bab ii landasan teori, kerangka berfikir dan …

23
II-1 BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian pajak Berdasarkan Undang-undang nomor 28 tahun 2007 tentang Tata Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pasal 1, ayat 1, menyatakan bahwa: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Menurut Rochmat Soemitro dalam buku Mardiasmo (2011:1), menyatakan bahwa: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Muzammil (2016:2), menyatakan bahwa: “Pajak adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan seorang warga Negara kepada pemerintahnya. Kontribusi ini bersifat memaksa dan pembayar pajak tidak akan mendapatkan imbalan secara langsung”. Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak adalah iuran wajib masyarakat terhadap Negara yang pembayarannya dapat dipaksakan tanpa mendapatkan imbalan secara langsung yang digunakan untuk membiayai keperluan Negara untuk menyelengarakan pemerintahan demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Upload: others

Post on 19-Nov-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-1

BAB II

LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN

PENGAJUAN HIPOTESIS

2.1 Pajak

2.1.1 Pengertian pajak

Berdasarkan Undang-undang nomor 28 tahun 2007 tentang Tata

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pasal 1, ayat 1, menyatakan bahwa:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Menurut Rochmat Soemitro dalam buku Mardiasmo (2011:1), menyatakan

bahwa:

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

Muzammil (2016:2), menyatakan bahwa:

“Pajak adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan seorang warga Negara kepada pemerintahnya. Kontribusi ini bersifat memaksa dan pembayar pajak tidak akan mendapatkan imbalan secara langsung”.

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

pajak adalah iuran wajib masyarakat terhadap Negara yang pembayarannya dapat

dipaksakan tanpa mendapatkan imbalan secara langsung yang digunakan untuk

membiayai keperluan Negara untuk menyelengarakan pemerintahan demi

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-2

2.1.2 Fungsi pajak

Fungsi pajak menurut Abuyamin (2016:35), yaitu:

1. Fungsi Budgetair

Fungsi budgetair dari pajak adalah fungsi untuk mengisi kas Negara

yang merupakan salah satu sumber yang utama bagi penerimaan

anggaran Negara. (di Indonesia salah satu sumber yang utama bagi

APBN/APBD)

2. Fungsi Regulerend (Fungsi Mengatur)

Fungsi Regulerend adalah fungsi mengatur di bidang sosial dan

perekonomian pada umumnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu

yang diharapkan oleh Negara/pemerintah. Misalnya dalam rangka

meningkatkan daya saing produksi dalam negeri.

2.1.3 Syarat-syarat pemungutan pajak

Syarat-syarat pemungutan pajak dalam buku Mardiasmo (2011:2) yaitu:

1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat keadilan)

Pemungutan pajak yang dikenakan secara adil dan melihat kemampuan

Wajib Pajak dalam membayar pajak.

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)

Pemungutan pajak yang diatur dalam pasal 23 ayat 2 UUD 1945 untuk

memberikan jaminan hukum yang adil baik bagi negara maupun

Warga Negara Indonesia.

3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

Pemungutan pajak harus menjaga keseimbangan kehidupan

perekonomian dan tidak menganggu kehidupan ekonomi dari Wajib

Pajak.

4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial)

Pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga biaya pemungutan

pajak tidak terlalu besar.

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Pemungutan pajak dilakukan secara sederhana yang berguna bagi

masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-3

2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Abuyamin (2016:35) Sistem pemungutan pajak dapat dibagi

menjadi:

1. Official Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang berdasarkan UU

pemerintah (fiskus) diberi wewenang untuk menentukan besarnya

pajak yang terutang.

Ciri official Assesment System:

a. Wewenanng untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada

pada fiskus

b. Wajib Pajak bersifat menunggu (pasif)

c. Utang pajak yang harus dibayar oleh WP timbul setelah

diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh fiskus.

2. Self Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang

kepada wajib pajak yang berdasarkan UU memberikan kepercayaan

kepada WP untuk melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang

perpajakan.

