bab ii landasan teori - dewey.petra.ac.id · silo. selanjutnya juga akan dibahas secara singkat...

39
BAB II LANDASAN TEORI Dalam bab dua ini akan dijelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan proses penganibilan suatu keputusan dari beberapa alternatif yang ada. Pembahasan ini dilakukan sebagai acuan dalam melakukan penelitian untuk mengambil keputusan mengenai pemakaian melode bekisting yang efektif untuk digunakan pada bangunan silo. Selanjutnya juga akan dibahas secara singkat mengenai maksud dan tujuan dilakukannya estimasi dalam suatu konstruksi bangunan serta penjelasan beberapa metode bekisting yang dapat digunakan dalam pengerjaan konstruksi bangunan silo. 2.1. PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN 2.1.1. Pengertian Penganibilan Keputusan Pengambilan keputusan merupakan suatu pemilihan secara sadar atas serangkaian kegiatan dari sejumlah alternatif yang tersedia untuk mengeluarkan hasil yang diharapkan. Tindakan penganibilan keputusan ini setiap saat dilakukan oieh manusia dalam kaitannya dengan berbagai aktivitas atau kegiatan yang dijalaninya sehari-hari, baik keputusan yang mempunyai pengaruh jangka panjang atau keputusan yang rutin dilakukan. Dalam proses pengambilan keputusan yang mempunyai pengaruh jangka panjang, membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan energi yang

Upload: others

Post on 10-Dec-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    LANDASAN TEORI

    Dalam bab dua ini akan dijelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan

    proses penganibilan suatu keputusan dari beberapa alternatif yang ada. Pembahasan

    ini dilakukan sebagai acuan dalam melakukan penelitian untuk mengambil keputusan

    mengenai pemakaian melode bekisting yang efektif untuk digunakan pada bangunan

    silo. Selanjutnya juga akan dibahas secara singkat mengenai maksud dan tujuan

    dilakukannya estimasi dalam suatu konstruksi bangunan serta penjelasan beberapa

    metode bekisting yang dapat digunakan dalam pengerjaan konstruksi bangunan silo.

    2.1. PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN

    2.1.1. Pengertian Penganibilan Keputusan

    Pengambilan keputusan merupakan suatu pemilihan secara sadar

    atas serangkaian kegiatan dari sejumlah alternatif yang tersedia untuk

    mengeluarkan hasil yang diharapkan. Tindakan penganibilan keputusan ini

    setiap saat dilakukan oieh manusia dalam kaitannya dengan berbagai

    aktivitas atau kegiatan yang dijalaninya sehari-hari, baik keputusan yang

    mempunyai pengaruh jangka panjang atau keputusan yang rutin dilakukan.

    Dalam proses pengambilan keputusan yang mempunyai pengaruh jangka

    panjang, membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan energi yang

    http:www.petra.ac.idhttp://dewey.petra.ac.id/dgt_directory.php?display=classificationhttp://digilib.petra.ac.id/help.htlm

  • 8

    dikeluarkan untuk pengambilan keputusan yang rutin (Nugraha,1990).

    Proses pengambilan keputusan dapat dibedakan menjadi dua

    macam yaitu pengambilan keputusan yang hanya terkait dengan

    kepentingan perorangan dan keputusan yang berhubungan dengan

    kepentingan orang lain. Pengambilan keputusan yang terkait dengan

    kepentingan perorangan tidak akan memberi konsekuensi apapun karena

    keputusan tersebut tidak perlu di pertanggungjawabkan kepada orang lain.

    Hal ini disebabkan karena dalam pengambilan keputusan tersebut

    seseorang tidak perlu menguraikan kepada orang lain mengenai sasaran

    atau tujuan yang ingin dicapai melalui pengambilan keputusan tersebut

    (Mangkusubroto & Trisnadi,1983).

    Sedangkan untuk proses pengambilan keputusan yang kedua yang

    berhubungan atau terkait dengan kepentingan orang lain, proses

    pengambilan keputusan hams dilakukan melalui suatu pendekatan

    formalistik. Pendekatan formalistik pada dasarnya merupakan proses

    mengungkapkan suatu keputusan, di mana keputusan yang dibuat hams

    diungkapkan kepada pihak-pihak yang terkait agar pihak-pihak tersebut

    mempunyai keyakinan tentang keputusan tersebut. Pendekatan formalistik

    ini hams mempunyai sistematika yang jelas, masuk akalm sesuai dengan

    prosedur yang ada dan pada akhimya akan dicapai suatu kesimpulan

    (Mangkusubroto & Trisnadi,1983).

  • 9

    2.1.2. Linckup Keputusan

    Dalam mengkaji masalah pengambilan keputusan secara

    sistematik, maka ada empat hal yang harus diperhatikan dengan baik

    karena akan mempengaruhi keputusan yang diambil. Keempat hal tersebut

    adalah keadaan lingkungan, kemampuan, intuisi serta penilaian suatu

    keputusan (Mangkusubroto & Trisnadi',1983).

    2.1.2.1. Keadaan Lingkungan. Keadaan lingkungan yang tidak menentu

    akan sangat menyulitkan dalam pengambilan keputusan karena kita tidak

    dapat menhetahui dengan pasti apa yang akan terjadi selanjutnya. Hal

    kedua yang juga mempengaruhi proses pengambilan keputusan adalah

    keadaan lingkungan yang kompleks, di mana terdapat banyak hal yang

    saling berinteraksi dan disertai dengan keadaan lingkungan yang dinamis

    dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Selain itu proses pengambilan

    keputusan juga dipengaruhi oleh tingkat persaingan yang ada dalam

    lingkungan kehidupan manusia akibat keterbatasan sumber-sumber yang

    tersedia.

    2.1.2.2. Kemampuan. Ada tiga hal yang diniiliki oleh manusia yang dapat

    membantu proses pengambilan keputusan yang dilakukan. Hal yang

    pertama adalah manusia mempunyai kecerdasan untuk dapat memahami

    dan menyusun berbagai tindakan untuk mengambil keputusan. Hal yang

    kedua adalah bahwa manusia mempunyai persepsi untuk dapat melihat

  • 10

    keadaan yang sudah terjadi maupun keadaan sekarang, sehingga manusia

    dapat membuat suatu pemlaian untuk pengambilan keputusan. Hal terakhir

    adalah yang berkaitan dengan falsafah, di mana manusia mempunyai

    pandangan dan prinsip-prinsip hidup yang dapat dipergunakan sebagai alat

    untuk mengambil keputusan.

    2.1.2.3. Intuisi. Intuisi merupakan proses pengambilan keputusan yang

    lebih berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang ada pada diri

    kita, di mana pengambilan keputusan dilakukan tanpa melalui suatu

    evaluasi. Keputusan yang diambil tersebut tidak dapat dianalisa sehingga

    tidak dapat dipastikan bahwa keputusan yang diambil sudah benar.

    2.1.2.4. Keputusan dan Hasil. Konsep pemikiran yang ada biasanya

    mempunyai kecenderungan untuk menilai suatu keputusan berdasarkan

    hasil yang diperoleh. Apabila hasil yang diperoleh bagus, maka dianggap

    keputusan yang diambil adalah baik. Namun secara logis, proses penilaian

    keputusan yang dilakukan berdasarkan pada hasil adalah tidak benar. Oleh

    karena itulah maka telah dikembangkan suatu sistematika baru dalam

    proses pengambilan keputusan yang dikenal dengan istilah analisa

    keputusan.

    2.1.3. Tahapan Pengambilan Keputusan

    Dalam suatu proses pengambilan keputusan, ada beberapa tahapan

    yang harus diikuti secara sistematis agar keputusan yang diambil adalah

  • 1!

    merupakan keputusan yang terbaik dari beberapa allernatif yang ada.

    Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut (Dilworth,1996):

    2.1.3.1. Mengenali Situasi. Dalam tahap ini, seseorang hams dengan cepat

    mengetahui adanya masalah yang timbul dan memerlukan suatu tindakan

    penanganan yang cepat. Pada tahap ini, seseorang diberi keserapatan untuk

    mengubah keadaan yang ada menuju suatu keadaan yang bam dengan

    sasaran yang baru pula.

    2.1.3.2. Menaidentifikasi Masalah. Pada tahap ini, seseorang harus

    mengetahui dengan jelas masalah yang dihadapinya. Hal ini penting karena

    apabila seseorang tidak mengetahui dengan pasti masalah yang sedang

    dihadapinya, kriteria-kriteria yang akan dipakai sebagai dasar pengambilan

    keputusan juga tidak dapat ditetapkan dengan tepat. Dalam suatu proses

    pengambilan keputusan, keputusan yang dibuat sangat tergantung dari

    kriteria-kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Apabila kriteria yang

    ditetapkan tidak sesuai dengan permasalahan yang ada, maka tujuan yang

    dicapai juga berbeda dari tujuan yang semestinya.

    2.1.3.3. Mencari Alternatif-alternatit' Pendukung. Alternatif-alternatit'

    pendukung suatu proses pengambilan keputusan tidak dapat ditelusuri

    secara keseluruhan karena adanya keterbatasan waktu dan biaya. Dalam

    rangka proses pengambilan suatu keputusan, seseorang hanya akan

    menelusuri beberapa alternatif yang dianggap paling memungkinkan untuk

  • 12

    digunakan dalam meuyelesaikan masalah yang dihadapiuya. Pada kondisi

    seperti itu, pikiran atau pemaharaan yang kreatif dari orang yang membuat

    keputusan sangatlah membantu dalam proses pengambilan keputusan

    tersebut.

    2.1.3.4. Meneanalisa Altematif-alternatif. Dalam tahap keempat ini, hal

    yang haras dilakukan oleh seorang pengambil keputusan adalah

    menganalisa alternati-altematif yang ada. Analisa dilakukan dengan

    membandingkan konsekuensi-konsekuensi yang akan timbul dari masing-

    masine altematif vans ada. Apabila dalam tahap analisa ini terdapat dua

    altematif yang mempunyai konsekuensi vane hampir sama, maka

    pemilihan suatu altematif akan memerlukan waktu yang lama. Dalam

    keadaan yang demikian maka infonnasi-infonnasi lain yang berupa data

    pendukune masina-masine altematif akan saneat membantu dalam proses

    pemilihan altematif yang akan digunakan.

    2.1.3.5. Memilih Altematif. Pemilihan altematif yang terbaik didasarkan

    pada pemahaman bahwa altematif tersebut merupakan altematif yang

    paling memungkinkan untuk mencapai sasaran atau tujuan yang ingin

    dicapai. Selain itu ada juga orang yang mendasari pemilihan altematif yang

    terbaik dengan pertimbangan bahwa altematif yang terbaik adalah altematif

    yang mempunyai pengeluaran biaya dan waktu yang minimum, Dalam

    keadaan tertentu dapat terjadi bahwa altematif yang ada tidak memenuhi

    kriteria-kriteria yang ditetapkan sehingga pemilihan altematif kemudian

  • 13

    didasarkan pada penilaian seberapa besaT kemungkinan altematif vane

    dipilih dapat membantu mencapai sasaran atau tujuan yang diinginkan.

    2.1.4. Langkah-langkah Dalam Analisa Pengambilan Keputusan

    Analisa pengambilan keputusan merunakan suatu prosedur untuk

    menganalisa suatu persoalan keputusan. Prosedur ini memuat langkah-

    langkah penting yang harus dilakukan dalam suatu proses pengambilan

    keputusan, agar hasil yang diperoleh dapat diyakini kebenarannya. Dalam

    prosedur ini, variabel-variabel sistem yang dapat mempengaruhi hasil dari

    keputusan yang dibuat, harus ditentukan terlebih dahulu.

    Variabel-variabel sistem tersebut terdiri dari dua yaitu variabel

    keputusan yang berada dalam pengendalian pengambil keputusan, serta

    variabel status yang berada di luar kemampuan pengendalian pengambil

    keputusan. Variabel status ini merupakan variabel yang ditentukan oleh

    lingkungan. Variabel-variabel tersebut harus dijelaskan pengertiannya dan

    dilihat hubungan antara variabel yang satu dengan yang lain. Selaniutnva

    variabel-variabel tersebut diberi nilai atau bobot dengan mengukur tingkat

    kepentingan antara variabel yang satu dengan variabel lainnya. Selain itu

    juga dilakukan penetapan nilai besarnya ketidakpastian yang melingkupi

    variabel-variabel yang ada. Penetapan nilai ketidakpastian pada tahap ini

    juga harus memperhitungkan faktor resiko yang ada Hal terakhir yang

    dilakukan dalam analisa keputusan adalah melakukan peninjauan hasil

    yang diperoleh dari dua langkah sebelumnya. Peninjauan ini berguna untuk

  • 14

    mendapatkan nilai penRukuTan yanR lebih teliti, Infbrrnasi atau variabel

    tambahan lainnya mungkin diperlukan untuk mengurangi tingkat

    ketidakpastian hasil pengukuran yang diperoleh (Mangkusubroto &

    Trisnadi,1983).

    2.2. TAHAPAN-TAHAPAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN

    METODE BEKISTING PADA BANGUNAN SILO

    2.2.1. Meneenali Situasi T

    Bangunan silo mempunyai karakteristik bentuk permukaan yang

    tipikal dan menerus dengan ketebalan dinding yang relatif konstan.

    Karakteristik lain vans iuga biasanya terdapat pada bangunan silo adalah

    ketinRRian struktur vanR cukup besaT denRan tipe penRerjaan vane berulanR

    pada setiap tahapnya.

    2.2.2. Mengjdentifikasi Masalah

    DenRan karakteristik bentuk banRunan variR tipikal dan menerus

    dengan ketebalan dinding yang relatif konstan serta ketinggian bangunan

    yang besar dengan tipe pengerjaan yang berulang, metode bekisting apa

    yang efektif untuk disunakan dalam penaerjaan suatu banaunan silo?

  • 15

    2.2.3. Mencari Alternatif-alternatif Pendukung

    Ada beberapa aiternatif metode bekisting yang dapat digunakan

    untuk pengerjaan dinding silo. Metode bekisting yang pertama adalah

    metode konvensional. Sedangkan metode bekisting yang kedua adalah

    metode bekisting otomatisasi yaitu slipform dan autoclimb. Namun metode

    bekisting autoclimb tidak efektif untuk dijadikan suatu aiternatif dalam

    pengerjaan bangunan silo karena metode autoclimb yang juga merupakan

    sistem bekisting otomatisasi seperti halnya slipform, harus dibuka dan

    ditutup pada setiap tahap pengerjaan. Hal ini tidak sesuai dengan

    karakteristik bentuk bangunan silo yang mempunyai bentuk permukaan

    yang tipikal dan menerus dengan ketebalan dinding yang relatif konstan.

    2.2.4. Menganalisa Alternatif-alternatif

    Alternatif-alternatif metode bekisting yang dapat digunakan pada

    bangunan silo yaitu metode bekisting konvensional dan slipform akan

    dianalisa, untuk menentukan metode bekisting apa yang efektif untuk

    digunakan. Penjelasan mengenai analisa yang dapat digunakan dalam

    niembuat suatu keputusan mengenai pemakaian bekisting yang efektif pada

    silo, akan dilakukan pada bab tiga.

    2.2.5. Memilih Aiternatif

    Dan" hasil analisa yang dilakukan pada tahap keempat, akan

  • diambil keputusan pemilihan satu altematif metode bekisting yang akan

    digunakan pada bangunan silo. Metode yang dipilih merupakan metode

    yang paling efektif untuk digunakan dan merupakan altematif yang terbaik.

    Selain dengan melakukan suatu analisa, pengambilan keputusan

    mengenai metode bekisting vans akan digunakan pada bangunan silo, juga

    dapat dilakukan dengan membuat suatu perhitungan estimasi biaya.

    Perhitungan estimasi biaya ini merupakan suatu pendekatan yang dilakukan

    dalam menaksir biaya proyek yang sesungeuhnya, di mana perhitungan

    dilakukan untuk masing-masing altematif metode bekisting yang ada, Dari

    hasil perhitungan, akan diketahui metode bekisting yang efektif untuk

    digunakan pada bangunan silo. Perhitungan estimasi biaya ini dilakukan

    dengan membuat perhitungan biaya material, peralatan konstruksi, tenaga

    kena, biaya overhead dan keuntungan vans diperoleh dari pekeriaan

    tersebut (Peurifoy, 1975).

    2.3. PERKEMBANGAN MATERIAL BEKISTING

    Formwork atau bekisting adalah cetakan sementara yang digunakan

    untuk menahan beton selama beton dituang dan dibentuk sesuai dengan bentuk

    dan kekuatan yang diinginkan (Stephens,1 985). Sebagai cetakan sementara,

    bekisting akan dilepas apabila beton yang dituang telah mencapai kekuatan yang

    cukup. Menurut Blake (1975), ada beberapa aspek yang hams diperhatikan pada

    pemakaian bekisting dalam suatu pekeriaan konstruksi.

  • 17

    Aspek yang pertama adalab kualitas bekisting yang akan digunakan

    hams tepat dan layak, sesuai dengan bentuk pekerjaan struktur yang akan

    dikerjakan. Permukaan bekisting yang akan digunakan hams halus, sehingga

    permukaan beton yang dihasilkan juga baik. Aspek yang kedua adalah keamanan

    bagi pekerja yang bekeria pada proyek konstraksi, di mana bekisting hams cukup

    kuat untuk menahan beton agar beton tidak runtuh dan mendatangkan bahaya

    bagi pekerja. Sedangkan aspek yang ketiga adalah biaya pemakaian bekisting

    yang hams direncanakan seekonomis mungkin.

    lllingworth (1972) menyatakan ada beberapa bal yang bams

    direncanakan agar pemakaian bekisting ekonomis. Hal pertama yang hams

    direncanakan berkaitan dengan disain dari bekisting, di mana bekisting yang

    digunakan hams kuat dan kaku tanpa perlemahan pada sambungan atau bagian

    lainnya. Selain itu bekisting ruga haras dapat dipakai beralang-ulang sehingga

    dapat menyebabkan berkurangnya biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan

    material dan pembuatan bekisting. Tingkat pemakaian beralang bekisting ini

    tergantung pada material bekisting yang digunakan. Ketahanan bekisting yang

    terbuat dari material kayu dalam pemakaian bemlang adalah kurang lebih

    setengah kali ketahanan pemakaian bemlang bekisting yang terbuat dari material

    baja (Chudley, 1974).

    Pemilihan material bekisting yang baik juga akan mempengaruhi hasil

    akhir permukaan beton yang dikeriakan. Apabila kita menggunakan material baja

    atau fiberglass, hasil akhir yang diperoleh jauh lebih baik daripada jika dipakai

    material kayu. Hal ini pada akhirnya akan mempengaruhi pekerjaan finishing.

  • 18

    Semakin baik permukaan beton yang dihasilkan, semakin sedikit iumlah atau

    luasan permukaan beton yang harus di-finishing (Blake,! 975).

    Pada awalnya bekisting yang dipakai dalam pekerjaan konstruksi

    biasanya terbuat dari kayu dengan kadar kelembaban antara lima belas sampai

    dua puluh persen. Bekisting dengan material kayu ini biasanya dikenal denean

    nama bekisting konvensional dan dapat dipakai hampir pada semua jenis elemen

    struktur bangunan misalnya kolom, balok, plat lantai dan dinding (Hurst,1983).

    Hasil akhir permukaan beton yang diperoleh tidak terlalu baik, namun bekisting

    konvensional ini mempunyai tingkat fleksibilrtas pemakaian yang tinggi, Tingkat

    fleksibilitas pemakaian bekisting konvensional dikatakan tinggi, karena bekisting

    konvensional ini dapat dibuat dan dipakai untuk struktur bangunan dengan

    bentuk yang bervariasi. Hal ini disebabkan karena dalam pengerjaannya,

    bekisting konvensional dapat dibongkar dan dipasang pada setiap tahap

    pengerjaan sehingga mudah untuk disesuaikan dengan bentuk yang akan

    dikerjakan. Material bekisting baru yang selanjutnya digunakan untuk pembuatan

    bekisting adalah baja dan fiberglass (Chudley.1974).

    Menurut Fintel (1974), bekisting yang terbuat dari baia merupakan

    bekisting yang paling ekonomis. Bekisting baja mempunyai ketahanan

    pemakaian berulang sebanyak empat puluh kali atau empat kali lebih tahan

    dibandingkan bekisting kayu atau plywood. Selain itu bekisting baia mempunyai

    kelebiban lain dalam hal hasil akhir permukaan beton yang lebih baik iika

    dibandingkan dengan bekisting kayu atau plywood.

    Pemakaian bekisting fiberglass akan mengahasilkan permukaan yang

  • 19

    Iebih baik serta Iebih fieksibel neinakaiannva dibandingkan dengan bekisting

    baja. Namun bekisting yang teibuat dari fiberglass ini jarang digunakan karena

    biaya pembuatannya Iebih mahal satu setengah kali dibandingkan bekisting baja.

    2.3.1. Seiarah Perkembangan Bekisting Konvensional Sampai Otomafisasi

    Selain dari segi material, bekisting juga mengalami perkembangan

    dari segi metode pengerjaan. Pada mulanya, sistem bekisting yang

    digunakan adalah bekisting konvensional, di rnana komponen-komponen

    bekisting dirangkai dalam satu kesatuan yang utuh dan telah dibentuk

    sesuai dengan jenis dan ukuran struktur yang akan dikerjakan. Pembuatan

    rangkaian bekisting tersebut dilakukan di lokasi proyek, di mana bekisting

    harus dipasang dan dibongkar pada setiap tahap pengerjaan serta dinaikkan

    dengan menggunakan tenaga manusia atau dengan bantuan lower crane

    (Chudley,1974).

    Hal ini berbeda dengan perkembangan bekisting yang Iebih

    modern yang menggunakan sistem bekisting otomatisasi. Bekisting pada

    sistem ini danat naik secara otomatis dengan menggunakan dongkrak. Jadi

    setiap selesai pengerjaan suatu bagian atau tahap dari struktur, bekisting

    akan naik sesuai dengan jalur yang telah ditetapkan. Bekisting otomatisasi

    tersebut terdiri dari bekisting slipform dan autoclimb (L&M, 1997a).

    Secara garis besar cara kerja sistem slipform sama dengan sistem

    autoclimb. Perbedaan terdapat pada komponen-komponen pendukung

    kedua sistem serta cara pemasangan bekisting. Bekisting pada sistem

  • 20

    slipform hanya dipasang pada tahap awal dan selanjutnya akan naik secara

    otomatis dengan bantuan dongkrak. Sedangkan pada sistem autoclimh,

    bekisting yang telah dipasang pada tahap awal akan dibuka dan ditutup

    setiap tahap pengerjaan, sesuai dengan bentuk dan ukuran ketebalan

    dinding yang akan dikerjakan (1 .&MJ 997b),

    Oleh karena cara pengerjaan yang kontinu, maka sistem slipfnrm

    ini cocok digunakan untuk pengerjaan struktur yang mempunyai bentuk

    permukaan yang tipikal dan menerus dengan ketebalan dinding yang relatif

    kpnstans misalnya bangunan silo, menara, cerobong, bin dan core

    bangunan. Sedangkan pada sistem autoclimb, sistem ini biasanya

    digunakan untuk pengerjaan elemen struktur gedung bertingkat tinggi,

    misalnya dinding eksterior, dinding interior dan dinding core. Sistem

    autoclimh ini juga dapat digunakan untuk pengerjaan bentuk-bentuk

    struktur yang bervariasi dengan berbagai macam ukuran ketebalan dinding.

    Hal ini disebabkan karena sistem autoclimb dapat dibuka dan ditutup untuk

    setiap tahap pengerjaan sehingga mudah untuk disesuaikan dengan

    perobahan bentuk maupun ukuran ketebalan dinding yang akan dikerjakan

    (L&M, 1997b).

    Sistem autoclimb ini secara teori dapat digunakan pada bangunan

    silo, cerobong, menara maupun bin seperti halnya slipform. Namun dalam

    prakteknya, sistem ini jarang digunakan pada bangunan-banRunan tersebut

    karena baik silo, menara, cerobong dan bin mempunyai bentuk permukaan

    yang tipikal dan menerus dengan ketebalan dinding yang relatif konsran

  • 21

    sehingga tidak perlu dibuka dan ditutup untuk setiap tahap pengeriaan

    (L&M, 1997b). Selanjutnya sistem bekisting otomatisasi yangakan Hibabas

    adalah slipform, dan pembahasan dilakukan pada sub bab selanjutnya.

    2.3.2. Kelebihan dan Kekuranean Bekisting Konvensional

    Menurut Ibbs (1994), waktu penyelesaian suatu proyek konstruksi

    mempunyai pengaruh yang besar bagi total biaya konstruksi secara

    keseluruhan. Biava vane dikeluarkan daiam pelaksanaan suatu proyek

    konstruksi memang besar dan biava tnvestasi tersebut harus dapat segera

    dikembalikan. Penyelesaian proyek yang lebih cepat mengakibatkan

    bangunan dapat segera dioperasikan. Pendapatan dari uang sews ataupun

    dari uang basil penjualan bangunan, dapat segera mengembalikan investasi

    yang ditanam oleh pengembang.

    Usaba untuk mempercepat waktu penyelesaian proyek yang

    menggunakan bekisting konvensional yang cam pengerjaannya masih

    secara manual, sulit dicapai. Selaiu membutuhkan waktu yang relatif lama

    karena bekisting harus dibongkar dan dipasang setiap tahap pengerjaan,

    pemasangan dan pembongkaran bekisting membutuhkan lebih tenaga kerja

    dan material bekistine. Sedangkan kelebihan yang dapat diperoleh dari

    sistem bekisting konvensional adalah tingkat fleksibilitas bekisting vane

    tinggi. Bekisting konvensional dapat dipergunakan untuk berbagai ienis

    dan bentuk struktur yang bervariasi. Hal inilah yang menvebabkan

    bekisting konvensional tetap banyak digunakan sampai saat ini untuk

  • 22

    pengeriaan seluruh elemen stmktur maupun dikombinasi denean bekisting

    modern (Chudley J 974).

    2.4. BEKISTING SL1PFORM SEBAGA1ALTERNAT1F PENGGUNAAN

    BEKISTING OTOMATISASI

    Batterham (1980) mengungkapkan bahwa Carrico merupakan orang

    pertama yang menggunakan sistem bekisting baru yang dapat bergerak, untuk

    membangun suatu konstruksi kecil berbentuk silinder (small concrete shaft) pada

    tahun 1885. Selanjutnya sistem bekisting ini dikenal dengan sistem slipform.

    Sistem slipform yane diperkenalkan oleh Carrico ini, masih sangat sederhana

    karena proses pemasangan, pengangkatan dan pembongkaran bekisting masih

    dilakukan secara manual pada setiap tahap pengeriaan yang membnruhkan tenaga

    kerja yane banyak dan waktu pengerjaan yang lebih lama. Hal inilah yang

    menyebabkan slipform tidak banyak digunakan pada saat itu.

    Slipform mulai mengalami perkembangan sejak tahun 1903, pada saat

    orang Amerika menemukan ide untuk menaikkan bekisting dengan

    menggunakan dongkrak ulir (screw jack). Hal ini merupakan awal dari

    pemakaian konsep slipform yane sesungguhnya. Adanya penemuan ini juga

    menyebabkan pekerjaan pemasangan dan pembongkaran bekisting tidak perlu

    dilakukan untuk setiap lantai kerja, sehingga waktu pengerjaan menjadi lebih

    cepat. Namun karena cara peneoperasian dongkrak ulir masih secara manual

    dengan menggunakan tenaga manusia untuk memutar dongkrak agar bekisting

  • 23

    dapat naik, maka masih terdapat banyak masalah dalam pelaksanaannya

    (Batterham,1980).

    Selanjutnya pemakaian slipform baru banyak digunakan sejak tahun

    1940-an, dimana pada saat itu berhasil dikembangkannya peralatan dongkrak

    hidrolik oleh orang Swedia yang dapat digunakan untuk menaikkan slipform.

    Pada tahun 1960, Jesperson merupakan orang pertama yang berhasil membangun

    sebuah cerobong asap (chimney) dengan menggunakan slipform yang dilengkapi

    oleh dongkrak hidrolik. Diameter cerobong asap yang dibangun oleh Jesperson

    mencapai 4.5m dengan ketinggian 32.4m dan berhasil diselesaikan dalam waklu

    sembilan hari. Keberhasilan pembangunan cerobong asap ini, mendorong orang

    mencoba menggunakan slipform untuk pembangunan bangunan bertingkat tinggi

    tennasuk bangunan dengan bentuk lengkung dan bentuk parabola dengan

    perubahan ketebalan dinding yang relatif konstan (Batterham,1980).

    2.4.1. Struktur Bangunan yang Menggunakan Slipform

    Pada awalnya jenis bangunan yang biasa dikerjakan dengan

    slipform adalah bangunan silo, cerobong, menara dan bin (bak/peti tempat

    penyimpanan bahan makanan, biasanya disebut lumbung). Hal ini

    disebabkan karena bangunan tersebut mempunyai bentuk yang tipikal dan

    menerus dengan ketebalan dinding yang relatif konstan. Keberhasilan

    pembangunan kontruksi bangunan silo, cerobong, menara dan bin tersebut

    kemudian memberi ide pada orang-orang yang bergerak pada bidang

    konstruksi untuk mencoba menggunakan sistem slipform dalam

  • 24

    pembangunan gedung bertingkat tinggi (high rise building) misalnya:

    hotel, bangunan perkantoran dan apartemen. Secara umum semua bagian

    struktur vertikal dari gedung bertingkat tinggi dapat dikerjakan dengan

    slipform seperti dinding luar, dinding. dalam dan dinding core (dinding-

    dinding utama bangunan baik yang memikul beban maupun dinding yang

    merupakan jalur lintasan kritis dimana pekerjaan lain baru dapat dikerjakan

    setelah dinding ini selesai dikerjakan, seperti: dinding lift, dinding geser

    bangunan) (Kong,et al,1983).

    Penggunaan slipform pada dinding luar dan dinding dalam gedung

    bertingkat tinggi dapat dilakukan apabila dinding tersebut mempunyai

    bentuk permukaan yang tipikal dan menerus. Namun dalam pelaksanaan di

    lapangan jarang ada gedung bertingkat tinggi yang dinding luar atau

    dinding dalamnya dikerjakan dengan menggunakan slipform. Hal ini

    disebabkan karena dinding luar dan dinding dalam gedung bertingkat tinggi

    pada umumnya mempunyai bentuk arsitektur yang bervariasi.

    Akan tetapi lain halnya dengan penggunaan slipform pada dinding

    core gedung bertingkat tinggi, dimana dinding core gedung bertingkat

    tinggi mempunyai bentuk yang tipikal serta tebal permukaan yang sama.

    Selain itu dengan penggunaan slipform pada pengerjaan dinding core, maka

    dapat memperlancar proses pekerjaan struktur lainnya karena apabila

    dinding core telah selesai dikerjakan, maka //"// pekerja maupun lift barang

    dapat dipasang sehingga pekerjaan konstruksi bagian atas dapat segera

    dimulai (L&M, 1997a).

  • 25

    2.4.2. Syarat-syarat Penggunaan Sistem Slipform

    Keputusan penggunaan slipform pada bangunan merupakan hasi!

    dari perencanaan berbagai pihak vang lerkait dalam pelaksanaan proyek

    yaitu pemilik, konsultan perencana, konsultan pengawas dan kontraktor.

    Dalam perencanaan ini ada banyak faktor yang harus menjadi bahan

    pertimbangan dalam pengambilan keputusan pemakaian slipform. Faktor-

    faktor tersebut antara lain berkaitan dengan karakteristik bangunan yang

    akan dikerjakan dengan menggunakan slipform yaitu bentuk dan dimensi

    minimum bangunan (L&M, 1997a).

