bab ii landasan teori ii.1 konsep dasar pembangkit listrik

22
II-1 BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik Tenaga Uap PLTU adalah suatu pembangkit listrik tenaga termal yang menggunakan uap untuk fluida kerjanya. Uap yang digunakan adalah hasil dari proses pemanasan air pada katel uap (boiler). Boiler di PLTU umumnya menggunakan bahan bakar fosil sebagai bahan bakar untuk menghasilkan energi panasnya. Boiler adalah bejana yang digunakan untuk memanaskan air menjadi uap yang memiliki tekanan dan temperatur yang tinggi. Uap yang dihasilkan boiler tadi digunakan untuk menggerakkan sudu-sudu turbin dimana turbin yang digerakkan ini telah terkopling dengan generator dan generator ini mengubah energi gerak pada turbin menjadi energi listrik. Selanjutnya uap sisa menggerakkan turbin ini mengalami penurunan tekanan dan temperatur dan masuk ke kondensor untuk dikondensasikan. Air kondensat sebagai hasil dari proses kondensasi di kondensor dialirkan kembali menuju boiler dengan pompa air umpan (Boiler Feed Water Pump), secara garis besarnya sistem di PLTU dapat dilihat pada Gambar II. 1. Di bawah ini. Gambar II.1Siklus PLTU Sumber: (Moran, et al., 2003)

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-1

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik Tenaga Uap

PLTU adalah suatu pembangkit listrik tenaga termal yang menggunakan uap

untuk fluida kerjanya. Uap yang digunakan adalah hasil dari proses pemanasan air

pada katel uap (boiler). Boiler di PLTU umumnya menggunakan bahan bakar fosil

sebagai bahan bakar untuk menghasilkan energi panasnya.

Boiler adalah bejana yang digunakan untuk memanaskan air menjadi uap

yang memiliki tekanan dan temperatur yang tinggi. Uap yang dihasilkan boiler tadi

digunakan untuk menggerakkan sudu-sudu turbin dimana turbin yang digerakkan

ini telah terkopling dengan generator dan generator ini mengubah energi gerak pada

turbin menjadi energi listrik. Selanjutnya uap sisa menggerakkan turbin ini

mengalami penurunan tekanan dan temperatur dan masuk ke kondensor untuk

dikondensasikan. Air kondensat sebagai hasil dari proses kondensasi di kondensor

dialirkan kembali menuju boiler dengan pompa air umpan (Boiler Feed Water

Pump), secara garis besarnya sistem di PLTU dapat dilihat pada Gambar II. 1. Di

bawah ini.

Gambar II.1Siklus PLTU Sumber: (Moran, et al., 2003)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-2

Siklus Rankine ideal terdiri dari proses kompresi isentropik pada pompa,

penambahan kalor pada tekanan kontstan di boiler, dan pelepasan kalor pada

tekanan tetap di kondensor.

Gambar II.2 Diagram T-S Siklus Rankine Ideal Sumber: (Moran, et al., 2003)

Proses no 1 ke no 2 adalah proses ekspansi isentropik dari fluida kerja yang

menggerakkan turbin hingga uap tersebut berada pada tekanan kondensor.

Proses no 2 ke no 3 adalah proses pelepasan kalor yang dilakukan oleh

kondensor. Pada proses ini uap jenuh hasil ekspansi turbin dirubah fasanya menjadi

air kondensat.

Proses no 3 ke no 4 adalah proses kompresi isentropik pada pompa air umpan

balik. Dimana air kondensat tadi dipompa menuju boiler untuk dipanaskan kembali.

Proses no 4 ke no 1 adalah proses pemasukan kalor kepada fluida kerja yang

dilakukan oleh boiler untuk merubah fasa cair menjadi uap.

Untuk meningkatkan kinerja pembangkitan dari suatu PLTU, dilakukan

dengan penambahan superheater dan reheater. Penambahan superheater ini dapat

dilihat pada Gambar II.2 yaitu siklus Rankine ideal dengan uap keluaran

superheater atau uap superheat pada masukan turbin: tahapan siklusnya menjadi 1’

-2’ -3 -4 -1.

Penggunaan air menjadi kebutuhan utama untuk proses pembangkitan di

PLTU. Hal ini menjadikan kebutuhan air menjadi kebutuhan utama. PLTU

membutuhkan air dengan jumlah yang tidak sedikit untuk proses kerjanya tak

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-3

jarang PLTU ditempatkan didekat laut atau dekat dengan sungai-sungai besar yang

ketersediaan airnya terjaga. Namun air dari laut ini tidak dapat digunakan secara

langsung di PLTU karena salinitasnya yang tinggi akan menyebabkan beberapa

masalah seperti korosi, scaling, dan penyumbatan aliran pipa. Yang berakibat pada

penurunan efisiensi sistem di PLTU dan bahkan menimbulkan kerusakan pada

komponen-komponen yang ada di PLTU.

II.2 Kebutuhan Air di PLTU

II.2.1 Penggunaan Air di PLTU

Kebutuhan air di PLTU dengan bahan bakar batu bara tidak dapat ditentukan

hanya dengan menentukan ukuran pembangkit tersebut. Melainkan kualitas air,

karakteristik dari bahan bakar, dan tekanan desain pembangkit tenaga uap juga

mempengaruhi dari kebutuhan air pembangkit (Black & Veatch, 1996). Air di

PLTU digunakan untuk beberapa kebutuhan yang dikategorikan seperti air bersih

(service water), pendinginan (cooling water), untuk kebutuhan utama sebagai

fluida kerja, dan air dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Gambar 2. 3 merupakan

diagram alir dari kebutuhan air di suatu pembangkit.

Gambar II.3 Diagram alir kebutuhan air pembangkit

Sumber: (Black & Veatch, 1996)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-4

Untuk mengetahui penjelasan lebih lanjut mengenai kategori air yang

digunakan di PLTU dapat dilihat sebagai berikut:

a. Air bersih (service water)

Kategori air bersih disini biasanya digunakan untuk seal water

pada pompa, air bersih, dan air tambahan untuk sistem scrubbing abu

dan gas buang. Air bersih ini memiliki kriteria penting yaitu tidak

berbau, bebas dari padatan, tidak berwarna, dan tidak keruh. Nilai pH

untuk kebutuhan air bersih ini berkisar antara 6 hingga 8.5 dan total

padatan terlarut tidak lebih dari 1.000 mg/L. Untuk keperluan air

minum sendiri, air harus dilakukan treatment seperti klorinasi terlebih

dahulu sebelum digunakan.

Perkiraan untuk kebutuhan service water adalah sebagai berikut :

Kebutuhan umum 1% dari laju uap maksimum

Air minum 189 L per hari per orang

Air penambah siklus 1,5 % dari laju uap ditambah

kebutuhan sootblowing

Kapur 3,785 L per 0,45 kg kapur

Batu kapur 1,89 L per 0,45 kg batu kapur

Makeup tergantung pada tingkat saturasi gas

buang

b. Air pendingin utama (Main Steam Cycle Cooling Water)

Untuk sistem pendinginan tipe once through, pada umumnya

trash track dan bar screen sudah mencukupi jika hanya untuk

menghilangkan padatan-padatan yang terbawa oleh air laut untuk air

pendinginan utama sehingga tidak diperlukan pengolahan kembali.

c. Air pendingin tambahan (Auxiliary Cooling Water)

Air pendingin ini adalah air untuk kebutuhan pendinginan

tertutup (close-loop cooling) seperti pada pendinginan minyak,

kompresor udara, bearing, dll.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-5

d. Air dengan kemurnian tinggi (High Purity Water)

Air ini adalah air yang digunakan sebagai tambahan pada siklus

kondensat dan air umpan. Tingkat kemurnian yang tinggi dibutuhkan

untuk menghindari kerak dan korosi pada komponen-komponen

utama yang ada di PLTU. Kuantitas air yang dibutuhkan tergantung

pada tekanan operasi boiler, semakin tinggi tekanan kerja boiler maka

akan membutuhkan kuantitas air lebih tinggi. Kapasitas dari

kebutuhan air ini adalah 1,5% dari laju uap ditambahkan dengan

kebutuhan sootblowing.

II.2.2 Sistem Pengolahan Air di PLTU

Sistem pengolahan air sendiri biasa dikenal dengan WTP (Water Treatment

Plant) yaitu unit yang diperlukan untuk kebutuhan proses pemurnian air atau untuk

menghilangkan kandungan mineral yang terkandung pada air sehingga menjadi air

demin. Proses untuk merubah air laut menjadi air demin diawali dengan

pengambilan air laut oleh pompa dimana air laut tersebut telah diinjeksikan klorin

untuk membunuh biota-biota laut yang terbawa dan telah dilewatkan melalui

saringan kasar seperti bar screen dan saringan putar halus travelling band screen.

Sebagian air laut dipompakan menuju kondensor dan sebagainnya lagi

menuju WTP. Setelah itu air menuju settling basin. Pada settling basin ini

ditambahkan klorin pada masukan settling basin. Settling basin ini berfungsi untuk

mengurangi tingkat kekeruhan dari air laut. Air hasil dari settling basin \ ini

selanjutnya ditampung di sea water tank. Selanjutnya air dipompakan menuju ke

Desalination Plant.

II.3 Proses Desalinasi

Proses desalinasi adalah proses pemisahan air laut dengan garam yang

terkandung dalam air laut itu sendiri, sehingga air dapat digunakan untuk berbagai

macam kebutuhan di PLTU. Proses desalinasi ini melibatkan tiga aliran cairan,

yaitu umpan berupa air laut, produk bersalinitas rendah, dan konsentrat bersalinitas

tinggi. Produk dari proses desalinasi ini biasanya memiliki kandungan garam

terlarut tidak lebih dari 500 mg/L, yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan

sehari-hari dan industry. Hasil lain dari proses desalinasi adalah brine. Brine

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-6

merupakan air sisa yang tidak dapat diuapkan yang memiliki konsetrasi yang tinggi

(lebih dari 34.000 mg/L garam terlarut).

Terdapat beberapa teknologi yang digunakan untuk proses desalinasi yang

berbasis pada pemisahan dengan membran dan secara termal (Thermal

Desalination).

Pemilihan proses teknologi desalinasi didasarkan pada beberapa factor, antara lain:

1. Salinitas

2. Kualitas air bersih yang dibutuhkan

3. Sumber energi yang digunakan.

II.4 Desalinasi Termal (Thermal Desalination)

Pada dasarnya proses desalinasi menggunakan prinsip-prinsip

termodinamika, perpindahan panas, dan kompresi gas. Suatu unit desalinasi termal

biasanya menggunakan uap hasil dari boiler auxiliary pada saat start-up dan

menggunakan uap hasil dari ekstraksi turbin intermediate pada saat beroperasi

(running).

II.5 Multi-Effect Desalination (MED)

MED ini merupakan salah satu dari sistem desalinasi yang memanfaatkan

panas untuk memisahkan kandungan garam dari air laut. Pada sistem MED ini, air

produk hasil dari pemisahan didapatkan dari proses evaporating dan condensing.

Air laut yang akan diolah disemprotkan ke permukaan pipa yang di dalamnya sudah

terdapat dan teraliri uap panas. Selanjutnya uap dalam pipa tersebut akan berubah

fasa menjadi air kondensat karena melepas panas latennya, sedangkan air laut yang

disemprotkan tadi menguap karena menerima panas laten dari uap dan digunakan

untuk proses evaporasi pada efek kedua.

Uap hasil proses evaporasi tadi digunakan untuk proses pada efek kedua dan

seterusnya hingga efek terakhir. Air kondensat hasil dari efek kedua hingga efek

terakhir merupakan air produk dari sistem desalinasi ini. Dan uap hasil dari proses

penguapan pada efek terakhir ini dialirkan menuju kondensor untuk dikondensasi

kan dan menjadi air produk dari sistem desalinasi juga. Untuk lebih detailnya dapat

dilihat pada Gambar 2. 5 berikut ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-7

Gambar II.4 Proses Desalinasi

Sumber: (Al-Mutaz & Wazeer, 2014)

II.6 MED dengan TVC (Thermal Vapour Compression)

MED dengan TVC merupakan metode untuk meningkatkan kinerja

evaporator MED dengan memanfaatkan kembali sebagian uap yang diproduksi dari

efek terakhir dan dikembalikan ke effect pertama (Alimah & Feridian, 2009). MED

dengan TVC merupakan gabungan antara sistem MED dengan suatu alat yang

bernama steam jet ejector. Dimana steam jet ejector ini selain untuk menghisap

sebagian uap dari efek terakhir juga berfungsi untuk menghisap NCG yang berada

di dalam efek terakhir dan kondensor agar tekanan di dalam efek terakhir dan

kondensor tetap terjaga dalam kondisi vakum. Untuk melihat posisi dari ejector

sendiri dapat dilihat pada Gambar II.5.

Gambar II.5 Skema MED dengan TVC

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-8

II.7 Tipe-tipe MED Berdasarkan Alirannya

Berdasarkan aliran air laut yang masuk ke dalam evaporator, MED dibedakan

menjadi 3 aliran, yakni Forward Feed, Backward Feed, dan Parallel Feed.

1. Tipe Forward Feed

Gambar II.6 Skema tipe Forward Feed

Sumber: (Al-Mutaz & Wazeer, 2014)

Dalam pengaturan Forward Feed seperti ditunjukkan pada Gambar II.6,

air umpan (air laut) disuplai ke efek pertama. Air laut diuapkan pada efek

pertama sedangkan bagian yang tidak menguap yang tersisa dikenal sebagai

Brine masuk ke efek kedua. Pada efek kedua, beberapa bagian air garam

menguap sementara sisanya masuk sebagai sumber umpan ke efek

selanjutnya dan proses ini berlanjut sampai efek terakhir. Air laut pendinginan

masuk ke dalam kondensor dimana ia menukar panas dengan uap yang keluar

dari efek terakhir. Pada tipe forward feed, air umpan (Brine) dan uap masuk

efek dan mengalir ke arah yang sama. pengaturan forward feed juga disebut

pengaturan co-current. Keuntungan utama dari konfigurasi feed forward

adalah kemampuannya untuk dioperasikan pada suhu air laut atas yang tinggi.

2. Tipe Backward Feed

Gambar II.7 Tipe Backward Feed

Sumber: (Al-Mutaz & Wazeer, 2014)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-9

Pada konfigurasi backward feed, ditunjukkan pada Gambar II.7, air laut

(air umpan) setelah melewati bagian akhir kondensor, masuk ke efek terakhir

dimana suhu dan tekanannya paling rendah di dalam sistem. Brine yang

meninggalkan efek terakhir diarahkan melalui masing-masing efek sampai

efek pertama. Brine meninggalkan efek pertama dikirim kembali ke laut

sebagai air limbah. Suhu dan tekanan meningkat mulai dari efek pertama

hingga efek terakhir. Dalam tata letak ini air umpan dan uap yang masuk ke

efeknya memiliki arah aliran berlawanan, biasa juga disebut counter current

cascade.

3. Tipe Parallel Feed

Gambar II.8 Tipe Parallel Feed

Sumber: (Al-Mutaz & Wazeer, 2014)

Gambar II. 8 menunjukkan skema sistem MED tipe Parallel Feed.

Dalam konfigurasi ini, air umpan (air laut) didistribusikan merata untuk

semua efek. Untuk memanfaatkan energi air garam meninggalkan efek

pertama, efeknya diarahkan ke efek selanjutnya dan seterusnya, akan

berpengaruh pada tekanan yang lebih rendah daripada efek sebelumnya.

Umpan dan uap masuk ke efek dan mengalir ke arah yang sama dalam

konfigurasi ini. Pola alir sama seperti pada konfigurasi forward feed.

Konfigurasi paralel memiliki desain yang sederhana dibandingkan dengan

dua pengaturan lainnya. Fitur lain dari pengaturan ini adalah bahwa, tidak

diperlukan pompa untuk memindahkan brine yang tidak menguap pada

masing-masing efek karena brine mengalir dari yang tekanan yang lebih

tinggi ke efek tekanan yang rendah. Sistem umpan paralel merupakan tipe

yang paling sering digunakan di industri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-10

II.8 Bagian-bagian pada MED TVC

II.8.1 Evaporator

Evaporator adalah sebuah alat yang berfungsi mengubah sebagian atau

keseluruhan air umpan (air laut) menjadi uap. Evaporator merupakan komponen

utama dari sistem MED dimana air produk dihasilkan pada komponen ini. dalam

evaporator terdapat pipa-pipa yang di dalamnya telah teraliri uap panas. Selain

pipa-pipa terdapatjuga nozzle yang berfungsi untuk menyemprotkan air umpan (air

laut).

Cara kerja dari evaporator ini adalah dengan cara menyemprotkan air

umpan ke permukaan pipa yang teraliri uap panas. Uap yang digunakan bertekanan

rendah (0,2-0,4 atm) (IAEA No.19, 2006). Selanjutnya kalor laten yang dimiliki

oleh uap berpindah ke air umpan yang telah bersentuhan dengan permukaan pipa

dalam evaporator. Dan uap yang berada dalam pipa akan berubah fasa atau

terkondensasi.

II.8.2 Kondensor

Kondensor pada sistem MED ini berfungsi sebagai pemindah panas laten

dari distilat efek terakhir sehingga uap distilat ini berubah fasa menjadi air

kondensat atau air produk. Kondesor yang digunakan adalah tipe surface Shell and

Tube. Fluida pada sisi shell (fluida panas) adalah uap panas hasil evaporasi dari

efek terakhir (distilat). Sedangkan fluida yang ada di dalam tube (fluida dingin)

adalah air laut yang akan menjadi air umpan. Gambar II.9 merupakan skema

kondensor pada sistem MED.

Gambar II.9 Kondensor

Sumber: (Al-Mutaz & Wazeer, 2014)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-11

II.8.3 Thermal Vapor Compressor (Steam Jet Ejector)

TVC adalah jenis dari ejektor uap (Steam Jet Ejector), yang bekerja untuk

mengkompresi sejumlah gas atau uap tekanan rendah. Rasio perbandingan antara

tekanan discharge dan suction pada operasi kerja dari TVC ini berkisar antara 1,9

- 3,3 (Park, et al., 2005). TVC ini akan bekerja apabila motive inlet dialiri uap

bertekanan tinggi dan masuk ke suction chamber melalui nozzle.

Gambar II.10 Ejektor

Sumber: (Ettouney & El-Dessouky, 2004)

Gambar II.10 merupakan diagram skematik dari TVC yang

menggambarkan variasi kecepatan dan tekanan pada motive steam dan entrained

vapor. ejektor digunakan untuk meningkatkan tekanan uap (𝑀𝑒𝑣) entrained vapor

dari tekanan (𝑃𝑒𝑣) ke tekanan yang lebih tinggi (𝑃𝑠). Proses ini terjadi dengan

mengubah energi tekanan dari motive steam (𝑀𝑚) untuk menghasilkan vakum dan

memampatkan entrained vapor ke tekanan (𝑃𝑠) yang dibutuhkan. Laju alir dari

motive steam (𝑀𝑚) mengembang di dalam nozzle dari (𝑃1) ke (𝑃2), pada kondisi ini

energi tekanan statis diubah menjadi energi kinetik. Nozzle ini memiliki bentuk

konvergen (memusat) dan divergen (meluas) untuk memperluas uap ke kecepatan

yang lebih besar dari kecepatan suara (kecepatan supersonik) (Ettouney & El-

Dessouky, 2004).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-12

II.9 Perhitungan Perancangan MED-TVC tipe Backward Feed

II.9.1 Evaporator

II.9.1.1 Menghitung Kalor Laten Uap dan Vapor pada efek terakhir

Sebelum melakukan iterasi kalor laten dari motive steam dan vapor yang

dibentuk pada efek terakhir didapatkan dari steam table atau dengan menggunakan

persamaan dari lampiran B (Ettouney & El-Dessouky, 2004) sebagai berikut:

𝜆𝑠 = 2499,5698 − 2,204864 ∙ 𝑇𝑠 − 2,304 ∙ 10−3 ∙ 𝑇𝑠2 ...................... (II.1)

𝜆𝑣5 = 2499,5698 − 2,204864 ∙ 𝑇𝑣5 − 2,304 ∙ 10−3 ∙ 𝑇𝑣52 ................ (II.2)

Keterangan:

𝜆𝑠 = Kalor laten steam, kJ/kg

𝜆𝑣5 = Kalor laten vapor yang dihasilkan pada efek ke-5, kJ/kg

𝑇𝑠 = Temperatur Steam, oC

𝑇𝑣5 = Temperatur vapor yang dihasilkan pada efek ke-5, oC

II.9.1.2 Menentukan Laju Alir Massa Brine Efek Pertama

Laju alir massa yang keluar dari efek pertama pada MED tipe aliran

backward merupakan brine out atau brine dengan tingkat kepekatan yang tinggi

yang merupakan air limbah dari proses desalinasi. Untuk menentukan besarnya laju

alir brine yang meninggalkan efek pertama ditentukan dengan persamaan berikut:

𝐵1 = (𝑋𝑓

𝑋1−𝑋𝑓)𝑀𝑑 .................................................................................. (II.3)

Dimana,

𝐵1 = Laju alir massa brine efek pertama [𝑘𝑔/𝑠]

𝑋𝑓 = Konsentrasi garam feed [𝑝𝑝𝑚]

𝑋1 = Konsentrasi garam pada efek pertama [𝑝𝑝𝑚]

𝑀𝑑 = Laju alir massa distilat yang dibutuhkan [𝑘𝑔/𝑠]

II.9.1.3 Menentukan Feed water yang dibutuhkan

Setelah didapatkan laju alir massa dari brine yang meninggalkan sistem dan

laju alir massa distilat yang dibutuhkan sebagai air produk. Maka selanjutnya dapat

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-13

ditentukan laju alir massa feed water yang dibutuhkan dengan menggunakan

persamaan berikut:

𝑀𝑓 = 𝐵1 + 𝑀𝑑 ...................................................................................... (II.4)

Dimana,

𝑀𝑓 = Laju alir massa feed water yang dibutuhkan [𝑘𝑔/𝑠]

II.9.1.4 Menghitung Koefisien Perpindahan Panas Keseluruhan (U)

Nilai koefisien perpindahan panas keseluruhan pada efek pertama hingga

efek terakhir ditentukan dan diasumsikan tetap konstan selama iterasi (Ettouney &

El-Dessouky, 2004). Adapun nilai koefisien perpindahan panas keseluruhan pada

efek pertama dapat dihitung dengan persamaan (II.5) sesuai dengan lampiran C

sebagai berikut:

𝑈1 = 1 × 10−3(1939,4 + 1,40562∆𝑇𝑡 − 0,0207525∆𝑇𝑡2 + 0,0023186∆𝑇𝑡

3 ...... (II.5)

Untuk menghitung koefisien perpindahan panas keseluruhan pada efek ke-

dua hingga efek terakhir digunakan persamaan berikut:

𝑈𝑖+1 = 0,95𝑈𝑖 ...................................................................................... (II.6)

Setelah didapatkan nilai koefisien perpindahan panas keseluruhan pada efek

pertama hingga efek terakhir, selanjutnya melakukan penjumlahan invers untuk

koefisien perpindahan panas secara keseluruhan. Ini diperlukan untuk menghitung

penurunan suhu tiap efek.

1

∑ 𝑈𝑖5𝑖−1

=1

𝑈1+

1

𝑈𝑖+ ⋯ +

1

𝑈𝑛−1+

1

𝑈𝑛 ........................................................ (II.7)

Dimana,

𝑈1 = koefisien perpindahan panas keseluruhan pada efek ke-1, [𝑘𝑊/𝑚2°C]

𝑈𝑖 = koefisien perpindahan panas keseluruhan pada efek ke-i, [𝑘𝑊/𝑚2°C]

𝑈𝑛 = koefisien perpindahan panas keseluruhan pada efek terakhir, [𝑘𝑊/

𝑚2°C]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-14

II.9.1.5 Menghitung Penurunan Temperatur Setiap Efek

Setelah mendapatkan nilai koefisien perpindahan panas keseluruhan hasil

dari penjumlahan invers. Selanjutnya menghitung penurunan temperatur yang

terjadi pada setiap efek dengan menggunakan persamaan berikut:

∆𝑇1 =∆𝑇𝑡

𝑈1 ∑ 𝑈𝑖5𝑖−1

..................................................................................... (II.8)

Sedangkan untuk menghitung penurunan temperatur pada efek ke 2 hingga

efek terakhir menggunakan persamaan berikut:

∆𝑇𝑖 = ∆𝑇1 (𝑈1

𝑈𝑖) ..................................................................................... (II.9)

Dimana,

∆𝑇𝑡 = Perbedaan temperatur steam dengan efek terakhir, [°𝐶]

∆𝑇𝑖 = Penurunan temperatur pada efek ke-i, [°𝐶]

Perlu dicatat bahwa penurunan temperatur setiap efek meningkat ketika

suhu efek berkurang. Ini disebabkan karena heat transfer area dibuat konstan,

koefisien perpindahan panas keseluruhan yang lebih rendah, dan beban thermal

setiap efek dibuat konstan.

II.9.1.6 Menghitung Temperatur Profil Setiap Efek

Setelah menghitung penurunan temperatur yang terjadi pada setiap efek

selanjutnya adalah menghitung temperature profil tiap efek. Untuk menghitung

temperatur efek pertama digunakan persamaan (II.10) sebagai berikut:

𝑇1 = 𝑇𝑠 − ∆𝑇1 .................................................................................... (II.10)

Sedangkan untuk menghitung temperatur efek ke dua hingga ke efek

terakhir digunakan persamaan (II.11) sebagai berikut:

𝑇𝑖 = 𝑇𝑖−1 − ∆𝑇1 (𝑈1

𝑈𝑖⁄ ) .................................................................. (II.11)

Dimana,

𝑇𝑠 = Temperatur steam, [°𝐶]

𝑇𝑖 = Temperatur profil pada efek ke-i, [°𝐶]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-15

II.9.1.7 Menghitung Temperatur Vapor

Temperatur vapor didapatkan dari hasil pengurangan dari temperatur brine

dengan Thermodynamic Losses pada semua efek. Untuk mendapatkan nilai

temperatur vapor digunakan persamaan (II.12) sebagai berikut:

𝑇𝑣𝑖 = 𝑇𝑖 − ∆𝑇𝑙𝑜𝑠𝑠 .............................................................................. (II.12)

II.9.1.8 Menghitung Kalor Laten Vapor

Untuk menghitung kalor laten vapor setiap efek, digunakan persamaan

(II.12) sesuai dengan lampiran C sebagai berikut:

𝜆𝑖 = 2499,5698 − 2,204864 ∙ 𝑇𝑣𝑖 − 2,304 ∙ 10−3 ∙ 𝑇𝑣𝑖2 ................ (II.13)

Dimana,

𝑇𝑣𝑖 = 𝑇𝑖 − ∆𝑇𝑙𝑜𝑠𝑠 ............................................................................... (II.14)

Dimana,

𝑇𝑣𝑖 = Temperatur vapor efek ke-i, [°𝐶]

𝜆𝑖 = Kalor laten pada efek ke-i, [𝑘𝐽/𝑘𝑔]

II.9.1.9 Menghitung Laju Alir Distilat Setiap Efek

Laju alir distilat setiap efek merupakan air produk yang dihasilkan setiap

efek pada MED yang dirancang. Penentuan besarnya laju alir distilat dimulai dari

efek terakhir hingga efek pertama. Hal ini karena aliran feed water pada MED tipe

aliran backward feed pertama masuk melalui efek terakhir dan keluar sebagai

limbah pada efek pertama. Untuk menghitung lajur alir distilat pada efek terakhir

digunakan persamaan berikut:

𝐷𝑛 =𝑀𝑑

(𝜆𝑣𝑛(1

𝜆1+

1

𝜆2+⋯+

1

𝜆𝑛−1+

1

𝜆𝑛))

.............................................................. (II.15)

Kemudian distilat pada efek yang lainnya didapatkan dengan persamaan

berikut:

𝐷𝑖 = 𝐷𝑛 (𝜆𝑣𝑛

𝜆𝑣𝑖⁄ ) .............................................................................. (II.16)

Dimana,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-16

𝐷𝑖 = Laju alir distilat pada efek ke-i, [𝑘𝑔/𝑠]

𝐷𝑛 = Laju alir distilat pada efek terakhir, [𝑘𝑔/𝑠]

II.9.1.10 Menghitung Laju Alir Brine

Setelah didapatkan nilai distilat yang dihasilkan pada setiap efek maka

besarnya brine pada efek terakhir dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

𝐵𝑛 = 𝑀𝑓 − 𝐷𝑛 ..................................................................................... (II.17)

Selanjutnya menentukan brine pada efek yang lainnya dengan

menggunakan persamaan berikut:

𝐵𝑖 = 𝐵𝑖+1 − 𝐷𝑖 .................................................................................... (II.18)

Dimana,

𝐵𝑖 = Laju alir brine pada efek ke-i, [𝑘𝑔/𝑠]

𝐵𝑛 = Laju alir brine pada efek terakhir, [𝑘𝑔/𝑠]

II.9.1.11 Menghitung Konsenstrasi Garam Pada Brine

Setelah mendapatkan nilai brine pada semua efek. Nilai tersebut diperiksa

dengan kesetimbangan material atau dengan kata lain kadar garam yang terkandung

pada brine pada masing-masing efek dihitung kesesuaiannya dengan data

parameter pertama terutama pada konsentrasi garam pada brine out. Untuk

menentukan kadar garam pada efek terakhir digunakan persamaan berikut:

𝑋𝑛 =𝑋𝑓𝑀𝑓

𝐵𝑛 ........................................................................................... (II.19)

Sedangkan untuk menentukan nilai konsentrasi garam pada efek lainnya

digunakan persamaan berikut:

𝑋𝑖 =𝑋𝑖+1𝐵𝑖+1

𝐵𝑖 ....................................................................................... (II.20)

Dimana,

𝑋𝑖 = Konsentrasi garam pada brine efek ke-i, [𝑝𝑝𝑚]

𝑋𝑛 = Konsentrasi garam pada brine efek terakhir, [𝑝𝑝𝑚]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-17

II.9.1.12 Menghitung Luas Perpindahan Panas Pada Evaporator

Setelah mendapatkan beberapa parameter seperti temperatur, kalor laten,

distilat pada masing-masing efek. Maka selanjutnya menghitung luas perpindahan

panas pada masing-masing efek. Untuk menghitung luas perpindahan panas pada

efek pertama digunakan persamaan berikut:

𝐴1 =𝐷1𝜆1

𝑈1(𝑇𝑠−𝑇1) ...................................................................................... (II.21)

Sedangkan untuk menghitung luas perpindahan panas pada efek lainnya

digunakan persamaan berikut:

𝐴𝑖 =𝐷𝑖𝜆𝑖

𝑈𝑖(∆𝑇𝑖−∆𝑇𝑙𝑜𝑠𝑠)................................................................................ (II.22)

Dimana,

𝐴𝑖 = Luas perpindahan panas pada efek ke-i, [𝑚2]

𝐴1 = Luas perpindahan panas pada efek pertama, [𝑚2]

II.9.1.13 Menghitung Luas Perpindahan Panas Rata-rata

Setelah mendapatkan nilai perpindahan panas dari masing-masing efek,

selanjutnya menghitung luas perpindahan panas rata-rata. Luas perpindahan panas

rata-rata dilakukan untuk mendapatkan nilai penurunan temperatur yang baru agar

dapat dilakukan iterasi. Iterasi dilakukan sampai mendapatkan nilai luas

perpindahan panas pada masing-masing efek yang konstan. Dengan kriteria

kesalahan perbedaan panas pada area maksimum dan area minimum berkisar

1 𝑚2hingga 1 × 10−2 𝑚2. (Ettouney & El-Dessouky, 2004). Untuk menghitung

luas perpindahan panas rata-rata digunakan persamaan berikut:

𝐴𝑚 =∑ 𝐴𝑖

𝑛𝑖=1

𝑛 ....................................................................................... (II.23)

Dimana,

𝐴𝑚 = Luas perpindahan panas rata-rata, [𝑚2]

II.9.1.14 Menghitung Penurunan Temperatur yang Baru

Iterasi dimulai dengan menentukan perpindahan panas rata-rata dan

dilanjutkan menghitung penurunan temperatur pada masing-masing efek. Untuk

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-18

menghitung penurunan temperatur dilakukan dengan menggunakan persamaan

berikut:

∆𝑇′𝑖 = ∆𝑇𝑖 (𝐴𝑖

𝐴𝑚⁄ ) ........................................................................... (II.24)

Dimana,

∆𝑇′𝑖 = Penurunan temperature yang baru untuk iterasi, [℃]

II.9.1.15 Menghitung Total Luas Perpindahan Panas Pada Evaporator

Total luas perpindahan panas pada evaporator merupakan penjumlahan dari

luas perpindahan panas yang terjadi pada masing-masing efek. Luas perpindahan

panas yang dijumlahkan adalah luas perpindahan panas hasil dari iterasi. Untuk

mendapatkan total luas perpindahan panas digunakan persamaan berikut:

𝐴𝑒 = 𝐴1 + 𝐴2 + 𝐴3+. . . +𝐴𝑛 = ∑ 𝐴𝑖𝑛𝑖=1 ............................................ (II.25)

Dimana,

𝐴𝑒 = Total Luas perpindahan panas pada evaporator, [𝑚2]

𝐴𝑛 = luas perpindahan panas efffect ke n, [𝑚2] 𝑖 = 1, 2, 3, … , 𝑛

II.9.1.16 Menghitung Laju Alir Uap

Langkah selanjutnya adalah menghitung laju alir massa uap yang

dibutuhkan untuk MED-TVC tipe backward feed. Untuk mendapatkan nilai laju alir

massa dari uap dapat dengan menggunakan persamaan (II.26) berikut:

𝑀𝑠 =𝐷1𝜆𝑣1

𝜆𝑠 ......................................................................................... (II.26)

Dimana,

𝑀𝑠 = Laju alir massa uap , [𝑘𝑔/𝑠]

II.9.1.17 Menghitung Jumlah Tube

Setelah didapatkan nilai luas perpindahan panas pada masing-masing efek

selanjutnya adalah menentukan jumlah tube yang dibutuhkan sebagai media

perpindahan panas dari uap ke air feed yang akan diuapkan. Untuk menghitung

jumlah tube yang dibutuhkan pada evaporator digunakan persamaan (II.27) sebagai

berikut:

𝑁𝑡 =𝐴𝑖

𝜋∙𝐷𝑜∙𝐿 ......................................................................................... (II.27)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-19

Dimana,

𝑁𝑡 = Jumlah tube, [m2]

L = Panjang pipa, [m]

𝐷𝑜 = Diameter luar pipa [m]

II.9.2 Kondensor

II.9.2.1 Menghitung Luas Perpindahan Panas Kondensor

Dalam sistem MED-TVC tipe backward feed, selain evaporator ada juga

kondensor yang berfungsi untuk mengkondensasi uap hasil dari efek terakhir

menjadi air produk (distilat). Berikut merupakan perhitungan untuk kondensor

Menghitung LMTD

(𝐿𝑀𝑇𝐷)𝐶 =(𝑇𝑓−𝑇𝑐𝑤)

ln [𝑇6−∆𝑇𝑙𝑜𝑠𝑠−𝑇𝑐𝑤𝑇6−∆𝑇𝑙𝑜𝑠𝑠−𝑇𝑓

]

.............................................................. (II.28)

Dimana,

(𝐿𝑀𝑇𝐷)𝐶 = Logarithmic Mean Temperature Difference

𝑇𝑐𝑤 = Temperatur air pendingin, , [℃]

𝑇6 = Temperatur uap efek terakhir, , [℃]

𝑇𝑓 = Temperatur feed, ,[℃]

∆𝑇𝑙𝑜𝑠𝑠 = Thermodynamic loses , [℃]

Menentukan luas perpindahan panas pada kondensor

𝐴𝐶 =𝐷5∙𝜆5

𝑈𝐶∙(𝐿𝑀𝑇𝐷)𝐶................................................................................... (II.29)

Dimana,

𝐴𝐶 = Luas perpindahan panas kondensor, [𝑚2]

𝐷5 = Uap yang dihasilkan pada effect terakhir, [𝑘𝑔/𝑠]

𝑈𝐶 = Koefisien perpindahan panas pada konsensor, [𝑘𝑊/𝑚2℃]

𝜆𝑣5 = panas laten efek terakhir, [𝑘𝐽/𝑘𝑔]

II.9.3 Ejektor

II.9.3.1 Penentuan Entraintment Ratio pada Ejektor

Setelah mendapatkan laju alir massa dari uap yang dibutuhkan maka

selanjutnya adalah menghitung nilai Entrainment ratio. Entrainment ratio ini

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-20

digunakan untuk mengetahui jumlah laju alir massa yang dibutuhkan untuk motive

steam. Untuk mendapatkan nilai Entrainment ratio (Ettouney & El-Dessouky,

2004) ini menggunakan persamaan (II.30) berikut:

𝑅𝑎 = 0,296(𝑃𝑑)1,19

(𝑃𝑠)1,04 (𝑃𝑚

𝑃𝑠)

0,015

(𝑃𝐶𝐹

𝑇𝐶𝐹) .................................................... (II.30)

Dimana untuk menghitung PCF dan TCF digunakan persamaan (II.31) dan

persamaan (II.30)

𝑃𝐶𝐹 = 3 × 10−7(𝑃𝑚)2 − 0,0009(𝑃𝑚) + 1,6101 .............................. (II.31)

𝑇𝐶𝐹 = 2 × 10−8(𝑇𝑣5)2 − 0,0006(𝑇𝑣5) + 1,0047 ............................ (II.32)

Dimana,

𝑅𝑎 = Entrainment Ratio,

𝑃𝑑 = Tekanan discharge ejektor, [𝑘𝑃𝑎]

𝑃𝑚 = Tekanan motive steam ejektor, [𝑘𝑃𝑎]

𝑃𝑠 = Tekanan suction ejektor, [𝑘𝑃𝑎]

PCF = Pressure Correction Factor

TCF = Temperature Correction Factor

II.9.3.2 Menghitung Laju Alir Massa Motive Steam

Setelah didapatkan nilai Ra, maka selanjutnya adalah menghitung laju alir

motive steam yang dibutuhkan. Untuk menghitung laju alir motive steam

digunakaan persamaan (II.33) berikut:

𝑀𝑚 = 𝑀𝑠 (1 + (1 𝑅𝑎⁄ )⁄ ).................................................................. (II.33)

Dimana,

𝑀𝑚 = Laju alir motive steam, [𝑘𝑔/𝑠]

II.9.3.3 Menghitung Laju Alir Massa Entraintment Vapor

Laju alir massa entraintment vapor merupakan uap hasil dari penguapan

pada efek terakhir yang dimanfaatkan sebagai heating steam dan bercampur dengan

motive steam untuk mendapatkan besarnya nilai laju alir massa dari entraintment

vapor digunakan persamaan (II.34) berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-21

𝑀𝑒𝑣 = 𝑀𝑠 − 𝑀𝑚 ................................................................................. (II.34)

II.9.4 Menghitung Performa

Menghitung Performance ratio

Performance ratio merupakan parameter yang penting untuk melihat

kinerja dari MED yang telah dirancang. Untuk mengetahui nilai

performance ratio tersebut dihitung dengan persamaan (II.34) sebagai

berikut:

𝑃𝑅 =𝑀𝑑

𝑀𝑚 ............................................................................................. (II.35)

Dimana,

PR = Performance Ratio

𝑀𝑑 = Total distilat yang dihasilkan, [𝑘𝑔/𝑠]

𝑀𝑚 = Laju alir massa motive steam, [𝑘𝑔/𝑠]

Menghitung laju alir massa cooling water

𝑀𝑐𝑤 = ((𝐷5∙𝜆5)

(𝐶𝑝∙(𝑇𝑓−𝑇𝑐𝑤)) − 𝑀𝑓 ................................................................. (II.36)

Dimana,

𝑀𝑐𝑤 = Laju alir massa dari cooling water, [𝑘𝑔/𝑠]

𝐶𝑝 = Panas spesifik dari cooling water pada tekanan konstan [𝑘𝐽/𝑘𝑔 ℃]

Menghitung laju alir spesifik cooling water

Untuk menghitung besarnya laju alir spesifik dari cooling water digunakan

persamaan (II.36) berikut ini:

𝑠𝑀𝑐𝑤 = 𝑀𝑑 𝑀𝑐𝑤⁄ ................................................................................ (II.37)

Dimana,

𝑠𝑀𝑐𝑤 = Laju alir massa spesifik dari cooling water, [𝑘𝑔/𝑠]

Menghitung luas perpindahan panas spesifik

Untuk menghitung besarnya luas perpindahan panas spesifik didapatkan

dari beberapa parameter yaitu, total perpindahan panas pada evaporator,

perpindahan panas pada kondensor, dan laju alir massa dari distilat yang

dihasilkan. Untuk mendapatkan nilai luas perpindahan panas spesifik dapat

digunakan dengan persamaan berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik

II-22

𝑠𝐴 =𝐴𝑒+𝐴𝐶

𝑀𝑑 .......................................................................................... (II.38)

Dimana,

𝑠𝐴 = Luas Perpindahan panas spesifik, m2

𝐴𝑒 = Luas Perpindahan panas evaporator, m2

𝐴𝐶 = Luas Perpindahan panas kondensor, m2