bab ii pendidikan inklusi menurut j. david smith a
TRANSCRIPT
28
BAB II
PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH
A. MENGENAL J. DAVID SMITH
1. Biografi J. David Smith
J. David Smith mempunyai nama lengkap John David Smith, “Smith”
disini adalah nama yang diambil dari ayahnya yaitu Walter H. Smith. Beliau J.
David Smith mempunyai seorang istri yang bernama Joyce Smith dan telah
dikaruniai 3 orang anak yaitu Link, Allison dan Salli. Istri dan anak-anak
beliau selalu mendukung apa yang beliau lakukan termasuk dalam membuat
sebuah buku dan mendukung profesi J. David Smith yang merupakan seorang
guru, dan juga ilmuwan33.
Beliau adalah Provost dan Senior Vice Chancellor University of
Virginia College di Wise. J. David Smith meraih kedua sarjana muda dan
gelar sarjana dari Virginia Commonwealth University. Ia dianugerahi gelar
master kedua dan doktor dari Universitas Columbia. Pengalaman profesional
termasuk pekerjaan sebagai guru sekolah umum dan sebagai konselor. J.
David Smith dan istrinya, Joyce, menjabat dua tahun di Jamaika bekerja
sebagai relawan Peace Corps. Sebelum datang ke Universitas Virginia College
di Wise sebagai Provost, ia menjabat sebagai Dekan Sekolah Pendidikan dan
Pelayanan Manusia di Longwood University. Dia juga menjabat sebagai
33 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, (Bandung: Nuansa, 2009), Cet. III, h. 24.
29
Ketua Departemen Psikologi Pendidikan di Universitas Carolina Selatan. Ia
memulai karir pendidikan tinggi nya di Lynchburg College. Smith telah
membuat banyak presentasi dan diundang untuk khalayak nasional maupun
internasional dan secara teratur memberikan kontribusi untuk literatur
profesional pada pendidikan, pelayanan manusia, dan kebijakan publik
melalui artikel jurnal. J. David Smith adalah penulis sepuluh buku. Salah satu
tema mengintegrasikan penelitian dan tulisannya telah menjadi perhatian bagi
hak-hak dan martabat penyandang cacat. J. David Smith telah mengabdikan
banyak beasiswa untuk studi sejarah eugenika dan dampaknya pada kebijakan
sosial dan pendidikan, dan ia juga aktif dalam mengatasi masalah-masalah
kontemporer dan masalah dalam pendidikan34.
Beliau menyadari bahwa pelajaran yang paling penting dari apa yang
telah ia dapat adalah mengenai kepuasan peralihan intelektual dan kesenangan
menyampaikan sesuatu yang begitu bernilai bagi semua orang. Dalam
bukunya Robert Bellah dan kawan-kawan yaitu Habits of The Heart, meneliti
tentang pendidik yang pada hasilnya para pendidik masih berada di bawah
tekanan yang terus menerus dan semakin meningkat untuk menghasilkan hal-
hal yang pragmatis bagi siswa-siswanya. Suara-suara politik dan ekonomi
lebih banyak menyerukan kebutuhan sarjana yang berkemampuan teknologi
dan berorientasi karier semata-mata. Inilah bagian yang sangat penting, yaitu
34 https://books.google.co.id/books?id.j+david+smit,diakses pada tanggal 3 Juni 2015 pada
pukul 22.10 WIB
30
peran apa yang sesungguhnya diharapkan dari pendidikan bagi kebudayaan
kita. Masih ada suara-suara lainnya di masyarakat kita yang mengharapkan
dunia pendidikan memiliki komitmen terhadap pengajaran nilai-nilai dan
tradisi-tradisi yang dapat menjadikan siswa-siswi menjadi warga masyarakat
yang bertanggungjawab, sensitive, dan kreatif di masyarakat yang bebas ini.
Robert Bellah dan kawan-kawan percaya bahwa tradisi tetap ada karena masih
ada para pendidik yang mencintai pekerjaannya, yang ingin memberikan nilai-
nilai intelektual dan budaya. 35
Salah satu tema mengintegrasikan penelitian dan tulisan J. David
Smith telah menjadi perhatian bagi hak-hak dan martabat penyandang cacat
yaitu terdapat di dalam buku karangan J. David Smith yang berjudul Inclusion
: schools for all students ( Inklusi: sekolah untuk semua siswa ). Melalui
bukunya yang berfokus pada integrasi dan pendidikan khusus di kelas
pendidikan biasa atau umum. Beliau memberikan gambaran menyeluruh dari
cacat dalam perspektif pribadi, sejarah, dan multikultural. J. David Smith
menyusun dua studi kasus di seluruh buku karangannya untuk meningkatkan
pembacaan teks, serta potensi pengajaran. Pertanyaan berpikir kritis kemudian
diikuti studi kasus, memberikan peserta didik kesempatan untuk menerapkan
apa yang telah mereka pelajari.36 Beliau juga menjelaskan tentang pengajaran
35 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 22. 36 https://books.google.co.id/books?id.j+david+smit,diakses pada tanggal 3 Juni 2015 pada
pukul 22.10 WIB
31
dan tenaga pengajar yang penuh kasih sayang, kreatif, serta berkemampuan
cukup sehingga bisa menciptakan ruang kelas yang Inklusi bagi semua peserta
didik dan lingkungan pengajaran yang bisa menerima berbagai ragam karakter
siswa. Beliau juga menjelaskan tentang berbagai perbedaan kemampuan dan
kebutuhan peserta didik, serta berbagai kebutuhan umum manusia dan aspirasi
setiap orang.
Ada beberapa nilai tentang pendidikan inklusi yang dijelaskan oleh J.
David Smith yang disimbolkan oleh dua gambar. Pertama adalah “tupai yang
sedang terbang” dan gambar kedua adalah “malaikat kebaikan”.
Maksud penting dari “tupai yang sedang terbang” bagi beliau ialah
terinspirasi dari kisah teman semasa kecilnya yang bernama Tiny dan
pelajaran yang diajarkan kepada beliau tentang tupai. Pemakaian binatang
Tupai yang sedang terbang sebagai smbol dasar metode pendidikan Inklusi
karena binatang tupai merupakan binatang yang mengagumkan yang dapat
melakukan sesuatu dengan cara berbeda. Kadang-kadang mereka terbang
selain bisa memanjat dan melompat. Para tupai berbeda namun menarik,
indah, dan berharga dalam perbedaannya. Mereka layak hidup di hutan. Hal
ini berlaku bagi para peserta didik, yaitu para peserta didik yang memiliki
kemampuan berbeda namun kemampuan itu dianggap sebagai
32
ketidakmampuan. Mereka juga berbeda namun berharga. Para peserta didik
layak menempati dunia yang menghargai mereka.37
Maksud dari gambar yang kedua adalah “malaikat kebaikan”, J. David
Smith meminjam simbol ini dari pidato pengukuhan pertama Abraham
Lincoln. Abraham Lincoln menutup pidatonya kepada majelis, dia sedih dan
dipenuhi kemarahan sehingga memanggil malaikat kebaikan dari sifat dasar
manusia. Dia berharap malaikat kebaikan yang ada pada diri manusia dapat
membawa semua manusia terutama ( pendidik ) ke arah perdamaian dan
solidaritas. J. David Smith percaya bahwa ciri pendidikan yang lebih Inklusi
bagi seluruh peserta didik bergantung pada para pendidik yang terpanggil oleh
‘malaikat kebaikan’ dari karakter dan komitmennya sebagai pendidik.
Keterangan dan petunjuk untuk menciptakan pendidikan yang Inklusi yang
ditawarkan oleh beliau akan menjadi efektif apabila diterapkan di sekolah-
sekolah oleh para pendidik yang telah sungguh-sungguh menemukan malaikat
kebaikan dalam diri mereka.38
2. Karya-karya J. David Smith
Sebuah karya terlahir dari buah pemikiran J. David Smith yang
diturunkan ke dalam wilayah para pembaca melalui publikasi media cetak,
penerbitan buku, selalu masuk untuk dipahami oleh para pembaca karena
37 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 23. 38 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 23.
33
beliau lebih sering menyajikan sebuah buku dengan membuat kisah yang
menarik baik kisah itu berasal dari kehidupan nyata maupun yang fiksi tetapi
dengan adanya kisah tersebut dapat mempermudah para pembaca dalam
memahami isi pemikiran beliau.
Karya buah pikir J. David Smith yang telah dibukukan lebih banyak
membahas tentang Pendidikan dan sebuah hasil dari penelitian karena sesuai
dengan profesinya selaku guru dan ilmuwan. Diantara buku-buku beliau yang
masih banyak beredar di masyarakat seluruh dunia yaitu :
1. Ignored, shunned, and invisible how the label "retarded" has denied
freedom and dignity to millions
( Diabaikan, dijauhi, dan terlihat bagaimana label " terbelakang "
membantah kebebasan dan martabat jutaan )
Berbentuk file dengan 6 edisi yang diterbitkan antara tahun 2008 dan
2009 di Inggris dan diselenggarakan oleh 1.417 perpustakaan di seluruh
dunia. Secara historis, segregasi dan isolasi sosial telah berulang
tanggapan kepada orang-orang yang dianggap cacat atau kekurangan
dalam beberapa cara. Dan mereka berada di tengah-tengah masyarakat
sehingga pendidik khusus J. David Smith menulis buku ini, yang
menyajikan isu-isu sejarah dan kontemporer penting dalam
keterbelakangan mental. Diceritakan melalui mencengkeram sketsa dan
terjalin dengan kisah kehidupan John Lovelace, seorang pria berlabel
34
mental terbelakang sebagai anak kemudian dilembagakan dan disterilkan,
teks ini mencengkeram akan membuat semua pembaca kembali tidak
hanya kebijakan kami dan praktek sosial, tetapi juga orang kami.39
2. Minds made feeble : the myth and legacy of the Kallikaks
( Pikiran membuat lemah : mitos dan warisan dari Kallikaks )
Buku ini mempunyai 3 edisi yang diterbitkan pada tahun 1985 dalam
bahasa Inggris dan diadakan oleh 701 perpustakaan di seluruh dunia.
Pada tahun 1912, Henry Goddard terlihat keluarga Kallikak sebagai bukti
teorinya bahwa keterbelakangan mental adalah keturunan. J. David Smith
meneliti bukti Goddard dan melihat kebijakan pemerintah bagaimana
teori Goddard telah berbentuk
3. The sterilization of Carrie Buck
Ini adalah buku yang mempunyai 3 edisi yang diterbitkan antara tahun
1989 dan 2009 dalam bahasa Inggris dan diadakan oleh 486 perpustakaan
di seluruh dunia. Kisah nyata Carrie Buck, yang dianggap terbelakang
dan berkomitmen untuk Virginia Colony untuk penderita epilepsi dan
Feebleminded setelah bayinya lahir dan diambil darinya. Pada tahun 1926
ia disterilkan tanpa pemahamannya atau perjanjian , korban pertama dari
39 http://www.worldcat.org/wcidentities/lccn-n86121869, diakses pada tanggal 13 Juni 2015
pada pukul 21.00 WIB
35
Virginia Hukum Wajib sterlization. Tindakan ini menyebabkan sterilisasi
lebih dari 50.000 warga Amerika tanpa persetujuan mereka, dan
kemudian dikutip oleh Nazi sebagai preseden untuk program kebersihan
ras.
4. Inclusion : schools for all students
( Inklusi: sekolah untuk semua siswa )
Buku ini mempunyai 3 edisi yang diterbitkan pada tahun 1998 dalam
bahasa Inggris dan diadakan oleh 197 perpustakaan di seluruh dunia.
Buku ini berfokus pada integrasi dan pendidikan khusus di kelas
pendidikan biasa atau umum. Penulis memberikan gambaran menyeluruh
dari cacat dalam perspektif pribadi, sejarah, dan multikultural. Penulis
menyusun dua studi kasus di seluruh buku, untuk meningkatkan
pembacaan teks, serta potensi pengajaran. Studi kasus ini muncul di akhir
setiap bab dan menggarisbawahi pelajaran sebelumnya dan tema bab.
Pertanyaan berpikir kritis kemudian ikuti studi kasus, memberikan siswa
kesempatan untuk menerapkan apa yang telah mereka pelajari.40
5. Biological Determinism and the Concept of Mental Retardation The
Lesson of Carrie Buck
40 https://books.google.co.id/books?id.j+david+smit,diakses pada tanggal 3 Juni 2015 pada
pukul 22.10 WIB
36
( Biologi Determinisme dan Konsep Retardasi Mental Pelajaran dari
Carrie Buck )
Ini juga merupakan buku yang hanya 1 edition diterbitkan pada tahun
1993 dalam bahasa Inggris dan diadakan oleh 1 perpustakaan di seluruh
dunia. Tulisan di dalam buku ini membahas tentang kasus Carrie Buck,
yang adalah orang pertama disterilkan (pada tahun 1927) di bawah hukum
Virginia memungkinkan sterilisasi orang yang diidentifikasi sebagai tidak
kompeten dan cenderung genetik mengirimkan kekurangan fisik,
psikologis, dan sosial untuk anak-anak mereka. Hukum ini kemudian
dikuatkan oleh Mahkamah Agung di Buck v. Bell, yang beralasan bahwa
hal itu konsisten dengan pandangan eugenic yang paling sosial sifat yang
tidak diinginkan, termasuk keterbelakangan mental, yang paling sering
turun-temurun. Kegiatan kemudian Carrie Buck dan pendapat dari teman-
teman dan pengusaha mendukung pandangan bahwa dia tidak mengalami
keterbelakangan mental (seperti juga yang terjadi untuk putrinya lahir
sebelum sterilisasi). Makalah ini menganggap hal ini sebagai wakil dari
perampasan hak asasi manusia yang dihasilkan dari gagasan bahwa
kehidupan manusia dapat dikurangi menjadi determinisme biologis.
