bab ii pembahasan - abstrak.ta.uns.ac.id · merupakan bentuk gaya bahasa yang bertujuan untuk...

51
37 BAB II PEMBAHASAN Penelitian ini membahas tentang eufemisme dan disfemisme. Eufemisme merupakan bentuk gaya bahasa yang bertujuan untuk membuat bahasa yang bernilai rasa kasar atau tidak pantas menjadi bahasa yang bernilai rasa sopan, santun, dan pantas didengar. Disfemisme merupakan bentuk gaya bahasa yang berusaha memunculkan nilai rasa kasar, buruk, tidak pantas dengan cara mengganti kata-kata bernilai rasa halus dengan kata-kata bernilai rasa kasar. Pemakaian eufemisme dan disfemisme dapat dijumpai dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat dengan berbagai alasan, misalnya pemakaian eufemisme untuk menghaluskan makna sebuah kata yang dirasa kasar, dan disfemisme untuk mengasarkan atau memberi tekanan makna terhadap suatu kata. Dalam penelitian ini ditemukan bentuk, fungsi, dan nilai rasa eufemisme dan disfemisme yang akan diuraikan sebagai berikut. Uraian data dalam pembahasan ini menampilkan beberapa contoh yang memenuhi kriteria. A. Bentuk, Fungsi, dan Nilai Rasa Eufemisme dalam Rubrik Pethilan pada Majalah Panjebar Semangat Bentuk eufemisme dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat terbagi atas kata dasar, kata berimbuhan, kata majemuk, dan frasa. Fungsi eufemisme adalah untuk menghaluskan makna, menunjukkan perilaku, dan menunjukkan keadaan. Nilai rasa eufemisme terdiri dari nilai rasa ramah

Upload: lyliem

Post on 01-May-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

37

BAB II

PEMBAHASAN

Penelitian ini membahas tentang eufemisme dan disfemisme. Eufemisme

merupakan bentuk gaya bahasa yang bertujuan untuk membuat bahasa yang

bernilai rasa kasar atau tidak pantas menjadi bahasa yang bernilai rasa sopan,

santun, dan pantas didengar. Disfemisme merupakan bentuk gaya bahasa yang

berusaha memunculkan nilai rasa kasar, buruk, tidak pantas dengan cara

mengganti kata-kata bernilai rasa halus dengan kata-kata bernilai rasa kasar.

Pemakaian eufemisme dan disfemisme dapat dijumpai dalam rubrik

Pethilan pada majalah Panjebar Semangat dengan berbagai alasan, misalnya

pemakaian eufemisme untuk menghaluskan makna sebuah kata yang dirasa kasar,

dan disfemisme untuk mengasarkan atau memberi tekanan makna terhadap suatu

kata.

Dalam penelitian ini ditemukan bentuk, fungsi, dan nilai rasa eufemisme

dan disfemisme yang akan diuraikan sebagai berikut. Uraian data dalam

pembahasan ini menampilkan beberapa contoh yang memenuhi kriteria.

A. Bentuk, Fungsi, dan Nilai Rasa Eufemisme dalam Rubrik Pethilan pada

Majalah Panjebar Semangat

Bentuk eufemisme dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar

Semangat terbagi atas kata dasar, kata berimbuhan, kata majemuk, dan frasa.

Fungsi eufemisme adalah untuk menghaluskan makna, menunjukkan perilaku,

dan menunjukkan keadaan. Nilai rasa eufemisme terdiri dari nilai rasa ramah

38

dan nilai rasa halus. Berikut uraian mengenai bentuk, fungsi, dan nilai rasa

eufemisme dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat.

a. Kata Dasar

Kata dasar adalah kata yang belum mengalami proses morfologis dan

merupakan dasar bagi pembentukan bentuk lain, misalnya kata berimbuhan.

Contoh penggunaan eufemisme berupa kata dasar dalam rubrik Pethilan pada

majalah Panjebar Semangat adalah sebagai berikut.

(1) A: DPD uga pengin duwe gedhung anyar.

B: “Si ragil” ora gelem kalah uga.

A: „DPD juga ingin punya gedung baru.‟

B: „“Si bungsu” tidak ingin kalah juga.‟

(P/PS/6/23/6/6/2015)

(1a) A: DPD uga meri duwe gedhung anyar.

B: “Si ragil” ora gelem kalah uga.

A: „DPD juga iri punya gedung baru.‟

B: „“Si bungsu” tidak ingin kalah juga.‟

Data (1) menunjukkan penggunaan eufemisme berupa kata dasar, yaitu

pengin „ingin‟ yang dapat disubstitusikan dengan kata meri „iri‟ pada data (1a).

Kata pengin termasuk kata sifat atau ajektif.

Fungsi penggunaan eufemisme pada data (1) adalah untuk

menunjukkan perilaku, yaitu perilaku DPD yang iri mempunyai gedung baru.

Kata pengin bernilai rasa halus daripada kata meri yang bernilai rasa

lebih kasar. Kata pengin pada kalimat (1) adalah ingin dan berpadanan dengan

kata meri. Makna kata pengin pada konteks kalimat (1) adalah keinginan DPD

yang ingin mempunyai gedung baru, kata pengin sama saja menunjukkan

sebuah keirian DPD namun diungkapkan dengan kata yang lebih halus.

39

(2) A: Presiden duka bab soal dwelling time ing Priok.

B: Langkah sabanjure nyopot sapa pak?

A: „Presiden marah tentang persoalan dwelling time di Priok.‟

B: „Langkah selanjutnya mencopot siapa pak?‟

(P/PS/3/27/4/7/2015)

(2a) A: Presiden nesu bab soal dwelling time ing Priok.

B: Langkah sabanjure nyopot sapa pak?

A: „Presiden marah tentang persoalan dwelling time di Priok.‟

B: „Langkah selanjutnya mencopot siapa pak?‟

Data (2) menunjukkan penggunaan eufemisme berupa kata dasar yaitu

duka „marah‟ yang dapat disubtitusikan dengan kata nesu „marah‟ pada data

(2a). Kata duka merupakan kata sifat.

Fungsi dari penggunaan kata duka adalah untuk menunjukkan perilaku

dan menunjukkan penghormatan, maka dari itu akan lebih tepat apabila

menggunakan kata duka daripada kata nesu.

Dilihat dai nilai rasanya, kata duka memiliki nilai rasa yang lebih halus

dibandingkan dengan kata nesu. Kata duka dan nesu berarti marah, tetapi

kedua kata tersebut memiliki nilai rasa yang berbeda. Pada data diatas di atas

digunakan kata duka untuk menunjukkan perilaku seorang Presiden, jadi tidak

menggunakan kata yang tidak sopan yaitu kata nesu. Presiden sebagai orang

dengan jabatan tertinggi dan berstatus sosial tinggi jadi digunakanlah dengan

ragam krama yaitu kata duka.

(3) A: Subsidi listrik rumah tangga kelas ngisor bakal dikurangi.

B: Sing mlarat bakal saya byarpet.

A: „Subsidi listrik rumah tangga kelas bawah akan dikurangi.‟

B: „Yang miskin akan semakin byarpet.‟

(P/PS/5/27/4/7/2015)

(3a) A: Bantuan listrik rumah tangga kelas ngisor bakal dikurangi.

B: Sing mlarat bakal saya byarpet.

A: .Bantuan listrik rumah tangga kelas bawah akan dikurangi.‟

B: „Yang miskin akan semakin byarpet.‟

40

Pada data (3) terlihat penggunaan eufemisme berupa kata dasar yaitu

subsidi „bantuan‟ yang dapat digantikan dengan kata bantuan „bantuan‟ pada

data (3a). Kedua kata tersebut merupakan nomina atau kata benda.

Fungsi dari kata subsidi sebagai eufemisme dari kata bantuan adalah

untuk menghaluskan makna. Kata bantuan cenderung merujuk kepada orang

miskin sebagai pihak yang dibantu, namun kata subsidi lebih bersifat netral dan

tidak menunjukkan orang tersebut miskin atau tidak.

Dilihat dari nilai rasa, kata subsidi mempunyai nilai rasa yang lebih

halus dibandingkan kata bantuan. Kata subsidi dan bantuan berarti bentuk

bantuan dari pemerintah atau institusi kepada masyarakat. Emotif dari kedua

kata tersebut berbeda, kata subsidi mempunyai emotif yang lebih halus, kata

subsidi menunjukkan tidak adanya perbedaan kelas sosial. Kata subsidi mampu

diterima oleh berbagai kalangan masyarakat, baik kelas sosial rendah maupun

tinggi.

(4) A: Pengamat; ora gampang mawujudake revolusi mental.

B: Apamaneh yen direpotake urusan kursi karo parpol koalisi.

A: „Pengamat; tidak mudah mewujudkan revolusi mental‟.

B: „Apalagi kalau direpotkan urusan kursi dengan parpol koalisi‟. (P/PS/3/47/21/11/2015)

(4a) A: Pengamat; ora gampang mawujudake revolusi mental.

B: Apamaneh yen direpotake urusan jabatan karo parpol koalisi.

A: „Pengamat; Tidak mudah mewujudkan revolusi mental‟.

B: „Apalagi kalau direpotkan urusan jabatan dengan parpol koalisi‟.

Data (4) menunjukkan penggunaan eufemisme berupa kata dasar, yaitu

kata kursi „kursi‟ yang dapat disubstitusikan dengan kata jabatan „kedudukan‟

pada data (4a). Kata kursi dan jabatan termasuk dalam kata benda atau

nomina.

41

Fungsi kata kursi pada data (4) untuk menghaluskan makna.

Penggunaan eufemisme dalam data (4) menghaluskan kata jabatan, yang

dihindari penggunaannya.

Nilai rasa dari kata kursi dirasa lebih halus daripada kata jabatan. Kata

kursi berarti benda yang digunakan untuk duduk, tetapi makna emotif dalam

kalimat (4) berbeda dengan makna leksikalnya. Kata kursi bersinonimi dengan

kata jabatan. Kata kursi bermakna sebagai jabatan, dalam dunia politik,

eufemisme tersebut sudah tidak asing lagi. Penggunaannya terasa lebih halus

dan menghindari penyebutan secara langsung kata jabatan.

(5) A: Pemerintah didhesek ndhungkap mafia migas.

B: Sebut wae jenene amrih ora dadi fitnah.

A: „Pemerintah didesak mengungkap mafia migas‟.

B: „Sebut saja namanya supaya tidak menjadi fitnah‟.

(P/PS/5/48/28/11/2015)

(5a) A: Pemerintah didhesek ndhungkap penjahat migas.

A: „Pemerintah didesak mengungkap penjahat migas‟.

B: Sebut wae jenene amrih ora dadi fitnah.

B: „Sebut saja namanya supaya tidak menjadi fitnah‟.

Data (5) menunjukkan penggunaan eufemisme berupa kata dasar, yaitu

kata mafia „mafia‟ yang dapat disubstitusikan dengan kata penjahat ;penjahat‟

pada data (5a). Kata mafia termasuk kata nomina atau kata benda.

Fungsi penggunan eufemisme pada data (5) adalah untuk menghaluskan

makna, yaitu makna mafia yang dirasa lebih halus untuk menggantikan kata

penjahat yang bernilai kasar.

Kata mafia mempunyai nilai rasa halus dan tidak menimbulkan kesan

mengerikan seperti pada kata penjahat. Kata mafia bersinonimi dengan kata

penjahat yang berarti yaitu seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak

42

baik atau melanggar hukum dan merugikan orang lain. Kata mafia mempunyai

konotasi yang lebih halus daripada kata penjahat, hal tersebut utnuk

menghindari kesan mengerikan dari kata penjahat. Kata mafia dalam data (6)

menunjukkan bahwa adanya mafia migas diharapkan dapat diungkap oleh

pemerintah, karena adanya mafia migas tersebut banyak merugikan

pemerintah.

b. Kata Berimbuhan

Kata berimbuhan adalah kata yang sudah berubah bentuk melalui

proses morfologis. Proses mofologis tesebut dapat berupa awalan atau prefiks,

sisipan atau infiks, akhiran atau sufiks, dan imbuhan awal-akhir atau simulfiks

dan konfiks. Contoh penggunaan eufemisme berupa kata berimbuhan dalam

rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat adalah sebagai berikut.

(6) A: Presiden prentah Freeport ningkatake pembangunan ing Papua.

B: Jelas wis, tambahan kontrak diamini.

A: „Presiden memerintahkan Freeport meningkatkan pembangunan di

Papua‟.

B: „Jelas sudah, tambahan kontrak diamini‟.

(P/PS/3/31/1/8/2015)

(6a) A: Presiden prentah Freeport ningkatake pembangunan ing Papua.

B: Jelas wis, tambahan kontrak dikabulne.

A: „Pesiden memerintahkan Freeport meningkatkan pembangunan di

Papua‟.

B: „Jelas sudah, tambahan kontrak dikabulkan‟.

Pada data (6) nampak penggunaan eufemisme berupa kata berimbuhan

yaitu kata diamini „diamini‟ yang dapat digantikan dengan kata dikabulne

„dikabulkan‟ pada data (6a). Kedua kata tersebut berupa kata kerja. Kata

43

diamini berasal bentuk {di-i}+{amin}. Afiksasi {di-i} pada kata diamini

berfungsi untuk membentuk kata kerja pasif.

Fungsi penggunaan eufemisme pada data (6) adalah untuk

menunjukkan keadaan, yaitu keadaan mengenai tambahan kontrak Freeport

yang dikabulkan oleh Presiden.

Dilihat dari nilai rasanya kata diamini bernilai rasa lebih halus daripada

kata dikabulne. Kata diamini dan dikabulne memiliki makna yang sama, yaitu

harapan atau keinginan yang dikabulkan atau disetujui. Kata diamini

menunjukkan persetujuan Presiden mengenai tambahan kontrak Freeport yang

sedang menjadi polemik. Bentuk persetujuan tersebut tidak dinyatakan secara

langsung namun terlihat dari perintah Presiden yang menginstruksikan untuk

meningkatkan pembangunan di Papua.

(7) A: Kemenag nargetke nyuda angka tiwase jemaah haji.

B: Bab umur dawa urusane Sing Kuwasa ya.

A: „Kemenag menargetkan mengurangi angka kematian jamaah haji‟.

B: „Bab umur panjang urusan Yang Kuasa ya‟.

(P/PS/6/37/12/9/2015)

(7a) A: Kemenag nargetke nyuda angka matine jemaah haji.

B: Bab umur dawa urusane Sing Kuwasa ya.

A: „Kemenag menargetkan mengurangi angka kematian jamaah haji‟. B: „Bab umur panjang urusan Yang Kuasa ya‟.

Data (7) menunjukkan eufemisme berupa kata berimbuhan, yaitu kata

tiwase „tewasnya‟ yang dapat disubstitusikan dengan kata matine „matinya‟

pada kalimat (7a). Kata tiwase berasal dari bentuk {tiwas}+{e}. Kata tiwase

merupakan kata keterangan.

44

Fungsi kata tiwase pada data (7) adalah untuk menunjukkan keadaan.

Kata tiwase digunakan untuk menunjukkan jamaah haji yang meninggal saat

melakukan ibadah haji. Kata tiwase lebih tepat digunakan pada data (7) yang

menunjukkan kematian manusia, sedangkan kata matine (7a) tidak sesuai

karena kata mati menunjukkan konotasi kasar, dan biasanya digunakan untuk

menerangkan kematian yang bukan manusia, misalnya hewan, tumbuhan.

Nilai rasa kata tiwase lebih halus daripada kata matine. Kata tiwase

berarti matinya, yang bersinonimi dengan kata matine. Makna emotif dari

kedua kata tersebut berbeda, kata tiwase memiliki makna yang lebih halus

daripada kata matine. Makna kata tiwase menunjukkan bahwa kematian

tersebut terjadi pada manusia, selain itu kata tiwase lebih sesuai digunakan

pada data (7), karena menunjukkan kematian manusia saat melakukan hal yang

baik yaitu ibadah haji.

(8) A: Ekonomi ruwet, pengusaha ngajab padha ngerti.

B: Amrih ngerti pancen rada angel yen upahe tetep sithik.

A: „Ekonomi bermasalah, pengusaha berharap dapat mengerti‟.

B: „Supaya mengerti memang sedikit sulit jika upahnya tetap sedikit‟.

(P/PS/7/37/12/9/2015)

(8a) A: Ekonomi ruwet, pengusaha ngajab padha ngerti.

B: Amrih ngerti pancen rada angel yen bayarane tetep sithik.

A: „Ekonomi bermasalah, pengusaha berharap dapat mengerti‟.

B: „Supaya mengerti memang sedikit sulit jika upahnya tetap sedikit‟.

Data (8) menunjukkan bentuk eufemisme berupa kata berimbuhan,

yaitu kata upahe „upahnya‟ yang dapat disubstitusikan dengan kata bayarane

„bayarannya‟ pada data (8a). Kata upahe merupakan kata benda. Kata upahe

berasal dari bentuk {upah}+{e}. Kata upahe pada kalimat (8) merupakan kata

benda atau nomina.

45

Fungsi kata upahe pada data (8) adalah untuk menghaluskan makna.

Kata upahe terasa lebih halus, mampu diterima oleh semua kalangan dan tidak

menunjukkan adanya perbedaan kelas sosial, sedangkan kata bayarane

menunjukkan adanya perbedaan kelas sosial, cenderung digunakan untuk kelas

sosial rendah.

Nilai rasa kata upahe lebih halus jika dibandingkan dengan kata

bayarane. Kata upahe dan bayarane berarti sebuah bentuk imbalan dari suatu

pekerjaan yang telah diselesaikan oleh pegawai. Makna emotif dari keduannya

berbeda, makna kata upahe dirasa lebih halus daripada kata bayarane. Kata

upahe dalam data (8) bermakna sebagai gaji para pegawai yang tetap sedikit,

dalam keadaan ekonomi yang sulit para pengusaha mengharapkan para

pegawainya dapat mengerti, tetapi hal tersebut dirasa sulit jika gaji pegawai

tetap saja sedikit.

(9) A: Cebloke Hercules dinuga mesin rusak.

B: Saya jelas, yen sing tuwa kudu dipurnawira.

A: „Jatuhnya Hercules diduga mesin rusak‟.

B: „Semakin jelas, jika sudah tua harus dipurnawira‟.

(P/PS/4/31/1/8/2015)

(9a) A: Cebloke Hercules dinuga mesin rusak.

B: Saya jelas, yen sing tuwa kudu dipensiunke.

A: „Jatuhnya Hercules diduga mesin rusak‟.

B: „Semakin jelas, jika sudah tua harus dipensiunkan‟.

Data (9) menunjukkan penggunaan eufemisme berupa kata berimbuhan,

yaitu kata dipurnawira „diprnawira‟ untuk menggantikan kata dipensiunke

„dipensiunkan‟. Kata dipurnawira berasal dari bentuk {di}+{purnawira}. Kata

tersebut merupakan kata keterangan pada data (9).

46

Fungsi eufemisme dipurnawira pada data (9) adalah untuk

menunjukkan keadaan, yaitu menunjukkan keadaan pesawat yang seharusnya

dihentikan penggunaannya karena faktor tertentu.

Nilai rasa kata dipurnawira lebih halus dan lebih sopan dibandingkan

dengan kata dipensiunke. Kata dipurnawira dan dipensiunke berarti

diberhentikan dari suatu pekerjaan karena usia yang tua. Kata dipurnawira

dalam data (9) menjelaskan memberhentikan pesawat Hercules yang jatuh dan

diduga karena mesin rusak. Kata dipurnawira biasanya digunakan pada dunia

militer untuk memberhentikan orang yang sudah pada batas usia menjadi

anggota militer, namun pada diatas digunakan untuk sebuah pesawat.

(10) A: Longgare pajeg nengsemake investor.

B: Ruwete ijin bisa ndadekake ora minat maneh

A: „Longgarnya pajak menyenangkan hati investor‟..

B: „Susahnya ijin bisa membuat tidak berminat lagi‟.

(P/PS/4/41/10/10/2015)

(10a) A: Longgare pajeg gawe seneng investor.

B: Ruwete ijin bisa ndadekake ora minat maneh.

A: „Longgarnya pajak bisa membuat senang investor‟.

B: „Susahnya ijin bisa membuat tidak berminat lagi‟.

Data (10) menunjukkan penggunaan eufemisme berupa kata

berimbuhan, yaitu kata nengsemake „menyenangkan‟ yang dapat

disubstitusikan dengan frasa gawe seneng „membuat senang‟ pada kalimat

(10a). Kata nengsemake berasal dari kata {N}+{sengsem}+{ake} yang

merupakan kata kerja atau verba.

Fungsi kata negsemake pada data (10) adalah untuk menunjukkan

keadaan yang membuat para investor tertarik kepada pajak yang longgar.

47

Nilai rasa yang terkandung pada kata nengsemake adalah nilai rasa

ramah, menunjukkan bahwa investor yang benar-benar tertarik, sehingga tidak

ada rasa canggung dan terkesan dalam mengungkapkan dengan kata

nengsemake pada data (10). Kata nengsemake pada kalimat (10) adalah jatuh

hati atau tertarik yang berpadanan dengan frasa gawe seneng pada data (10a).

Konotasi kata nengsemake dirasa lebih ramah dan halus daripada frasa gawe

seneng, kata nengsemake dipilih untuk menunjukkan ketertarikan para

investor terhadap longgarnya pajak, yang terkesan seperti seseorang yang jatuh

hati.

(11) A: Prahara keluk saya ndadra saiki nutupi Papua.

B: Ing negara iki mung panandang kang bisa warata.

A: „Prahara asap semakin parah sekarang menutupi Papua‟.

B: „Di negara ini hanya penderitaan yang bisa merata‟.

(P/PS/5/44/31/10/2015)

(11a) A: Musibah gedhe keluk saya ndadra saiki ngeluki Papua.

B: Ing negara iki mung susah kang bisa warata

A: „Musibah besar asap semakin parah sekarang menutupi Papua‟.

B: „Di negara ini hanya kesusahan yang bisa merata‟.

Pada data (11) nampak penggunaan eufemisme berupa kata berimbuhan

dan kata dasar, yaitu kata prahara „prahara‟ yang dapat disubstitusikan dengan

frasa musibah gedhe „musibah besar‟ , kata nutupi „menutupi‟ dapat

disubstitusikan dengan kata ngeluki „mengasapi‟, dan kata panandhang

„beban‟ dapat disubstitusikan dengan kata susah „susah, derita‟ pada data

(11a). Kata prahara merupakan kata nomina atau benda, kata nutupi berasal

dari{N}+{tutup}+{i} yang termasuk kata kerja atau verba, kata panandang

berasal dari {paN}+{tandang} yang merupakan kata benda atau nomina.

48

Fungsi eufemisme pada data (11) adalah untuk menunjukkan keadaan,

yaitu keadaan prahara bencana asap yang menutupi Papua dan membuat

menderita masyarakatnya.

Nilai rasa dari kata prahara lebih halus daripada kata musibah gedhe,

kata nutupi dan panandang bernilai rasa ramah daripada kata ngeluki dan

susah. Kata prahara berarti suatu musibah besar, kata nutupi berarti menutupi,

dan kata panandang berarti kesusahan. Kata prahara berpadanan dengan frasa

musibah gedhe, namun kata prahara mempunyai konotasi yang lebih halus,

frasa musibah gedhe menimbulkan kesan menakutkan dan mengerikan. Kata

nutupi berpadanan dengan kata ngeluki, konotasi kata nutupi dirasa lebih

halus daripada kata ngeluki, kata ngeluki menunjukkan keadaan wilayah

Papua yang dipenuhi dengan asap dan terkesan mengerikan. Kata panandang

bersinonimi dengan kata susah. Kedua kata tersebut mempunyai makna sama,

namun kata panandang mempunyai konotasi lebih halus. Kata susah

menimbulkan perasaan ngeri bagi pihak lain.

(12) A: Hakim tipikor aweh vonis entheng Fuad Amin.

B: Ing negara kita pancen akeh hakim kang loman. A: „Hakim tipikor memberi vonis ringan Fuad Amin‟.

B: „Di negara kita memang banyak hakim yang suka memberi‟.

(P/PS/6/44/31/10/2015)

(12a) A: Hakim tipikor aweh vonis entheng Fuad Amin

B: Ing negara kita pancen akeh hakim kang ora adil

A: „Hakim tipikor memberi vonis ringan Fuad Amin‟

B: „Di negara kita memang banyak hakim yang kurang adil‟

Data (12) menunjukkan eufemisme berupa kata berimbuhan yang

berasal dari bentuk {loma]+{an}. Kata loman „suka memberi, dermawan‟

dapat disubstitusikan dengan frasa ora adil „tidak adil‟ pada data (12a). Kata

loman merupakan kata sifat.

49

Fungsi dari penggunaan kata loman sebagai bentuk eufimisme frasa ora

adil adalah untuk menunjukkan perilaku, yaitu perilaku hakim tipikor yang

memberi vonis ringan kepada Fuad Amin atas kesalahan yang berat.

Dilihat dari nilai rasanya kata loman dirasa lebih halus daripada kata

ora adil. Kata loman menunjukkan perilaku hakim tipikor yang sebenarnya

tidak adil, karena memberikan hukuman yang ringan kepada Fuad Amin yang

melakukan tindak pidana berat. Kata loman, selain untuk menunjukkan

perilaku, juga berfungsi untuk menyindir pihak dari hakim tipikor yang telah

keliru dalam memutuskan vonis. Kata loman berarti suka memberi, namun

pada konteks kalimat (12) tidak berarti demikian. Kata loman menunjukkan

perilaku hakim tipikor yang tidak adil dalam memberi vonis.

c. Kata Majemuk

Kata majemuk atau komposisi adalah gabungan dari dua kata atau lebih

yang membentuk makna baru yang berbeda dari unsur pembentuknya.

Gabungan dua kata tersebut berkedudukan sebagai satu kata. Penggunaan

eufemisme berupa kata majemuk dalam rubrik Pethilan ada majalah Panjebar

Semangat adalah sebagai berikut.

(13) A: Rega stabil, pemerintah batal impor bawang lan lombok.

B: Lumayan, durung pasa napsu impor wis bisa ditahan.

A: „Harga stabil, pemerintah batal impor bawang dan cabai‟.

B: „Lumayan, belum puasa nafsu sudah bisa ditahan‟.

(P/PS/7/26/27/6/2015)

(13a) A: Rega anteng, pemerintah batal impor bawang lan lombok.

B: Lumayan, durung ngampet impor wis bisa ditahan.

A: „Harga tenang, pemerintah batal impor bawang dan cabai‟.

B: „Lumayan, belum menahan sudah bisa ditahan‟.

50

Pada data (13) nampak pengguaan eufemisme berupa kata dasar dan

kata mejemuk, yaitu kata stabil „stabil, tetap‟ yang dapat disubstitusikan

dengan kata anteng „tenang, diam‟ dan pasa napsu „puasa nafsu‟ untuk

menggantikan kata ngampet „menahan‟.

Fungsi penggunaan eufemisme pada data (13) adalah untuk

menunjukkan keadaan, yaitu keingin impor yang bisa ditahan karena keadaan

harga yang stabil.

Kata stabil bernilai rasa ramah daripada kata anteng, dan kata pasa

napsu bernilai rasa halus daripada kata ngampet. Kata stabil berpadanan

dengan kata anteng yang bermakna tetap; tenang yang sesuai untuk

menggantikan kata anteng pada data (13a). Kata stabil pada data (13)

menjelaskan stabilnya harga, yang berkonotasi lebih halus, kata tersebut sering

dijumpai pada bidang perekonomian untuk menyebutkan keadaan yang tenang

dan terkendali. Kata pasa napsu dapat disubstitusikan dengan kata ngampet,

yang bermakna menahan. Kata pasa biasnya dimaknai sebagai suatu bentuk

ibadah yang berupa menahan makan dan minum sesuai aturan waktu yang

berlaku, namun dalam data (13) kata pasa disandingkan dengan kata napsu

yang bermakna menahan keinginan atau ngampet. Kata pasa napsu dalam

data (13) berarti menahan import bawang dan cabai. Konotasi pasa napsu

dirasa lebih halus dan sopan daripada kata ngampet, dan lebih bernilai estetis.

(14) A: Dana aspirasi ditulak, DPR ngajak pemerintah lungguh bareng.

B: Pemerintah mendhing kerja katimbang jagongan.

A: „Dana aspirasi ditolak, DPR mengajak pemerintah duduk bersama‟.

B: „Pemerintah lebih baik kerja daripada bersantai‟.

(P/PS/6/29/18/7/2015)

(14a) A: Dana aspirasi ditulak, DPR ngajak pemerintah rembugan.

B: Pemerintah mendhing kerja katimbang jagongan.

51

A: „Dana aspirasi ditolak, DPR mengajak pemerintah berdiskusi‟.

B: „Pemerintah lebih baik kerja daripada bersantai‟.

Data (14) menunjukkan penggunaan eufemisme berupa kata majemuk,

yaitu kata lungguh bareng „duduk bersama‟ yang dapat disubstitusikan dengan

kata rembugan „diskusi‟ pada data (14a). Kata tersebut termasuk kata

majemuk dan tidak dapat disisipi, jika kata tersebut disisipi akan mengubah

makna. Lungguh bareng bermakna diskusi, tetapi jika disisipi partikel sing

menjadi lungguh sing bareng, maknanya tidak sesuai dengan kata lungguh

bareng.

Fungsi eufemisme pada kalimat (14) adalah untuk menunjukkan

perilaku. Perilaku yang ditunjukkan dengan kata lungguh bareng terasa

sebagai perilaku yang santai dan tidak terkesan serius.

Kata lungguh bareng bernilai rasa ramah dibandingkan dengan kata

rembugan. Kata lungguh bareng, terbentuk atas kata lungguh dan bareng

yang membentuk makna diskusi, bukan diartikan sebagai duduk secara

bersama-sama. Kata lungguh bareng bersinonimi dengan kata rembugan,

tetapi dari segi konotasi terasa lebih halus kata lungguh bareng. Data (14)

menunjukkan bahwa lungguh bareng sebagai bentuk diskusi dalam keadaan

santai atau hanya sekedar mengobrol, tetapi dalam data (14a) kata rembugan

terkesan sebagai bentuk diskusi untuk merundingkan masalah yang serius.

(15) A: Kekeringan nuwuhake krisis pangan.

B: Ditambah kering inovasi, hobi impor terus.

A: „Kekeringan menumbuhkan krisis pangan‟.

B: „Ditambah kering inovasi, selalu hobi impor‟.

(P/PS/8/32/8/8/2015)

(15a) A: Kekeringan nuwuhake paceklik.

B: Ditambah ora kreatif, hobi impor terus.

52

A: „Kekeringan menumbuhkan paceklik‟.

B: „Ditambah tidak kreatif, selalu hobi impor‟.

Pada data (15) nampak penggunaan eufemisme berupa kata majemuk,

yaitu kata krisis pangan „krisis makanan‟ dan kering inovasi „kering inovasi‟

yang dapat disubstitusikan dengan kata paceklik „paceklik‟ dan frasa ora

kreatif „tidak kreatif‟. Kedua kata diatas termasuk kata majemuk, karena tidak

sesuai apabila disisipi partikel sing atau kang menjadi krisis sing pangan/krisis

kang pangan, dan kering sing inovasi/kering kang inovasi. Makna kedua kata

yang disisipi tersebut tidak sesuai, maka keduanya termasuk kata majemuk.

Fungsi eufemisme pada data (15) adalah untuk menghaluskan makna.

Kedua kata tersebut mengandung makna yang berpadanan, tetapi dari segi

penyampaian lebih halus pada data (15), dan pada data (15a) dirasa lebih kasar

dan menimbulkan perasaan yang tidak enak.

Nilai rasa dari kedua kata tersebut adalah halus dibandingkan kata

paceklik dan ora kreatif pada data (15a). Kata krisis pangan berpadanan

dengan paceklik yang berarti kesusahan makanan yang diakibatkan oleh

kondisi kekeringan, namun konotasi krisis pangan dirasa lebih halus. Kata

kering inovasi berpadanan dengan frasa ora kreatif yang berarti tidak kreatif,

dalam konteks (15) kalimat bermakna sifat tidak kreatif dalam menyelesaikan

masalah kekeringan yang mengakibatkan krisis pangan, namun konotasi kering

inovasi lebih halus dengan cara penyampaian yang tidak secara langsung

dengan menggunakan kata-kata yang tidak menimbulkan konotasi negatif.

(16) A: Inuman alkohol impor kena bea masuk 150 persen.

B: Muga-muga ora ndadekake oplosan saya digoleki.

53

A: „Minuman alkohol impor dikenai biaya masuk 150 persen‟.

B: „Semoga tidak menjadikan oplosan semakin dicari‟.

(P/PS/2/32/8/8/2015)

(16a) A: Inuman alkohol impor kena pajeg 150 persen.

B: Muga-muga ora ndadekake oplosan saya digoleki.

A: „Minuman alkohol impor dikenai pajak 150 persen‟.

B: „Semoga tidak menjadikan oplosan semakin dicari‟.

Data (16) menunjukkan penggunaan eufemisme berupa kata majemuk,

yaitu kata bea masuk „biaya masuk‟ yang dapat disubstitusikan dengan kata

pajeg „pajak‟ pada data (16a). Kata bea masuk tidak sesuai apabila diberi

sufiks –e pada kata pertama akan menjadi beane masuk, kata tersebut tidak

sesuai dan sesuai apabila sufiks berada pada akhir kata kedua, yaitu bea

masuke, jadi kata tersebut termasuk kata majemuk.

Fungsi eufemisme pada data (16) adalah untuk menghaluskan makna.

Penggunaan eufemisme tersebut untuk menghindari penyebutan secara

langsung kata pajeg.

Nilai rasa kata bea masuk dirasa lebih halus daripada kata pajeg. Kata

bea masuk berarti biaya masuk impor barang dari suatu negara yang harus

dibayar. Kata tersebut berpadanan dengan kata pajeg. Kata bea masuk

berkonotasi lebih halus, dalam data (16) makna bea masuk adalah biaya masuk

minuman alkohol yang meningkat 150 persen.

(17) A: Males nulis, tunjangan guru besar bakal dipotong.

B: Percumah pancen, guru besar nanging karya nol besar.

A: „Malas menulis, tunjangan guru besar akan dipotong‟.

B: „Percuma memang, guru besar tetapi karya nol besar‟.

(P/PS/2/46/14/11/2015)

(17a) A: Males nulis, tunjangan guru besar bakal dipotong.

B: Percumah pancen, guru besar nanging karya kosong.

A: „Malas menulis, tunjangan guru besar akan dipotong‟.

B: „Percuma memang, guru besar tetapi karya kosong‟.

54

Data (17) menunjukkan penggunaan eufemisme berupa kata majemuk,

yaitu kata nol besar „nol besar‟ yang dapat disubstitusikan denga kata kosong

„kosong, tidak ada‟ pada data (17a).

Fungsi penggunaan eufemisme pada data (17) adalah untuk keadaan,

yaitu keadaan para guru besar yang minim minat untuk menulis dan karya yang

sangat minim.

Kata nol besar bernilai rasa halus, kata tersebut untuk menghaluskan

bentuk tulisan karya para guru besar yang sedikit, pengungkapan denga kata

nol besar menunjukkan konotasi yang lebih halus karena objek yang

dibicarakan adalah guru besar jadi dirasa kurang sopan jika diungkapkan

dengan kata kosong. Kata nol besar berarti sesuatu yang tidak ada nilainya,

atau sangat sedikit, namun makna kata nol besar disini mengacu pada

minimnya minat para guru besar untuk menulis. Minimnya minat tersebut

menyebabkan karya yang dihasilkan sangat sedikit yang diungkapkan dengan

kata nol besar.

d. Frasa

Frasa merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak mempunyai

predikat, gabungan tersebut dapat bersifat renggang maupun rapat. Contoh

eufemisme dengan bentuk kebahasaan berupa frasa dalam rubrik Pethilan pada

majalah Panjebar Semangat adalah sebagai berikut.

(18) A: Merga keluk, Malaysia ngliburake sekolah maneh.

B: Mesakke TKI ing kana, mesthi gaweyane saya akeh.

A: „Karena asap, Malaysia meliburkan sekolah lagi‟.

B: „Kasihan TKI di sana, pasti pekerjaannya semakin banyak‟.

(P/PS/2/41/10/10/2015)

55

(18a) A: Merga keluk, Malaysia ngliburake sekolah maneh.

B: Mesakke TKI ing kana, mesthi saya rekasa.

A: „Karena asap, Malaysia meliburkan sekolah lagi‟.

B: „Kasihan TKI di sana, pasti semakin berat‟.

Data (18) menunjukkan penggunaan eufemisme berupa frasa, yaitu

gaweyane saya akeh „pekerjaannya semakin banyak‟ yang dapat

disubstitusikan dengan frasa saya rekasa „semakin menderita‟ pada data (18a).

Frasa gaweyane saya akeh merupakan frasa nomina karena inti dari frasa

tersebut berupa kata nomina yaitu kata gaweyane yang berarti pekerjaannya.

Fungsi penggunaan eufemisme pada data (18) adalah untuk

menunjukkan keadaan, yaitu keadaan TKI yang pekerjaannya semakin banyak

akibat musibah asap.

Frasa gaweyane saya akeh mempunyai nilai rasa halus dibandingkan

frasa saya rekasa pada data (18a). Frasa gaweyane saya akeh adalah

pekerjaannya yang semakin banyak yang diakibatkan oleh musibah asap,

sehingga pemerintah Malaysia meliburkan sekolah, hal tersebut tentu membuat

pekerjaan TKI semakin berat karena selain mengurus rumah juga harus

mengurus anak-anak. Frasa gaweyane saya akeh berpadanan dengan frasa saya

rekasa, namun pengungkapannya dirasa lebih halus pada data (18), frasa pada

data (18a) selah menunjukkan bahwa TKI benar-benar mengalami penderitaan

yang berat.

(19) A: Petinggi RI ora trima panyaruwene Singgapur bab keluk.

B: Dijawab kanthi aksi nyata, dudu ngotot ngomong.

A: „Petinggi RI tidak terima dengan kritikan Singgapur masalah asap‟.

B: „Dijawab dengan aksi nyata, bukan keras bicara‟.

(P/PS/3/41/10/10/2015)

(19a) A: Petinggi RI ora trima panyacade Singgapur bab keluk.

B: Dijawab kanthi tumindak, dudu ngotot ngomong.

56

A: „Petinggi RI tidak terima dengan hinaan Singgapur masalah asap‟.

B: „Dijawab dengan tindakan, bukan keras bicara‟.

Data (19) menunjukkan penggunaan eufemisme berupa frasa dan kata

berimbuhan, yaitu aksi nyata „aksi nyata‟ yang dapat disubstitusikan dengan

kata tumindak „tindakan‟ dan panyaruwene „kritikan‟ untuk menggantikan

panyacade „hinaan‟. Bentuk aksi nyata termasuk frasa verba, kerena inti frasa

tersebut berupa kata kerja atau verba yaitu aksi, kata berimbuhan tersebut

termasuk dalam kata kerja atau verba.

Fungsi penggunaan eufemisme pada data (19) adalah untuk

menghaluskan makna dan untuk menunjukkan perilaku.

Frasa aksi nyata dan panyaruwene bernilai rasa lebih halus dan ramah

dibanding kata tumindak dan panyacade. Frasa aksi nyata pada data (19)

berarti perbuatan yang nyata dan berpadanan dengan kata tumindak. Konteks

data (19), aksi nyata menunjukkan sebuah perbuatan nyata yang harus

dilakukan dan harus dibuktikan tidak hanya ucapan saja atas ketidakterimaan

mengenai kritikan Singgapur. Perbuatan yang nyata tersebut adalah berupa

tindakan untuk mengatasi masalah bencana asap yang mendapat kritikan dari

Singgapur. Kata panyacade pada data (19) berarti penghinaan yang bernilai

rasa kasar, kata cacad biasanya digunakan untuk menyebut bagian tubuh yang

tidak sempurna, namun dalam data (19) digunakan untuk menyatakan hinaan

kepada pejabat negara Indonesia yang tidak mampu mengatasi musibah asap.

Kata panyaruwe digunakan untuk menggantikan kata panyacade, untuk

menunjukkan sikap hormat antar negara tetangga, dan juga untuk menghindari

tersinggungnya pihak-pihak tertentu.

57

(20) A: Pemerintah nandhesake pengin nguwati KPK.

B: Sing tumindak suwalike kudu disanksi.

A: „Pemerintah menegaskkan ingin menguatkan KPK‟.

B: „Yang bertindak sebaliknya harus diberi sanksi‟.

(P/PS/7/44/31/10/2015)

(20a) A: Pemerintah nandhesake pengin nguwati KPK.

B: Sing ngringkihake kudu disanksi.

A: „Pemerintah menegaskkan ingin menguatkan KPK‟.

B: „Yang melemahkan harus diberi sanksi‟.

Data (20) menunjukkan penggunaan eufemisme berupa frasa, yaitu

tumindak suwalike „perbuatan yang sebaliknya‟ yang dapat disubstitusikan

dengan kata ngringkahake „melemahkan‟. Frasa pada data (20) termasuk frasa

verba, karena inti frasa tersebut berupa kata verba atau kata kerja yaitu kata

tumindak.

Fungsi penggunaan eufemisme pada kalimat diatas adalah untuk

menunjukkan perilaku, yaitu perilaku orang-orang yang akan berbuat

sebaliknya dalam menguatkan KPK, atau dengan kata lain melemahkan.

Frasa tumindak suwalike bernilai rasa lebih sopan daripada kata

ngringkihake. Penggunaan frasa tumindak suwalike sesuai utnuk

menggantikan kata ngringkihake karena berkonotasi lebih sopan dan halus.

Frasa tumindak suwalike berarti berbuat sebaliknya, dalam konteks data (20)

frasa tumindak suwalike menunjukkan melakukan perbuatan yang sebaliknya

dan tidak sejalan dengan harapan, yaitu dalam hal ini tidak mendukung untuk

menguatkan KPK. Perbuatan yang tidak sesuai tersebut adalah ngringkihake

pada data (16a) yang berarti melemahkan KPK.

(21) A: Ora ana anggaran, pengangkatan tenaga honorer dibatalake.

B: Sabar, mbokmenawa ana ing paket kebijakan ekonomi jilid 13.

A: „Tidak ada anggaran, pengangkatan tenaga honorer dibatalkan‟.

B: „Sabar, mungkin ada di paket kebijakan ekonomi jilid 13‟.

(P/PS/3/4/14/11/2015)

58

(21a) A: Ora ana anggaran, pengangkatan tenaga bayaran dibatalake.

B: Sabar, mbokmenawa ana ing paket kebijakan ekonomi jilid 13.

A: „Tidak ada anggaran, pengangkatan tenaga bayaran dibatalkan‟.

B: „Sabar, mungkin ada di paket kebijakan ekonomi jilid 13‟.

Data (21) menunjukkan penggunaan eufemisme berupa frasa, yaitu

tenaga honorer „tenaga honorer‟ yang dapat disubstitusikan dengan frasa

tenaga bayaran „tenaga bayaran‟. Frasa pada data (21) termasuk frasa nomina,

karena inti dari frase tersebut merupakan kata nomina, yaitu kata tenaga.

Fungsi penggunaan eufemisme pada kalimat (21) adalah untuk

menghaluskan makna. Frasa tenaga honorer „tenaga honorer‟ dirasa lebih

halus untuk menggantikan frasa tenaga bayaran „tenaga bayaran‟.

Frasa tenaga honorer mempunyai nilai yang lebih halus daripada frasa

tenaga honorer. Frasa tenaga honorer berpadanan dengan frasa tenaga

bayaran, yaitu pegawai tidak tetap atau pegawai yang belum diangkat menjadi

pegawai secara tetap pada suatu instansi. Frasa tenaga honorer menunjukkan

bahwa status jabatan yang rendah dikemas dalam bentuk yang halus,

sedangkan frasa tenaga bayaran menunjukkan makna status jabatan yang

disampaikan secara langsung.

(22) A: KPK ora setuju mobil dinas kanggo mudhik riyayan.

B: Kanggone pejabat, iki alat pamer ing kampung...

A: „KPK tidak setuju mobil dinas dipakai untuk mudik hari raya‟.

B: „Untuk pejabat, ini alat pamer di kampung...‟.

(P/PS/7/30/25/7/2015)

(22a) A: KPK nulak mobil dinas kanggo mudhik riyayan.

B: Kanggone pejabat, iki alat pamer ing kampung...

A: „KPK menolak mobil dinas dipakai untuk mudik hari raya‟.

B: Untuk pejabat, ini alat pamer di kampung...‟.

59

Data (22) menunjukkan penggunaan eufemisme berupa frasa, yaitu ora

setuju „tidak setuju‟ yang dapat disubstitusikan dengan kata nulak „menolak‟

pada kalimat (22a). Frasa ora setuju termasuk frasa ajektif atau kata sifat.

Fungsi eufemisme pada kalimat (22) adalah untuk menujukkan perilaku

atau sifat, yaitu untuk menunujukkan sikap ketidaksetujuan pihak KPK

mengenai penggunaan mobil dinas untuk mudik hari raya.

Frasa ora setuju bernilai rasa ramah. Frasa ora setuju pada data (22)

adalah tidak setuju yang berpadanan dengan kata nulak pada data (22a) yaitu

menolak. Frasa ora setuju pada data (22) menunjukkan bahwa KPK menolak

tentang penggunaan mobil dinas untuk mudik hari raya oleh para pejabat,

namun bentuk penolakan tersebut dinungkapkan dengan kebahasaan yang

bernilai rasa lebih ramah, dan tidak menyinggung, serta berkonotasi positif.

(23) A: MK nguwati kewenangan polisi nggawe SIM.

B: Muga-muga ora ana maneh cara-cara simsalabim.

A: „MK menguatkan kewenangan polisi membuat SIM‟.

B: „Semoga tidak ada lagi cara-cara simsalabim‟.

(P/PS/7/48/28/11/2015)

(23a) A: MK nguwati kewenangan polisi nggawe SIM.

B: Muga-muga ora ana maneh cara curang.

A: „MK menguatkan kewenangan polisi membuat SIM‟.

B: „Semoga tidak ada lagi cara curang‟.

Data (23) menunjukkan penggunaan efemisme berupa frasa, yaitu cara-

cara simsalabim „cara-cara simsalabim‟ yang dapat disubstitusikan dengan

frasa cara curang „cara curang‟. Frasa cara-cara simsalabim merupakan frasa

nomina atau kata benda, karena inti frasa berupa kata benda, yaitu cara-cara.

60

Fungsi penggunaan eufemisme pada data (23) adalah untuk

menunjukkan perilaku, yaitu perilaku yang curang dan tidak tepat yang

dilakukan pihak kepolisian dalam pembuatan SIM.

Nilai rasa frasa cara-cara simsalabim bernilai rasa lebih ramah

daripada frasa cara curang. Frasa cara-cara simsalabim pada kalimat (23)

berpadanan dengan cara curang pada kalimat (23a) yang berarti cara yang

tidak benar dan melanggar hukum. Cara-cara simsalabim lebih sesuai

daripada frasa cara curang, karena dinilai berkonotasi lebih positif.

Penggunaan frasa cara-cara simsalabim mengesankan untuk menghindari

pengungkapan cara yang tidak benar secara langsung, dan mengurangi

pandangan negatif dari masyarakat mengenai cara-cara yang tidak benar dan

melanggar hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam pembuatan

SIM.

Tabel 01: Bentuk Eufemisme dalam Rubrik Pethilan

pada Majalah Panjebar Semangat

No. Bentuk Jumlah Data Persentase

1. Kata Dasar 13 24%

2. Kata Berimbuhan 10 18%

3. Kata Ulang - -

4. Kata Majemuk 9 17%

5. Frasa 22 41%

Jumlah 54 100%

61

Tabel 01 menjelaskan bentuk eufemisme, yang terdiri dari kata dasar

sebanyak 13, kata berimbuhan sebanyak 10, kata majemuk sebanyak 9, dan frasa

sebanyak 22. Bentuk eufemisme yang paling dominan berupa bentuk frasa yaitu

41%, kemudian kata dasar yaitu 24%, kata berimbuhan sebanyak 18%, dan kata

majemuk sebanyak 17%, Sedangkan, bentuk eufemisme berupa kata ulang tidak

ditemukan.

Tabel 02: Fungsi Eufemisme dalam Rubrik Pethilan

pada Majalah Panjebar Semangat

No. Fungsi Jumlah Data Persentase

1 Menghaluskan makna 21 39%

2 Menunjukkan perilaku 13 24%

3 Menunjukkan keadaan 20 37%

Jumlah 54 100%

Tabel 02 menjelaskan fungsi eufemisme, yang terdiri dari fungsi

menghaluskan makna sebanyak 21, fungsi menunjukkan perilaku sebanyak 13,

dan fungsi 20. Fungsi eufemisme yang dominan digunakan adalah fungsi untuk

menghaluskan makna sebanyak 39%, fungsi untuk menunjukkan keadaan

sebanyak 37%, dan fungsi untuk menunjukkan perilaku digunakan sebanyak 24%

Tabel 03: Nilai Rasa Eufemisme dalam Rubrik Pethilan

pada Majalah Panjebar Semangat

No. Nilai Rasa Jumlah Data Persentase

1 Ramah 12 22%

2 Halus 42 78%

Jumlah 52 100%

62

Tabel 03 menjelaskan nilai rasa eufemisme yang terdiri dari nilai rasa

ramah sebanyak 12, dan nilai rasa halu sebanyak 42. Nilai rasa eufemisme yang

paling dominan berupa nilai rasa halus sebanyak 78%, sedangkan nilai rasa ramah

sebanyak 22%.

B. Bentuk, Fungsi, dan Nilai Rasa Disfemisme dalam Rubrik Pethilan pada

Majalah Panjebar Semangat

Bentuk lingual disfemisme dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar

Semangat terbagi atas kata dasar, kata berimbuhan, kata ulang, kata majemuk, dan

frasa. Fungsi disfemisme adalah untuk menegaskan makna, menunjukkan

kejengkelan, menunjukkan perilaku, dan menunjukkan keadaan. Nilai rasa

disfemsme terdiri dari nilai rasa tidak pantas, tidak enak, buruk, kasar. Berikut

uraian mengenai bentuk, fungsi, dan nilai rasa disfemisme dalam rubrik Pethilan

pada majalah Panjebar Semangat.

a. Kata Dasar

Kata dasar adalah kata yang belum mengalami proses morfologis dan

merupakan dasar bagi pembentukan bentuk lain, misalnya kata berimbuhan.

Contoh penggunaan disfemisme berupa kata dasar dalam rubrik Pethilan pada

majalah Panjebar Semangat adalah sebagai berikut.

(24) A: Kekarone kubu Golkar sarujuk islah sauntara.

B: Iya, sauntara dhimen pilkada.

A: „Kedua kubu Golkar setuju damai sementara‟.

B: „Iya, sementara akan pilkada‟.

(P/PS/2/23/6/6/2015)

(24a) A: Kekarone kelompok Golkar sarujuk islah sauntara.

B: Iya, sauntara dhimen pilkada.

A: „Kedua kelompok Golkar setuju damai sementara‟.

63

B: „Iya, sementara akan pilkada‟.

Data (24) menunjukkan penggunaan disfemisme berupa kata dasar,

yaitu kata kubu „kubu‟ yang dapat disubstitusikan dengan kata kelompok

„kelompok‟. Kata kubu merupakan kata nomina atau kata benda.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (24) adalah untuk

menegaskan makna, yaitu menegaskan bahwa kedua kelompok Golkar tersebut

memang benar-benar mengalami konflik.

Kata kubu mempunyai nilai rasa kasar. Kata kubu bermakna sebagai

kelompok. Konteks data (24) menunjukkan bahwa kata kubu bermakna

sebagai kelompok yang sedang berkonflik, yaitu dua kubu Golkar. Konteks

data (24) yang menyatakan kubu Golkar damai sementara, semakin

menguatkan bahwa kedua kubu Golkar tersebut memang sedang mengalami

konflik. Kata kubu memang sering digunakan untuk menggantikan kata

kelompok dalam dunia politik, hal tersebut memberi kesan bahwa dalam suatu

kelompok selalu mengalami persaingan.

(25) A: Dhuwit pasir Lumajang mlebu kanthong DPRD nganti kothak amal masjid.

B: Pengin surga nanging liwat neraka.

A: „Uang pasir Lumajang masuk kantong DPRP sampai kotak amal

masjid‟.

B: „Ingin surga tetapi lewat neraka‟.

(P/PS/3/43/24/10/2015)

(25a) A: Dhuwit pasir Lumajang mlebu pemasukan DPRD nganti kothak amal

masjid.

B: Pengin surga nanging liwat neraka.

A: „Uang pasir Lumajang masuk pemasukan DPRP sampai kotak amal

masjid‟.

B: „Ingin surga tetapi lewat neraka‟.

64

Data (25) menunjukkan penggunaan disfemisme berupa kata dasar,

yaitu kata kanthong „kantong‟ yang dapat disubstitusikan dengan kata

pemasukan „pemasukan‟ pada data (25a). Kata kanthong merupakan kata

benda atau nomina.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (25) adalah untuk

menunjukkan kejengkelan, yaitu kejengkelan mengenai aliran dana pasir

Lumajang yang menjadi pemasukan bagi DPRD.

Nilai rasa yang terdapat pada disfemisme tersebut berupa nilai rasa

kasar. Kata kanthong adalah tempat yang digunakan untuk menyimpan,

biasanya terbuat dari kain atau yang lain. Konteks data (25) kata kanthong

bermakna sebagai pemasukan DPRD yang berasal dari dana pasir Lumajang.

Kata kanthong dipilih untuk menggantikan kata pemasukan yang mempunyai

nilai rasa lebih kasar, selain itu juga menunjukkan bahwa kedua kata tersebut

sama-sama mengandung makna sebagai pemasukan dana atau dana yang

masuk pada sebuah instansi. Kata kanthong menunjukkan seolah pemasukan

tersebut berasal dari dana haram, yaitu dana pasir Lumajang yang bermasalah.

(26) A: Dhetik-dhetik proklamasi ing Istana Merdeka, Megawati teka sawise

absen 10 taun.

B: Aja kuwatir, 4 taun sateruse uga bakal teka kok.

A: „Detik-detik proklamasi di Istana Merdeka, Megawati datang setelah

absen 10 taun‟.

B: „Jangan khawatir, 4 taun selanjutnya juga akan datang kok‟.

(P/PS/1/35/29/8/2015)

(26a) A: Dhetik-dhetik proklamasi ing Istana Merdeka, Megawati rawuh

sawise ora rawuh 10 taun.

B: Aja kuwatir, 4 taun sateruse uga bakal teka kok.

A: „Detik-detik proklamasi di Istana Merdeka, Megawati datang setelah

tidak datang 10 taun‟.

B: „Jangan khawatir, 4 taun selanjutnya juga akan datang kok‟.

65

Data (26) menunjukkan penggunaan disfemisme berupa kata dasar,

yaitu kata teka „datang‟ dan absen „tidak datang‟ yang dapat disubstitusikan

dengan kata rawuh „datang‟ dan frasa ora rawuh „tidak datang‟ pada kalimat

(26a). Kata teka merupakan kata kerja atau verba.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (26) adalah untuk

menunjukkan perilaku dan menegaskan, yaitu perilaku seorang mantan

Presiden RI yang hadir pada upacara proklamasi setelah 10 tahun absen.

Nilai rasa disfemisme pada kalimat (26) adalah nilai rasa kasar dan

tidak pantas. Kata teka dan absen dirasa kasar dan tidak pantas apabila

digunakan untuk seorang Presiden karena terkesan tidak menghormati. Kata

teka akan lebih tepat jika diganti dengan kata rawuh yang berniali rasa lebih

halus, karena digunakan untuk menunjukkan kedatangan orang penting dengan

status sosial tinggi. Kata absen pada kalimat (26) lebih tepat diganti dengan

kata ora rawuh yang bernilai rasa lebih pantas dan sopan. Penggunaan kata

absen mengesankan bahwa ketidakhadiran Megawati dalam upacara

proklamasi selama 10 tahun adalah peilaku yang salah dan tidak beralasan.

Makna kata teka adalah datang, dan kata absen bermakna tidak hadir atau tidak

datang. Konteks data (26) menunjukkan bahwa Megawati yang menghadiri

upacara Proklamasi setelah 10 tahun tidak datang, namun penggunaan

disfemisme pada data (26) terasa tidak pantas jika digunakan untuk mantan

Presiden RI.

(27) A: UKM kebal marang undhake dolar.

B: Pamarentah perlu sinau saka kono.

A: „UKM kebal terhadap naiknya dolar‟.

B: „Pemerintah perlu belajar dari situ‟.

66

(P/PS/5/38/19/9/2015)

(27a) A: UKM tahan marang undhake dolar.

B: Pamarentah perlu sinau saka kono.

A: „UKM tahan terhadap naiknya dolar‟.

B: „Pemerintah perlu belajar dari situ‟.

Data (27) merupakan bentuk disfemisme berupa kata dasar, yaitu kata

kebal „kebal‟ yang dapat disubstitusikan dengan kata tahan „tahan‟ pada

kalimat (27a). Kata kebal merupakan kata sifat yang menerangkan keadaan.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (27) adalah untuk

menegaskan makna, yaitu menagaskan keadaan UKM yang tahan terhadap

kenaikan dolar.

Nilai rasa disfemisme pada data (27) berupa nilai rasa tidak enak. Kata

kebal menunjukkan bahwa kenaikan nilai tukar dolar tidak berpengaruh

terhadap keadaan UKM dan tetap stabil. Kata kebal dalam data (27) adalah

kondisi pertahanan terhadap sesuatu yang mengancam, yang berpadanan

dengan kata tahan. Konteks data (27) menunjukkan kondisi UKM yang

mampu bertahan walaupun keadaan dolar sedang naik. Kata kebal biasanya

digunakan pada seseorang yang tahan terhadap ancaman virus penyakit, lazim

juga digunakan pada tumbuhan maupun hewan. Pemilihan kata kebal pada data

(27) menunjukkan suatu keadaan, keadaan UKM yang tidak terpengaruh

terhadap kenaikan dolar. Kenaikan dolar biasanya mengancam dan

berpengaruh terhadap sistem ekonomi suatu negara baik makro maupun mikro,

namun kenaikan tersebut tidak menjadi ancaman terhadap pelaku UKM, maka

digunakanlah kata kebal untuk menunjukkan keadaan tersebut.

(28) A: Rega brambang ambruk.

B: Ora perlu diiris, ndadekake wong tani saya nangis.

67

A: „Harga bawang merah jatuh‟.

B: Tidak perlu dipotong, menjadikan petani semakin menangis

(P/PS/7/39/26/11/2015)

(28a) A: Rega brambang murah.

B: Ora perlu disuda, ndadekake wong tani saya sengsara

A: „Harga bawang merah murah‟.

B: „Tidak perlu dikurangi, menjadikan petani semakin sengsara‟.

Data (28) menunjukkan penggunaan disfemisme berupa kata dasar dan

kata berimbuhan, yaitu kata ambruk „jatuh‟ yang dpat disubstiusikan dengan

kata murah „jatuh‟, kata diiris „dipotong‟ yang dapat disubstiusikan dengan

kata disuda „dikurangi‟ , dan kata nangis „menangis‟ yang dapat disubstiusikan

dengan kata sengsara „sengsara‟. Kata ambruk merupakan kata keterangan

keadaan, kata diiris berasal dari bentuk {di}+{iris} dan merupakan kata kerja

pasif, kata nangis merupakan kata kerja aktif.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (28) adalah untuk

menegaskan makna. Kata ambruk digunakan untuk menegaskan keadaan harga

bawang merah yang murah, kata diiris digunakan untuk menegaskan harga

yang dikurangi, dan kata nangis digunakan untuk menegaskan kesedihan para

petani.

Nilai rasa disfemisme berupa nilai rasa kasar. Kata ambruk berarti

jatuh, namun dalam konteks data (28) kata ambruk berarti murahnya harga

bawang merah. Kata diiris berarti dipotong, dipotong biasanya digunakan

untuk menunjukkan aktivitas mengurangi sesuatu, dalam konteks data (28) kata

dipotong berarti pengurangan harga, yaitu pemerintah tidak perlu mengurangi

harga bawang merah yang sedang murah. Kata nangis berarti menangis, dalam

konteks data (28) kata nangis menunjukkan suasana hati petani yang sedih

karena harga bawang merah yang murah.

68

(29) A: Ekonomi lesu, investasi sektor energi melu loyo.

B: Ben tetep gairah, investasi menyang watu akik wae!

A: „Ekonomi lesu, investasi sektor energi ikut loyo‟.

B: „Biar tetap gairah, investasi ke batu akik saja!‟

(P/PS/1/41/10/10/2015)

(29a) A: Ekonomi kurang apik, investasi sektor energi melu mudhun.

B: Ben tetep apik, investasi menyang watu akik wae!

A: „Ekonomi kurang baik, investasi sektor energi ikut turun‟.

B: „Biar tetap baik, investasi ke batu akik saja!‟

Data (29) menunjukkan penggunaan disfemisme berupa kata dasar,

yaitu kata lesu „lesu‟ yang bersubstitusi dengan frasa kurang apik „kurang

baik‟, kata loyo „loyo‟ untuk menggantikan kata mudhun „turun‟, dan kata

gairah „gairah, semangat‟ bersubstitusi dengan kata apik „baik‟ pada data

(29a).

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (29) adalah untuk

menegaskan makna. Kata lesu menegaskan keadaan perekonomian yang

sedang kurang baik. Kata loyo menegaskan keadaan investasi sektor energi

yang mengalami penurunan, dan kata gairah menunjukkan keadaan yang

diharapkan, yaitu keadan ekonomi yang kembali membaik.

Nilai rasa disfemisme kata lesu, loyo, dan gairah berupa nilai rasa tidak

enak. Kata lesu dan loyo memiliki kesamaan makna yaitu keadaan lemah, letih,

dan tidak berdaya. Kata gairah berarti keinginan. Ketiga bentuk disfemisme

tersebut menunjukkan penegasan keadaan. Kata lesu dan loyo biasanya

digunakan untuk menunjukkan kondisi badan yang sedang tidak baik, namun

pada data (29) digunakan untuk menuunjukkan keadaan perekonomian, dan

kata gairah biasanya digunakan untuk menunjukkan sifat semangat, namun

dalam data (29) digunakan untuk menunjukkan harapan keadaan ekonomi yang

69

dapat kembali membaik. penggunaan disfemisme tersebut memberi tekanan

dan menegaskan sebuah keadaan.

b. Kata Berimbuhan

Kata berimbuhan adalah kata yang sudah berubah bentuk melalui

proses morfologis. Proses morfologis tersebut dapat berupa awalan atau

prefiks, sisipan atau infiks, akhiran atau sufiks, dan imbuhan awal-akhir atau

simulfiks dan konfiks. Contoh penggunaan disfemisme berupa kata

berimbuhan dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat adalah

sebagai berikut.

(30) A: Pemerintah nyopot pajeg barang mewah tumrap produk tinamtu.

B: Dudu ateges saya bebas pamer ya.

A: „Pemerintah mencopot pajak barang mewah terhadap produk tertentu‟.

B: „Bukan berarti semakin bebas pamer ya‟.

(P/PS/6/26/27/6/2015)

(30a) A: Pemerintah ngilangi pajeg barang mewah tumrap produk tinamtu.

B: Dudu ateges saya bebas pamer ya.

A: „Pemerintah meniadakan pajak barang mewah terhadap produk

tertentu‟.

B: „Bukan berarti semakin bebas pamer ya‟.

Data (30) menunjukkan penggunaan disfemisme berupa kata

berimbuhan, yaitu kata nyopot „mencopot‟ yang dapat disubstitusikan dengan

kata ngilangi „menghilangkan‟ pada data (30a). Kata nyopot berasal dari

bentuk {N}+{copot} dan termasuk kata kerja atau verba.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (30) adalah untuk

menunjukkan perilaku, yaitu perilaku pemerintah yang mencopot pajak barang

mewah terhadap barang tertentu.

70

Nilai rasa disfemisme kata nyopot adalah tidak enak. Kata nyopot

biasanya digunakan untuk menunjukkan barang yang dilepas, misalnya baju,

sepatu. Konteks data (30) kata nyopot disandingkan dengan kata pajak yang

lebih tepat menggunakan kata ngilangi, pemilihan kata nyopot tersebut juga

terkesan memberi penegasan makna bahwa pajak terhadap barang mewah

memang benar-benar telah ditiadakan. Kata nyopot dalam data (30) berarti

mencopot, yaitu mencopot pajak barang mewah terhadap produk tertentu. Kata

nyopot berpadanan dengan kata ngilangi. Makna kata nyopot bukan berarti

mencopot suatu barang, namun bermakna menghilangkan atau meniadakan.

(31) A: Gunggune pegatan saya akeh.

B: Iki tandhane wong wadon saya kendel...

A: „Jumlah perceraian semakin banyak‟.

B: „Ini tandanya wanita semakin berani...‟.

(P/PS/2/28/11/7/2015)

(31a) A: Gunggune pepisahan saya akeh.

B: Iki tandhane wong wadon saya kendel...

A: „Jumlah perceraian semakin banyak‟.

B: „Ini tandanya wanita semakin berani...‟.

Data (31) menunjukkan penggunaan disfemisme berupa kata

berimbuhan, yaitu kata pegatan yang dapat disubstitusikan dengan kata

pepisahan pada data (31a). Kata pegatan berasal dari bentuk {pegat}+{an} dan

merupakan kata keterangan.

Fungsi penggunaan disfemisme pada kalimat (31) adalah untuk

menegaskan makna. Kata pegatan menunjukkan penegasan keadaan yang

dipandang masyarakat sebagai hal yang tidak baik.

Nilai rasa kata pegatan berupa nilai rasa kasar. Kata pegatan terasa

lebih kasar dibandingkan kata pepisahan Kata pegatan dan pepisahan

mempunyai makna yang sama yaitu perceraian pernikahan namun keduanya

71

memiliki emotif yang berbeda. kata pegatan menunjukkan pengungkapan

secara langsung yang merujuk pada peristiwa perceraian.

(32) A: Kisah thuyul gawe gegere masyarakat.

B: Dhuwit sing dicolong koruptor luwih akeh ko

A: „Kisah tuyul membuat gempar masyarakat‟.

B: „Uang yang dicuri koruptor lebih banyak ko‟.

(P/PS/9/29/18/7/2015)

(32a) A: Kisah thuyul gawe gegere masyarakat.

B: Dhuwit sing dijupuk koruptor luwih akeh ko.

A: „Kisah tuyul membuat gempar masyarakat‟.

B: „Uang yang diambil koruptor lebih banyak ko‟.

Data (32) menunjukkan penggunaan disfemisme berupa kata

berimbuhan, yaitu kata dicolong „dicuri‟ yang dapat disubstitusikan dengan

kata dijupuk „diambil‟ pada data (32a). Kata dicolong berasal dari bentuk

{di}+{colong} dan merupakan kata kerja pasif.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (32) adalah untuk

menunjukkan keadaan, yaitu keadaan uang yang dicuri oleh koruptor. Kata

dicolong menunjukkan perbuatan yang melanggar hukum, yaitu mencuri uang

negara atau korupsi. Penggunaan disfemisme pada kalimat (32) dirasa sesuai

untuk melukiskan sifat seorang koruptor yaitu mencuri atau mengambil uang

negara tanpa izin.

Nilai rasa kata dicolong berupa nilai rasa kasar berbeda dengan kata

dijupuk pada data (32a) yang bernilai rasa lebih halus, namun kurang mampu

memberikan efek pengasaran pada sifat seorang koruptor. Kata dicolong

melukiskan perilaku seorang penjahat, namun kata dijupuk bersifat netral dan

dapat digunakan baik dari segi positif maupun negatif. Makna kata dicolong

pada data (32) adalah mengambil barang milik orang lain tanpa ijin dan tanpa

72

sepengetahuan pemilik. Konteks kalimat (32) menjelaskan bahwa banyaknya

uang yang dicuri koruptor.

(33) A: Paket kebijakan ekonomi jilid II dijanjekake luwih nendhang.

B: Yen ora kabukten, enteni wae janji sabanjure...

A: „Paket kebijakan ekonomi jilid II dijanjikan lebih nendang‟.

B: „Jika tidak terbukti, tunggu saja janji selanjutnya...‟.

(P/PS/6/41/10/10/2015)

(33a) A: Paket kebijakan ekonomi jilid II dijanjekake luwih apik.

B: Yen ora kabukten, enteni wae janji sabanjure...

A: „Paket kebijakan ekonomi jilid II dijanjikan lebih baik‟.

B: „Jika tidak terbukti, tunggu saja janji selanjutnya...‟.

Data (33) menunjukkan penggunaan disfemisme berupa kata

berimbuhan, yaitu kata nendhang „nendang‟ yang dapat disubstitusikan

dengan kata apik „baik‟ pada kalimat (33a). Kata nendhang berasal dari bentuk

{N}+{tendhang} dan merupakan kata kerja aktif.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (33) adalah untuk

menegaskan makna dan memberi tekanan, yaitu menegaskan bahwa jilid

ekonomi II yang dijanjikan akan lebih baik.

Nilai rasa disfemisme nendhang pada data (33) berupa nilai rasa tidak

enak, kata nendhang biasanya digunakan untuk menyebut aktivitas

menendang, seperti dalam menendang bola, namun dalam konteks data (33)

kata nendhang digunakan untuk melukiskan keadaan kebijakan ekonomi jilid

II yang akan lebih baik. Kata nendhang dirasa lebih kasar daripada kata apik.

Kata nendhang dan apik memiliki mana yang berbeda. kata nendhang

bermakna menendang sesuatu kearah depan, sedangkan kata apik bermakna

baik. Kedua kata tersebut memiliki makna yang berbeda, namun keduanya

73

berpadanan untuk menggambarkan keadaan kebijakan ekonomi jilid II yang

dijadikan akan lebih baik.

(34) A: Permendag No 87/2015 nyurung anane banjir barang impor.

B: Wiwit saka peniti, sandhal jepit, nganti kolor kabeh impor.

A: „Permendag No 87/2015 mendorong adanya banjir barang impor‟.

B: „Mulai dari peniti, sandal jepit, sampai celana kolor semua impor‟.

(P/PS/6/45/7/11/2015)

(34a) A: Permendag No 87/2015 menehi kalodhangan anane banjir barang

impor.

B: Wiwit saka peniti, sandhal jepit, nganti kolor kabeh impor.

A: „Permendag No 87/2015 memberi kesempatan adanya banjir barang

impor‟.

B: „Mulai dari peniti, sandal jepit, sampai celana kolor semua impor‟.

Pada data (34) nampak penggunaan disfemisme berupa kata

berimbuhan, yaitu kata nyurung „mendorong‟ yang dapat disubstitusikan

dengan frasa menehi kalodhangan „memberi kesempatan‟ pada kalimat (34a).

Kata nyurung berasal dari bentuk {N}+{surung} dan merupakan kata kerja.

Fungsi disfemisme pada data (34) adalah untuk menegaskan makna,

yaitu adanya permendag memberikan kelonggaran masuknya barang impor.

Kata nyurung biasanya digunakan untuk menunjukkan aktivitas mendorong

suatu barang, namun dalam konteks data (34) menunjukkan bentuk kesempatan

yang terbuka lebar terhadap adanya banjir barang impor di Indonesia.

Nilai rasa disfemisme pada data (34) berupa nilai rasa tidak enak. Kata

nyurung bermakna sebagai sebuah aktivitas fisik yang menggerakkan dengan

digerakkan secara maju. Konteks data (34) kata nyurung tidak bermakna

demikian, namun menjelaskan bahwa adanya kesempatan yang terbuka lebar

untuk barang-barang impor yang masuk ke Indonesia setelah ditetapkannya

permendag nomor 8/2015.

74

(35) A: Mobil listrik nasional ana sandhungan ing batrey lan motor.

B: Lan sing utama ing niyat becike pemerintah.

A: „Mobil listrik ada hambatan di baterai dan motor‟.

B: „Dan yang utama di niat baiknya pemerintah‟.

(P/PS/1/48/28/11/2015)

(35a) A: Mobil listrik nasional ana alangan ing batrey lan motor.

B: Lan sing utama ing niyat becike pemerintah.

A: „Mobil listrik ada halangan di baterai dan motor‟.

B: „Dan yang utama di niat baiknya pemerintah‟.

Pada data (35) nampak penggunaan disfemisme berupa kata

berimbuhan, yaitu kata sandhungan „hambatan‟ yang dapat disubstitusikan

dengan kata alangan „halangan‟ pada data (35a). Kata sandhungan berasal

dari bentuk {sandhung}+{an} dan merupakan kata keterangan keadaan.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (35) adalah untuk

menegaskan makna, yaitu menegaskan mengenai adanya halangan pada proyek

mobil listrik nasional. Kata sandhungan menunjukkan bahwa adanya halangan

yang berat dan menghambat proyek mobil nasional. Penggunaan disfemisme

tersebut juga menegaskan keadaan proyek mobil listrik yang kurang perhatian

dari pihak pemerintah.

Nilai rasa kata sandhungan berupa nilai rasa tidak enak. Kata

sandhungan berpadanan dengan kata alangan, yang bermakna halangan atau

hambatan. Penggunaan kata sandhungan dirasa lebih kasar daripada kata

alangan. Kata sandhungan menunjukkan keadaan mobil listrik yang benar-

benar terhalang baterai dan motor.

c. Kata Majemuk

Kata majemuk atau komposisi adalah gabungan dari dua kata atau lebih

yang membentuk makna baru yang berbeda dari unsur pembentuknya.

75

Gabungan dua kata tersebut berkedudukan sebagai satu kata. Penggunaan

disfemisme berupa kata majemuk dalam rubrik Pethilan pada majalah

Panjebar Semangat adalah sebagai berikut.

(36) A: Polisi ngusut ajakan mogok bakul-bakul daging.

B: Entekne nganti dhedhengkot intelektuale pisan.

A: „Polisi mengusut ajakan mogok penjual-penjual daging‟.

B: „Habiskan sampai dedengkot intelektualnya sekalian‟.

(P/PS/3/35/29/8/2015)

(36a) A: Polisi ngusut ajakan mogok bakul-bakul daging.

B: Entekne nganti panggedhene pisan.

A: „Polisi mengusut ajakan mogok penjual-penjual daging‟.

B: „Habiskan sampai ketuanya sekalian‟.

Pada data (36) nampak penggunaan disfemisme berupa kata majemuk,

yaitu kata dhedhengkot intelektuale „pelopornya‟ yang dapat disubstitusikan

dengan kata panggedhene „ketuanya‟ pada data (37a). Kata dhedhengkot

intelektuale merupakan kata benda atau nomina.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (36) adalah untuk

menunjukkan kejengkelan, yaitu menunjukkan kejengkelan kepada seseorang

yang menjadi pelopor adanya aksi mogok para penjual daging. Penggunaan

disfemisme dhedhengkot intelektuale menunjukkan untuk menggantikan

penyebutan seseorang dengan kata yang lebih kasar karena telah melakukan

kesalahan. Kata dhedhengkot intelektuale merujuk pada orang yang menjadi

dalang dalam aksi mogok para penjual daging.

Nilai rasa disfemisme pada data (36) berupa nilai rasa kasar.

Disfemisme dhedhengkot intelektuale berarti seseorang yang mempelopori

adanya aksi mogok. Kata dhedhengkot memiliki arti pemimpin, ketua,

seseorang yang menjadi sumber baik dalam konteks baik maupun buruk.

76

Konteks data (36) menunjukkan bahwa yang dimaksud dhedhengkot

intelektuale bukanlah pemimpin yang baik, namun merujuk pada orang yang

memprakarsai dan mempelopori aksi mogok para penjual daging.

(37) A: Pendukung Jokowi ngandhakake mesthine JK uga direshuffle.

A: „Pendukung Jokowi menyatakan seharusnya JK juga direshuffle‟.

B: Iku pendukung sing nyambi tukang ngipasi.

B: Itu pendukung yang menyambi tukang mengipasi.

(P/PS/1/47/21/11/2015)

(37a) A: Pendukung Jokowi ngandhakake mesthine JK uga direshuffle.

A: „Pendukung Jokowi menyatakan seharusnya JK juga direshuffle‟.

B: Iku pendukung sing nyambi provokator.

B: „Itu pendukung yang menyambi provokator‟.

Pada data (37) nampak penggunaan disfemisme berupa kata majemuk,

yaitu kata tukang ngipasi „tukang mengipasi‟ yang dapat disubstitusikan

dengan kata provokator „provokator‟ pada data (37a). Kata tukang ngipasi

termasuk kata majemuk, karena makna yang terbentuk adalah makna baru dan

berbeda dengan unsur pembentuknya.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (37) adalah untuk

menunjukkan kejengkelan, yaitu mengungkapkan kejangkelan kepada para

pendukung Jokowi yang menyatakan bahwa seharusnya JK juga ikut

direshuffle, padahal posisi JK adalah wakil dari Jokowi. Pendukung Jokowi

seharusnya juga menjadi pendukung JK, bukan berbuat sebaliknya, namun

dalam hal ini para pendukung justru menjatuhkan dan memprovokasi untuk

mereshuffle JK. Sikap para pendukung ini menunjukkan ketidakadilan dan

menunjukkan perilaku yang tidak baik, membuat masalah semakin rumit, dan

menyalahkan JK tidak mampu menyelesaikan masalah sehingga harus

direshuffle. Penggunaan kata tukang ngipasi juga untuk menunjukkan perilaku

77

seorang provokator, yaitu membuat membuat masalah semakin besar, biasanya

berpadanan dengan kata mengompori atau tukang kompor.

Nilai rasa disfemisme tukang ngipasi adalah nilai rasa kasar. Kata

tukang ngipasi membentuk makna baru yang berbeda dari pembentuknya.

Konteks data (37) kata tukang ngipasi bukan bermakna sebagai seorang yang

melakukan pekerjaan mengipasi, namun dalam konteks ini bermakna sebagai

provokator atau seseorang yang semakin membuat suasana semakin rumit.

Kata tukang ngipasi digunakan untuk menunjukkan perilaku para pendukung

Jokowi yang justru menjatuhkan dan ingin mereshuffle JK sebagai wakilnya.

Perilaku tersebut tidaklah sesuai dan tidak mencerminkan sebagai pendukung.

d. Kata Ulang

Kata ulang adalah proses morfologis yang berupa pengulangan kata.

Pengulangan tersebut dapat berupa pengulangan sebagian, keseluruhan, dan

pengulangan dengan perubahan bunyi. Penggunaan disfemisme berupa kata

ulang dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat adalah sebagai

berikut yang meliputi pengulangan sebagian, keseluruhan, dan pengulangan

dengan perubahan bunyi.

(38) A: BNN: 75 persen kasus narkoba dikendhalekake saka penjara.

B: Oknum-oknume kudu digawe kapok‟.

A: „BNN: 75 persen kasus narkoba dikendalikan dari penjara‟.

B: .Oknum-oknumnya harus dibuat jera.

(P/PS/7/34/22/8/2015)

(38a) A: BNN: 75 persen kasus narkoba dikendhalekake saka penjara.

B: Pihak-pihake kudu digawe kapok.

A: „BNN: 75 persen kasus narkoba dikendalikan dari penjara‟.

B: „Pihak-pihaknya harus dibuat jera‟.

78

Data (38) menunjukkan penggunaan disfemisme berupa kata ulang,

yaitu kata oknum-oknum „oknum-oknum‟ yang dapat disubstitusikan dengan

kata pihak-pihak „pihak-pihak‟ pada data (38a). Kata oknum-oknum

merupakan kata ulang keseluruhan atau reduplikasi penuh dan merupakan kata

benda atau nomina.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (38) adalah untuk

menunjukkan kejengkelan, yaitu kejengkelan kepada pihak-pihak yang terkait

dengan peredaran narkoba yang dikendalikan dari balik penjara. Penggunaan

disfemisme pada kalimat (38) untuk menggantikan penyebutan seseorang,

penyebutan pihak-pihak yang terkait dan terlibat dalam peredaran narkoba

yang dikendalikan dari penjara. Peredaran narkoba dari penjara tentu

melibatkan berbagai pihak, antaranya napi, dan kemungkinan oknum polisi

yang tidak bertanggungjawab juga terlibat, sehingga para napi dapat

bertransaksi narkoba meskipun didalam penjara.

Nilai rasa disfemisme oknum-oknum berupa nilai rasa buruk. Kata

oknum-oknum dan pihak-pihak sebenarnya memiliki makna yang sama yaitu

sekumpulan orang, namun dalam hal ini kata oknum-oknum memiliki makna

yang terasa negatif. Kata oknum-oknum memiliki makna sebagai sekumpulan

orang yang terlibat dalam suatu kejahatan, sedangkan kata pihak-pihak lebih

terasa netral.

(39) A: Rekonsiliasi Partai Golkar saya cedhak.

B: Tuwa-tuwa doyan tukaran.

A: „Rekonsiliasi Partai Golkar semakin dekat‟.

B: „Tua-tua suka bertengkar‟.

(P/PS/8/46/14/11/2015)

(39a) A: Rekonsiliasi Partai Golkar saya cedhak.

B: Wis diwasa doyan tukaran.

79

A: „Rekonsiliasi Partai Golkar semakin dekat‟.

B: „Sudah dewasa suka bertengkar‟.

Pada data (39) nampak penggunaan disfemisme berupa kata ulang,

yaitu kata tuwa-tuwa „tuwa-tuwa‟ untuk menggantikan frasa wis diwasa „sudah

dewasa‟. Kata tuwa-tuwa merupakan kata ulang keseluruhan atau reduplikasi

penuh dan merupakan kata sifat atau ajektif.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (39) adalah untuk

menegaskan makna, yaitu menegaskan bahwa pertengkeran tersebut terjadi

antara orang yang sudah berumur atau dewasa. Pertengkaran yang terjadi

dalam Partai Golkar terjadi menimbulkan perpecahan menjadi dua kubu. Setiap

kubu mempunyai tokoh yang diangkat sebagai pemimpin. Tokoh-tokoh kubu

tentu adalah tokoh yang sudah berumur, namun masih tetap berselisih.

Penggunaan kata tuwa-tuwa dalam data (39) mempunyai nilai rasa

kasar, penggunaan disfemisme tersebut dirasa kurang tepat apabila digunakan

untuk menunjukkan keadaan tokoh-tokoh Partai Golkar yang sedang berselisih.

Tokoh-tokoh tersebut merupakan tokoh yang terhormat, akan lebih tepat

apabila diganti dengan frasa wis diwasa yang menunjukkan nilai rasa lebih

santun. Kata tuwa-tuwa juga menunjukkan bahwa pertengkarang tidak

seharusnya terjadi antara tokoh-tokoh Partai Golkar yang terhormat dan

terpandang. Makna kata tuwa-tuwa berpadanan dengan frasa wis diwasa.

Keduanya bermakna seseorang yang sudah dewasa dan berumur, namun kata

kata tuwa-tuwa menunjukkan nilai rasa yang kasar dan kurang santun

dibandingkan dengan frasa wis diwasa.

80

(40) A: Teror nyerang Paris, wong 128 nemahi tiwas.

B: Kamanungsan bali rowak-rawek.

A: „Teror menyerang Paris, 128 orang tewas‟.

B: „Kemanusiaan kembali compang-camping‟.

(P/PS/2/48/28/11/2015)

(40a) A: Teror nyerang Paris, wong 128 nemahi tiwas.

B: Kamanungsan bali dadi rusak.

A: „Teror menyerang Paris, 128 orang tewas‟.

B: „Kemanusiaan kembali menjadi rusak‟.

Data (40) menunjukkan penggunaan disfemisme berupa kata ulang

dengan perubahan bunyi, yaitu kata rowak-rawek „compang-camping‟ untuk

menggantikan frasa dadi rusak „menjadi rusak‟ pada data (40a).

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (40) adalah untuk

menunjukkan kejengkelan. Kata rowak-rawek menegaskan keadaan

kemanusiaan yang semakin buruk. Kata rowak-rawek biasanya digunakan

untuk menunjukkan keadaan pakaian yang tidak pantas dan compang-camping,

disfemisme tersebut menunjukkan bahwa kemanusiaan saat ini sudah begitu

buruk, tidak ada harganya seperti pakaian yang compang-camping.

Nilai rasa disfemisme kata rowak-rawek berupa nilai rasa buruk, kata

tersebut menimbulkan keadaan yang buruk dimata masyarakat. Kata rowak-

rawek dan frasa dadi rusak memiliki makna yang berbeda, namun keduanya

sama-sama menunjukkan keadaan yang kurang baik. Kata rowak-rawek

bermakna compang-camping, tidak karuan, biasanya digunakan untuk

menunjukkan pakaian, sedangkanfrassa dadi rusak bermakna rusak atau

hancur sudah tidak seperti semula. Konotasi frasa dadi rusak dirasa

(41) A: Mobil mewah pimpinan dewan dadi rerasanan.

B: Krisis perasaan luwih nguwatirake katimbang krisis keuangan.

A: „Mobil mewah pemimpin dewan menjadi pembicaraan‟.

B: „Krisis perasaan lebih mengkhawatirkan daripada krisis keuangan‟.

81

(P/PS/4/48/28/11/2015)

(41a) A: Mobil mewah pimpinan dewan dadi kembang lambe.

B: Krisis perasaan luwih nguwatirake katimbang krisis keuangan

A: „Mobil mewah pemimpin dewan menjadi pembicaraan‟.

B: „Krisis perasaan lebih mengkhawatirkan daripada krisis keuangan‟.

Pada data (41) nampak penggunaan disfemisme berupa kata ulang,

yaitu kata rerasanan „pembicaraan‟ untuk menggantikan kata kembang lambe

„buah bibir‟ pada data (41a). Kata rerasanan merupakan kata ulang sebagian

dan merupakan kata benda atau nomina.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (41) adalah untuk

menegaskan makna, yaitu memberi penegasan terhadap adanya mobil mewah

para pimpinan dewan yang menjadi perbincangan atau gosip. Kata rerasanan

mempunyai kesan yang negatif dan memberi tekanan dibandingkan dengan

kata kembang lambe.

Nilai rasa disfemisme kata rerasanan berupa nilai rasa kasar. Kata

rerasanan dan kembang lambe memiliki makna yang sama yaitu gosip atau

perbincangan mengenai sesuatu hal. Kedua kata tersebut berpadanan, namun

keduanya memiki nilai emotif yang berbeda.

e. Frasa

Frasa merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak mempunyai

predikat, gabungan tersebut dapat bersifat renggang maupun rapat. Contoh

disfemimse dengan bentuk kebahasaan berupa frasa dalam rubrik Pethilan

pada majalah Panjebar Semangat adalah sebagai berikut.

(42) A: KPK mriksa Gubernur Sumut Gatot lan bojo nome.

B: Sarimbit, urip mati bareng, korupsi uga bareng....

A: „KPK memeriksa Gubernur Sumut Gatot dan istri mudanya‟.

B: „Pasangan, hidup mati bersama, korupsi juga bersama...‟.

(P/PS/6/32/8/8/2015)

82

(42a) A: KPK mriksa Gubernur Sumut Gatot lan garwa anyare.

A: „KPK memeriksa Gubernur Sumut Gatot dan istri mudanya‟.

B: Sarimbit, urip mati bareng, korupsi uga bareng....

B: „Pasangan, hidup mati bersama, korupsi juga bersama...‟.

Data (42) menunjukkan penggunaan disfemisme berupa frasa, yaitu

frasa bojo nome „istri mudanya‟ yang dapat disubstitusikan dengan frasa garwa

anyare „istri mudanya‟ pada data(42a). Frasa bojo nome merupakan frasa

nomina, karena inti frasa merupakan kata nomina yaitu kata benda atau

nomina. Frasa bojo nome merupakan kata benda atau nomina.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (42) adalah untuk

menunjukkan kejengkelan, yaitu kejengkelan mengenai tindakan korupsi yang

dilakukan oleh Gubernur Sumut Gatot dan istri mudanya. Disfemisme bojo

nome yang digunakan untuk menyebut istri muda seorang gubernur,

sebenarnya dirasa kurang tepat karena gubernur merupakan orang yang

terhormat dan berstatus sosial tinggi. Penggunaan disfemisme tersebut karena

untuk mengungkapkan kejengkelan kepada Gubernur Sumut dan istri mudanya

yang telah melakukan korupsi, maka untuk menyebut istri mudanya

menggunakan frasa bojo nome yang terasa kurang santun.

Frasa bojo nome mempunyai nilai rasa tidak pantas. Kedua frasa diatas,

frasa bojo nome dan garwa anyare memiliki makna yang sama yaitu istri

muda. Kedua frasa tersebut memiliki nilai emotif yang berbeda, frasa bojo

nome menggunakan ragam bahasa Jawa ngoko menimbulkan kesan tidak

santun untuk seorang istri gubernur, sedangkan frasa garwa anyare

menggunakan bahasa Jawa ragam krama lebih tepat untuk merujuk istri muda

seorang gubernur.

83

(43) A: Muladi: „kekarone‟ kubu Golkar ora usah adu debat bab sapa sing

bener.

B: Yen bener, mesthi ora satru.

A: „Muladi: ;kedua‟ kubu golkar tidak perlu adu debat mengenai siapa

yang benar‟.

B: „Jika benar, pasti tidak bertengkar‟.

(P/PS/5/45/7/11/2015)

(43a) A: Muladi: „kekarone‟ kubu Golkar ora usah golek bener bab sapa sing

bener.

B: Yen bener, mesthi rukun.

A: „Muladi: ;kedua‟ kubu golkar tidak perlu mencari kebenaran

mengenai siapa yang benar‟.

B: „Jika benar, pasti rukun‟.

Data (43) menunjukkan penggunaan disfemisme berupa frasa, yaitu

frasa adu debat „adu debat‟ yang dapat disubstitusikan dengan frasa golek

bener „mencari kebenaran‟, dan frasa ora satru „tidak bertengkar‟ yang dapat

disubstitusikan dengan kata rukun „damai‟ pada data (43a). Frasa adu debat

dan ora satru merupakan frasa keadaan.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (43) adalah untuk

menunjukkan kejengkelan dan menegaskan makna, yaitu menunjukkan

kejengkelan kedua kubu Golkar yang saling beradu membenarkan diri dan

menegaskan bahwa kedua kubu yang saling berdebat sedang bertengkar.

Penggunaan frasa adu debat menunjukkan perilaku dua kubu yang sedang

berdebat mencari kebenaran, perilaku saling beradu debat tersebut seharusnya

dihindari agar kedua kubu Golkar kembali rukun. Frasa ora satru

menunjukkan situasai yang terjadi apabila perilaku adu debat dapat dihindari,

penggunaan disfemisme ora satru akan terasa lebih santun apabila diganti

dengan kata rukun yang lebih halus dan santun.

Nilai rasa kedua disfemisme diatas berupa nilai rasa kasar dan tidak

enak. Kata adu debat berpadanan dengan golek bener yang memiliki makna

84

saling beradu pendapat utnuk mencari kebenaran, namun nilai emotif frasa

golek bener dirasa lebih santun, karena perbuatan adu debat merupakan

perbuatan yang kurang baik dan dipandang negatif bagi kubu Partai Golkar.

Kata ora satru berpadanan dengan kata rukun yang bermakna keadaan yang

damai, nilai emotif kata rukun terasa lebih santun dibandingkan dengan frasa

ora satru, yaitu untuk menunjukan keadaan situasi.

(44) A: Pemerintah nggugat triliunan rupiah perusahaan kang ana

gandhengan kobongan alas.

B: Muga-muga upaya iki ora tak kempes ing tengah dalan.

A: „Pemerintah mebbgugat triliunan rupiah perusahaan yang berkaitan

dengan kebakaran hutan‟.

B: „Semoga usaha ini tidak di kempes di tengah jalan‟.

(P/PS/4/44/31/10/2015)

(44a) A: Pemerintah nggugat triliunan rupiah perusahaan kang ana

gandhengan kobongan alas.

B: Muga-muga upaya iki ora mandheg ing tengah dalan.

A: „Pemerintah menggugat triliunan rupiah perusahaan yang berkaitan

dengan kebakaran hutan‟.

B: „Semoga usaha ini tidak berhenti di tengah jalan‟.

Data (44) menunjukkan penggunaan disfemisme berupa frasa, yaitu

frasa tak kempes „dikempes‟ yang dapat bersubstitusi dengan kata mandheg

„berhenti‟ pada data (44a). Frase tak kempes merupakan frase keadaan.

Fungsi penggunaan disfemisme pada data (44) adalah untuk

menunjukkan kejengkelan, yaitu kejengkelan kepada pihak pemerintah yang

lambat dalam mengatasi musibah asap. Frasa tak kempes menunjukan

kejengkelan masyarakat kepada pihak pemerintah dan ketidakseriusan upaya

pemerintah. Frasa tersebut juga mengungkapkan bentuk sindiran kepada

pemerintah agar upaya yang direncanakan tidak berhenti di tengah jalan, dan

85

menunjukkan keraguan pemerintah terhadap upaya yang akan dilakukan dalam

menangani musibah asap.

Nilai rasa frasa tak kempes berupa nilai rasa kasar. Frasa tak kempes

berpadanan dengan kata mandheg, dalam konteks data (44) frasa tak kempes

bermakna berhenti, yaitu upaya pemerintah dalam mengatasi musibah asap

yang diharapkan tidak berhenti ditengah jalan. Nilai emotif frasa tak kempes

terasa lebih kasar dan kurang santun dibandingkan dengan kata mandheg pada

data (44a).

Tabel 04: Bentuk Disfemisme dalam Rubrik Pethilan

pada Majalah Panjebar Semangat

No. Bentuk Jumlah Data Persentase

1. Kata Dasar 45 37%

2. Kata Berimbuhan 50 42%

3. Kata Ulang 5 4%

4. Kata Majemuk 8 7%

5. Frasa 12 10%

Jumlah 120 100%

Tabel 04 menunjukkan bentuk disfemisme yang terdiri dari kata dasar

sebanyak 45, kata berimbuhan sebanyak 50, kata ulang sebanyak 5, kata majemuk

sebanyak 8, dan frasa sebanyak 12. Bentuk eufemisme yang paling dominan

adalah bentuk kata berimbuhan sebanyak 42%, kata dasar sebanyak 37%, frasa

sebanyak 10%, kata majemuk sebanyak 7%, dan yang paling sedikit adalah kata

ulang sebanyak 4%.

86

Tabel 05: Fungsi Disfemise dalam Rubrik Pethilan

pada Majalah Panjebar Semangat

No. Fungsi Jumlah Data Persentase

1. Menegaskan makna 47 39%

2. Menunjukkan kejengkelan 27 22%

3. Menunjukkan perilaku 20 17%

4. Menunjukkan keadaan 26 21%

Jumlah 120 100%

Tabel 05 menunjukkan fungsi disfemisme yang berupa fungsi menegaskan

makna sebanyak 47, fungsi menunjukkan kejengkelan sebanyak 27, fungsi

menunjukkan perilaku sebanyak 20, fungsi menunjukkan keadaan sebanyak 26.

Fungsi disfemisme yang paling dominan adalah fungsi untuk menegaskan makna

sebanyak 39%, fungsi untuk menunjukkan kejengkelan sebanyak 22%, fungsi

untuk menunjukkan keadaan sebanyak 21%, dan fungsi menunjukkan perilaku

sebanyak 17%.

Tabel 06: Nilai Rasa Disfemisme dalam Rubrik Pethilan

pada Majalah Panjebar Semangat

No. Fungsi Jumlah Data Persentase

1. Tidak Pantas 11 9%

2. Tidak Enak 53 44%

3. Buruk 11 9%

4. Kasar 45 38%

Jumlah 120 100%

87

Tabel 06 menunjukkan nilai rasa disfemisme yang terdiri dari nilai rasa

tidak pantas sebanyak 11, nilai rasa tidak enak sebanyak 53, nilai rasa buruk

sebanyak 11, nilai rasa kasar sebanyak 45. Nilai rasa disfemisme yang dominan

adalah nilai rasa tidak enak sebanyak 44%, nilai rasa kasar sebanyak 38%, nilai

rasa tidak pantas dan nilai rasa buruk sebanyak 9%.