Ciri Self Assesment System:

a. WP menghitung dan memperhitungkan sendiri oleh WP, pajak

yang harus dibayar/pajak yang terutang

b. WP membayar/menyetor sendiri pajak yang harus dibayar/pajak

yang terutang ke Bank/Kantor Pos

c. WP melaporkan sendiri pajak yang harus dibayar/pajak yang

terutang

d. Pemerintah (fiskus) mengawasi pelaksanaan hak dan kewajiban

WP di bidang perpajakan

3. With Holding System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang berdasarkan UU memberi

kepercayaan/wewenang kepada pihak ketiga (bukan pemerintah dan

bukan WP yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut pajak

yang wajib dipotong/dipungut dari WP yang wajib membayarnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-4

Pihak ketiga wajib menyetorkan hasil pemotongan/pemungutan pajak

tersebut.

Ciri With Holding System:

a. Pemotongan/pemungutan pajak dilakukan oleh pihak ketiga (bukan

pemerintah/bukan fiskus)

b. Pemotong/pemungut pajak wajib menyetorkan hasil

pemotongan/pemungutan pajak tersebut

c. Pemerintah (fiskus) mengawasi pelaksanaan

pemotongan/pemungutan dan penyetoran oleh pihak ketiga

2.1.5 Asas Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2011:7) asas pemungutan pajak terdiri dari:

1. Asas Domisili (asas tempat tinggal)

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak

yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal

dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak

dalam negeri.

2. Asas Sumber

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di

wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.

3. Asas Kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.

2.1.6 Penggolongan Pajak

Menurut Abuyamin (2016:69), penggolongan pajak dibagi menjadi 3,

yaitu:

1. Berdasarkan Sifatnya

a. Pajak Bersifat Subjektif. Pajak yang bersifat subjektif adalah pajak

yang berdasarkan atau berpangkal pada keadaan diri subjek

pajaknya (wajib pajaknya). Dalam hal ini jumlah pajak yang

terutang dipengaruhi oleh keadaan diri subjek pajaknya. Contoh:

PPh.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-5

b. Pajak Bersifat Objektif. Pajak yang bersifat objektif adalah pajak

yang berdasarkan atau berpangkal pada objek pajaknya yang

berupa benda, atau keadaan, atau peristiwa, dan setelah ada

objeknya baru ditentukan subjek pajaknya. Contoh: PPN & PPn

BM.

2. Berdasarkan Cara Pemungutan

a. Pajak Langsung (Direct). Dalam arti administratif: mempunyai

kohir (SKP) dan pajak yang dipungut secara periodik (berulang-

ulang; berkala). Dalam arti ekonomis: harus dipikul sendiri oleh

WP dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang

lain (afwentelen). Contoh: Pajak Penghasilan.

b. Pajak Tidak Langsung (Indirect). Dalam arti administratif: tidak

punya kohir. Tidak dikenakan berulang-ulang. Pajak yang dipungut

karena perbuatan atau peristiwa tertentu dan dalam arti ekonomis:

pada akhirnya pembayar pajak dapat membebankan atau

melimpahkan beban pajaknya kepada orang lain. Contoh: Pajak

Pertambahan Nilai.

3. Menurut Lembaga Pemungutannya

a. Pajak Pusat/Pajak Negara. Pajak yang dipungut dan dikelola oleh

pemerintah pusat (Departemen Keuangan, Direktorat Jenderal

Pajak) dan hasil penerimaannya sebagai sumber utama bagi APBN

yang digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, baik

biaya rutin maupun biaya penggunaan. Contoh: PPh, PPN/PPn

BM, BM.

b. Pajak Daerah. Pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah

daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota) dan hasil penerimaannya

sebagai sumber utama APBD digunakan untuk membiayai rumah

tangga daerah baik biaya rutin maupun biaya pembangunan.

Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran,

Pajak Hiburan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-6

2.2 Upaya Peningkatan Pajak Daerah

Menurut (Mardiasmo, 2000; 10) Upaya meningkatkan kemampuan

penerimaan daerah, khususnya penerimaan dalam pendapatan asli daerah harus

dilaksanankan secara terus menerus oleh semua pihak dalam pemerintah daerah,

agar pendapatan asli daerah tersebut terus meningkat. Pemerintah daerah

diharapkan dapat meningkatkan PAD untuk mengurangi ketergantungan daerah

terhadap pembiayaan dari pusat, sehingga meningkatkan otonomi dan keluasan

daerah. Langkah penting yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah untuk

meningkatkan penerimaan daerah adalah menghitung potensi PAD yang riil

dimiliki daerah. Mengoptimalisasi PAD akan berimplikasi pada peningkatan

pungutan pajak daerah dan retribusi daerah, karena penyumbang terbesar PAD

adalah dua komponen tersebut.

2.2.1 Ekstensifikasi Pajak

Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001,

disebutkan bahwa:

“Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP)”.

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ/2013,

disebutkan bahwa:

“Ekstensifikasi adalah upaya proaktif yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak”.

Halim (2014:205), menyatakan bahwa:

“Kebijakan Ekstensifikasi ini dilakukan dalam upaya mencari/menemukan objek atau wajib pajak dan retribusi daerah baru ataupun memperluas ruang lingkup pajak yang ada. Adanya kegiatan ekstensifikasi ini dimaksudkan untuk memberikan hasil berupa adanya penambahan jumlah wajib pajak yang terdaftar”.

Pemerintah kabupaten/kota berdasarkan Peraturan Daerah baru yang ada,

dimungkinkan untuk menambah jenis pajak lain diluar yang diatur dalam Undang-

undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Upaya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-7

ekstensifikasi atas sumber-sumber penerimaan pajak daerah harus didasarkan

kepada kriteria-kriteria Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000, dengan kriteria

sebagai berikut:

1. Bersifat pajak dan bukan retribusi

2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang

bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya

melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang

bersangkutan.

3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan denga kepentingan

umum

4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan/atau objek pajak

pusat

5. Potensinnya memadai

6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif

7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat

8. Menjaga kelestarian lingkungan

Ekstesifikasi pajak merupakan kegiatan yang berfokus pada peningkatan

kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan demi

meningkatnya jumlah wajib pajak terdaftar serta perluasan objek pajak. Hal ini

sesuai dengan strategi ekstensifikasi yang dilakukan oleh Badan Pengelolaan

Pendapatan Daerah Kota Bandung guna mengoptimalisasi pajak daerah, antara

lain:

1. Penyesuaian tarif pajak daerah disesuaikan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku serta dengan mempertimbangkan perkembangan

kondisi sosial ekonomi masyarakat,

2. Menggali potensi pajak daerah baru, melalui persiapan perlimpahan pajak

pusat dan pajak propinsi.

Jadi ekstensifikasi pajak merupakan salah satu cara atau upaya yang

dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak. Ekstensifikasi

dilakukan guna menambah jumlah wajib pajak dengan mendaftarkan para

masyarakat yang memiliki objek pajak namun belum terdaftar sebagai wajib pajak

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-8

dan belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dengan menggunakan

strategi ekstensifikasi yang tarif pajaknya disesuaikan dengan peraturan yang

berlaku.

2.2.2 Intensifikasi Pajak

Siregar (2004:362), menyatakan bahwa:

“Intensifikasi pemungutan adalah meningkatakan penerimaan dengan cara mengintensifikasi kegiatan pemungutan terhadap jenis pajak yang telah ada. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan mengadakan pendataan objek dan subjek pajak sehingga potensi yang ada dapat direalisasikan secara optimal”.

Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001,

disebutkan bahwa:

“Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak”.

Intensifikasi pajak yang merupakan salah satu upaya pemerintah dalam

meningkatkan penerimaan pajak dilakukan untuk menggali potensi pajak dari

objek pajak serta subjek pajak yang sudah terdaftar secara lebih optimal demi

meningkatkan penerimaan pajak.

Menurut Kustiawan (2010: 40) Upaya intensifikasi akan mencakup aspek

kelembagaan, aspek ketatalaksanaan, dan aspek personalianya yang

pelaksanaannya melalui kegiatan sebagai berikut:

1. Menyesuaikan/memperbaiki aspek kelembagaan/ organisasi pengelola

pendapatan asli daerah (dinas pendapatan daerah),berikut

perangakatnya sesuai dengan kebutuhan yang terus berkembang, yaitu

dengan cara menerapkan secara optimal sistem dan prosedur

administrasi pajak daerah, retribusi daerah dan penerimaan pendapatan

lain-lain yang diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999.