Implikasi moral dan etika yang diambil dan diterapkan pada temuan
potensi arus Human Genome Project.
Selain karya-karya di atas, masih banyak karya dari J. David Smith
lainnya seperti beberapa buku yang mengandung sebuah kisah, yaitu :
37
1. The Other Voices : Profile of Women in The History of Special
Education
(Suara-suara lain: profil perempuan dalam sejarah pendidikan khusus)
2. The Augenic Assault on America : Scenes in Red, White, Black
( The eugenic serangan terhadap Amerika: adegan merah, putih, dan
hitam )
3. Pieces of purgatory : Mental Retardation In and Out of Institutions
( Potongan api penyucian: keterbelakangan mental dan keluar dari
lembaga )
3. Pemikiran J. David Smith Tentang Pendidikan Inklusi
Memberikan pendidikan yang berkualitas untuk semua warga Negara
khususnya anak, merupakan tantangan yang paling berat dan sekaligus
merupakan isu sangat penting dalam dunia pendidikan. Menyadari hal ini
masyarakat dunia menyelenggarakan berbagai aksi seperti; Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diadakan tahun1989, yang menghasilkan
deklariasi “bahwa semua anak berhak memperoleh pendidikan tanpa
diskriminasi dalam bentuk apapun”. Deklarasi tersebut dilnjutkan dengan
pernyataan Salamanca dan kerangka Aksi dalam pendidikan Kebutuhan
Khusus tahun 1994 yang memberikan kewajiban bagi sekolah untuk
38
mengakomodasikan semua anak termasuk anak-anak berkebutuhan khusus
yang memiliki kelainan fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, maupun
kelainan lainnya. Itulah yang kemudian yang mengawali pemikiran
munculnya pendidikan Inklusi sebagai langkah bahwa hak mendapat
pendidikan merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar ( Deklarasi
Internasional tentang Hak Asasi Manusia pada tahun 1948 dan Konvensi
Internasional tentang hak Anak pada tahun 1989 ). Konvensi ditindak lanjuti
dengan gerakan untuk mengubah hak mendapat pendidikan menjadi
kenyataan melalui aksi yang dikenal sebagai Pendidikan Untuk Semua (
Education for All/EFA ) dideklarasikan dalam konferensi dunia di Jomtien
Thailand tahun 1990. Konferensi ini menyimpulkan antara lain, di bnayk
Negara kesempatan untuk memperoleh pendidikan masih terbatas atau masih
banyak orang yang belum mendapatkan akses pendidikan. Selanjutnya Dakar
Senegal tahun 2000, mereviu bahwa pendidikan untuk semua harus
mempertimbangkan kebutuhan mereka yang miskin dan tidak beruntung,
termasuk yang berkebutuhan khusus (UNESCO, 2000).41
Dokumen-dokumen tersebut telah mendorong banyak Negara untuk
mengimplementasikan pendidikan Inklusi sebagai upaya untuk memerangi
perlakuan diskriminatif di bidang pendidikan. Masing-masing Negara
memiliki strategi atau cara mengimplementasikan pendidikan Inklusi secara
41 Juang Sunanto, dkk. (ed), First Annual Inclusive Education, Practices Conference,
(Bandung : Rizqi Press, 2010), h. 22.
39
beragam. Keberagaman implementasi ini disebabakan tiap-tiap Negara
memiliki budaya dan tradisi yang berbeda. Perbedaan cara implementasi tidak
mempengaruhi maksud dari pendidikan Inklusi asalkan prinsip dan
motivasinya sama. Perbedaan implementasi ini juga terjadi di setiap propinsi,
kabupaten atau kota bahkan di tingkat sekolah.
Istilah terbaru yang dipergunakan untuk mendeskripsikan penyatuan
bagi anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program-
program sekolah adalah inklusi (dari kata bahasa inggris: inclusion-peny.).
Bagi sebagian besar pendidik, istilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih
positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan
dengan cara-cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan
pendidikan yang menyeluruh. Sedangkan manstreaming mungkin diartikan
sebagai persamaan oleh sebagian orang, juga dianggap memiliki hambatan di
kelas-kelas regular. Mainstreaming dalam bentuk ini hanya dapat muncul bila
terjadi integrasi. REI (Reguler Education Initiative) / Inisiatif Pendidikan
Reguler dilihat oleh sebagian orang, bahkan oleh beberapa pendukungnya,
dalam pengertian pembongkaran pendidikn khusus. Sedangkan inklusi dapat
berarti bahwa tujuan pendidikan bagi siswa yang memiliki hambatan adalah,
keterlibatan yang sebenarnya dari tiap anak dalam kehidupan sekolah yang
menyeluruh. Inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki
40
hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial, dan konsep diri
(visi-visi) sekolah.42
Tentu saja, inklusi dapat (dan mempunyai) arti berbeda-beda bagi tiap
orang. Beberapa orang menerjemahkannya sebagai cara baru untuk berbicara
tentang mainstreaming. Bagi yang lainnya mungkin dilihat sebagai REI
dengan label baru. Sebagian bahkan menggunakan istilah inklusi sebagai
banner untuk menyerukan ‘full inclusion’ atau ‘uncompromising inclusion’
yang berarti penghapusan pendidikan khusus. Premis-premis dasar dalam
buah pemikiran dalam bukunya “Inclusion, School for All Student” karangan
J. David Smith, dan hal yang harus dikembangkan dalam dunia pendidikan
adalah layanan-layanan pendidikan yang paling efektif dan dibutuhkan yang
dapat diberikan serta terus dipertahankan. Sementara pada saat yang sama,
pendidikan anak-anak yang memiliki hambatan harus dipandang oleh semua
pendidik sebagai hak dan tanggungjawab bersama. Yang paling utama, semua
anak harus mempunyai tempat dan diterima di kelas-kelas reguler. Inklusi,
kata yang dapat berarti suatu komitmen untuk melibatkan siswa-siswa yang
memiliki hambatan dalam setiap tingkat pendidikan mereka yang
memungkinkan. Karena ‘full inclusion’ lebih mempunyai konotasi negatif dan
sulit disepakati bagi sebagian orang, kerangka filosofi yang akan dipakai
disini adalah ‘full inclusion’. Pengertian ini di maksudkan untuk mendorong
42 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 45.
41
pendidik agar berusaha menemukan jenis dan tingkat inklusi yang memuaskan
tiap individu siswa. Tujuan utamanya, secara factual, adalah membantu
pendidik untuk menjadi seorang pendidik profesional yang dapat melihat
siswa sebagai yang utama dan pertama kali dalam setiap keadaan, sedangkan
cacat atau hambatan yang dimilikinya itu hanyalah satu karakter dari
individualitasnya. 43
Pendidikan Inklusi dalam sistem persekolahan, bermakna juga
menampung semua peserta didik yang beragam pada kelas yang sama.
Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik. Lebih dari itu, sekolah Inklusi
juga merupakan tempat setiap anak diterima menjadi bagian dari kelas
tersebut dan saling membantu agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.44
Jika siswa, orangtua, guru, dan sekolah tumbuh dalam suatu
lingkungan dengan keterbukaan dan sensitifitas yang sangat kondusif bagi tiap
individu dan mempunyai kesadaran pembaruan untuk setiap misinya, maka
suasana kepercayaan dan kerjasama yang meningkat dapat tercipta.
Keterlibatan semua orang dalam mempersiapkan siswa-siswa yang memiliki
hambatan dalam kehidupan masyarakat yang lebih terbuka harus saling
dibicarakan. Akhirnya, pendidikan bagi siswa-siswa ini harus dilakukan
43 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 46. 44 Juang Sunanto, dkk. (ed), First Annual Inclusive Education, Practices Conference,
(Bandung : Rizqi Press, 2010), h. 22.
42
dengan usaha-usaha yang dirancang secara individual yang sebenarnya, yang
dapat menjamin baik kebutuhan inklusi, kebutuhan bagi layanan pembelajaran
khusus, maupun lingkungan yang mendukung sehingga siswa-siswa dapat
memperoleh keberhasilan akademis. Seperti yang diteliti oleh Webber (1994),
semua pendidik harus punya ‘rasa memiliki’ pada semua siswa, termasuk
yang menyandang hambatan. Pada saat bersamaan, penting bahwa lingkungan
dan jaminan bagi program pendidikan individual, dukungan keterlibatan
orangtua, tersedianya guru yang dilatih secara khusus sebagai ahli terapi, serta
ketetapan pelayanan remidi pengembangan dan terapis, hendaknya selalu
dipertahankan. Pencapaian program layanan pendidikan individual bagi setiap
siswa merupakan suatu proses yang dinamis. Karena itu, keputusan-keputusan
mengenai perpaduan layanan pendidikan khusus yang efektif dan praktik
Inklusi harus terus dikaji kembali dan diperbarui untuk memberikan yang
terbaik bagi siswa-siswa.45
John David Smith, atau yang lebih dikenal dengan J. David Smith
adalah salah seorang tokoh pemerhati pendidikan dari Amerika Serikat dan
beliau banyak mengungkapkan pemikirannya di dalam sebuah buku termasuk
buku tentang pendidikan Inklusi yang didalamnya terdapat beberapa
pemikiran beliau yang juga dapat diterapkan dalam pendidikan Islam di
Indonesia seperti Menciptakan suasana sekolah yang menghargai Multikultur,
45 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 52-53.
43
kita mengetahui bahwa Indonesia memiliki beragam suku, budaya dan agama.
Jadi di dalam pendidikannya haruslah menghargai setiap suku, budaya,
agama, ras, kelas, kelamin, atau perbedaan lainnya, lebih menganggap sebagai
keserupaan daripada perbedaan. Menciptakan suasana persamaan gender di
sekolah, di dalam pendidikan Indonesia secara umum memang tidak terlihat
adanya diskriminasi gender, semua akan terlihat jika memasuki wilayah kelas
di sekolah, seperti contohnya sebagian guru banyak bicara pada murid laki-
laki karena anak laki-laki lebih berani dibandingkan anak perempuan untuk
berbicara selama diskusi dan guru-guru menerima sikap mereka. bila murid
perempuan bicara, sebagian guru tidak mendukung dan mengoreksi sikap
mereka. Anak laki-laki dalam penelitian yang dilakukan oleh Sadker dan
Stulberg mendapat lebih banyak perhatian dibandingkan anak perempuan.46
Menerima perbedaan manusia, lembaga sekolah harus menjadi lembaga yang
berperhatian, dimana siswa, guru, supir bus jemputan, penjaga kantin, kepala
sekolah dan semua yang lain menerima penegasan yang positif mengenai
kebaikan, empati, dan perhatian. Setiap orang yang turut serta di dalam
pendidikan butuh kesempatan bekerja dan menikmati kebersamaan,
membentuk kedekatan, serta membagi keberhasilan dan kegagalan.
Di dalam buah pemikirannya melalui buku “Inclusion, School for All
Student”, J. David Smith menjelaskan beberapa nilai yang ada di dalam
46 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, (Bandung: Nuansa, 2009), Cet. III, h. 370.
44
pendidikan Inklusi yang disimbolkan oleh dua gambar. Pertama adalah tupai
yang sedang terbang dan gambar kedua adalah ‘malaikat kebaikan’.
1. ‘Tupai yang sedang terbang’ adalah simbol untuk metode dasar
Pendidikan Inklusi untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
‘Tupai yang sedang terbang’ bagi beliau ialah terinspirasi dari kisah teman
semasa kecilnya yang bernama Tiny dan pelajaran yang diajarkan kepada
beliau tentang tupai. Pemakaian binatang Tupai yang sedang terbang
sebagai simbol dasar metode pendidikan Inklusi karena binatang tupai
merupakan binatang yang mengagumkan yang dapat melakukan sesuatu
dengan cara berbeda. Kadang-kadang mereka terbang selain bisa memanjat
dan melompat. Para tupai berbeda namun menarik, indah, dan berharga
dalam perbedaannya. Mereka layak hidup di hutan. Hal ini berlaku bagi
para peserta didik yang dibahas dalam buku beliau, yaitu para peserta didik
yang memiliki kemampuan berbeda namun kemampuan itu dianggap
sebagai ketidakmampuan. Mereka juga berbeda namun berharga. Para
peserta didik layak menempati dunia yang menghargai mereka.47
Pendidikan Inklusi menerima berbagai karakter siswa dan berbagai bentuk
fisik siswa tidak ada kata deskriminatif untuk pendidikan inklusi. J. David
Smith menjelaskan beberapa kelas yang harus dipersiapkan dan dibentuk di
47 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 23.
45
dalam pendidikan Inklusi untuk menerima berbagai tipe siswa, beberapa
katagori siswa tersebut yaitu :
1. Siswa berkesulitan belajar
Kesulitan belajar menurut Samuel Kirk adalah sebuah istilah
untuk menggambarkan anak-anak dengan gangguan dalam
perkembangan bahasa, membaca, dan kemampuan komunikasi
lainnya. Sedangkan menurut National Joint Committee on Learning
Disability (NJCLD) atau suatu kelompok yang terdiri dari perwakilan
beberapa organisasi professional, mendefinisikan:
Kesulitan belajar adalah suatu istilah umum yang mengacu
pada beragam kelompok gangguan yang terlihat pada
kesulitan dalam menguasai dan menggunakan kemampuan
mendengar, berbicara, membaca, menulis, berfikir dan
kemampuan matematis. Gangguan-gangguan ini bersifat
internal bagi individu dan diperkirakan penyebabnya adalah
tidak berfungsinya system saraf pusat, dapat muncul selama
rentang kehidupan. 48
Untuk memahami kebutuhan-kebutuhan kelas bagi siswa-siswa
berkesulitan belajar diperlukan adanya pemahaman tentang dasar-
dasar yang dipergunakan untuk mendefinisikan hambatan tersebut.
Bersamaan dengan adopsi istilah kesulitan belajar (learning
48 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 75.
46
disabilities) yang dikenalkan oleh Samuel Kirk pada tahun 1963,
bermunculan juga usaha yang terus menerus dalam mengembangkan
sebuah istilah yang akan mencakup kebutuhan dan sifat-sifat yang
kompleks pada siswa-siswa berkesulitan belajar. Penting untuk
diingat, pemberian nama ‘kesulitan belajar’ merupakan suatu istilah
yang luas dan mencakup banyak aspek yang meliputi berbagai
masalah ketidakmampuan seperti penderita luka otak (brain-injury),
hambatan persepsi (perceptually handicapped), hiperaktif
(hyperactive), dan disleksia (dyslexia), dll. Pengajaran yang efektif
bagi siswa berkesulitan belajar, seperti halnya semua pengajaran yang
baik, didasarkan atas pemahaman kebutuhan individu. Mengajar anak
berkesulitan belajar membutuhkan observasi yang tajam dari guru
mengenai pola-pola keunggulan dan kelemahan siswa. Keberhasilan
pengajaran anak berkesulitan belajar adalah pada informasi yang
esensial dan pengajaran berdasarkan kondisi masing-masing siswa. 49
2. Siswa terbelakang mental
Menurut pengamatan Serason, keterbelakangan mental bukan
merupakan sesuatu atau sifat-sifat dari individu, namun merupakan
suatu penemuan social yang merupakan bingkai ikatan waktu nilai-
nilai dan ideologi sehingga menjadi diagnosis dan aturan, yang
49 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 76.
47
tampaknya keduanya berdasarkan keinginan dan kepentingan social.
Meskipun pengertian social dari istilah terbelakang mental dan
aplikasinya terhadap orang-orang yang berbeda-beda keadaan secara
fisik, social, dan keperibadian dalam kehidupan mereka, namun
penting untuk meninjau beberapa penyebab keadaan tersebut.
Keterbelakangan mental kebanyakan bukan karena akibat genetika,
penyakit atau kecelakaan, tetapi lebih Nampak diakibatkan oleh
korban lingkungan yang merugikan dan mengganggu perkembangan
mentalnya, atau mereka anak-anak yang masuk sekolah dengan
pengalaman-pengalaman lingkungan yang membawanya pada ketidak
beruntungan dalam memenuhi harapan-harapan yang mereka hadapi
sebagai siswa.
Cara terbaik untuk mengatasi siswa-siswa penyandang
hambatan/kelainan terutama siswa dengan keterbelakangan mental
adalah dengan guru efektif. Prinsip pembelajaran yang baik pada
dasarnya sama tanpa memandang mata pelajaran yang diajarkan atau
siswa yang sedang diberi pengajaran. Guru yang baik
berkecenderungan sebagai seseorang yang berpikir dirinya sebagai
guru siswa, bikan sebagai professional yang mengkhususkan diri pada
satu pelajaran atau tingkat tertentu. Guru-guru yang baik yang telah
mempunyai kesempatan mempelajari beberapa informasi dasar
mengenai hambatan/kelainan dan mereka yang telah menyadari fakta
48
bahwa banyak hal yang bisa diberikan pada anak berkebutuhan khusus
adalah dasar yang penting bagi keberhasilan penyatuan (inklusi) siswa-
siswa terbelakang mental. 50
3. Siswa berkelaian perilaku / emosi
Berawal dari pertanyaan mengapa orang tertentu dianggap
mempunyai gangguan emosi atau perilaku, jawabannya adalah karena
orang itu merespon berbagai jenis dan tingkatan tekanan yang berbeda
dalam kehidupan mereka dengan cara berbeda dan seringkali dengan
cara yang tidak diharapkan. Tekanan yang kecil saja bisa memicu
reaksi yang besar pada sebagian orang. Seperti yang diungkapkan oleh
Whelan, bahwa munculnya respon yang kuat dari seseorang terhadap
suatu tekanan selalu merupakan indikasi bahwa orang itu mempunyai
gangguan emosi atau perilaku. Meskipun perilaku yang muncul itu
dapat menyebabkannya menjadi orang yang sulit atau memburuknya
perilakunya. Perilaku ini mungkin tak dikenali atau tak dianggap
bermasalah kecuali jika mereka melakukannya terlalu sering, terlalu
berlebihan atau ditempat yang salah. 51
Cara paling efektif dalam mengatasi masalah-masalah
emosional dan perilaku di kelas adalah dengan mencegah terjadinya
50 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h.123-124. 51 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 145.
49
masalah ini. Beberapa cara yang dianjurkan dalam menciptakan
suasanan kelas yang dapat meningkatkan sikap-sikap positif dan
membantu mencegah sikap-sikap negative antara lain52 :
a. Buatlah harapan-harapan akademis dan perilaku siswa yang anda
inginkan sejelas mungkin bagi mereka.
b. Tunjukan pada siswa bahwa anda jujur dalam berhubungan
dengan mereka.
c. Berikan perhatian dan pengakuan kepada siswa atas sifat-sifat
dan prestasi yang positif. Suatu aturan yang baik adalah
menemukan sesuatu yang positif untuk dinyatakan kepada siswa
setiap hari.
d. Buatlah contoh sikap, kebiasaaan kerja, dan hubungan yang
positif.
e. Persiapkan pola pengajaran dan berikan kurikulum yang tersusun
dengan baik.
f. Buatlah suasana kelas yang dapat diterima, baik secara fisik
maupun social.
4. Siswa berkelainan fisik
Istilah kelainan fisik sebenarnya tidak di gunakan, namun
kenyataannya definisi tersebut yang digunakan dalam penerapan IDEA
52 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 156.
50
(Individual with Disabilities Education Act). Istilah lain yang
digunakan secara formal adalah kelainan ortopedi. Kelainan ortopedi
adalah suatu keadaan penurunan fungsi ortopedik yang mempunyai
efek merugikan pada prestasi pembelajaran anak. Istilah ini meliputi
gangguan yang disebabkan kelainan bawaan misalnya, berkaki
pengkor, hilang salah satu anggota tubuh. Kelainan yang disebabkan
oleh penyakit misalnya, poliomyelitis, TBC tulang, dll. Dan kelaianan
oleh penyebab lainnya misalnya cerebral palsy, amputasi, patah tulang
atau terbakar yang menyebabkan kontraktur.
Katagori kelainan fisik dan gangguan kesehatan lain begitu
luas sehingga sulit dibicarakan secara umum mengenai kebutuhan-
kebutuhan siswa dengan gangguan jenis ini. Kebutuhan-kebutuhan
kelas mereka sangat berbeda tergantung pada usia mereka, jenis
hambatan yang dialami mereka, dan beratnya kelainan mereka.
Lingkungan yang paling kondusif untuk pembelajaran siswa-siswa
berkelainan fisik adalah kelas reguler. Dalam rangka mempelajari
dengan baik cara hidup di suatu lingkungan komunitas berbeda sebagi
orang dewasa, anak-anak dan remaja dibutuhkan suatu kelas dan
sekolah yang paling Inklusi yang tepat bagi kebutuhan pendidikan,
sosial, dan fisik mereka. 53
53 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 188.
51
5. Siswa dengan hambatan ucapan dan berbahasa
Bicara dan bahasa itu berbeda, bicara merupakan suatu proses
yang sangat individual. Cara orang berbicara merupakan bagian
identitasnya. Selama kegiatan pergerakan fisik, psikologis, dan social,
kita mendapatkan pola-pola ucapan yang unit yang merupakan
manifestasi pengaruh-pengaruh keluarga, budaya, dan lingkungan
fisik. Sedangkan bahasa mempunyai beragam bentuk. Dialek ini akibat
dari pengaruh demografi dan sosial. Contoh bahasa inggris yang
diucapkan di Amerika Serikat, misalnya, menggunakan dialek-dialek
yang telah dipengaruhi oleh Afro-Amerika, Appalachian, Southern, dan
Hispanic.
Ucapan / bicara dianggap terganggu hanya jika mempunyai
cirri-ciri yang terus mengganggu komunikasi serta menciptakan
ketidaknyamanan, baik bagi pembicara maupun pendengar. Satu
aturan untuk memperkirakan apakah seseorang memiliki ‘kelainan
bicara’ atau hanya ‘ucapan berbeda’ adalah suatu garis yang menbatasi
antara perbedaan dan kelianan, yaitu bila pendengar secara konsisten
memusatkan perhatian pada bagaimana cara sesuatu itu diucapkan dari
pada apa yang di ucapkan. Bila batas garis itu dilanggar, maka
komunikasi lisan tersebut bisa dinyatakan mengalami gangguan.
52
Semua kelaian berbahasa dan berbicara berpotensi untuk
mengisolasi orang-orang yang menyandangnya. Kesulitan komunukasi
dapat menjadi hambatan yang serius dalam kehidupan pendidikan dan
social siswa. Penting untuk menemukan cara terbaik dalam
mempermudah keberhasilan kelas-kelas Inklusi bagi siswa ini. Ada
tiga prinsip bagi guru kelas dalam membantu siswa dengan hambatan
bicara menurut LaBlance, yaitu54 :
a. Berikan contoh berbicara yang baik.
b. Tingkatkan self-esteem (harga diri) siswa.
c. Ciptakan lingkungan berbicara yang baik.
6. Siswa dengan gangguan penglihatan
Mata manusia merupakan suatu struktur yang rumit, ia bekerja
seperti sebuah kamera dalam otak. Definisi tunanetra/gangguan
penglihatan adalah sebagai berikut : ketajman penglihatan pusat
20/200 atau kurang pada bagian mata yang lebih baik dengan kaca
mata koreksi atau ketajaman penglihatan pusat lebih dari 20/200 jika
terjadi penurunan ruang penglihatan dimana terjadi pengerutan suatu
bidang penglihatan sampai tingkat tertentu sehingga diameter terlebar
dari ruang penglihatan membentuk sudut yang besarnya tidak lebih
dari 20 derajat pada bagian mata yang lebih baik.
54 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 214.
53
Bila seseorang hanya dapat membedakan dari jarak 20 kaki
huruf atau symbol dimana penglihatan normal dapat melakukannya
dari jarak 200 kaki, orang tersebut dikatagorikan mempunyai tingkat
ketajaman penglihatan 20/200 sehingga dianggap buta secara hukum.
Begitu juga orang yang menunjukkan luas ruang penglihatan 20
derajat atau kurang dianggap buta secara hukum. Perlu diketahui
bahwa definisi kebutaan secara hukum itu tidak selalu berarti bahwa
seseorang tidak bisa melihat samasekali.
Pendidikan bagi siswa yang mengalami hambatan penglihatan
mempunyai banyak kesamaan dengan siswa lainnya. Kunci utama
pengajaran siswa-siswa di ruang kelas umum sepertinya harus
dilakukan dengan mengoptimalkan pengajaran, mendorong
kepercayaan diri dan kemandirian. Perlu untuk diinggat bahwa siswa-
siswa ini bukan kelompok yang homogeny, namun kesamaan mereka
adalah berkurangnya penglihatan atau ketunaetraan.
7. Siswa dengan gangguan pendengaran
Dalam mendefinisikan gangguan pendengaran dari sudut
pandang kebutuhan pembelajaran, sangat penting untuk
mempertimbangkan tingkat beratnya kehilangan pendengaran dan usia
seseorang ketika kehilangan pendengarannya mulai terjadi. Istilah
gangguan pendengaran dipakai dalam menjelaskan baik orang yang
54
benar-benar “tuli” maupun yang hanya “sulit mendengar”. Sulit
mendengar merupakan gangguan pendengaran yang bersifat permanen
maupun sementara, yang jelas berpengaruh pada prestasi pembelajaran
anak, namun tidak termasuk definisi “tuli” pada bagian ini. Karena
“tuli” berarti suatu gangguan pendengaran yang sangat berat sehingga
si anak tidak bisa melakukan proses informasi bahasa melalui
pendengaran, dengan ataupun tanpa alat pengeras suara, yang dengan
jelas mempengaruhi prestasi pembelajaran akademis. 55
Tujuan pendidikan yang menyeluruh bagi siswa yang
mengalami gangguan pendengaran adalah memberikan kemampuan
pada mereka, yang membuat mereka dapat berperan serta sebanyak
mungkin dalam seluruh bidang kehidupan.
8. Siswa berkemampuan unggul dan berbakat istimewa
Ada berbagai definisi anak unggul dan berbakat istimewa,
namun definisi yang paling banyak digunakan secara luas adalah yang
termuat dalam Education Consolidation and Improvement Act. Siswa
berbakat adalah :
Mereka yang dapat membuktikan kemampuan prestasi tinggi
dalam berbagai bidang seperti intelektual, kreativitas, artistic,
kapasitas kepemimpinan, atau bidang akademik tertentu, dan
55 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 270
55
yang memerlukan pelayanan serta aktivitas khusus yang
biasanya tidak diberikan oleh sekolah dalam rangka
mengembangkan kemampuan tersebut.56
Dari definisi di atas, ada beberapa aspek yang perlu digaris
bawahi, yaitu :
Pertama, ada beberapa jenis bakat dari seorang siswa, meliputi
kepemimpinan, kreativitas, seni drama dan visual termasuk bidang
keberbakatan, bahkan jika hal ini tidak dibarengi oleh kemampuan
akademik umum yang tinggi.
Kedua, dengan memakai istilah kapabilitas, diakui bahwa
beberapa siswa boleh jadi memiliki potensi berbakat yang belum
terwujud kecuali dibimbing dan didorong.
Ketiga, ditekankan bimbingan dan dorongan pendidikan
sehingga siswa dapat mewujudkan potensi-potensi yang merupakan
suatu persoalan untuk mendapatkan pendidikan khusus seperti siswa
berkesulitan belajar atau beberapa pengecualian lain.
Meskipun siswa-siswa berbakat tidak termasuk dalam proteksi
dari Individual with Disabilities Education Act (IDEA), tetapi jelas
mereka juga mempunyai kebutuhan khusus. Siswa-siswa berbakat
harus tetap diberi pengajaran dalam setting integrasi tak terbatas yang
56 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 305.
56
akan memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Suatu susunan
penempatan pendidikan yang komplit serta layanan akan disediakan
bagi siswa yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi jaminan yang
sama. Tujuan yang paling penting bagi siswa ini, memenuhi kebutuhan
mereka di lingkungan sekolah Inklusi. 57
2. ‘malaikat kebaikan’ adalah simbol karakter dan komitmen seorang
pendidik.
‘malaikat kebaikan’ adalah simbol yang dipinjam oleh J. David Smith dari
pidato pengukuhan pertama Abraham Lincoln. Abraham Lincoln menutup
pidatonya kepada majelis, dia sedih dan dipenuhi kemarahan sehingga
memanggil malaikat kebaikan dari sifat dasar kita. Dia berharap malaikat
kebaikan yang ada pada diri kita dapat membawa kearah perdamaian dan
solidaritas. J. David Smith percaya bahwa ciri pendidikan yang lebih
Inklusi bagi seluruh peserta didik bergantung pada para pendidik yang
terpanggil oleh ‘malaikat kebaikan’ dari karakter dan komitmen sebagai
pendidik. Keterangan dan petunjuk untuk menciptakan pendidikan yang
Inklusi yang ditawarkan dalam buku beliau akan menjadi efektif apabila
57 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 316.
57
diterapkan di sekolah-sekolah oleh para pendidik yang telah sungguh-
sungguh menemukan ‘malaikat kebaikan dalam diri mereka.58
a. Pengertian Guru / Pendidik
Sebagian orang banyak yang mengira bahwa menjadi seorang
guru merupakan pekerjaan yang mudah. Padahal, kalau ditinjau kembali
pada pengertian dasarnya, sungguh tidaklah semudah membalikan
telapak tangan untuk menjalani profesi sebagai seorang guru. Apalagi,
menjadi seorang guru ideal dan favorit yang diidolakan dan dicintai oleh
murid, baik didalam maupun diluar sekolah59.
Guru merupakan sosok manusia yang dihormati oleh
masyarakat, seorang guru dianggap suci dan sakti di negara India. Di
negara Jepang guru disebut “sensei” yang artinya “yang lebih dahulu
lahir atau lebih tua”. Sedangkan dinegara lain seperti di Inggris, guru
dikatakan “teacher” dan di Jerman “der Lehrer” yang mempunyai arti
sama yaitu “pengajar”60.
Definisi guru secara etimologi ialah Pengajar61. Jika dilihat dari
dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia tidak jauh berbeda
58 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 23. 59 Salman Rusydie,Tuntunan Menjadi Guru Favorit, (Jogjakarta: FlashBooks, 2012) h.7 60 Zakiyah Daradjat,Dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009) h. 39-40 61 S. Wojowasito, Kamus Bahasa Indonesia EYD Menurut Pedoman Lembaga Bahasa
Nasional, h. 114
58
mendefinisikan arti guru yaitu Pengajar pada sekolah-sekolah62. Akan
tetapi kata guru sebenarnya bukan saja mengandung arti “pengajar”,
melainkan juga “pendidik”. Selain itu, arti guru juga didefinisikan
seperti yang sudah tidak asing lagi ditelinga yaitu guru sebagai
seseorang yang digugu dan ditiru.
Banyak definisi tentang guru, bukan berarti semua definisi
berbeda maksud, pada intinya semua pengertian tentang guru
mempunyai esensi yang sama dan mengharapkan seorang guru haruslah
kompeten karena guru yang kompeten adalah guru yang mempunyai
kemampuan melakukan tugas-tugasnya secara baik, efisien dan
bertanggungjawab63. Selain itu, guru sebenarnya suatu sebutan bagi
jabatan, posisi dan profesi bagi seseorang yang mengabdikan dirinya
dalam bidang pendidikan melalui interaksi edukatif secara berpola,
formal, dan sistematis menurut mantan ketua umum Persatuan Guru
Republik Indonesia yaitu Mohamad Surya64.
Pengertian tentang guru yang telah ditetapkan dalam Undang-
undang yaitu, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
62 Ananda Santoso & A.R. Al Hanif, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Alumni)
h. 143 63 Neila Ramdhani, Menjadi Guru Inspiratif, (Jakarta: Titian Foundation, 2012) h. 25 64 Moh. Surya, Percikan Perjuangan Guru, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006) h. 215
59
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, seperti
yang telah dipaparkan didalam Undang-undang nomor 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen pada bab 1 pasal 1 ayat 165.
b. Pendidik Untuk Sekolah Inklusi
Kesiapan sebuah sekolah untuk kelas inlusif mungkin kuncinya
adalah penyatuan yang lebih besar siswa-siswa penyandang hambatan
supaya berhasil bagi semua pihak yang berkepentingan. Schultz telah
menemukan 10 kategori utama kesiapan yang merupakan prasyarat bagi
sekolah yang lebih ramah dan Inklusi.66 (1) Sikap, (2) Persahabatan, (3)
Dukungan bagi siswa, (4) Dukungan untuk Guru, (5) Kepemimpinan
Administratif, (6) Kurikulum, (7) Penilaian, (8) Program dan Evaluasi
Staf, (9) Keterlibatan Orangtua, (10) Keterlibatan Masyarakat.
Dukungan untuk guru dengan memberi pelatihan pada guru dalam
menangani jumlah keragaman siswa yang lebih berbeda, ada beberapa
pertanyaan yang harus ditanyakan pada diri sendiri oleh para guru bila
mereka menghadapi tantangan pengajaran dalam lingkungan yang lebih
Inklusi. Pertanyaan tersebut mengenai kesiapan menangani siswa
dengan berbagai jenis kelainan dan tingkat kesukaran yang dirasakan
guru, yang terkadang mereka belum siap untuk menanganinya. Justru
65 Undang-Undang Guru dan Dosen ( UU RI No. 14 Th. 2005 ), (Jakarta: Sinar Grafika,
2011) h. 3 66 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 399.
60
itu, guru membutuhkan pelatihan dalam penanganan para siswa yang
beragam keaianan. Guru dapat diberikan informasi yang tepat dan
pelatihan agar lebih terbuka dan percaya diri. Komunikasi meruapakan
sifat-sifat utama dalam membentuk kelas yang lebih Inklusi, guru dapat
didorong dari permulaan untuk menyuarakan keragu-raguan dan
keprihatinannya.67
Suatu survey mengungkapkan persepsi guru sekolah dasar
mengenai kebutuhan mereka yang berkenaan dengan inklusi anak-anak
penyandang hambatan. Sebagain besar dari mereka butuh pelatihan
mengenai penanganan siswa berkebutuhan khusus. Ada sebagian kecil
dari mereka yang telah mendapatkan pelatihan menurut Wolery.
Tambahan pada pelatihan, guru membutuhkan jenis-jenis kebutuhan lain
yang mendasar untuk memberikan suasana kelas Inklusi yang akan
menguntungkan seluruh siswa, di antaranya adalah68 :
6. Jumlah siswa di kelas umum harus cukup sedikit sehingga guru
dapat mengenal dan menangani tiap siswa.
7. Para professional yang terlatih baik, harus ada yang dapat
memberikan pengajaran individual dan bantuan lain kepada siswa
dengan dan tanpa hambatan.
67 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 400. 68 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 402.
61
Ada beberapa ciri atau sifat mengenai guru yang efektif bagi
siswa penyandang hambatan di kelas Inklusi menurut Wong, Kauffman
dan Lloyg69, yaitu :
1. Punya harapan bahwa siswa akan berhasil.
2. Memberikan pengawasan yang sering pada tugas-tugas
sekolah siswa serta memberi umpan balik.
3. Memberikan penjelasan standar-standar, arah-arah, dan
harapan-harapan, pembelajaran.
4. Fleksibel dalam menangani siswa-siswa.
5. Mempunyai komitmen dalam memperlakukan tiap siswa
secara terbuka.
6. Bersikap responsif terhadap pertanyaan dan komentar siswa.
7. Melakukan pendekatan tersusun dengan baik dalam
pengajaran.
8. Bersikap hangat, sabar, humoris kepada siswa.
9. Bersifat teguh dan konsisten dalam pengharapan-
pengharapan.
10. Mempunyai pendekatan-pendekatan pengaturan berbagai
sikap.
69 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 124.
62
11. Bersikap terbuka dan positif terhadap perbedaan dan kelainan
anak-anak dan orang dewasa.
12. Mempunyai kemauan kerjasama dengan guru pendidikan
khusus dan bersikap responsive dalam membantu orang lain.
13. Mempunyai rasa percaya diri dan kompetensi sebagai
seorang guru.
14. Punya rasa keterlibatan professional yang tinggi serta
pemuasan professional.
Pada akhir tulisan J. David Smith di dalam bukunya tentang
sekolah inklusi menyakini dan selalu percaya bahwa seorang guru yang
penuh kasih adalah salah satu kekuatan yang paling hebat dan positif
yang ada di lingkungan masyarakat. Mengajar apapun dalam keadaan
terbaik adalah suatu perjalanan hati dan suatu kesempatan untuk
menyentuh kehidupan selamanya. Pengajaran yang baik merupakan
suatu investasi yang tidak egois dalam potensi dan martabat siswa.
Orang kadang-kadang melupakan kebenaran yang paling hakiki
mengenai pendidikan bahwa guru adalah jiwa dari proses pendidikan.
Tanyakanlah pada siapapun, tanyakanlah pada diri sendiri, mengenai
kenangan tentang seorang guru yang baik. Maka kenangan itu akan
63
segera teruji oleh seorang guru yang mencintai pekerjaannya, mencintai
siswa-siswa dan kepercayaan yang dalam pada profesi mengajar.70
B. KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH
1. Pengertian Pendidikan Inklusi
Isu tentang Inklusi menjadi kata-kata baru yang semakin sering di
ucapkan atau ditulis oleh berbagai ilmuan. Pada dunia bisnis dan perbankan
muncul ekonomi Inklusi. Yang mana ditujukan pada kelompok individu, atau
masyarakat yang tidak terlayani dengan pengembangan skim-skim kredit
untuk usaha produktif. Sementara institusi perkreditan semestinya mampu
menjangkau mereka yang sebelumnya belum terlayani. Masalah ketidak
terjangkauan layanan pada kelompok tertentu bisa masuk ke dalam katagori
ekonomi Inklusi begitu juga dalam dunia pendidikan.71
Tentang definisi Pendidikan Inklusi memiliki bermacam-macam
pemahaman dan interpretasi yang berimplikasi pada keberhasilan atau
kegagalan dalam keberlangsungannya. Isu utama dalam pendidikan Inklusi
adalah bahwa pendidikan Inklusi didasarkan pada hak asasi dan model sosial.
Sistem yang harus disesuaikan dengan anak, bukan anak yang menyesuaikan
diri dengan sistem. Ada pelajaran yang dapat diambil dari negara-negara
kurang mampu di selatan yang menekankan bahwa pendidikan Inklusi bukan
70 J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan
Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 440. 71 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, (Jakarta: Baduose Media, 2012), h. 3
64
hanya mengenai sekolah tetapi lebih luas dan mencakup inisiatif dan
keterlibatan masyarakat luas. Pendidikan Inklusi dapat dipandang sebagai
pergerakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip
utama yang berkaitan dengan anak, pendidikan, keberagaman dan
diskriminasi, proses partisipasi dan sumber-sumber yang tersedia. Banyak
diantara hal tersebut merupakan tantangan terhadap status quo, tetapi penting
jika masyarakat dan pembangunan secara keseluruhan ingin menjadi Inklusi
dan memberi manfaat kepada warganya.72
Pendidikan Inklusi merupakan konsep pendidikan yang
merepresentasikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keterbukaan
dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh hak dasar
mereka sebagai warga negara.73 Seperti yang telah di utarakan di atas bahwa
pendidikan Inklusi memiliki penafsiran yang cukup beragam sesuai dengan
sudut pandang pengkaji dalam menguraikan makna substansial dari
pendidikan Inklusi itu sendiri.74
Menurut Stainback, Sekolah Inklusi adalah Sekolah yang menampung
semua siswa di kelas yang sama. Kemudian menurut Staub dan Peck,
mengemukakan bahwa Pendidikan Inklusi adalah Penempatan Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) tingkat ringan, sedang dan berat, secara penuh
72 Drs, Heryanto Amuda, M.Phil, Pedoman Resource Center, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa
Barat Bidang Pendidikan Luar Biasa. Pedoman. h.9 73 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, (Jogjakarta : Ar-Ruzz
Media, 2013), h. 24 74 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 23
65
di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat
belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan
bagaimanapun gradasinya. Sementara itu, O’Neil menyatakan bahwa
Pendidikan Inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan
agar ABK dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama
teman seusianya.75
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Pendidikan Inklusi terkandung unsur adanya:
1. Layanan Pendidikan yang mengikutsertakan ABK untuk belajar
bersama dengan anak sebayanya di kelas reguler / biasa terdekat
dengan tempat tinggalnya;
2. Pemberian akses seluas-luasnya kepada semua anak untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu;
3. Pemberian layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan semua
anak, Sekolah Inklusi (di Indonesia) adalah sekolah biasa (SB) yang
mengakomodasi semua peserta didik baik anak normal maupun anak
berkebutuhan khusus (cacat fisik, intelektual, sosial, emosional,
mental, cerdas, berbakat istimewa, daerah terpencil/ terbelakang, suku
terasing, korban bencana alam/ bencana sosial/ miskin), mempunyai
perbedaan pangkat, warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa,
75 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 27
66
budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim,
yatim piatu, anak pedesaan, anak kota, anak terlantar, tuna wisma,
anak terbuang, anak yang terlibat dalam sistem pengadilan remaja,
anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena
dampak narkoba HIV/ AIDS (ODHA), anak nomaden, dll sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhannya.76
Ada yang mengartikan bahwa Pendidikan Inklusi adalah berkenaan
dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada semua anak untuk
berhasil di sekolah-sekolah biasa yang berada di lingkungan anak tersebut
bertempat tinggal menurut Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat yang
menangani tentang anak ABK atau Anak berkebutuhan khusus.77 Jadi tidak
jauh berbeda dengan definisi yang sebelumnya akan tetapi lebih diperjelas
kembali bahwa pendidikan Inklusi itu menempatkan anak normal dan anak
berkebutuhan khusus dalam satu kelas yang sama untuk mendapatkan hak
yang sama sebagai warga negara. Di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia, baik undang-undang dasar maupun undang-undang pendidikan,
secara jelas disebutkan bahwa pendidikan harus akses bagi semua anak.78
76 http://www.pokjaInklusibojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-Inklusi, diakses pada
tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 09.50 WIB 77 Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Bidang Pendidikan Luar Biasa. Pedoman, Pedoman
Resource Center, h. 21 78 Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Bidang Pendidikan Luar Biasa. Pedoman, M.Phil,
Pedoman Resource Center,. h.18
67
2. Landasan Pendidikan Inklusi
Penerapan pendidikan Inklusi memiliki beberapa landasan sebagai
azas dalam pelaksanaannya terutama landasan untuk pelaksanaannya di
Indonesia. Adapun landasan tersebut yaitu : landasan filosofis, yuridis,
pedagogis dan empiris.79
1. Landasan filosofis utama penerapan pendidikan Inklusi di Indonesia
adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang
didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhinneka
Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan
manusia, baik kebhinekaan vertikal maupun horizontal, yang
mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebhinekaan
vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik,
kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri dan
sebagainya. Sedangkan kebhinekaan horizontal diwarnai dengan
perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal,
daerah, afiliasi, politik dan sebagainya. Bertolak dari filosofi Bhinneka
Tunggal Ika, kecacatan dan keberbakatan hanyalah satu bentuk
kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya atau
agama. Kecacatan dan keberbakatan tidak memisahkan peserta didik
satu dengan lainnya, seperti halnya perbedan suku, bahasa, budaya
79Mengenal Pendidikan Inklusi, www.ditplb.or.id diakses pada tanggal 6 Maret 2013.
http://nizhathecheerfulgirl.blogspot.com/2014/03/pendidikan-Inklusi-sejarah-tujuan-dan.html
68
atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan.
Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan
interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih
asah, silih asih dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya
yang dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun yang menyimpulkan Landasan Filosofis dari Pendidikan
Inklusi pada intinya ada pada “Bhineka Tunggal Ika”. Filsafat ini
wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik vertikal maupun
horizontal yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka
bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan, kecerdasan,
fisik, finansial, pangkat, kemampuan, pengendalian diri dsb.
Kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras,
bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah afiliasi politik, dsb.
Bertolak dari filosofis tersebut maka, kecacatan dan keberbakatan
hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras,
bahasa, budaya dan agama. Artinya dari individu kecacatan pasti
ditemukan keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu
berbakat, pasti terdapat kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk
di dunia ini yang sempurna. Sistem Pendidikan harus memungkinkan
69
terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam
sehingga mendorong sikap demokratis dan penghargaan asas HAM. 80
2. Landasan Yuridis Internasional penerapan pendidikan Inklusi adalah
Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan
sedunia. Deklarasi ini adalah penegasan kembali atas deklarasi
lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993
tentang kesempatan yang sama bagi individu penyandang cacat
memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan
yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama
memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada
mereka. Di Indonesia, penerapan pendidikan Inklusi dijamin oleh UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam
penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk
peserta didik penyandang cacat atau memiliki kecerdasan luar biasa
diselenggarakan secara Inklusi atau berupa sekolah khusus. Adapun
yang menyimpulkan Landasan Yuridis tentang Pendidikan Inklusi
Adalah terdapat pada Deklarasi Dakar tentang Pendidikan Untuk
Semua pada tahun 2000, yaitu81 :
80 http://www.pokjaInklusibojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-Inklusi, diakses pada
tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 09.50 WIB 81 http://www.pokjaInklusibojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-Inklusi, diakses pada
tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 09.50 WIB
70
1. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan
pendidikan anak dini usia, terutama bagi anak-anak yang sangat
rawan dan kurang beruntung
2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya
anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang
termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan
pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik.
3. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan
orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-
program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai.
4. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang
dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan,
dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi
semua orang dewasa.
5. Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan
menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender
dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus
jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi
dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik
6. Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin
keunggulannya, sehingga hasil belajar yang diakui dan terukur
71
dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan
kecakapan hidup (life skills) yang penting.
7. Seruan International Education For All (EFA) yang
dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan global hasil
World Education Forum di Dakar, Senegal tahun 2000,
penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015.
3. Landasan pedagogis, seperti yang dijelaskan pada pasal 3 UU No. 20
Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta
didik penyandang cacat dibentuk menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu
menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini
mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman
sebayanya di sekolah-sekolah luar biasa. Betapapun kecilnya, mereka
harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
4. Landasan Empiris ditunjukkan melalui penelitian tentang Inklusi yang
telah banyak dilakukan negara-negara barat sejak tahun 1980-an,
namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National
Academy Of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya, menunjukkan
72
bahwa klasifikasi dan penempatan anak penyandang cacat di sekolah,
kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini
merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya
diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller,
Holtzman dan Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan
bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak
berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat
heterogen (Baker, Wang dan Walberg, 1994 - 1995).
Pernyataan Salamanca Tahun 1994 diatas merupakan perluasan tujuan
Education For All yang melandasi pemerataan kesempatan belajar bagi anak
berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan
pemerintah yang mendasar untuk menggalakkan pendekatan pendidikan
Inklusi. Melalui pendidikan Inklusi ini diharapkan sekolah-sekolah reguler
dapat melayani semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan
pendidikan khusus. Dalam menerapkan pendidikan Inklusi, sekolah reguler
memerlukan dukungan sekolah luar biasa dan Sentra PK/PLK sebagai Pusat
Sumber. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003
tanggal 20 Januari 2003 perihal pendidikan Inklusi : Menyelenggarakan dan
73
mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat)
sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, SMK.82
3. Latar Belakang Adanya Pendidikan Inklusi
Cikal bakal lahirnya pendidikan Inklusi bisa dikatakan berawal dari
sebuah pengamatan terhadap sekolah luar biasa berasrama dan institusi
berasrama lainnya yang menunjukkan bahwa anak maupun orang dewasa
yang tinggal disana mengembangkan suatu pola perilaku yang biasanya
ditunjukkan oleh orang yang kekurangan. Perilaku-perilaku ini mencakup
kepasifan, stimulasi diri, perilaku repetitive stereotip dan kadang-kadang
perilaku perusakan diri. Anak penyandang cacat yang meninggalkan sekolah
luar biasa berasrama seringkali tidak merasa betah tinggal dengan keluarga
nya di komunitas di rumahnya. Ini karena setelah bertahun-tahun
disegregasikan / dipisahkan, ia dan keluarganya serta komunitasnya akan
tumbuh menjadi orang asing satu sama lainnya.
Banyak orang yang kemudian benar-benar merasa situasi tersebut tidak
benar. Orang tua, guru dan orang-orang yang mempunyai kesadaran politik
pun mulai memperjuangkan hak-hak semua anak pada umumnya dan hak
anak serta orang dewasa penyandang cacat pada khususnya. Salah satu tujuan
utamanya adalah untuk memperoleh hak untuk berkembang di dalam sebuah
lingkungan yang sama dengan orang lain. Mereka menyadari akan pentingnya
82 http://www.pokjaInklusibojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-Inklusi, diakses pada
tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 09.50 WIB
74
interaksi dan komunikasi sebagai dasar bagi semua pembelajaran. Ini
merupakan awal pembaharuan menuju normalisasi yang akhirnya mengarah
pada proses Inklusi.83
Legitimasi awal bagi pelaksanaan pendidikan Inklusi dalam dunia
internasional sendiri tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi pada
tahun 1948. Konferensi ini mengemukakan gagasan mengenai Pendidikan
untuk semua (Education for AII/EFA) dimana dinyatakan bahwa pendidikan
dasar harus wajib dan bebas biaya bagi setiap anak. Konferensi dunia yang
khusus membahas EFA kemudian baru diadakan pada tahun 1990 dan
berlangsung di Jomtien, Thailand. Para peserta menyepakati pencapaian
tujuan pendidikan dasar bagi semua anak dan orang dewasa pada tahun 2000.
Konferensi Jomtien merupakan titik awal dari pergerakan yang kuat bagi
semua negara untuk memperkuat komitmen terhadap EFA.
Dalam pergerakan EFA, anak dan orang dewasa penyandang cacat
adalah salah satu kelompok target. Oleh karena itu, dunia internasional
kemudian mengadakan konferensi yang secara khusus membahas pendidikan
kebutuhan khusus. Konferensi ini pertama kali diadakan di Salamanca pada
tahun 1994 dan yang kedua diadakan di Dakar pada tahun 2000. Keduanya
dihadiri oleh Indonesia dalam konferensi dunia Salamanca, pendidikan Inklusi
ditetapkan sebagai prinsip dalam memenuhi kebutuhan belajar kelompok-
83 Berit H. Johnsen dan Miriam D. Skjorten, Pendidikan Kebutuhan Khusus – Sebuah
Pengantar. (Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 2003). Hal 35
75
kelompok yang kurang beruntung, terpinggirkan dan terkucilkan. Upaya-
upaya tindak lanjut bagi pendidikan kebutuhan khusus hingga sekarang
diamanatkan kepada UNESCO.
Di Indonesia, pendidikan Inklusi sebenarnya telah dirintis sejak tahun
1986 namun dalam bentuk yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan tersebut
dinamakan Pendidikan Terpadu dan disahkan dengan Surat Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada pendidikan terpadu,
anak penyandang cacat juga ditempatkan di sekolah umum, namun mereka
harus menyesuaikan diri pada sistem sekolah umum. Sehingga mereka harus
siap dibuat “siap” untuk diintegrasikan ke dalam sekolah umum. Apabila ada
kegagalan pada anak maka anak dipandang yang bermasalah. Sedangkan yang
dilakukan oleh pendidikan Inklusi adalah sebaliknya, sekolah dibuat siap dan
menyesuaikan diri terhadap kebutuhan anak penyandang cacat. Apabila ada
kegagalan pada anak maka sistem dipandang yang bermasalah.84
Menurut data Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa,
Kemendiknas awal tahun 2011 terdapat 624 sekolah Inklusi baik SD,SMP,
dan SMA. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan Inklusi di Indonesia
84 Kebijakan Pemerintah Dalam Pendidikan Inklusi, (Departemen Pendidikan Nasional,
Jakarta 2003).
76
masih menyisakan banyak persoalan terutama yang berkaitan dengan masih
kurangnya kesadaran dari banyak pihak.85
Beberapa peneliti kemudian melakukan meta analisis (analisis lanjut)
atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh
Carlberg dan Kavale pa tahun 1980 terhadap 50 buah penelitian, Wang dan
Baker pada tahun 1985 - 1986 terhadap 11 buah penelitian dan Baker pada
tahun 1994 terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan
Inklusi berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun
sosial anak penyandang cacat dan teman sebayanya.
4. Tujuan Pendidikan Inklusi
Hakekat pendidikan adalah memanusiakan manusia, mengembangkan
potensi dasar peserta didik agar berani dan mampu menghadapi problema
yang dihadapi tanpa rasa tertekan, mampu, dan senang meningkatkan
fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi. Setiap orangtua mengharapkan
anaknya terlahir dalam kondisi yang normal secara fisik maupun mental.
Namun dalam kenyataan tidak demikian karena kondisi fisik dan mental yang
beragam sehingga mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengikuti
pendidikan secara normal.86
85Suparjo, Pendidikan Inklusi, http://apsijbi2013.blogspot.com/2013/01/pendidikan-Inklusi-
suparjomphil_16.html diakses pada 6 Maret 2015. 86 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, (Jakarta: Baduose Media, 2012), h. 11
77
Menurut Gargiulo mengemukakan bahwa tujuan pendidikan inklusi
adalah memberikan intervensi bagi anak berkebutuhan khusus sedini mungkin
agar87 :
1. Untuk meminimalkan keterbatasan kondisi pertumbuhan dan
perkembangan anak dan untuk memaksimalkan kesempatan anak
terlibat dalam aktivitas yang normal.
2. Jika memungkinkan untuk mencegah terjadinya kondisi yang lebih
parah dalam ketidak teraturan perkembangan sehingga menjadi anak
yang tidak berkemampuan.
3. Untuk mencegah berkembangnya keterbatasan kemampuan lainnya
sebagai hasil yang diakibatkan oleh ketidakmampuan utamanya.
Adapun Beberapa Tujuan dari Pendidikan Inklusi lainnya adalah
sebagai berikut88:
1. Membangun kesadaran dan konsensus pentingnya Pendidikan Inklusi
sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif.
2. Melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis
situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi.
3. Semua anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi alasan mengapa
mereka tidak sekolah.
87 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, (Jakarta: Baduose Media, 2012), h. 13 88 http://www.pokjaInklusibojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-Inklusi, diakses pada
tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 09.50 WIB
78
4. Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial, dan
masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.
5. Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring
mutu pendidikan bagi semua anak.
Selain itu, Tujuan pendidikan Inklusi menurut Raschake dan Bronson,
terbagi menjadi 4 yakni bagi anak berkebutuhan khusus, bagi pihak sekolah,
bagi guru, dan bagi masyarakat, lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
1. Bagi anak berkebutuhan khusus
a. Anak akan merasa menjadi bagian dari masyarakat pada umumnya.
b. Anak akan memperoleh bermacam-macam sumber untuk belajar
dan bertumbuh.
c. Meningkatkan harga diri anak.
d. Anak memperoleh kesempatan untuk belajar dan menjalin
persahabatan bersama teman yang sebaya.
2. Bagi pihak sekolah
a. Memperoleh pengalaman untuk mengelola berbagai perbedaan
dalam satu kelas.
b. Mengembangkan apresiasi bahwa setiap orang memiliki keunikan
dan kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya.
c. Meningkatkan kepekaan terhadap keterbatasan orang lain dan rasa
empati pada keterbatasan anak.
79
d. Meningkatkan kemampuan untuk menolong dan mengajar semua
anak dalam kelas
3. Bagi guru
a. Membantu guru untuk menghargai perbedaan pada setiap anak dan
mengakui bahwa anak berkebutuhan khusus juga memiliki
kemampuan
b. Menciptakan kepedulian bagi setiap guru terhadap pentingnya
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
c. Guru akan merasa tertantang untuk menciptakan metode-metode
baru dalam pembelajaran dan mengembangkan kerjasama dalam
memecahkan masalah.
d. Meredam kejenuhan guru dalam mengajar.
4. Bagi masyarakat
a. Meningkatkan kesetaraan sosial dan kedamaian dalam masyarakat.
b. Mengajarkan kerjasama dalam masyarakat dan mengajarkan setiap
anggota masyarakat tentang proses demokrasi.
c. Membangun rasa saling mendukung dan saling membutuhkan antar
anggota masyarakat.
Ada beberapa Alasan juga, mengenai alasan diterapkannya Pendidikan
Inklusi, diantaranya adalah untuk :
80
1. Semua anak mempunyai hak yang sama untuk tidak di-diskriminasi-
kan dan memperoleh pendidikan yang bermutu.
2. Semua anak mempunyai kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa
melihat kelainan dan kecacatannya.
3. Perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu
pembelajaran bagi semua anak.
4. Sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merespon dari
kebutuhan pembelajaran yang berbeda.89
Banyak orang yang mempertanyakan mengapa harus melalui
pendidikan Inklusi. Berbagai pertanyaan itu kini sudah mulai terjawab.
Keistimewaan pendidikan Inklusi itu diantaranya bagi anak berkebutuhan
khusus, akan terhindar dari label negatif. Hal ini karena anak-
anak difabel bisa bersosialisasi secara luas di sekolah umum yang mempunyai
tingkat keragaman yang berbeda-beda. Selain itu menurut Raharjo, memiliki
kesamaan menyesuaikan diri. Dengan bersekolah di sekolah umum,
siswa difabel mempunyai kesempatan untuk bersosialisasi dengan civitas
akademika sekolah secara lebih luas, dan mempunyai lebih banyak teman.
Dengan demikian kesempatan untuk dapat menyesuaikan diri dengan
89 http://www.pokjaInklusibojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-Inklusi, diakses pada
tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 09.50 WIB
81
lingkungan dapat optimal, dan mempunyai tingkat kematangan sosial yang
lebih baik dari pada bersekolah di sekolah eksklusi. 90
Keberadaan sekolah Inklusi juga akan memberikan kesan pada orang
tua dan masyarakat bahwa anak difabel pun mampu seperti anak pada
umumnya, dan akan menjadi pegangan diri yaitu dengan belajar secara
kompetitif, eksistensi anak difabel akan teruji dalam persaingan secara sehat
denga anak pada umumnya. Bagi anak yang tanpa berkebutuhan khusus akan
belajar mengenai keterbatasan tertentu. Ketika siswa belajar bersama dengan
temannya yang mempunyai kemampuan berbeda, ia akan belajar tentang
orang lain. Ia akan mempunyai pandangan bahwa setiap orang memiliki
kelebihan dan kekurangan, yang dari sana ia akan belajar memahami dan
bagaimana bersikap dan berteman dengan orang difabel. Kemampuan dan
pengalaman seperti ini sulit didapatkan oleh siswa yang bersekolah reguler
yang tidak mengembangkan pendidikan Inklusi. Selain itu dapat
mengembangkan keterampilan sosial. Siswa yang normal akan
mengembangkan pengetahuan dan pengalamannya bersekolah
bersama difabel dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan sekolah yang
Inklusi secara langsung maupun tidak langsung memberikan pendidikan
90http://nizhathecheerfulgirl.blogspot.com/2014/03/pendidikan-Inklusi-sejarah-tujuan-
dan.html, diakses pada tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 11.50 WIB
82
kepada siswa bagaimana ia berinteraksi, bersikap dan bertingkah laku dengan
masyarakat yang sangat heterogen.91
5. Karakteristik Pendidikan Inklusi
Hakikat pendidikan Inklusi sesungguhnya berupaya memberikan
peluang sebesar-besarnya kepada setiap anak khususnya di Indonesia untuk
memperoleh pelayanan pendidikan yang terbaik dan memadai demi
membangun masa depan bangsa. Secara konseptual, pendidikan Inklusi
merupakan sistem layanan pendidikan luar biasa (PLB) yang
mempersyaratkatkan agar semua anak tanpa terkecuali dilayani di sekolah
umum terdekat bersama teman seusianya. Sistem kategorisasi pendidikan
yang terpisah antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal pada
umumnya, sesungguhnya telah mengingkari cita-cita luhur bangsa Indonesia
yang menghendaki terwujudnya kecerdasan pada setiap anak bangsa.
Berkaitan dengan layanan penuh bagi anak berkebutuhan khusus,
karakter pendidikan Inklusi tentu saja sangat terbuka dan menerima tanpa
syarat anak Indonesia yang berkeinginan kuat untuk mengembangkan
kreativitas dan keterampilan mereka dalam satu wadah yang sudah
direncanakan dengan matang. Pendidikan Inklusi berbeda dengan sistem
pendidikan sebelumnya yang terkesan memusatkan perhatian pada anak tanpa
mempedulikan sistem pengajaran yang digunakan sehingga secara tidak
91http://nizhathecheerfulgirl.blogspot.com/2014/03/pendidikan-Inklusi-sejarah-tujuan-
dan.html, diakses pada tanggal 23 Mei 2015 pada pukul 11.50 WIB
83
langsung telah mengubur impian untuk mendapatkan akses dan jaminan mutu
pendidikan yang sesuai dengan landasan ataupun ideologi pendidikan Inklusi
itu sendiri. 92
Karakter utama dalam dalam penerapan pendidikan Inklusi tidak bisa
lepas dari keterbukaan tanpa batas dan lintas latar belakang yang memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi setiap anak yang membutuhkan layanan
pendidikan antidiskriminasi. Pelayanan pendidikan tanpa batas dan lintas latar
belakang adalah landasan fundamental dari pendidikan Inklusi yang
berkonsentrasi dalam memproyeksikan pendidikan untuk semua.
Pendidikan Inklusi memiliki empat karakteristik makna, antara lain93 :
2. Proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara
merespons keragaman individu
3. Mempedulikan cara-cara untuk membutuhkan hambatan-hambatan
anak dalam belajar
4. Anak kecil yang hadir di sekolah, berpartisipasi dan mendapatkan hasil
belajar yang bermakna dalam hidupnya
5. Diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal,
eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.
92 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 43 93 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 44
84
6. Prinsip Dasar Pendidikan Inklusi
Prinsip pendidikan Inklusi berkaitan langsung dengan jaminan akses
dan peluang bagi semua anak untuk memperoleh pendidikan tanpa
memandang latar belaknag kehidupan mereka. Jaminan akses dan peluang
merupakan catatan penting yang harus dipertimbangkan dalam menolak anak
berkebutuhan khusus yang hendak belajar bersama dengan anak normal
lainnya. Bagi anak berkebutuhan khusus, akses pendidikan formal sangat
mereka impikan demi mendapatkan layanan pendidikan terbaik seperti anak
normal pada umumnya. Peluang untuk menikmati pendidikan formal seperti
sebuah mimpi yang tak mungkin menjadi kenyataan karena mereka pasti
merasa terpinggirkan sebagai bagian dari masyarakat. 94
Sekolah Inklusi harus mengenal dan merespons kebutuhan yang
berbeda-beda dari para anak didiknya, mengakomodasi berbagai macam gaya
dan kecepatan belajarnya, dan menjamin diberikannya pendidikan yang
berkualitas kepada semua anak didik melalui penyusunan kurikulum yang
tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang tepat,
pemanfaatan sumber dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan kemitraan
dengan masyarakat sekitarnya. Pedidikan Inklusi merupakan alat yang paling
efektif untuk membangun solidaritas antara anak penyandang kebutuhan
khusus dengan teman-teman sebayanya.
94 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 48
85
Pada intinya prinsip dasar pendidikan Inklusi harus sejalan dengan
rekomendasi dan dokumen internasional yang menegaskan perlunya
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak berkebutuhan
khusus agar tidak diabaikan dalam lingkungan pendidikan formal. Penegasan
tentang pentingnya pendidikan Inklusi juga harus sejalan dengan deklarasi
hak asasi manusia yang menjamin seluruh anak di dunia untuk memperoleh
haknya dalam bidang pendidikan tanpa terkecuali. Jika pendidikan Inklusi
sudah sejalan dengan deklarasi hak asasi manusia mka akan terjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaaan sebagai basis utama dalam membela anak
berkelainan atau penyandang cacat. Ini karena, pendidikan Inklusi lahir atas
dasar prinsip bahwa layanan sekolah seharusnya diperuntukkan untuk semua
peserta didik tanpa menghiraukan perbedaan yang ada, baik siswa dengan
kondisi kebutuhan khusus, perbedaan sosial, emosional, kultural, maupun
bahasa. 95
5. ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS MENURUT J. DAVID SMITH
1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada
ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.96 Selain sebutan anak
95 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 50 96 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, (Jakarta: Baduose Media, 2012), h. 25.
86
berkebutuhan khusus, mereka juga terkadang disebut anak luar biasa karena
mereka diberi tempat khusus dalam menempuh pendidikan yaitu sekolah luar
biasa atau SLB, anak luar biasa adalah anak yang mempunyai sesuatu yang
luar biasa yang secara signifikan membedakannya dengan anak-anak seusia
pada umumnya. Keluarbiasaan yang dimiliki anak tersebut dapat berupa
sesuatu yang positif, dapat pula yang negatif. Dengan ini, keluarbiasaaan itu
dapat berada di atas rata-rata anak normal dapat pula berada di bawah rata-
rata anak normal. Oleh karena itu, berbicara tentang anak luar biasa atau anak
berkebutuhan khusus bukan hanya anak-anak yang mempunyai kekurangan,
tetapi juga anak-anak yang mempunyai kelebihan. Setiap orang mempunyai
kekurangan dan kelebihan, namun bagi anak berkebutuhan khusus,
kekurangan atau kelebihan yang sering disebut penyimpangan tersebut sangat
signifikan sehingga menunjukkan perbedaan yang sangat jelas dengan anak-
anak normal pada umumnya.97
Istilah anak luar biasa digunakan sebagai istilah umum untuk semua
anak yang mempunyai keluarbiasaan, dan untuk menggantikan berbagai
istilah yang selama ini digunakan, seperti anak cacat, anak berkelainan atau
anak lemah mental. Di dalam bahasa inggris, istilah ini bahkan lebih banyak,
seperti handicapped children, impaired children, disable children, dan
retarded children. penggunaan istilah ini masih menimbulkan silang
97 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, (Jakarta: Universitas Terbuka,
2007) Cet. IX, h. 1.3-1.4
87
pendapat, bahkan di Indonesia sendiri belum ada kesepakatan tentang
penggunaan istilah baku. Istilah anak penyandang cacat, anak berkelainan,
anak luar biasa, masih dipakai secara bergantian. Namun dari nama sekolah
yang di khususkan bagi anak-anak ini, yaitu sekolah luar biasa (SLB). Dapat
disimak bahwa istilah luar biasa memang mewakili semua anak yang
mempunyai penyimpangan dari anak normal, baik penyimpangan tersebut
bersifat fisik, tingkah laku maupun kemampuan. 98
Penamaan istilah dan konsep anak berkebutuhan khusus berkembang
seiring dengan munculnya paradigma baru pendidikan Inklusi, yang mewarnai
perjalanan setiap anak dalam menghadapi segala pelabelan negatif yang
diarahkan kepada mereka. Istilah anak berkebutuhan khusus bukan berarti
hendak menggantikan anak penyandang cacat atau anak luar biasa, melainkan
memiliki pandangan yang lebih luas dan positif bagi anak dengan
keberagaman yang berbeda. Keberagaman dalam setiap pribadi anak berkaitan
dengan perbedaan kebutuhan yang sangat esensial dalam menunjang masa
depan, terutama kebutuhan untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Disebutkan kembali pada intinya anak berkebutuhan khusus adalah
mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau permanen sehingga
membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens. Kebutuhan mungkin
disebabkan oleh kelainan atau memang bawaan dari lahir atau karena masalah
tekanan ekonomi, politik, sosial, emosional, dan perilaku yang menyimpang.
98 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, h. 1.4
88
Disebut kebutuhan khusus karena anak tersebut memiliki kelainan dan
keberbedaan dengan anak normal pada umumnya. 99
2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Sesuai dengan definisi anak yang masuk katagori disabilitas yang
dikemukakan oleh IDEA (singkatan dari The Individual With Disabilities
Education Act), anak yang masuk katagori disabilitas / berkebutuhan khusus
terbagi atas dua kelompok. Pertama katagori dimana anak-anak masuk ke
dalam persoalan yang terkait dengan tidak normalnya anak-anak tumbuh dan
berkembang. Dapat di nilai dari berbagai unsur dan pendekatan atas
keberfungsian organ tubuh, seperti mata, telinga, mental, dan kemampuan
berbicara. Katagori yang pertama ini merupakan kelompok anak-anak yang
termasuk membutuhkan pendidikan dengan terminologi Pendidikan
Berkebutuhan Khusus. Pada saat bersamaan masuk juga kelompok anak-anak
yang secara lahir, tumbuh dan berkembang membawa berbagai keganjilan,
diantaranya autism, superaktif. Sementara kelompok ke dua adalah anak-anak
yang masuk ke dalam katagori bukanlah memiliki tanda-tanda fisik masuk
pada kelompok pertama. Mereka lahir dan besar secara normal baik fisik
maupun mentalnya, namun bermasalah dari kesempatan memperoleh
pendidikan. Ini disebabkan karena konsekwensi geografis, diantaranya tempat
tinggal yang jauh atau tidak layak, berasal dari keluarga miskin, atau
99 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 138
89
bermasalah dari sisi keberadaan rumah tangga. Lebih spesifiknya, anak-anak
yang lahir, tumbuh dan berkembang pada katagori marginal. Mereka ini
termasuk mengalami permasalahan Pendidikan layanan Khusus.100
Jenis keluarbiasaan, sebutan lain dari disabilitas yang memerlukan
pendidikan berkebutuhan khusus, dapat dilihat dari bidang yang mengalami
penyimpangan dan dapat pula dilihat dari arah penyimpangan. Bidang
penyimpangan berkaitan dengan aspek dan/atau penyebab terjadinya
penyimpangan, sedangkan arah penyimpangan, mengacu kepada arah yang
berawal dari kondisi normal (ke atas atau ke bawah normal). Kategori
keluarbiasaan berdasarkan jenis penyimpangan, menurut Mulyono
Abdulrachman dibuat untuk keperluan pembelajaran. Kategori tersebut adalah
sebagai berikut101 :
1. Kelompok yang mengalami penyimpangan dalam bidang intelektual,
terdiri dari anak yang luar biasa cerdas (intellectually superior) dan
anak yang tingkat kecerdasannya rendah atau yang disebut tunagrahita.
2. Kelompok yang mengalami penyimpangan atau keluarbiasaan yang
terjadi karena hambatan sensoris atau indra, terdiri dari anak tunanetra
dan tunarungu.
3. Kelompok anak yang mendapat kesulitan belajar dan gangguan
komunikasi.
100 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, (Jakarta: Baduose Media, 2012), h. 5-6 101 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, h. 1.4
90
4. Kelompok anak yang mengalami penyimpangan perilaku, yang terdiri
dari anak tunalaras dan penyandang gangguan emosi.
5. Kelompok anak yang mempunyai keluarbiasaan/penyimpangan ganda
atau berat dan sering disebut sebagai tunaganda.
Dilihat dari arah penyimpangan, jenis keluarbiasaan dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu: keluarbiasaan yang berada di atas normal, dan
keluarbiasaan yang berada di bawah normal. Keluarbiasaan di atas normal
merupakan kondisi seseorang yang melebihi batas normal dalam bidang
kemampuan. Anak atau orang yang mempunyai kelebihan seperti ini, disebut
sebagai anak berbakat atau dalam bahasa asing disebut sebagai gifted and
talented person. Contohnya, anak usia dua tahun yang sudah mampu
menghafal nama presiden dari 100 negara atau anak usia lima tahun sudah
mampu menamatkan SMP, bahkan mungkin ada anak usia enam tahun sudah
duduk di perguruan tinggi Semua ini tentu merupakan contoh yang ekstrem
dari keluarbiasaan yang berada di atas normal.
Di indonesia, ternyata keluarbiasaan seperti ini, merupakan satu
kebanggaan sehingga anak-anak yang dianggap luar biasa tersebut
dikumpulkan dalam satu sekolah, yang disebut sebagai sekolah unggul atau
kelas unggul. Beberapa SMP dan SMU mencoba menjaring anak-anak yang
dianggap mempunyai kemampuan di atas normal, kemudian mengumpulkan
anak-anak tersebut dalam satu kelas. Tujuan utamanya tentu agar mampu
memberi layanan yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut sehingga
91
potensinya dapat berkembang secara optimal. Bersaing dengan teman-teman
yang mempunyai kemampuan hampir sama tentu merupakan tantangan
tersendiri bagi anak-anak ini. Namun, tidak jarang terjadi, anak yang
berkemampuan luar biasa menjadi frustasi yang akhirnya berujung pada
timbulnya masalah sehingga harus mendapat penanganan khusus. Oleh
karena itu, masalah yang dihadapi anak luar biasa yang berada di atas normal
ini, tidak jauh berbeda dengan masalah yang dihadapi anak luar biasa yang
berada di bawah normal.
Jika keluarbiasaan di atas normal hanya dikenal dengan satu istilah
maka keluarbiasaan di bawah normal sangat beragam. Jenis-jenis
keluarbiasaan di bawah normal adalah; (1) tunanetra, (2) tunarungu, (3)
gangguan komunikasi, (4) tunagrahita, (5) tunadaksa, (6) tunalaras, (7)
berkesulitan belajar, dan (8) tunaganda.102
1. Tunanetra
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan.
Tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu : buta total
(Blind) dan low vision. Definisi tunanetra menurut kaufman dan hallahan
adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi
penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki
penglihatan. Tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan
maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu
102 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, h. 1.4
92
indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus
diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra
adalah media yang di gunakan harus bersifat taktual dan bersuara,
contohnya adalah penggunaan tulisan baraille, gambar timbul, benda
model dan benda nyata. Sedangkan media yang bersuara adalah tape
recorder dan lainnya. 103
2. Tunarungu dan Tunawicara
Istilah tunarungu dikenalkan bagi mereka yang mengalami gangguan
pendengaran, mulai dari yang ringan sampai dengan yang berat.
Gangguan ini dapat terjadi sejak lahir atau bawaan lahir, dapat juga
terjadi setelah kelahiran. Istilah lainnya bagi mereka yang mengalami
gangguan pendengaran adalah anak tuli. Namun, sebenarnya istilah anak
tuli ini hanya merupakan salah satu klarifikasi dari gangguan
pendengaran. Anak tunarungu memerlukan bantuan khusus, baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam pendidikan.104
Anak tunarungu memiliki hambatan dalam pendengaran individu dan
biasanya memiliki hambatan dalam berbicara juga sehingga mereka biasa
disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan
bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional
sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. Saat ini
103 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, h. 26. 104 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, h. 1.6
93
dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara
berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan
bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami
konsep dari sesuatu yang abstrak. 105
3. Tunagrahita
Tunagrahita atau sering dikenal dengan cacat mental adalah kemampuan
mental yang berada di bawah normal. Tolok ukur yang sering dikenalkan
untuk ini adalah tingkat kecerdasan atau IQ. Anak yang secara signifikan
mempunyai IQ di bawah normal dikelompokkan sebagai anak
tunagrahita. Anak tunagrahita dapat dikelompokkan menjadi tunagrahita
ringan, sedang, berat dan sangat berat. Meskipun yang menonjol dalam
hal ini adalah kemampuan mental yang di bawah normal, namun kondisi
ini berpengaruh pada kemampuan lainnya, seperti kemampuan untuk
bersosialisasi dan menolong diri sendiri.106 Anak tunagrahita adalah
individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada di bawah rata-
rata dan disertai dengan masa perkembangan. Klasifikasi anak tunagrahita
berdasarkan pada tingkat IQ107 ;
a. Tunagrahira ringan (IQ : 51-70)
b. Tunagrahita sedang (IQ : 36-51)
c. Tunagrahita berat (IQ : 20-35)
105 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, h. 27. 106 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, h. 1.9 107 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, h. 28.
94
d. Tunagrahita sangat berat (IQ : dibawah 20)
Pembelajaran bagi anak tunagrahita lebih dititik beratkan pada
kemampuan bina diri dan sosialisasi.
4. Tunadaksa
Tunadaksa secara harfiyah berarti cacat fisik. Oleh karena kecacatan ini
anak tidak dapat menjalankan fungsi fisik secara normal. Anak yang
kakinya tidak normal karena kena folio atau yang anggota tubuhnya
diamputasi karena satu penyakit dapat dikelompokkan pada anak
tunadaksa.108 Anak tunadaksa adalah yang memiliki gangguan gerak yang
disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang
bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy,
amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah
ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetapi
masih dapat ditingkatkan melalui terapi, gangguan sedang yaitu memiliki
keterbatasan motorik dan mengalami ganguuan koordinasi sensorik,
sedangkan gangguan berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam
gerakan fisik dan mampu mengontrol gerakan fisik.109
5. Tunalaras
Tunalaras adalah indvidu yang mengalami hambatan dalam
mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Anak tunalaras biasanya
108 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, h. 1.6 109 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, h. 28.
95
menunjukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan normal dan
aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena
faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan
sekitar. 110
Gangguan yang biasanya muncul pada anak-anak ini berupa gangguan
perilaku, seperti suka menyakiti diri sendiri, suka menyerang teman, dan
bentuk penyimpangan perilaku lain. Anak-anak autistik juga termasuk
dalam kelompok anak tunalaras, anak autistik yaitu anak-anak yang
menunjukkan perilaku menyimpang yang membahayakan baik bagi
dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
6. Kesulitan belajar
Anak berkesulitan belajar adalah yang memiliki gangguan pada satu atau
lebih kemampuan dasar psikologi yang mencakup pemahaman dan
penggunaan bahasa, berbicara, dan menulis yang dapat memengaruhi
kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan
karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia,
dan afasia perkembangan. Individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-
rata atau di atas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik,
gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan
keterlambatan perkembangan konsep. 111
110 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, h. 28. 111 Dr. Mudjito A.K.,MSi, Dkk., Pendidikan Inklusi, h. 29
96
Kesulitan belajar yang dialami anak bukan karena kelainan yang
dideritanya karena anak-anak ini pada umumnya mempunyai tingkat
kecerdasan yang normal, namun tidak mampu mencapai prestasi yang
seharusnya karena mendapat kesulitan belajar. 112
6. PENDIDIKAN INKLUSI BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
MENURUT J. DAVID SMITH
1. Pendidikan Inklusi Bagi Anak Tunalaras
Keberagaman anak yang di anggap memiliki kebutuhan khusus dapat
diidentifikasi melalui berbagai cara, semisal mencermati sikap, perilaku, dan
penelitian melalui observasi langsung kepada anak yang dianggap memiliki
kelainan. Beberapa tipe anak berkebutuhan khusus di sekolah Inklusi itu
sendiri ada yang mudah diidentifikasi, seperti anak-anak yang mengalami
hambatan fisik, tetapi banyak juga yang tidak mudah untuk diidentifikasi,
seperti anak dengan kesulitan belajar spesifik, anak berbakat istimewa, dan
anak dengan gangguan emosi dan perilaku atau tunalaras. Keberadaan mereka
di sekolah terkadang tanpa didasari sebelum sekolah menyatakan secara
formal sebagai sekolah Inklusi. 113
Untuk lebih mengenal anak tunalaras, harus mengetahui terlebih
dahulu tentang gangguan emosi dan perilaku. Menurut Hallahan dan
Kauffman, cara mendefinisikan gangguan emosi dan perilaku dapat dimulai
112 I.G.A.K. Wardani, Dkk., Pengantar Pendidikan Luar Biasa, h. 1.10 113 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 143
97
dari tiga ciri khas yang memengaruhi tingkat perkembangannya, antara lain;
114
1. Tingkah laku yang sangat ekstrem dan bukan hanya berbeda dengan
tingkah laku anak lainnya.
2. Suatu problem emosi dan perilaku yang kronis, yang tidak muncul
secara langsung.
3. Tingkah laku yang tidak diharapkan oleh lingkungan karena
bertentangan dengan harapan sosial dan kultural.
Sebagaimana tampak dalam peristilahannya, tunalaras atau gangguan
emosi diuraikan sebagai kesulitan dalam penyesuaian diri dan tingkah laku
yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan
kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya sehingga merugikan
dirinya maupun orang lain. Gangguan emosi dan perilaku memang terkadang
memberikan kekhawatiran karena bisa melakukan tindakan agresif yang
merugikan orang lain. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku seperti ini
bisa saja menimpa siapa pun tanpa mengenal latar belakang kehidupan, status
sosial, gender, dan lain sebagainya.
Menurut Heward dan Orlansky, seseorang dikatakan mengalami
gangguan perilaku apabila memiliki satu atau lebih dari lima karakteristik
berikut dalam kurun waktu yang lama, yaitu 115:
114 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 144 115 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 146
98
1. Ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh faktor
intelektualitas, alat indra maupun kesehatan. Ketidakmampuan ini
menyebabkan anak kurang percaya diri dalam mengembangkan
kecerdasannya sehingga memungkinkan mereka merasa rendah diri ketika
berinteraksi dengan teman sebayanya.
2. Ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara kepuasan dalam
menjalin hubungan dengan teman sebaya dan pendidik. Ketidakmampuan
membangun hubungan atau kerja sama adalah tanda-tanda awal seseorang
mengalami gangguan emosi dan perilaku karena mereka merasa tidak
mempunyai teman dan terpinggirkan dari lingkungan sekolah.
3. Tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang di bawah keadaan
normal. Perasaan juga sangat menentukan apakah seseorang mengalami
gangguan emosi atau tidak, karena bila tidak sesuai dengan harapannya,
bisa menimbulkan keputusasaan dan pengharapan yang tidak pernah
tercapai sesuai dengan keinginan.
4. Mudah terbawa suasana hati ( emosi labil ), ketidakbahagian, atau depresi.
Ketidakstabilan emosi bisa menimbulkan seseorang mengalami depresi
berat karena merasa tidak bahagia atau merasa dirinya selalu gagal dalam
mencapai sesuatu.
5. Kecenderungan untuk mengembangkan simton-simton fisik atau
ketakutan-ketakutan yang diasosiasikan dengan permasalahan-
permasalahan pribadi atau sekolah. Ketakutan juga menjadi faktor yang
99
membuat seseorang mengalami gangguan emosi dan perilaku karena
mereka sering menjadikan masalah pribadi sebagai sesuatu yang
menghambat segala keinginannya.
Bila ditelusuri karakter akademik anak dengan gangguan emosi dan
perilaku, akan ditemukan masalah pada IQ yang sangat lamban. Anak dengan
gangguan emosi dan perilaku tidak memiliki kriteria inteligensi secara khusus.
Sedangkan anak dengan kelainan tunagrahita mempunyai tingkat intelegensi
di bawah normal karena anak tunagrahita tidak dapat mencapai kemandirian
yang sesuai dengan ukuran kemandirian dan tanggung jawab sosial. Tetapi
mengalami masalah sama dalam keterampilan akademik dan berpartisipasi
dengan kelompok teman yang memiliki usia sebaya. 116
Masalah akademik yang sering menimpa anak dengan gangguan emosi
dan perilaku adalah underachiever, yaitu mereka tidak mampu memenuhi
prestasi sesuai dengan usia mental mereka. Anak dengan gangguan emosi dan
perilaku yang berat biasanya kurang dalam kemampuan membaca dasar dan
keterampilan matematika. Hal itu utamanya disebabkan gangguan emosi dan
perilaku yang merusak atensi mereka dalam menerima pelajaran. Padahal,
etensi merupakan faktor penting dalam proses belajar.
Setiap anak berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan Inklusi
secara langsung mendapatkan pelayanan pendidikan tanpa terkecuali, baik
yang mengalami kecacatan, kesulitan belajar, gangguan emosi dan perilaku,
116 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 149
100
maupun yang mengalami kehilangan pemusatan perhatian. Beberapa masalah
yang dihadapi anak berkebutuhan khusus, setidaknya dapat memberikan
gambaran kepada kita semua bahwa anak dengan gangguan emosi dan
perilaku harus diakomodasi dan diperhatikan secara khusus melebihi anak
normal pada umumnya. Dalam konteks pendidikan anak tunalaras, checks dan
balances sangat berarti bagi mereka. Peran sekolah sebagai penyedia layanan
pendidikan akan terbantu dengan kerjasama yang baik dari orangtua siswa
sebagai guru sekaligus diagnostician gangguan emosi dan perilaku anak di
rumah.
Pendidikan Inklusi sudah mengakomodasi semua hambatan belajar dan
perkembangan anak yang mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan
baru mereka. Artinya, pendidikan Inklusi merupakan pendidikan yang
mengakomodasi berbagai keragaman karakteristik siswa yang tidak
memisahkan antara anak berkebutuhan khusus dan anak reguler lain dalam
proses pembelajarannya. Itulah sebabnya, untuk pelaksanaan pendidikan
Inklusi yang ideal perlu diperhatikan tentang keberadaan aspek-aspek penting
dalam penyelenggaraannya, baik menyangkut tenaga kependidikan, sarana
pendukung, kurikulum, dan lain sebagainya. 117
117 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 151
101
2. Pendidikan Inklusi Bagi Anak Tunanetra
Setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh
pendidikan tak terkecuali kaum tunanetra. Pernyataan ini seolah menggugah
kesadaran masyarakat agar memiliki kepedulian dan perhatian penuh terhadap
anak-anak yang menderita kelainan fisik dan mental. Kesadaran ini, tentu
bukan karena ingin mendapatkan pujian dan sanjungan dari orang lain,
melainkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai humanitas dan solidaritas
sebagai sesama yang juga berkesempatan memperoleh hak-hak hidup secara
layak. Terkadang kita sering berpikir negatif dan cenderung
mengesampingkan anak-anak yang berkelainan dari segi fisik dan mental,
karena alasan itulah, kita seringkali mengabaikan dan acuh tak acuh bahwa
mereka mempunyai kedudukan yang sama dengan kita dalam segala hal.
Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia menjadi hak bagi setiap
individu manusia, tak terkecuali bagi kaum tunanetra terutama perempuan
tunanetra. Karena mereka mempunyai cita-cita untuk memperoleh ketenangan
dan ketentraman hidup dengan kesempatan kerja yang ada di depannya.
Walaupun dari segi fisik tidak mendukung, paling tidak mereka juga
mempunyai semangat untuk mendapatkan haknya sebagai manusia, yakni
memperoleh kesempatan kerja seperti halnya manusia normal lainnya.
Perempuan tunanetra yang mengalami cacat fisik, secara kasat mata
memang sangat sulit untuk mendapatkan tempat di dunia kerja. Keterbatasan
fisik maupun kemampuan yang dimiliki perempuan tunanetra merupakan
102
problem utama dalam memperoleh kesempatan kerja. Keterbatasan-
keterbatasan itu menjadi penghambat bagi perempuan tunanetra untuk
menatap masa depannya. Keterbatasan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
berikut118 :
1. Keterbatasan fisik yang tidak menguntungkan. Keterbatasan ini pada
hakikatnya berpengaruh pada kemampuan mereka ketika sedang
bekerja sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal dan terkesan
gagal total. Kemampuan fisik bagi seseorang memang sangat
dibutuhkan untuk menopang aktivitas kerja yang sangat berat.
2. Keterbatasan kemampuan berpikir. Keterbatasan berpikir memang
bukan merupakan keterbatasan paling utama. Namun, paling tidak
keterbatasan tersebut berpengaruh terhadap kemampuan mereka dalam
menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
3. Keterbatasan memaksimalkan kinerja ketika melakukan aktivitas
kerja. Secanggih apapun kemampuan yang dimiliki perempuan
tunanetra kalau mengalami cacat fisik, maka kemampuan
memaksimalkan kinerja tidak akan pernah sempurna. Karena
perempuan tunanetra tidak memiliki kesempurnaan anggota tubuh
seperti orang-orang pada umumnya. Hingga manusia telah mencapai
abad 21 ini, sebagian besar masyarakat terutama di Indonesia masih
beranggapan bahwa tunanetra, meskipun telah diberikan rehabilitasi,
118 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 154
103
termasuk rehabilitasi pendidikan dan rehabilitasi vokasional, tetap saja
tidak dapat menjadi sumber daya manusia yang mandiri dan produktif.
Akibatnya, mereka ditempatakn sebagai warga masyarakat yang
senantiasa harus disantuni.
Karena sistem sosial tidak dirancang dengan mempertimbangkan
kepentingan kaum tunanetra, akibatnya mereka tidak dapat memasuki
kehidupan meinstream. Dibidang pendidikan misalnya, anak tunanetra
disisihkan di sekolah-sekolah luar biasa dan panti-panti rehabilitasi yang
hanya memberikan keterampilan yang bersifat konvensional, seperti membuat
sapu, keset, memijat, karena menurut para perancang kebijakan, hanya itu saja
yang bisa dilakukan tunanetra. Akibatnya, di bidang tenaga kerja, kesempatan
dan peluang kerja yang mereka miliki pun sangat terbatas, sementara saudara-
saudara mereka yang berpenglihatan normal telah melesat jauh meninggalkan
mereka. Ketika anak tunanetra masuk ke lembaga pendidikan formal,
pendekatan yang dinilai paling efektif adalah dengan jalan optimalisasi
pendidikan Inklusi secara berkelanjutan kepada tunanetra. Dalam pendidikan
terpadu pun, pendidikan Inklusi menjadi pilihan yang dirasakan sangat
membantu terhadap pengembangan potensi dan skill tunanetra. Pilihan model
ini bagi tunanetra, sebenarnya banyak didorong oleh kemudahan yang menjadi
karakteristik dari pendidikan Inklusi. Jika sistem segregasi tidak lagi dipakai
dalam sistem belajar mengajar, dan sebagai pilihan yang dinilai sukses adalah
dengan menerapkan pendidikan Inklusi bagi kalangan tunanetra.
104
Menurut Didi Tarsidi, pendidikan dalam setting segregasi memang
dapat memberikan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan memenuhi
kebutuhan khusus anak tunanetra secara akademik, tetapi cenderung
memisahkan anak dari lingkungan sosialnya (termasuk dari lingkungan
keluarganya), dan kurang memberi kesempatan kepada anak untuk
bersosialisasi secara lebih luas. Pada gilirannya, segregasi tidak memberikan
kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengenal orang tunanetra secara
benar. 119
Melalui strategi pendidikan Inklusi, diharapkan akan mampu
memberikan secercah impian dan harapan bagi para penyandang cacat.
Melalui strategi ini, masa depan dan kesempatan dalam dunia kerja dapat
mudah terwujud. Dengan demikian, mereka bisa melakukan aktivitas yang
sama seperti orang pada umumnya. Pendidikan Inklusi merupakan satu
inovasi, khususnya dalam pendidikan bagi penyandang cacat. Ideologi dan
pendekatan ini pertama kali muncul dalam dokumen internasional pada tahun
1994 dalam the Salamanca Statement.120
Dalam implementasi pendidikan Inklusi perlu upaya yang maksimal
agar dapat mengantarkan anak-anak tunanetra mencapai pendidikannya secara
119 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 157 120 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 151
105
Inklusi dan integral. Ada lima poin penting dalam penerapan pendidikan
Inklusi bagi kalangan tunanetra,121 yaitu :
4. Menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima
keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.
5. Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan
kurikulum secara mendasar.
6. Menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif.
7. Penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan
penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.
8. Melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses perencanaan.
121 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusi, Konsep & Aplikasi, h. 162