    Bangunan yang akan dikerjakan dengan menggunakan slipform

    harus memenuhi syarat-syarat tersebut, sehingga pemakaian slipform pada

    bangunan menjadi ekonomis. Menurut L&M (1997a), bentuk bangunan

    yang ekonomis bila dikerjakan dengan sistem slipform adalah bangunan

    yang mempunyai bentuk silinder (silo dan menara), bentuk kotak atau

    persegi {bin dan dinding core lift gedung bertingkat tinggi) dan bentuk

    kerucut terpancung (cerobong). Bentuk-bentuk bangunan tersebut dapat

    dilihat pada gambar 2.1.

    Bentuk-bentuk bangunan pada gambar 2.1 sangat sesuai

    dikerjakan dengan slipform karena mempunyai bentuk permukaan yang

    tipikal dan menerus dengan ketebalan dinding yang relatif konstan.

    Sedangkan bentuk bangunan yang lain yang mempunyai bentuk dan

    potongan yang berbeda dari yang diisyaratkan, tetap dapat dikerjakan

  • 26

    dengan slipform. Namun penggunaan slipform meniadi tidak ekonomis,

    karena bekisting harus dipasang dan dibongkar serta dimodifikasi sesuai

    dengan perubahan bentuk pengerjaan.

    1. Silinder II. Kotak/Persegi 111. Kerucut Terpancung

    Pot a-a

    / I

    ! 1 ! . 1/

    i / I 1 ! 1 1 I !

    / ! / \ /

    Pot b-b

    ! 1 ! 1 ! 1

    Pot c-c

    V

    Pot d-d

    ( \ \

    \ i

    \ !

    /

    Gambar2.1. Bentuk-bentuk Bangunan yang Efektif Dikerjakan Dengan Slipform

    Adapun contoh bentuk bangunan yang tidak efektif bila dikerjakan

    dengan slipform dapat dilihat pada gambar 2.2, karena perbedaan diameter

    potongan a-a dan b-b atau c-c dan d-d sangat besar.

    Karakteristik lain yang iuga mempengaruhi penegunaan slipform

    pada suatu konstruksi bangunan adaiah dimensi dari bangunan yang

    meliputi ketinggian bangunan dan ketebalan dinding bangunan. Kedua

  • 27

    syarat dimensi tersebut hams dipenuhi apabila slipform akan digunakan

    pada bangunan, karena apabila tidak dipenuhi maka nilai ekonomis dari

    pemakaian slipform tidak dapat diperoleh. Hal mi akan menvebabkan

    peninekatan biaya konstruksi secara keseluruhan (Blake, 1975).

    k } A \ / / \ \ / „ * / \

    T "—/ " "~7 \ . \ / . / \ M f-° c / \c

    \ / / \ \ ! / ^ - ~ _ \ \ / r i

    Pot b-b ( J

    r ui a-a / \ tui u-u

    V / (' )

    Gambar 2.2 Bentuk Bangunan yang Tidak Efektif Bila Dikerjakan Dengan Slipform

    Menurut Fintel (1974), ketinggian minimum bangunan untuk silo,

    menara, cerobong dan bin adalah 10,5m atau 35ft (kurang lebih tiga lantai).

    Diameter minimum untuk baneunan silo vane dikerjakan di USA adalah

    50-60ft atau sekitar 15-18m (Konpuet al,1983). Sedanekan ketingeian

    minimum bangunan untuk dinding core gedung bertingkat tinggi adalah

    30m atau 98ft (kurane lebih delat»an lantai) (Kone.et aL 1983). Waddell &

  • 28

    Dobrowolski (1993) menjelaskan ketebalan permukaan dinding bangunan

    minimum adalah 7inch atau 17.78cm, apabila syarat ketebalan dinding

    minimum ini tidak dipenuhi maka akan menyebabkan kesulitan dalam

    pelaksanaan pekerjaan pemasangan tulangan sehingga akan menyebabkan

    kesulitan pelaksanaan pekerjaan pengecoran.

    Tabel2.1 Syarat-syarat Minimum Bangunan yang Dikerjakan Dengan Slipform

    DIMENS1 BANGUNAN

    Tinggi bangunan Diameter bangunan

    Tebal dinding Sumber: Fintel (197^

    SILO, CEROBONG, BIN MENARA

    35ft atau 10.5m (±3 lantai) 50-60ftataul5-18m(USA)

    7inch atau 17.78cm

    DINDING CORE GEDUNG BERTINGKAT TINGGI

    98ft atau 30m (±8 lantai) Tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam berbagai pustaka 7 inch atau 17,78cm

    1), Kong, et al (1983), Waddell & Dobrowolski (1993)

    2.4.3. Penerapan Slipform di Indonesia

    Jenis struktur khusus yang paling banyak dikerjakan dengan

    menggunakan slipform adalah silo dan cerobong yang dibangun untuk

    keperluan seperti pabrik semen, pabrik tepung dan pabrik kertas.

    Berdasarkan data dari L&M (1997a), konstruksi silo dan cerobong yang

    berhasil dibangun di Indonesia dengan menggunakan sistem slipform

    mencapai ketinggian 120m yaitu chimney tapper (cerobong yang berbentuk

    lengkung) untuk pabrik kertas Sinar Dunia Makmur di Serang dan Tjiwi

    Kimia di Mojokerto pada tahun 1992 (lampiran A-l & A-2). Diameter

    dalam terbesar yang berhasil dibuat adalah 35m yaitu silo Semen Cibinong

  • 29

    tahun 1991 (lampiran A-3). Konstruksi silo dan cerobong lain terdapat

    di Tanjung Priok untuk Bogasari Flour Mill, di Gresik untuk

    Petrokimia, di Biringkasi untuk Semen Tonasa,

    Kebanyakan gedung bertingkat tinggi yang dibangun dengan

    slipform terdapat di Jakarta seperti menara Pertamina 1973, hotel

    Mandarin 1975, apartemen Menteng 1993 untuk empat buah core lift,

    Jakarta Stock Exchange 1993 untuk dua buah core lift, aparteman Sahid

    Palace 1994 untuk dua buah core lift. Lippo Life Center 1995 untuk

    satu buah core lift (L&M. 1997a). Di Surabaya proyek yang

    meneeunakan slipform adalah hotel Garden 1977 (L&M, 1997a) dan

    menara Masjid Agung Surabaya yang telah selesai dibangun tahun 1997

    (lampiran A-4).

    2.4.4. Komponen-komponen Slipform

    Selanjutnya akan dibahas mengenai komponen-komponen

    yang digunakan untuk mendukung sistem slipform. Menurut Batterham

    (1980), slipform terdiri dari enam komponen utama yang mempunyai

    peranan yang sama pentingnya dalam pengoperasian slipform (sambar

    1.3). Komponen-komponen slipform tersebut adalah panel bekisting

    atau sheathing, water atau rib, yoke, plat lantai kerja atau working

    platform, perancah atau scaffolding dan dongkrak atau lifting jack.

    2.4.4.1.Panel Bekisting (Sheathing). Panel bekisting yang biasa dipakai

    pada pekeriaan slipform terbuat dari plat baja yang mempunyai

    ketebalan 25mm dengan tinggi 4ft atau 1.2m (lampiran A-5). Panel

  • 30

    bekisting ini berfungsi sebagai penahan atau cetakan yang membentuk

    beton sesuai denean yang direncanakan. Dalam proses pemasangan

    bekisting harus diperiksa tingkat kemiringan bekisting agar tidak teriadi

    pergeseran atau puntir dari bangunan yang dikerjakan pada saat

    pengecoran beriangsung (Batterham,1980).

    -REINFORCING BARS

    JACK RO0

    ,CR

  • 31

    Antara bekisting bagian atas dengan bekisting bagian bawah

    terdapat selisih lebar sebesar 6mm, dimana lebar bekisting bagian atas

    lebih kecil 6mm dari lebar bekisting bagian bawah, Selisih lebar

    bekisting ini dikenal dengan nama taper dan berguna untuk

    mempermudah jalannya bekisting pada saat naik. Adanya taper ini

    menyebabkan gesekan yang terjadi antara permukaan bekisting dengan

    permukaan beton pada saat bekisting naik meniadi lebih kecil, sehineca

    bekisting dapat naik dengan lebih mudah (L&M, 1997a).

    2.4.4.2. Waler atau Rib. Waler atau rib adalah pengaku yang dipasang

    pada setiap sisi bekisting. Waler berguna untuk tempat melekatan

    bekisting, mendukung plat lantai kerja bawah dan mendukung perancah

    penggantung (hanging scaffolding) plat lantai kerja bawah. Selain itu

    waler juga berfungsi untuk menyalurkan gaya angkat dari yoke ke

    bekisting (BatterhamJ980).

    Pada bagian bawah waler terdapat tempat kedudukan waler

    yang disebut dengan penyokong waler dengan diameter minimum

    16mm. Selain itu pada waler juga terdapat dua buah pengaku waler

    yaitu pengaku vertikal (vertical waler spacing tubes) dan pengaku

    diagonal (waler bracing tubes) yang dipasang pada keseluruhan

    panjang waler (lampiran A-6) (L&M, 1997a).

    2.4.4.3. Yoke. Yoke sebagai komponen slipform terbuat dari baja dan

    dipasang pada permukaan dinding dalam dan luar. Yoke ini berfungsi

    untuk menyalurkan gaya angkat dari dongkrak ke waler dan untuk

  • 32

    menahan sistem slipform secara keseluruhan dalam satu rangkaian.

    Masine-masing yoke terdiri dari plat kepala yoke., baeian horisontal

    yoke dan baejan kaki yoke (BatterhamJ980Y

    Pada bagian kepala yoke, terdapat baut-baut yang berfungsi

    sebagai pengatur jarak antara yoke baeian dalam dan yoke bagian luar

    sesuai denean ketebalan dindine yane akan dikerjakan. Baeian

    horisontal yoke dieunakan untuk tempat meletakkan donekrak,

    Sedangkan bagian kaki yoke terletak pada ujung bagian horisontal yoke

    dan menempel pada dinding (Lalonde, 1961). Kaki yoke berguna untuk

    menahan bekisting, water dan plat lantai kerja. Selain itu pada kaki

    yoke juea dipasang selang pengatur muka air, vane, akan dihubungkan

    dengan pengatur tinggi muka air pusat (lampiran A-7)

    (Batterham,1980).

    2.4.4.4. Plat Lantai Kerja (Working Platform). Plat lantai kerja yang

    dieunakan pada sistem slipform terdiri dari susunan kayu, papan dan

    triplek dan menjadi satu kesatuan ranekaian denean slipform. Jadi plat

    lantai kerja akan ikut naik bersama-sama dengan slipform pada saat

    proses pengangkatan bekisting. Ada dua macam sistem plat lantai kerja

    yaitu sistem siemcrete one dan sistem siemcrete two (Batterham.1980).

    Sistem siemcrete one merupakan sistem plat lantai kerja yane terdiri

    dari tiga macam plat lantai kerja yaitu plat lantai kerja atas, plat lantai

    kerja tengah dan plat lantai kerja bawah.

    Plat lantai kerja atas direncanakan sebaeai lantai kerja

    (working deck) untuk penyambunean tulanean vertikal dan jack rod

  • 33

    serta sebagai daerah penyimpanan material. Plat lantai kerja tengah

    terletak sejajar dengan permukaan atas bekisting, berguna untuk tempat

    pengecoran dan pemasangan tulangan horisontal. Sedangkan plat lantai

    kerja bagian bawah didukung oleh perancah penggantung, berguna

    untuk tempat melakukan pekeTJaan finishing beton dan blockout (lubang

    yang ada pada dinding bangunan seperti untuk keperluan pembuatan

    jendela, pintu) (Chudley.1976).

    Sedangkan untuk plat lantai kerja dengan sistem siemcrete two,

    merupakan penyederhanaan dari sistem siemcrete one. Pada sistem ini

    terdapat dua plat lantai kerja yaitu plat lantai kerja utama yang berguna

    untuk lantai kerja, pengecoran, pemasangan tulangan dan daerah

    penyimpanan material, serta plat lantai kerja bawah yang berguna untuk

    tempat melakukan pekerjaan finishing. Ruang yang tersedia pada plat

    lantai kerja dengan sistem ini semakin sedikit, sehingga menyebabkan

    berat sistem slipform secara keseluruhan berkurang (Batterham,1980).

    2.4.4.5. Perancah (Scaffolding). Perancah merupakan komponen yang

    digunakan oleh pekerja sebagai tempat pijakan untuk melakukan

    pekerjaan struktur, baik untuk melakukan pekerjaan finishing pada

    permukaan beton maupun pekerjaan pengecoran. Perancah yang dipakai

    pada slipform adalah perancah penggantung (suspended scaffolding

    atau hanging scaffolding). Perancah penggantung ini dirangkai mejadi

    satu kesatuan dengan slipform dan berguna sebagai pendukung plat

    lantai kerja bawah (Peurifoy,1964). Menurut L&M (1997a), perancah

    penggantung atau hanging scaffolding ini, baru dapat dipasang setelah

  • 34

    slipform mencapai ketinggian 3.5m atau kurang lebih satu lantai

    pengerjaan diatas pemiukaan pondasi slipform.

    2.4.4.6. Donekrak (Liftim Jack). Donekrak pada sistem slipform

    dipergunakan untuk mendorong bekisting naik ke atas pada saat beton

    sudah cukup keras. Pada saat bekisting diangkat, berat seluruh sistem

    yang diangkat harus disesuaikan dengan kapasitas angkat dongkrak.

    Kapasitas angkat donekrak tidak boleh dilampaui karena akan

    mengakibatkan timbulnya tegangan yang berlebihan pada donekrak.

    Selain itu hal lain yang juga harus diperhatikan adalah gaya gesekan

    relatif yang diijinkan antara permukaan bekisting dengan permukaan

    beton. Apabila kedua hal ini tidak dipenuhi maka dapat menyebabkan

    gerakan ke atas dari bekisting menjadi tidak seraeam sehingea dapat

    menyebabkan kerusakan struktur yang dikerjakan (Batterham,1980).

    Dongkrak yang dapat digunakan dalam sistem slipform terdiri

    dari tiga macam tipe, yaitu: donekrak ulir (screw jack), donekrak

    hidrolik (hydraulic jack) dan dongkrak tekanan udara (pneumatic jack).

    Namun dongkrak yang banyak digunakan untuk slipform adalah

    dongkrak hidrolik. Dongkrak hidrolik ini dihubungkan dengan pompa

    hidrolik pusat melalui selang-selang hidrolik yang berfunsi untuk

    mengalirkan tekanan hidrolik dari pompa ke donekrak, agar donekrak

    dapat menaikkan slipform (Peurifoy,l%4).

    Pada bagian tengah dongkrak hidrolik juga terdapat jack rod

    yang merupakan jalur naiknva dongkrak. Ukuran jack rod yang

    biasanya digunakan adalah 25-30mm dan terbuat dari baja rinean.

  • 35

    Selanjutnya jack rod ini akan disambung-sambung pada setiap

    ketinggian 2.5-4m sesuai dengan ketinggian bangunan dan tetap berada

    dalam dindinR beton seperti tulangan struktur (lampiran A, 8)

    (ChudleyJ976).

    Selain keenam komponen slipform yang telah dijelaskan

    diatas, terdapat satu komponen tambahan pada slipform khusus pada

    penggunaan slipform pada silo, cerobone dan menara. Komponen

    tambahan pada slipform tersebut adalah spider. Spider pada awalnya

    terbuat dan balok kayu, namun saat ini spider lebih banyak terbuat dan

    balok baia ringan dengan diameter antara 6-30mm. Komponen spider

    ini dikaitkan pada waler atas dindinp; sebelah dalam dan berguna untuk

    memperkaku sistem keseluruhan serta menyalurkan gaya ke plat lantai

    kerja (Batterham,1980).

    2.4.5. Pengoperasian Sistem Slipform

    Proses pengoperasian sistem slipform ini penting, karena

    berhasil atau tidaknya pelaksanaan suatu pekerjaan dengan sistem

    slipform ditentukan oleh kualitas proses ini. Menurut L&M (1997a),

    proses pengoperasian sistem slipform dibagi dalam tiga bagian utama,

    yaitu: proses pendirian slipform, proses pekerjaan beton dan proses

    pembongkaran slipform.

    2.4.5.1. Proses Pendirian Slipform. Ada beberapa svarat yang hams

    dipenuhi dalam proses pendirian slipform. Syarat pertama yang harus

    dinenuhi adalah lokasi pendirian slipform harus dibuat serata mungkin.

  • 36

    dengan torelansi perbedaan tinggi kurang lebih 25mm. Apabila

    pendirian slipform dilakukan pada permukaan yang tidak rata maka

    akan mempengaruhi "vertikalitas" dari slipform yang pada akhirnya

    akan mempengaruhi hasil akhir konstruksi secara keseluruhan.

    Penentuan lokasi dan posisi dinding yang tepat, merupakan syarat

    kedua yang harus dipenuhi sebelum proses pendirian slipform dimulai.

    Hal ini dilakukan dengan memberi tanda pada permukaan pondasi,

    4imana dinding yang akan dikerjakan dengan menggunakan slipform

    akan didirikan (L&M, 1997a).

    Jika kedua syarat diatas telah dipenuhi maka hal selanjutnya

    yang harus dilakukan adalah menempatkan tulangan vertikal (vertical

    bars atau vertikal reinforcement) dan rulangan horisontal (horisontal

    bars atau horisontal reinforcement). Tulangan vertikal ditempatkan

    sepanjang garis batas dinding bangunan yang akan dikerjakan. Jarak

    antara tulangan vertikal dengan permukaan dinding bagian dalam

    adalah 30mm. dim ana jarak ini digunakan untuk keperluan selimut

    beton (concrete cover). Sedangkan tulangan horisontal ditempatkan

    diatas lantai dasar dengan ketinggian rata-rata satu meter (L&M, 1997a).

    Selanjutnya proses pemasangan komponen dapat segera dilakukan,

    seperti yang terlihat pada gambar 2.4.

    Sebelum pemasangan waler dilakukan, balok penyokong waler

    (weld waler supporting bars) dengan diameter minimum 16mm,

    dilas pada tulangan vertikal yang telah dinasang dan dimasukkan

    pada pondasi. Penyokong waler tersebut dipasang dan dilas pada

  • 37

    Balok penyokong waler

    Waler bawah sisi dalam dan waler sudut

    | Pengaku vertikal dan diagonal waler

    P E M A S A N G A N

    Water bawah sisi luar I

    Pengaku vertikal dan diagonal waler \4-

    Yes

    Panel bekisting sudut dalam

    Yoke dalam k -

    Plat kepah dan plat horisontal yoke

    Plat lantai keria

    Panel bekisting dalam

    Blockout

    Panel bekisting luar

    — •

    P E N G E T E S A N

    I Dongkrak hidrolik dan adaptor dongkrak

    - H Selang hidrolik I | Selang pengatur tinggi muka air \-

    Gambar 2.4 Prosedur Pendirian Slipform

    ketinggian minimum 260mm diatas permukaan tertinggi dari lantai

    dasar atau pondasi. Apabila balok penyokong waler telah dipasang

    maka rangka waler bawah sisi dalam dapat didirikan diatasnya.

  • 38

    Kemudian dilakukan periksaan "vertikalitas" waler tersebut terhadap

    Saris batas yang telah dibuat sesuai denean rencana. Kemudian akan

    dipasang waler atas sisi dalam vane, dihubungkan denean waler bawah

    sisi dalam dengan menggunakan pipa pengaku waler (L&M, 1997a).

    Pekerjaan selanjutnya yang dilakukan adalah pemeriksaan

    "vertikalitas" pada waler atas denean waler bawah. Pebedaan

    kemiringan pemasangan waler bagian atas dengan waler bagian bawah

    tidak boleh lebih dari 2mm. Langkah berikutnya yang harus dilakukan

    adalah pemasangan panel belristing sudut dalam (L&M, 1997a).

    Selanjutnya setelah pemasangan yoke dan plat lantai kerja

    selesai,. panel bekisting bagian dalam, blackout dan panel bekisting

    bagian luar dapat dipasang secara berurutan. Panel bekisting dipasang

    pada permukaan waler dengan penjepit panel (clamp panel) dan baut.

    Kemudian sambungan antara panel-panel bekisting tersebut harus

    diperkuat dan dirapatkan agar tidak menvebabkan campuran beton

    keluar pada saat proses pengecoran berlangsung (L&M, 1997a).

    Yoke merupakan penjepit waler yang terdiri dari dua bagian

    yaitu yoke bagian dalam dan yoke bagian luar. Pemasangan yoke

    dimulai dari yoke bagian dalam yang, diikatkan pada waler dengan

    kunci penjepit (locking clamp). Kemudian dilakukan pemeriksaan

    "vertikalitas" semua yoke bagian dalam yang telah dipasang baik

    menggunakan dalam arah vertikal maupun arah horisontal

  • 39

    Setelah pemasangan yoke bagian dalam selesai dilakukan,

    maka akan dipasang plat kepala yoke (head plate) pada bagian atas dan

    bagian horisontal yoke pada bagian bawah. Yoke bagian luar akan

    dipasang setelah pemasangan plat kepala yoke dan bagian horisontal

    yoke selesai dilakukan. (L&M, 1997a).

    Blockout atau insert adalah kerangka untuk lubang pada

    bagian dinding, yang digunakan untuk keperluan sambungan tulangan

    antara dinding dengan balok, kerangka pintu dan kerangka jendela.

    Blockout biasanya terbuat dari kayu yang kaku dan dipasang pada

    bagian bawah dasar plat kepala yoke, sesuai dengan posisi yang

    dituniukkan pada gambar konstruksi. Selain itu ukuran dari blockout

    yang digunakan harus tepat dan sesuai seperti yang dituniukkan dalam

    gambar konstruksi. Lebar seluruh blockout harus 13mm lebih kecil

    daripada tebal dinding yang dikeriakan. Hal ini dimaksudkan untuk

    memudahkan jalannva blockout dari bekisting sclama proses slipfbrm

    berlangsung (L&M, 1997a).

    Dongkrak hidrolik dipasang pada bagian horisontal yoke dan

    dihubungkan dengan adaptor yoke (penuntun jalan naikknya donskrak)

    yang terletak dibawah bagian horisontal yoke, Pada masing-masing

    dongkrak hidrolik, dipasang selang-selang hidrolik (hydraulic hoses)

    dan dihubungkan dengan pompa utama. Sedangkan selang pengatur

    tinggi muka air (water levelling hoses) dipasang setelah pemasangan

    selang hidrolik selesai, Selang-selang pengatur tinggi muka air dipasang

  • 40

    pada setiap yoke vans terletak pada permukaan dinding bagian dalam

    (L&M, 1997a).

    Proses pemasangan komponen-komponen slinform diatas

    dilanjutkan dengan proses pengetesan terhadap kebocoran pada selang

    hidrolik dan selang pengatur tinggi muka air seperti yang terlihat pada

    bagian kedua pada diagram gambar 2.5.3. Pengetesan kebocoran pada

    selang harus dilakukan setelah komponen slipform selesai dipasang,

    Pengetesan pertama yang dilakukan adalah pengetesan pada selang

    hidrolik dengan cara memberi tekanan udara maksimum 2000psi pada

    selang hidrolik secara perlahan-lahan. Apabila terjadi kebocoran maka

    naiknya dongkrak menjadi tidak seragam. Pengetesan berikutnya

    dilakukan pada selang pengatur muka air yaitu dengan cara mengamati

    tinggi muka air pada selang pengatur tinggi muka air, jika tinggi muka

    air pada masing-masing selang tidak sama maka mungkin terjadi

    kebocoran pada selang pengatur tinggi muka air, Pada setiap

    pengetesan, apabila terdapat kebocoran pada selang maka selang harus

    ^egera diganti (L&M, 1997a).

    2.4.5.2. Proses Pekeriaan Beton. Setelah proses pendirian slipform

    selesai, proses selanjutnya yang harus dilakukan adalah proses

    pekeriaan beton. Menurut L&M (1997a) proses pekerjaan beton

    tersebut meliputi proses pengecoran beton, pemeliharaan beton

    (curing), pekerjaan finishing beton, proses pemasangan tulangan dan

    pengontrolan "vertikalitas" bangunan.

  • 41

    Dalam proses pengecoran, campuran beton vans akan

    digunakan hams direncanakan pada tahap awal sesuai dengan kondisi

    bangunan vang akan dikerjakan. Perencanaan campuran beton tersebut

    meliputi perencanaan mutu beton yang digunakan, kelecakan

    (workability), slump dan waktu pengikatan (setting time). Menurut

    Kong,et al (1983), besamya slump yang biasa digunakan adalah 3-5

    inch atau 7,5-12.5cm dengan ukuran agregat maksimum % inch. Proses

    penuangan beton dengan sistem slipform dilakukan secara kontinu

    selama 24 jam per hari. Tinggi bangunan yang dapat dihasilkan dalam

    satu hari proses penuangan adalah 4-6m (Slipforming around the

    world. 1996), Untuk mencegah teriadinva perbedaan waktu pengikatan

    pada beton maka proses penuangan dilakukan per lapisan, dengan

    ketinggtan tiap lapisan kurang lebih 200mm atau 20cm. Segera setelah

    beton dituangkan, proses penggetaraan campuran beton dapat dimulai

    dengan menggunakan vibrator yang dimasukkan pada campuran beton

    yang baru dituang. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya

    pemisahan (segregation) pada campuran beton. serta agar didapatkan

    sambungan yang baik antar beton (L&M, 1997a).

    Apabila lapisan beton vang pertama telah selesai dituang pada

    keseluruhan luasan atau keliling bangunan, maka lapisan beton yang

    berikutnya dapat dituang demikian juga untuk seterusnva. Jika lapisan

    beton yang pertama dituang sudah mencapai waktu pengikatan (setting

    lime\ maka slipform dapat dinaikan dengan menggunakan dongkrak.

  • 42

    Kecepatan naik slipform berkisar antara 2-12 inch/jam atau 50-

    300mm/jam. (Fintel,1974).

    Mengingat besarnya nengaruh waktu pengikatan beton pada

    kecepatan naiknya slipform, maka waktu pengikatan beton harus benar-

    benar direncanakan dengan tepat. Dalam pelaksanaan di lapangan,

    mungkin dapat dipergunakan bahan aditif untuk mempercepat atau

    memperlambat waktu pengikatan beton, Adanya nemakaian bahan

    aditif tersebut dapat menyebabkan pergerakan slipform tetap seragam.

    walaupun ada variasi perubahan kelembaban maupun temperatur udara.

    Akan tetapi pemakaian bahan aditif yang mengandung zat klorida harus

    dihindari, karena dapat menimbulkan karat dan keropos pada tulangan

    struktur sehingga kekuatan dari tulangan menjadi berkurang (Kong,et

    al,1983).

    Proses pemeliharaan beton dilakukan pada saat beton masih

    dalam keadaan muda, karena permukaan beton yang telah selesai

    dikerjakan akan diekspos hanya dalam waktu kurang lebih 3 jam setelah

    lapisan beton pertama dituang. Hal ini sangat cepat iika dibandingkan

    dengan metode bekisting konvensional. Proses pemeliharaan dilakukan

    pada kedua sisi dindino yang telah selesai dikerjakan dan dimaksudkan

    untuk menghindari susut dan retak yang mungkin terjadi karena

    perubahan temperatur yang tinggi (Batterham.1980).

    Tuiuan dilakukannya pekerjaan finishing pada permukaan

    beton adaiah untuk mendapatkan permukaan beton yang baik dan sesuai

    dengan yang direncanakan. Ada dua metode finishins yang dapat

  • 43

    digunakan pada slivform yaitu: pekerjaan finishing yang dilakukan pada

    saat pekerjaan struktur baneunan sudah selesai seluruhnya dan

    pekerjaan finishing yang dilakukan secara bertahap menejkuti naiknya

    slipform (WaddelU974).

    Dalam pelaksanaan di lapangan, metode finishing yang banyak

    digunakan pada pekerjaan slipform adalah metode finishing yang

    dilakukan secara bertahap karena akan menpjiasilkan suatu pekeriaan

    finishing lebih cepat dan lebih efisien. Hal ini disebabkan karena

    pekerjaan finishing dapat dilakukan bersamaan dengan pekerjaan

    slipform., sehingga pada saat pekerjaan slipform selesai pekerjaan

    finishing juea akan selesai dalam senpeane. waktu yang tidak terlalu

    lama. Selain itu adanya pemakaian perancah penggantung juga akan

    mengurangi pemakaian perancah standar. sehingga dapat menghemat

    biaya konstruksi secara keseluruhan (L&M, 1997a).

    Proses nemasanean tulanean vertikal dan horizontal, dilakukan

    bersamaan dengan proses pengecoran, proses curing dan proses

    finishing. Tulangan vertikal berguna untuk memperkaku dinding pada

    keseluruhan tinggi bangunan dan disambung setiap panjang enam

    meter. Namun proses penyambunpan tulanean vertikal tidak dilakukan

    secara bersamaan pada keseluruhan keliling bangunan, biasanya dibagi

    dalam dua atau tiga bagian. Jadi terdapat jadwal untuk penyambungan

    tulanean vertikal pada setiap setengah atau sepertiea keliling bangunan,

    misalnya: pada hari pertama dilakukan penyambunpan untuk tulanean

    vertikal pada setengah atau sepertiga bagian pertama dari keliling

  • 44

    bangunan, kemudian hari berikutnya dilakukan penyambungan untuk

    setengah atau sepertiga bagian kedua dari keliling bangunan dan

    demikian selerusnya. Sedangkan untuk tulangan horisontal,

    pemasangan tulangan horisontal akan dilakukan setiap jarak yang telah

    direncanakan dan pemasangan tulangan horisontal dilakukan dibavvah

    bagian horisontal yoke (L&M, 1997a).

    Untuk proses pengontrolan "vertikalitas" bangunan, akan

    dilakukan sebelum dan selama proses pengecoran beton berlangsung.

    Alat yang digunakan untuk mengontrol "vertikalitas" bangunan ini

    adalah plwnb winch (lampiran A.9). Plumb winch merupakan salah satu

    komponen yang ada dalam rangkaian sistem slipform dan menjadi satu

    kesatuan dengan rangkaian slipform. Alat ini dipasang pada water

    bagian bawah di permukaan dinding sebelah dalam dan dipasang pada

    empat titik acuan yang berbeda pada keseluruhan keliling dinding

    bangunan yang akan dikerjakan (L&M, 1997a).

    2.4.5.3. Proses Pembongkaran Slipform. Sebelum proses pembongkaran

    dimulai, ada beberapa hal yang harus dilakukan terlebih dahulu pada

    rangkaian sistem slipform. 1-Ial yang dilakukan adalah penghentian

    pengoperasian dongkrak pada ketinggian yang telah ditentukan sesuai

    dengan tanda yang diberikan pada tulangan vertikal. Selanjutnya setelah

    beton cukup keras, slipform akan dinaikkan perlahan-lahan (jack off)

    sampai jarak antara permukaan beton tertinggi dengan bagian bawah

    bekisting kurang iebih 150mm atau 15cm. Apabila slipform sudah

    dinaikkan, sisa-sisa material yang tertinggal pada plat lantai kerjajuga

  • 45

    harus dibersihkan. Kemudian barulah pekeriaan pembongkaran slipform

    dapat dilakukan (L&M, 1997a).

    Prosedur pembongkaran slipform dimulai dan pelepasan

    selang hidrolik, selang pengatur tinggi muka air, pompa utama dan

    pengatur muka air pusat. Komponen-komponen tersebut kemudian

    dikemas dan dikerek ke lantai dasar denean menggunakan tower crane.

    Setelah semua selesai barulah dilakukan pembongkaran kavu-kayu

    pendukung plat lantai kerja. Kayu-kayu tersebut juga dikerek ke bawah

    dengan menggunakan tower crane. Selanjutnya pembongkaran

    dilakukan setiap bagian dari waler, sambungan antar waler dilepas

    kemudian waler beserta voice dan perancah penggantung vang melekat

    pada waler diturunkan ke bawah dengan menggunakan tower crane.

    Apabila semua bagian waler telah diturunkan, barulah dilakukan

    pelepasan komponen-komponen vang melekat pada waler di lantai

    dasar (L&MJ 997a),

    UK Petra Logo: Master Index: Help: Back to TOC: