bab ii landasan teori - dewey.petra.ac.id · silo. selanjutnya juga akan dibahas secara singkat...
TRANSCRIPT
-
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam bab dua ini akan dijelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan
proses penganibilan suatu keputusan dari beberapa alternatif yang ada. Pembahasan
ini dilakukan sebagai acuan dalam melakukan penelitian untuk mengambil keputusan
mengenai pemakaian melode bekisting yang efektif untuk digunakan pada bangunan
silo. Selanjutnya juga akan dibahas secara singkat mengenai maksud dan tujuan
dilakukannya estimasi dalam suatu konstruksi bangunan serta penjelasan beberapa
metode bekisting yang dapat digunakan dalam pengerjaan konstruksi bangunan silo.
2.1. PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN
2.1.1. Pengertian Penganibilan Keputusan
Pengambilan keputusan merupakan suatu pemilihan secara sadar
atas serangkaian kegiatan dari sejumlah alternatif yang tersedia untuk
mengeluarkan hasil yang diharapkan. Tindakan penganibilan keputusan ini
setiap saat dilakukan oieh manusia dalam kaitannya dengan berbagai
aktivitas atau kegiatan yang dijalaninya sehari-hari, baik keputusan yang
mempunyai pengaruh jangka panjang atau keputusan yang rutin dilakukan.
Dalam proses pengambilan keputusan yang mempunyai pengaruh jangka
panjang, membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan energi yang
http:www.petra.ac.idhttp://dewey.petra.ac.id/dgt_directory.php?display=classificationhttp://digilib.petra.ac.id/help.htlm
-
8
dikeluarkan untuk pengambilan keputusan yang rutin (Nugraha,1990).
Proses pengambilan keputusan dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu pengambilan keputusan yang hanya terkait dengan
kepentingan perorangan dan keputusan yang berhubungan dengan
kepentingan orang lain. Pengambilan keputusan yang terkait dengan
kepentingan perorangan tidak akan memberi konsekuensi apapun karena
keputusan tersebut tidak perlu di pertanggungjawabkan kepada orang lain.
Hal ini disebabkan karena dalam pengambilan keputusan tersebut
seseorang tidak perlu menguraikan kepada orang lain mengenai sasaran
atau tujuan yang ingin dicapai melalui pengambilan keputusan tersebut
(Mangkusubroto & Trisnadi,1983).
Sedangkan untuk proses pengambilan keputusan yang kedua yang
berhubungan atau terkait dengan kepentingan orang lain, proses
pengambilan keputusan hams dilakukan melalui suatu pendekatan
formalistik. Pendekatan formalistik pada dasarnya merupakan proses
mengungkapkan suatu keputusan, di mana keputusan yang dibuat hams
diungkapkan kepada pihak-pihak yang terkait agar pihak-pihak tersebut
mempunyai keyakinan tentang keputusan tersebut. Pendekatan formalistik
ini hams mempunyai sistematika yang jelas, masuk akalm sesuai dengan
prosedur yang ada dan pada akhimya akan dicapai suatu kesimpulan
(Mangkusubroto & Trisnadi,1983).
-
9
2.1.2. Linckup Keputusan
Dalam mengkaji masalah pengambilan keputusan secara
sistematik, maka ada empat hal yang harus diperhatikan dengan baik
karena akan mempengaruhi keputusan yang diambil. Keempat hal tersebut
adalah keadaan lingkungan, kemampuan, intuisi serta penilaian suatu
keputusan (Mangkusubroto & Trisnadi',1983).
2.1.2.1. Keadaan Lingkungan. Keadaan lingkungan yang tidak menentu
akan sangat menyulitkan dalam pengambilan keputusan karena kita tidak
dapat menhetahui dengan pasti apa yang akan terjadi selanjutnya. Hal
kedua yang juga mempengaruhi proses pengambilan keputusan adalah
keadaan lingkungan yang kompleks, di mana terdapat banyak hal yang
saling berinteraksi dan disertai dengan keadaan lingkungan yang dinamis
dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Selain itu proses pengambilan
keputusan juga dipengaruhi oleh tingkat persaingan yang ada dalam
lingkungan kehidupan manusia akibat keterbatasan sumber-sumber yang
tersedia.
2.1.2.2. Kemampuan. Ada tiga hal yang diniiliki oleh manusia yang dapat
membantu proses pengambilan keputusan yang dilakukan. Hal yang
pertama adalah manusia mempunyai kecerdasan untuk dapat memahami
dan menyusun berbagai tindakan untuk mengambil keputusan. Hal yang
kedua adalah bahwa manusia mempunyai persepsi untuk dapat melihat
-
10
keadaan yang sudah terjadi maupun keadaan sekarang, sehingga manusia
dapat membuat suatu pemlaian untuk pengambilan keputusan. Hal terakhir
adalah yang berkaitan dengan falsafah, di mana manusia mempunyai
pandangan dan prinsip-prinsip hidup yang dapat dipergunakan sebagai alat
untuk mengambil keputusan.
2.1.2.3. Intuisi. Intuisi merupakan proses pengambilan keputusan yang
lebih berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang ada pada diri
kita, di mana pengambilan keputusan dilakukan tanpa melalui suatu
evaluasi. Keputusan yang diambil tersebut tidak dapat dianalisa sehingga
tidak dapat dipastikan bahwa keputusan yang diambil sudah benar.
2.1.2.4. Keputusan dan Hasil. Konsep pemikiran yang ada biasanya
mempunyai kecenderungan untuk menilai suatu keputusan berdasarkan
hasil yang diperoleh. Apabila hasil yang diperoleh bagus, maka dianggap
keputusan yang diambil adalah baik. Namun secara logis, proses penilaian
keputusan yang dilakukan berdasarkan pada hasil adalah tidak benar. Oleh
karena itulah maka telah dikembangkan suatu sistematika baru dalam
proses pengambilan keputusan yang dikenal dengan istilah analisa
keputusan.
2.1.3. Tahapan Pengambilan Keputusan
Dalam suatu proses pengambilan keputusan, ada beberapa tahapan
yang harus diikuti secara sistematis agar keputusan yang diambil adalah
-
1!
merupakan keputusan yang terbaik dari beberapa allernatif yang ada.
Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut (Dilworth,1996):
2.1.3.1. Mengenali Situasi. Dalam tahap ini, seseorang hams dengan cepat
mengetahui adanya masalah yang timbul dan memerlukan suatu tindakan
penanganan yang cepat. Pada tahap ini, seseorang diberi keserapatan untuk
mengubah keadaan yang ada menuju suatu keadaan yang bam dengan
sasaran yang baru pula.
2.1.3.2. Menaidentifikasi Masalah. Pada tahap ini, seseorang harus
mengetahui dengan jelas masalah yang dihadapinya. Hal ini penting karena
apabila seseorang tidak mengetahui dengan pasti masalah yang sedang
dihadapinya, kriteria-kriteria yang akan dipakai sebagai dasar pengambilan
keputusan juga tidak dapat ditetapkan dengan tepat. Dalam suatu proses
pengambilan keputusan, keputusan yang dibuat sangat tergantung dari
kriteria-kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Apabila kriteria yang
ditetapkan tidak sesuai dengan permasalahan yang ada, maka tujuan yang
dicapai juga berbeda dari tujuan yang semestinya.
2.1.3.3. Mencari Alternatif-alternatit' Pendukung. Alternatif-alternatit'
pendukung suatu proses pengambilan keputusan tidak dapat ditelusuri
secara keseluruhan karena adanya keterbatasan waktu dan biaya. Dalam
rangka proses pengambilan suatu keputusan, seseorang hanya akan
menelusuri beberapa alternatif yang dianggap paling memungkinkan untuk
-
12
digunakan dalam meuyelesaikan masalah yang dihadapiuya. Pada kondisi
seperti itu, pikiran atau pemaharaan yang kreatif dari orang yang membuat
keputusan sangatlah membantu dalam proses pengambilan keputusan
tersebut.
2.1.3.4. Meneanalisa Altematif-alternatif. Dalam tahap keempat ini, hal
yang haras dilakukan oleh seorang pengambil keputusan adalah
menganalisa alternati-altematif yang ada. Analisa dilakukan dengan
membandingkan konsekuensi-konsekuensi yang akan timbul dari masing-
masine altematif vans ada. Apabila dalam tahap analisa ini terdapat dua
altematif yang mempunyai konsekuensi vane hampir sama, maka
pemilihan suatu altematif akan memerlukan waktu yang lama. Dalam
keadaan yang demikian maka infonnasi-infonnasi lain yang berupa data
pendukune masina-masine altematif akan saneat membantu dalam proses
pemilihan altematif yang akan digunakan.
2.1.3.5. Memilih Altematif. Pemilihan altematif yang terbaik didasarkan
pada pemahaman bahwa altematif tersebut merupakan altematif yang
paling memungkinkan untuk mencapai sasaran atau tujuan yang ingin
dicapai. Selain itu ada juga orang yang mendasari pemilihan altematif yang
terbaik dengan pertimbangan bahwa altematif yang terbaik adalah altematif
yang mempunyai pengeluaran biaya dan waktu yang minimum, Dalam
keadaan tertentu dapat terjadi bahwa altematif yang ada tidak memenuhi
kriteria-kriteria yang ditetapkan sehingga pemilihan altematif kemudian
-
13
didasarkan pada penilaian seberapa besaT kemungkinan altematif vane
dipilih dapat membantu mencapai sasaran atau tujuan yang diinginkan.
2.1.4. Langkah-langkah Dalam Analisa Pengambilan Keputusan
Analisa pengambilan keputusan merunakan suatu prosedur untuk
menganalisa suatu persoalan keputusan. Prosedur ini memuat langkah-
langkah penting yang harus dilakukan dalam suatu proses pengambilan
keputusan, agar hasil yang diperoleh dapat diyakini kebenarannya. Dalam
prosedur ini, variabel-variabel sistem yang dapat mempengaruhi hasil dari
keputusan yang dibuat, harus ditentukan terlebih dahulu.
Variabel-variabel sistem tersebut terdiri dari dua yaitu variabel
keputusan yang berada dalam pengendalian pengambil keputusan, serta
variabel status yang berada di luar kemampuan pengendalian pengambil
keputusan. Variabel status ini merupakan variabel yang ditentukan oleh
lingkungan. Variabel-variabel tersebut harus dijelaskan pengertiannya dan
dilihat hubungan antara variabel yang satu dengan yang lain. Selaniutnva
variabel-variabel tersebut diberi nilai atau bobot dengan mengukur tingkat
kepentingan antara variabel yang satu dengan variabel lainnya. Selain itu
juga dilakukan penetapan nilai besarnya ketidakpastian yang melingkupi
variabel-variabel yang ada. Penetapan nilai ketidakpastian pada tahap ini
juga harus memperhitungkan faktor resiko yang ada Hal terakhir yang
dilakukan dalam analisa keputusan adalah melakukan peninjauan hasil
yang diperoleh dari dua langkah sebelumnya. Peninjauan ini berguna untuk
-
14
mendapatkan nilai penRukuTan yanR lebih teliti, Infbrrnasi atau variabel
tambahan lainnya mungkin diperlukan untuk mengurangi tingkat
ketidakpastian hasil pengukuran yang diperoleh (Mangkusubroto &
Trisnadi,1983).
2.2. TAHAPAN-TAHAPAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN
METODE BEKISTING PADA BANGUNAN SILO
2.2.1. Meneenali Situasi T
Bangunan silo mempunyai karakteristik bentuk permukaan yang
tipikal dan menerus dengan ketebalan dinding yang relatif konstan.
Karakteristik lain vans iuga biasanya terdapat pada bangunan silo adalah
ketinRRian struktur vanR cukup besaT denRan tipe penRerjaan vane berulanR
pada setiap tahapnya.
2.2.2. Mengjdentifikasi Masalah
DenRan karakteristik bentuk banRunan variR tipikal dan menerus
dengan ketebalan dinding yang relatif konstan serta ketinggian bangunan
yang besar dengan tipe pengerjaan yang berulang, metode bekisting apa
yang efektif untuk disunakan dalam penaerjaan suatu banaunan silo?
-
15
2.2.3. Mencari Alternatif-alternatif Pendukung
Ada beberapa aiternatif metode bekisting yang dapat digunakan
untuk pengerjaan dinding silo. Metode bekisting yang pertama adalah
metode konvensional. Sedangkan metode bekisting yang kedua adalah
metode bekisting otomatisasi yaitu slipform dan autoclimb. Namun metode
bekisting autoclimb tidak efektif untuk dijadikan suatu aiternatif dalam
pengerjaan bangunan silo karena metode autoclimb yang juga merupakan
sistem bekisting otomatisasi seperti halnya slipform, harus dibuka dan
ditutup pada setiap tahap pengerjaan. Hal ini tidak sesuai dengan
karakteristik bentuk bangunan silo yang mempunyai bentuk permukaan
yang tipikal dan menerus dengan ketebalan dinding yang relatif konstan.
2.2.4. Menganalisa Alternatif-alternatif
Alternatif-alternatif metode bekisting yang dapat digunakan pada
bangunan silo yaitu metode bekisting konvensional dan slipform akan
dianalisa, untuk menentukan metode bekisting apa yang efektif untuk
digunakan. Penjelasan mengenai analisa yang dapat digunakan dalam
niembuat suatu keputusan mengenai pemakaian bekisting yang efektif pada
silo, akan dilakukan pada bab tiga.
2.2.5. Memilih Aiternatif
Dan" hasil analisa yang dilakukan pada tahap keempat, akan
-
diambil keputusan pemilihan satu altematif metode bekisting yang akan
digunakan pada bangunan silo. Metode yang dipilih merupakan metode
yang paling efektif untuk digunakan dan merupakan altematif yang terbaik.
Selain dengan melakukan suatu analisa, pengambilan keputusan
mengenai metode bekisting vans akan digunakan pada bangunan silo, juga
dapat dilakukan dengan membuat suatu perhitungan estimasi biaya.
Perhitungan estimasi biaya ini merupakan suatu pendekatan yang dilakukan
dalam menaksir biaya proyek yang sesungeuhnya, di mana perhitungan
dilakukan untuk masing-masing altematif metode bekisting yang ada, Dari
hasil perhitungan, akan diketahui metode bekisting yang efektif untuk
digunakan pada bangunan silo. Perhitungan estimasi biaya ini dilakukan
dengan membuat perhitungan biaya material, peralatan konstruksi, tenaga
kena, biaya overhead dan keuntungan vans diperoleh dari pekeriaan
tersebut (Peurifoy, 1975).
2.3. PERKEMBANGAN MATERIAL BEKISTING
Formwork atau bekisting adalah cetakan sementara yang digunakan
untuk menahan beton selama beton dituang dan dibentuk sesuai dengan bentuk
dan kekuatan yang diinginkan (Stephens,1 985). Sebagai cetakan sementara,
bekisting akan dilepas apabila beton yang dituang telah mencapai kekuatan yang
cukup. Menurut Blake (1975), ada beberapa aspek yang hams diperhatikan pada
pemakaian bekisting dalam suatu pekeriaan konstruksi.
-
17
Aspek yang pertama adalab kualitas bekisting yang akan digunakan
hams tepat dan layak, sesuai dengan bentuk pekerjaan struktur yang akan
dikerjakan. Permukaan bekisting yang akan digunakan hams halus, sehingga
permukaan beton yang dihasilkan juga baik. Aspek yang kedua adalah keamanan
bagi pekerja yang bekeria pada proyek konstraksi, di mana bekisting hams cukup
kuat untuk menahan beton agar beton tidak runtuh dan mendatangkan bahaya
bagi pekerja. Sedangkan aspek yang ketiga adalah biaya pemakaian bekisting
yang hams direncanakan seekonomis mungkin.
lllingworth (1972) menyatakan ada beberapa bal yang bams
direncanakan agar pemakaian bekisting ekonomis. Hal pertama yang hams
direncanakan berkaitan dengan disain dari bekisting, di mana bekisting yang
digunakan hams kuat dan kaku tanpa perlemahan pada sambungan atau bagian
lainnya. Selain itu bekisting ruga haras dapat dipakai beralang-ulang sehingga
dapat menyebabkan berkurangnya biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan
material dan pembuatan bekisting. Tingkat pemakaian beralang bekisting ini
tergantung pada material bekisting yang digunakan. Ketahanan bekisting yang
terbuat dari material kayu dalam pemakaian bemlang adalah kurang lebih
setengah kali ketahanan pemakaian bemlang bekisting yang terbuat dari material
baja (Chudley, 1974).
Pemilihan material bekisting yang baik juga akan mempengaruhi hasil
akhir permukaan beton yang dikeriakan. Apabila kita menggunakan material baja
atau fiberglass, hasil akhir yang diperoleh jauh lebih baik daripada jika dipakai
material kayu. Hal ini pada akhirnya akan mempengaruhi pekerjaan finishing.
-
18
Semakin baik permukaan beton yang dihasilkan, semakin sedikit iumlah atau
luasan permukaan beton yang harus di-finishing (Blake,! 975).
Pada awalnya bekisting yang dipakai dalam pekerjaan konstruksi
biasanya terbuat dari kayu dengan kadar kelembaban antara lima belas sampai
dua puluh persen. Bekisting dengan material kayu ini biasanya dikenal denean
nama bekisting konvensional dan dapat dipakai hampir pada semua jenis elemen
struktur bangunan misalnya kolom, balok, plat lantai dan dinding (Hurst,1983).
Hasil akhir permukaan beton yang diperoleh tidak terlalu baik, namun bekisting
konvensional ini mempunyai tingkat fleksibilrtas pemakaian yang tinggi, Tingkat
fleksibilitas pemakaian bekisting konvensional dikatakan tinggi, karena bekisting
konvensional ini dapat dibuat dan dipakai untuk struktur bangunan dengan
bentuk yang bervariasi. Hal ini disebabkan karena dalam pengerjaannya,
bekisting konvensional dapat dibongkar dan dipasang pada setiap tahap
pengerjaan sehingga mudah untuk disesuaikan dengan bentuk yang akan
dikerjakan. Material bekisting baru yang selanjutnya digunakan untuk pembuatan
bekisting adalah baja dan fiberglass (Chudley.1974).
Menurut Fintel (1974), bekisting yang terbuat dari baia merupakan
bekisting yang paling ekonomis. Bekisting baja mempunyai ketahanan
pemakaian berulang sebanyak empat puluh kali atau empat kali lebih tahan
dibandingkan bekisting kayu atau plywood. Selain itu bekisting baia mempunyai
kelebiban lain dalam hal hasil akhir permukaan beton yang lebih baik iika
dibandingkan dengan bekisting kayu atau plywood.
Pemakaian bekisting fiberglass akan mengahasilkan permukaan yang
-
19
Iebih baik serta Iebih fieksibel neinakaiannva dibandingkan dengan bekisting
baja. Namun bekisting yang teibuat dari fiberglass ini jarang digunakan karena
biaya pembuatannya Iebih mahal satu setengah kali dibandingkan bekisting baja.
2.3.1. Seiarah Perkembangan Bekisting Konvensional Sampai Otomafisasi
Selain dari segi material, bekisting juga mengalami perkembangan
dari segi metode pengerjaan. Pada mulanya, sistem bekisting yang
digunakan adalah bekisting konvensional, di rnana komponen-komponen
bekisting dirangkai dalam satu kesatuan yang utuh dan telah dibentuk
sesuai dengan jenis dan ukuran struktur yang akan dikerjakan. Pembuatan
rangkaian bekisting tersebut dilakukan di lokasi proyek, di mana bekisting
harus dipasang dan dibongkar pada setiap tahap pengerjaan serta dinaikkan
dengan menggunakan tenaga manusia atau dengan bantuan lower crane
(Chudley,1974).
Hal ini berbeda dengan perkembangan bekisting yang Iebih
modern yang menggunakan sistem bekisting otomatisasi. Bekisting pada
sistem ini danat naik secara otomatis dengan menggunakan dongkrak. Jadi
setiap selesai pengerjaan suatu bagian atau tahap dari struktur, bekisting
akan naik sesuai dengan jalur yang telah ditetapkan. Bekisting otomatisasi
tersebut terdiri dari bekisting slipform dan autoclimb (L&M, 1997a).
Secara garis besar cara kerja sistem slipform sama dengan sistem
autoclimb. Perbedaan terdapat pada komponen-komponen pendukung
kedua sistem serta cara pemasangan bekisting. Bekisting pada sistem
-
20
slipform hanya dipasang pada tahap awal dan selanjutnya akan naik secara
otomatis dengan bantuan dongkrak. Sedangkan pada sistem autoclimh,
bekisting yang telah dipasang pada tahap awal akan dibuka dan ditutup
setiap tahap pengerjaan, sesuai dengan bentuk dan ukuran ketebalan
dinding yang akan dikerjakan (1 .&MJ 997b),
Oleh karena cara pengerjaan yang kontinu, maka sistem slipfnrm
ini cocok digunakan untuk pengerjaan struktur yang mempunyai bentuk
permukaan yang tipikal dan menerus dengan ketebalan dinding yang relatif
kpnstans misalnya bangunan silo, menara, cerobong, bin dan core
bangunan. Sedangkan pada sistem autoclimb, sistem ini biasanya
digunakan untuk pengerjaan elemen struktur gedung bertingkat tinggi,
misalnya dinding eksterior, dinding interior dan dinding core. Sistem
autoclimh ini juga dapat digunakan untuk pengerjaan bentuk-bentuk
struktur yang bervariasi dengan berbagai macam ukuran ketebalan dinding.
Hal ini disebabkan karena sistem autoclimb dapat dibuka dan ditutup untuk
setiap tahap pengerjaan sehingga mudah untuk disesuaikan dengan
perobahan bentuk maupun ukuran ketebalan dinding yang akan dikerjakan
(L&M, 1997b).
Sistem autoclimb ini secara teori dapat digunakan pada bangunan
silo, cerobong, menara maupun bin seperti halnya slipform. Namun dalam
prakteknya, sistem ini jarang digunakan pada bangunan-banRunan tersebut
karena baik silo, menara, cerobong dan bin mempunyai bentuk permukaan
yang tipikal dan menerus dengan ketebalan dinding yang relatif konsran
-
21
sehingga tidak perlu dibuka dan ditutup untuk setiap tahap pengeriaan
(L&M, 1997b). Selanjutnya sistem bekisting otomatisasi yangakan Hibabas
adalah slipform, dan pembahasan dilakukan pada sub bab selanjutnya.
2.3.2. Kelebihan dan Kekuranean Bekisting Konvensional
Menurut Ibbs (1994), waktu penyelesaian suatu proyek konstruksi
mempunyai pengaruh yang besar bagi total biaya konstruksi secara
keseluruhan. Biava vane dikeluarkan daiam pelaksanaan suatu proyek
konstruksi memang besar dan biava tnvestasi tersebut harus dapat segera
dikembalikan. Penyelesaian proyek yang lebih cepat mengakibatkan
bangunan dapat segera dioperasikan. Pendapatan dari uang sews ataupun
dari uang basil penjualan bangunan, dapat segera mengembalikan investasi
yang ditanam oleh pengembang.
Usaba untuk mempercepat waktu penyelesaian proyek yang
menggunakan bekisting konvensional yang cam pengerjaannya masih
secara manual, sulit dicapai. Selaiu membutuhkan waktu yang relatif lama
karena bekisting harus dibongkar dan dipasang setiap tahap pengerjaan,
pemasangan dan pembongkaran bekisting membutuhkan lebih tenaga kerja
dan material bekistine. Sedangkan kelebihan yang dapat diperoleh dari
sistem bekisting konvensional adalah tingkat fleksibilitas bekisting vane
tinggi. Bekisting konvensional dapat dipergunakan untuk berbagai ienis
dan bentuk struktur yang bervariasi. Hal inilah yang menvebabkan
bekisting konvensional tetap banyak digunakan sampai saat ini untuk
-
22
pengeriaan seluruh elemen stmktur maupun dikombinasi denean bekisting
modern (Chudley J 974).
2.4. BEKISTING SL1PFORM SEBAGA1ALTERNAT1F PENGGUNAAN
BEKISTING OTOMATISASI
Batterham (1980) mengungkapkan bahwa Carrico merupakan orang
pertama yang menggunakan sistem bekisting baru yang dapat bergerak, untuk
membangun suatu konstruksi kecil berbentuk silinder (small concrete shaft) pada
tahun 1885. Selanjutnya sistem bekisting ini dikenal dengan sistem slipform.
Sistem slipform yane diperkenalkan oleh Carrico ini, masih sangat sederhana
karena proses pemasangan, pengangkatan dan pembongkaran bekisting masih
dilakukan secara manual pada setiap tahap pengeriaan yang membnruhkan tenaga
kerja yane banyak dan waktu pengerjaan yang lebih lama. Hal inilah yang
menyebabkan slipform tidak banyak digunakan pada saat itu.
Slipform mulai mengalami perkembangan sejak tahun 1903, pada saat
orang Amerika menemukan ide untuk menaikkan bekisting dengan
menggunakan dongkrak ulir (screw jack). Hal ini merupakan awal dari
pemakaian konsep slipform yane sesungguhnya. Adanya penemuan ini juga
menyebabkan pekerjaan pemasangan dan pembongkaran bekisting tidak perlu
dilakukan untuk setiap lantai kerja, sehingga waktu pengerjaan menjadi lebih
cepat. Namun karena cara peneoperasian dongkrak ulir masih secara manual
dengan menggunakan tenaga manusia untuk memutar dongkrak agar bekisting
-
23
dapat naik, maka masih terdapat banyak masalah dalam pelaksanaannya
(Batterham,1980).
Selanjutnya pemakaian slipform baru banyak digunakan sejak tahun
1940-an, dimana pada saat itu berhasil dikembangkannya peralatan dongkrak
hidrolik oleh orang Swedia yang dapat digunakan untuk menaikkan slipform.
Pada tahun 1960, Jesperson merupakan orang pertama yang berhasil membangun
sebuah cerobong asap (chimney) dengan menggunakan slipform yang dilengkapi
oleh dongkrak hidrolik. Diameter cerobong asap yang dibangun oleh Jesperson
mencapai 4.5m dengan ketinggian 32.4m dan berhasil diselesaikan dalam waklu
sembilan hari. Keberhasilan pembangunan cerobong asap ini, mendorong orang
mencoba menggunakan slipform untuk pembangunan bangunan bertingkat tinggi
tennasuk bangunan dengan bentuk lengkung dan bentuk parabola dengan
perubahan ketebalan dinding yang relatif konstan (Batterham,1980).
2.4.1. Struktur Bangunan yang Menggunakan Slipform
Pada awalnya jenis bangunan yang biasa dikerjakan dengan
slipform adalah bangunan silo, cerobong, menara dan bin (bak/peti tempat
penyimpanan bahan makanan, biasanya disebut lumbung). Hal ini
disebabkan karena bangunan tersebut mempunyai bentuk yang tipikal dan
menerus dengan ketebalan dinding yang relatif konstan. Keberhasilan
pembangunan kontruksi bangunan silo, cerobong, menara dan bin tersebut
kemudian memberi ide pada orang-orang yang bergerak pada bidang
konstruksi untuk mencoba menggunakan sistem slipform dalam
-
24
pembangunan gedung bertingkat tinggi (high rise building) misalnya:
hotel, bangunan perkantoran dan apartemen. Secara umum semua bagian
struktur vertikal dari gedung bertingkat tinggi dapat dikerjakan dengan
slipform seperti dinding luar, dinding. dalam dan dinding core (dinding-
dinding utama bangunan baik yang memikul beban maupun dinding yang
merupakan jalur lintasan kritis dimana pekerjaan lain baru dapat dikerjakan
setelah dinding ini selesai dikerjakan, seperti: dinding lift, dinding geser
bangunan) (Kong,et al,1983).
Penggunaan slipform pada dinding luar dan dinding dalam gedung
bertingkat tinggi dapat dilakukan apabila dinding tersebut mempunyai
bentuk permukaan yang tipikal dan menerus. Namun dalam pelaksanaan di
lapangan jarang ada gedung bertingkat tinggi yang dinding luar atau
dinding dalamnya dikerjakan dengan menggunakan slipform. Hal ini
disebabkan karena dinding luar dan dinding dalam gedung bertingkat tinggi
pada umumnya mempunyai bentuk arsitektur yang bervariasi.
Akan tetapi lain halnya dengan penggunaan slipform pada dinding
core gedung bertingkat tinggi, dimana dinding core gedung bertingkat
tinggi mempunyai bentuk yang tipikal serta tebal permukaan yang sama.
Selain itu dengan penggunaan slipform pada pengerjaan dinding core, maka
dapat memperlancar proses pekerjaan struktur lainnya karena apabila
dinding core telah selesai dikerjakan, maka //"// pekerja maupun lift barang
dapat dipasang sehingga pekerjaan konstruksi bagian atas dapat segera
dimulai (L&M, 1997a).
-
25
2.4.2. Syarat-syarat Penggunaan Sistem Slipform
Keputusan penggunaan slipform pada bangunan merupakan hasi!
dari perencanaan berbagai pihak vang lerkait dalam pelaksanaan proyek
yaitu pemilik, konsultan perencana, konsultan pengawas dan kontraktor.
Dalam perencanaan ini ada banyak faktor yang harus menjadi bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan pemakaian slipform. Faktor-
faktor tersebut antara lain berkaitan dengan karakteristik bangunan yang
akan dikerjakan dengan menggunakan slipform yaitu bentuk dan dimensi
minimum bangunan (L&M, 1997a).
Bangunan yang akan dikerjakan dengan menggunakan slipform
harus memenuhi syarat-syarat tersebut, sehingga pemakaian slipform pada
bangunan menjadi ekonomis. Menurut L&M (1997a), bentuk bangunan
yang ekonomis bila dikerjakan dengan sistem slipform adalah bangunan
yang mempunyai bentuk silinder (silo dan menara), bentuk kotak atau
persegi {bin dan dinding core lift gedung bertingkat tinggi) dan bentuk
kerucut terpancung (cerobong). Bentuk-bentuk bangunan tersebut dapat
dilihat pada gambar 2.1.
Bentuk-bentuk bangunan pada gambar 2.1 sangat sesuai
dikerjakan dengan slipform karena mempunyai bentuk permukaan yang
tipikal dan menerus dengan ketebalan dinding yang relatif konstan.
Sedangkan bentuk bangunan yang lain yang mempunyai bentuk dan
potongan yang berbeda dari yang diisyaratkan, tetap dapat dikerjakan
-
26
dengan slipform. Namun penggunaan slipform meniadi tidak ekonomis,
karena bekisting harus dipasang dan dibongkar serta dimodifikasi sesuai
dengan perubahan bentuk pengerjaan.
1. Silinder II. Kotak/Persegi 111. Kerucut Terpancung
Pot a-a
/ I
! 1 ! . 1/
i / I 1 ! 1 1 I !
—
/ ! / \ /
Pot b-b
! 1 ! 1 ! 1
Pot c-c
V
Pot d-d
( \ \
\ i
\ !
/
Gambar2.1. Bentuk-bentuk Bangunan yang Efektif Dikerjakan Dengan Slipform
Adapun contoh bentuk bangunan yang tidak efektif bila dikerjakan
dengan slipform dapat dilihat pada gambar 2.2, karena perbedaan diameter
potongan a-a dan b-b atau c-c dan d-d sangat besar.
Karakteristik lain yang iuga mempengaruhi penegunaan slipform
pada suatu konstruksi bangunan adaiah dimensi dari bangunan yang
meliputi ketinggian bangunan dan ketebalan dinding bangunan. Kedua
-
27
syarat dimensi tersebut hams dipenuhi apabila slipform akan digunakan
pada bangunan, karena apabila tidak dipenuhi maka nilai ekonomis dari
pemakaian slipform tidak dapat diperoleh. Hal mi akan menvebabkan
peninekatan biaya konstruksi secara keseluruhan (Blake, 1975).
k } A \ / / \ \ / „ * / \
T "—/ " "~7 \ . \ / . / \ M f-° c / \c
\ / / \ \ ! / ^ - ~ _ \ \ / r i
Pot b-b ( J
r ui a-a / \ tui u-u
V / (' )
Gambar 2.2 Bentuk Bangunan yang Tidak Efektif Bila Dikerjakan Dengan Slipform
Menurut Fintel (1974), ketinggian minimum bangunan untuk silo,
menara, cerobong dan bin adalah 10,5m atau 35ft (kurang lebih tiga lantai).
Diameter minimum untuk baneunan silo vane dikerjakan di USA adalah
50-60ft atau sekitar 15-18m (Konpuet al,1983). Sedanekan ketingeian
minimum bangunan untuk dinding core gedung bertingkat tinggi adalah
30m atau 98ft (kurane lebih delat»an lantai) (Kone.et aL 1983). Waddell &
-
28
Dobrowolski (1993) menjelaskan ketebalan permukaan dinding bangunan
minimum adalah 7inch atau 17.78cm, apabila syarat ketebalan dinding
minimum ini tidak dipenuhi maka akan menyebabkan kesulitan dalam
pelaksanaan pekerjaan pemasangan tulangan sehingga akan menyebabkan
kesulitan pelaksanaan pekerjaan pengecoran.
Tabel2.1 Syarat-syarat Minimum Bangunan yang Dikerjakan Dengan Slipform
DIMENS1 BANGUNAN
Tinggi bangunan Diameter bangunan
Tebal dinding Sumber: Fintel (197^
SILO, CEROBONG, BIN MENARA
35ft atau 10.5m (±3 lantai) 50-60ftataul5-18m(USA)
7inch atau 17.78cm
DINDING CORE GEDUNG BERTINGKAT TINGGI
98ft atau 30m (±8 lantai) Tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam berbagai pustaka 7 inch atau 17,78cm
1), Kong, et al (1983), Waddell & Dobrowolski (1993)
2.4.3. Penerapan Slipform di Indonesia
Jenis struktur khusus yang paling banyak dikerjakan dengan
menggunakan slipform adalah silo dan cerobong yang dibangun untuk
keperluan seperti pabrik semen, pabrik tepung dan pabrik kertas.
Berdasarkan data dari L&M (1997a), konstruksi silo dan cerobong yang
berhasil dibangun di Indonesia dengan menggunakan sistem slipform
mencapai ketinggian 120m yaitu chimney tapper (cerobong yang berbentuk
lengkung) untuk pabrik kertas Sinar Dunia Makmur di Serang dan Tjiwi
Kimia di Mojokerto pada tahun 1992 (lampiran A-l & A-2). Diameter
dalam terbesar yang berhasil dibuat adalah 35m yaitu silo Semen Cibinong
-
29
tahun 1991 (lampiran A-3). Konstruksi silo dan cerobong lain terdapat
di Tanjung Priok untuk Bogasari Flour Mill, di Gresik untuk
Petrokimia, di Biringkasi untuk Semen Tonasa,
Kebanyakan gedung bertingkat tinggi yang dibangun dengan
slipform terdapat di Jakarta seperti menara Pertamina 1973, hotel
Mandarin 1975, apartemen Menteng 1993 untuk empat buah core lift,
Jakarta Stock Exchange 1993 untuk dua buah core lift, aparteman Sahid
Palace 1994 untuk dua buah core lift. Lippo Life Center 1995 untuk
satu buah core lift (L&M. 1997a). Di Surabaya proyek yang
meneeunakan slipform adalah hotel Garden 1977 (L&M, 1997a) dan
menara Masjid Agung Surabaya yang telah selesai dibangun tahun 1997
(lampiran A-4).
2.4.4. Komponen-komponen Slipform
Selanjutnya akan dibahas mengenai komponen-komponen
yang digunakan untuk mendukung sistem slipform. Menurut Batterham
(1980), slipform terdiri dari enam komponen utama yang mempunyai
peranan yang sama pentingnya dalam pengoperasian slipform (sambar
1.3). Komponen-komponen slipform tersebut adalah panel bekisting
atau sheathing, water atau rib, yoke, plat lantai kerja atau working
platform, perancah atau scaffolding dan dongkrak atau lifting jack.
2.4.4.1.Panel Bekisting (Sheathing). Panel bekisting yang biasa dipakai
pada pekeriaan slipform terbuat dari plat baja yang mempunyai
ketebalan 25mm dengan tinggi 4ft atau 1.2m (lampiran A-5). Panel
-
30
bekisting ini berfungsi sebagai penahan atau cetakan yang membentuk
beton sesuai denean yang direncanakan. Dalam proses pemasangan
bekisting harus diperiksa tingkat kemiringan bekisting agar tidak teriadi
pergeseran atau puntir dari bangunan yang dikerjakan pada saat
pengecoran beriangsung (Batterham,1980).
-REINFORCING BARS
JACK RO0
,CR
-
31
Antara bekisting bagian atas dengan bekisting bagian bawah
terdapat selisih lebar sebesar 6mm, dimana lebar bekisting bagian atas
lebih kecil 6mm dari lebar bekisting bagian bawah, Selisih lebar
bekisting ini dikenal dengan nama taper dan berguna untuk
mempermudah jalannya bekisting pada saat naik. Adanya taper ini
menyebabkan gesekan yang terjadi antara permukaan bekisting dengan
permukaan beton pada saat bekisting naik meniadi lebih kecil, sehineca
bekisting dapat naik dengan lebih mudah (L&M, 1997a).
2.4.4.2. Waler atau Rib. Waler atau rib adalah pengaku yang dipasang
pada setiap sisi bekisting. Waler berguna untuk tempat melekatan
bekisting, mendukung plat lantai kerja bawah dan mendukung perancah
penggantung (hanging scaffolding) plat lantai kerja bawah. Selain itu
waler juga berfungsi untuk menyalurkan gaya angkat dari yoke ke
bekisting (BatterhamJ980).
Pada bagian bawah waler terdapat tempat kedudukan waler
yang disebut dengan penyokong waler dengan diameter minimum
16mm. Selain itu pada waler juga terdapat dua buah pengaku waler
yaitu pengaku vertikal (vertical waler spacing tubes) dan pengaku
diagonal (waler bracing tubes) yang dipasang pada keseluruhan
panjang waler (lampiran A-6) (L&M, 1997a).
2.4.4.3. Yoke. Yoke sebagai komponen slipform terbuat dari baja dan
dipasang pada permukaan dinding dalam dan luar. Yoke ini berfungsi
untuk menyalurkan gaya angkat dari dongkrak ke waler dan untuk
-
32
menahan sistem slipform secara keseluruhan dalam satu rangkaian.
Masine-masing yoke terdiri dari plat kepala yoke., baeian horisontal
yoke dan baejan kaki yoke (BatterhamJ980Y
Pada bagian kepala yoke, terdapat baut-baut yang berfungsi
sebagai pengatur jarak antara yoke baeian dalam dan yoke bagian luar
sesuai denean ketebalan dindine yane akan dikerjakan. Baeian
horisontal yoke dieunakan untuk tempat meletakkan donekrak,
Sedangkan bagian kaki yoke terletak pada ujung bagian horisontal yoke
dan menempel pada dinding (Lalonde, 1961). Kaki yoke berguna untuk
menahan bekisting, water dan plat lantai kerja. Selain itu pada kaki
yoke juea dipasang selang pengatur muka air, vane, akan dihubungkan
dengan pengatur tinggi muka air pusat (lampiran A-7)
(Batterham,1980).
2.4.4.4. Plat Lantai Kerja (Working Platform). Plat lantai kerja yang
dieunakan pada sistem slipform terdiri dari susunan kayu, papan dan
triplek dan menjadi satu kesatuan ranekaian denean slipform. Jadi plat
lantai kerja akan ikut naik bersama-sama dengan slipform pada saat
proses pengangkatan bekisting. Ada dua macam sistem plat lantai kerja
yaitu sistem siemcrete one dan sistem siemcrete two (Batterham.1980).
Sistem siemcrete one merupakan sistem plat lantai kerja yane terdiri
dari tiga macam plat lantai kerja yaitu plat lantai kerja atas, plat lantai
kerja tengah dan plat lantai kerja bawah.
Plat lantai kerja atas direncanakan sebaeai lantai kerja
(working deck) untuk penyambunean tulanean vertikal dan jack rod
-
33
serta sebagai daerah penyimpanan material. Plat lantai kerja tengah
terletak sejajar dengan permukaan atas bekisting, berguna untuk tempat
pengecoran dan pemasangan tulangan horisontal. Sedangkan plat lantai
kerja bagian bawah didukung oleh perancah penggantung, berguna
untuk tempat melakukan pekeTJaan finishing beton dan blockout (lubang
yang ada pada dinding bangunan seperti untuk keperluan pembuatan
jendela, pintu) (Chudley.1976).
Sedangkan untuk plat lantai kerja dengan sistem siemcrete two,
merupakan penyederhanaan dari sistem siemcrete one. Pada sistem ini
terdapat dua plat lantai kerja yaitu plat lantai kerja utama yang berguna
untuk lantai kerja, pengecoran, pemasangan tulangan dan daerah
penyimpanan material, serta plat lantai kerja bawah yang berguna untuk
tempat melakukan pekerjaan finishing. Ruang yang tersedia pada plat
lantai kerja dengan sistem ini semakin sedikit, sehingga menyebabkan
berat sistem slipform secara keseluruhan berkurang (Batterham,1980).
2.4.4.5. Perancah (Scaffolding). Perancah merupakan komponen yang
digunakan oleh pekerja sebagai tempat pijakan untuk melakukan
pekerjaan struktur, baik untuk melakukan pekerjaan finishing pada
permukaan beton maupun pekerjaan pengecoran. Perancah yang dipakai
pada slipform adalah perancah penggantung (suspended scaffolding
atau hanging scaffolding). Perancah penggantung ini dirangkai mejadi
satu kesatuan dengan slipform dan berguna sebagai pendukung plat
lantai kerja bawah (Peurifoy,1964). Menurut L&M (1997a), perancah
penggantung atau hanging scaffolding ini, baru dapat dipasang setelah
-
34
slipform mencapai ketinggian 3.5m atau kurang lebih satu lantai
pengerjaan diatas pemiukaan pondasi slipform.
2.4.4.6. Donekrak (Liftim Jack). Donekrak pada sistem slipform
dipergunakan untuk mendorong bekisting naik ke atas pada saat beton
sudah cukup keras. Pada saat bekisting diangkat, berat seluruh sistem
yang diangkat harus disesuaikan dengan kapasitas angkat dongkrak.
Kapasitas angkat donekrak tidak boleh dilampaui karena akan
mengakibatkan timbulnya tegangan yang berlebihan pada donekrak.
Selain itu hal lain yang juga harus diperhatikan adalah gaya gesekan
relatif yang diijinkan antara permukaan bekisting dengan permukaan
beton. Apabila kedua hal ini tidak dipenuhi maka dapat menyebabkan
gerakan ke atas dari bekisting menjadi tidak seraeam sehingea dapat
menyebabkan kerusakan struktur yang dikerjakan (Batterham,1980).
Dongkrak yang dapat digunakan dalam sistem slipform terdiri
dari tiga macam tipe, yaitu: donekrak ulir (screw jack), donekrak
hidrolik (hydraulic jack) dan dongkrak tekanan udara (pneumatic jack).
Namun dongkrak yang banyak digunakan untuk slipform adalah
dongkrak hidrolik. Dongkrak hidrolik ini dihubungkan dengan pompa
hidrolik pusat melalui selang-selang hidrolik yang berfunsi untuk
mengalirkan tekanan hidrolik dari pompa ke donekrak, agar donekrak
dapat menaikkan slipform (Peurifoy,l%4).
Pada bagian tengah dongkrak hidrolik juga terdapat jack rod
yang merupakan jalur naiknva dongkrak. Ukuran jack rod yang
biasanya digunakan adalah 25-30mm dan terbuat dari baja rinean.
-
35
Selanjutnya jack rod ini akan disambung-sambung pada setiap
ketinggian 2.5-4m sesuai dengan ketinggian bangunan dan tetap berada
dalam dindinR beton seperti tulangan struktur (lampiran A, 8)
(ChudleyJ976).
Selain keenam komponen slipform yang telah dijelaskan
diatas, terdapat satu komponen tambahan pada slipform khusus pada
penggunaan slipform pada silo, cerobone dan menara. Komponen
tambahan pada slipform tersebut adalah spider. Spider pada awalnya
terbuat dan balok kayu, namun saat ini spider lebih banyak terbuat dan
balok baia ringan dengan diameter antara 6-30mm. Komponen spider
ini dikaitkan pada waler atas dindinp; sebelah dalam dan berguna untuk
memperkaku sistem keseluruhan serta menyalurkan gaya ke plat lantai
kerja (Batterham,1980).
2.4.5. Pengoperasian Sistem Slipform
Proses pengoperasian sistem slipform ini penting, karena
berhasil atau tidaknya pelaksanaan suatu pekerjaan dengan sistem
slipform ditentukan oleh kualitas proses ini. Menurut L&M (1997a),
proses pengoperasian sistem slipform dibagi dalam tiga bagian utama,
yaitu: proses pendirian slipform, proses pekerjaan beton dan proses
pembongkaran slipform.
2.4.5.1. Proses Pendirian Slipform. Ada beberapa svarat yang hams
dipenuhi dalam proses pendirian slipform. Syarat pertama yang harus
dinenuhi adalah lokasi pendirian slipform harus dibuat serata mungkin.
-
36
dengan torelansi perbedaan tinggi kurang lebih 25mm. Apabila
pendirian slipform dilakukan pada permukaan yang tidak rata maka
akan mempengaruhi "vertikalitas" dari slipform yang pada akhirnya
akan mempengaruhi hasil akhir konstruksi secara keseluruhan.
Penentuan lokasi dan posisi dinding yang tepat, merupakan syarat
kedua yang harus dipenuhi sebelum proses pendirian slipform dimulai.
Hal ini dilakukan dengan memberi tanda pada permukaan pondasi,
4imana dinding yang akan dikerjakan dengan menggunakan slipform
akan didirikan (L&M, 1997a).
Jika kedua syarat diatas telah dipenuhi maka hal selanjutnya
yang harus dilakukan adalah menempatkan tulangan vertikal (vertical
bars atau vertikal reinforcement) dan rulangan horisontal (horisontal
bars atau horisontal reinforcement). Tulangan vertikal ditempatkan
sepanjang garis batas dinding bangunan yang akan dikerjakan. Jarak
antara tulangan vertikal dengan permukaan dinding bagian dalam
adalah 30mm. dim ana jarak ini digunakan untuk keperluan selimut
beton (concrete cover). Sedangkan tulangan horisontal ditempatkan
diatas lantai dasar dengan ketinggian rata-rata satu meter (L&M, 1997a).
Selanjutnya proses pemasangan komponen dapat segera dilakukan,
seperti yang terlihat pada gambar 2.4.
Sebelum pemasangan waler dilakukan, balok penyokong waler
(weld waler supporting bars) dengan diameter minimum 16mm,
dilas pada tulangan vertikal yang telah dinasang dan dimasukkan
pada pondasi. Penyokong waler tersebut dipasang dan dilas pada
-
37
Balok penyokong waler
Waler bawah sisi dalam dan waler sudut
| Pengaku vertikal dan diagonal waler
P E M A S A N G A N
Water bawah sisi luar I
Pengaku vertikal dan diagonal waler \4-
Yes
Panel bekisting sudut dalam
Yoke dalam k -
Plat kepah dan plat horisontal yoke
Plat lantai keria
Panel bekisting dalam
Blockout
Panel bekisting luar
— •
P E N G E T E S A N
I Dongkrak hidrolik dan adaptor dongkrak
- H Selang hidrolik I | Selang pengatur tinggi muka air \-
Gambar 2.4 Prosedur Pendirian Slipform
ketinggian minimum 260mm diatas permukaan tertinggi dari lantai
dasar atau pondasi. Apabila balok penyokong waler telah dipasang
maka rangka waler bawah sisi dalam dapat didirikan diatasnya.
-
38
Kemudian dilakukan periksaan "vertikalitas" waler tersebut terhadap
Saris batas yang telah dibuat sesuai denean rencana. Kemudian akan
dipasang waler atas sisi dalam vane, dihubungkan denean waler bawah
sisi dalam dengan menggunakan pipa pengaku waler (L&M, 1997a).
Pekerjaan selanjutnya yang dilakukan adalah pemeriksaan
"vertikalitas" pada waler atas denean waler bawah. Pebedaan
kemiringan pemasangan waler bagian atas dengan waler bagian bawah
tidak boleh lebih dari 2mm. Langkah berikutnya yang harus dilakukan
adalah pemasangan panel belristing sudut dalam (L&M, 1997a).
Selanjutnya setelah pemasangan yoke dan plat lantai kerja
selesai,. panel bekisting bagian dalam, blackout dan panel bekisting
bagian luar dapat dipasang secara berurutan. Panel bekisting dipasang
pada permukaan waler dengan penjepit panel (clamp panel) dan baut.
Kemudian sambungan antara panel-panel bekisting tersebut harus
diperkuat dan dirapatkan agar tidak menvebabkan campuran beton
keluar pada saat proses pengecoran berlangsung (L&M, 1997a).
Yoke merupakan penjepit waler yang terdiri dari dua bagian
yaitu yoke bagian dalam dan yoke bagian luar. Pemasangan yoke
dimulai dari yoke bagian dalam yang, diikatkan pada waler dengan
kunci penjepit (locking clamp). Kemudian dilakukan pemeriksaan
"vertikalitas" semua yoke bagian dalam yang telah dipasang baik
menggunakan dalam arah vertikal maupun arah horisontal
-
39
Setelah pemasangan yoke bagian dalam selesai dilakukan,
maka akan dipasang plat kepala yoke (head plate) pada bagian atas dan
bagian horisontal yoke pada bagian bawah. Yoke bagian luar akan
dipasang setelah pemasangan plat kepala yoke dan bagian horisontal
yoke selesai dilakukan. (L&M, 1997a).
Blockout atau insert adalah kerangka untuk lubang pada
bagian dinding, yang digunakan untuk keperluan sambungan tulangan
antara dinding dengan balok, kerangka pintu dan kerangka jendela.
Blockout biasanya terbuat dari kayu yang kaku dan dipasang pada
bagian bawah dasar plat kepala yoke, sesuai dengan posisi yang
dituniukkan pada gambar konstruksi. Selain itu ukuran dari blockout
yang digunakan harus tepat dan sesuai seperti yang dituniukkan dalam
gambar konstruksi. Lebar seluruh blockout harus 13mm lebih kecil
daripada tebal dinding yang dikeriakan. Hal ini dimaksudkan untuk
memudahkan jalannva blockout dari bekisting sclama proses slipfbrm
berlangsung (L&M, 1997a).
Dongkrak hidrolik dipasang pada bagian horisontal yoke dan
dihubungkan dengan adaptor yoke (penuntun jalan naikknya donskrak)
yang terletak dibawah bagian horisontal yoke, Pada masing-masing
dongkrak hidrolik, dipasang selang-selang hidrolik (hydraulic hoses)
dan dihubungkan dengan pompa utama. Sedangkan selang pengatur
tinggi muka air (water levelling hoses) dipasang setelah pemasangan
selang hidrolik selesai, Selang-selang pengatur tinggi muka air dipasang
-
40
pada setiap yoke vans terletak pada permukaan dinding bagian dalam
(L&M, 1997a).
Proses pemasangan komponen-komponen slinform diatas
dilanjutkan dengan proses pengetesan terhadap kebocoran pada selang
hidrolik dan selang pengatur tinggi muka air seperti yang terlihat pada
bagian kedua pada diagram gambar 2.5.3. Pengetesan kebocoran pada
selang harus dilakukan setelah komponen slipform selesai dipasang,
Pengetesan pertama yang dilakukan adalah pengetesan pada selang
hidrolik dengan cara memberi tekanan udara maksimum 2000psi pada
selang hidrolik secara perlahan-lahan. Apabila terjadi kebocoran maka
naiknya dongkrak menjadi tidak seragam. Pengetesan berikutnya
dilakukan pada selang pengatur muka air yaitu dengan cara mengamati
tinggi muka air pada selang pengatur tinggi muka air, jika tinggi muka
air pada masing-masing selang tidak sama maka mungkin terjadi
kebocoran pada selang pengatur tinggi muka air, Pada setiap
pengetesan, apabila terdapat kebocoran pada selang maka selang harus
^egera diganti (L&M, 1997a).
2.4.5.2. Proses Pekeriaan Beton. Setelah proses pendirian slipform
selesai, proses selanjutnya yang harus dilakukan adalah proses
pekeriaan beton. Menurut L&M (1997a) proses pekerjaan beton
tersebut meliputi proses pengecoran beton, pemeliharaan beton
(curing), pekerjaan finishing beton, proses pemasangan tulangan dan
pengontrolan "vertikalitas" bangunan.
-
41
Dalam proses pengecoran, campuran beton vans akan
digunakan hams direncanakan pada tahap awal sesuai dengan kondisi
bangunan vang akan dikerjakan. Perencanaan campuran beton tersebut
meliputi perencanaan mutu beton yang digunakan, kelecakan
(workability), slump dan waktu pengikatan (setting time). Menurut
Kong,et al (1983), besamya slump yang biasa digunakan adalah 3-5
inch atau 7,5-12.5cm dengan ukuran agregat maksimum % inch. Proses
penuangan beton dengan sistem slipform dilakukan secara kontinu
selama 24 jam per hari. Tinggi bangunan yang dapat dihasilkan dalam
satu hari proses penuangan adalah 4-6m (Slipforming around the
world. 1996), Untuk mencegah teriadinva perbedaan waktu pengikatan
pada beton maka proses penuangan dilakukan per lapisan, dengan
ketinggtan tiap lapisan kurang lebih 200mm atau 20cm. Segera setelah
beton dituangkan, proses penggetaraan campuran beton dapat dimulai
dengan menggunakan vibrator yang dimasukkan pada campuran beton
yang baru dituang. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
pemisahan (segregation) pada campuran beton. serta agar didapatkan
sambungan yang baik antar beton (L&M, 1997a).
Apabila lapisan beton vang pertama telah selesai dituang pada
keseluruhan luasan atau keliling bangunan, maka lapisan beton yang
berikutnya dapat dituang demikian juga untuk seterusnva. Jika lapisan
beton yang pertama dituang sudah mencapai waktu pengikatan (setting
lime\ maka slipform dapat dinaikan dengan menggunakan dongkrak.
-
42
Kecepatan naik slipform berkisar antara 2-12 inch/jam atau 50-
300mm/jam. (Fintel,1974).
Mengingat besarnya nengaruh waktu pengikatan beton pada
kecepatan naiknya slipform, maka waktu pengikatan beton harus benar-
benar direncanakan dengan tepat. Dalam pelaksanaan di lapangan,
mungkin dapat dipergunakan bahan aditif untuk mempercepat atau
memperlambat waktu pengikatan beton, Adanya nemakaian bahan
aditif tersebut dapat menyebabkan pergerakan slipform tetap seragam.
walaupun ada variasi perubahan kelembaban maupun temperatur udara.
Akan tetapi pemakaian bahan aditif yang mengandung zat klorida harus
dihindari, karena dapat menimbulkan karat dan keropos pada tulangan
struktur sehingga kekuatan dari tulangan menjadi berkurang (Kong,et
al,1983).
Proses pemeliharaan beton dilakukan pada saat beton masih
dalam keadaan muda, karena permukaan beton yang telah selesai
dikerjakan akan diekspos hanya dalam waktu kurang lebih 3 jam setelah
lapisan beton pertama dituang. Hal ini sangat cepat iika dibandingkan
dengan metode bekisting konvensional. Proses pemeliharaan dilakukan
pada kedua sisi dindino yang telah selesai dikerjakan dan dimaksudkan
untuk menghindari susut dan retak yang mungkin terjadi karena
perubahan temperatur yang tinggi (Batterham.1980).
Tuiuan dilakukannya pekerjaan finishing pada permukaan
beton adaiah untuk mendapatkan permukaan beton yang baik dan sesuai
dengan yang direncanakan. Ada dua metode finishins yang dapat
-
43
digunakan pada slivform yaitu: pekerjaan finishing yang dilakukan pada
saat pekerjaan struktur baneunan sudah selesai seluruhnya dan
pekerjaan finishing yang dilakukan secara bertahap menejkuti naiknya
slipform (WaddelU974).
Dalam pelaksanaan di lapangan, metode finishing yang banyak
digunakan pada pekerjaan slipform adalah metode finishing yang
dilakukan secara bertahap karena akan menpjiasilkan suatu pekeriaan
finishing lebih cepat dan lebih efisien. Hal ini disebabkan karena
pekerjaan finishing dapat dilakukan bersamaan dengan pekerjaan
slipform., sehingga pada saat pekerjaan slipform selesai pekerjaan
finishing juea akan selesai dalam senpeane. waktu yang tidak terlalu
lama. Selain itu adanya pemakaian perancah penggantung juga akan
mengurangi pemakaian perancah standar. sehingga dapat menghemat
biaya konstruksi secara keseluruhan (L&M, 1997a).
Proses nemasanean tulanean vertikal dan horizontal, dilakukan
bersamaan dengan proses pengecoran, proses curing dan proses
finishing. Tulangan vertikal berguna untuk memperkaku dinding pada
keseluruhan tinggi bangunan dan disambung setiap panjang enam
meter. Namun proses penyambunpan tulanean vertikal tidak dilakukan
secara bersamaan pada keseluruhan keliling bangunan, biasanya dibagi
dalam dua atau tiga bagian. Jadi terdapat jadwal untuk penyambungan
tulanean vertikal pada setiap setengah atau sepertiea keliling bangunan,
misalnya: pada hari pertama dilakukan penyambunpan untuk tulanean
vertikal pada setengah atau sepertiga bagian pertama dari keliling
-
44
bangunan, kemudian hari berikutnya dilakukan penyambungan untuk
setengah atau sepertiga bagian kedua dari keliling bangunan dan
demikian selerusnya. Sedangkan untuk tulangan horisontal,
pemasangan tulangan horisontal akan dilakukan setiap jarak yang telah
direncanakan dan pemasangan tulangan horisontal dilakukan dibavvah
bagian horisontal yoke (L&M, 1997a).
Untuk proses pengontrolan "vertikalitas" bangunan, akan
dilakukan sebelum dan selama proses pengecoran beton berlangsung.
Alat yang digunakan untuk mengontrol "vertikalitas" bangunan ini
adalah plwnb winch (lampiran A.9). Plumb winch merupakan salah satu
komponen yang ada dalam rangkaian sistem slipform dan menjadi satu
kesatuan dengan rangkaian slipform. Alat ini dipasang pada water
bagian bawah di permukaan dinding sebelah dalam dan dipasang pada
empat titik acuan yang berbeda pada keseluruhan keliling dinding
bangunan yang akan dikerjakan (L&M, 1997a).
2.4.5.3. Proses Pembongkaran Slipform. Sebelum proses pembongkaran
dimulai, ada beberapa hal yang harus dilakukan terlebih dahulu pada
rangkaian sistem slipform. 1-Ial yang dilakukan adalah penghentian
pengoperasian dongkrak pada ketinggian yang telah ditentukan sesuai
dengan tanda yang diberikan pada tulangan vertikal. Selanjutnya setelah
beton cukup keras, slipform akan dinaikkan perlahan-lahan (jack off)
sampai jarak antara permukaan beton tertinggi dengan bagian bawah
bekisting kurang iebih 150mm atau 15cm. Apabila slipform sudah
dinaikkan, sisa-sisa material yang tertinggal pada plat lantai kerjajuga
-
45
harus dibersihkan. Kemudian barulah pekeriaan pembongkaran slipform
dapat dilakukan (L&M, 1997a).
Prosedur pembongkaran slipform dimulai dan pelepasan
selang hidrolik, selang pengatur tinggi muka air, pompa utama dan
pengatur muka air pusat. Komponen-komponen tersebut kemudian
dikemas dan dikerek ke lantai dasar denean menggunakan tower crane.
Setelah semua selesai barulah dilakukan pembongkaran kavu-kayu
pendukung plat lantai kerja. Kayu-kayu tersebut juga dikerek ke bawah
dengan menggunakan tower crane. Selanjutnya pembongkaran
dilakukan setiap bagian dari waler, sambungan antar waler dilepas
kemudian waler beserta voice dan perancah penggantung vang melekat
pada waler diturunkan ke bawah dengan menggunakan tower crane.
Apabila semua bagian waler telah diturunkan, barulah dilakukan
pelepasan komponen-komponen vang melekat pada waler di lantai
dasar (L&MJ 997a),
UK Petra Logo: Master Index: Help: Back to TOC: