bab ii perlindungan hukum dalam kontrak elektronik … · barang dan/atau jasa tersebut. cakupan...

26
17 BAB II PERLINDUNGAN HUKUM DALAM KONTRAK ELEKTRONIK A. Konsep Perlindungan Hukum. 1. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban, perlindungan hukum korban kerjahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum. 28 Perlindungan hukum yang diberikan kepada subyek hukum kedalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun tertulis. Dengan kata lain dapat di gambarkan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki konsep bahwa hukum memberika suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Pengertian di atas mengundang beberapa ahli untuk mengungkapkan pendapat mereka mengenai pengertian perlindungan hukum sebagai berikut: 1. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada Hak Asasi Manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. 29 28 Soerjono Soekanto, Loc. Cit 29 Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, Loc. Cit

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 17

    BAB II

    PERLINDUNGAN HUKUM DALAM KONTRAK

    ELEKTRONIK

    A. Konsep Perlindungan Hukum.

    1. Pengertian Perlindungan Hukum

    Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian

    bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban, perlindungan

    hukum korban kerjahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat

    diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi,

    kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.28 Perlindungan hukum yang

    diberikan kepada subyek hukum kedalam bentuk perangkat baik yang bersifat

    preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun tertulis. Dengan

    kata lain dapat di gambarkan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran

    tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki konsep bahwa hukum

    memberika suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

    Pengertian di atas mengundang beberapa ahli untuk mengungkapkan

    pendapat mereka mengenai pengertian perlindungan hukum sebagai berikut:

    1. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan

    pengayoman kepada Hak Asasi Manusia yang dirugikan orang lain dan

    perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat

    menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.29

    28 Soerjono Soekanto, Loc. Cit 29Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, Loc. Cit

  • 18

    2. Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah perlindungan

    akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia

    yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari

    kesewenangan.30

    3. Menurut Muchsin, perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi

    individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah

    yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya

    ketertiban dalam pergaulan hidup antara sesama manusia.31

    2. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum

    Menurut R. Laporta dalam Jurnal Finansial Economics, bentuk

    perlindungan hukum yang diberikan oleh suatu negara memiliki dua sifat, yaitu

    bersifat pencegahan (prohibited) dan bersifat hukuman (sanction).32

    Menurut M. Hadjon,33 perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal,

    yaitu:

    a. perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana

    kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau

    pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang

    definitif;34

    30 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia, PT.Bina Ilmu,

    Surabaya,1987, hlm. 1-2. 31 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta;

    magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003), hlm. 14. 32 Rafael La Porta, Investor Protection and Cororate Governance; Journal of Financial

    Economics”, no. 58, Oktober 1999, hlm. 9. 33 Philipus M.Hadjon, Op.cit., hlm. 4. 34 Ibid

  • 19

    b. perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana

    lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa.35

    3. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum.

    Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah

    bertumpuh dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan

    terhadap hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-

    konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia diarahkan

    pada pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat terhadap

    pemerintahannya.36

    Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia,

    landasannya adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Konsepsi

    perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep Rechstaat

    dan Rule of The Law. Dengan menggunakan konsepsi barat sebagai kerangka

    berfikir dengan landasan pada Pancasila. Prinsip perlindungan hukum di Indonesia

    adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia

    yang bersumber pada Pancasila.37

    35 Ibid., hlm. 5. 36 Ibid., hlm. 19. 37 Ibid., hlm. 38.

  • 20

    B. Perlindungan Hukum Konsumen.

    1. Pengertian.

    Perlindungan konsumen merupakan istilah yang dipakai untuk

    menggambarkan adanya hukum yang memberikan perlindungan kepada konsumen

    dari kerugian atas penggunaan produk barang dan/atau jasa.38

    Menurut Undang-undang No. 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen dalam Pasal 1 angka 1 yaitu “Perlindungan konsumen adalah segala

    upaya yang menjamin adanya kepastian hukum memberi perlindungan kepada

    konsumen”.

    Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas, meliputi

    perlindungan konsumen terhadap barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan

    untuk mendapatkan barang dan jasa hingga sampai akibat-akibat dari pemakaian

    barang dan/atau jasa tersebut.

    Cakupan perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua aspek,

    yaitu:39

    1. perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada

    konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati.

    2. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil

    kepada konsumen.

    38 Burhanuddin S, Hukum Perlindungan Konsumen & Sertifikasi Halal, UIN-Maliki Press,

    Malang, 2011, hlm. 1. 39 Adrianus Meliala, Praktik Bisnis Curang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.

    152.

  • 21

    Keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan konsumen adalah

    menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup.

    Terbukti bahwa semua norma perlindungan konsumen dalam Undang-Undang

    Perlindungan Konsumen memiliki sanksi pidana. Singkatnya bahwa segala upaya

    yang dimaksudkan dalam perlindungan konsumen tersebut tidak saja terhadap

    tindakan preventif, akan tetapi juga tindakan represif dalam semua bidang

    perlindungan yang diberikan kepada konsumen.40

    2. Asas dan Tujuan.

    Untuk dapat menegakan hukum perlindungan konsumen, perlu

    diberlakukan asas-asas yang berfungsi sebagai landasan penetapan hukum.

    Pengaturan mengenai asas-asas atau prinsip-prinsip yang berlaku dalam hukum

    perlindungan konsumen dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan yang

    menyatakan bahwa: perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,

    keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta partisipasi hukum.41

    Penjelasan lebih lanjut mengenai asas perlindungan konsumen sebagai

    berikut:42

    a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

    dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan

    manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha

    secara keseluruhan.

    40 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Medan,

    2016, hlm. 22. 41 Ibid., hlm. 3-4. 42 Lihat: Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen.

  • 22

    b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

    diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

    konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan

    kewajibannya secara adil.

    c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

    kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil

    ataupun spiritual.

    d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

    memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

    dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

    di konsumsi.

    e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

    konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

    penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian

    hukum.

    Salah satu unsur penting dalam kegiatan ekonomi dan bisnis adalah

    keberadaan konsumen. Hampir semua orang yang telah menggunakan produk

    barang dan/atau jasa yang beredar dimasyarakat (pasaran) dapat dikategorikan

    sebagai konsumen. Begitu besarnya jumlah konsumen yang menggantungkan

    kebutuhannya pada suatu produk yang beredar di masyarakat, menyebabkan

    keberadaannya perlu mendapat perlindungan hukum.43 Pemerintah telah

    43 Burhanuddin S, Op. Cit., hlm. 4-5.

  • 23

    memberlakukan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen

    yang bertujuan untuk:44

    a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

    melindungi diri.

    b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

    menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

    c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

    menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

    d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

    kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan

    informasi.

    e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

    konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam

    berusaha.

    f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

    usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,

    dan keselamatan konsumen.

    C. Kontrak.

    Secara umum kontrak lahir pada saat tercapainya kesepakatan para pihak

    mengenai hal pokok atau unsur esensial dari kontrak tersebut. Sebagai contoh

    apabila dalam kontrak jual beli telah tercapai kesepakatan tentang barang dan harga,

    44 Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

  • 24

    lahirlah kontrak, sedangkan hal-hal yang tidak diperjanjikan oleh para pihak akan

    diatur oleh undang-undang.45

    1. Pengertian Kontrak.

    Kontrak berasal dari bahasa inggris, yaitu contracts. Sedangkan dalam

    bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst (perjanjian).46 Istilah kontrak dalam

    bahasa indonesia sebenarnya sudah lama ada dan bukan merupakan istilah yang

    asing. Misalnya, dalam hukum kita sudah lama dikenal istilah Kebebasan

    Berkontrak”, bukan kebebasan “Berperjanjian”, “Berperhutangan”, atau

    “Berperikatan”. Hanya saja dewasa ini dengan memakai istilah “Hukum Kontrak”

    ada konotasi sebagai berikut:47

    a. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang

    perjanjian-perjanjian tertulis semata-mata sehingga orang sering

    menanyakan “mana kontraknya” diartikan bahwa yang ditanyakan adalah

    kontrak yang tertulis.

    b. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang

    perjanjian-perjanjian dalam dunia bisnis semata-mata.

    c. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur

    tentang perjanjian-perjanjian internasional, multinasional, atau perjanjian

    dengan perusahaan-perusahaan multinasional.

    45 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, PT RajaGrafindo Persada,

    Jakarta, 2014, hlm. 13. 46 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta,

    2003, hlm. 25. 47 Munir Fuady, Buku Kesatu, Hukum Kontrak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015,

    hlm. 2.

