bab ii landasan teori.doc

42
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. (Sudoyo,2009) Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan oleh basil Clostridium tetani, yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin, biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti oleh jarum logam, splinter kayu, atau gigitan serangga). (Dorland,2002) 2.2 Epidemiologi Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang 9

Upload: deby-jayanti

Post on 17-Sep-2015

51 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

35

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Defenisi

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. (Sudoyo,2009)Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan oleh basil Clostridium tetani, yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin, biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti oleh jarum logam, splinter kayu, atau gigitan serangga). (Dorland,2002)

2.2 Epidemiologi

Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologi lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas fisiknya. (Soedarmo,2008)

Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus tetap bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun 1992, termasuk di dalamnya 580.000 kematian akibat tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara, dan 152.000 di Afrika. Penyakit ini jarang dijumpai di negara-negara maju. Di Afrika Selatan, kira-kira terdapat 300 kasus per tahun, kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di Inggris. (Sudoyo,2009)

Di Indonesia, angka insidensi tetanus di daerah perkotaan sekitar 6 7/ 1000 kelahiran hidup, sedangkan di daerah pedesaan angkanya lebih tinggi sekitar 2 3 kalinya yaitu 11 23/1000 kelahiran hidup dengan jumlah kematian kira-kira 60.000 bayi setiap tahunnya. (Widoyono,2008)2.3 Etiologi

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda asing atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin. (Ritarwan,2009)2.4 Karakteristik Clostridium tetani

Gambar 2.1 Mikroskopik Clostridium tetani (Raharja,2010)Clostridium tetani termasuk dalam bakteri gram positif, anaerob obligat, dapat membentuk spora, dan berbentuk drum-stick. Spora yang dibentuk oleh Clostridium tetani ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Ia dapat tahan walaupun telah di autoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia, hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran pencernaan feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam. Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang bagian sistem saraf). Clostridium tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanolysin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospamin merupakan toksin yang cukup kuat. Tetanospasmin merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. (Gilroy,2007)Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik. Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17oC dalam media kaldu daging dan media agar darah. Demikian pula media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat memfermentasi glukosa. (Gilroy,2007)2.5 Patogenesis

Gambar 2.2 Patogenesis Tetanus (Ekawardhana,2012)

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat penyakit pencemaran lingkungan oleh bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan attack rate berupa cara mengubah lingkungan fisik atau biologi. Port dentre tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :1. Luka tusuk, patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas.2. Luka operasi, luka yang tak dibersihkan (debridement) dengan baik.3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril,pembubuhan punting tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada punting tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum. (Soedarmo,2008)

Toksin yang dilepaskan dalam luka mengikat motor alfa neuron terminal perifer, memasuki akson, dan ditranspor ke sel saraf tubuh dalam batang otak dan medula spinalis dengan transpor intraneuron retrogad. Kemudian toksin bermigrasi menyeberangi sinaps ke terminal prasinaps, di mana toksin menghambat pelepasan neurotransmiter penghambat glisin dan asam gama-aminobutirat. Dengan mengurangi penghambatan, kecepatan letupan istirahat dari neuron motor alfa meningkat, menyebabkan rigiditas. Dengan penurunan aktivitas reflek, yang membatasi penyebaran impuls (suatu aktivitas glisinergik) polisinaptik, agonis dan antagonis mungkin diterima daripada dihambat, dengan demikian menyebabkan spasme. Kehilangan penghambatan juga dapat mempengaruhi neuron simpatik preganglion pada bagian lateral substansia grisea medula spinalis dan menyebabkan hiperaktivitas simpatik dan kadar katekolamin sirkulasi yang tinggi. Tetanospasmin, seperti toksin botulinum, juga mungkin menghambat pelepasan neurotransmiter pada taut neuromuskuler dan menyebabkan kelemahan atau paralisis, pemulihannya memerlukan pertunasan ujung saraf yang baru. (Soedarmo,2008)

Dampak toksin :

a. Pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh karena eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi beku.

b. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus.

c. Dampak pada saraf autonom terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block, takikardi. (Soedarmo,2008)2.6 Gejala Klinis

Masa inkubasi Clostridium tetani adalah 4-21 hari. Masa inkubasi tergantung dari jumlah bakteri, virulensi dan jarak tempat masuknya kuman (port dentre) dengan sistem saraf pusat. (Batticaca,2008)Masa inkubasi yang pendek menandakan serangan berat. Namun tidak dapat diketahui kapan masa inkubasi dimulai. Indeks prognostik yang lebih baik ialah masa permulaan penyakit, yaitu masa antara gejala pertama dengan refleks spasme pertama. Jika masa ini kurang dari 48 jam, maka kemungkinan besar mengakibatkan kematian. Prognosis akan lebih baik jika masa permulaan penyakit memanjang. (Sachdeva,1996)Ada empat macam bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :

1. Generalized tetanus (Tetanus umum)

Tetanus umum adalah salah satu tetanus yang bertanggung jawab bagi kira-kira 80% kasus. Penyakit tersebut desendens dalam presentasi kliniknya, sering dimulai dengan trismus dan berlanjut ke kaku kuduk, rigiditas abdomen serta spasme tetanik pada ekstremitas. Trismus dapat menimbulkan spasme wajah yang dikenal sebagai risus sardonicus. Karena spasme berlanjut, maka otot punggung terlibat dalam melengkungkan punggung (opistotonus). Dua tanda paling menonjol dari tetanus generalisata mengancam ialah trismus serta otot abdomen yang kaku. (Sabiston,1995)

Gambar 2.3 Risus Sardonicus (USMLE,2012)

Gambar 2.4 Spasme otot (Todar,2009)2. Tetanus neonatorum

Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan, dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, kesulitan menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup. (Sudoyo,2009)

Gambar 2.5 Tetanus neonatorum (Alfarisi,2011)3. Localized tetanus (Tetanus lokal)

Tetanus lokal adalah bentuk penyakit tetanus yang jarang terjadi, dimana pasien terus-menerus kontraksi otot di daerah anatomi yang sama. Kontraksi dapat bertahan selama beberapa minggu sebelum berangsur-angsur mereda. Tetanus lokal umumnya lebih ringan, hanya sekitar 1% dari kasus yang fatal. (Zulkoni,2010)4. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi. (Sudoyo,2009Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan (lihat Tabel 2.1)Tabel 2.1 Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus (Sudoyo,2009)

Derajat

Manifestasi KlinisI : RinganTrismus ringan sampai sedang; spastisitas generalisata; tanpa gangguan pernafasan; tanpa spasme; sedikit atau tanpa disfagiaII : SedangTrismus sedang; rigiditas yang nampak jelas; spasme singkat ringan sampai sedang; gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan > 30x/menit; disfagia ringan

III : BeratTrismus berat; spastisitas generalisata; spasme refleks berkepanjangan; frekuensi pernafasan > 40x/menit; serangan apnea; disfagia berat; takikardi > 120x/menit

IV : Sangat beratDerajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem kardiovaskular; hipertensi berat; takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.2.7 DiagnosisDiagnosis cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis karena pemeriksaan kuman Clostridium tetani belum tentu berhasil. Anamnesis tentang adanya kelainan yang dapat menjadi tempat masuknya kuman tetanus, adanya trismus, risus sardonikus, kaku kuduk, opistotonus, perut keras seperti papan atau kejang tanpa gangguan kesadaran, cukup untuk menegakkan diagnosis tetanus. (Sjamsuhidajat,2005)2.7.1 Anamnesis

Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain :

1. Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan / patah tulang terbuka, luka dengan nanah atau gigitan binatang?

2. Apakah pernah keluar nanah dari telinga?

3. Apakah pernah menderita gigi berlubang?

4. Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir?

5. Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)? (Soedarmo,2008)

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :

a. Trismus adalah kekakuan otot rahang untuk mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk membuka mulut untuk makan dan minum. Pada neonatus sering menyulitkan saat menyusui karena mulut bayi mencucu seperti mulut ikan. (Widoyono,2008)

b. Risus sardonicus adalah kejang tonik pada otot-otot wajah menghasilkan raut muka yang khas atau senyum seorang yang menderita. (Mardjono,2009)

c. Opistotonus adalah kekakuan otot tubuh (punggung, leher, dan badan) sehingga tubuh dapat melengkung seperti busur. (Widoyono,2008)

d. Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan. (Nealon,1996)

e. Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun masa istirahat spasme makin pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus. (Soedarmo,2008) f. Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku, sehingga bayi tidak bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi kaku serta terdapat spasme intermitten. (Soedarmo,2008)

g. Pada tetanus yang berat akan terjadi refleks spasme yang kuat, opistotonus yang cukup hebat yang dapat menyebabkan fraktur vertebra; spasme otot laring, diafragma dan interkostal yang dapat mengganggu respirasi dengan akibat sianosis. Gangguan saraf otonom seringkali timbul pada penderita yang parah dan dapat menyebabkan kematian, terutama pada pecandu obat (hipertensi yang berfluktuasi, takikardia, banyak berkeringat, vasokontriksi, hiperpireksia dan cardiac arrest mungkin terjadi). (Saputra,2009)

h. Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika terjadi kontraksi rahang involunter (mengigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa penelitian uji spatula memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi (94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang positif). (Zulkoni,2010)2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.

1. Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat diisolasi dari luka pasien tanpa tetanus sering tidak dapat ditemukan dari luka pasien tetanus, kultur yang positif bukan merupakan bukti bahwa organisme tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus.

2. Nilai hitung leukosit dapat tinggi.

3. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.

4. Kadar antitoksin serum 0,15 U/mL dianggap protektif dan pada kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi, walaupun ada beberapa kasus yang terjadi pada kadar antitoksin yang protektif..

5. Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.

6. EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah potensial aksi.

7. Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG. (Sudoyo,2009)2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut : (Hassan,2005) 1. Spasme yang disebabkan oleh strikinin jarang menyebabkan spasme otot rahang. Tetanus di diagnosis dengan pemeriksaan darah (kalsium dan fosfat).2. Kejang pada meningitis dapat dibedakan dengan kelainan cairan cerebrospinalis.

3. Pada rabies terdapat anamnesis gigitan anjing atau kucing disertai gejala spasme laring dan faring yang terus menerus dengan pleiositosis tetapi tanpa trismus.

4. Trismus dapat pula terjadi pada angina yang berat, abses retrofaringeal, abses pada gigi yang hebat, pembesaran kelenjar getah bening leher.

5. Kuduk kaku juga dapat terjadi pada meningitis (pada tetanus kesadaran tidak menurun), mastoiditis pneumonia lobaris atas miositis leher, spondilitis leher. 2.9 Komplikasi Tabel 2.2 menggambarkan beberapa komplikasi akibat tetanus. Tabel 2.3 menggambarkan komplikasi tetanus di beberapa RS di Indonesia.Tabel 2.2 Komplikasi Tetanus (Sudoyo,2009)

Sistem tubuh

Komplikasi

Jalan Nafas

Aspirasi*

Laringospasme/obstruksi*

Obstruksi berkaitan dengan sedatif*

Respirasi

Apnea*

Hipoksia*

Gagal nafas tipe 1* (atelektasis, aspirasi, pneumonia)

Gagal nafas tipe 2* (spasme laringeal, spasme trunkal berkepanjangan, sedasi berlebihan)

ARDS*

Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan (seperti pneumonia)

Komplikasi trakeostomi (seperti stenosis trakea)

Kardiovaskular

Takikardia*, hipertensi*, iskemia*

Hipotensi*, bradikardia*

Takiaritmia*, bradiaritmia*

Asistol*

Gagal jantung*

GinjalGagal ginjal curah tinggi* (high output renal failure)

Gagal ginjal oligouria*

Stasis urin dan infeksi

GastrointestinalStasis gaster

Ileus

Diare

Pendarahan*

Lain-lainPenurunan berat badan*

Tromboembolus*

Sepsis dengan gagal organ multipel*

Fraktur vertebra selama spasme

Ruptur tendon akibat spasme

*Komplikasi yang mengancam jiwa

Tabel 2.3 Komplikasi tetanus tahun 2003-2007 (Soedarmo,2008)KomplikasiRSCM

RSAB

RSF

RSHS

K *m(%)K *m(%)K *m(%)K *m(%)

Status Konvulsivus0021,500540,0

Bronkopneumonia10200020

Sepsis

201000450,0

Keterangan: RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta; RSAB = Rumah Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah Sakit Fatmawati; RSHS = Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung; (*m = meninggal)2.10 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi spasme, perawatan luka atau portd entree lain yang diduga seperti karies dentis dan OMSK, sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus. (Soedarmo,2008)

2.10.1 Tatalaksana Umum

Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman Clostridium tetani, menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sebagai berikut :1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa :

Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H2O2, dalam hal ini penatalaksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah ATS dan pemberian antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.

3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita.

4. Oksigen, pernafasan buatan dan trakeostomi bila perlu.

5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit. (Ritarwan,2009)

2.10.2 Tatalaksana Khusus

1. Antibiotika

Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit/hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 unit/kgBB/12 jam secara intramuskular diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4 dosis). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit/kgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari Clostridium tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan. (Ritarwan,2009)

2.Antitoksin

Antitoksin dapat digunakan TIG dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara intramuskular tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung anti complementary aggregates of globulin, yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara intramusular pada daerah sebelah luar. (Behrman,2000)3.Tetanus ToksoidPemberian TT yang pertama, dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara intramuskular. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. (Ritarwan,2009)

Berikut ini, tabel 2.4 Memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka.Tabel 2.4 Petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka (Ritarwan,2009)

Riwayat ImunisasiLuka bersih, Kecil

Luka lainnya

Dosis

TTAntitoksin

TTAntitoksinTidak diketahui

YaTidak

YaYa

0 1

YaTidak

YaYa

2

YaTidak

YaTidak*

3 atau lebihTidak **TidakTidak** Tidak*: Kecuali luka > 24 jam

**: Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun

***: Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun4. Antikonvulsan

Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang hebat, muskular dan laringeal spasme beserta komplikasinya. Dengan penggunaan obat-obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi. (Ritarwan,2009)Tabel 2.5 Jenis Antikonvulsan (Ritarwan,2009)

Jenis Obat

Dosis

Efek SampingDiazepam

0,5 1,0 mg/kgBB/4 jam (IM)Stupor, Koma

Meprobamat

300 400 mg/4 jam (IM)

Tidak Ada

Klorpromasin

25 75 mg/4 jam (IM)

Hipotensi

Fenobarbital

50 100 mg/4 jam (IM)

Depresi Pernafasan

Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Pirngadi/ FK USU, obat anti konvulsan yang dipergunakan untuk tetanus neonatal berupa diazepam, obat ini diberikan melalui bolus injeksi yang dapat diberikan setiap 2 4 jam. Pemberian berikutnya tergantung pada basil evaluasi setelah pemberian anti kejang. (Ritarwan,2009)Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol, maka jadwal pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun. (Ritarwan,2009)Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan (setelah kejang terkontrol) adalah 20 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam). Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari (maintenance dose). (Ritarwan,2009)Bila dosis optimum telah didapat, maka scedule pasti telah dapat dibuat, dan ini dipertahankan selama 2 3 hari, dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10 15% dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol kejang yang terjadi. Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus segera dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang dipertahankan selama 2 3 hari dan diturunkan lagi secara bertahap, hal ini dilakukan untuk selanjutnya. Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masih terjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti kejang lainnya harus dilakukan. (Ritarwan,2009)

Gambar 2.6 Skema pemberian diazepam pada tetanus (Maulana,2012)Pengobatan menurut Adam.R.D. (1) : pada saat onset,

3000 6000 unit, tetanus immunoglobulin satu kali saja.

1,2 juta unit Procaine penicilin sehari selama 10 hari, intramuscular. Jika alergi beri tetrasiklin 2 gram sehari.

Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi)

Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan trakeostomi, ini harus dilakukan untuk mencegah sianosis dan apnoe.

Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine secara intramuskular dengan dosis 15 mg setiap jam sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan respirator. (Ritarwan,2009)Sedangkan pengobatan menurut Gilroy :

Kasus ringan :

Penderita tanpa sianosis : 90 180 begitu juga promazine 6 jam dan barbiturat secukupnya untuk mengurangi spasme.

Kasus berat :

1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team)2. Dilakukan trakeostomi segera. ETT minimal harus dibersihkan setiap satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan yang baru.3. Kurare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam. Pernafasan dijaga dengan respirator oleh tenaga yang berpengalaman.4. Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam mencegah conjunctivitis.5. Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu 6 kali/ hari.6. Urine pasang kateter, beri antibiotika.7. Kontrol serum elektrolit, ureum, dan AGDA.8. Rontgen foto thorax.9. Pemakaian kurare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan pemakaiannya. Jika Keadaan umum membaik, NGT dihentikan. Trakeostomi dipertahankan beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik. (Ritarwan,2009)2.11 PencegahanPencegahan pada tetanus adalah sebagai berikut :

1. Mencegah terjadinya luka.

2. Perawatan luka yang adekuat.

3. Pemberian ATS dalam beberapa jam setelah luka yaitu untuk memberikan kekebalan pasif, sehingga dapat dicegah terjadinya tetanus gejala ringan. Umumnya diberikan 1.500 unit secara intramuskular dengan didahului oleh uji kulit dan mata.

4. Pemberian toksoid tetanus pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi aktif pada minggu-minggu berikutnya setelah pemberian anti tetanus serum, kemudian diulangi lagi dengan jarak waktu 1 bulan 2 kali berturut-turut.

5. Pemberian Procain penicilin selama 2 3 hari setelah mendapat luka berat (dosis 50.000 U/kgBB/hari).

6. Imunisasi aktif. Toksoid tetanus diberikan agar anak membentuk kekebalan secara aktif. Sebagai vaksinasi dasar diberikan bersama vaksinasi terhadap pertusis dan difteri, dimulai pada umur 3 bulan. Vaksinasi ulangan (booster) diberikan 1 tahun kemudian dan pada usia 5 tahun serta selanjutnya setiap 5 tahun diberikan hanya bersama toksoid difteri (tanpa vaksin pertusis). (Hasan,2005)

Bila terjadi luka berat pada seorang anak yang telah mendapat imunisasi atau toksoid tetanus 4 tahun yang lalu, maka kepadanya wajib diberikan pencegahan dengan suntikan sekaligus antitoksin dan toksoid pada kedua ekstremitas (berlainan tempat suntikan). (Hasan,2005)2.12Prognosis

Dipengaruhi oleh beberapa faktor dan akan buruk pada masa tunas yang pendek (kurang dari 7 hari), usia yang sangat muda (neonatus) dan usia lanjut, bila disertai frekuensi kejang yang tinggi, kenaikan suhu tubuh yang tinggi, pengobatan yang terlambat, periode of onset yang pendek (jarak antara trismus dan timbulnya kejang) dan adanya komplikasi terutama spasme otot pernafasan dan obstruksi saluran pernafasan. (Hasan,2005)Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, dimana :

1. Ringan: bila tidak adanya kejang umum (generalized spasm).2. Sedang: bila sekali muncul kejang umum.

3. Berat: bila kejang umum yang berat sering terjadi. (Hasan,2005)

Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 14 hari, tetapi bisa lebih pendek ataupun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek. (Hasan,2005)Prognosa tetanus neonatal jelek bila :

1. Umur bayi < 7 hari

2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang

3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 jam

4. Dijumpai muscular spasm. (Hasan,2005)Case Fatality Rate (CFR) tetanus berkisar 44 55%, sedangkan tetanus neonatorum > 60%. (Hasan,2005)

2.13 Kerangka Konsep Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka kerangka konsep pada penelitian adalah sebagai berikut :

Variabel Independen

Lokasi Penelitian :

Peternakan sapi

Peternakan kuda

Kultur Cooked Meat Medium

Variabel Dependen

Feses Hewan :

Feses Sapi

Feses Kuda

Gambar 2.7Kerangka Konsep PenelitianClostridium tetani

Pewarnaan Gram

Pewarnaan Schaeffer Fulton

9