bab ii tinjauan pustaka 2.1 definisi sistem pengendalian
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Sistem Pengendalian Internal
Dalam rangka pencapaian visi, misi, dan tujuan serta pertanggung jawaban
kegiatan Instansi Pemerintah, pimpinan Instansi Pemerintah wajib menerapkan
setiap unsur dari Sistem Pengendalian Internal. Untuk memastikan bahwa Sistem
Pengendalian Intern tersebut sudah dirancang dan di implementasikan dengan
baik, dan secara memadai diperbaharui untuk memenuhi keadaan yang terus
menerus melakukan perubahan perlu dilakukan pemantauan secara terus-menerus.
Pimpinan Instansi Pemerintah melakukan pemantauan antara lain melalui evaluasi
terpisah atas Sistem Pengendalian Internya masing-masing untuk mengetahui
kinerja dan efektivitas Sistem Pengendalian Intern serta cara menigkatkannya.
Pemantauan juga berguna untuk mengidentifikasi, mengatasi resiko utama seperti
penggelapan, pemborosan, penyalahgunaan, dan salah kelola.
Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
mengenai Sistem Pengendalian Intern dalam Peraturan Pemerintah ini dilandasi
pada pemikiran bahwa Sistem Pengendalian Intern dalam Peraturan Pemerintah
ini dilandasi pada pemikiran bahwa Sistem Pengendalian Intern melekat
sepanjang kegiatan, dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta hanya
memberikan keyakinan yang memadai, bukan keyakinan mutlak.
11
2.1.1 Pengertian Sistem Pengendalian Internal
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Internal Pemerintah menyatakan bahwa :
“Sistem Pengendalian Internal adalah proses yang integral pada tindakan
dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan
seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya
tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan
pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan. Sistem Pengendalian Internal Pemerintah,
yang kemudian disingkat SPIP adalah Sistem Pengendalian Internal yang
diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.”
Sistem Pengendalian Internal merupakan kegiatan pengendalian terutama
atas pengelolaan sistem informasi yang bertujuan untuk memastikan akurasi dan
kelengkapan informasi. Kegiatan pengendalian atas pengelolaan informasi
meliputi Pengendalian Umum dan Pengendalian Aplikasi, yang masing-masing
akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Pengendalian Umum
Pengendalian ini meliputi pengamanan sistem informasi, pengendalian
atas pengembangan dan perubahan perangkat lunak aplikasi,
pengendalian atas perangkat lunak sistem, pemisahan tigas, dan
kontinuitas pelayanan.
12
b. Pengendalian Aplikasi
Pengendalian ini meliputi pengendalian otorisasi, pengendalian
kelengkapan,pengendalian akurasi, dan pengendalian terhadap keandalan
pemrosesan dan file data.
Pengendalian internal dirancang, diimplementasikan, dan dipelihara oleh
manajemen dan karyawan lain untuk menangani risiko bisnis di dalam suatu
organisasi dan risiko kecurangan yang diketahui (identified business and fraud
risks) mengancam pencapaian tujuan entitas, seperti pelaporan keuangan yang
andal. Pengendalian selalu merupakan jawaban (response) untuk menangkal
(mitigate) suatu ancaman. Pengendalian yang tidak merupakan jawaban untuk
menangkal ancaman, adalah kesia-siaan (redundant). Menurut AICPA dalam
Statement On Auditing Standard No.1, dalam Basalamah (2008:135) definisi
pengendalian internal sebagai berikut :
“Pengendalian internal terdiri dari rencana organisasi serta seluruh metode
koordinasi dan pengukuran yang diterapkan oleh perusahaan untuk
menjaga aktivanya, menguji keakuratan dan keandalan data akuntansinya,
mendukung efisiensi operasioanalnya, serta mendorong dipatuhinya
kebijakan-kebijakan manejerial yang telah ditetapkan”.
Laporan COSO dalam Sunarto (2003:137) mendefinisikan pengendalian
internal sebagai berikut :
“Pengendalian internal ialah suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan
komisaris, manajemen, personal satuan usaha lainnya, yang dirancang
untuk mendapatkan keyakinan memadai tentang pencapaian tujuan dalam
hal-hal berikut : 1) Keandalan pelaporan keuangan, 2) Kesesuaian dengan
undang-undang dan peraturan yang berlaku, 3) Efektifitas dan efisiensi
kegiatan operasi”.
13
Menurut COSO dalam Rahayu dan Suhayati (2009) pengendalian intern
adalah suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan komisaris, manajemen dan
personel lainnya untuk memberikan keyakinan memadai guna mencapai
keandalan pelaporan keuangan, menjaga kekayaan dan catatan organisasi,
kepatuhan terhadap hukum dan peraturan dan efektivitas dan efisiensi operasi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengendalian internal adalah suatu proses
yang berkaitan dengan prosedur-prosedur yang harus dipatuhi dalam proses
operasional organisasi atau perusahaan agar tujuan dari organisasi atau perusahaan
dapat tercapai.
2.1.2 Unsur-Unsur Sistem Pengendalian Internal Pemerintahan
Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian
Internal Pemerintah menyebutkan bahwa:
“SPIP terdiri dari unsur-unsur berikut: lingkungan pengendalian, penilaian
resiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan.”
Unsur-unsur SPIP dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Lingkungan Pengendalian
Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan memelihara
lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif
untuk penerapan Sistem Pengendalian Internal dalam lingkungan
kerjanya. Lingkungan pengendalian terdiri dari:
a. Penegakan integritas dan nilai etika;
14
b. Komitmen terhadap kompetensi;
c. Kepemimpinan yang kondusif;
d. Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;
e. Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;
f. Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan
sumber daya manusia;
g. Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif;
h. Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.
2. Penilaian Resiko
Dalam rangka penilaian resiko, pimpinan Instansi Pemerintah
menetapkan tujuan instansi pemerintah dan tujuan pada tingkatan
kegiatan, dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Penilaian resiko terdiri dari:
a. Penetapan tujuan instansi secara keseluruhan
b. Penetapan tujuan pada tingkatan kegiatan
c. Identifikasi resiko
d. Analisis resiko
e. Mengelola resiko selama perubahan
3. Kegiatan Pengendalian
Pimpinan Instansi pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan
pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dari sifat dan tugas dan
15
fungsi yang bersangkutan. Penyelenggaraan kegiatan pengendalian terdiri
dari:
a. Reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan;
b. Pembinaan sumber daya manusia;
c. Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi;
d. Pengendalian fisik atas aset;
e. Penetapan dan reviu atas indikatir dan ukuran kinerja;
f. Pemisahan fungsi;
g. Otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;
h. Pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;
i. Pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya;
j. Akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan
k. Dokumentasi dan kejadian penting atas Sistem Pengendalian Intern.
4. Informasi dan Komunikasi
Pimpinan Instansi pemerintah wajib mengidentifikasi, mencatat, dan
mengkomunikasikan informasi dalam bentuk dan waktu yang tepat.
Komunikasi atas informasi wajib diselenggarakan secara efektif.
a. Informasi
b. Komunikasi
c. Bentuk dan sarana komunikasi
16
5. Pemantauan
Pimpinan Instansi pemerintah wajib melakukan pemantauan Sistem
Pengendalian Internal melalui:
a. Pemantauan berkelanjutan
b. Evaluasi terpisah
c. Penyelesaian audit
2.1.3 Tujuan Sistem Pengendalian Internal
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Sistem
Pengendalian Internal Pemerintah sendiri memiliki tujuan untuk mencapai
kegiatan pemerintahan yang efektif dan efisien, perlindungan aset Negara,
keterandalan laporan keuangan, kepatuhan pada perundang-undangan dan
peraturan serta kebijakan yang berlaku.
Arens et. Al. (198:2011) yang dialih bahasakan oleh Herman
Wibowo memaparkan tiga tujuan umum manajemen dalam merancang
sistem pengendalian internal yang efektif, yaitu:
1. Reliability Of Financial Reporting
2. Efficiency and Effectiveness Of Operations
3. Compliance With Laws and Regulations
Pengendalian dalam perusahaan akan mendorong pemakaian sumber
daya secara efektif dan efisien untuk mengoptimalkan sasaran-sasaran
perusahaan. Tujuan yang penting dari pengendalian ini adalah memperoleh
17
informasi keuangan dan non-keuangan yang akurat tentang operasi
perusahaan untuk keperluan pengambilan keputusan. Manajemen harus
menguji efektifitas pelaksanaan pengendalian untuk menentukan apakah
pengendalian sudah berjalan seperti yang telah dirancang dan apakah
orang yang melaksanakan memiliki kewenangan serta kualifikasi yang
diperlukan untuk melaksanakan pengendalian secara efektif.
2.1.4 Pihak yang Bertanggung Jawab atas Sistem Pengendalian Internal
Menurut Mulyadi (2002:182) terdapat pihak-pihak yang bertanggung
jawab atas pengendalian internal organisasi, diantaranya adalah:
1. Manajemen
2. Dewan komisaris dan komite audit
3. Auditor intern
4. Personel lain entitas
5. Auditor independen
Pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pengendalian internal organisasi
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Manajemen
Manajemen bertanggung jawab untuk mengembangkan dan
menyelenggarakan secara efektif pengendalian intern organisasinya.
Direktur utama perusahaan bertanggung jawab untuk menciptakan
18
atmosfer pengendalian di tingkat puncak, agar kesadaran terhadap
pentingnya pengendalian menjadi tummbuh diseluruh organisasi.
2. Dewan komisaris dan komite audit
Dewan komisaris bertanggung jawab untuk menentukan apakah
manajemen bertanggung jawab dalam mengembangkan dan
menyelenggarakan pengendalian intern.
3. Auditor intern
Auditor intern bertanggung jawab untuk memeriksa dan mengevaluasi
memadai atau tidaknya pengendalian intern entritas dan membuat
rekomendasi peningkatannya
4. Personel lain entitas
Peran dan tanggung jawab semua personel lain yang menyediakan
informasi atau yang menggunakan informasi yang dihasilkan oleh
pengendalian intern harus ditetapkan dan dikomunikasikan dengan
baik.
5. Auditor independen
Sebagai bagian dari prosedur auditnya terhadap laporan keuangan,
auditor dapat menemukan kelemahan pengendalian intern kliennya,
sehingga ia dapat mengkomunikasikan temuan auditnya tersebut
kepada manajemen, komite audit, atau dewan komisaris. Berdasarkan
temuan auditor tersebut, manajemen dapat melakukan peningkatan
pengendalian inter entitas.
19
2.2 Komitmen Organisasi
Pengertian Komitmen Organisasi menurut Syaripudin (2015:52)
mengungkapkan bahwa :
“Komitmen organisasi menunjukkan suatu daya dari seseorang dalam
mengidentifikasikan keterlibatannya dalam suatu bagian organisasi
sehingga akan menimbulkan rasa ikut memiliki bagi karyawan terhadap
organisasi.”
Menurut Luthans (dalam Eddy, 2011:292) menyatakan komitmen organisasi
merupakan:
1. Keinginan yang kuat untuk menjadi anggota dalam suatu kelompok
2. Kemauan usaha yang tinggi untuk organisasi
3. Suatu keyakinan dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan-tujuan
organisasi.
Menurut Robbins dan Judge (2008:100) mendefinisikan komitmen
organisasional adalah :
“Suatu keadaan di mana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta
tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam
organisasi tersebut.”
Porter, Mowday dan Steers (2002) mendefiniskan komitmen organisasi yaitu
:
“For purposes of instrument development, organizational commitment
was defined here as the relative strength of an individual’s identification
with and involvement in a particular organization (Porter & Smith, Note
4). It can be characterized by at least three related factors : (1) a strong
belief in and acceptance of the organization’s goals and values; (2) a
willingness to exert considerable effort on behalf of the organization; and
(3) a strong desire to maintain membership in the organization.”
20
Dari definisi diatas dikatakan bahwa komitmen organisasi sebagai
kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan
keterlibatan dirinya ke dalam bagian organisasi. Hal ini dapat ditandai dengan tiga
hal, yaitu : (1) Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi; (2) Kesiapan
dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi; (3)
Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi.
Dari beberapa pengertian komitmen organisasi di atas bahwa komitmen
organisasi adalah sikap yang ditunjukkan oleh individu dengan adanya
identifikasi, keterlibatan serta loyalitas terhadap organisasi. Serta adanya
keinginan untuk tetap bertahan berada dalam organisasi dan tidak bersedia untuk
meninggalkan organisasinya dengan alasan apapun.
2.2.1 Jenis Komitmen Organisasi
Konsep komitmen organisasi telah didefinisikan dan diukur dengan
berbagai cara yang berbeda. Meyer dan Allen (Eddy,2011) mengemukakan tiga
komponen tentang komitmen organisasi :
1. Komitmen Afektif (Affective Commitment)
Dapat didefinisikan sebagai tingkat keterkaitan secara psikologis dengan
organisasi berdasarkan seberapa baik perasaan mengenai organisasi.
Komitmen ini muncul karena adanya dorongan kenyamanan, keamanan,
dan manfaat lain yang dirasakan dalam suatu organisasi yang tidak
diperoleh dari tempat lain.
2. Komitmen Berkelanjutan (Continuance Commitment)
21
Yaitu keterikatan anggota secara psikologis pada organisasi karena biaya
yang ditanggung sebagai konsekuensi keluar organisasi. Anggota akan
cenderung memilih daya tahan atau komitmen yang tinggi dalam
keanggotaan jika pengorbanan akibat keluar organisasi semakin tinggi.
3. Komitmen Normatif (Normative Commitment)
Timbul dari nilai-nilai karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggota
organisasi karena ada kesadaran bahwa berkomitmen terhadap organisasi
merupakan hal yang memang seharusnya dilakukan. Keterikatan anggota
secara psikologis dengan organisasi karena kewajiban moral untuk
memelihara hubungan dengan organisasi.
Mayer dan Allen (Eddy,2011) merumuskan suatu definisi mengenai
komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan
suatu karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan
memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan
keanggotaannya dalam berorganisasi. Dari definisi tersebut anggota suatu
organisasi yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat
bertahan sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak
memiliki komitmen terhadap organisai.
Menurut Dewi (2014:22) setiap pegawai memiliki dasar dan tingkah laku
yang berbeda berdasarkan komitmen organisasi yang dimilikinya. Pegawai
memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda
dengan pegawai yang berdasarkan berkelanjutan (continuance) begitu pula
dengan normatif. Karyawan dengan komponen afektif tinggi, tetap bergabung
22
dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi bagian anggota
organisasi. Sedangkan karyawan dengan komponen continuance tinggi, tetap
bergabung dengan organisasi tersebut karena membutuhkan keuntungan dari
organisasi tesebut.
2.2.2 Karakteristik Komitmen Organisasi
Komitmen terhadap organisasi menggambarkan relatif kuatnya identifikasi
individu dan keterlibatan di dalam organisasi. Menurut Sunyoto dan Burhanudin
(2011:26) komitmen organisasi terdiri dari tiga komponen utama, yaitu:
1. Kepercayaan seseorang yang kuat dan menerima tujuan organisasi;
2. Kesediaan seseorang mengupayakan sekuat tenaga untuk menjadi
bagian dari organisasi; dan
3. Keinginan seseorang untuk memelihara keanggotaannya.
2.2.3 Aspek-apek Komitmen Organisasi
Morhead Griffin (2013:75) mengelompokkan komitmen organisasi
menjadi tiga faktor :
1. Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi, dimana
penerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi. Identifikasi
pegawai tampak melalui sikap menyetujui kebijakan organisasi, kesamaan
nilai pribadi dan nilai-nilai organisasi, rasa kebanggaan menjadi bagian
dari organisasi.
23
2. Keterlibatan yaitu adanya kesediaan untuk berusaha sungguh-sungguh
pada organisasi. Keterlibatan sesuai peran dan tanggungjawab pekerjaan di
organisasi tersebut. Pegawai yang memiliki komitmen tinggi memiliki
kemungkinan untuk mengerjakan semua tugas dan tanggung jawab
pekerjaan yang telah diberikan padanya.
3. Loyalitas yaitu adanya keinginan yang kuat untuk menjaga keanggotaan di
dalam organisasi. Loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi
terhadap komitmen, serta adanya ikatan emosional dan keterikatan antara
organisasi dengan pegawai. Pegawai dengan komitmen tinggi merasakan
adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi.
2.2.4 Ciri-ciri Komitmen
Ciri-ciri karyawan yang memiliki komitmen menurut Morhead Griffin
(2013:80) adalah sebagai berikut :
1. Bertanggung jawab
Karyawan yang memiliki komitmen memiliki rasa tanggung jawab
yang tinggi. Hal ini merupakan pengidentifikasian atau penerimaan
tanggung jawab yaitu bekerja keras untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan.
2. Konsisten
Suatu komitmen yang kecil atau tidak dihargai sering menjadi lebih
buruk daripada tidak memiliki komitmen sama sekali. Konsistensi
karyawan terhadap pekerjaan merupakan suatu hal yang sangat
24
penting, karena konsistensi dapat menimbulkan komitmen.
Kepercayaan yang cukup beralasan yang beralasan yang berdasarkan
pada kejujuran dan perilaku yang konsisten sepanjang waktu, yang
mempertinggi reputasi seseorang secara besar-besaran atas komitmen
yang konsisten.
3. Proaktif
Sebuah komiten dapat muncul apabila karyawan memiliki sikap
proaktif terhadap semua hal yang menyangkut pekerjaannya, dengan
sikap yang proaktif tersebut karyawan dapat menyelesaikan masalah-
masalah perusahaan dengan lebih baik sehingga dengan sendirinya
komitmen karyawan dapat timbul dengan sikap proaktif tersebut.
2.2.5 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Komitmen Organisasi
Morhead Griffin (2013:82) membedakan faktor-faktor yang
mempengaruhi komitmen terhadap perusahaan menjadi empat kategori, yaitu :
a. Karakteristik Personal
Pengertian karakteristik personal mencakup : usia, masa jabatan, motif
berprestasi, jenis kelamin, ras, dan faktor kepribadian. Sedangkan tingkat
pendidikan berkorelasi negatif dengan komitmen terhadap perusahaan.
Karyawan yang lebih senior dan lebih lama bekerja secara konsiten
menunjukkan nilai komitmen yang tinggi.
25
b. Karakteristik Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan meliputi kejelasan serta keselarasan peran, umpan
balik, tantangan pekerjaan, otonomi, kesempatan berinteraksi, dan dimensi
inti pekerjaan. Biasanya, karyawan yang bekerja pada level pekerjaan yang
lebih tinggi nilainya dan karyawan menunjukkan level yang rendah pada
konflik peran dan ambigu cenderung lebih berkomitmen.
c. Karakteristik Struktural
Faktor-faktor yang tercakup dalam karakteristik struktural antara lain ialah
derajat formalisasi, ketergantungan fungsional, desentralisasi, tingkat
partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan fungsi kontrol dalam
perusahaan. Atasan yang berada pada organisasi yang mengalami
desentralisasi pada pemilik pekerja kooperatif menunjukkan tingkat
komitmen yang tinggi.
d. Pengalaman Bekerja
Pengalaman bekerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi yang penting.
Pengalaman bekerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi yang penting,
yang mempengaruhi kelekatan psikologis karyawan terhadap perusahaan.
Pengalaman kerja terbukti berkorelasi positif dengan komitmen terhadap
perusahaan sejauh mana menyangkut taraf seberapa besar karyawan
percaya bahwa perusahaan memperhatikan minatnya.
26
2.3 Kecurangan (Fraud)
2.3.1 Pengertian Fraud
Kecurangan (fraud) menurut standar Institute of Internal Auditors (IIA)
dalam Sawyer (2006:339) adalah suatu tindakan penipuan yang mencakup
berbagai penyimpangan dan tindakan illegal yang ditandai dengan penipuan yang
disengaja. Hal ini dapat dilakukan untuk manfaat atau merugikan organisasi dan
oleh orang luar maupun di dalam organisasi.
Kecurangan (fraud) merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi, dengan maksud
untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara
langsung merugikan pihak lain (Hardianto, 2011:3). Hal ini termasuk berbohong,
menipu, menggelapkan dan mencuri. Penggelapan disini dimaksudkan adalah
dengan merubah kekayaan atau aset perusahaan yang dipercayakan kepadanya
secara tidak wajar untuk kepentingan pribadi yang dapat merugikan perusahaan.
Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary dalam Kurniawati (2012), fraud
didefinisikan sebagai:
“Mencakup semua macam yang dapat dipikirkan manusia, dan yang dapat
diupayakan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain
dengan saran yang salah atau pemaksaan kebenaran, dan mencakup semua
cara yang tak terduga, penuh siasat licik atau tersembunyi, dan setiap cara
yang tidak wajar yang menyebabkan orang lain tertipu.”
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Tuanakotta (2007),
menyebutkan beberapa pasal yang mencakup pengertian fraud seperti :
27
a. Pasal 362 : Pencurian (definisi KUHP) : mengambil barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum.
b. Pasal 372 : Penggelapan (definisi KUHP) : dengan sengaja dan melawan
hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan.
c. Pasal 378 : Perbuatan curang (definisi KUHP) : dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang
maupun menghapuskan piutang.
Definisi fraud juga diungkapkan menurut the Association of Certified Fraud
Examiners (ACFE) dalam Kurniawati (2012):
“Perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan
sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi atau memberikan laporan keliru
terhadap pihak lain) dilakukan orang-orang dari dalam atau luar organisasi
untuk mendapatkan keuntungan pribadi ataupun kelompok yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain.”
Berdasarkan uraian definisi-definisi dari beberapa ahli diatas maka dapat
disimpulakan bahwa kecurangan (fraud) merupakan suatu tindakan penyimpangan
yang disengaja oleh individu atau kelompok dengan tujuan memperoleh
keuntungan pribadi ataupun kelompok.
28
2.3.2 Jenis dan Pelaku Kecurangan (Fraud)
Menurut the Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) dalam
Kurniawati (2012) fraud diklasifikasikan menjadi 5 jenis.
Tabel 2.1
Jenis-jenis Fraud
Jenis
Kecurangan
Korban Pelaku Penjelasan
Penggelapan
uang atau
kecurangan
pekerjaan
Pegawai Pemberi kerja Pemberi kerja
secara langsung
atau tidak
langsung
mengambil hak
dari
pekerjaannya
Kecurangan
manajemen
Pemegang
saham
Manajemen
tingkat atas
Manajemen
tingkat atas
memberikan
penyajian yang
salah pada
informasi
keuangan
Kecurangan
investasi
Investor Individu Individu menipu
investor
Kecurangan
penyediaan
Pembeli barang
atau jasa
Penjual barang
atau jasa
Mengenakan
biaya yang
berlebih atas
barang atau jasa
kepada pembeli
Kecurangan
pelanggan
Penjual barang
atau jasa
Pelanggan Pelanggan
meminta harga
yang lebih kecil
dari seharusnya.
Sumber : the Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) dalam
Kurniawati (2012)
29
Association of Certified Fraud Examinations (ACFE) adalah salah satu
asosiasi di USA yang mempunyai kegiatan utama dalam pencegahan dan
pemberantasan kecurangan. Menurut The ACFE ada tiga kategori
kecurangan, yaitu:
1. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)
Kecurangan Laporan Keuangan dapat didefinisikan sebagai
kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah
saji material Laporan Keuangan yang merugikan investor dan
kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat financial atau kecurangan
non financial.
2. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation)
Penyalahgunaan asset dapat digolongkan ke dalam „Kecurangan
Kas‟ dan „Kecurangan atas Persediaan dan Aset Lainnya‟, serta
pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent
disbursement).
3. Korupsi (Corruption)
Korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of
interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan
pemerasan (economic extortion). Fraud jenis ini bersifat simbiosis
mutualisme sehingga seringkali tidak dapat dideteksi karena pihak
yang bekerja sama menikmati keuntungan.
30
2.3.3 Faktor Penyebab Kecurangan (Fraud)
Faktor-faktor yang mendorong seseorang berperilaku menyimpang atau
melakukan kecurangan (fraud) menurut Bologna dalam Soejono (2010:6)
dapat dijelaskan dengan GONE Theory, yaitu :
1. Greed atau keserakahan, berkaitan dengan adanya perilaku serakah
yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
2. Opportunity atau kesempatan, berkaitan dengan keadaan organisasi
atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga
terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan
terhadapnya.
3. Needs atau kebutuhan, berkaitan dengan faktor-faktor yang
dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya
yang menurutnya wajar.
4. Exposure atau pengungkapan, berkaitan dengan tindakan atau
konsekuensi yang akan dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila
pelaku ditemukan melakukan kecurangan.
Sedangkan Menurut Oversights Systems Report on Corporate
Fraud (2007), dalam Hardianto (2011:2) alasan utama yang menyebabkan
terjadinya fraud adalah:
1. Adanya tekanan untuk memenuhi kebutuhan
2. Untuk mendapatkan keuntungan
3. Tidak menganggap apa yang dilakukannya adalah menyangkut
termasuk fraud.
31
2.3.4 Fraud Triangle Teory
Penelitian ini menggunakan fraud triangle theory sebagai dasar teori
utama nya. Berdasarkan teori ini ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang
melakukan kecurangan. Ketiga faktor tersebut digambarkan dalam segitiga
kecurangan (fraud triangle). Menurut Kurniawati (2012), konsep segitiga
kecurangan pertama kali diperkenalkan oleh Cressey. Melalui serangkaian
wawancara dengan 113 orang melakukan penggelapan uang perusahaan yang
disebutnya “trust violators” atau “pelanggar kepercayaan”.
Cressey dalam Tuannakotta (2007) menyimpulkan bahwa kecurangan
secara umum mempunyai tiga sifat umum. Fraud triangle terdiri dari tiga kondisi
yang umumnya hadir pada saat fraud terjadi yaitu pressure, opportunity, dan
rationalization.
Incentive / Pressure
Opportunity Rationalizations
Sumber : Fraud Triangle Theory
Gambar 2.1
Fraud Triangle
32
a. Tekanan (pressure)
Menurut Salman (2005) dalam Kurniawati (2012) tekanan yaitu
insentif yang mendorong orang melakukan kecurangan karena tuntutan
gaya hidup, ketidakberdayaan dalam soal keuangan, perilaku gambling,
mencoba-coba untuk mengalahkan sistem dan ketidakpuasan kerja.
Montgomery et al., (2002) dalam Kurniawati (2012) mengatakan tekanan
ini sesungguhnya mempunyai dua bentuk yaitu nyata (direct) dan bentuk
persepsi (indirect). Bentuk merupakan tekanan yang nyata disebabkan oleh
kondisi-kondisi kehidupan yang nyata yang dihadapi oleh pelaku yang
mendorong untuk melakukan kecurangan. Kondisi tersebut dapat berupa
kebiasaan sering berjudi, kecanduan obat terlarang, atau menghadapi
persoalan keuangan. Tekanan dalam bentuk persepsi merupakan opini
yang dibangun oleh pelaku yang mendorong untuk melakukan kecurangan
seperti misalnya executive need. Dalam SAS No. 99, terdapat empat jenis
kondisi yang umum terjadi pada pressure yang dapat mengakibatkan
kecurangan. Kondisi tersebut adalah financial stability, external pressure,
personal financial need dan financial targets.
b. Kesempatan (opportunity)
Menurut Montgomery et al., (2002) dalam Kurniawati (2012)
kesempatan yaitu peluang yang menyebabkan pelaku secara leluasa
menjalankan aksinya yang disebabkan oleh pengendalian internal yang
lemah, ketidakdisiplinan, kelemahan dalam mengakses informasi, tidak
ada mekanisme audit, dan sikap apatis. Hal yang paling menonjol di sini
33
adalah dalam hal pengendalian internal. Pengendalian internal yang tidak
baik akan memberi peluang orang untuk melakukan kecurangan, SAS no.
99 menyebutkan bahwa peluang pada financial statements fraud dapat
terjadi pada tiga kategori. Kondisi tersebut adalah nature of industry,
ineffective monitoring, dan organizational structure.
c. Rasionalisasi (Rationalization)
Menurut Norbarani (2012) rasionalisasi merupakan sikap,
karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis yang memperbolehkan pihak-
pihak tertentu untuk melakukan tindakan kecurangan, atau orang-orang
yang berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat
mereka merasionalisasi tindakan fraud. Rasionalisai adalah komponen
penting dalam banyak kecurangan. Rasionalisasi menyebabkan pelaku
kecurangan mencari pembenaran atas perbuatannya. Rasionalisasi
merupakan bagian dari fraud triangle yang paling sulit diukur ( Skousen et
al., 2009, dalam Norbarani, 2012).
2.4. Kerangka Pemikiran
Organisasi atau perusahaan sebagai badan hukum dipandang sebagai
individu. Berkenaan dengan status tersebut organisasi dituntut berperilaku etis
terhadap pekerja, konsumen, atau masyarakat pada umum- nya. Hal demikian
dibuktikan dengan adanya berbagai tanggung jawab yang harus dipenuhi (Brooks
dan Dunn, 2007; Ernawan, 2007).
34
Kecurangan pegawai adalah salah satu perilaku tidak etis yang
menyimpang dari tugas pokok atau tujuan utama yang telah disepakati (Dijk,
2000). Perilaku tidak etis seharusnya tidak bisa diterima secara moral karena
mengakibatkan bahaya bagi orang lain dan lingkungan (Beu dan Buckley, 2001).
Dalam praktiknya kecurangan pegawai memiliki gejala yang kompleks
yang sangat bergantung pada interaksi antara karakteristik personal dengan
fenomena asosial yang muncul, lingkungan, dan faktor psikologi yang kompleks
(Buckley et al., 2008).
Pengendalian internal adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan
komisaris, manajemen, dan personel lain atau entitas yang didesain untuk
memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tujuan pengendalian
operasional yang efektif dan efisien, keandalan laporan keuangan, dan kepatuhan
terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
Sebagai suatu perusahaan maka diperlukan suatu pemahaman mengenai
pengendalian internal yang akan diterapkan oleh pihak manajemen dalam
pengambilan keputusan dalam organisasi, dimana jika hal ini diterapkan secara
efektif maka dapat mencegah terjadinya kecurangan. Dengan diterapkannya
pengendalian internal pada perusahaan profit maupun non profit dapat melindungi
asset perusahaan dari fraud dan tentunya membantu manajemen dalam
melaksanakan segala aktivitasnya.
Selain pengendalian internal yang diterapkan sebagai salah satu tindakan
preventif dalam mencegah kemungkinan terjadinya fraud (kecurangan), maka
salah satu hal yang mungkin dapat dilakukan untuk meminimalisir terjadinya
35
kecurangan tersebut adalah komitmen organisasi. Dalam hal ini, komitmen
organisasi adalah loyalitas karyawan pada organisasinya dan proses yang berlanjut
dimana anggota organisasi menunjukkan perhatian mereka terhadap keberhasilan
organisasi.
Dengan dibangun dan diimplementasikannya pengendalian internal dan
menanamkan rasa komitmen organisasi yang tinggi pada setiap invidu dalam
suatu perusahaan, diharapkan dapat menimbulkan daya tangkal terhadap
kecurangan.
Dari landasan teori yang telah diuraikan diatas, kemudian digambarkan
dalam kerangka teoritis yang merupakan alur pemikiran dari penlitian yang
disusun sebagai berikut :
Gambar 2.2. Bagan Kerangka Pemikiran
Variabel Independen :
Sistem Pengendalian
Internal
(X1)
Variabel Independen :
Komitmen Organisasi
(X2)
Variabel Dependen :
Pencegahan
Kecurangan Pegawai
(Y)
36
2.5 Hipotesis Pemikiran
Menurut Sekaran (2007: 135) hipotesis dapat didefinisikan sebagai
hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua variabel yang diungkapkan
dalam bentuk pertanyaan secara logis.
2.5.1 Peranan Sistem Pengendalian Internal dalam Pencegahan
Kecurangan Pegawai
Hubungan antara pengendalian internal dengan masalah kecurangan dalam
suatu perusahaan sangat berkaitan. Dengan adanya pengendalian internal dalam
sebuah perusahaan dipercaya dapat bermanfaat dalam hal mencegah terjadinya
kecurangan dalam suatu perusahaan. Fraud dapat dikurangi bahkan dicegah
dengan cara membudayakan sikap kejujuran, keterbukaan, dan saling membantu
satu sama lain. Selain itu, pencegahan fraud dapat dilakukan dengan cara
menghilangkan kesempatan untuk melakukan fraud, misalnya dengan
menanamkan kesadaran bahwa setiap tindakan fraud akan mendapat sanksi yang
setimpal.
Dalam teori akuntansi dan organisasi, pengendalian internal atau kontrol
internal didefinisikan sebagai suatu proses, yang dipengaruhi oleh sumber daya
manusia dan sistem teknologi informasi, yang dirancang untuk membantu
organisasi mencapai suatu tujuan atau objektif tertentu. Pengendalian internal
merupakan suatu cara untuk mengarahkan, mengawasi, dan mengukur sumber
daya suatu organisasi. Ia berperan penting untuk mencegah dan mendeteksi
kecurangan (fraud) dan melindungi sumber daya organisasi baik yang berwujud
37
(seperti mesin dan lahan) maupun tidak berwujud (seperti reputasi atau hak
kekayaan intelektual seperti merek dagang).
Menurut Tuanakotta (2007), bahwa upaya mencegah fraud dimulai dari
pengendalian internal. Disamping pengendalian internal, dua konsep penting
lainnya adalah pencegahan fraud (fraud awareness) dan upaya menilai risiko
terjadinya fraud (fraud risk assesement).
Peranan pengendalian internal dipengaruhi juga oleh sikap manajemen.
Manajemen harus melindungi perusahaan dari setiap tindakan yang menimbulkan
kerugian. Menajemen harus dapat mengidentifikasi apa yang harus dilindungi
(seperti: asset perusahaan), risiko apa yang akan dihadapi, dan menyampaikan
risiko tersebut (probability dan impact cost). Dengan memperhatikan faktor
tersebut, manajemen kemudian membuat kebijakan –kebijakan dan strategi yang
sesuai untuk mengembangkan struktur perusahaan dari implementasi
pengendalian. Model preventif, investigative ataupun model corrective adalah
suatu jalan mengembangkan pengendalian secara spesifik. Kebijakan bisnis dan
hukum yang berlaku pada perusahaan membutuhkan manajemen yang
menekankan pada keefektifan pengendalian internal dan kekuatan pada
lingkungan pengendalian untuk melindungi asset perusahaan sehingga dapat
mencegah terjadinya fraud.
Kecurangan selalu menjadi isu yang sulit. Pengimplementasian dari
pengendalian internal setidaknya dapat mengurangi kolusi manajemen mengenai
fraud.
38
2.5.2 Peranan Komitmen Organisasi dalam Pencegahan Kecurangan
Pegawai
Hubungan antara komitmen organisasi dengan pencegahan fraud sangat
berkaitan. Dengan adanya komitmen organisasi dalam sebuah perusahaan maka
dipercaya akan bermanfaat dalam hal pencegahan kecurangan pegawai. Pada
dasarnya komitmen organisasi merupakan kunci utama dalam mencegah dan
mendeteksi fraud. Karyawan yang memiliki komitmen dalam bekerja, maka
mereka akan memandang usaha dan kinerja yang mereka berikan terhadap
organisasi memiliki makna yang positif bagi kesejahteraan individu. Sehingga
apabila komitmen organisasi terhadap perusahaan tingi akan mendorong untuk
mengetahui visi, misi, serta tujuan perusahaan tersebut dan meminimalisir
tindakan penyimpangan yang terjadi di perusahaan tersebut.
Menurut Griffin (2013), komitmen organisasi disebut juga sebagai
komitmen kerja, yang mencerminkan identifikasi dan ikatan seorang individu
pada organisasi. Seseorang yang sangat berkomitmen akan melihat dirinya
sebagai bagian dari anggota sejati dari sebuah perusahaan, mengabaikan sumber
ketidakpuasan kecil, dan melihat dirinya tetap sebagai anggota organisasi.
Zurnali (2010) mendefinisikan pengertian komitmen organisasi dengan
mengacu pada pendapat-pendapat Curtis and Wright (2001), dan S.G.A. Smeenk,
et.al. (2006) dimana komitmen organisasi didefinisikannya sebagai sebuah
keadaan psikologi yang mengkarakteristikkan hubungan karyawan dengan
organisasi atau implikasinya yang mempengaruhi apakah karyawan akan tetap
bertahan dalam organisasi atau tidak.
39
Dari uraian diatas mengenai komitmen organisasi, maka jelas bahwa
karyawan yang memegang komitmennya adalah orang yang memiliki sikap jujur,
terbuka serta dapat bekerja secara kompeten sehingga dapat menghasilkan kinerja
yang baik untuk perusahaan, karena karyawan yang berkomiten akan memberikan
kinerja yang terbaik bagi perusahaan sehingga kinerja di dalam perusahaan terus
maju dan terhindar dari kecurangan.
Hipotesis
Hipotesis 1 :
H1 : Terdapat peranan dari sistem pengendalian internal terhadap pencegahan
kecurangan pegawai
Hipotesis 2 :
H2 : Terdapat peranan dari komitmen organisasi terhadap pencegahan
kecurangan pegawai
Hipotesis 3 :
H3 : Terdapat peranan dari sistem pengendalian internal dan komitmen
organisasi terhadap kecurangan pegawai.