  • 25

    d. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur

    tentang perjanjian-perjanjian yang prestasinya dilakukan oleh kedua belah

    pihak. Jadi, akan janggal jika digunakan istilah kontrak untuk “kontrak

    hibah”, “kontrak warisan”, dan sebagainya.

    Pengertian perjanjian atau kontrak diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata

    yang berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau

    lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

    Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan

    dengan perjanjian atau kontrak adalah Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau

    lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Teori baru

    tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat

    perbuatan sebelumnya atau yanng mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat

    perjanjian, menurut teori baru, yaitu”48

    1. Tahap pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan;

    2. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara

    para pihak;

    3. Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

    Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal mengatakan contract is: An

    agreement between two or more persons not merely a shared belief, but common

    understanding as to something that is to be done in the future by one or both of

    them. Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih tidak

    hanya memberikan kepercayaan, tetapi secara bersama saling pengertian untuk

    48 Ibid., hlm. 26.

  • 26

    melakukan sesuatu pada masa mendatang oleh seseorang atau keduanya dari

    mereka. Pendapat ini tidak hanya mengkaji definisi kontrak, tetapi ia juga

    menentukan unsur-unsur yang harus dipenuhi supaya suatu transaksi dapat disebut

    kontrak. Ada tiga unsur kontrak, yaitu:49

    1. The agreement fact between the parties (adanya kesepakatan tentang fakta

    antara kedua belah pihak);

    2. The agreement as writen (persetujuan dibuat secara tertulis);

    3. The set of rights and duties created by (1) and (2) (adanya orang yang

    berhak berkewajiban untuk membuat: (1) kesepakatan dan (2) persetujuan

    tertulis).

    Di dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan dengan contract adalah

    An agreement between two or more person which creates an obligation to do or not

    to do particular thing. Artinya, kontrak adalah pesetujuan antara dua orang atau

    lebih, dimana menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak

    melakukan sesuatu secara sebagian.50

    2. Jenis-Jenis Kontrak.

    Dalam KUHPerdata dikenal beberapa jenis perikatan, namun yang

    dimaksud jenis-jenis perikatan dalam KUHPerdata tersebut pada dasarnya adalah

    jenis-jenis perjanjian atau jenis-jenis kontrak.51 Para ahli di bidang kontrak tidak

    ada kesatuan pandangan tentang pembagian kontrak. Ada ahli yang mengkajinya

    dari sumber hukumnya, namanya, bentuknya, aspek kewajibannya, maupun aspek

    49 Ibid 50 Ibid 51 Ahmadi Miru, Op.Cit., hlm. 52.

  • 27

    larangannya. Berikut ini disajikan jenis-jenis kontrak berdasarkan pembagian

    diatas:52

    a. Kontrak Menurut Sumber Hukumnya.

    Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak yang

    didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Sudikno Mertokusumo

    menggolongkan perjanjian (kontrak) dari sumber hukumnya. Ia membagi jenis

    perjanjian (kontrak) menjadi lima macam, yaitu:

    1. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan;

    2. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan

    peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;

    3. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;

    4. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan

    bewijsovereenkomst;

    5. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan

    publieckrechtelijke overeenkomst.

    b. Kontrak Menurut Namanya.

    Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam

    pasal 1319 KUHPerdata dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal 1319 KUHPerdata

    dan Artikel NBW hanya disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu

    kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak

    nominaat adalah kontrak yang dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam

    52 Salim H.S, Op.Cit., hlm. 27-30.

  • 28

    kontrak nominaat adalah jual beli, tukar-menukar sewa-menyewa, persekutuan

    perdata, hibah, penitipan barang, pijam pakai, pinjam meminjam, pemberi kuasa,

    penanggungan utang, perdamaian, dan lain-lain. Sedangkan kontrak innominaat

    adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis

    kontrak ini belum dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak

    innominaat adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, join venture,

    kontrak karya, keagenan, production, sharing, dan lain-lain.

    c. Kontrak Menurut Bentuknya.

    Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk

    kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam

    KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam

    yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang

    dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320

    KUHPerdata). Dengan adanya konsensus maka perjanjian itu telah terjadi.

    Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Pembedaan itu

    di ilhami dari hukum romawi. Dalam hukum romawi, tidak hanya memerlukan

    adanya kata sepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan yang suci dan juga

    harus didasarkan atas penyerahan nyata dari suatu benda. Perjanjian konsensual

    adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan

    perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata.

    Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk

    tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan dengan

    akta notaris (Pasal 1682 KUHPerdata). Kontrak ini dibagi menjadi dua macam,

    yaitu dalam bentuk akta dibawah tangan dan akta notaris. Akta dibawah tangan

  • 29

    adalah akta yang cukup dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. Sedangkan akta

    autentik merupakan akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris. Akta yang dibuat

    oleh notaris itu merupakan akta perjabat.

    d. Kontrak Timbal Balik.

    Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Kontrak timbal

    balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan hak dan

    kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewa-menyewa. Perjanjian

    timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu timbal balik tidak sempurna dan

    yang sepihak.

    - Kontrak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi

    satu pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Disini tampak

    prestasi-prestasi yang seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan

    senantiasa berkewajiban untuk melaksanakan pesan yang dikenakan atas

    pundaknya oleh orang pemberi pesan. Apabila si penerima pesan dalam

    melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut telah mengeluarkan biaya-

    biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus

    menggantinya.

    - Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan

    kewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah

    perjanjian pinjam mengganti.

    e. Perjanjian Cuma-Cuma atau dengan Alas Hak yang Membebani.

    Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya

    prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian Cuma-Cuma merupakan perjanjian yang

  • 30

    menurut hukum hanyalah menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak.

    Contohnya, hadiah dan pinjam pakai. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang

    membebani merupakan perjanjian, disamping prestasi pihak yang satu senantiasa

    ada prestasi (kontra) dari pihak lain, yang menurut hukum saling berkaitan.

    Misalnya, A menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan

    sebuah benda tertentu pula kepada A.

    f. Perjanjian Berdasarkan Sifatnya.

    Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban

    yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya

    dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kenbendaan (zakelijke overeenkomst)

    dan perjanjian obligator. Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian, yang

    ditimbulkan hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal demikian untuk

    memenuhi perikatan. Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan jaminan

    dan penyerahan hak milik. Sedangkan perjanjian obligator merupakan perjanjian

    yang menimbulkan kewajiban dari para pihak. Disamping itu, dikenal juga

    perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian

    pokok merupakan perjanjian yang utama, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang

    baik kepada individu maupun pada lembaga perbankan. Sedangkan perjanjian

    accesoir merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjianm pembebanan hak

    tanggungan atau fidusia.

    g. Perjanjian Dari Aspek Larangannya.

    Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya merupakan

    penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak untuk

  • 31

    membuat perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan

    ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan

    atau persaingan usaha tidak sehat.

    Dari berbagai jenis perjanjian yang di paparkan diatas maka jenis atau

    pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu

    kontrak nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah

    perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun dari

    aspek hak dan kewajiban. Misalnya, perjanjian jual belimaka lahirlah perjanjian

    konsensual, perjanjian obligator, dan lain-lain.53

    3. Syarat-Syarat Sahnya Kontrak.

    Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua

    belah pihak, kontrak tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu. syarat

    sahnya kontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

    a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

    b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

    c. Suatu hal tertentu;

    d. Suatu sebab yang halal

    Keempat syarat sahnya perjanjian diatas akan diuraikan sebagai berikut:54

    1. Sepakat.

    53 Ibid, hlm. 32. 54 Ibid., hlm. 33

  • 32

    Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau

    kensensus pada pihak. Kesepakatan ini diatur dalam pasal 1320 ayat (1) KUH

    Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan

    kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai ini adalah

    pernyataan, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima

    cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu:

    - Bahasa yang sempurna dan tertulis;

    - Bahasa yang sempurna secara lisan;

    - Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan, kerena

    dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa

    yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

    - Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

    - Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.

    Pada dasarnya cara yang paling banya digunakan dilakukan oleh para pihak,

    yaitu dengan Bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan

    pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi

    para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa

    dikemudian hari.

    2. Kecakapan.

    Untuk mengadakan kontrak, para pihak harus cakap, namun dapat saja

    terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan kontrak adalah

    tidak cakap menurut hukum. Seseorang oleh hukum dianggap tidak cakap untuk

    melakukan kontrak jika seorang tersebut belum berumur 21 tahun, kecuali jika ia

  • 33

    telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21

    tahun keatas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh

    dibawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros.

    Dengan demikian, dapat disimpulkan seseorang dianggap tidak cakap apabila:55

    a. Belum berusia 21 tahun dan belum menikah;

    b. Berusia 21 tahun, tetapi gelap mata, sakit ingatan, dungu dan boros.

    Sementara itu, dalam Pasal 1330 BW, ditentukan bahwa tidak cakap untuk

    membuat perjanjian adalah:

    a. Orang-orang yang belum dewasa;

    b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

    c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-

    undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang

    telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

    Khusus huruf c diatas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan

    dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan

    laki-laki telah disamakan dalam hal membuat perjanjian sedangkan untuk orang-

    orang yang dilarang oleh perjanjian untuk membuat perjanjian tertentu sebenarnya

    tidak tegolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi hanya tidak berwenang

    membuat perjanjian tertentu.

    55 Ahmadi Miru, Op.Cit., hlm. 29.

  • 34

    3. Suatu Hal Tertentu.

    Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para

    pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat

    juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu ini dalam kontrak disebut prestasi

    yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.

    Dalam BW dan pada umunya sarjana hukum berpendapat bahwa prestasi itu dapat

    berupa:56

    a. Menyerahkan/memberikan sesuatu;

    b. Berbuat sesuatu;

    c. Tidak berbuat sesuatu.

    Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat

    dipergunakan berbagai cara seperti: menghitung, menimbang, mengukur, atau

    menakar. Sementara itu, untuk menetukan jasa, harus ditentukan apa yang harus

    dilakukan oleh salah satu pihak. Untuk menentukan tentang hal tertentu yang

    berupa tidak berbuat sesuatu juga harus dijelaskan dalam kontrak seperti “berjanji

    untuk tidak saling membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetangga”.

    4. Sebab yang Halal.

    Istilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum islam, tetapi

    yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak

    bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.57

    56 Ibid., hlm. 30. 57 Ibid

  • 35

    D. Jual Beli Media Elektronik .

    1. Pengertian jual beli elektronik

    Jual beli media elektronik atau dikenal dengan e-commerce merupakan

    salah satu bentuk perdagangan yang paling banyak dipengaruhi oleh perkembangan

    teknologi informasi. Melalui transaksi perdagangan ini, konsep pasar tradisional

    (dimana penjual dan pembeli secara fisik bertemu) berubah menjadi konsep

    telemarketing (perdagangan jarak jauh dengan menggunakan internet). Jual beli

    online ini pun telah mengubah cara konsumen dalam memperoleh produk yang

    diinginkan. Melalui jual beli atau perdagangan online semua formalitas-formalitas

    yang biasa digunakan dalam transaksi konvensional dikurangi di samping tentunya

    konsumen pun memiliki kemampuan untuk mengumpulkan dan membandingkan

    informasi seperti barang dan jasa secara lebih leluasa tanpa dibatasi oleh batas

    wilayah (borderless).58

    Para pihak yang terkait dalam jual beli secara elektronik atau e-commerce

    melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk peranjanjian

    atau kontrak secara elektronik sesuai yang terkandung dalam Pasal 1 butir 17 UU

    ITE yang menyebutkan bahwa kontrak elektronik yakni perjanjian yang dimuat

    dalam dokumen elektronik atau media elektronik lainnya. Dapat diartikan bahwa

    jual beli secara elektronik atau e-commerce yaitu jual beli atau persetujuan dengan

    mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan

    pihak lainnya untuk membayar harga yang telah disepakati, di mana transaksi jual

    58 Dikdik Mansur & Elisatris Gultom, Op. Cit., hlm. 144.

  • 36

    beli tersebut terjadi melalui media elektronik yang terhubung dengan jaringan

    internet.59

    2. Jenis-Jenis Transaksi Dalam Jual Beli Elektronik.

    Pada dasarnya transaksi jual beli secara elektronik atau e-commerce dapat

    dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu: transaksi Business to Business (B

    to B), dan Business to Consumer (B to C). Dua kelompok inilah yang menyelimuti

    hampir semua transaksi e-commerce yang ada. Business to Business merupakan

    sistem komunikasi bisnis online antar pelaku bisnis. Para pengamat e-commerce

    mengakui akibat terpenting adanya sistem komersial yang berbasis web tampak

    pada transaksi Business to Business.60

    Dilihat dari karakteristiknya, transaksi elektronik atau e-commerce B to B,

    mempunyai karakteristik sebagai berikut:61

    1) Trading partners yang sudah saling mengetahui dan antara mereka sudah

    terjalin hubungan yang berlangsung cukup lama. Pertukaran informasi

    hanya berlangsung di antara mereka dan karena sudah sangat mengenal,

    maka pertukaran informasi tersebut dilakukan atas dasar kebutuhan dan

    kepercayaan;

    2) Pertukaran data dilakukan secara berulang-ulang dan berskala dengan

    format data yang telah disepakati. Jadi, service yang digunakan antara kedua

    sistem tersebut sama dan menggunakan standar yang sama;

    59https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/8375f7e36b3233186a142887aa8ffb0b.pdf

    , Diakses pada02/12/2018, Pukul 22:42 60 Dikdik Mansur & Elisatris Gultom, Op.Cit., hlm. 150-151. 61 Ibid

  • 37

    3) Salah satu pelaku tidak harus menunggu partner mereka lainnya untuk

    mengirim data;

    4) Model yang umum digunakan adalah pear to pear, dimana processing

    intelegance dapat di distribusikan di kedua pelaku bisnis.

    Business to Consumer (B to C) merupakan transaksi jual beli melalui

    internet antara penjual barang dengan konsumen (end user). Business to Consumer

    dalam e-commerce relatif banyak ditemui dibandingkan dengan Business to

    Business. Dalam transaksi e-commerce jenis B to C, hampir semua orang dapat

    melakukan transaksi baik dengan nilai transaksi kecil maupun besar dan tidak

    dibutuhkan persyaratan yang rumit. Konsumen dapat memasuki internet dan

    melakukan pencarian (search) terhadap apa saja yang akan dibeli, menemukan web

    site, dan melakukan transaksi. Dalam transaksi ini, konsumen memiliki bargaining

    position yang lebih baik dibanding dengan perdagangan konvensional karena

    konsumen memperoleh informasi yang beragam dan mendetail. Kondisi tersebut

    memberi banyak manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan jasa

    yang diinginkan dapat terpenuhi. Selain itu juga terbuka kesempatan untuk memilih

    aneka jenis dan kualitas barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan

    finansial konsumen dalam waktu yang relatif efisien.62

    Karakteristik transaksi e-commerce Business to Consumer adalah sebagai

    berikut:63

    1) Terbuka untuk umum, di mana informasi disebarkan secara umum pula;

    62 Ibid 63 Ibid, hlm. 152.

  • 38

    2) Service yang dilakukan juga bersifat umum sehingga mekanismenya dapat

    digunakan oleh orang banyak. Contohnya, karena sistem web sudah umum

    dikalangan masyarakat, maka sistem yang digunakan adalah sistem web

    pula;

    3) Service yang diberikan berdasarkan permintaan di mana konsumen

    berinisiatif sedangkan produsen harus siap memberikan respon terhadap

    inisiatif konsumen;

    4) Sering dilakukan pendekatan client-server, yang mana konsumen di pihak

    klien menggunakan sistem yang minimal (berbasis web) dan pihak penyedia

    barang atau jasa (business procedure) berada pada pihak server.

    3. Pihak-Pihak Dalam Transaksi Jual Beli Elektronik.

    Transaksi jual beli melalui media elektronik atau e-commerce melibatkan

    beberapa pihak, yaitu:64

    a. Penjual atau pengusaha yang menawarkan sebuah produk melalui internet

    sebagai pelaku usaha;

    b. Pembeli atau konsumen yaitu setiap orang yang tidak dilarang oleh undang-

    undang, yang menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan

    berkeinginan untuk melakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan

    oleh penjual atau pelaku usaha;

    c. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada

    penjual. Karena pada transaksi jual beli secara elektronik penjual dan

    pembeli tidak berhadapan langsung, sebab mereka berada pada lokasi yang

    64 Suwari Akhmaddhian & Asri Agustiwi, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

    Dalam Transaksi Jual Beli Secara Elektronik, Jurnal Unifikasi, Vol. 3, No. 2, Juli 2016

  • 39

    berbeda sehingga pembayaran dapat dilakukan melalui perantara, dalam hal

    ini bank;

    d. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses internet.

    Di samping pihak-pihak yang telah disebutkan diatas, pihak lain yang

    keterlibatannya tidak secara langsung dalam transaksi jual beli media elektronik

    yaitu jasa pengiriman (ekspedisi).

    4. Kecurangan dalam Transaksi Jual Beli Elektronik.

    Banyak kendala yang dihadapi dalam pengembangan jual beli melalui

    media elektronik e-commerce seperti yang disampaikan Direktur Jenderal

    Perlindungan Konsumen dan Tata Tertib Niaga Widodo65 menyatakan bahwa

    banyak kasus perdagangan melalui situs dalam jaringan atau electronic commerce

    (e-commerce) sampai akhir bulan februari 2018, Kementerian Perdagangan

    menerima 34 keluhan yang pada umumnya dari calon pembeli telepon seluler serta

    produk elektronik lainnya yang melakukan transaksi online. Lebih lanjut

    mengatakan bahwa ada ada beberapa kecurangan yang ditemui dalam transaksi jual

    beli online. Pertama, lamanya waktu pengiriman barang yang tidak sesuai yang

    dijanjikan. Kedua, barang tidak sesuai ketentuan. Ketiga, barang tidak bisa

    dikembalikan jika rusak. Keempat, pengembalian uang yang memakan waktu lama.

    5. Wanprestasi dan Pertanggungjawabannya.

    Wanprestasi (default atau non-fulfilment, ataupun disebut juga dengan

    istilah breach of contrac) yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi

    65 Diunduh dari https://katadata.co.id/berita/2016/02/18/pemerintah-beberkan-kecurangan-e-

    commerce. Kementrian Perdangan. Diakses pada tanggal 13-11-2018, Pukul 20:40

  • 40

    atau kewajiban sebagaimana mestinya yang di bebankan oleh kontrak terhadap

    pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.

    Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang

    dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan

    ganti rugi sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang

    dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi

    karena:66

    - Kesengajaan;

    - Kelalaian; dan

    - Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).

    Wanprestasi dapat berupa:67

    - Sama sekali tidak memenuhi prestasi;

    - Prestasi yang dilakukan tidak sempurna;

    - Terlambat memenuhi prestasi;

    - Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.

    Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang

    wanprestasi) dirugikan, apalagi kalau pihak lain tersebut adalah pedagang maka

    bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan. Oleh karena pihak lain dirugikan

    akibat wanprestasi tersebut, pihak wanprestasi harus menanggung akibat dari

    tuntutan pihak lawan yang dapat berupan tuntutan:68

    - Pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi);

    66 Munir Fuady, Buku keSatu, Op. Cit., hlm. 69. 67 Ahmad Miru, Op. Cit., hlm. 74. 68 Ibid., hlm. 75.

  • 41

    - Pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi).

    Dengan demikian, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut oleh

    pihak yang dirugikan, yaitu pembatalan atau pemenuhan kontrak. Namun, jika dua

    kemungkinan pokok tersebut di uraikan lebih lanjut, kemungkinan tersebut dapat

    dibagi menjadi empat, yaitu:69

    - Pembatalan kontrak saja;

    - Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi;

    - Pemenuhan kontrak saja;

    - Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi.

    Pertanggungjawaban pelaku usaha dalam hal terjadinya wanprestasi yang

    dilakukan terhadap konsumen ini tidak lepas dari tanggung jawab pelaku usaha

    sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen yaitu dalam Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa “ Pelaku

    usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,

    dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang

    dihasilkan atau diperdagangkan”. Kemudian dalam Pasal 2 menegaskan bahwa “

    Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang

    atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau

    perawatan kesehatan dan/atau pemberi santunan yang sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundangan-undangan yang berlaku”. Apabila pelaku usaha tidak

    bertanggung jawab dalam hal melakukan wanprestasi terhadap konsumen pada

    transaksi e-commerce, maka konsumen dapat menempuh jalur hukum sesuai

    69 Ibid

  • 42

    dengan yang telah diatur dalam Pasal 45 s/d Pasal 48 UUPK. Kemudian dalam ITE

    terdapat dalam Pasal 38 s/d Pasal 39 tentang penyelesaian sengketa.