bab ii pendidikan inklusi menurut j. david smith a

78
28 BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A. MENGENAL J. DAVID SMITH 1. Biografi J. David Smith J. David Smith mempunyai nama lengkap John David Smith, “Smith” disini adalah nama yang diambil dari ayahnya yaitu Walter H. Smith. Beliau J. David Smith mempunyai seorang istri yang bernama Joyce Smith dan telah dikaruniai 3 orang anak yaitu Link, Allison dan Salli. Istri dan anak-anak beliau selalu mendukung apa yang beliau lakukan termasuk dalam membuat sebuah buku dan mendukung profesi J. David Smith yang merupakan seorang guru, dan juga ilmuwan 33 . Beliau adalah Provost dan Senior Vice Chancellor University of Virginia College di Wise. J. David Smith meraih kedua sarjana muda dan gelar sarjana dari Virginia Commonwealth University. Ia dianugerahi gelar master kedua dan doktor dari Universitas Columbia. Pengalaman profesional termasuk pekerjaan sebagai guru sekolah umum dan sebagai konselor. J. David Smith dan istrinya, Joyce, menjabat dua tahun di Jamaika bekerja sebagai relawan Peace Corps. Sebelum datang ke Universitas Virginia College di Wise sebagai Provost, ia menjabat sebagai Dekan Sekolah Pendidikan dan Pelayanan Manusia di Longwood University. Dia juga menjabat sebagai 33 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan Pembelajaran Sekolah Inklusi, (Bandung: Nuansa, 2009), Cet. III, h. 24.

Upload: others

Post on 29-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

28

BAB II

PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH

A. MENGENAL J. DAVID SMITH

1. Biografi J. David Smith

J. David Smith mempunyai nama lengkap John David Smith, “Smith”

disini adalah nama yang diambil dari ayahnya yaitu Walter H. Smith. Beliau J.

David Smith mempunyai seorang istri yang bernama Joyce Smith dan telah

dikaruniai 3 orang anak yaitu Link, Allison dan Salli. Istri dan anak-anak

beliau selalu mendukung apa yang beliau lakukan termasuk dalam membuat

sebuah buku dan mendukung profesi J. David Smith yang merupakan seorang

guru, dan juga ilmuwan33.

Beliau adalah Provost dan Senior Vice Chancellor University of

Virginia College di Wise. J. David Smith meraih kedua sarjana muda dan

gelar sarjana dari Virginia Commonwealth University. Ia dianugerahi gelar

master kedua dan doktor dari Universitas Columbia. Pengalaman profesional

termasuk pekerjaan sebagai guru sekolah umum dan sebagai konselor. J.

David Smith dan istrinya, Joyce, menjabat dua tahun di Jamaika bekerja

sebagai relawan Peace Corps. Sebelum datang ke Universitas Virginia College

di Wise sebagai Provost, ia menjabat sebagai Dekan Sekolah Pendidikan dan

Pelayanan Manusia di Longwood University. Dia juga menjabat sebagai

33 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, (Bandung: Nuansa, 2009), Cet. III, h. 24.

Page 2: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

29

Ketua Departemen Psikologi Pendidikan di Universitas Carolina Selatan. Ia

memulai karir pendidikan tinggi nya di Lynchburg College. Smith telah

membuat banyak presentasi dan diundang untuk khalayak nasional maupun

internasional dan secara teratur memberikan kontribusi untuk literatur

profesional pada pendidikan, pelayanan manusia, dan kebijakan publik

melalui artikel jurnal. J. David Smith adalah penulis sepuluh buku. Salah satu

tema mengintegrasikan penelitian dan tulisannya telah menjadi perhatian bagi

hak-hak dan martabat penyandang cacat. J. David Smith telah mengabdikan

banyak beasiswa untuk studi sejarah eugenika dan dampaknya pada kebijakan

sosial dan pendidikan, dan ia juga aktif dalam mengatasi masalah-masalah

kontemporer dan masalah dalam pendidikan34.

Beliau menyadari bahwa pelajaran yang paling penting dari apa yang

telah ia dapat adalah mengenai kepuasan peralihan intelektual dan kesenangan

menyampaikan sesuatu yang begitu bernilai bagi semua orang. Dalam

bukunya Robert Bellah dan kawan-kawan yaitu Habits of The Heart, meneliti

tentang pendidik yang pada hasilnya para pendidik masih berada di bawah

tekanan yang terus menerus dan semakin meningkat untuk menghasilkan hal-

hal yang pragmatis bagi siswa-siswanya. Suara-suara politik dan ekonomi

lebih banyak menyerukan kebutuhan sarjana yang berkemampuan teknologi

dan berorientasi karier semata-mata. Inilah bagian yang sangat penting, yaitu

34 https://books.google.co.id/books?id.j+david+smit,diakses pada tanggal 3 Juni 2015 pada

pukul 22.10 WIB

Page 3: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

30

peran apa yang sesungguhnya diharapkan dari pendidikan bagi kebudayaan

kita. Masih ada suara-suara lainnya di masyarakat kita yang mengharapkan

dunia pendidikan memiliki komitmen terhadap pengajaran nilai-nilai dan

tradisi-tradisi yang dapat menjadikan siswa-siswi menjadi warga masyarakat

yang bertanggungjawab, sensitive, dan kreatif di masyarakat yang bebas ini.

Robert Bellah dan kawan-kawan percaya bahwa tradisi tetap ada karena masih

ada para pendidik yang mencintai pekerjaannya, yang ingin memberikan nilai-

nilai intelektual dan budaya. 35

Salah satu tema mengintegrasikan penelitian dan tulisan J. David

Smith telah menjadi perhatian bagi hak-hak dan martabat penyandang cacat

yaitu terdapat di dalam buku karangan J. David Smith yang berjudul Inclusion

: schools for all students ( Inklusi: sekolah untuk semua siswa ). Melalui

bukunya yang berfokus pada integrasi dan pendidikan khusus di kelas

pendidikan biasa atau umum. Beliau memberikan gambaran menyeluruh dari

cacat dalam perspektif pribadi, sejarah, dan multikultural. J. David Smith

menyusun dua studi kasus di seluruh buku karangannya untuk meningkatkan

pembacaan teks, serta potensi pengajaran. Pertanyaan berpikir kritis kemudian

diikuti studi kasus, memberikan peserta didik kesempatan untuk menerapkan

apa yang telah mereka pelajari.36 Beliau juga menjelaskan tentang pengajaran

35 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 22. 36 https://books.google.co.id/books?id.j+david+smit,diakses pada tanggal 3 Juni 2015 pada

pukul 22.10 WIB

Page 4: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

31

dan tenaga pengajar yang penuh kasih sayang, kreatif, serta berkemampuan

cukup sehingga bisa menciptakan ruang kelas yang Inklusi bagi semua peserta

didik dan lingkungan pengajaran yang bisa menerima berbagai ragam karakter

siswa. Beliau juga menjelaskan tentang berbagai perbedaan kemampuan dan

kebutuhan peserta didik, serta berbagai kebutuhan umum manusia dan aspirasi

setiap orang.

Ada beberapa nilai tentang pendidikan inklusi yang dijelaskan oleh J.

David Smith yang disimbolkan oleh dua gambar. Pertama adalah “tupai yang

sedang terbang” dan gambar kedua adalah “malaikat kebaikan”.

Maksud penting dari “tupai yang sedang terbang” bagi beliau ialah

terinspirasi dari kisah teman semasa kecilnya yang bernama Tiny dan

pelajaran yang diajarkan kepada beliau tentang tupai. Pemakaian binatang

Tupai yang sedang terbang sebagai smbol dasar metode pendidikan Inklusi

karena binatang tupai merupakan binatang yang mengagumkan yang dapat

melakukan sesuatu dengan cara berbeda. Kadang-kadang mereka terbang

selain bisa memanjat dan melompat. Para tupai berbeda namun menarik,

indah, dan berharga dalam perbedaannya. Mereka layak hidup di hutan. Hal

ini berlaku bagi para peserta didik, yaitu para peserta didik yang memiliki

kemampuan berbeda namun kemampuan itu dianggap sebagai

Page 5: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

32

ketidakmampuan. Mereka juga berbeda namun berharga. Para peserta didik

layak menempati dunia yang menghargai mereka.37

Maksud dari gambar yang kedua adalah “malaikat kebaikan”, J. David

Smith meminjam simbol ini dari pidato pengukuhan pertama Abraham

Lincoln. Abraham Lincoln menutup pidatonya kepada majelis, dia sedih dan

dipenuhi kemarahan sehingga memanggil malaikat kebaikan dari sifat dasar

manusia. Dia berharap malaikat kebaikan yang ada pada diri manusia dapat

membawa semua manusia terutama ( pendidik ) ke arah perdamaian dan

solidaritas. J. David Smith percaya bahwa ciri pendidikan yang lebih Inklusi

bagi seluruh peserta didik bergantung pada para pendidik yang terpanggil oleh

‘malaikat kebaikan’ dari karakter dan komitmennya sebagai pendidik.

Keterangan dan petunjuk untuk menciptakan pendidikan yang Inklusi yang

ditawarkan oleh beliau akan menjadi efektif apabila diterapkan di sekolah-

sekolah oleh para pendidik yang telah sungguh-sungguh menemukan malaikat

kebaikan dalam diri mereka.38

2. Karya-karya J. David Smith

Sebuah karya terlahir dari buah pemikiran J. David Smith yang

diturunkan ke dalam wilayah para pembaca melalui publikasi media cetak,

penerbitan buku, selalu masuk untuk dipahami oleh para pembaca karena

37 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 23. 38 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 23.

Page 6: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

33

beliau lebih sering menyajikan sebuah buku dengan membuat kisah yang

menarik baik kisah itu berasal dari kehidupan nyata maupun yang fiksi tetapi

dengan adanya kisah tersebut dapat mempermudah para pembaca dalam

memahami isi pemikiran beliau.

Karya buah pikir J. David Smith yang telah dibukukan lebih banyak

membahas tentang Pendidikan dan sebuah hasil dari penelitian karena sesuai

dengan profesinya selaku guru dan ilmuwan. Diantara buku-buku beliau yang

masih banyak beredar di masyarakat seluruh dunia yaitu :

1. Ignored, shunned, and invisible how the label "retarded" has denied

freedom and dignity to millions

( Diabaikan, dijauhi, dan terlihat bagaimana label " terbelakang "

membantah kebebasan dan martabat jutaan )

Berbentuk file dengan 6 edisi yang diterbitkan antara tahun 2008 dan

2009 di Inggris dan diselenggarakan oleh 1.417 perpustakaan di seluruh

dunia. Secara historis, segregasi dan isolasi sosial telah berulang

tanggapan kepada orang-orang yang dianggap cacat atau kekurangan

dalam beberapa cara. Dan mereka berada di tengah-tengah masyarakat

sehingga pendidik khusus J. David Smith menulis buku ini, yang

menyajikan isu-isu sejarah dan kontemporer penting dalam

keterbelakangan mental. Diceritakan melalui mencengkeram sketsa dan

terjalin dengan kisah kehidupan John Lovelace, seorang pria berlabel

Page 7: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

34

mental terbelakang sebagai anak kemudian dilembagakan dan disterilkan,

teks ini mencengkeram akan membuat semua pembaca kembali tidak

hanya kebijakan kami dan praktek sosial, tetapi juga orang kami.39

2. Minds made feeble : the myth and legacy of the Kallikaks

( Pikiran membuat lemah : mitos dan warisan dari Kallikaks )

Buku ini mempunyai 3 edisi yang diterbitkan pada tahun 1985 dalam

bahasa Inggris dan diadakan oleh 701 perpustakaan di seluruh dunia.

Pada tahun 1912, Henry Goddard terlihat keluarga Kallikak sebagai bukti

teorinya bahwa keterbelakangan mental adalah keturunan. J. David Smith

meneliti bukti Goddard dan melihat kebijakan pemerintah bagaimana

teori Goddard telah berbentuk

3. The sterilization of Carrie Buck

Ini adalah buku yang mempunyai 3 edisi yang diterbitkan antara tahun

1989 dan 2009 dalam bahasa Inggris dan diadakan oleh 486 perpustakaan

di seluruh dunia. Kisah nyata Carrie Buck, yang dianggap terbelakang

dan berkomitmen untuk Virginia Colony untuk penderita epilepsi dan

Feebleminded setelah bayinya lahir dan diambil darinya. Pada tahun 1926

ia disterilkan tanpa pemahamannya atau perjanjian , korban pertama dari

39 http://www.worldcat.org/wcidentities/lccn-n86121869, diakses pada tanggal 13 Juni 2015

pada pukul 21.00 WIB

Page 8: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

35

Virginia Hukum Wajib sterlization. Tindakan ini menyebabkan sterilisasi

lebih dari 50.000 warga Amerika tanpa persetujuan mereka, dan

kemudian dikutip oleh Nazi sebagai preseden untuk program kebersihan

ras.

4. Inclusion : schools for all students

( Inklusi: sekolah untuk semua siswa )

Buku ini mempunyai 3 edisi yang diterbitkan pada tahun 1998 dalam

bahasa Inggris dan diadakan oleh 197 perpustakaan di seluruh dunia.

Buku ini berfokus pada integrasi dan pendidikan khusus di kelas

pendidikan biasa atau umum. Penulis memberikan gambaran menyeluruh

dari cacat dalam perspektif pribadi, sejarah, dan multikultural. Penulis

menyusun dua studi kasus di seluruh buku, untuk meningkatkan

pembacaan teks, serta potensi pengajaran. Studi kasus ini muncul di akhir

setiap bab dan menggarisbawahi pelajaran sebelumnya dan tema bab.

Pertanyaan berpikir kritis kemudian ikuti studi kasus, memberikan siswa

kesempatan untuk menerapkan apa yang telah mereka pelajari.40

5. Biological Determinism and the Concept of Mental Retardation The

Lesson of Carrie Buck

40 https://books.google.co.id/books?id.j+david+smit,diakses pada tanggal 3 Juni 2015 pada

pukul 22.10 WIB

Page 9: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

36

( Biologi Determinisme dan Konsep Retardasi Mental Pelajaran dari

Carrie Buck )

Ini juga merupakan buku yang hanya 1 edition diterbitkan pada tahun

1993 dalam bahasa Inggris dan diadakan oleh 1 perpustakaan di seluruh

dunia. Tulisan di dalam buku ini membahas tentang kasus Carrie Buck,

yang adalah orang pertama disterilkan (pada tahun 1927) di bawah hukum

Virginia memungkinkan sterilisasi orang yang diidentifikasi sebagai tidak

kompeten dan cenderung genetik mengirimkan kekurangan fisik,

psikologis, dan sosial untuk anak-anak mereka. Hukum ini kemudian

dikuatkan oleh Mahkamah Agung di Buck v. Bell, yang beralasan bahwa

hal itu konsisten dengan pandangan eugenic yang paling sosial sifat yang

tidak diinginkan, termasuk keterbelakangan mental, yang paling sering

turun-temurun. Kegiatan kemudian Carrie Buck dan pendapat dari teman-

teman dan pengusaha mendukung pandangan bahwa dia tidak mengalami

keterbelakangan mental (seperti juga yang terjadi untuk putrinya lahir

sebelum sterilisasi). Makalah ini menganggap hal ini sebagai wakil dari

perampasan hak asasi manusia yang dihasilkan dari gagasan bahwa

kehidupan manusia dapat dikurangi menjadi determinisme biologis.

Implikasi moral dan etika yang diambil dan diterapkan pada temuan

potensi arus Human Genome Project.

Selain karya-karya di atas, masih banyak karya dari J. David Smith

lainnya seperti beberapa buku yang mengandung sebuah kisah, yaitu :

Page 10: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

37

1. The Other Voices : Profile of Women in The History of Special

Education

(Suara-suara lain: profil perempuan dalam sejarah pendidikan khusus)

2. The Augenic Assault on America : Scenes in Red, White, Black

( The eugenic serangan terhadap Amerika: adegan merah, putih, dan

hitam )

3. Pieces of purgatory : Mental Retardation In and Out of Institutions

( Potongan api penyucian: keterbelakangan mental dan keluar dari

lembaga )

3. Pemikiran J. David Smith Tentang Pendidikan Inklusi

Memberikan pendidikan yang berkualitas untuk semua warga Negara

khususnya anak, merupakan tantangan yang paling berat dan sekaligus

merupakan isu sangat penting dalam dunia pendidikan. Menyadari hal ini

masyarakat dunia menyelenggarakan berbagai aksi seperti; Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diadakan tahun1989, yang menghasilkan

deklariasi “bahwa semua anak berhak memperoleh pendidikan tanpa

diskriminasi dalam bentuk apapun”. Deklarasi tersebut dilnjutkan dengan

pernyataan Salamanca dan kerangka Aksi dalam pendidikan Kebutuhan

Khusus tahun 1994 yang memberikan kewajiban bagi sekolah untuk

Page 11: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

38

mengakomodasikan semua anak termasuk anak-anak berkebutuhan khusus

yang memiliki kelainan fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, maupun

kelainan lainnya. Itulah yang kemudian yang mengawali pemikiran

munculnya pendidikan Inklusi sebagai langkah bahwa hak mendapat

pendidikan merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar ( Deklarasi

Internasional tentang Hak Asasi Manusia pada tahun 1948 dan Konvensi

Internasional tentang hak Anak pada tahun 1989 ). Konvensi ditindak lanjuti

dengan gerakan untuk mengubah hak mendapat pendidikan menjadi

kenyataan melalui aksi yang dikenal sebagai Pendidikan Untuk Semua (

Education for All/EFA ) dideklarasikan dalam konferensi dunia di Jomtien

Thailand tahun 1990. Konferensi ini menyimpulkan antara lain, di bnayk

Negara kesempatan untuk memperoleh pendidikan masih terbatas atau masih

banyak orang yang belum mendapatkan akses pendidikan. Selanjutnya Dakar

Senegal tahun 2000, mereviu bahwa pendidikan untuk semua harus

mempertimbangkan kebutuhan mereka yang miskin dan tidak beruntung,

termasuk yang berkebutuhan khusus (UNESCO, 2000).41

Dokumen-dokumen tersebut telah mendorong banyak Negara untuk

mengimplementasikan pendidikan Inklusi sebagai upaya untuk memerangi

perlakuan diskriminatif di bidang pendidikan. Masing-masing Negara

memiliki strategi atau cara mengimplementasikan pendidikan Inklusi secara

41 Juang Sunanto, dkk. (ed), First Annual Inclusive Education, Practices Conference,

(Bandung : Rizqi Press, 2010), h. 22.

Page 12: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

39

beragam. Keberagaman implementasi ini disebabakan tiap-tiap Negara

memiliki budaya dan tradisi yang berbeda. Perbedaan cara implementasi tidak

mempengaruhi maksud dari pendidikan Inklusi asalkan prinsip dan

motivasinya sama. Perbedaan implementasi ini juga terjadi di setiap propinsi,

kabupaten atau kota bahkan di tingkat sekolah.

Istilah terbaru yang dipergunakan untuk mendeskripsikan penyatuan

bagi anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program-

program sekolah adalah inklusi (dari kata bahasa inggris: inclusion-peny.).

Bagi sebagian besar pendidik, istilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih

positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan

dengan cara-cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan

pendidikan yang menyeluruh. Sedangkan manstreaming mungkin diartikan

sebagai persamaan oleh sebagian orang, juga dianggap memiliki hambatan di

kelas-kelas regular. Mainstreaming dalam bentuk ini hanya dapat muncul bila

terjadi integrasi. REI (Reguler Education Initiative) / Inisiatif Pendidikan

Reguler dilihat oleh sebagian orang, bahkan oleh beberapa pendukungnya,

dalam pengertian pembongkaran pendidikn khusus. Sedangkan inklusi dapat

berarti bahwa tujuan pendidikan bagi siswa yang memiliki hambatan adalah,

keterlibatan yang sebenarnya dari tiap anak dalam kehidupan sekolah yang

menyeluruh. Inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki

Page 13: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

40

hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial, dan konsep diri

(visi-visi) sekolah.42

Tentu saja, inklusi dapat (dan mempunyai) arti berbeda-beda bagi tiap

orang. Beberapa orang menerjemahkannya sebagai cara baru untuk berbicara

tentang mainstreaming. Bagi yang lainnya mungkin dilihat sebagai REI

dengan label baru. Sebagian bahkan menggunakan istilah inklusi sebagai

banner untuk menyerukan ‘full inclusion’ atau ‘uncompromising inclusion’

yang berarti penghapusan pendidikan khusus. Premis-premis dasar dalam

buah pemikiran dalam bukunya “Inclusion, School for All Student” karangan

J. David Smith, dan hal yang harus dikembangkan dalam dunia pendidikan

adalah layanan-layanan pendidikan yang paling efektif dan dibutuhkan yang

dapat diberikan serta terus dipertahankan. Sementara pada saat yang sama,

pendidikan anak-anak yang memiliki hambatan harus dipandang oleh semua

pendidik sebagai hak dan tanggungjawab bersama. Yang paling utama, semua

anak harus mempunyai tempat dan diterima di kelas-kelas reguler. Inklusi,

kata yang dapat berarti suatu komitmen untuk melibatkan siswa-siswa yang

memiliki hambatan dalam setiap tingkat pendidikan mereka yang

memungkinkan. Karena ‘full inclusion’ lebih mempunyai konotasi negatif dan

sulit disepakati bagi sebagian orang, kerangka filosofi yang akan dipakai

disini adalah ‘full inclusion’. Pengertian ini di maksudkan untuk mendorong

42 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 45.

Page 14: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

41

pendidik agar berusaha menemukan jenis dan tingkat inklusi yang memuaskan

tiap individu siswa. Tujuan utamanya, secara factual, adalah membantu

pendidik untuk menjadi seorang pendidik profesional yang dapat melihat

siswa sebagai yang utama dan pertama kali dalam setiap keadaan, sedangkan

cacat atau hambatan yang dimilikinya itu hanyalah satu karakter dari

individualitasnya. 43

Pendidikan Inklusi dalam sistem persekolahan, bermakna juga

menampung semua peserta didik yang beragam pada kelas yang sama.

Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang sesuai dengan

kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik. Lebih dari itu, sekolah Inklusi

juga merupakan tempat setiap anak diterima menjadi bagian dari kelas

tersebut dan saling membantu agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.44

Jika siswa, orangtua, guru, dan sekolah tumbuh dalam suatu

lingkungan dengan keterbukaan dan sensitifitas yang sangat kondusif bagi tiap

individu dan mempunyai kesadaran pembaruan untuk setiap misinya, maka

suasana kepercayaan dan kerjasama yang meningkat dapat tercipta.

Keterlibatan semua orang dalam mempersiapkan siswa-siswa yang memiliki

hambatan dalam kehidupan masyarakat yang lebih terbuka harus saling

dibicarakan. Akhirnya, pendidikan bagi siswa-siswa ini harus dilakukan

43 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 46. 44 Juang Sunanto, dkk. (ed), First Annual Inclusive Education, Practices Conference,

(Bandung : Rizqi Press, 2010), h. 22.

Page 15: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

42

dengan usaha-usaha yang dirancang secara individual yang sebenarnya, yang

dapat menjamin baik kebutuhan inklusi, kebutuhan bagi layanan pembelajaran

khusus, maupun lingkungan yang mendukung sehingga siswa-siswa dapat

memperoleh keberhasilan akademis. Seperti yang diteliti oleh Webber (1994),

semua pendidik harus punya ‘rasa memiliki’ pada semua siswa, termasuk

yang menyandang hambatan. Pada saat bersamaan, penting bahwa lingkungan

dan jaminan bagi program pendidikan individual, dukungan keterlibatan

orangtua, tersedianya guru yang dilatih secara khusus sebagai ahli terapi, serta

ketetapan pelayanan remidi pengembangan dan terapis, hendaknya selalu

dipertahankan. Pencapaian program layanan pendidikan individual bagi setiap

siswa merupakan suatu proses yang dinamis. Karena itu, keputusan-keputusan

mengenai perpaduan layanan pendidikan khusus yang efektif dan praktik

Inklusi harus terus dikaji kembali dan diperbarui untuk memberikan yang

terbaik bagi siswa-siswa.45

John David Smith, atau yang lebih dikenal dengan J. David Smith

adalah salah seorang tokoh pemerhati pendidikan dari Amerika Serikat dan

beliau banyak mengungkapkan pemikirannya di dalam sebuah buku termasuk

buku tentang pendidikan Inklusi yang didalamnya terdapat beberapa

pemikiran beliau yang juga dapat diterapkan dalam pendidikan Islam di

Indonesia seperti Menciptakan suasana sekolah yang menghargai Multikultur,

45 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 52-53.

Page 16: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

43

kita mengetahui bahwa Indonesia memiliki beragam suku, budaya dan agama.

Jadi di dalam pendidikannya haruslah menghargai setiap suku, budaya,

agama, ras, kelas, kelamin, atau perbedaan lainnya, lebih menganggap sebagai

keserupaan daripada perbedaan. Menciptakan suasana persamaan gender di

sekolah, di dalam pendidikan Indonesia secara umum memang tidak terlihat

adanya diskriminasi gender, semua akan terlihat jika memasuki wilayah kelas

di sekolah, seperti contohnya sebagian guru banyak bicara pada murid laki-

laki karena anak laki-laki lebih berani dibandingkan anak perempuan untuk

berbicara selama diskusi dan guru-guru menerima sikap mereka. bila murid

perempuan bicara, sebagian guru tidak mendukung dan mengoreksi sikap

mereka. Anak laki-laki dalam penelitian yang dilakukan oleh Sadker dan

Stulberg mendapat lebih banyak perhatian dibandingkan anak perempuan.46

Menerima perbedaan manusia, lembaga sekolah harus menjadi lembaga yang

berperhatian, dimana siswa, guru, supir bus jemputan, penjaga kantin, kepala

sekolah dan semua yang lain menerima penegasan yang positif mengenai

kebaikan, empati, dan perhatian. Setiap orang yang turut serta di dalam

pendidikan butuh kesempatan bekerja dan menikmati kebersamaan,

membentuk kedekatan, serta membagi keberhasilan dan kegagalan.

Di dalam buah pemikirannya melalui buku “Inclusion, School for All

Student”, J. David Smith menjelaskan beberapa nilai yang ada di dalam

46 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, (Bandung: Nuansa, 2009), Cet. III, h. 370.

Page 17: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

44

pendidikan Inklusi yang disimbolkan oleh dua gambar. Pertama adalah tupai

yang sedang terbang dan gambar kedua adalah ‘malaikat kebaikan’.

1. ‘Tupai yang sedang terbang’ adalah simbol untuk metode dasar

Pendidikan Inklusi untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

‘Tupai yang sedang terbang’ bagi beliau ialah terinspirasi dari kisah teman

semasa kecilnya yang bernama Tiny dan pelajaran yang diajarkan kepada

beliau tentang tupai. Pemakaian binatang Tupai yang sedang terbang

sebagai simbol dasar metode pendidikan Inklusi karena binatang tupai

merupakan binatang yang mengagumkan yang dapat melakukan sesuatu

dengan cara berbeda. Kadang-kadang mereka terbang selain bisa memanjat

dan melompat. Para tupai berbeda namun menarik, indah, dan berharga

dalam perbedaannya. Mereka layak hidup di hutan. Hal ini berlaku bagi

para peserta didik yang dibahas dalam buku beliau, yaitu para peserta didik

yang memiliki kemampuan berbeda namun kemampuan itu dianggap

sebagai ketidakmampuan. Mereka juga berbeda namun berharga. Para

peserta didik layak menempati dunia yang menghargai mereka.47

Pendidikan Inklusi menerima berbagai karakter siswa dan berbagai bentuk

fisik siswa tidak ada kata deskriminatif untuk pendidikan inklusi. J. David

Smith menjelaskan beberapa kelas yang harus dipersiapkan dan dibentuk di

47 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 23.

Page 18: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

45

dalam pendidikan Inklusi untuk menerima berbagai tipe siswa, beberapa

katagori siswa tersebut yaitu :

1. Siswa berkesulitan belajar

Kesulitan belajar menurut Samuel Kirk adalah sebuah istilah

untuk menggambarkan anak-anak dengan gangguan dalam

perkembangan bahasa, membaca, dan kemampuan komunikasi

lainnya. Sedangkan menurut National Joint Committee on Learning

Disability (NJCLD) atau suatu kelompok yang terdiri dari perwakilan

beberapa organisasi professional, mendefinisikan:

Kesulitan belajar adalah suatu istilah umum yang mengacu

pada beragam kelompok gangguan yang terlihat pada

kesulitan dalam menguasai dan menggunakan kemampuan

mendengar, berbicara, membaca, menulis, berfikir dan

kemampuan matematis. Gangguan-gangguan ini bersifat

internal bagi individu dan diperkirakan penyebabnya adalah

tidak berfungsinya system saraf pusat, dapat muncul selama

rentang kehidupan. 48

Untuk memahami kebutuhan-kebutuhan kelas bagi siswa-siswa

berkesulitan belajar diperlukan adanya pemahaman tentang dasar-

dasar yang dipergunakan untuk mendefinisikan hambatan tersebut.

Bersamaan dengan adopsi istilah kesulitan belajar (learning

48 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 75.

Page 19: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

46

disabilities) yang dikenalkan oleh Samuel Kirk pada tahun 1963,

bermunculan juga usaha yang terus menerus dalam mengembangkan

sebuah istilah yang akan mencakup kebutuhan dan sifat-sifat yang

kompleks pada siswa-siswa berkesulitan belajar. Penting untuk

diingat, pemberian nama ‘kesulitan belajar’ merupakan suatu istilah

yang luas dan mencakup banyak aspek yang meliputi berbagai

masalah ketidakmampuan seperti penderita luka otak (brain-injury),

hambatan persepsi (perceptually handicapped), hiperaktif

(hyperactive), dan disleksia (dyslexia), dll. Pengajaran yang efektif

bagi siswa berkesulitan belajar, seperti halnya semua pengajaran yang

baik, didasarkan atas pemahaman kebutuhan individu. Mengajar anak

berkesulitan belajar membutuhkan observasi yang tajam dari guru

mengenai pola-pola keunggulan dan kelemahan siswa. Keberhasilan

pengajaran anak berkesulitan belajar adalah pada informasi yang

esensial dan pengajaran berdasarkan kondisi masing-masing siswa. 49

2. Siswa terbelakang mental

Menurut pengamatan Serason, keterbelakangan mental bukan

merupakan sesuatu atau sifat-sifat dari individu, namun merupakan

suatu penemuan social yang merupakan bingkai ikatan waktu nilai-

nilai dan ideologi sehingga menjadi diagnosis dan aturan, yang

49 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 76.

Page 20: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

47

tampaknya keduanya berdasarkan keinginan dan kepentingan social.

Meskipun pengertian social dari istilah terbelakang mental dan

aplikasinya terhadap orang-orang yang berbeda-beda keadaan secara

fisik, social, dan keperibadian dalam kehidupan mereka, namun

penting untuk meninjau beberapa penyebab keadaan tersebut.

Keterbelakangan mental kebanyakan bukan karena akibat genetika,

penyakit atau kecelakaan, tetapi lebih Nampak diakibatkan oleh

korban lingkungan yang merugikan dan mengganggu perkembangan

mentalnya, atau mereka anak-anak yang masuk sekolah dengan

pengalaman-pengalaman lingkungan yang membawanya pada ketidak

beruntungan dalam memenuhi harapan-harapan yang mereka hadapi

sebagai siswa.

Cara terbaik untuk mengatasi siswa-siswa penyandang

hambatan/kelainan terutama siswa dengan keterbelakangan mental

adalah dengan guru efektif. Prinsip pembelajaran yang baik pada

dasarnya sama tanpa memandang mata pelajaran yang diajarkan atau

siswa yang sedang diberi pengajaran. Guru yang baik

berkecenderungan sebagai seseorang yang berpikir dirinya sebagai

guru siswa, bikan sebagai professional yang mengkhususkan diri pada

satu pelajaran atau tingkat tertentu. Guru-guru yang baik yang telah

mempunyai kesempatan mempelajari beberapa informasi dasar

mengenai hambatan/kelainan dan mereka yang telah menyadari fakta

Page 21: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

48

bahwa banyak hal yang bisa diberikan pada anak berkebutuhan khusus

adalah dasar yang penting bagi keberhasilan penyatuan (inklusi) siswa-

siswa terbelakang mental. 50

3. Siswa berkelaian perilaku / emosi

Berawal dari pertanyaan mengapa orang tertentu dianggap

mempunyai gangguan emosi atau perilaku, jawabannya adalah karena

orang itu merespon berbagai jenis dan tingkatan tekanan yang berbeda

dalam kehidupan mereka dengan cara berbeda dan seringkali dengan

cara yang tidak diharapkan. Tekanan yang kecil saja bisa memicu

reaksi yang besar pada sebagian orang. Seperti yang diungkapkan oleh

Whelan, bahwa munculnya respon yang kuat dari seseorang terhadap

suatu tekanan selalu merupakan indikasi bahwa orang itu mempunyai

gangguan emosi atau perilaku. Meskipun perilaku yang muncul itu

dapat menyebabkannya menjadi orang yang sulit atau memburuknya

perilakunya. Perilaku ini mungkin tak dikenali atau tak dianggap

bermasalah kecuali jika mereka melakukannya terlalu sering, terlalu

berlebihan atau ditempat yang salah. 51

Cara paling efektif dalam mengatasi masalah-masalah

emosional dan perilaku di kelas adalah dengan mencegah terjadinya

50 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h.123-124. 51 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 145.

Page 22: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

49

masalah ini. Beberapa cara yang dianjurkan dalam menciptakan

suasanan kelas yang dapat meningkatkan sikap-sikap positif dan

membantu mencegah sikap-sikap negative antara lain52 :

a. Buatlah harapan-harapan akademis dan perilaku siswa yang anda

inginkan sejelas mungkin bagi mereka.

b. Tunjukan pada siswa bahwa anda jujur dalam berhubungan

dengan mereka.

c. Berikan perhatian dan pengakuan kepada siswa atas sifat-sifat

dan prestasi yang positif. Suatu aturan yang baik adalah

menemukan sesuatu yang positif untuk dinyatakan kepada siswa

setiap hari.

d. Buatlah contoh sikap, kebiasaaan kerja, dan hubungan yang

positif.

e. Persiapkan pola pengajaran dan berikan kurikulum yang tersusun

dengan baik.

f. Buatlah suasana kelas yang dapat diterima, baik secara fisik

maupun social.

4. Siswa berkelainan fisik

Istilah kelainan fisik sebenarnya tidak di gunakan, namun

kenyataannya definisi tersebut yang digunakan dalam penerapan IDEA

52 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 156.

Page 23: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

50

(Individual with Disabilities Education Act). Istilah lain yang

digunakan secara formal adalah kelainan ortopedi. Kelainan ortopedi

adalah suatu keadaan penurunan fungsi ortopedik yang mempunyai

efek merugikan pada prestasi pembelajaran anak. Istilah ini meliputi

gangguan yang disebabkan kelainan bawaan misalnya, berkaki

pengkor, hilang salah satu anggota tubuh. Kelainan yang disebabkan

oleh penyakit misalnya, poliomyelitis, TBC tulang, dll. Dan kelaianan

oleh penyebab lainnya misalnya cerebral palsy, amputasi, patah tulang

atau terbakar yang menyebabkan kontraktur.

Katagori kelainan fisik dan gangguan kesehatan lain begitu

luas sehingga sulit dibicarakan secara umum mengenai kebutuhan-

kebutuhan siswa dengan gangguan jenis ini. Kebutuhan-kebutuhan

kelas mereka sangat berbeda tergantung pada usia mereka, jenis

hambatan yang dialami mereka, dan beratnya kelainan mereka.

Lingkungan yang paling kondusif untuk pembelajaran siswa-siswa

berkelainan fisik adalah kelas reguler. Dalam rangka mempelajari

dengan baik cara hidup di suatu lingkungan komunitas berbeda sebagi

orang dewasa, anak-anak dan remaja dibutuhkan suatu kelas dan

sekolah yang paling Inklusi yang tepat bagi kebutuhan pendidikan,

sosial, dan fisik mereka. 53

53 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 188.

Page 24: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

51

5. Siswa dengan hambatan ucapan dan berbahasa

Bicara dan bahasa itu berbeda, bicara merupakan suatu proses

yang sangat individual. Cara orang berbicara merupakan bagian

identitasnya. Selama kegiatan pergerakan fisik, psikologis, dan social,

kita mendapatkan pola-pola ucapan yang unit yang merupakan

manifestasi pengaruh-pengaruh keluarga, budaya, dan lingkungan

fisik. Sedangkan bahasa mempunyai beragam bentuk. Dialek ini akibat

dari pengaruh demografi dan sosial. Contoh bahasa inggris yang

diucapkan di Amerika Serikat, misalnya, menggunakan dialek-dialek

yang telah dipengaruhi oleh Afro-Amerika, Appalachian, Southern, dan

Hispanic.

Ucapan / bicara dianggap terganggu hanya jika mempunyai

cirri-ciri yang terus mengganggu komunikasi serta menciptakan

ketidaknyamanan, baik bagi pembicara maupun pendengar. Satu

aturan untuk memperkirakan apakah seseorang memiliki ‘kelainan

bicara’ atau hanya ‘ucapan berbeda’ adalah suatu garis yang menbatasi

antara perbedaan dan kelianan, yaitu bila pendengar secara konsisten

memusatkan perhatian pada bagaimana cara sesuatu itu diucapkan dari

pada apa yang di ucapkan. Bila batas garis itu dilanggar, maka

komunikasi lisan tersebut bisa dinyatakan mengalami gangguan.

Page 25: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

52

Semua kelaian berbahasa dan berbicara berpotensi untuk

mengisolasi orang-orang yang menyandangnya. Kesulitan komunukasi

dapat menjadi hambatan yang serius dalam kehidupan pendidikan dan

social siswa. Penting untuk menemukan cara terbaik dalam

mempermudah keberhasilan kelas-kelas Inklusi bagi siswa ini. Ada

tiga prinsip bagi guru kelas dalam membantu siswa dengan hambatan

bicara menurut LaBlance, yaitu54 :

a. Berikan contoh berbicara yang baik.

b. Tingkatkan self-esteem (harga diri) siswa.

c. Ciptakan lingkungan berbicara yang baik.

6. Siswa dengan gangguan penglihatan

Mata manusia merupakan suatu struktur yang rumit, ia bekerja

seperti sebuah kamera dalam otak. Definisi tunanetra/gangguan

penglihatan adalah sebagai berikut : ketajman penglihatan pusat

20/200 atau kurang pada bagian mata yang lebih baik dengan kaca

mata koreksi atau ketajaman penglihatan pusat lebih dari 20/200 jika

terjadi penurunan ruang penglihatan dimana terjadi pengerutan suatu

bidang penglihatan sampai tingkat tertentu sehingga diameter terlebar

dari ruang penglihatan membentuk sudut yang besarnya tidak lebih

dari 20 derajat pada bagian mata yang lebih baik.

54 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 214.

Page 26: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

53

Bila seseorang hanya dapat membedakan dari jarak 20 kaki

huruf atau symbol dimana penglihatan normal dapat melakukannya

dari jarak 200 kaki, orang tersebut dikatagorikan mempunyai tingkat

ketajaman penglihatan 20/200 sehingga dianggap buta secara hukum.

Begitu juga orang yang menunjukkan luas ruang penglihatan 20

derajat atau kurang dianggap buta secara hukum. Perlu diketahui

bahwa definisi kebutaan secara hukum itu tidak selalu berarti bahwa

seseorang tidak bisa melihat samasekali.

Pendidikan bagi siswa yang mengalami hambatan penglihatan

mempunyai banyak kesamaan dengan siswa lainnya. Kunci utama

pengajaran siswa-siswa di ruang kelas umum sepertinya harus

dilakukan dengan mengoptimalkan pengajaran, mendorong

kepercayaan diri dan kemandirian. Perlu untuk diinggat bahwa siswa-

siswa ini bukan kelompok yang homogeny, namun kesamaan mereka

adalah berkurangnya penglihatan atau ketunaetraan.

