bab ii landasan teori ii.1 pengendalian internthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2008-2-00014-ak bab...

27
BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengendalian Intern II.1.1 Pengertian Pengendalian Intern Pada perusahaan kecil, umumnya pemilik merangkap sebagai manajemen dan mengelola perusahaannya sendiri. Skala perusahaan yang kecil memungkinkan seorang manajer mampu mengawasi seluruh proses yang terjadi dalam perusahaan. Namun pada saat perusahaan berkembang, fungsi yang dibutuhkan perusahaan akan semakin meningkat sehingga muncul kebutuhan untuk melimpahkan wewenang dan tanggung jawab. Pengendalian intern merupakan alat yang digunakan manajemen untuk mengawasi pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepada bawahannya. Selain itu pengendalian intern juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengendalikan operasi perusahaan agar dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Pengertian pengendalian intern menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusup (2003) adalah: ”Sistem Pengendalian Intern yang terdiri dari kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur dirancang untuk memberikan manajemen keyakinan memadai bahwa tujuan dan sasaran yang penting bagi suatu usaha dapat dicapai(h. 258) Bodnar and William Hopwood (1998) dalam buku yang berjudul Accounting Information System mengungkapkan bahwa :

Upload: tranque

Post on 06-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Pengendalian Intern

II.1.1 Pengertian Pengendalian Intern

Pada perusahaan kecil, umumnya pemilik merangkap sebagai

manajemen dan mengelola perusahaannya sendiri. Skala perusahaan yang

kecil memungkinkan seorang manajer mampu mengawasi seluruh proses

yang terjadi dalam perusahaan. Namun pada saat perusahaan berkembang,

fungsi yang dibutuhkan perusahaan akan semakin meningkat sehingga

muncul kebutuhan untuk melimpahkan wewenang dan tanggung jawab.

Pengendalian intern merupakan alat yang digunakan manajemen untuk

mengawasi pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab yang diberikan

kepada bawahannya. Selain itu pengendalian intern juga dapat digunakan

sebagai alat untuk mengendalikan operasi perusahaan agar dapat berjalan

lebih efektif dan efisien.

Pengertian pengendalian intern menurut Arens dan Loebbecke yang

diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusup (2003) adalah:

”Sistem Pengendalian Intern yang terdiri dari kebijakan-kebijakan dan

prosedur-prosedur dirancang untuk memberikan manajemen keyakinan

memadai bahwa tujuan dan sasaran yang penting bagi suatu usaha dapat

dicapai” (h. 258)

Bodnar and William Hopwood (1998) dalam buku yang berjudul

Accounting Information System mengungkapkan bahwa :

“ Internal control is a process-affected by an entity’s board of directors,

management, and other personnel-designed to provide reasonable assurance

regarding the achievement of objective in the following categories :

a. Reability of financial reporting,

b. Effectivennes and efficiency of operation,

c. Compliance with applicable laws and regulation.“ (p. 182)

Agoes S dalam bukunya yang berjudul Auditing (1999) mengungkapkan

bahwa :

“Sistem Pengendalian intern adalah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan

untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa satuan usaha yang

spesifik dapat dicapai”. (h. 57)

Berdasarkan beberapa pengertian yang tercantum di atas, dapat

dibuat kesimpulan yaitu :

a. Pengendalian intern terdiri dari sekumpulan proses, prosedur, kebijakan, dan

metode yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu.

b. Pengendalian intern dipengaruhi oleh manusia dan dibuat serta

dijalankan oleh manajemen.

c. Pengendalian intern hanya dapat memberikan tingkat keyakinan memadai

tetapi tidak memberikan keyakinan absolut.

d. Pengendalian intern ditujukan untuk mencapai tujuan yang saling

berkaitan, yaitu pelaporan, keuangan, kepatuhan dan operasi.

II.1.2 Tujuan Pengendalian Intern

Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf

(2003) menyatakan bahwa manajemen memiliki tiga hal yang diperhatikan

sehubungan dengan pengendalian intern perusahaan. Ketiga hal tersebut

adalah :

a. Keandalan Pelaporan Keuangan

Manajemen bertanggung jawab dalam pembuatan laporan keuangan

untuk investor, kreditur, dan pengguna laporan keuangan lainnya.

Manajemen memiliki kewajiban hukum dan professional untuk

menjamin bahwa informasi yang tercantum dalam laporan keuangan

perusahaan telah disiapkan sesuai dengan standar pelaporan, misalnya

prinsip akuntansi yang berlaku umum. Untuk meningkatkan keandalan

pelaporan keuangan, manajemen membutuhkan pengendalian intern.

b. Mendorong Efisiensi dan Efektivitas Operasional

Pengendalian intern dalam sebuah organisasi adalah alat untuk

mencegah kegiatan dan pemborosan yang tidak perlu dalam segala

aspek usaha, dan untuk mengurangi penggunaan sumber daya yang tidak

efisien dan efektif. Bagian penting lainnya dalam pengendalian intern

adalah untuk pengamanan aktiva dan catatan. Aktiva perusahaan dapat

dicuri, disalahgunakan ataupun rusak jika tidak dilindungi dengan

pengendalian yang memadai, kondisi yang sama juga berlaku untuk

aktiva non-fisik seperti piutang usaha, dokumen penting (kontrak

rahasia dengan pemerintah), dan catatan-catatan penting lainnya.

c. Ketaatan Kepada Hukum dan Peraturan

Organisasi diharuskan untuk mengikuti banyak peraturan yang berlaku.