2. Memberikan dampak ke arah peningkatan pendaptan asli daerah,

karena sistem ini dapat mendorong tercapinya:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-9

a. Peningkatan jumlah wajib pajak dan wajib retribusi daerah.

b. Peningkatan cara-cara penetapan pajak dan retribusi.

c. Peningkatan pemungutan pajak dan retribsui dalam jumlah yang

benar dan tepat pada waktunya.

d. Peningkatkan sistem pembukuan, sehingga memudahkan dalam hal

pencairan data tunggakan pajak maupun retribusi yang ada pada

akhirnya dapat mempermudah penagihannya

3. Memperbaiki/menyesuaikan aspek keterlaksanaan, naik administrasi

maupun operasional meliputi:

a. Penyesuaian/penyempurnaan administrasi pungutan.

b. Penyusaian tarif.

c. Penyesuaian sistem pelaksanaan pungutan

4. Peningkatan pengawasan dan pengendalian yang meliputi:

a. Pengawasan dan pengendalian yuridis

b. Pengawasan dan pengendalian teknis

c. Pengawasan dan pengendalian penatausahaan

5. Peningkatan sumber daya manusia mutu pengelola PAD dengan cara

meningkatkan mutu sumber daya manusia/aparatur pengelola

pendapatan daerah dapat dilakukan dengan mengikutsertakan

aparatnya dalam Kursus Keuangan Daerah (KKD), juga program-

program pendidikan dan latihan yang berkaitan dengan pengelolaaan

keuangan daerah.

6. Meningkatkan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat untuk

menumbuhkan kesadaran masyarakat membayar pajak dan retribusi.

Dalam jangka pendek kegiatan yang paling mudah dan dapat

dilakukan adalah melakukan intensifikasi terhadap objek atau sumber

pendapatan daerah yang sudah ada, seperti melakukan intensifikasi

terhadap pajak daerah dan retribusi daerah. Dengan melakukan

efektivitas dan efesiensi sumber atau objek pandapatan daerah, maka

akan meningktakan produktivitas PAD tanpa harus melakukan

perluasan sumber atau objek pendapatan daerah yang baru yang

memerlukan studi, proses dan waktu yang panjang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-10

Menurut Sidik dalam Soesastro (2005:596), secara umum, upaya yang

perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan

daerah melalui optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi

daerah, antara lain dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

1. Memperluas basis penerimaan

Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang

dapat dipungut oleh daerah, yang dalam perhitungan ekonomi

dianggap potensial, antara lain yaitu mengidentifikasi pembayar pajak

baru/potensial dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data

objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari

setiap jenis pungutan.

2. Memperkuat proses pemungutan

Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu

antara lain mempercepat penyusunan Perda, mengubah tarif,

khususnya tarif retribusi dan peningkatan SDM.

3. Meningkatkan pengawasan

Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan

pemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses

pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi

terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan

pelayanan yang diberikan oleh daerah.

4. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan

Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki

prosedur administrasi pajak melalui penyederhanaan admnistrasi

pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis

pemungutan.

5. Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih

baik. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan

instansi terkait di daerah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-11

Intensifikasi pajak merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan

pendapatan pajak daerah dengan memfokuskan pada kegiatan optimalisasi

penggalian pendapatan atau penerimaan pajak terhadap objek serta subjek pajak

yang telah tercatat dan terdaftar sebagai Wajib Pajak. Hal ini sesuai dengan

strategi intensifikasi yang dilakukan oleh Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung

guna mengoptimalisasi pajak daerah, antara lain:

1. Penyederhanaan proses administrasi pemungutan dan penyempurnaan

sistem pelayanan pajak daerah,

2. Optimalisasi pelaksanaan landasan hukum yang berkaitan dengan pajak

daerah,

3. Sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai ketentuan pajak

daerah,

4. Peningkatan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemungutan

penerimaan pajak daerah,

5. Peningkatan koordinasi dan kerja sama antar unit satuan kerja terkait agar

penerimaan yang bersumber dari pajak daerah dapat tercapai secara

optimal,

6. Pengembangan sistem informasi online pajak daerah.

2.3 Pajak Daerah

2.3.1 Pengertian Pajak Daerah

Pengertian pajak daerah menurut Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam pasal 1

angka 10 Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh

orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,

dan tidak akan mendapatkan imbalan secara langsung serta digunakan untuk

keperluan Daerah untuk kemakmuran rakyat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-12

2.3.2 Dasar Hukum Pajak Daerah

Dasar hukum pemungutan pajak daerah adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2000 tentang

perubahan atas undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentan pajak

daerah dan retribusi daerah

2. Peraturan pemerintah nomor 65 tahun 2001 tentang pajak daerah

3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga

Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum

Dan Tata Cara Perpajakan

4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2009 tentang

pajak daerah dan retribusi daerah

2.3.3 Jenis Pajak Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2009

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis pajak daerah dibagi menjadi

dua, yaitu:

1. Jenis Pajak Provinsi

a. Pajak kendaraan bermotor,

b. Bea balik nama kendaraan bermotor,

c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor,

d. Pajak air permukaan,

e. Pajak rokok.

2. Jenis pajak kabupaten/kota

a. Pajak hotel,

b. Pajak restoran,

c. Pajak hiburan,

d. Pajak reklame,

e. Pajak penerangan jalan,

f. Pajak mineral bukan logam dan batuan,

g. Pajak parkir,

h. Pajak air tanah,

i. Pajak sarang burung walet,

j. Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-13

k. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi penerimaan pajak daerah,

salah satunya adalah jumlah penduduk. Jumlah penduduk adalah sejumlah

orang yang sah yang mendiami suatu daerah atau Negara serta mentaati

ketentuan-ketentuan dari daerah atau Negara tersebut (Simanjuntak (2001)

dalam Makdalena dkk.).

2.4 Pajak Hiburan

2.4.1 Pengertian Pajak Hiburan

Pajak Hiburan merupakan salah satu bagian dari Pajak Daerah. Dalam

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah disebutkan bahwa Pajak Hiburan adalah pajak atas segala

penyelenggaraan hiburan, dimana hiburan adalah semua jenis hiburan baik

tontonan, pertunjukan, permainan, ataupun keramaian yang dinikmati dengan

adanya pungutan biaya.

2.4.2 Objek Pajak dan Subjek Pajak

Menurut Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 8 Tahun 2010, pasal 3

tentang Pajak Hiburan, Objek Pajak adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan

dipungut bayaran. Yang di maksud dengan penyelenggaraan hiburan adalah:

1. Tontonan film;

2. Pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;

3. Kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;

4. Pameran;

5. Diskotik, karaoke, klab malam, pub dan sejenisnya;

6. Sirkus, akrobat, dan sulap;

7. Permainan bilyar, golf, dan boling;

8. Pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;

9. Panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness centre);

dan

10. Pertandingan olah raga.

Kemudian yang tidak termasuk sebagai Objek pajak adalah:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-14

1. Penyelenggaraan hiburan kesenian rakyat/tradisional Indonesia, music dan

tari tradisional Indonesia; dan

2. Penyelenggaraan hiburan dalam pernikahan, khitanan, upacara keagamaan

dan di lingkungan pendidikan.

Yang menjadi Subjek pajak dalam Pajak Hiburan adalah orang pribadi

atau badan yang menikmati hiburan yaitu para konsumen orang pribadi ataupun

badan penikmat hiburan yang beperan sebagai penanggung atau harus membayar

biaya hiburan yang telah dinikmati. Dan wajib pajak adalah orang pribadi atau

badan yang menyelenggarakan hiburan yaitu para penyelenggara hiburan yang

berwenang sebagai pemungut. Jadi subjek pajak dan wajb panjang merupakan dua

hal yang berbeda.