7. Siswa dengan gangguan pendengaran

Dalam mendefinisikan gangguan pendengaran dari sudut

pandang kebutuhan pembelajaran, sangat penting untuk

mempertimbangkan tingkat beratnya kehilangan pendengaran dan usia

seseorang ketika kehilangan pendengarannya mulai terjadi. Istilah

gangguan pendengaran dipakai dalam menjelaskan baik orang yang

Page 27: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

54

benar-benar “tuli” maupun yang hanya “sulit mendengar”. Sulit

mendengar merupakan gangguan pendengaran yang bersifat permanen

maupun sementara, yang jelas berpengaruh pada prestasi pembelajaran

anak, namun tidak termasuk definisi “tuli” pada bagian ini. Karena

“tuli” berarti suatu gangguan pendengaran yang sangat berat sehingga

si anak tidak bisa melakukan proses informasi bahasa melalui

pendengaran, dengan ataupun tanpa alat pengeras suara, yang dengan

jelas mempengaruhi prestasi pembelajaran akademis. 55

Tujuan pendidikan yang menyeluruh bagi siswa yang

mengalami gangguan pendengaran adalah memberikan kemampuan

pada mereka, yang membuat mereka dapat berperan serta sebanyak

mungkin dalam seluruh bidang kehidupan.

8. Siswa berkemampuan unggul dan berbakat istimewa

Ada berbagai definisi anak unggul dan berbakat istimewa,

namun definisi yang paling banyak digunakan secara luas adalah yang

termuat dalam Education Consolidation and Improvement Act. Siswa

berbakat adalah :

Mereka yang dapat membuktikan kemampuan prestasi tinggi

dalam berbagai bidang seperti intelektual, kreativitas, artistic,

kapasitas kepemimpinan, atau bidang akademik tertentu, dan

55 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 270

Page 28: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

55

yang memerlukan pelayanan serta aktivitas khusus yang

biasanya tidak diberikan oleh sekolah dalam rangka

mengembangkan kemampuan tersebut.56

Dari definisi di atas, ada beberapa aspek yang perlu digaris

bawahi, yaitu :

Pertama, ada beberapa jenis bakat dari seorang siswa, meliputi

kepemimpinan, kreativitas, seni drama dan visual termasuk bidang

keberbakatan, bahkan jika hal ini tidak dibarengi oleh kemampuan

akademik umum yang tinggi.

Kedua, dengan memakai istilah kapabilitas, diakui bahwa

beberapa siswa boleh jadi memiliki potensi berbakat yang belum

terwujud kecuali dibimbing dan didorong.

Ketiga, ditekankan bimbingan dan dorongan pendidikan

sehingga siswa dapat mewujudkan potensi-potensi yang merupakan

suatu persoalan untuk mendapatkan pendidikan khusus seperti siswa

berkesulitan belajar atau beberapa pengecualian lain.

Meskipun siswa-siswa berbakat tidak termasuk dalam proteksi

dari Individual with Disabilities Education Act (IDEA), tetapi jelas

mereka juga mempunyai kebutuhan khusus. Siswa-siswa berbakat

harus tetap diberi pengajaran dalam setting integrasi tak terbatas yang

56 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 305.

Page 29: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

56

akan memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Suatu susunan

penempatan pendidikan yang komplit serta layanan akan disediakan

bagi siswa yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi jaminan yang

sama. Tujuan yang paling penting bagi siswa ini, memenuhi kebutuhan

mereka di lingkungan sekolah Inklusi. 57

2. ‘malaikat kebaikan’ adalah simbol karakter dan komitmen seorang

pendidik.

‘malaikat kebaikan’ adalah simbol yang dipinjam oleh J. David Smith dari

pidato pengukuhan pertama Abraham Lincoln. Abraham Lincoln menutup

pidatonya kepada majelis, dia sedih dan dipenuhi kemarahan sehingga

memanggil malaikat kebaikan dari sifat dasar kita. Dia berharap malaikat

kebaikan yang ada pada diri kita dapat membawa kearah perdamaian dan

solidaritas. J. David Smith percaya bahwa ciri pendidikan yang lebih

Inklusi bagi seluruh peserta didik bergantung pada para pendidik yang

terpanggil oleh ‘malaikat kebaikan’ dari karakter dan komitmen sebagai

pendidik. Keterangan dan petunjuk untuk menciptakan pendidikan yang

Inklusi yang ditawarkan dalam buku beliau akan menjadi efektif apabila

57 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 316.

Page 30: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

57

diterapkan di sekolah-sekolah oleh para pendidik yang telah sungguh-

sungguh menemukan ‘malaikat kebaikan dalam diri mereka.58

a. Pengertian Guru / Pendidik

Sebagian orang banyak yang mengira bahwa menjadi seorang

guru merupakan pekerjaan yang mudah. Padahal, kalau ditinjau kembali

pada pengertian dasarnya, sungguh tidaklah semudah membalikan

telapak tangan untuk menjalani profesi sebagai seorang guru. Apalagi,

menjadi seorang guru ideal dan favorit yang diidolakan dan dicintai oleh

murid, baik didalam maupun diluar sekolah59.

Guru merupakan sosok manusia yang dihormati oleh

masyarakat, seorang guru dianggap suci dan sakti di negara India. Di

negara Jepang guru disebut “sensei” yang artinya “yang lebih dahulu

lahir atau lebih tua”. Sedangkan dinegara lain seperti di Inggris, guru

dikatakan “teacher” dan di Jerman “der Lehrer” yang mempunyai arti

sama yaitu “pengajar”60.

Definisi guru secara etimologi ialah Pengajar61. Jika dilihat dari

dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia tidak jauh berbeda

58 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 23. 59 Salman Rusydie,Tuntunan Menjadi Guru Favorit, (Jogjakarta: FlashBooks, 2012) h.7 60 Zakiyah Daradjat,Dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009) h. 39-40 61 S. Wojowasito, Kamus Bahasa Indonesia EYD Menurut Pedoman Lembaga Bahasa

Nasional, h. 114

Page 31: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

58

mendefinisikan arti guru yaitu Pengajar pada sekolah-sekolah62. Akan

tetapi kata guru sebenarnya bukan saja mengandung arti “pengajar”,

melainkan juga “pendidik”. Selain itu, arti guru juga didefinisikan

seperti yang sudah tidak asing lagi ditelinga yaitu guru sebagai

seseorang yang digugu dan ditiru.

Banyak definisi tentang guru, bukan berarti semua definisi

berbeda maksud, pada intinya semua pengertian tentang guru

mempunyai esensi yang sama dan mengharapkan seorang guru haruslah

kompeten karena guru yang kompeten adalah guru yang mempunyai

kemampuan melakukan tugas-tugasnya secara baik, efisien dan

bertanggungjawab63. Selain itu, guru sebenarnya suatu sebutan bagi

jabatan, posisi dan profesi bagi seseorang yang mengabdikan dirinya

dalam bidang pendidikan melalui interaksi edukatif secara berpola,

formal, dan sistematis menurut mantan ketua umum Persatuan Guru

Republik Indonesia yaitu Mohamad Surya64.

Pengertian tentang guru yang telah ditetapkan dalam Undang-

undang yaitu, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama

mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan

mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur

62 Ananda Santoso & A.R. Al Hanif, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Alumni)

h. 143 63 Neila Ramdhani, Menjadi Guru Inspiratif, (Jakarta: Titian Foundation, 2012) h. 25 64 Moh. Surya, Percikan Perjuangan Guru, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006) h. 215

Page 32: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

59

pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, seperti

yang telah dipaparkan didalam Undang-undang nomor 14 tahun 2005

tentang guru dan dosen pada bab 1 pasal 1 ayat 165.

b. Pendidik Untuk Sekolah Inklusi

Kesiapan sebuah sekolah untuk kelas inlusif mungkin kuncinya

adalah penyatuan yang lebih besar siswa-siswa penyandang hambatan

supaya berhasil bagi semua pihak yang berkepentingan. Schultz telah

menemukan 10 kategori utama kesiapan yang merupakan prasyarat bagi

sekolah yang lebih ramah dan Inklusi.66 (1) Sikap, (2) Persahabatan, (3)

Dukungan bagi siswa, (4) Dukungan untuk Guru, (5) Kepemimpinan

Administratif, (6) Kurikulum, (7) Penilaian, (8) Program dan Evaluasi

Staf, (9) Keterlibatan Orangtua, (10) Keterlibatan Masyarakat.

Dukungan untuk guru dengan memberi pelatihan pada guru dalam

menangani jumlah keragaman siswa yang lebih berbeda, ada beberapa

pertanyaan yang harus ditanyakan pada diri sendiri oleh para guru bila

mereka menghadapi tantangan pengajaran dalam lingkungan yang lebih

Inklusi. Pertanyaan tersebut mengenai kesiapan menangani siswa

dengan berbagai jenis kelainan dan tingkat kesukaran yang dirasakan

guru, yang terkadang mereka belum siap untuk menanganinya. Justru

65 Undang-Undang Guru dan Dosen ( UU RI No. 14 Th. 2005 ), (Jakarta: Sinar Grafika,

2011) h. 3 66 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 399.

Page 33: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

60

itu, guru membutuhkan pelatihan dalam penanganan para siswa yang

beragam keaianan. Guru dapat diberikan informasi yang tepat dan

pelatihan agar lebih terbuka dan percaya diri. Komunikasi meruapakan

sifat-sifat utama dalam membentuk kelas yang lebih Inklusi, guru dapat

didorong dari permulaan untuk menyuarakan keragu-raguan dan

keprihatinannya.67

Suatu survey mengungkapkan persepsi guru sekolah dasar

mengenai kebutuhan mereka yang berkenaan dengan inklusi anak-anak

penyandang hambatan. Sebagain besar dari mereka butuh pelatihan

mengenai penanganan siswa berkebutuhan khusus. Ada sebagian kecil

dari mereka yang telah mendapatkan pelatihan menurut Wolery.

Tambahan pada pelatihan, guru membutuhkan jenis-jenis kebutuhan lain

yang mendasar untuk memberikan suasana kelas Inklusi yang akan

menguntungkan seluruh siswa, di antaranya adalah68 :

6. Jumlah siswa di kelas umum harus cukup sedikit sehingga guru

dapat mengenal dan menangani tiap siswa.

7. Para professional yang terlatih baik, harus ada yang dapat

memberikan pengajaran individual dan bantuan lain kepada siswa

dengan dan tanpa hambatan.

67 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 400. 68 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 402.

Page 34: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

61

Ada beberapa ciri atau sifat mengenai guru yang efektif bagi

siswa penyandang hambatan di kelas Inklusi menurut Wong, Kauffman

dan Lloyg69, yaitu :

1. Punya harapan bahwa siswa akan berhasil.

2. Memberikan pengawasan yang sering pada tugas-tugas

sekolah siswa serta memberi umpan balik.

3. Memberikan penjelasan standar-standar, arah-arah, dan

harapan-harapan, pembelajaran.

4. Fleksibel dalam menangani siswa-siswa.

5. Mempunyai komitmen dalam memperlakukan tiap siswa

secara terbuka.

6. Bersikap responsif terhadap pertanyaan dan komentar siswa.

7. Melakukan pendekatan tersusun dengan baik dalam

pengajaran.

8. Bersikap hangat, sabar, humoris kepada siswa.

9. Bersifat teguh dan konsisten dalam pengharapan-

pengharapan.

10. Mempunyai pendekatan-pendekatan pengaturan berbagai

sikap.

69 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 124.

Page 35: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

62

11. Bersikap terbuka dan positif terhadap perbedaan dan kelainan

anak-anak dan orang dewasa.

12. Mempunyai kemauan kerjasama dengan guru pendidikan

khusus dan bersikap responsive dalam membantu orang lain.

13. Mempunyai rasa percaya diri dan kompetensi sebagai

seorang guru.

14. Punya rasa keterlibatan professional yang tinggi serta

pemuasan professional.

Pada akhir tulisan J. David Smith di dalam bukunya tentang

sekolah inklusi menyakini dan selalu percaya bahwa seorang guru yang

penuh kasih adalah salah satu kekuatan yang paling hebat dan positif

yang ada di lingkungan masyarakat. Mengajar apapun dalam keadaan

terbaik adalah suatu perjalanan hati dan suatu kesempatan untuk

menyentuh kehidupan selamanya. Pengajaran yang baik merupakan

suatu investasi yang tidak egois dalam potensi dan martabat siswa.

Orang kadang-kadang melupakan kebenaran yang paling hakiki

mengenai pendidikan bahwa guru adalah jiwa dari proses pendidikan.

Tanyakanlah pada siapapun, tanyakanlah pada diri sendiri, mengenai

kenangan tentang seorang guru yang baik. Maka kenangan itu akan

Page 36: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

63

segera teruji oleh seorang guru yang mencintai pekerjaannya, mencintai

siswa-siswa dan kepercayaan yang dalam pada profesi mengajar.70

B. KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH

1. Pengertian Pendidikan Inklusi

Isu tentang Inklusi menjadi kata-kata baru yang semakin sering di

ucapkan atau ditulis oleh berbagai ilmuan. Pada dunia bisnis dan perbankan

muncul ekonomi Inklusi. Yang mana ditujukan pada kelompok individu, atau

masyarakat yang tidak terlayani dengan pengembangan skim-skim kredit

untuk usaha produktif. Sementara institusi perkreditan semestinya mampu

menjangkau mereka yang sebelumnya belum terlayani. Masalah ketidak

terjangkauan layanan pada kelompok tertentu bisa masuk ke dalam katagori

ekonomi Inklusi begitu juga dalam dunia pendidikan.71

Tentang definisi Pendidikan Inklusi memiliki bermacam-macam

pemahaman dan interpretasi yang berimplikasi pada keberhasilan atau

kegagalan dalam keberlangsungannya. Isu utama dalam pendidikan Inklusi

adalah bahwa pendidikan Inklusi didasarkan pada hak asasi dan model sosial.

Sistem yang harus disesuaikan dengan anak, bukan anak yang menyesuaikan

diri dengan sistem. Ada pelajaran yang dapat diambil dari negara-negara

kurang mampu di selatan yang menekankan bahwa pendidikan Inklusi bukan

70 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan

Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 440. 71 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, (Jakarta: Baduose Media, 2012), h. 3

Page 37: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

64

hanya mengenai sekolah tetapi lebih luas dan mencakup inisiatif dan

keterlibatan masyarakat luas. Pendidikan Inklusi dapat dipandang sebagai

pergerakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip

utama yang berkaitan dengan anak, pendidikan, keberagaman dan

diskriminasi, proses partisipasi dan sumber-sumber yang tersedia. Banyak

diantara hal tersebut merupakan tantangan terhadap status quo, tetapi penting

jika masyarakat dan pembangunan secara keseluruhan ingin menjadi Inklusi

dan memberi manfaat kepada warganya.72

Pendidikan Inklusi merupakan konsep pendidikan yang

merepresentasikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keterbukaan

dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh hak dasar

mereka sebagai warga negara.73 Seperti yang telah di utarakan di atas bahwa

pendidikan Inklusi memiliki penafsiran yang cukup beragam sesuai dengan

sudut pandang pengkaji dalam menguraikan makna substansial dari

pendidikan Inklusi itu sendiri.74

Menurut Stainback, Sekolah Inklusi adalah Sekolah yang menampung

semua siswa di kelas yang sama. Kemudian menurut Staub dan Peck,

mengemukakan bahwa Pendidikan Inklusi adalah Penempatan Anak

Berkebutuhan Khusus (ABK) tingkat ringan, sedang dan berat, secara penuh

72 Drs, Heryanto Amuda, M.Phil, Pedoman Resource Center, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa

Barat Bidang Pendidikan Luar Biasa. Pedoman. h.9 73 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, (Jogjakarta : Ar-Ruzz

Media, 2013), h. 24 74 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 23

Page 38: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

65

di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat

belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan

bagaimanapun gradasinya. Sementara itu, O’Neil menyatakan bahwa

Pendidikan Inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan

agar ABK dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama

teman seusianya.75

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa Pendidikan Inklusi terkandung unsur adanya:

1. Layanan Pendidikan yang mengikutsertakan ABK untuk belajar

bersama dengan anak sebayanya di kelas reguler / biasa terdekat

dengan tempat tinggalnya;

2. Pemberian akses seluas-luasnya kepada semua anak untuk

memperoleh pendidikan yang bermutu;

3. Pemberian layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan semua

anak, Sekolah Inklusi (di Indonesia) adalah sekolah biasa (SB) yang

mengakomodasi semua peserta didik baik anak normal maupun anak

berkebutuhan khusus (cacat fisik, intelektual, sosial, emosional,

mental, cerdas, berbakat istimewa, daerah terpencil/ terbelakang, suku

terasing, korban bencana alam/ bencana sosial/ miskin), mempunyai

perbedaan pangkat, warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa,

75 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 27

Page 39: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

66

budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim,

yatim piatu, anak pedesaan, anak kota, anak terlantar, tuna wisma,

anak terbuang, anak yang terlibat dalam sistem pengadilan remaja,

anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena

dampak narkoba HIV/ AIDS (ODHA), anak nomaden, dll sesuai

dengan kemampuan dan kebutuhannya.76

Ada yang mengartikan bahwa Pendidikan Inklusi adalah berkenaan

dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada semua anak untuk

berhasil di sekolah-sekolah biasa yang berada di lingkungan anak tersebut

bertempat tinggal menurut Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat yang

menangani tentang anak ABK atau Anak berkebutuhan khusus.77 Jadi tidak

jauh berbeda dengan definisi yang sebelumnya akan tetapi lebih diperjelas

kembali bahwa pendidikan Inklusi itu menempatkan anak normal dan anak

berkebutuhan khusus dalam satu kelas yang sama untuk mendapatkan hak

yang sama sebagai warga negara. Di dalam Undang-Undang Republik

Indonesia, baik undang-undang dasar maupun undang-undang pendidikan,

secara jelas disebutkan bahwa pendidikan harus akses bagi semua anak.78

76 http://www.pokjaInklusibojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-Inklusi, diakses pada

tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 09.50 WIB 77 Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Bidang Pendidikan Luar Biasa. Pedoman, Pedoman

Resource Center, h. 21 78 Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Bidang Pendidikan Luar Biasa. Pedoman, M.Phil,

Pedoman Resource Center,. h.18

Page 40: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

67

2. Landasan Pendidikan Inklusi

Penerapan pendidikan Inklusi memiliki beberapa landasan sebagai

azas dalam pelaksanaannya terutama landasan untuk pelaksanaannya di

Indonesia. Adapun landasan tersebut yaitu : landasan filosofis, yuridis,

pedagogis dan empiris.79

1. Landasan filosofis utama penerapan pendidikan Inklusi di Indonesia

adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang

didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhinneka

Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan

manusia, baik kebhinekaan vertikal maupun horizontal, yang

mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebhinekaan

vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik,

kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri dan

sebagainya. Sedangkan kebhinekaan horizontal diwarnai dengan

perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal,

daerah, afiliasi, politik dan sebagainya. Bertolak dari filosofi Bhinneka

Tunggal Ika, kecacatan dan keberbakatan hanyalah satu bentuk

kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya atau

agama. Kecacatan dan keberbakatan tidak memisahkan peserta didik

satu dengan lainnya, seperti halnya perbedan suku, bahasa, budaya

79Mengenal Pendidikan Inklusi, www.ditplb.or.id diakses pada tanggal 6 Maret 2013.

http://nizhathecheerfulgirl.blogspot.com/2014/03/pendidikan-Inklusi-sejarah-tujuan-dan.html

Page 41: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

68

atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan.

Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan

interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih

asah, silih asih dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya

yang dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun yang menyimpulkan Landasan Filosofis dari Pendidikan

Inklusi pada intinya ada pada “Bhineka Tunggal Ika”. Filsafat ini

wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik vertikal maupun

horizontal yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka

bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan, kecerdasan,

fisik, finansial, pangkat, kemampuan, pengendalian diri dsb.

Kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras,

bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah afiliasi politik, dsb.

Bertolak dari filosofis tersebut maka, kecacatan dan keberbakatan

hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras,

bahasa, budaya dan agama. Artinya dari individu kecacatan pasti

ditemukan keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu

berbakat, pasti terdapat kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk

di dunia ini yang sempurna. Sistem Pendidikan harus memungkinkan

Page 42: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

69

terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam

sehingga mendorong sikap demokratis dan penghargaan asas HAM. 80

2. Landasan Yuridis Internasional penerapan pendidikan Inklusi adalah

Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan

sedunia. Deklarasi ini adalah penegasan kembali atas deklarasi

lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993

tentang kesempatan yang sama bagi individu penyandang cacat

memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan

yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama

memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa

memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada

mereka. Di Indonesia, penerapan pendidikan Inklusi dijamin oleh UU

No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam

penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk

peserta didik penyandang cacat atau memiliki kecerdasan luar biasa

diselenggarakan secara Inklusi atau berupa sekolah khusus. Adapun

yang menyimpulkan Landasan Yuridis tentang Pendidikan Inklusi

Adalah terdapat pada Deklarasi Dakar tentang Pendidikan Untuk

Semua pada tahun 2000, yaitu81 :

80 http://www.pokjaInklusibojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-Inklusi, diakses pada

tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 09.50 WIB 81 http://www.pokjaInklusibojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-Inklusi, diakses pada

tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 09.50 WIB

Page 43: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

70

1. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan

pendidikan anak dini usia, terutama bagi anak-anak yang sangat

rawan dan kurang beruntung

2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya

anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang

termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan

pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik.

3. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan

orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-

program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai.

4. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang

dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan,

dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi

semua orang dewasa.

5. Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan

menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender

dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus

jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi

dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik

6. Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin

keunggulannya, sehingga hasil belajar yang diakui dan terukur

Page 44: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

71

dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan

kecakapan hidup (life skills) yang penting.

7. Seruan International Education For All (EFA) yang

dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan global hasil

World Education Forum di Dakar, Senegal tahun 2000,

penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015.

3. Landasan pedagogis, seperti yang dijelaskan pada pasal 3 UU No. 20

Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta

didik penyandang cacat dibentuk menjadi warga negara yang

demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu

menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini

mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman

sebayanya di sekolah-sekolah luar biasa. Betapapun kecilnya, mereka

harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.

4. Landasan Empiris ditunjukkan melalui penelitian tentang Inklusi yang

telah banyak dilakukan negara-negara barat sejak tahun 1980-an,

namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National

Academy Of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya, menunjukkan

Page 45: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

72

bahwa klasifikasi dan penempatan anak penyandang cacat di sekolah,

kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini

merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya

diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller,

Holtzman dan Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan

bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak

berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat

heterogen (Baker, Wang dan Walberg, 1994 - 1995).

Pernyataan Salamanca Tahun 1994 diatas merupakan perluasan tujuan

Education For All yang melandasi pemerataan kesempatan belajar bagi anak

berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan

pemerintah yang mendasar untuk menggalakkan pendekatan pendidikan

Inklusi. Melalui pendidikan Inklusi ini diharapkan sekolah-sekolah reguler

dapat melayani semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan

pendidikan khusus. Dalam menerapkan pendidikan Inklusi, sekolah reguler

memerlukan dukungan sekolah luar biasa dan Sentra PK/PLK sebagai Pusat

Sumber. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003

tanggal 20 Januari 2003 perihal pendidikan Inklusi : Menyelenggarakan dan

Page 46: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

73

mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat)

sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, SMK.82

3. Latar Belakang Adanya Pendidikan Inklusi

Cikal bakal lahirnya pendidikan Inklusi bisa dikatakan berawal dari

sebuah pengamatan terhadap sekolah luar biasa berasrama dan institusi

berasrama lainnya yang menunjukkan bahwa anak maupun orang dewasa

yang tinggal disana mengembangkan suatu pola perilaku yang biasanya

ditunjukkan oleh orang yang kekurangan. Perilaku-perilaku ini mencakup

kepasifan, stimulasi diri, perilaku repetitive stereotip dan kadang-kadang

perilaku perusakan diri. Anak penyandang cacat yang meninggalkan sekolah

luar biasa berasrama seringkali tidak merasa betah tinggal dengan keluarga

nya di komunitas di rumahnya. Ini karena setelah bertahun-tahun

disegregasikan / dipisahkan, ia dan keluarganya serta komunitasnya akan

tumbuh menjadi orang asing satu sama lainnya.

Banyak orang yang kemudian benar-benar merasa situasi tersebut tidak

benar. Orang tua, guru dan orang-orang yang mempunyai kesadaran politik

pun mulai memperjuangkan hak-hak semua anak pada umumnya dan hak

anak serta orang dewasa penyandang cacat pada khususnya. Salah satu tujuan

utamanya adalah untuk memperoleh hak untuk berkembang di dalam sebuah

lingkungan yang sama dengan orang lain. Mereka menyadari akan pentingnya

82 http://www.pokjaInklusibojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-Inklusi, diakses pada

tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 09.50 WIB

Page 47: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

74

interaksi dan komunikasi sebagai dasar bagi semua pembelajaran. Ini

merupakan awal pembaharuan menuju normalisasi yang akhirnya mengarah

pada proses Inklusi.83

Legitimasi awal bagi pelaksanaan pendidikan Inklusi dalam dunia

internasional sendiri tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi pada

tahun 1948. Konferensi ini mengemukakan gagasan mengenai Pendidikan

untuk semua (Education for AII/EFA) dimana dinyatakan bahwa pendidikan

dasar harus wajib dan bebas biaya bagi setiap anak. Konferensi dunia yang

khusus membahas EFA kemudian baru diadakan pada tahun 1990 dan

berlangsung di Jomtien, Thailand. Para peserta menyepakati pencapaian

tujuan pendidikan dasar bagi semua anak dan orang dewasa pada tahun 2000.

Konferensi Jomtien merupakan titik awal dari pergerakan yang kuat bagi

semua negara untuk memperkuat komitmen terhadap EFA.

Dalam pergerakan EFA, anak dan orang dewasa penyandang cacat

adalah salah satu kelompok target. Oleh karena itu, dunia internasional

kemudian mengadakan konferensi yang secara khusus membahas pendidikan

kebutuhan khusus. Konferensi ini pertama kali diadakan di Salamanca pada

tahun 1994 dan yang kedua diadakan di Dakar pada tahun 2000. Keduanya

dihadiri oleh Indonesia dalam konferensi dunia Salamanca, pendidikan Inklusi

ditetapkan sebagai prinsip dalam memenuhi kebutuhan belajar kelompok-

83 Berit H. Johnsen dan Miriam D. Skjorten, Pendidikan Kebutuhan Khusus – Sebuah

Pengantar. (Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 2003). Hal 35

Page 48: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

75

kelompok yang kurang beruntung, terpinggirkan dan terkucilkan. Upaya-

upaya tindak lanjut bagi pendidikan kebutuhan khusus hingga sekarang

diamanatkan kepada UNESCO.

Di Indonesia, pendidikan Inklusi sebenarnya telah dirintis sejak tahun

1986 namun dalam bentuk yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan tersebut

dinamakan Pendidikan Terpadu dan disahkan dengan Surat Keputusan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986 tentang

Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada pendidikan terpadu,

anak penyandang cacat juga ditempatkan di sekolah umum, namun mereka

harus menyesuaikan diri pada sistem sekolah umum. Sehingga mereka harus

siap dibuat “siap” untuk diintegrasikan ke dalam sekolah umum. Apabila ada

kegagalan pada anak maka anak dipandang yang bermasalah. Sedangkan yang

dilakukan oleh pendidikan Inklusi adalah sebaliknya, sekolah dibuat siap dan

menyesuaikan diri terhadap kebutuhan anak penyandang cacat. Apabila ada

kegagalan pada anak maka sistem dipandang yang bermasalah.84

Menurut data Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa,

Kemendiknas awal tahun 2011 terdapat 624 sekolah Inklusi baik SD,SMP,

dan SMA. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan Inklusi di Indonesia

84 Kebijakan Pemerintah Dalam Pendidikan Inklusi, (Departemen Pendidikan Nasional,

Jakarta 2003).

Page 49: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

76

masih menyisakan banyak persoalan terutama yang berkaitan dengan masih

kurangnya kesadaran dari banyak pihak.85

Beberapa peneliti kemudian melakukan meta analisis (analisis lanjut)

atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh

Carlberg dan Kavale pa tahun 1980 terhadap 50 buah penelitian, Wang dan

Baker pada tahun 1985 - 1986 terhadap 11 buah penelitian dan Baker pada

tahun 1994 terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan

Inklusi berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun

sosial anak penyandang cacat dan teman sebayanya.

4. Tujuan Pendidikan Inklusi

Hakekat pendidikan adalah memanusiakan manusia, mengembangkan

potensi dasar peserta didik agar berani dan mampu menghadapi problema

yang dihadapi tanpa rasa tertekan, mampu, dan senang meningkatkan

fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi. Setiap orangtua mengharapkan

anaknya terlahir dalam kondisi yang normal secara fisik maupun mental.

Namun dalam kenyataan tidak demikian karena kondisi fisik dan mental yang

beragam sehingga mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengikuti

pendidikan secara normal.86

85Suparjo, Pendidikan Inklusi, http://apsijbi2013.blogspot.com/2013/01/pendidikan-Inklusi-

suparjomphil_16.html diakses pada 6 Maret 2015. 86 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, (Jakarta: Baduose Media, 2012), h. 11

Page 50: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

77

Menurut Gargiulo mengemukakan bahwa tujuan pendidikan inklusi

adalah memberikan intervensi bagi anak berkebutuhan khusus sedini mungkin

agar87 :

1. Untuk meminimalkan keterbatasan kondisi pertumbuhan dan

perkembangan anak dan untuk memaksimalkan kesempatan anak

terlibat dalam aktivitas yang normal.

2. Jika memungkinkan untuk mencegah terjadinya kondisi yang lebih

parah dalam ketidak teraturan perkembangan sehingga menjadi anak

yang tidak berkemampuan.

3. Untuk mencegah berkembangnya keterbatasan kemampuan lainnya

sebagai hasil yang diakibatkan oleh ketidakmampuan utamanya.

Adapun Beberapa Tujuan dari Pendidikan Inklusi lainnya adalah

sebagai berikut88:

1. Membangun kesadaran dan konsensus pentingnya Pendidikan Inklusi

sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif.

2. Melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis

situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi.

3. Semua anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi alasan mengapa

mereka tidak sekolah.

87 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, (Jakarta: Baduose Media, 2012), h. 13 88 http://www.pokjaInklusibojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-Inklusi, diakses pada

tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 09.50 WIB

Page 51: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

78

4. Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial, dan

masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.

5. Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring

mutu pendidikan bagi semua anak.

Selain itu, Tujuan pendidikan Inklusi menurut Raschake dan Bronson,

terbagi menjadi 4 yakni bagi anak berkebutuhan khusus, bagi pihak sekolah,

bagi guru, dan bagi masyarakat, lebih jelasnya adalah sebagai berikut:

1. Bagi anak berkebutuhan khusus

a. Anak akan merasa menjadi bagian dari masyarakat pada umumnya.

b. Anak akan memperoleh bermacam-macam sumber untuk belajar

dan bertumbuh.

c. Meningkatkan harga diri anak.

d. Anak memperoleh kesempatan untuk belajar dan menjalin

persahabatan bersama teman yang sebaya.

2. Bagi pihak sekolah

a. Memperoleh pengalaman untuk mengelola berbagai perbedaan

dalam satu kelas.

b. Mengembangkan apresiasi bahwa setiap orang memiliki keunikan

dan kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya.

c. Meningkatkan kepekaan terhadap keterbatasan orang lain dan rasa

empati pada keterbatasan anak.

Page 52: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

79

d. Meningkatkan kemampuan untuk menolong dan mengajar semua

anak dalam kelas

3. Bagi guru

a. Membantu guru untuk menghargai perbedaan pada setiap anak dan

mengakui bahwa anak berkebutuhan khusus juga memiliki

kemampuan

b. Menciptakan kepedulian bagi setiap guru terhadap pentingnya

pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.

c. Guru akan merasa tertantang untuk menciptakan metode-metode

baru dalam pembelajaran dan mengembangkan kerjasama dalam

memecahkan masalah.

d. Meredam kejenuhan guru dalam mengajar.

4. Bagi masyarakat

a. Meningkatkan kesetaraan sosial dan kedamaian dalam masyarakat.

b. Mengajarkan kerjasama dalam masyarakat dan mengajarkan setiap

anggota masyarakat tentang proses demokrasi.

c. Membangun rasa saling mendukung dan saling membutuhkan antar

anggota masyarakat.

Ada beberapa Alasan juga, mengenai alasan diterapkannya Pendidikan

Inklusi, diantaranya adalah untuk :

Page 53: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

80

1. Semua anak mempunyai hak yang sama untuk tidak di-diskriminasi-

kan dan memperoleh pendidikan yang bermutu.

2. Semua anak mempunyai kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa

melihat kelainan dan kecacatannya.

3. Perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu

pembelajaran bagi semua anak.

4. Sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merespon dari

kebutuhan pembelajaran yang berbeda.89

Banyak orang yang mempertanyakan mengapa harus melalui

pendidikan Inklusi. Berbagai pertanyaan itu kini sudah mulai terjawab.

Keistimewaan pendidikan Inklusi itu diantaranya bagi anak berkebutuhan

khusus, akan terhindar dari label negatif. Hal ini karena anak-

anak difabel bisa bersosialisasi secara luas di sekolah umum yang mempunyai

tingkat keragaman yang berbeda-beda. Selain itu menurut Raharjo, memiliki

kesamaan menyesuaikan diri. Dengan bersekolah di sekolah umum,

siswa difabel mempunyai kesempatan untuk bersosialisasi dengan civitas

akademika sekolah secara lebih luas, dan mempunyai lebih banyak teman.

Dengan demikian kesempatan untuk dapat menyesuaikan diri dengan

89 http://www.pokjaInklusibojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-Inklusi, diakses pada

tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 09.50 WIB

Page 54: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

81

lingkungan dapat optimal, dan mempunyai tingkat kematangan sosial yang

lebih baik dari pada bersekolah di sekolah eksklusi. 90

Keberadaan sekolah Inklusi juga akan memberikan kesan pada orang

tua dan masyarakat bahwa anak difabel pun mampu seperti anak pada

umumnya, dan akan menjadi pegangan diri yaitu dengan belajar secara

kompetitif, eksistensi anak difabel akan teruji dalam persaingan secara sehat

denga anak pada umumnya. Bagi anak yang tanpa berkebutuhan khusus akan

belajar mengenai keterbatasan tertentu. Ketika siswa belajar bersama dengan

temannya yang mempunyai kemampuan berbeda, ia akan belajar tentang

orang lain. Ia akan mempunyai pandangan bahwa setiap orang memiliki

kelebihan dan kekurangan, yang dari sana ia akan belajar memahami dan

bagaimana bersikap dan berteman dengan orang difabel. Kemampuan dan

pengalaman seperti ini sulit didapatkan oleh siswa yang bersekolah reguler

yang tidak mengembangkan pendidikan Inklusi. Selain itu dapat

mengembangkan keterampilan sosial. Siswa yang normal akan

mengembangkan pengetahuan dan pengalamannya bersekolah

bersama difabel dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan sekolah yang

Inklusi secara langsung maupun tidak langsung memberikan pendidikan

90http://nizhathecheerfulgirl.blogspot.com/2014/03/pendidikan-Inklusi-sejarah-tujuan-

dan.html, diakses pada tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 11.50 WIB

Page 55: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

82

kepada siswa bagaimana ia berinteraksi, bersikap dan bertingkah laku dengan

masyarakat yang sangat heterogen.91

5. Karakteristik Pendidikan Inklusi

Hakikat pendidikan Inklusi sesungguhnya berupaya memberikan

peluang sebesar-besarnya kepada setiap anak khususnya di Indonesia untuk

memperoleh pelayanan pendidikan yang terbaik dan memadai demi

membangun masa depan bangsa. Secara konseptual, pendidikan Inklusi

merupakan sistem layanan pendidikan luar biasa (PLB) yang

mempersyaratkatkan agar semua anak tanpa terkecuali dilayani di sekolah

umum terdekat bersama teman seusianya. Sistem kategorisasi pendidikan

yang terpisah antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal pada

umumnya, sesungguhnya telah mengingkari cita-cita luhur bangsa Indonesia

yang menghendaki terwujudnya kecerdasan pada setiap anak bangsa.

Berkaitan dengan layanan penuh bagi anak berkebutuhan khusus,

karakter pendidikan Inklusi tentu saja sangat terbuka dan menerima tanpa

syarat anak Indonesia yang berkeinginan kuat untuk mengembangkan

kreativitas dan keterampilan mereka dalam satu wadah yang sudah

direncanakan dengan matang. Pendidikan Inklusi berbeda dengan sistem

pendidikan sebelumnya yang terkesan memusatkan perhatian pada anak tanpa

mempedulikan sistem pengajaran yang digunakan sehingga secara tidak

91http://nizhathecheerfulgirl.blogspot.com/2014/03/pendidikan-Inklusi-sejarah-tujuan-

dan.html, diakses pada tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 11.50 WIB

Page 56: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

83

langsung telah mengubur impian untuk mendapatkan akses dan jaminan mutu

pendidikan yang sesuai dengan landasan ataupun ideologi pendidikan Inklusi

itu sendiri. 92

Karakter utama dalam dalam penerapan pendidikan Inklusi tidak bisa

lepas dari keterbukaan tanpa batas dan lintas latar belakang yang memberikan

kesempatan seluas-luasnya bagi setiap anak yang membutuhkan layanan

pendidikan antidiskriminasi. Pelayanan pendidikan tanpa batas dan lintas latar

belakang adalah landasan fundamental dari pendidikan Inklusi yang

berkonsentrasi dalam memproyeksikan pendidikan untuk semua.

Pendidikan Inklusi memiliki empat karakteristik makna, antara lain93 :

2. Proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara

merespons keragaman individu

3. Mempedulikan cara-cara untuk membutuhkan hambatan-hambatan

anak dalam belajar

4. Anak kecil yang hadir di sekolah, berpartisipasi dan mendapatkan hasil

belajar yang bermakna dalam hidupnya

5. Diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal,

eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.

92 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 43 93 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 44

Page 57: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

84

6. Prinsip Dasar Pendidikan Inklusi

Prinsip pendidikan Inklusi berkaitan langsung dengan jaminan akses

dan peluang bagi semua anak untuk memperoleh pendidikan tanpa

memandang latar belaknag kehidupan mereka. Jaminan akses dan peluang

merupakan catatan penting yang harus dipertimbangkan dalam menolak anak

berkebutuhan khusus yang hendak belajar bersama dengan anak normal

lainnya. Bagi anak berkebutuhan khusus, akses pendidikan formal sangat

mereka impikan demi mendapatkan layanan pendidikan terbaik seperti anak

normal pada umumnya. Peluang untuk menikmati pendidikan formal seperti

sebuah mimpi yang tak mungkin menjadi kenyataan karena mereka pasti

merasa terpinggirkan sebagai bagian dari masyarakat. 94

Sekolah Inklusi harus mengenal dan merespons kebutuhan yang

berbeda-beda dari para anak didiknya, mengakomodasi berbagai macam gaya

dan kecepatan belajarnya, dan menjamin diberikannya pendidikan yang

berkualitas kepada semua anak didik melalui penyusunan kurikulum yang

tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang tepat,

pemanfaatan sumber dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan kemitraan

dengan masyarakat sekitarnya. Pedidikan Inklusi merupakan alat yang paling

efektif untuk membangun solidaritas antara anak penyandang kebutuhan

khusus dengan teman-teman sebayanya.

94 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 48

Page 58: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

85

Pada intinya prinsip dasar pendidikan Inklusi harus sejalan dengan

rekomendasi dan dokumen internasional yang menegaskan perlunya

memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak berkebutuhan

khusus agar tidak diabaikan dalam lingkungan pendidikan formal. Penegasan

tentang pentingnya pendidikan Inklusi juga harus sejalan dengan deklarasi

hak asasi manusia yang menjamin seluruh anak di dunia untuk memperoleh

haknya dalam bidang pendidikan tanpa terkecuali. Jika pendidikan Inklusi

sudah sejalan dengan deklarasi hak asasi manusia mka akan terjunjung tinggi

nilai-nilai kemanusiaaan sebagai basis utama dalam membela anak

berkelainan atau penyandang cacat. Ini karena, pendidikan Inklusi lahir atas

dasar prinsip bahwa layanan sekolah seharusnya diperuntukkan untuk semua

peserta didik tanpa menghiraukan perbedaan yang ada, baik siswa dengan

kondisi kebutuhan khusus, perbedaan sosial, emosional, kultural, maupun

bahasa. 95

5. ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS MENURUT J. DAVID SMITH

1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus

yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada

ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.96 Selain sebutan anak

95 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 50 96 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, (Jakarta: Baduose Media, 2012), h. 25.

Page 59: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

86

berkebutuhan khusus, mereka juga terkadang disebut anak luar biasa karena

mereka diberi tempat khusus dalam menempuh pendidikan yaitu sekolah luar

biasa atau SLB, anak luar biasa adalah anak yang mempunyai sesuatu yang

luar biasa yang secara signifikan membedakannya dengan anak-anak seusia

pada umumnya. Keluarbiasaan yang dimiliki anak tersebut dapat berupa

sesuatu yang positif, dapat pula yang negatif. Dengan ini, keluarbiasaaan itu

dapat berada di atas rata-rata anak normal dapat pula berada di bawah rata-

rata anak normal. Oleh karena itu, berbicara tentang anak luar biasa atau anak

berkebutuhan khusus bukan hanya anak-anak yang mempunyai kekurangan,

tetapi juga anak-anak yang mempunyai kelebihan. Setiap orang mempunyai

kekurangan dan kelebihan, namun bagi anak berkebutuhan khusus,

kekurangan atau kelebihan yang sering disebut penyimpangan tersebut sangat

signifikan sehingga menunjukkan perbedaan yang sangat jelas dengan anak-

anak normal pada umumnya.97

Istilah anak luar biasa digunakan sebagai istilah umum untuk semua

anak yang mempunyai keluarbiasaan, dan untuk menggantikan berbagai

istilah yang selama ini digunakan, seperti anak cacat, anak berkelainan atau

anak lemah mental. Di dalam bahasa inggris, istilah ini bahkan lebih banyak,

seperti handicapped children, impaired children, disable children, dan

retarded children. penggunaan istilah ini masih menimbulkan silang

97 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, (Jakarta: Universitas Terbuka,

2007) Cet. IX, h. 1.3-1.4

Page 60: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

87

pendapat, bahkan di Indonesia sendiri belum ada kesepakatan tentang

penggunaan istilah baku. Istilah anak penyandang cacat, anak berkelainan,

anak luar biasa, masih dipakai secara bergantian. Namun dari nama sekolah

yang di khususkan bagi anak-anak ini, yaitu sekolah luar biasa (SLB). Dapat

disimak bahwa istilah luar biasa memang mewakili semua anak yang

mempunyai penyimpangan dari anak normal, baik penyimpangan tersebut

bersifat fisik, tingkah laku maupun kemampuan. 98

Penamaan istilah dan konsep anak berkebutuhan khusus berkembang

seiring dengan munculnya paradigma baru pendidikan Inklusi, yang mewarnai

perjalanan setiap anak dalam menghadapi segala pelabelan negatif yang

diarahkan kepada mereka. Istilah anak berkebutuhan khusus bukan berarti

hendak menggantikan anak penyandang cacat atau anak luar biasa, melainkan

memiliki pandangan yang lebih luas dan positif bagi anak dengan

keberagaman yang berbeda. Keberagaman dalam setiap pribadi anak berkaitan

dengan perbedaan kebutuhan yang sangat esensial dalam menunjang masa

depan, terutama kebutuhan untuk memperoleh pendidikan yang layak.

Disebutkan kembali pada intinya anak berkebutuhan khusus adalah

mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau permanen sehingga

membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens. Kebutuhan mungkin

disebabkan oleh kelainan atau memang bawaan dari lahir atau karena masalah

tekanan ekonomi, politik, sosial, emosional, dan perilaku yang menyimpang.

98 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, h. 1.4

Page 61: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

88

Disebut kebutuhan khusus karena anak tersebut memiliki kelainan dan

keberbedaan dengan anak normal pada umumnya. 99

2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Sesuai dengan definisi anak yang masuk katagori disabilitas yang

dikemukakan oleh IDEA (singkatan dari The Individual With Disabilities

Education Act), anak yang masuk katagori disabilitas / berkebutuhan khusus

terbagi atas dua kelompok. Pertama katagori dimana anak-anak masuk ke

dalam persoalan yang terkait dengan tidak normalnya anak-anak tumbuh dan

berkembang. Dapat di nilai dari berbagai unsur dan pendekatan atas

keberfungsian organ tubuh, seperti mata, telinga, mental, dan kemampuan

berbicara. Katagori yang pertama ini merupakan kelompok anak-anak yang

termasuk membutuhkan pendidikan dengan terminologi Pendidikan

Berkebutuhan Khusus. Pada saat bersamaan masuk juga kelompok anak-anak

yang secara lahir, tumbuh dan berkembang membawa berbagai keganjilan,

diantaranya autism, superaktif. Sementara kelompok ke dua adalah anak-anak

yang masuk ke dalam katagori bukanlah memiliki tanda-tanda fisik masuk

pada kelompok pertama. Mereka lahir dan besar secara normal baik fisik

maupun mentalnya, namun bermasalah dari kesempatan memperoleh

pendidikan. Ini disebabkan karena konsekwensi geografis, diantaranya tempat

tinggal yang jauh atau tidak layak, berasal dari keluarga miskin, atau

99 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 138

Page 62: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

89

bermasalah dari sisi keberadaan rumah tangga. Lebih spesifiknya, anak-anak

yang lahir, tumbuh dan berkembang pada katagori marginal. Mereka ini

termasuk mengalami permasalahan Pendidikan layanan Khusus.100

Jenis keluarbiasaan, sebutan lain dari disabilitas yang memerlukan

pendidikan berkebutuhan khusus, dapat dilihat dari bidang yang mengalami

penyimpangan dan dapat pula dilihat dari arah penyimpangan. Bidang

penyimpangan berkaitan dengan aspek dan/atau penyebab terjadinya

penyimpangan, sedangkan arah penyimpangan, mengacu kepada arah yang

berawal dari kondisi normal (ke atas atau ke bawah normal). Kategori

keluarbiasaan berdasarkan jenis penyimpangan, menurut Mulyono

Abdulrachman dibuat untuk keperluan pembelajaran. Kategori tersebut adalah

sebagai berikut101 :

1. Kelompok yang mengalami penyimpangan dalam bidang intelektual,

terdiri dari anak yang luar biasa cerdas (intellectually superior) dan

anak yang tingkat kecerdasannya rendah atau yang disebut tunagrahita.

2. Kelompok yang mengalami penyimpangan atau keluarbiasaan yang

terjadi karena hambatan sensoris atau indra, terdiri dari anak tunanetra

dan tunarungu.

3. Kelompok anak yang mendapat kesulitan belajar dan gangguan

komunikasi.

100 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, (Jakarta: Baduose Media, 2012), h. 5-6 101 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, h. 1.4

Page 63: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

90

4. Kelompok anak yang mengalami penyimpangan perilaku, yang terdiri

dari anak tunalaras dan penyandang gangguan emosi.

5. Kelompok anak yang mempunyai keluarbiasaan/penyimpangan ganda

atau berat dan sering disebut sebagai tunaganda.

Dilihat dari arah penyimpangan, jenis keluarbiasaan dapat dibagi

menjadi dua kategori, yaitu: keluarbiasaan yang berada di atas normal, dan

keluarbiasaan yang berada di bawah normal. Keluarbiasaan di atas normal

merupakan kondisi seseorang yang melebihi batas normal dalam bidang

kemampuan. Anak atau orang yang mempunyai kelebihan seperti ini, disebut

sebagai anak berbakat atau dalam bahasa asing disebut sebagai gifted and

talented person. Contohnya, anak usia dua tahun yang sudah mampu

menghafal nama presiden dari 100 negara atau anak usia lima tahun sudah

mampu menamatkan SMP, bahkan mungkin ada anak usia enam tahun sudah

duduk di perguruan tinggi Semua ini tentu merupakan contoh yang ekstrem

dari keluarbiasaan yang berada di atas normal.

Di indonesia, ternyata keluarbiasaan seperti ini, merupakan satu

kebanggaan sehingga anak-anak yang dianggap luar biasa tersebut

dikumpulkan dalam satu sekolah, yang disebut sebagai sekolah unggul atau

kelas unggul. Beberapa SMP dan SMU mencoba menjaring anak-anak yang

dianggap mempunyai kemampuan di atas normal, kemudian mengumpulkan

anak-anak tersebut dalam satu kelas. Tujuan utamanya tentu agar mampu

memberi layanan yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut sehingga

Page 64: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

91

potensinya dapat berkembang secara optimal. Bersaing dengan teman-teman

yang mempunyai kemampuan hampir sama tentu merupakan tantangan

tersendiri bagi anak-anak ini. Namun, tidak jarang terjadi, anak yang

berkemampuan luar biasa menjadi frustasi yang akhirnya berujung pada

timbulnya masalah sehingga harus mendapat penanganan khusus. Oleh

karena itu, masalah yang dihadapi anak luar biasa yang berada di atas normal

ini, tidak jauh berbeda dengan masalah yang dihadapi anak luar biasa yang

berada di bawah normal.

Jika keluarbiasaan di atas normal hanya dikenal dengan satu istilah

maka keluarbiasaan di bawah normal sangat beragam. Jenis-jenis

keluarbiasaan di bawah normal adalah; (1) tunanetra, (2) tunarungu, (3)

gangguan komunikasi, (4) tunagrahita, (5) tunadaksa, (6) tunalaras, (7)

berkesulitan belajar, dan (8) tunaganda.102

1. Tunanetra

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan.

Tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu : buta total

(Blind) dan low vision. Definisi tunanetra menurut kaufman dan hallahan

adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi

penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki

penglihatan. Tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan

maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu

102 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, h. 1.4

Page 65: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

92

indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus

diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra

adalah media yang di gunakan harus bersifat taktual dan bersuara,

contohnya adalah penggunaan tulisan baraille, gambar timbul, benda

model dan benda nyata. Sedangkan media yang bersuara adalah tape

recorder dan lainnya. 103

2. Tunarungu dan Tunawicara

Istilah tunarungu dikenalkan bagi mereka yang mengalami gangguan

pendengaran, mulai dari yang ringan sampai dengan yang berat.

Gangguan ini dapat terjadi sejak lahir atau bawaan lahir, dapat juga

terjadi setelah kelahiran. Istilah lainnya bagi mereka yang mengalami

gangguan pendengaran adalah anak tuli. Namun, sebenarnya istilah anak

tuli ini hanya merupakan salah satu klarifikasi dari gangguan

pendengaran. Anak tunarungu memerlukan bantuan khusus, baik dalam

kehidupan sehari-hari maupun dalam pendidikan.104

Anak tunarungu memiliki hambatan dalam pendengaran individu dan

biasanya memiliki hambatan dalam berbicara juga sehingga mereka biasa

disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan

bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional

sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. Saat ini

103 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, h. 26. 104 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, h. 1.6

Page 66: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

93

dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara

berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan

bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami

konsep dari sesuatu yang abstrak. 105

3. Tunagrahita

Tunagrahita atau sering dikenal dengan cacat mental adalah kemampuan

mental yang berada di bawah normal. Tolok ukur yang sering dikenalkan

untuk ini adalah tingkat kecerdasan atau IQ. Anak yang secara signifikan

mempunyai IQ di bawah normal dikelompokkan sebagai anak

tunagrahita. Anak tunagrahita dapat dikelompokkan menjadi tunagrahita

ringan, sedang, berat dan sangat berat. Meskipun yang menonjol dalam

hal ini adalah kemampuan mental yang di bawah normal, namun kondisi

ini berpengaruh pada kemampuan lainnya, seperti kemampuan untuk

bersosialisasi dan menolong diri sendiri.106 Anak tunagrahita adalah

individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada di bawah rata-

rata dan disertai dengan masa perkembangan. Klasifikasi anak tunagrahita

berdasarkan pada tingkat IQ107 ;

a. Tunagrahira ringan (IQ : 51-70)

b. Tunagrahita sedang (IQ : 36-51)

c. Tunagrahita berat (IQ : 20-35)

105 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, h. 27. 106 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, h. 1.9 107 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, h. 28.

Page 67: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

94

d. Tunagrahita sangat berat (IQ : dibawah 20)

Pembelajaran bagi anak tunagrahita lebih dititik beratkan pada

kemampuan bina diri dan sosialisasi.

4. Tunadaksa

Tunadaksa secara harfiyah berarti cacat fisik. Oleh karena kecacatan ini

anak tidak dapat menjalankan fungsi fisik secara normal. Anak yang

kakinya tidak normal karena kena folio atau yang anggota tubuhnya

diamputasi karena satu penyakit dapat dikelompokkan pada anak

tunadaksa.108 Anak tunadaksa adalah yang memiliki gangguan gerak yang

disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang

bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy,

amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah

ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetapi

masih dapat ditingkatkan melalui terapi, gangguan sedang yaitu memiliki

keterbatasan motorik dan mengalami ganguuan koordinasi sensorik,

sedangkan gangguan berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam

gerakan fisik dan mampu mengontrol gerakan fisik.109

5. Tunalaras

Tunalaras adalah indvidu yang mengalami hambatan dalam

mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Anak tunalaras biasanya

108 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, h. 1.6 109 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, h. 28.

Page 68: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

95

menunjukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan normal dan

aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena

faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan

sekitar. 110

Gangguan yang biasanya muncul pada anak-anak ini berupa gangguan

perilaku, seperti suka menyakiti diri sendiri, suka menyerang teman, dan

bentuk penyimpangan perilaku lain. Anak-anak autistik juga termasuk

dalam kelompok anak tunalaras, anak autistik yaitu anak-anak yang

menunjukkan perilaku menyimpang yang membahayakan baik bagi

dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

6. Kesulitan belajar

Anak berkesulitan belajar adalah yang memiliki gangguan pada satu atau

lebih kemampuan dasar psikologi yang mencakup pemahaman dan

penggunaan bahasa, berbicara, dan menulis yang dapat memengaruhi

kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan

karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia,

dan afasia perkembangan. Individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-

rata atau di atas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik,

gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan

keterlambatan perkembangan konsep. 111

110 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, h. 28. 111 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, h. 29

Page 69: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

96

Kesulitan belajar yang dialami anak bukan karena kelainan yang

dideritanya karena anak-anak ini pada umumnya mempunyai tingkat

kecerdasan yang normal, namun tidak mampu mencapai prestasi yang

seharusnya karena mendapat kesulitan belajar. 112

6. PENDIDIKAN INKLUSI BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

MENURUT J. DAVID SMITH

1. Pendidikan Inklusi Bagi Anak Tunalaras

Keberagaman anak yang di anggap memiliki kebutuhan khusus dapat

diidentifikasi melalui berbagai cara, semisal mencermati sikap, perilaku, dan

penelitian melalui observasi langsung kepada anak yang dianggap memiliki

kelainan. Beberapa tipe anak berkebutuhan khusus di sekolah Inklusi itu

sendiri ada yang mudah diidentifikasi, seperti anak-anak yang mengalami

hambatan fisik, tetapi banyak juga yang tidak mudah untuk diidentifikasi,

seperti anak dengan kesulitan belajar spesifik, anak berbakat istimewa, dan

anak dengan gangguan emosi dan perilaku atau tunalaras. Keberadaan mereka

di sekolah terkadang tanpa didasari sebelum sekolah menyatakan secara

formal sebagai sekolah Inklusi. 113

Untuk lebih mengenal anak tunalaras, harus mengetahui terlebih

dahulu tentang gangguan emosi dan perilaku. Menurut Hallahan dan

Kauffman, cara mendefinisikan gangguan emosi dan perilaku dapat dimulai

112 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, h. 1.10 113 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 143

Page 70: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

97

dari tiga ciri khas yang memengaruhi tingkat perkembangannya, antara lain;

114

1. Tingkah laku yang sangat ekstrem dan bukan hanya berbeda dengan

tingkah laku anak lainnya.

2. Suatu problem emosi dan perilaku yang kronis, yang tidak muncul

secara langsung.

3. Tingkah laku yang tidak diharapkan oleh lingkungan karena

bertentangan dengan harapan sosial dan kultural.

Sebagaimana tampak dalam peristilahannya, tunalaras atau gangguan

emosi diuraikan sebagai kesulitan dalam penyesuaian diri dan tingkah laku

yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan

kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya sehingga merugikan

dirinya maupun orang lain. Gangguan emosi dan perilaku memang terkadang

memberikan kekhawatiran karena bisa melakukan tindakan agresif yang

merugikan orang lain. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku seperti ini

bisa saja menimpa siapa pun tanpa mengenal latar belakang kehidupan, status

sosial, gender, dan lain sebagainya.

Menurut Heward dan Orlansky, seseorang dikatakan mengalami

gangguan perilaku apabila memiliki satu atau lebih dari lima karakteristik

berikut dalam kurun waktu yang lama, yaitu 115:

114 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 144 115 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 146

Page 71: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

98

1. Ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh faktor

intelektualitas, alat indra maupun kesehatan. Ketidakmampuan ini

menyebabkan anak kurang percaya diri dalam mengembangkan

kecerdasannya sehingga memungkinkan mereka merasa rendah diri ketika

berinteraksi dengan teman sebayanya.

2. Ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara kepuasan dalam

menjalin hubungan dengan teman sebaya dan pendidik. Ketidakmampuan

membangun hubungan atau kerja sama adalah tanda-tanda awal seseorang

mengalami gangguan emosi dan perilaku karena mereka merasa tidak

mempunyai teman dan terpinggirkan dari lingkungan sekolah.

3. Tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang di bawah keadaan

normal. Perasaan juga sangat menentukan apakah seseorang mengalami

gangguan emosi atau tidak, karena bila tidak sesuai dengan harapannya,

bisa menimbulkan keputusasaan dan pengharapan yang tidak pernah

tercapai sesuai dengan keinginan.

4. Mudah terbawa suasana hati ( emosi labil ), ketidakbahagian, atau depresi.

Ketidakstabilan emosi bisa menimbulkan seseorang mengalami depresi

berat karena merasa tidak bahagia atau merasa dirinya selalu gagal dalam

mencapai sesuatu.

5. Kecenderungan untuk mengembangkan simton-simton fisik atau

ketakutan-ketakutan yang diasosiasikan dengan permasalahan-

permasalahan pribadi atau sekolah. Ketakutan juga menjadi faktor yang

Page 72: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

99

membuat seseorang mengalami gangguan emosi dan perilaku karena

mereka sering menjadikan masalah pribadi sebagai sesuatu yang

menghambat segala keinginannya.

Bila ditelusuri karakter akademik anak dengan gangguan emosi dan

perilaku, akan ditemukan masalah pada IQ yang sangat lamban. Anak dengan

gangguan emosi dan perilaku tidak memiliki kriteria inteligensi secara khusus.

Sedangkan anak dengan kelainan tunagrahita mempunyai tingkat intelegensi

di bawah normal karena anak tunagrahita tidak dapat mencapai kemandirian

yang sesuai dengan ukuran kemandirian dan tanggung jawab sosial. Tetapi

mengalami masalah sama dalam keterampilan akademik dan berpartisipasi

dengan kelompok teman yang memiliki usia sebaya. 116

Masalah akademik yang sering menimpa anak dengan gangguan emosi

dan perilaku adalah underachiever, yaitu mereka tidak mampu memenuhi

prestasi sesuai dengan usia mental mereka. Anak dengan gangguan emosi dan

perilaku yang berat biasanya kurang dalam kemampuan membaca dasar dan

keterampilan matematika. Hal itu utamanya disebabkan gangguan emosi dan

perilaku yang merusak atensi mereka dalam menerima pelajaran. Padahal,

etensi merupakan faktor penting dalam proses belajar.

Setiap anak berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan Inklusi

secara langsung mendapatkan pelayanan pendidikan tanpa terkecuali, baik

yang mengalami kecacatan, kesulitan belajar, gangguan emosi dan perilaku,

116 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 149

Page 73: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

100

maupun yang mengalami kehilangan pemusatan perhatian. Beberapa masalah

yang dihadapi anak berkebutuhan khusus, setidaknya dapat memberikan

gambaran kepada kita semua bahwa anak dengan gangguan emosi dan

perilaku harus diakomodasi dan diperhatikan secara khusus melebihi anak

normal pada umumnya. Dalam konteks pendidikan anak tunalaras, checks dan

balances sangat berarti bagi mereka. Peran sekolah sebagai penyedia layanan

pendidikan akan terbantu dengan kerjasama yang baik dari orangtua siswa

sebagai guru sekaligus diagnostician gangguan emosi dan perilaku anak di

rumah.

Pendidikan Inklusi sudah mengakomodasi semua hambatan belajar dan

perkembangan anak yang mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan

baru mereka. Artinya, pendidikan Inklusi merupakan pendidikan yang

mengakomodasi berbagai keragaman karakteristik siswa yang tidak

memisahkan antara anak berkebutuhan khusus dan anak reguler lain dalam

proses pembelajarannya. Itulah sebabnya, untuk pelaksanaan pendidikan

Inklusi yang ideal perlu diperhatikan tentang keberadaan aspek-aspek penting

dalam penyelenggaraannya, baik menyangkut tenaga kependidikan, sarana

pendukung, kurikulum, dan lain sebagainya. 117

117 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 151

Page 74: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

101

2. Pendidikan Inklusi Bagi Anak Tunanetra

Setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh

pendidikan tak terkecuali kaum tunanetra. Pernyataan ini seolah menggugah

kesadaran masyarakat agar memiliki kepedulian dan perhatian penuh terhadap

anak-anak yang menderita kelainan fisik dan mental. Kesadaran ini, tentu

bukan karena ingin mendapatkan pujian dan sanjungan dari orang lain,

melainkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai humanitas dan solidaritas

sebagai sesama yang juga berkesempatan memperoleh hak-hak hidup secara

layak. Terkadang kita sering berpikir negatif dan cenderung

mengesampingkan anak-anak yang berkelainan dari segi fisik dan mental,

karena alasan itulah, kita seringkali mengabaikan dan acuh tak acuh bahwa

mereka mempunyai kedudukan yang sama dengan kita dalam segala hal.

Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia menjadi hak bagi setiap

individu manusia, tak terkecuali bagi kaum tunanetra terutama perempuan

tunanetra. Karena mereka mempunyai cita-cita untuk memperoleh ketenangan

dan ketentraman hidup dengan kesempatan kerja yang ada di depannya.

Walaupun dari segi fisik tidak mendukung, paling tidak mereka juga

mempunyai semangat untuk mendapatkan haknya sebagai manusia, yakni

memperoleh kesempatan kerja seperti halnya manusia normal lainnya.

Perempuan tunanetra yang mengalami cacat fisik, secara kasat mata

memang sangat sulit untuk mendapatkan tempat di dunia kerja. Keterbatasan

fisik maupun kemampuan yang dimiliki perempuan tunanetra merupakan

Page 75: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

102

problem utama dalam memperoleh kesempatan kerja. Keterbatasan-

keterbatasan itu menjadi penghambat bagi perempuan tunanetra untuk

menatap masa depannya. Keterbatasan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai

berikut118 :

1. Keterbatasan fisik yang tidak menguntungkan. Keterbatasan ini pada

hakikatnya berpengaruh pada kemampuan mereka ketika sedang

bekerja sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal dan terkesan

gagal total. Kemampuan fisik bagi seseorang memang sangat

dibutuhkan untuk menopang aktivitas kerja yang sangat berat.

2. Keterbatasan kemampuan berpikir. Keterbatasan berpikir memang

bukan merupakan keterbatasan paling utama. Namun, paling tidak

keterbatasan tersebut berpengaruh terhadap kemampuan mereka dalam

menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.

3. Keterbatasan memaksimalkan kinerja ketika melakukan aktivitas

kerja. Secanggih apapun kemampuan yang dimiliki perempuan

tunanetra kalau mengalami cacat fisik, maka kemampuan

memaksimalkan kinerja tidak akan pernah sempurna. Karena

perempuan tunanetra tidak memiliki kesempurnaan anggota tubuh

seperti orang-orang pada umumnya. Hingga manusia telah mencapai

abad 21 ini, sebagian besar masyarakat terutama di Indonesia masih

beranggapan bahwa tunanetra, meskipun telah diberikan rehabilitasi,

118 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 154

Page 76: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

103

termasuk rehabilitasi pendidikan dan rehabilitasi vokasional, tetap saja

tidak dapat menjadi sumber daya manusia yang mandiri dan produktif.

Akibatnya, mereka ditempatakn sebagai warga masyarakat yang

senantiasa harus disantuni.

Karena sistem sosial tidak dirancang dengan mempertimbangkan

kepentingan kaum tunanetra, akibatnya mereka tidak dapat memasuki

kehidupan meinstream. Dibidang pendidikan misalnya, anak tunanetra

disisihkan di sekolah-sekolah luar biasa dan panti-panti rehabilitasi yang

hanya memberikan keterampilan yang bersifat konvensional, seperti membuat

sapu, keset, memijat, karena menurut para perancang kebijakan, hanya itu saja

yang bisa dilakukan tunanetra. Akibatnya, di bidang tenaga kerja, kesempatan

dan peluang kerja yang mereka miliki pun sangat terbatas, sementara saudara-

saudara mereka yang berpenglihatan normal telah melesat jauh meninggalkan

mereka. Ketika anak tunanetra masuk ke lembaga pendidikan formal,

pendekatan yang dinilai paling efektif adalah dengan jalan optimalisasi

pendidikan Inklusi secara berkelanjutan kepada tunanetra. Dalam pendidikan

terpadu pun, pendidikan Inklusi menjadi pilihan yang dirasakan sangat

membantu terhadap pengembangan potensi dan skill tunanetra. Pilihan model

ini bagi tunanetra, sebenarnya banyak didorong oleh kemudahan yang menjadi

karakteristik dari pendidikan Inklusi. Jika sistem segregasi tidak lagi dipakai

dalam sistem belajar mengajar, dan sebagai pilihan yang dinilai sukses adalah

dengan menerapkan pendidikan Inklusi bagi kalangan tunanetra.

Page 77: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

104

Menurut Didi Tarsidi, pendidikan dalam setting segregasi memang

dapat memberikan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan memenuhi

kebutuhan khusus anak tunanetra secara akademik, tetapi cenderung

memisahkan anak dari lingkungan sosialnya (termasuk dari lingkungan

keluarganya), dan kurang memberi kesempatan kepada anak untuk

bersosialisasi secara lebih luas. Pada gilirannya, segregasi tidak memberikan

kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengenal orang tunanetra secara

benar. 119

Melalui strategi pendidikan Inklusi, diharapkan akan mampu

memberikan secercah impian dan harapan bagi para penyandang cacat.

Melalui strategi ini, masa depan dan kesempatan dalam dunia kerja dapat

mudah terwujud. Dengan demikian, mereka bisa melakukan aktivitas yang

sama seperti orang pada umumnya. Pendidikan Inklusi merupakan satu

inovasi, khususnya dalam pendidikan bagi penyandang cacat. Ideologi dan

pendekatan ini pertama kali muncul dalam dokumen internasional pada tahun

1994 dalam the Salamanca Statement.120

Dalam implementasi pendidikan Inklusi perlu upaya yang maksimal

agar dapat mengantarkan anak-anak tunanetra mencapai pendidikannya secara

119 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 157 120 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 151

Page 78: BAB II PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH A

105

Inklusi dan integral. Ada lima poin penting dalam penerapan pendidikan

Inklusi bagi kalangan tunanetra,121 yaitu :

4. Menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima

keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.

5. Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan

kurikulum secara mendasar.

6. Menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif.

7. Penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan

penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.

8. Melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses perencanaan.

121 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 162