Ada peraturan tertentu yang hanya berlaku di bidang akuntansi, seperti

peraturan perpajakan dan peraturan yang tidak langsung berhubungan

dengan akuntasi seperti UU lingkungan hidup dan UU perlindungan.

Pengendalian intern diharapkan dapat meningkatkan kesesuaian operasi

yang dijalankan organisasi dengan peraturan yang berlaku dan harus

ditaati. (h. 271)

II.1.3 Komponen-komponen Pengendalian Intern

Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf

(2003) mengungkapkan bahwa pengendalian intern meliputi lima kategori

pengendalian yang di desain dan diimplementasikan oleh manajemen untuk

memberikan jaminan yang memadai bahwa tujuan pengendalian manajemen

dapat dicapai. Kelima kategori pengendalian tersebut disebut komponen-

komponen pengendalian intern, yaitu :

a. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)

Lingkungan pengendalian terdiri dari tindakan, kebijakan, dan

prosedur yang mencerminkan keseluruhan sikap dari manajemen

puncak, pimpinan dan pemilik terhadap pengendalian intern dan

pentingnya pengendalian tersebut bagi perusahaan. Lingkungan

pengendalian ini memiliki subkomponen sebagai berikut :

1. Integritas dan Nilai-Nilai Etika

Integritas dan nilai etika merupakan hasil dari standar etika dan

perilaku perusahaan dan bagaimana standar tersebut

dikomunikasikan dan di jalankan dalam praktek sehari-hari.

2. Komitmen Terhadap Kompetensi

Kompetensi adalah pengetahuan dan keahlian yang di perlukan

untuk menyelesaikan tugas-tugas. Komitmen terhadap

kompetensi meliputi pertimbangan manajemen atas tingkat

kompetensi dari pekerjaan tertentu dan bagaimana tingkatan

tersebut berubah menjadi keterampilan dan pengetahuan yang

disyaratkan.

3. Dewan Komisaris dan Komite Audit

Dewan komisaris yang efektif bersifat independen terhadap

manajemen dan anggota-anggotanya aktif dan menilai aktivitas

manajemen. Dewan mendelegasikan tanggung jawab atas

pengendalian intern kepada manajemen dan dituntut untuk

memberikan penilaian yang independen atas pengendalian intern

yang ditetapkan oleh manajemen. Untuk membantu

penilaiannya, dewan komisaris membentuk komite audit yang

bertanggung jawab atas proses pelaporan keuangan. Komite

audit juga bertanggung jawab untuk memelihara komunikasi

dengan auditor internal dan eksternal.

4. Falsafah Manajemen dan Gaya Operasi

Melalui aktivitasnya, manajemen menunjukan arti pentingnya

pengendalian intern kepada para karyawannya. Dengan

memahami filosofi dan gaya operasi manajemen, auditor dapat

memahami sikap manajemen terhadap pengendalian.

5. Struktur Organisasi

Struktur organisasi suatu perusahaan membatasi garis tanggung

jawab dan wewenang yang ada dalam suatu perusahaan. Dengan

memahami struktur organisasi klien, auditor dapat mempelajari

manajemen dan elemen fungsional usaha dan menaksir

bagaimana kebijakan dan prosedur yang berhubungan dengan

pelaksanaan pengendalian.

6. Pelimpahan Wewenang dan Tanggung Jawab

Metode formal dalam mengkomunikasikan wewenang dan

tanggung jawab dan masalah sejenis yang terkait dengan

pengendalian, merupakan hal yang paling penting. Hal ini

termasuk metode-metode seperti memo dari manajemen puncak

tentang pentingnya pengendalian dan hal-hal yang berkaitan

dengan pengendalian, rencana operasi dan organisasi secara

formal, dan dekripsi tugas karyawan dan kebijakan terkait, dan

dokumen kebijakan yang menggambarkan perilaku pegawai

seperti perbedaan kepentingan dan kode etik perilaku formal.

7. Kebijakan dan Prosedur kepegawaian

Salah satu aspek penting dalam pengendalian intern adalah

karyawan. Jika karyawan dalam suatu perusahaan kompeten dan

dapat dipercaya, maka pengendalian lain dapat dihilangkan dan

laporan keuangan yang andal masih dapat dihasilkan. Karena

pentingnya karyawan yang kompeten dan dapat dipercaya dalam

menyediakan pengendalian yang efektif, metode dimana

seseorang dipekerjakan, dilatih, dipromosikan, dan diberi

kompensasi adalah bagian penting dalam pengendalian intern.

b. Penilaian Risiko Oleh Manajemen (Risk Assesment)

Penilaian risiko untuk pelaporan keuangan merupakan

identifikasi dan analisis oleh manajemen atas risiko-risiko yang

relevan terhadap persiapan laporan keuangan yang sesuai dengan

prinsip akuntansi yang berlaku umum.

Manajemen menilai risiko sebagai bagian dalam perancangan

dan pengoperasian struktur pengendalian intern untuk meminimalkan

salah saji dan ketidakberesan. Auditor menetapkan risiko untuk

memutuskan jumlah bahan bukti yang diperlukan dalam audit. Jika

manajemen secara efektif menilai dan bereaksi terhadap risiko, auditor

biasanya mengumpulkan lebih sedikit bahan bukti dibandingkan jika

manajemen tidak dapat mengidentifikasi dan bereaksi terhadap risiko

yang signifikan.

c. Aktivitas Pengendalian (Control Activities)

Aktivitas pengendalian adalah kebijakan dan prosedur, selain

dari empat komponen yang lain, yang dibuat manajeman untuk

memenuhi tujuannya. Banyak sekali kebijakan dan prosedur dalam

suatu satuan usaha. Tetapi lazimnya dapat dipecah menjadi lima

kategori yang diuraikan berikut ini, yaitu :

1. Pemisahan Tugas yang Memadai

Empat pedoman umum pemisah tugas untuk mencegah salah

saji baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja mempunyai

kepentingan khusus bagi auditor.

a. Pemisahan pemegang (Custody) aktiva dari akuntansi

Alasan untuk tidak mengijinkan orang yang kadang-kadang

atau secara permanen memegang aktiva untuk mencatat

aktiva tersebut adalah untuk melindungi perusahaan dari

penggelapan. Jika kedua fungsi ini dilakukan oleh satu

orang, risiko bahwa orang tersebut melakukan kecurangan

atas asset perusahaan untuk keuntungan pribadi dan

menyesuaikan catatan tersebut untuk membebaskan diri dari

tanggung jawab akan meningkat.

b. Pemisahan otorisasi transaksi dari pemegang aktiva yang

bersangkutan

Kalau memungkinkan, diperlukan untuk mencegah orang

yang menyetujui transaksi, memiliki kendali atas aktiva

tersebut. Misalnya orang yang sama seharusnya tidak

diijinkan menyetujui pembayaran faktur pembelian dan juga

menandatangai pembayaran tagihan.

c. Pemisahan tanggung jawab operasional dari tanggung

jawab pembukuan

Kalau dalam setiap departemen atau divisi dalam perusahaan

bertanggung jawab untuk membuat catatan dan laporannya

masing-masing, terdapat kecenderungan hasilnya memihak

(bisa) untuk memperbaiki kinerja yang dilaporkan. Untuk

menjamin informasi tidak memihak, pencatatan biasanya ada

di departemen tersendiri dibawah kontroler.

d. Pemisahan tugas dalam PDE (Pemrosesan Data

Elektronik)

Sepanjang dianggap praktis, diperlukan pemisahan fungsi

utama dalam PDE yang secara ideal sebagai berikut:

a. Analis Sistem

b. Programmer

c. Operator Komputer

d. Pustakawan

e. Kelompok Pengendali Data

Secara alamiah, luas pemisahan tugas sangat bergantung

pada ukuran organisasi, pada banyak perusahaan kecil adalah

tidak praktis untuk memisahkan tugas seluas yang dianjurkan

di atas.

2. Otorisasi Yang Memadai Atas Transaksi dan Aktivitas

Setiap transaksi harus diotorisasi secara memadai jika ingin

pengendalian dapat berjalan dengan baik. Otorisasi dapat dibagi

menjadi otorisasi umum (general authorization) maupun otorisasi

khusus (specific authorization).

Otorisasi umum adalah kebijakan yang ditetapkan

manajemen untuk diikuti oleh perusahaan. Bawahan diperintahkan

untuk menjalankan otorisasi umum ini dengan cara menyetujui

semua transaksi dalam batas yang ditentukan dalam kebijakan.

Sedangkan otorisasi khusus diterapkan atas transaksi

individual. Otorisasi ini biasanya diterapkan karena manajemen

tidak bersedia menetapkan kebijakan umum atas otorisasi untuk

sebagian transaksi, manajemen lebih memilih membuat otorisasi

atas dasar kasus per kasus.

3. Dokumen Dan Catatan yang Memadai

Dokumen dan catatan merupakan objek fisik atas transaksi

yang telah dicatat dan diiktisarkan. Sebagian besar catatan dan

dokumen ini disimpan dalam bentuk data komputer sebelum

dicetak untuk keperluan tertentu

Dokumen berperan dalam menyampaikan informasi

keseluruh bagian organisasi klien dan antara organisasi yang

berbeda, karena itu dokumen tersebut harus dapat memberikan

keyakinan yang memadai bahwa semua asset telah dikendalikaan

dengan tepat dan semua transaksi telah dicatat dengan benar.

Beberapa prinsip yang paling penting dalam perancangan

dan penggunaan dokumen dan catatan adalah:

a. Berseri dan Prenumbered (diberi nomer secara berurutan),

untuk memudahkan pengendalian terhadap dokumen yang

hilang dan sebagai alat bantu dalam penempatan dokumen

ketika dibutuhkan dikemudian hari.

b. Dibuat pada saat terjadi transaksi terjadi atau sesegera

sesudahnya, karena jika terdapat selang waktu yang lama,

catatan berkurang kredibilitasnya dan memungkinkan

terjadinya salah saji meningkat dan kemungkinan kekeliruan

besar.

c. Cukup sederhana untuk menjamin dokumen tersebut mudah

dimengerti dengan jelas

d. Didesain untuk berbagai penggunaan guna, sehingga

mengurangi jumlah formulir (dokumen dan catatan) yang ada

e. Dirancang dalam bentuk yang mendorong penyajian

dokumen yang benar

4. Pengendalian Fisik atas Aktiva dan Catatan

Asset tidak dilindungi, dapat dicuri. Sedangkan catatan

yang tidak dilindungi dengan benar, dapat dicuri, rusak atau

hilang. Alat perlindungan yang penting dalam menjaga asset dan

catatan adalah pencegahan secara fisik, misalnya penggunaan

tempat penyimpanan asset (storeroom), penyimpanan yang tahan

api (fire proof save)

Merupakan suatu hal yang penting bagi perusahaan yang

telah terkomputerisasi, untuk melindungi perlengkapan, program

dan data perusahaan. Pengendalian fisik juga digunakan dalam

melindungi fasilitas komputer. Pengendalian terhadap akses

komputer berarti hanya orang yang diotorisasi yang dapat

mengunakan perlengkapan dan mempunyai akses terhadap

program dan data perusahaan.

5. Pengecekan Independen Atas Pelaksanaan

Pengecekan independen atau verifikasi internal merupakan

peninjauan kembali atas keempat komponen lain . Pengecekan

independen dilakukan kerena pengendalian intern cenderung

berubah dari waktu ke waktu, kecuali terdapat mekanisme untuk

peninjauan kembali secara berkala

Alat yang digunakan untuk verifikasi internal adalah

pemisahan tugas. Selain itu sistem akuntansi berbasis komputer

dapat didesain sehingga prosedur verifikasi internal secara

otomatis menjadi bagian dari sistem tersebut.

d. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication)

Tujuan sistem informasi dan komunikasi akuntansi adalah

mengidentifikasi, mengolah, mengklasifikasi, menganalisis, mencatat,

dan melaporkan transaksi-transaksi perusahaan dan memelihara

tanggung jawab atas asset yang bersangkutan. Sistem ini biasanya

terbagi atas kelas transaksi dan setiap transaksi harus dapat memenuhi

tujuan audit terkait transaksi.

e. Pemantauan (Monitoring)

Aktivitas pemantauan berhubungan dengan penilaian

efektivitas rancangan dan operasi struktur pengendalian intern secara

periodik dan terus menerus oleh manajemen untuk melihat apakah

telah dilaksanakan dengan semestinya dan telah diperbaiki sesuai

dengan keadaan.

Hal yang penting bagi auditor untuk mengetahui mengenai

pemantauan adalah tipe aktivitas pemantauan utama yang digunakan

dan bagaimana aktivitas ini digunakan untuk memperbaharui

pengendalian intern ketika diperlukan. (h. 261-270)

II.1.4 Keterbatasan Pengendalian Intern

Standar Profesional Akuntan Publik (IAI: 2001) menyebutkan bahwa

terlepas dari bagaimana bagusnya desain dan operasinya, pengendalian intern

hanya dapat memberikan keyakinan yang memadai

bagi manajemen dan dewan komisaris berkaitan dengan pencapaian tujuan

pengendalian intern entitas. Keterbatasan pengendalian dapat terjadi karena:

a. Kesalahan manusia

pertimbangan manusia dalam memgambil keputusan dapat salah dan

pengambilan intern dapat rusak karena kegagalan yang bersifat

manusiawi tersebut, seperti kekeliruan atau kesalahan yang sifatnya

sederhana.

b. Kolusi

Pengendalian dapat tidak efektif karena adanya kolusi diantara dua orang

atau lebih atau manajemen mengesampingkan pengendalian intern

c. Biaya

Biaya pengendalian intern entitas tidak boleh melebihi manfaat yang

diharapkan dari pengendalian intern tersebut. Meskipun berhubungan

manfaat biaya merupakan kriteria utama yang harus dipertimbangkan

dalam pendesainan pengendalian intern, pengukuran yag tepat dan

manfaat umumnya tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, manajemen

melakukan estimasi kualitatif dan kuantitatif serta pertimbangan dalam

menilai hubungan biaya-manfaat tersebut.

(p. 319.6)

II.1.5 Penilaian Risiko Pengendalian Intern

Setelah memperoleh pemahaman atas pengendalian intern yang

cukup untuk perencanaan pemeriksaan, auditor harus membuat penilaian

awal mengenai risiko pengendalian. Menurut Arens dan Loebbecke yang

diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf (2003) terdapat empat penilaian

khusus yang harus dibuat untuk memperoleh penilaian awal yaitu:

a. Menetapkan Apakah Laporan Keuangan Dapat Diaudit

Dua faktor yang menentukan auditabilitas suatu perusahaan adalah:

1) Integritas manajemen

2) Kecukupan catatan akuntansi

Banyak prosedur audit sampai luas tertentu mengandalkan

kepada pernyataan manajemen. Jika manajemen kurang memiliki

integritas, manajemen dapat memberikan gambaran yang salah yang

menyebabkan auditor mengandalkan bukti yang tidak dapat dipercaya.

Catatan akuntansi berperan sebagai sumber langsung untuk

sebagian besar tujuan audit. Jika catatan akuntansi tidak mencukupi,

maka bukti audit yang diperlukan mungkin tidak tersedia.

b. Menetapkan Tingkat Risiko Pengendalian yang Didukung oleh

Pemahaman yang Diperoleh

Setelah memperoleh pemahaman atas rancangan dan operasi

struktur pengendalian intern, auditor membuat penilaian awal atas

risiko pengendalian. Risiko pengendalian ini merupakan ukuran

ekspektasi auditor bahwa pengendalian intern tidak dapat mencegah

terjadinya salah saji yang material maupun mendeteksi dan

mengoreksinya jika telah terjadi

Dua penetapan awal yang penting dipertimbangkan:

1) Auditor tidak harus membuat penilaian awal secara formal dan

mendetail

2) Meskipun auditor yakin risiko pengendalian rendah, penilaian

risiko pengendalian terbatas pada tingkat yang didukung oleh

bukti yang telah didapat.

c. Menetapkan Apakah Diharapkan Tingkat Risiko Pengendalian yang

Lebih Rendah dapat Didukung

Ketika auditor yakin bahwa risiko pengendalian aktual jauh

lebih rendah daripada penilaian awal, auditor dapat memutuskan untuk

mendukung tingkat risiko pengendalian yang lebih rendah.

d. Memutuskan Tingkat Risiko Pengendalian yang Ditetapkan yang

Pantas untuk Digunakan

Setelah menyelesaikan penilaian awal dan

mempertimbangkan apakah lebih mungkin tingkat risiko pengendalian

yang lebih rendah benar-benar dipertimbangkan, auditor berada dalam

posisi untuk memutuskan penilaian risiko pengendalian yang mana

yang sebaiknya digunakan.

Keputusan tersebut harus merupakan keputusan yang

ekonomis, mengakui trade-off antara biaya menguji pengendalian yang

relevan dan biaya pengujian substansif yang dapat dihindari dengan

mengurangi penilaian risiko pengendalian. (h. 287-288)

II.1.6 Pengujian Terhadap Pengendalian Intern

Pengujian terhadap pengendalian intern merupakan prosedur untuk

menguji efektivitas pengendalian yang mendukung pengurangan penilaian

risiko pengendalian. Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh

Amir Abadi Jusuf (2003) terdapat empat jenis prosedur yang digunakan

untuk mendukung pelaksanaan pengendalian intern, yaitu:

a. Tanya Jawab dengan Pegawai Suatu Satuan Usaha yang Tepat

Walaupun tanya jawab bukan merupakan sumber bukti yang kuat

mengenai pelaksanaan pengendalian yang efektif dari pengendalian,

tetapi hal tersebut cukup untuk digunakan sebagai bukti.

b. Pemeriksaan Dokumen, Catatan, dan Laporan

Banyak kegiatan dan prosedur yang berkaitan dengan pengendalian

meninggalkan jejak bahan bukti dokumenter yang jelas. Auditor

memeriksa dokumen untuk memastikan bahwa dokumen tersebut telah

lengkap dan diotorisasi sesuai dengan yang diperlukan.

c. Pengamatan Aktivitas Berkaitan dengan Pengendalian

Untuk pengendalian yang tidak meninggalkan bahan bukti dokumenter,

auditor biasanya mengamati penerapannya pada berbagai aktivitas

selama tahun berjalan.

d. Pelaksanaan Ulang Prosedur Klien

Terdapat aktivitas pengendalian atas dokumen dan catatan, tetapi isinya

tidak mencukupi untuk kepentingan auditor dalam menilai apakah

pengendalian berjalan dengan efektif. Dalam hal ini, sudah lazim bagi

auditor untuk melakukan kembali aktivitas pengendalian untuk melihat

apakah hasil yang tepat dapat diperoleh. (h. 284-286)

II.2 Gaji dan Upah

Pengertian gaji dan upah menurut Mulyadi (2001) adalah:

”Gaji umumnya merupakan pembayaran atas penyerahan jasa yang dilakukan oleh

karyawan yang mempunyai jenjang jabatan dalam perusahaan seperti manajer dan

lain-lain. Sedangkan upah umumnya merupakan pembayaran atas penyerahan jasa

yang dilakukan oleh karyawan pelaksana (buruh)” (h. 373)

Menurut Soemarso (2003):

”Gaji adalah imbalan kepada pegawai yang diberi tugas-tugas administratif dan

pimpinan yang biasa jumlahnya biasanya tetap secara bulanan atau tahunan.

Sedangkan upah adalah imbalan kepada buruh yang melakukan perkerjaan kasar dan

lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik dan biasanya jumlah imbalannya

ditetapkan secara harian atau tahunan” (h. 307)

UU RI No 13(2003) pasal 1 ayat 30 mendefinisikan bahwa:

”Upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima atau dinyatakan dalam bentuk

uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pegawai atau buruh

yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau

peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan

keluarga atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan” (h. 6)

Menurut Niswonger, Warren, Fees (1999) yang diterjemahkan oleh Sirai

Gunawan adalah:

”Gaji (salary) biasanya digunakan untuk pembayaran atas jasa manajerial,

administratif, dan jasa yang sama. Tarif gaji biasanya diekspresikan dalam periode

bulanan atau tahunan. Sedangkan upah biasanya digunakan untuk pembayaran kepada

karyawan lapangan (pekerja kasar) baik yang terdidik maupun yang tidak terdidik.

Tarif upah biasanya diekspresikan secara mingguan ataupun per jam”. (h. 446).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan penulis bahwa gaji adalah

pembayaran yang dilakukan kepada tingkat manajer, staf, dan setaranya, biasanya

dibayarkan per bulan sedangkan upah adalah pembayaran yang dilakukan kepada

karyawan setingkat buruh dan pembayarannya dilakukan menurut kriteria tertentu.

II.3 Siklus Penggajian dan Kepegawaian

II.3.1 Pengertian dan Siklus Kepegawaian

Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Amir Abadi

Jusuf (2003) :

Siklus penggajian dan kepegawaian dimulai dengan mempekerjakan

karyawan dan berakhir dengan pembayaran kepada karyawan untuk jasa

yang diberikan dan kepada pemerintah dan lembaga lain untuk pajak

penghasilan dan kenikmatan pegawai. (h. 606)

Sedangkan menurut Bodnar dan Hopwood (1998), mengartikan

sistem penggajian dan pengupahan sebagai berikut :

” A payroll or personnel system involves all phases of payroll processing

and personal reporting. The system provides a means of promptly and

accurately paying employees, generating the necessary payroll reports,

supplying management with the required employee skill information.” (p.

274)

II.3.2 Fungsi dalam Siklus Penggajian dan Kepegawaian

Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Amir Abadi

Jusuf (2003) siklus penggajian dan kepegawaian mempunyai empat fungsi :

a. Kepegawaian dan Penempatan Pegawai

Departemen personalia menyediakan sumber yang independen dalam

mewawancarai dan memperkerjakan karyawan yang potensial.

Departemen ini juga merupakan sumber pencatatan yang independen

atas verifikasi intern atas gaji dan upah seperti penambahan dan

penghapusan gaji dan upah, juga perubahan gaji dan upah serta

pemotongan.

b. Pengelolaan Waktu dan Penyiapan Pembayaran gaji dan upah

Fungsi ini memiliki kepentingan utama dalam audit atas gaji dan upah

karena langsung mempengaruhi secara langsung biaya gaji dan upah

pada periode yang bersangkutan. Fungsi ini meliputi pembuatan kartu

kehadiran, perhitungan gaji dan upah kotor, pemotongan, gaji dan upah

bersih, pembuatan cek gaji dan upah, serta pembuatan catatan gaji dan

upah.

c. Pembayaran Gaji dan Upah

Penandatanganan dan pendistribusian cek aktual gaji dan upah harus

ditangani secara tepat oleh fungsi ini. Untuk mencegah pembayaran

yang tidak diotorisasi biasanya digunakan rekening bank khusus yang

terpisah.

d. Pembuatan Surat Pemberitahuan dan Pembayaran Pajak

Dalam fungsi ini, pembuatan dan pengiriman Surat Pemberitahuan

Pajak secara tepat waktu dilakukan seperti yang diwajibkan oleh

pemerintah. Verifikasi yang independen oleh orang-orang yang

kompeten diperlukan untuk mencegah salah gaji, kewajiban dan sanksi

pajak. (h. 534-538)

II.3.3 Penyelewengan dalam Sistem Gaji dan Upah

Penyelewengan dapat terjadi di semua aktivitas perusahaan,

termasuk dalam siklus penggajian dan kepegawaian, contoh bentuk

penyelewengan menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh

Amir Abadi Jusuf (2003) :

a. Pegawai Fiktif

Hal ini terjadi ketika dikeluarkannya cek gaji dan upah

kepada karyawan yang tidak bekerja pada perusahaan. Penggunaan

cancelled checks dapat mendeteksi hal tersebut. Prosedur yang

dilakukan atas audit gaji dan upah adalah dengan membandingkan

nama yang tertera di cancelled checks dengan yang tertera di time

card dan catatan-catatan lain untuk mengotorisasi penandatanganan

dan pengesahan.

Pengujian terhadap pegawai fiktif dapat dilakukan dengan

menelusuri transaksi tertentu yang dicatat dalam jurnal gaji dan upah

ke depertemen personalia untuk menentukan apakah karyawan benar-

benar dipekerjakan oleh perusahaan selama periode tersebut.

Selain itu terhadap pembayaran yang terus dilakukan kepada

karyawan yang sudah berhenti bekerja, dapat dilakukan pengujian

dengan memeriksa catatan gaji dan upah pada periode berikutnya

untuk memastikan karyawan tersebut tidak lagi menerima

pembayaran gaji.

b. Fraudulent Hours (manipulasi jam kerja)

Hal ini terjadi jika karyawan melaporkan jam kerja lebih daripada

yang sebenarnya. Salah satu prosedur yang dapat dilakukan adalah

merekonsiliasi jumlah jam kerja karyawan menurut catatan gaji dan

upah dengan catatan lain, misalnya dengan catatan dari bagian

produksi. (h. 542)

II.4 Auditing

II.4.1 Pengertian Auditing

Dalam buku Auditing Pendekatan Terpadu Arens dan Loebbecke

(2003) yang diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf mendefinisikan bahwa:

¨Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti

tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang

dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan

dan melaporkan kesesuaian informasi yang dimaksud dengan kriteria-kriteria

yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seseorang yang

independen dan kompeten.” (h. 1)

Menurut Mulyadi dan Kanaka Puradireja (1998) menerangkan

pengertian auditing sebagai berikut :

“ Auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan

mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang

kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara

pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan serta

penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.” (h. 9)

Sedangkan menurut Sukrisno Agoes (1999) dalam bukunya

“Auditing” :

“Auditing adalah suatu audit yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh

pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh

manajemen, beserta catatan-catatan pembuktian dan bukti-bukti

pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai

kewajaran laporan keuangan tersebut..” (h. 1)

Jusuf (2001) mendifinisikan:

“Pengauditan adalah suatu proses sistematik untuk mendapatkan dan

mengevaluasi bukti yang berhubungan dengan asersi tentang tindakan-

tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi secara objektif untuk menentukan

tingkat kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan

dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan”.

(h.7)

Dari beberapa defenisi auditing di atas maka dapat disimpulkan

bahwa auditing merupakan audit atas kewajaran dan dapat dipercayanya

laporan keuangan suatu perusahaan yang dilaksanakan dengan memeriksa

data pembukuan dari perusahaan sebagai dasar penyusunan laporan

keuangan tersebut dan meliputi program pengujian yang rinci serta

menganalisis data.

II.4.2 Tujuan Auditing

Dalam SPAP (IAI; 2001) menyatakan tujuan audit bahwa :

“Tujuan audit umum atas laporan keuangan oleh auditor independen pada

umumnya adalah untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran, dalam

semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan

arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.”

(p. 110.1).

Selain itu Arens dan Loebbecke (2003) yang diterjemahkan oleh

Amir Abadi Jusuf juga menyatakan bahwa :

”Biasanya auditor menemukan bahwa, cara yang paling efisien untuk

melakukan audit adalah mendapatkan keyakinan gabungan untuk setiap

golongan transaksi dan saldo akhir dari akun terkait.” (h. 125)

Dari pernyataan-pernyataan di atas, penulis dapat disimpulkan

bahwa tujuan audit atas laporan keuangan adalah untuk mengeluarkan

pendapat tentang kewajaran laporan keuangan yang disajikan terhadap standar

akuntansi yang berlaku umum. Dan cara yang paling efisien untuk melakukan

audit tersebut adalah dengan mengumpulkan kepastian dari setiap kelas

transaksi dan saldo atas setiap saldo akun yang bersangkutan.

II.4.3 Tahap-tahap dalam Proses Auditing

Auditor merencanakan kombinasi yang tepat atas tujuan audit dan

bukti-bukti yang harus dikumpulkan dengan proses audit. Proses audit adalah

metodologi yang dirumuskan dengan baik untuk mengorganisasi audit untuk

memastikan bahwa bukti yang dikumpulkan cukup dan kompeten, juga

seluruh tujuan audit dapat dipenuhi.

Proses audit tersebut oleh Arens dan Loebbecke (2003) yang

diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf dibuat menjadi empat tahap, yaitu:

a. Tahap I – Merencanakan dan Merancang Pendekatan Audit

Dalam melakukan tugasnya, banyak cara yang dapat dilakukan

auditor dalam mengumpulkan bahan bukti untuk mencapai tujuan audit

secara keseluruhan. Pertimbangan yang mempengaruhi pendekatan yang

dipilih auditor adalah bahan bukti yang cukup kompeten harus dikumpulkan

untuk memenuhi tanggung jawab profesi auditor dan biaya dalam

mengumpulkan bukti harus diminimalisir.

Perencanaan dan perancangan sebuah pendekatan audit dapat dibagi

menjadi beberapa bagian, diantaranya :

1. Memperoleh pengetahuan atas bisnis atau bidang usaha klien .

2. Memahami struktur pengendalian intern klien dan menilai risiko

pengendalian.

b. Tahap II – Pengujian Pengendalian dan Transaksi

Untuk dapat mengurangi estimasi penilaian risiko pengendalian,

auditor harus melakukan pengujian atas keefektifan pengendalian. Prosedur

yang terdapat dalam pengujian ini biasanya disebut pengujian atas

pengendalian (Test of Control)

Auditor juga mengevaluasi pencatatan transaksi klien dengan

memverifikasi jumlah moneter transaksi. Hal ini disebut pengujian subtantif

atas transaksi. Auditor biasanya melakukan pengujian atas pengendalian dan

pengujian subtantif atas transaksi secara bersamaan.

c. Tahap III – Melaksanakan Prosedur Analitis dan Pengujian Terinci Atas

Saldo

Prosedur analitis menggunakan perbandingan dan hubungan yang

berkaitan untuk menilai apakah saldo rekening atau data lain yang muncul

memadai. Sedangkan pengujian secara detail atas saldo merupakan prosedur

khusus yang dimaksudkan untuk menguji salah saji moneter dalam saldo

laporan keuangan.

Jika auditor telah memperoleh tingkat kepastian yang memadai atas

tujuan audit melalui pelaksanaan pengujian atas pengendalian, pengujian

subtantif atas transaksi, dan prosedur analitis, maka pengujian secara detail

atas saldo untuk tujuan tersebut dapat dikurangi.

d. Tahap IV – Menyelesaikan Audit dan Menerbitkan Laporan Audit

Setelah menyelesaikan semua prosedur untuk setiap tujuan audit dari

setiap rekening laporan keuangan, auditor perlu menggabungkan informasi

yang diperoleh, untuk mencapai kesimpulan menyeluruh tergantung

sepenuhnya pada penilaian professional auditor.

II.5 Evaluasi Pengendalian Intern

Standar Profesi Akuntan Publik (IAI; 2001) menyatakan bahwa standar

pekerjaan lapangan kedua ialah:

”Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh, untuk merencanakan

dan menentukan sifat, saat, dan lingkup audit yang dilakukan.” (p 319.1)

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dibuat kesimpulan bahwa tujuan

pemahaman dan pengevaluasian pengendalian intern yang dilakukan oleh auditor

adalah untuk menentukan dalam melakukan perencanaan audit dan menentukan sifat,

saat, dan lingkup audit yang perlu dilakukan. Selain itu dengan melakukan test atas

pengendalian intern, auditor akan mengetahui apa hasil dari penggunaan pengendalian

intern, bagaimana cara pelaksanaan pengendalian intern, serta orang atau pihak yang

bertanggung jawab atas pengendalian intern.

Proses evaluasi pengendalian intern biasanya dilakukan oleh auditor dengan

cara melakukan test of control. Test atas pengendalian dilakukan untuk menentukan

kualitas rancangan pengendalian dan keefektifan pelaksanaan pengendalian intern

pada bidang tertentu. Test atas pengendalian intern meliputi beberapa prosedur, yaitu :

a. Melakukan tanya jawab dengan personel klien yang berhubungan dengan

pengendalian.

b. Memeriksa dokumen, catatan, dan laporan klien.

c. Melakukan pengamatan terhadap aktivitas yang berhubungan dengan

pengendalian.

d. Mengulang prosedur pengendalian yang dilakukan oleh klien.

II.6 Hubungan Penilaian Pengendalian Intern dengan Sifat, Saat, dan Lingkup Audit

Standar pekerjaan lapangan kedua seperti yang diungkapkan Mulyadi (2001)

berbunyi sebagai berikut : ”Pemahaman yang memadai atas pengendalian intern

harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup

pengujian yang dilakukan.” (h. 171)

Setelah memperoleh pemahaman mengenai pengendalian intern klien,

auditor dapat menetapkan risiko pengendalian yang ditetapkan berdasarkan

pengalaman auditor, wawancara, dan observasi terhadap klien. Informasi yang

diperlukan biasanya mencakup tentang struktur organisasi, metode pendelegasian

tanggung jawab dan wewenang serta metode pelaksanaan dan pengawasan atas

pengendalian intern. Informasi tentang transaksi hendaknya mencakup informasi

pembagian transaksi dan pemilik otorisasi, pelaksanaan, pencatatan, dan pengolahan

transaksi.

Jika auditor menetapkan tingkat risiko pengendalian dibawah maksimum

(mengingat pengendalian intern klien sudah memadai), maka auditor perlu

melaksanakan pengujian atas pengendalian. Pelaksanaan pengujian atas

pengendalian ini dilakukan untuk mendukung risiko pengendalian yang telah

ditetapkan sebelumnya oleh auditor. Dengan mengandalkan pengendalian intern

klien dan pengujian atas pengendalian yang dilakukan auditor, maka ukuran sampel

yang diuji pada saat pengujian subtantif dapat dikurangi.

Apabila ternyata pengendalian intern klien dinilai tidak memadai, maka

auditor menetapkan tingkat risiko pengendalian pada tingkat maksimum, sehingga

auditor tidak perlu melakukan pengujian atas pengendalian, melainkan langsung

melakukan pengujian subtantif. Sehingga ukuran sampel yang diuji pada saat

pengujian subtantif akan bertambah besar. Dalam hal ini auditor dapat memperluas

audit dengan melaksanakan prosedur pengujian lain.

Penilaian terhadap pengendalian intern klien akan menentukan tingkat risiko

pengendalian. Risiko pengujian yang telah ditetapkan apakah dapat atau tidak

dikurangi tergantung pada pertimbangan auditor dalam melaksanakan penugasannya.

Penentuan pengurangan risiko yang ditetapkan akan menentukan sifat, saat dan luas

serta prosedur audit yang dilaksanakan. Semakin besar risiko pengujian yang

ditetapkan, maka audit yang dilaksanakan akan semakin luas, sifatnya lebih

mendetail, dan pada saat pelaksanaan audit dilakukan setelah laporan keuangan.

Dengan demikian, waktu pelaksanaan audit juga akan semakin lama. Waktu

pelaksanaan audit akan mempengaruhi biaya pemeriksaan, sehingga penentuan luas

dan prosedur audit akan mempengaruhi biaya yang timbul.