah di Pasar Baru Porong.

Belum genap sepuluh hari mereka berdagang di PBP, mereka

sudah didemo oleh para pengungsi korban Lapindo, yang

menempati PBP sejak luapan lumpur dua setengah tahun

lalu, yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka.

Pengungsian yang sumpek jadi tambah sumpek. Selain

itu, soal keamanan juga menjadi alasan terganggunya para

pengungsi. Sesuai perjanjian, para pengungsi ini tidak mau

Pembelian sawah dongkel di Desa Besuki, Kecamatan

Jabon, masih menyisakan persoalan di warga. Pasalnya, dari

93 petak tanah hanya 41 petak yang akan dibeli oleh

Pemerintah. Keseluruhan tanahnya seluas 5 hektar dan hanya

2 hektar lebih sedikit yang dibeli oleh Pemerintah.

Desa Besuki adalah salah satu desa korban Lapindo yang

mendapat ganti rugi dari APBN. Meski semua Desa Besuki

terkena lumpur, tapi hanya sebagian desa yang mendapatkan

ganti rugi.

Sawah dongkel ini adalah salah satu contohnya. Sama-

sama terkena lumpur dan kini tidak produktif namun tidak

semua masuk peta dan dibeli oleh Pemerintah. Hanya yang

Tayangan baru ANTV bertajuk Empat Lawan Satu

mendapat tanggapan sinis dari korban Lapindo. Maklum

tayangan perdana, pada 5 Februari, yang menampilkan Abu

Rizal Bakrie, Menkokesra sekaligus pemilik Group Bakrie itu,

membicarakan banyak hal soal nasib korban Lapindo.

Imam (30 tahun), korban asal Jatirejo, bahkan hafal apa

saja yang dibicarakan Bakrie dalam acara tersebut. Setidaknya

ada enam perkataan Bakrie yang dia garisbawahi: (bencana

Lapindo) karena fenomena alam, para korban yang tidak punya

surat dikasih rumah, waktu Bakrie datang ke Sidoarjo dicium

tangannya, putusan pengadilan menetapkan Lapindo tidak

bersalah, ada provokasi, dan yang dilakukan Bakrie sesuai

dengan Peraturan Presiden.

Satu-per satu pernyataan Bakrie ini ditanggapi oleh Imam.

Menurutnya, tidak benar kalau bencana ini adalah fenomena

alam, ini karena kesalahan teknis pemboran. Lebih lanjut

menurut Imam, dari awal Lapindo ingin membeli tanahnya.

“Pernah ditawar tapi tidak dikasihkan, izinnya buat

peternakan,” tutur Imam. Lebih jauh, Imam merujuk pada ahli-

ahli geologi dunia di Cape Town yang memutuskan lumpur

Lapindo disebabkan oleh kesalahan pemboran. Sementara,

gempa Yogja, yang kerap diklaim Lapindo

sebagai penyebab, terlalu jauh untuk

menjadi pemicu semburan lumpur.

Soal para korban tak bersurat yang dikasih

rumah ditanggapi keras oleh Imam.

Menurutnya, Lapindo pernah bilang hanya mau

membayar korban yang memiliki surat dan itu juga

yang dilaksanakan Lapindo hingga sekarang. Kemudian, soal

kedatangan Bakrie di Sidoarjo yang disambut dengan cium

tangan, menurut Imam itu tidak benar. Dia tidak pernah melihat

Bakrie datang ke Sidoarjo. Bahkan kalau, misalnya, Bakrie

datang ke Sidoarjo akan digasak ramai-ramai karena sudah

menyengsarakan banyak orang.

Imam juga tidak sepakat dengan putusan pengadilan yang

memutus Lapindo tidak bersalah. Menurutnya, pengadilan

bukan ahli pemboran dan tidak mempertimbangkan sisi

kemanusiaan dari para korban. Ada provokasi terhadap korban

lumpur juga ditolak oleh Imam. Menurutnya korban yang

menuntut haknya itu memang benar korban yang belum

dilunasi haknya. Tentang langkah Lapindo yang sesuai dengan

Perpres itu juga tidak benar, karena berkali-kali Lapindo

mangkir dan tidak sesuai dengan keputusan presiden.

Lilik Kamina, korban di PBP, juga menanggapi sinis acara

Empat Lawan Satu. Dia bilang kalau acara itu hanya untuk

mempromosikan Lapindo dan Bakrie. “Lihat saja tak ada

korban yang diberi kesempatan bicara.”

Barat jalan tol yang dibeli, sementara yang di sebelah timur tol

dibiarkan saja menjadi tanah mati. Sebenarnya tidak hanya

sawah dongkel saja yang terkena lumpur di Besuki. Ada tiga

persawahan lain yang juga kena lumpur, yakni; sawah Kepuh

Barat, Kepuh Timur dan Gempol.

Pembedaan ini, menurut seorang warga Besuki Adib

Rosadi, terjadi karena pemerintah tidak melibatkan warga

dalam penentuan daerah yang masuk peta. “Kalau kami

dilibatkan kami akan minta semua tanah dongkel dibeli,” kata

Adib. Adip tak habis fikir kenapa pemerintah membedakan

tanah yang sama-sama kena lumpur dan kini sama-sama

tidak bisa berfungsi tersebut.

meninggalkan PBP sebelum Minarak Lapindo Jaya membayar

20% aset mereka yang tenggelam lumpur.

“Pengungsian jadi tambah sumpek, selain itu soal

keamanan juga,” tutur Darmi, seorang pengungsi yang tidak

bisa keluar dari bilik pengungsiannya karena mobil-mobil sayur

parkir tepat di depan biliknya. Untuk mencegah terjadinya

keributan antara pedagang dan para pengungsi. Dinas Pasar

dan Himpunan Pedagang Pasar sudah berunding dengan

tokoh pengungsi. “Untuk sementara dikasih garis batas di

mana pedagang tidak boleh berjualan di batas itu,” tutur Darmi.

Selain itu, para pengungsi juga dibagi penghasilan dengan

menjaga toilet sementara petugas pasar mengurusi parkir

dan kebersihan. Tuntutan para pengungsi sederhana mereka

mau dilunasi pembayaran 20% aset mereka yang sudah 2,5

tahun ini belum juga tuntas dibayarkan. Mereka akan

meninggalkan Pasar Baru Porong kalau tuntutan ini dilunasi.

[Lilik]

Tanah Dongkel Menyisakan Masalah

Tinggal di Pengungsian, Semakin Tak Nyaman

Empat Lawan Satu: Hanya Promosi Bakrie

6 Kanal | Edisi 7 | 2009

Warga MenanggapiDingin Sesumbar Karsa

Begitu ditetapkan sebagai

pemenang pilgub Jatim pada 30

Januari lalu, pasangan Gubernur dan Wakil

Gubernur Jawa Timur Soekarwo-Syaifullah Yusuf

(Karsa) menjanjikan, dalam seratus hari,

pemerintahannya akan memperketat prioritas

program, di antaranya penuntasan kasus Lapindo.

Warga korban di luar peta terdampak akan diberi

ganti rugi, kata Syaifullah.

Warga korban sendiri tak terlalu antusias

menanggapi pernyataan Gus Ipul itu. “Ya, setengah

percaya, ya, setengah tidak,” ujar Jarot Suseno,

koordinator warga Siring Barat. Siring Barat

termasuk wilayah terdampak di luar peta versi

Perpres 14/2007 maupun versi Perpres 48/2008.

Sudah sejak April 2008, desa ini dan dua desa

lainnya, Jatirejo Barat dan Mindi, direkomendasikan

Gubernur Jawa Timur untuk ditangani segera

karena dinilai tidak layak huni. Namun, sampai hari

ini, tidak ada penanganan konkrit. Padahal, kondisi

Siring Barat semakin parah.

“Sudah sekitar 70 persen rumah warga rusak,”

tutur Jarot. Siring Barat dihuni sekitar 319 keluarga

yang menempati 250 rumah. Sekitar 175 rumah

mengalami berbagai kerusakan, mulai retak-retak

akibat amblesan tanah (land subsidence),

munculnya gas liar berbahaya (bubble gas), hingga

air yang tercemari logam berat. Bahkan, pada 5

Januari lalu, akibat amblesan tanah, salah satu

rumah warga roboh.

Pemerintah sudah menjanjikan alokasi 82 miliar

untuk penanganan Siring Barat dan tiga desa

lainnya: Jatirejo Barat, Mindi dan Besuki Barat.

“Tapi sampai sekarang, belum ada realisasi apa-

apa,” tambah Jarot. Lebih parah lagi, suplai air

bersih justru dihentikan. “Sudah dua minggu lebih,

kami tidak memperoleh pasokan air bersih,” ujar

Jarot, lagi. Berbagai janji tak berwujud itu mungkin

yang membuat warga menanggapi datar-datar saja

sesumbar Karsa menuntaskan kasus Lapindo

dalam seratus hari, meski masih berharap.

“Semoga saja kali ini beneran,” imbuh Jarot.

Tim 16 Demo BPLS dan MinarakSetelah kesepakatan tanggal 3 Desember lalu

dilanggar Minarak Lapindo Jaya, sekira 4.000

korban Lapindo dari Perumahan Tanggul Angin

Sejahtera I kembali mendemo kantor Badan

Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan

kantor Minarak Lapindo Jaya, pada 11 Febuari ini.

Massa ini terorganisir rapi dalam kelompok Tim 16.

“Ada sekitar 2.000 sepeda motor dengan satu

truk komando, satu motor dua orang,” tutur Ruli

Syarif Hidayat (49 tahun), salah seorang warga

Tim 16. Warga menuntut Minarak Lapindo Jaya

melaksanakan janji yang diucapkan di depan Presiden bulan

Desember lalu.

Saat itu, Nirwan Bakrie berkomitmen untuk segera

membayar 80% sisa uang aset korban Lapindo. Caranya

dengan dicicil 30 juta perbulan plus 2,5 juta untuk

memperpanjang kontrak. Meski warga sudah memberi

toleransi dengan menerima pola cicilan ini namun MLJ

kembali mangkir dari omongannya sendiri.

“Kurang dari 2% dari Tim 16 yang dicicil sesuai dengan

janji (3 Desember),” tutur Ruli. Sisanya ada yang dicicil 15

juta dan ada pula yang dicicil 2,5 juta. Tim 16 meminta supaya

MLJ segera menuntaskan persoalan ini.

Tuntut Penuntasan Kasus Lapindo, KoalisiKorban Lumpur Meluruk Grahadi

Ada yang beda dari demo korban Lapindo 16 Februari

lalu. Biasanya mereka turun ke jalan dalam kelompok-

kelompok kecil dan menyuarakan tuntutan kelompok mereka.

Namun demo pagi ini lebih kompak, mereka tergabung dalam

Koalisi Kelompok Korban Lapindo (K3L).

K3L ini terdiri dari Gerakan Pendukung Perpres 14/2007

alias Geppres (tuntutan: cash and carry), Laskar Korban

Lumpur atau Lasbon Kapur (tuntutan: 20% cash dan 80%

diganti rumah), Pengungsi Pasar Baru Renokenongo atau

Persatuan Warga Renokenongo Korban Lapindo alias Pagar

Rekorlap (belum tuntas 20% dan belum menentukan sikap

untuk 80%), dan Persatuan Warga Perum TAS I alias Tim 16.

Koalisi ini terbentuk karena kesamaan nasib sial, yakni:

hampir tiga tahun tak satu pun kelompok yang sudah tuntas

tuntutannya. Mereka juga merasa gubernur baru, yang belum

genap seminggu dilantik, yaitu: pasangan Sukarwo dan

Syaifullah Yusuf.

Korban mendesak gubernur untuk berkomitmen kepada

korban Lapindo. Akhir Januari lalu Sukarwo sesumbar akan

segera menyelesaikan kasus Lapindo. Kasus Lapindo masuk

dalam agenda 100 hari pertama Gubernur.

Korban lumpur tak begitu yakin dengan sesumbar ini dan

ingin kerja nyata Pakde Karwo. Zainal Arifin, koordinator

aksi, bilang gubernur musti berkomitmen dan mendesak

pemerintah mengambil alih proses ganti rugi lewat dana apa

pun. Korban lainnya, Sumitro, menuntut pemerintah untuk

memberikan dana talangan untuk para korban.

Haji Sunarto, pimpinan Pagar Rekorlap, menyatakan akan

memboikot pemilu jika persoalan korban ini tidak selesai

sampai pemilu 2009. “Jika sampai pemilu 2009, ganti rugi

korban belum terselesaikan, maka kami akan memboikot

pemilu. Buat apa memilih pemimpin jika tidak perduli dalam

penderitaan kami,” tegas Sunarto.

Usai menemui perwakilan korban, Sukarwo bilang

meminta persiden Susilo Bambang Yudoyono untuk mendesak

PT lapindo Brantas untuk segera membayar sisa ganti rugi

80% yang sudah telat hampir satu tahun.

Selain itu Sukarwo berjanji kepada ribuan masa akan

mencarikan dana talangan dari pemerintah daerah maupun

pusat untuk ganti rugi semua korban. Warga membubarkan

diri setelah Sukarwo mengumbar janji.

7Kanal | Edisi 7 | 2009

Diasuh oleh Tim Advokasi HukumPosko Bersama Korban Lapindo HUKUM

Warga korban Lapindo sudah berkali-kali disuguhi

kesepakatan pelunasan aset tanah dan bangunan

mereka yang tenggelam. Tapi hingga hampir tiga

tahun ini, seluruh skema itu tidak juga ditaati oleh

PT Minarak Lapindo Jaya sebagai juru bayar

Lapindo Brantas, Inc. Sementara, kondisi

kehidupan warga terus memburuk. Bagaimana jika

Pemerintah saja yang mengambil alih penyelesaian

ini? Apakah memungkinkan secara hukum?

Pada dasarnya, Pemerintah memiliki tanggung jawab

untuk melindungi rakyatnya. Undang-Undang Dasar

1945 Pasal 28 ayat (4) menyatakan, perlindungan,

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi

manusia (HAM) adalah tanggung jawab negara,

terutama Pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah

seharusnya tidak membiarkan rakyatnya diombang-

ambingkan oleh korporasi PT Lapindo Brantas, sebuah

lembaga swasta.

Adanya Perpres 14/2007 tidak serta merta

menunjukkan Pemerintah telah melakukan perlindungan

atas rakyatnya. Sebab, faktanya, skema penyelesaian

masalah sosial yang tercantum dalam Perpres tersebut

sama sekali tidak efektif, dioper-oper, berbelit.

Pemerintahan meneyerahkan pada Lapindo, lalu

Lapindo menyerahkan pada PT Minarak Lapindo Jaya.

Penyelesaian pembayaran uang muka aset korban

sebesar 20 persen belum juga tuntas. Sedangkan

pelunasan 80 persen terus berputar-putar. Ada yang

disuguhi tanah pengganti, yang ternyata juga bermasalah.

Ada yang dijanjikan rumah, tapi belum juga dibangun.

Ada yang diberi cicilan, namun juga tak ditepati. Ada

yang sama sekali tidak mendapat pembayaran apa-apa

meski menurut Perpres sudah jatuh tempo pelunasan

80 persen.

Ujungnya, rakyat korban dibiarkan berhadap-hadapan

langsung dengan korporasi. Pemerintah bertindak

seolah-olah sebagai penengah konflik antara Lapindo

dan warga korban. Padahal, seharusnya Pemerintah

berada dalam posisi melindungi rakyatnya. Toh, Lapindo

yang mengingkari janji berkali-kali justru tidak mendapat

konsekuensi hukum apa-apa.

Apakah Pemerintah bisa mengambil alih

penyelesaian? Bisa. Selain landasannya adalah UUD

1945 di atas, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sendiri

dalam laporannya pada 29 Mei 2007 sudah memberikan

rekomendasi pengambilalihan dan penyelamatan

masyarakat setempat tersebut. Pemerintah juga bisa

menyediakan anggaran penyelesaian masalah sosial

tersebut dalam APBN Perubahan dengan memperoleh

persetujuan DPR. Ini dijamin Undang-Undang 17/2003

Tentang Keuangan Negara Pasal 27 ayat (4) dan ayat

(5).

Dengan Pemerintah mengambil alih penanganan

masalah sosial tersebut, tidak berarti Lapindo lepas

tanggung jawab. Pengambilalihan ini bukan upaya

menyelamatkan Lapindo, melainkan upaya

menyelamatkan warga korban. Pemerintah harus tegas

menuntut tanggung jawab Lapindo secara finansial

maupun administratif. Bahkan melalui Pasal 25 UU 23/

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gubernur

Jatim berwenang melakukan paksaan terhadap

penanggung jawab usaha Lapindo untuk menanggung

beban biaya atas penyelamatan, penanggulangan,

maupun pemulihan akibat kerusakan yang ditimbulkan

oleh Lapindo. Jadi, keseluruhan biaya itu ditagihkan ke

Lapindo, bahkan Pemerintah bisa menyita aset-aset

Lapindo dan pemegang tanggung jawab (Bakrie Group).

Jika Lapindo mengelak karena merasa belum

diputuskan bersalah oleh pengadilan, berdasarkan UU

23/1997 tersebut, Gubernur selaku pejabat administrasi

negara berwenang menilai ada tidaknya palanggaran

dalam kasus lingkungan hidup, tanpa menunggu putusan

pengadilan. Bukti-bukti yang ada, baik dokumen realtime

chart, daily drailing report, SOP, dokumen audit BPK,

keterangan ahli di Konferensi Cape Town yang lalu, dan

lain-lain bisa dijadikan landasan keputusan Gubernur.

(Baca rubrik Hukum Edisi Nomor 5)

Sementara, perangkat hukum yang sering dirujuk

sebagai ‘penyelesai masalah’, yakni Perpres 14/2007 dan

Perpres 48/2008 dianggap (ditafsir) sebagai pelengkap.

Dan seharusnya, pejabat negara tak perlu berdalih dengan

kedua produk hukum itu. Posisi UU jelas lebih tinggi

dari Perpres. *

Pemerintah MengambilAlih Penyelesaian Masalah Sosial?

8 Kanal | Edisi 7 | 2009

“Pilihlah Aku”

Baliho di mana-mana. Di pinggiran tanggul, di bekas rumah

korban Lapindo, di pengungsian—semua seperti hendak

berteriak: “Pilihlah aku”. Partai apakah yang jadi pilihan korban

lumpur nanti? Ada korban lumpur yang enggan menyontreng

partai manapun, memilih golput. Tapi jangan kuatir, korban

lumpur akan memilih partai-partai itu, mungkin semuanya

sekaligus. (Foto: AS Nizar/A Novik )

“Pilihlah Aku”