2.4.3 Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak

Menurut Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pajak Hiburan dalam pasal 6, Dasar pengenaan Pajak adalah jumlah uang yang

diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan. Jumlah uang

yang seharusnya itu termasuk juga potongan harga dan tiket cuma-cuma yang

diberikan kepada penerima jasa hiburan.

Tarif untuk pajak hiburan ditentukan dari jenis hiburan dan harganya,

yaitu:

1. Tontonan film:

a. HTM dengan harga diatas Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah)

dikenakan pajak sebesar 15% (lima belas persen);

b. HTM mulai harga Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sampai

dengan Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dikenakan pajak

sebesar 10% (sepuluh persen); dan

c. HTM di bawah Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dikenakan

pajak sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen);

2. Pagelaran kesenian, musik, tari modern dan/atau busana dikenakan

pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari HTM;

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-15

3. Binaraga dan sejenisnya dikenakan pajak sebesar 25% (dua puluh

lima persen) dari HTM;

4. Pameran dikenakan pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari

HTM;

5. Diskotik, karaoke, klab malam, pub, dan sejenisnya dikenakan

pajak sebesar 35% (tigapuluh lima persen) dari jumlah

pembayaran;

6. Sirkus, akrobat, dan sulap dikenakan pajak sebesar 10% (sepuluh

persen) dari HTM;

7. Permainan bilyar dan boling dikenakan pajak sebesar 15% (lima

belas persen);

8. Pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan

dewasa dikenakan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari

HTM;

9. Panti pijat, refleksi dan mandi uap/spa dan pusat kebugaran (fitness

centre) dikenakan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen);

10. Pertandingan olah raga dikenakan pajak sebesar 15% (lima belas

persen) dari HTM;

11. Khusus untuk kontes kecantikan dikenakan pajak sebesar 35%

(tigapuluh lima persen) dari jumlah pembayaran/HTM;

12. Khusus untuk golf dikenakan pajak sebesar 30% (tigapuluh persen)

dari jumlah pembayaran; dan

13. Khusus untuk ketangkasan anak dikenakan pajak sebesar 10%

(sepuluh persen) dari jumlah pembayaran;

Besaran pokok pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif

pajak dengan dasar pengenaan pajak.

2.4.4 Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang

Menurut Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pajak Hiburan dalam pasal 12, Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya

yaitu selama 1 (satu) bulan atau jangka waktu lain yang ditetapkan melalui

Peraturan Walikota. Dalam pasal 13 disebutkan bahwa pajak yang terutang adalah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-16

pajak yang terjadi pada saat pembayaran atas hiburan atau pelayanan di tempat

penyelenggaraan hiburan.

2.4.5 Wilayah dan Tata Cara Pemungutan

Dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pajak Hiburan dalam pasal 20, Pajak yang terutang dipungut di daerah dan

pemungutan pajak tidak dapat diborongkan. Selanjutnya dalam pasal 21 sampai

pasal 28 membahas mengenai tata cara pemungutan Pajak Hiburan di Kota

Bandung, yaitu:

Tata cara pemungutan Pajak Hiburan:

1. Wajib Pajak memenuhi kewajiban pajak sendiri dalam menghitung,

memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang

terutang menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD).

2. Selanjutnya diterbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD), Surat

Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), dan/atau Surat

Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT) untuk

Wajib Pajak oleh Walikota.

Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah terutangnya pajak atau

berakhirnya masa pajak, Walikota dapat menerbitkan:

1. SKPDKB dalam hal:

a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak

yang terutang tidak atau kurang dibayar. Jumlah kekurangan pajak

yang terutang dalam SKPDKB yang dimaksud dikenakan sanksi

administratif berupa bunga sebesar 2% per bulan paling lama 24 bulan

dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak

sampai diterbitkannya SKPDKB;

b. Apabila SPTPD tidak disampaikan kepada Walikota dalam jangka

waktu tertentu setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada

waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran. Jumlah

kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB yang dimaksud

dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% per bulan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-17

paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau

berakhirnya masa pajak sampai diterbitkannya SKPDKB;

c. Apabila kewajiban mengisi SPTPD tidak terpenuhi, sehingga tidak

dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.

2. SKPDKBT apabila ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum

terungkap yang menyebabkan perubahan jumlah pajak yang terutang.

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana

dimaksud dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% dari

jumlah kekurangan pajak tersebut. Namun kenaikan tidak boleh dikenakan

apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan

pemeriksaan;

3. SKPDN apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah

kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jumlah

pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dikenakan

sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% dari pokok pajak

ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% setiap bulan

dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka

waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak

Walikota dapat menerbitkan STPD apabila :

1. Pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;

2. Dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai

akibat salah tulis dan/atau salah hitung;

3. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD yang dimaksud

ditambah sanksi administrasi berupa bunga 2% setiap bulan untuk paling lama 15

bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak sampai

dengan diterbitkannya surat tagihan pajak.

STPD mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan SKPD. Tata cara

penerbitan STPD ditetapkan dengan Peraturan Walikota.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-18

2.5 Perumusan Model Penelitian

2.5.1 Penelitian Terdahulu

Tabel II.1 Tabel Penelitian Terdahulu

Nama

Penulis/Tahun

Judul

Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan

Lusy Noor Arsy/ 2013

Pengaruh Penerimaan Pajak Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung (Studi Kasus Pada Dinas Pendapatan Kota Bandung)

Penerimaan Pajak Hiburan mempunyai pengaruh atau kontribusi penerimaan Pajak Hiburan sebesar 6,747 atau 45,52% yang berarti bahwa penerimaan pajak hiburan berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan asli daerah Kota Bandung

Fokus penelitiannya berbeda, penelitian terdahulu fokus terhadap pengaruh penerimaan pajak secara keseluruhan terhadap PAD, sedangkan penelitian yang akan saya teliti berfokus pada pengaruh kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak hiburan terhadap penerimaan pajak daerah

Tommy Supriyatna/ 2016

Pengaruh Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak Restoran Terhadap Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung

Secara parsial, Ekstensifikasi pajak restoran berpengaruh signifikan negatif terhadap penerimaan pajak daerah sebesar 54,8%. Intensifikasi pajak restoran berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak daerah, sebesar 86,5%. Secara simultan, ekstensifikasi dan intensifikasi pajak restoran berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak

Variabel X1 dan X2 pada penelitian terdahulu adalah kegiatan esktensifikasi dan intensifikasi pajak restoran, sedangkan pada penelitian yang akan saya teliti X1 dan X2 nya adalah kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak hiburan, kemudian dalam penelitian sebelumnya data yang digunakan adalah data sekunder dan dalam dalam penelitian saya menggunakan data primer berupa

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-19

daerah sebesar 97,7% kuesioner.

2.5.2 Kerangka Pemikiran Konseptual

Pajak adalah iuran wajib masyarakat terhadap Negara yang

pembayarannya dapat dipaksakan tanpa mendapatkan imbalan secara langsung

yang digunakan untuk membiayai keperluan Negara untuk menyelengarakan

pemerintahan demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Pajak hiburan merupakan salah satu kontributor pendapatan pajak daerah

yang system pemungutannya adalah system self assessment dimana pemerintah

(fiskus) tidak tahu apa-apa/tidak tahu mengenai kegiatan usaha Wajib Pajak, tidak

tahu jumlah penghasilan Wajib pajak, tidak tahu mengenai jumlah pajak yang

terutang atas nama Wajib Pajak, pemerintah (fiskus) baru mengetahui jika Wajib

Pajak melaporkannya ke Pemerintah (fiskus). Pembayaran pajak hiburan dengan

system self assessment yaitu Wajib Pajak memenuhi kewajiban pajak sendiri

dalam menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak

yang terutang menggunakan SPTPD berdasarkan tarif yang telah ditentukan oleh

pemerintah dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010.

Pajak bukanlah iuran sukarela, namun iuran wajib dan bersifat memaksa

yang harus di bayar oleh Wajib Pajak kepada negara, tapi pada kenyataannya

masih banyak Wajib Pajak yang lalai dalam menunaikan kewajibannya kepada

Negara. Masyarakat akan mencari-cari cara untuk membayar pajak seminim

mungkin atau bahkan tidak membayar pajak. Dalam literatur perpajakan dikenal

dua cara untuk meminimalkan pembayaran pajak (Mardiasmo, 2010:9):

1. Wajib Pajak selalu berusaha untuk membayar pajak yang terutang sekecil

mungkin, sepanjang hal itu dimungkinkan oleh ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan (tax avoidance)

2. Wajib Pajak cenderung untuk menyelundupkan pajak yaitu usaha

penghindaran pajak yang cenderung secara ilegal, sepanjang Wajib Pajak

tersebut mempunyai alasan yang meyakinkan bahwa akibat dari perbuatan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-20

itu kemungkinan besar mereka tidak akan dihukum serta yakin pula bahwa

rekan-rekannya melakukan hal yang sama (tax evasion)

Kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak cukup

disayangkan, pasalnya hasil pendapatan pajak ditujukan untuk kegiatan

pemerintah demi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia walaupun memang

imbalannya tidak dapat dirasakan secara langsung. Maka untuk meningkatkan

penerimaan pajak, ada dua upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan

penerimaan pajak yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi pajak.

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001

tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak yaitu

dalam rangka meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan mengoptimalkan

penerimaan pajak, dipandang perlu untuk menegaskan hal-hal yang berkaitan

dengan pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi Pajak.

Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan

penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam

administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ekstensifikasi dilakukan untuk

menambah jumlah Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan usaha yang

memiliki objek pajak namun belum terdaftar sebagai Wajib Pajak demi

meningkatkan penerimaan pajak.

Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan

pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam

administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak.

Intensifikasi dilakukan demi meningkatkan jumlah penerimaan pajak dengan

mengoptimalkan penerimaan pajak dari subjek pajak potensial yang sudah ada.

Ekstenfisikasi dan intensifikasi pajak merupakan salah satu upaya

pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak daerah. Dimana ekstensifikasi

berfokus pada meningkatkan jumlah wajib pajak demi meningkatkan penerimaan

pajak, sedangkan ekstensifikasi berfokus dalam mengoptimalkan penerimaan

pajak dari pada subjek pajak potensial yang sudah ada.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-21

Dari uraian diatas maka penulis membuat suatu skema kerangka pemikiran

yang terdapat pada Gambar II.1 dibawah ini:

Gambar II.1 Skema Kerangka Pemikiran

Ekstensifikasi Pajak Intensifikasi Pajak

Pajak Hiburan

Pajak Daerah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-22

Dari uraian diatas maka penulis membuat kerangka berfikir yang terdapat

pada Gambar II-2 dibawah ini:

Gambar II.2 Kerangka Berfikir

Ekstensifikasi (X1)

Penambahan Jumlah Wajib

Pajak terdaftar

Perluasan Objek Pajak

Tarif

Surat Edaran Direktur Jendral Pajak

Nomor SE-06/PJ.9/2001

Intensifikasi (X2)

Optimalisasi penggalian penerimaan pajak

terhadap objek pajak dan subjek pajak

Pengawasan atas subjek dan objek pajak

yang ada

Landasan Hukum

Surat Edaran Direktur Jendral Pajak

Nomor SE-06/PJ.9/2001

Penerimaan Pajak Daerah (Y)

Realisasi Penerimaan Pajak daerah tahun

2011-2015

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN …

II-23

2.5.3 Hipotesis Penelitian

Menurut Sugiono (2015:64) Hipotesis merupakan jawaban sementara

terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah

dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Hipotesis dalam penelitian ini

adalah:

H0: Ekstensifikasi Pajak Hiburan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap

Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung

H1: Ekstensifikasi Pajak Hiburan berpengaruh secara signifikan terhadap

Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung

H0: Intensifikasi Pajak Hiburan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap

Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung

H1: Intensifikasi Pajak Hiburan berpengaruh secara signifikan terhadap

Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung

H0: Ekstensifikasi dan Intensifikasi Hiburan Pajak tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung

H1: Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak Hiburan berpengaruh secara signifikan

terhadap Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung