bab ii (landasan teori) pkn

22
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Analisa Hidraulika pada Pelimpah 2.1.1. Aliran pada Pelimpah Bendung pelimpah (over flow weir) merupakan salah satu komponen dalam saluran pengatur aliran dibuat untuk lebih meningkatkan pengaturan serta memperbesar debit air yang akan melintasi bangunan pelimpah (Sosrodarsono 2002 : 181). Dimensi dari bendung pelimpah dapat dihitung dengan menggunakan persamaan hidrolika sebagai berikut : .................................. (2.1) dengan : Q = Debit (m 3 /dt) C = Koefisien limpahan L = Lebar efektif mercu bendung (m) H = Total tinggi tekanan air di atas mercu bendung (m) 2.1.2. Koefisien Debit Limpahan Koefisien limpahan pada bendung tersebut biasanya berkisar antara angka 2,0 – 2,2 yang dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut : Kedalaman air didalam saluran pengarah aliran. Kemiringan lereng udik bendung Tinggi air diatas mercu bendung Perbedaan antara tinggi air rencana pada saluran pengatur aliran yang bersangkutan. 3

Upload: yadi-almadury

Post on 19-Jun-2015

1.087 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II (Landasan Teori) PKN

BAB IILANDASAN TEORI

2.1. Analisa Hidraulika pada Pelimpah

2.1.1. Aliran pada Pelimpah

Bendung pelimpah (over flow weir) merupakan salah satu komponen dalam

saluran pengatur aliran dibuat untuk lebih meningkatkan pengaturan serta memperbesar

debit air yang akan melintasi bangunan pelimpah (Sosrodarsono 2002 : 181).

Dimensi dari bendung pelimpah dapat dihitung dengan menggunakan persamaan

hidrolika sebagai berikut :

........................................................................................ (2.1)

dengan :

Q = Debit (m3/dt)

C = Koefisien limpahan

L = Lebar efektif mercu bendung (m)

H = Total tinggi tekanan air di atas mercu bendung (m)

2.1.2. Koefisien Debit Limpahan

Koefisien limpahan pada bendung tersebut biasanya berkisar antara angka 2,0 –

2,2 yang dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut :

Kedalaman air didalam saluran pengarah aliran.

Kemiringan lereng udik bendung

Tinggi air diatas mercu bendung

Perbedaan antara tinggi air rencana pada saluran pengatur aliran yang bersangkutan.

Pengaruh-pengaruh kedalaman air di dalam saluran pengarah aliran dan

kemiringan lereng udik bendung terhadap angka C pada berbagai bangunan pelimpah

dapat dilihat pada gambar 2.1.– 2.3 :

Gambar 2.1. Koefisien limpahan dipengaruhi oleh faktor P/HoSumber : Anonim, 1974:378

3

KOEFISIEN DEBIT

33.13.23.33.43.5

3.63.73.83.9

4

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

P/Ho

Co Koefisien Debit

Page 2: Bab II (Landasan Teori) PKN

4

Gambar 2.2. Koefisien limpahan dipengaruhi oleh faktor He/HoSumber : Anonim, 1974:378

Gambar 2.3. Koefisien limpahan dipengaruhi oleh faktor kemiringan huluSumber : Anonim, 1974:379

2.1.3. Tinggi Muka Air diatas Pelimpah (Crest) dan Tubuh Pelimpah

4

Page 3: Bab II (Landasan Teori) PKN

5

Gambar 2.4. Tinggi muka air di atas tubuh pelimpahSumber : Chow, Ven Te 1997 : 347

Kecepatan aliran teoritis pada pelimpah dapat dihitung dengan rumus sebagai

berikut (Chow, Ven Te 1997 : 345) :

........................................................................... (2.4)

............................................................................................. (2.5)

............................................................................................ (2.6)

dengan :

Q = debit aliran (m3/dt)

L = lebar efektif pelimpah (m)

Vz = kecepatan aliran (m/dt)

g = percepatan gravitasi (m/dt2)

Z = tinggi jatuh atau jarak vertikal dari permukaan hulu sampai lantai kaki hilir (m)

Hz = tinggi kecepatan hulu (m)

Yz = kedalaman aliran di kaki pelimpah (m)

Fz = bilangan froude

Sedangkan untuk menghitung tinggi muka air di atas mercu (crest) pelimpah,

digunakan persamaan dimana kondisi di atas mercu pelimpah dianggap kritis (nilai Fr =

1) sehingga :

Fr .................................................................... (2.7)

5

Page 4: Bab II (Landasan Teori) PKN

6

1 .................................................................................... (2.8)

ycr .............................................................................................. (2.9)

dengan :

ycr = tinggi muka air kritis di atas mercu pelimpah (m)

q = debit aliran persatuan lebar (m3/dt/m’)

g = percepatan gravitasi (m/dt2)

2.2. Saluran Samping

Aliran pada saluran samping merupakan aliran spasi. Aliran spasi adalah aliran

di mana terdapat perbedaan debit sepanjang saluran atau disebut aliran berubah menurut

ruang (spatially varied flow). (Raju, Ranga 1986:11).

Dalam saluran samping akan terjadi proses peredaman energi, maka saluran

tersebut akan menerima beban hidrodinamis berupa hempasan (impact) aliran air dan

gaya-gaya vibrasi (vibration), sehingga saluran ini harus dibangun di atas pondasi batuan

yang kukuh. (Sosrodarsono 2002:192).

Dengan memulai dari Hukum Newton II tentang gerak, kita bisa memperoleh

persamaan momentum yang menyatakan bahwa pengaruh dari semua gaya luar terhadap

volume kontrol dari cairan dalam setiap arah sama dengan besarnya perubahan

momentum dalam arah tersebut (Raju, Ranga 1986:11).

(2.10)

Sesuai dengan gambar 2.4 dan dengan mempertimbangkan volume kontrol 1-2-3-

4, persamaan (2.11) dapat ditulis :

(2-11)

dimana :

Q = Debit aliran (m3/dt)

U = Kecepatan rerata aliran (m/dt)

g = Percepatan gravitasi (m/dt2)

= Berat satuan air (kg/m3)

P1 = Tekanan hidrostatis pada potongan 1-4

P2 = Tekanan hidrostatis pada potongan 2-3

6

Page 5: Bab II (Landasan Teori) PKN

7

= Sudut kemiringan terhadap bidang datar (O)

Ff = Gesekan batas terhadap panjang x

Fa = Tahanan udara pada permukaan bebas

Gambar 2.5. Prinsip energi dan momentum yang digunakan untuk saluran terbukaSumber : Raju, Ranga 1986:10

Persamaan Rumus dasar dari I. Hinds, adalah sebagai berikut:

Qx = q . x (2-12)

v = a . xn (2-13)

y = (2-14)

dimana:

Qx = Debit pada titik x (m3/dt)

q = Debit per unit lebar (m3/dt)

x = Jarak antara tepi hulu bendung dengan suatu titik pada mercu bendung (m)

v = Kecepatan rata-rata aliran air di dalam saluran samping pada titik tertentu

(m/dt)

a = Koefisien kecepatan aliran air

n = Eksponen untuk kecepatan aliran air

y = Beda elevasi antara mercu bendung dengan permukaan air (m)

Dimana metode ini didasarkan pada hukum momentum seperti berikut :

.................................................(2-15)

atau

7

Page 6: Bab II (Landasan Teori) PKN

8

................................................(2-16)

dimana :

∆y : tinggi muka air di section n (m)

Q1 : debit di section n-1 (m3/dt)

Q2 : debit di section n (m3/dt)

v1 : debit di section n-1 (m/dt)

v2 : debit di section n (m/dt)

2.3. Loncatan Hidraulik

Loncatan hidraulik terjadi apabila suatu aliran berubah dari kondisi superkritis ke

kondisi subkritis. Terdapat suatu kenaikan yang tiba-tiba pada permukaan air dan

kehilangan energi yang besar dalam loncatan hidraulik. Pusaran turbulen yang berukuran

besar terbentuk pada awal loncatan. Pusaran ini menarik energi dari aliran utama dan

pusaran terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sambil mengalir ke hilir

(Subramanya, K. 1986:185).

2.3.1. Loncatan Hidraulik Bebas

Loncatan hidraulik dimana tubuh loncatan langsung bersinggungan langsung

dengan udara dinamakan free jump.

Gambar 2.6. Sketsa loncatan hidraulikSumber : Subramanya, K. 1986:189

Pada peristiwa loncatan hidraulik, komponen dasar yang berpengaruh pada

perhitungan energi adalah persamaan momentum.

8

Page 7: Bab II (Landasan Teori) PKN

9

Gambar 2.7. Persamaan momentum dalam loncatan hidraulikSumber : Ranga Raju, 1986:12

Dimana :

.......................................................................... (2.17)

............................. (2.18)

....................................................... (2.19)

Sedangkan dari persamaan kontinuitas :

q = v1.y1 = v2.y2 ..................................................................................... (2.20)

Dengan menggabungkan persamaan (2-19) dan (2-20), diperoleh :

................................................................................ (2.21)

.................................................................................... (2.22)

Dengan menyederhanakan persamaan diatas maka diperoleh persamaan :

............................................................................. (2.23)

2.3.2 Loncatan Hidraulik TenggelamAliran Tenggelam (Submerge Jump) didefinisikan sebagai loncatan dimana ujung

lompatan dilapisi oleh air dan atsmosfir tidak mempunyai akses langsung pada tubuh

lompatan.(W.H.Hager, 1992)

Gambar 2.8. Loncatan Tenggelam (Submerge Jump)Sumber : Ranga Raju, 1986:12

9

Page 8: Bab II (Landasan Teori) PKN

10

Gambar 2.9. Sketsa Loncatan Tenggelam (Submerge Jump)

Dimana :

......................................................................................................... (2.24)

Seperti bahwa Sj=0 untuk lompatan lompatan hidraulik klasik. Aplikasi hasil persamaan

momentum yang lazim :

..................................................................................... (2.25)

Untuk F1 > 2 dan Sj > 0, Pendekatan untuk rasio sequent depth modifikasi adalah :

........................................................................................ (2.26)

Mengingat untuk panjang dari lompatan Rajaratnam mengusulkan :

2.4. Peredam Energi

Sebelum aliran yang melintasi bangunan pelimpah dikembalikan lagi ke dalam

sungai, maka aliran dengan kecepatan yang tinggi dalam kondisi superkritis tersebut

harus diperlambat dan dirubah pada kondisi aliran subkritis. Dengan demikian

kandungan energi dengan daya penggerus yang sangat kuat yang timbul dalam aliran

tersebut harus diredusir hingga mencapai tingkat yang normal kembali, sehingga aliran

tersebut kembali ke dalam sungai tanpa membahayakan kestabilan alur sungai yang

bersangkutan. (Sosrodarsono, S. 2002:213)

Peredam energi mempunyai berbagai tipe yang disesuaikan dengan kondisi

topografi dan sistem kerjanya, yaitu :

1. Tipe Loncatan (Water Jump Type)

2. Tipe Kolam Olakan (Stilling Basin Type)

3. Tipe Bak Pusar (Rolller Bucket Type)

10

Page 9: Bab II (Landasan Teori) PKN

11

Agar diperoleh tipe peredam energi yang sesuai untuk bangunan pelimpah, maka

perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

a. Gambaran karakteristik hidrolis pada peredam energi yang direncanakan.

b. Hubungan lokasi antara peredam energi dengan tubuh bendungan.

c. Karakteristik hidrolis dan karakteristik konstruktif dari bangunan pelimpah.

d. Kondisi-kondisi topografi, geologi dan hidrolika di daerah tempat kedudukan calon

peredam energi.

e. Situasi serta tingkat perkembangan dari sungai di sebelah hilir.

Kolam olakan datar mempunyai berbagai variasi yang dibedakan oleh rezim

hidrolika alirannya dan kondisi konstruksinya, yaitu :

2.4.1. Kolam Olakan Datar Tipe I

Tipe ini digunakan untuk debit yang kecil dengan kapasitas peredaman energi

yang kecil pula dan kolam olakannya berdimensi kecil. Tipe ini biasanya dibangun untuk

suatu kondisi yang tidak memungkinkan pembuatan perlengkapan-perlengkapan lainnya

pada kolam olakan tersebut.

Gambar 2.10. Kolam olakan datar tipe ISumber : Sosrodarsono, 2002:217

2.4.2. Kolam Olakan Datar Tipe II

Kolam olakan ini dilengkapi dengan gigi-gigi pemencar aliran di pinggir hulu

dasar kolam dan ambang bergerigi di pinggir hilirnya. Kolam olakan tipe ini digunakan

untuk aliran dengan tekanan hidrostatis yang tinggi dan dengan debit yang besar (q = 45

m3/dt/m, tekanan hidrostatis > 60 m dan bilangan froude > 4.5)

11

Page 10: Bab II (Landasan Teori) PKN

12

Gambar 2.11. Bentuk kolam olakan datar tipe IISumber : Sosrodarsono, 2002:218

Gigi-gigi pemencar aliran berfungsi untuk untuk lebih meningkatkan efektifitas

peredaman, sedangkan ambang bergerigi berfungsi sebagai penstabil loncatan hidrolis

dalam kolam olakan tersebut. Kolam olakan tipe ini sangat sesuai untuk bendungan tipe

urugan dan penggunaanya cukup luas.

TWL ( Tail water Level ) dari USBR tipe II tidak boleh kurang dari sequent

depth (h2’) , dan keamanan minimal sebesar 5% dari sequent depth telah

direkomendasikan oleh Bradley dan Peterka (1957b). Panjang dari peredam energi (Lb)

didekati dengan Lb/h2’= 4 pada kisaran yang direkomendasikan dari bilangan Froude 4 <

F1 < 14.

Gambar 2.12. Grafik Hubungan Panjang Peredam Energi dan Bilangan FroudeSumber : W.H. Hager, 1992

2.4.3. Kolam Olakan Datar Tipe III

Pada hakekatnya perinsip kerja kolam olakan ini sangat mirip dengan sistim kerja

kolam olakan datar tipe II, akan tetapi lebih sesuai untuk mengalirkan air dengan tekanan

hidrostatis yang rendah dan debit yang agak kecil (q < 18.5 m3/dt/m, V < 18 m/dt dan

bilangan froude > 4.5). Untuk mengurangi panjang kolam olakan, biasanya dibuatkan

12

Page 11: Bab II (Landasan Teori) PKN

13

gigi-gigi pemencar aliran di tepi hulu dasar kolam, gigi-gigi penghadang aliran pada

dasar kolam olakan. Kolam olakan tipe ini biasanya untuk bangunan pelimpah pada

bendungan urugan yang rendah.

Gambar 2.13. Bentuk kolam olakan datar tipe IIISumber : Sosrodarsono, 2002:218

2.4.4. Kolam Olakan Datar Tipe IV

Sistem kerja kolam olakan tipe ini sama dengan sistem kerja kolam olakan tipe

III, tetapi penggunaannya yang cocok adalah untuk aliran dengan tekanan hidrostatis

yang rendah dan debit yang besar per unit lebar, yaitu utnuk aliran dalam kondisi super

kritis dengan bilangan froude antara 2.5 s/d 4.5. Biasanya kolam olakan ini digunakan

pada bangunan pelimpah suatu bendungan urugan yang sangat rendah.

Gambar 2.14. Bentuk kolam olakan datar tipe IVSumber : Sosrodarsono, 2002:219

2.5. Skala Model dan Konstruksi Model

Definisi dari skala model adalah rasio antara nilai masing-masing parameter yang

ada di prototipe dengan nilai masing-masing parameter yang ada di model. Prinsip

pembuatan skala adalah membentuk kembali masalah yang ada di prototipe dengan suatu

13

Page 12: Bab II (Landasan Teori) PKN

14

angka pembanding. Sehingga kejadian (fenomena) yang ada di model sebangun dengan

kondisi di prototipe.

Ada dua jenis yang dapat digunakan dalam pemakaian skala model fisik

hidraulika, yaitu skala model sama (undistorted model) dan skala model yang tidak sama

(distorted model). Skala model sama adalah skala yang dipakai dalam pembuatan model

dimana perbandingan skala mendatar dan skala tegak adalah sama. Sedangkan skala

model yang tidak sama adalah perbandingan antara skala mendatar dan skala tegak yang

tidak sama.

Hubungan skala (scale relation) yang digunakan untuk pembuatan/perencanaan

model fisik dibedakan menjadi dua kelompok (de Vries, 1977 : 28) :

1. Scale Law :

Hubungan antar skala parameter yang harus dipenuhi (dalam hal ini adalah Roughnes

condition dan Froude condition).

2. Scale Condition :

Hubungan antar skala parameter yang harus dipenuhi untuk menghindari scale

effects (dalam hal ini adalah kriteria kesebangunan).

Hubungan antara model dan prototipe dipengaruhi oleh hukum-hukum sifat

sebangun hidraulika. Perbandingan antara prototipe dan model disebut dengan skala

model. Dalam merencanakan suatu model terdapat sifat-sifat kesebangunan model, yang

amat menentukan ketelitian model tersebut.

Yang dimaksudkan dengan kesebangunan tersebut adalah :

1. Sebangun geometris, disebut juga dengan sebangun bentuk. Yaitu perbandingan

antara ukuran analog prototipe dengan model harus sama besarnya. Perbandingan

yang digunakan adalah Panjang, Luas dan Volume.

Semua ukuran pada titik sembaran di model dan prototipe harus mempunyai skala

yang sama.

Skala panjang :

Skala luas :

14

Page 13: Bab II (Landasan Teori) PKN

15

Skala volume :

Sebangun geometris sempurna tidak selalu mudah dicapai, sehingga kekasaran

permukaan dari model yang kecil tidak mungkin merupakan hasil dari skala model,

tetapi hanya dibuat permukaan yang lebih licin daripada prototipe.

2. Sebangun kinematis, yaitu sebangun gerakan. Perbandingan yang digunakan

adalah Waktu, Kecepatan dan Debit.

Skala kecepatan :

Skala percepatan :

Skala debit :

3. Sebangun dinamis, yaitu kesebangunan gaya-gaya yang terjadi bila gerakannya

sebangun kinematis, dan rasio dari massa yang bergerak serta gaya penyebabnya

sudah homolog besarnya.

Apabila hubungan antar skala dan kesebangunan telah terpenuhi, maka tingkat

ketelitian perlu diperhatikan sehubungan dengan besarnya nilai skala yang digunakan.

Skala model yang digunakan dalam pengujian ini didasarkan pada beberapa

pertimbangan berikut :

a. Tujuan dari pengujian

b. Ketelitian yang diharapkan

c. Fasilitas yang tersedia di laboratorium

d. Waktu dan biaya yang tersedia

Untuk suatu bangunan pelimpah, analisa tinggi aliran di atas pelimpah dapat

digunakan untuk menentukan skala model dengan penjabaran sebagai berikut :

He = H – kh ...................................................................................................... (2.29)

dengan :

He = Tinggi efektif air di atas pelimpah (m)

H = Tinggi air di atas pelimpah (m)

15

Page 14: Bab II (Landasan Teori) PKN

16

kh = Kehilangan tinggi

= 0,457 mm untuk pelimpah mercu bulat.

Debit aliran per satuan lebar di atas pelimpah dengan mempertimbangkan kedua

ketinggian air tersebut adalah :

q1 = C . H3/2 ..................................................................................................... (2.30)

q2 = C . He3/2 .................................................................................................... (2.31)

Penyelesaian persamaan (2.9) dan (2.10) berdasarkan kontinuitas aliran menghasilkan :

............................................................................................ (2.32)

dalam hal ini adalah rasio perbedaan yang diharapkan (ketelitian yang diharapkan).

2.6. Penjabaran Besaran Skala Model Tanpa Distorsi (Undistorted)

2.6.1. Kecepatan aliran (nv)

Untuk suatu bangunan hidraulika berupa saluran pelimpah (Over Flow Wier

Type), maka yang menentukan keadaan aliran adalah bilangan Froude (Fr) (Bambang

Triatmodjo, 1996 : 179) :

.................................................................................................... (2.33)

dengan :

v = Kecepatan aliran (m/det)

g = Percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)

h = Kedalaman aliran (m)

Agar kedalaman aliran di model sama dengan di prototipe, maka nilai (Fr) p =

(Fr)m, ini merupakan kriteria kesamaan pola aliran.

Skala bilangan Froude dirumuskan : , selanjutnya skala kecepatan aliran

dapat dijabarkan :

karena gp = gm, maka :

16

Page 15: Bab II (Landasan Teori) PKN

17

.......................................................................................................... (2.34)

2.6.2. Waktu aliran (nt)

Waktu yang ditempuh oleh suatu partikel zat cair dengan gerak beraturan adalah

:

Untuk model skala tanpa distorsi, diperoleh (Bambang Triatmodjo, 1996 : 180) :

, sehingga :

........................................................................................................... (2.35)

2.6.3. Debit aliran (nQ)

Rumus kontinuitas aliran :

Q = v . A .......................................................................................................... (2.36)

dengan :

A = Luas penampang basah

= L . h

dengan memperhatikan hubungan :

nQ = nv . nA

nv =

nA = nt . nh

maka untuk model skala tanpa distorsi diperoleh (Bambang Triatmodjo), 1996 : 180) :

...................................................................................................... (2.37)

2.6.4. Koefisien Chezy dan Manning

A. Koefisien Chezy

Untuk suatu penampang yang lebar : v = C (h . I)1/2, maka Bambang Triatmodjo,

1996 : 180) :

nv = nC . (nh)1/2 (nI)1/2

dan nv = (nh)1/2, sehingga untuk model skala tanpa distorsi diperoleh :

nC = 1 ............................................................................................................... (2.38)

17

Page 16: Bab II (Landasan Teori) PKN

18

B. Koefisien Manning

Rumus Manning pada saluran dengan penampang lebar adalah (Bambang

Triatmodjo, 1996 : 180) :

, sehingga untuk model skala tanpa distorsi diperoleh :

dan nv = (nh)1/2, sehingga :

nn = (nh)1/6 ........................................................................................................ (2.39)

18