bab ii landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2007-3-00006-ak bab 2.pdf ·...
TRANSCRIPT
8
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Tinjauan Pustaka
II.1.1 Definisi dan Unsur Pajak
Kian pesatnya pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur memerlukan dana yang besar. Peran serta masyarakat dalam
membiayai pembangunan dan penyelenggaraan roda pemerintahan sangat diperlukan,
antara lain dengan melakukan kewajibannya dalam membayar pajak sebagai sumber
penerimaan negara yang dominan. Suatu tugas dan tanggung jawab yang cukup berat
namun didukung oleh kesadaran dan kepedulian masyarakat, khususnya para Wajib
Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan, maka rencana penerimaan pajak bagi
negara diharapkan dapat tercapai.
Untuk memperjelas pengertian tentang pajak itu sendiri, maka di bawah ini akan
diberikan definisi-definisi pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli dalam bidang
perpajakan, di antaranya:
Menurut Soemitro, yang disitir oleh Waluyo (2000) mendefinisikan "Pajak
adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi), yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum." (h.2).
Menurut Djajadiningrat, yang disitir oleh Resmi, S (2005) menyatakan bahwa
"Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara
yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan
9
tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah
serta dapat dipaksakan, tapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung,
untuk memelihara kesejahteraan umum. " (h.1).
Kemudian Soemahamidjaja yang disitir oleh Waluyo (2000) menyatakan bahwa
"Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh Penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan
jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum." (h.5).
Dari beberapa definisi di atas, seperti yang diuraikan oleh B.Ilyas,W (2005),
dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur:
1. Iuran rakyat kepada negara.
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara (baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah), dan iuran tersebut berupa uang bukan barang.
2. Dipungut berdasarkan undang-undang.
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya (dapat dipaksakan).
3. Tanpa jasa timbal balik atau kontra prestasi yang dapat ditunjukkan secara langsung.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual
oleh pemerintah.
4. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum pemerintah
(rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
10
Selain itu, dijelaskan pula oleh Gema (2000), mengenai ciri-ciri yang melekat
pada pengertian pajak, yaitu:
1. Suatu pemungutan yang dapat dipaksakan karena wewenang yang dimilki
pemerintah.
2. Harus berdasarkan norma-norma umum atau undang-undang.
3. Prestasi pemerintah diberikan secara umum dan sulit untuk ditunjukkan.
4. Pajak dipungut oleh negara (pemerintah pusat maupun daerah).
5. Pajak diperuntukkan membiayai pengeluaran pemerintah dan apabila pemasukannya
masih surplus, dipergunakan sebagai tabungan pemerintah.
6. Merupakan iuran kepada pemerintah secara insidentil/ periodik, oleh rakyat baik
perseorangan maupun badan.
II.1.2 Fungsi Pajak
B.Ilyas,W (2004) mengungkapkan adanya keterkaitan antara pajak dan
pembangunan sehingga dapat tercapainya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera
secara merata, maka pajak mempunyai 2 fungsi, yaitu:
1. Fungsi Budgeter
Fungsi yang letaknya di sektor publik, yaitu sebagai alat (sumber) untuk
memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam Kas Negara dengan tujuan untuk
membiayai pengeluaran negara, yaitu pengeluaran rutin (misalnya, gaji pegawai baik
sipil maupun angkatan bersenjata), pengeluaran pembangunan, dan bila masih ada
sisa (surplus) digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah.
11
2. Fungsi Regulerend (Mengatur)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah
dalam bidang sosial dan ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang
keuangan. Misalnya:
a) Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan, supaya pihak yang memperoleh
penghasilan tinggi dapat memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi
pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan.
b) Atas transaksi jual beli barang mewah dikenakan tarif PPnBM yang cukup
tinggi. Semakin mahal harga barang mewah tersebut, maka akan semakin tinggi
pula tarif pajaknya. Agar rakyat tidak berlomba-lomba untuk mengkonsumsi
barang mewah (mengurangi gaya hidup mewah).
II.1.3 Jenis dan Macam Pajak
Seperti yang dijelaskan oleh B.Ilyas,W (2004), jenis-jenis pajak yang dapat
dikenakan, dapat digolongkan dalam 3 golongan, yaitu:
1. Menurut sifatnya
Pajak langsung adalah pajak-pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh
Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan
secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu. Misalnya: PPh, PBB.
Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada
orang lain dan hany dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa
tertentu saja. Misalnya: PPN dan PPnBM, Bea Meterai.
2. Menurut Sasarannya/ Objeknya
Pajak subjektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama
memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (subjeknya). Setelah diketahui
12
keadaan subjeknya, barulah diperhatikan keadaan objektifnya, apakah dapat
dikenakan pajak atau tidak. Misalnya: PPh.
Pajak objektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama
memperhatikan objeknya, baik berupa keadaan perbuatan atau peristiwa yang
menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui
objeknya, barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan
objek yang telah diketahui. Misalnya: PPN, PPnBM, Bea Meterai, PBB.
3. Menurut Lembaga Pemungutnya
Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, yang dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Hasil dari pemungutan
pajak pusat dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan
APBN. Misalnya: PPh, PPN & PPnBM, PBB, BPHTB, Bea Meterai.
Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, yang dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Hasil dari
pemungutan pajak daerah dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari
penerimaan APBD.
Pajak daerah terdiri dari:
a) Pajak daerah Tk.I (Propinsi)
Misalnya: PKB, BBN KB.
b) Pajak daerah Tk.II (Kotamadya/ Kabupaten)
Misalnya: pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak
penerangan jalan.
13
II.1.4 Tata Cara Pengenaan Pajak
Bagaimana cara pengenaan utang pajak juga dikemukakan oleh Resmi, S (2005),
yakni dapat dilakukan dengan 3 stelsel, yaitu:
1. Stelsel Nyata (Riil Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga
pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah
penghasilan yang sesungguhnya diketahui.
Kebaikan stelsel ini: pajak yang dikenakan lebih realistis.
Kelemahan stelsel ini: pajak baru dapat dikenakan setelah akhir periode (setelah
penghasilan riil diketahui. Misalnya: PPh Pasal 24 untuk SPT Tahunan.
2. Stelsel Anggapan (Fiktif Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang.
Misalnya: PPh Pasal 25
Kebaikan stelsel ini: pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus
menunggu pada akhir tahun.
Kelemahan stelsel ini: pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang
sesungguhnya.
3. Stelsel Campuran
Cara pengenaan pajak yang didasarkan pada kombinasi antara stelsel nyata dan
stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu
anggapan, kemudian di akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang
sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak
menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah kekurangannya. Sebaliknya,
14
jika ternyata lebih kecil maka dapat diminta kembali. Misalnya: PPh Pasal 25 dan
PPh Pasal 29.
II.1.5 Sistem Pemungutan Pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan, pertentangan atau
perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Syarat keadilan
Pemungutan pajak harus adil, sesuai dengan tujuan hukum, yakni undang-undang
dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan di
antaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan
kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya, yakni dengan
memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam
pembayaran, dan mengajukan banding.
2. Syarat Yuridis
Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang. Di Indonesia, pajak diatur
dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat 2, yang berbunyi "Segala pajak untuk keperluan
Negara berdasarkan undang-undang." Hal ini memberikan jaminan hukum untuk
menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
3. Syarat Ekonomis
Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perrekonomian masyarakat.
4. Syarat Financial
Sesuai fungsi budgeter, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih
rendah dari hasil pemungutannya (biaya pemungutan harus efisien).
15
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan pajak yang sederhana tentunya akan memudahkan dan
mendorong masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
Berdasarkan syarat-syarat tersebut, berdasarkan Gema (2000), maka sistem
pemungutan pajak dapat dilakukan dengan sistem:
1. Self Assessment
Adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana Wajib Pajak diberikan kepercayaan
dan wewenang untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan undang-undang perpajakan. Wajib Pajak dianggap diberikan kepercayaan
untuk:
a) Menghitung sendiri pajak yang terutang.
b) Memperhitungkan sendiri pajak yang terutang.
c) Membayar sendiri jumlah pajak yang terutang.
d) Melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang.
e) Mempertanggung jawabkan jumlah pajak yang terutang.
Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak dengan sistem ini berada di
tangan Wajib Pajak sendiri.
2. Official Assessment
Adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana aparatur perpajakan (fiskus)
menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Dalam sistem
ini, inisiatif dan kegiatan dalam menghitung dan memungut pajak sepenuhnya ada
pada aparatur perpajakan. Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak
dengan sistem ini berada di tangan aparatur perpajakan.
16
3. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana penghitungan besarnya jumlah pajak
yang terutang oleh Wajib Pajak dilakukan oleh pihak ketiga. Misalnya: Pemotong
Pasal 21, Pemungut Pasal 22.
II.1.6 Tarif Pajak Penghasilan
Salah satu unsur yang menentukan rasa keadilan dalam pemungutan pajak bagi
Wajib Pajak adalah tarif pajak yang besarnya harus dicantumkan dalam undang-undang
perpajakan. Untuk penghitungan PPh di Indonesia, diterapkan tarif progresif, yakni tarif
pajak dengan persentase semakin besar bila dasar pengenaan pajaknya semakin besar.
PPh bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dalam setahun dihitung dengan cara
mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif pajak yang telah ditetapkan. Sesuai
dengan UU PPh No.17 Tahun 2000 Pasal 17, dijelaskan oleh Waluyo (2000) maka
besarnya tarif PPh adalah sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 25.000.000,00
5 %
Di atas Rp 25.000.000,00 s.d Rp 50.000.000,00
10 %
Di atas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 100.000.000,00
15 %
Di atas Rp 100.000.000,00 s.d Rp 200.000.000,00 25 %
Di atas Rp 200.000.000,00 35 %
Tabel 2.1
17
b. Wajib Pajak dalam negeri dan BUT adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 10 %
Di atas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 100.000.000,00 15 %
Di atas Rp 100.000.000,00 30 %
Tabel 2.2
II.1.7 Kredit Pajak PPh Pasal 23
Kredit pajak yang telah dipotong atau dipungut pihak lain, dalam transaksi yang
telah dilakukan merupakan salah satu usaha untuk meringankan beban pajak, karena
kredit pajak merupakan pembayaran pajak di muka.
Sesuai dengan Pasal 23 UU No.17 Tahun 2000, PPh Pasal 23 adalah pajak yang
dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan
Bentuk Usaha Tetap dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berasal dari modal,
penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Karena PPh pasal 23 langsung dipotong dari penghasilan bruto, maka mengurangi
jumlah yang diterima oleh penerima penghasilan.
Pemotongan PPh Pasal 23 disebut juga pemotongan pendahuluan dan final,
sebesar 15% dari jumlah penghasilan bruto atau perkiraan penghasilan neto. Namun
adapula penghasilan lain yang dikenakan tarif pemotongan yang besarnya selain 15%,
yaitu:
1. Persewaan tanah dan atau bangunan yang dimiliki oleh Wajib Pajak Badan
dikenakan pajak 10% final.
18
2. Imbalan jasa teknik, manajemen, konsultan, perancang bangunan, perancang
interior, perancang pertamanan, akuntansi dan pembukuan dan jasa penebangan
hutan dipotong pajak sebesar 6%.
3. Imbalan jasa atas pembasmian hama, kontruksi dan jasa lainnya yang
pembayarannya dibebankan kepada APBN/APBD dikenakan pajak sebesar 1,5%.
4. Penghasilan dari kontrak kerjasama bagi hasil dengan PT Telkom, dikenakan pajak
sebesar 5%.
II.1.8 Hambatan Pemungutan Pajak
Menurut penjelasan Gema (2000), terdapat pula hambatan terhadap pemungutan
pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi:
1. Perlawanan Pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang disebabkan antara lain:
a) Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami oleh masyarakat.
b) Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
2. Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara
lain:
a) Tax Avoidance, yakni usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar
undang-undang perpajakan yang berlaku.
b) Tax Evasion, yakni usaha meringankan beban pajak dengan cara yang
melanggar undang-undang perpajakan yang berlaku (menggelapkan pajak).
19
II.1.9 Kompensasi Rugi
Menurut Setiawan (2004), berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU PPh, "bahwa
kompensasi kerugian merupakan pengurang penghasilan netto (laba bersih sebelum
pajak). Masa kompensasi kerugian maksimal 5 tahun berturut-turut, lewat 5 tahun maka
kompensasi tersebut dianggap hangus." (h.55).
II.2 Pengertian Penghasilan, Objek PPh, Subjek PPh, Definisi PPh Pasal 25 dan
Pasal 29
II.2.1 Pengertian Penghasilan dan Objek PPh
Menurut Standar Akuntansi Keuangan Indonesia, penghasilan adalah kenaikan
manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi, dalam bentuk pemasukan atau
penambahan aktiva atau penurunan kewajiban, yang mengakibatkan kenaikan ekuitas
yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal.
Menurut UU PPh No.17 Tahun 2000, Pasal 4 ayat (1), yang dijelaskan oleh
Waluyo (2000), penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Menurut Pasal 4 ayat (1) UU No.17 Tahun 2000, yang dijelaskan oleh Waluyo
(2000), maka Objek PPh adalah penghasilan. "Yang termasuk penghasilan sebagai objek
pajak adalah:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, tunjangan, upah, honorarium, komisi, bonus,
20
gratifikasi, uang pensiun dan atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
c. Laba usaha;
d. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta;
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan lain karena jaminan
pengembalian utang;
g. Dividen, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. Royalti;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. Keuntungan karena pembebasan utang;
l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. Premi asuransi;
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak." (h.114).
21
II.2.2 Subjek PPh
Yang termasuk subjek pajak menurut Pasal 2 ayat (1) UU No.17 Tahun 2000,
dijelaskan oleh Waluyo (2000), adalah sebagai berikut:
a. 1) orang pribadi;
2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
b. badan;
c. bentuk usaha tetap.
Subjek pajak terdiri dari Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri.
Dalam pasal 2 ayat (3) disebutkan yang dimaksud subjek pajak dalam negeri adalah:
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari (tidak harus
berturut-turut dalam jangka waktu 12 bulan, orang pribadi yang dalam suatu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Dalam pasal 2 ayat (4) disebutkan yang dimaksud subjek pajak luar negeri adalah:
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang tidak didirikan atau
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk badan usaha tetap di Indonesia.
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang tidak
didirikan atau tidak bertempat keududkan di Indonesia yang dapat menerima atau
22
memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalaui bentuk usaha tetap di Indonesia.
II.2.3 Definisi PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29
Menurut Resmi, S (2005) definisi "pajak penghasilan Pasal 25 adalah merupakan
angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap
bulan dalam tahun pajak berjalan." (h.297).
Menurut Setiawan, A (2004), "pajak penghasilan Pasal 25 yaitu angsuran pajak
yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan, yakni sebesar selisih antara pajak
penghasilan yang terutang tahun pajak yang lalu dikurangi PPh yang telah dibayar sesuai
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24, kemudian dibagi dengan banyaknya masa
pajak dalam suatu tahun pajak." (h.165).
1) Batas waktu pembayaran/ penyetoran PPh Pasal 25 paling lambat adalah tanggal
15 bulan takwim berikutnya. (Jika telat bayar dikenakan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% per bulan yang dihitung dari saat jatuh tempo pembayaran,
sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan).
2) Batas waktu pelaporan PPh Pasal 25 paling lambat adalah tanggal 20 bulan takwim
berikutnya. (Jika telat lapor dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar
Rp 50.000,00).
Mengacu pada Resmi, S (2005), PPh Pasal 29 adalah hasil perhitungan pajak
terutang selama tahun pajak dikurangi dengan total kredit pajak dan angsuran pajak
penghasilan yang telah dilakukan selama tahun pajak tersebut.
23
1) Batas waktu pembayaran/ penyetoran PPh Pasal 29 paling lambat adalah tanggal
25 bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. (Jika telat bayar dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan yang dihitung dari saat jatuh
tempo pembayaran, sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan).
2) Batas waktu pelaporan PPh Pasal 29 paling lambat adalah tanggal 31 bulan ketiga
setelah tahun pajak berakhir. (Jika telat lapor dikenakan sanksi administrasi berupa
denda sebesar Rp 100.000,00).
II.3 Pengertian Biaya dan Beban, Biaya Yang Dapat Dikurangkan Dari
Penghasilan Bruto serta Biaya Yang Bukan Merupakan Pengurang
Penghasilan Bruto
II.3.1 Pengertian Biaya dan Beban
Biaya adalah uang cash atau equivalent uang cash yang dikeluarkan untuk
memperoleh harta/ jasa tertentu. Sedangkan beban adalah biaya yang telah dipakai
dalam proses untuk menghasilkan pendapatan.
II.3.2 Biaya Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2000, yang dijelaskan oleh
Waluyo (2000), maka "biaya yang dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan
bruto, yang terkait dengan pengusaha Wajib Pajak adalah:
a. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk: biaya
pembelian bahan, biaya berkenaan pekerjaan atau termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa,
royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya
24
administrasi dan pajak, kecuali pajak penghasilan. (disebut juga sebagai biaya yang
berhubungan langsung dengan kegiatan usaha);
b. Penyusutan dan amortisasi;
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan;
d. Kerugian karena penjualan/ pengalihan harta yang dimiliki dalam perusahaan;
e. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing;
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan untuk meningkatkan SDM;
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih." (h.126).
II.3.3 Biaya Yang Bukan Merupakan Pengurang Penghasilan Bruto
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2000, yang dijelaskan oleh
Setiawan, A (2004), maka "biaya yang bukan merupakan pengurang penghasilan bruto,
yang terkait dengan pengusaha Wajib Pajak adalah:
a. Pembagian laba dalam bentuk apapun, termasuk pembayaran deviden;
b. Biaya untuk kepentingan pribadi;
c. Pembentukan atau pemupukan cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih
untuk usaha bank dan sewa;
d. Premi asuransi yang dibayar oleh pegawai;
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan;
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada yang mempunyai hubungan istimewa;
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan warisan yang tidak ada
hubungan dengan usaha, kecuali zakat;
25
h. PPh yang treutang oleh WP yang bersangkutan, meliputi PPh Pasal 21, Pasal 22,
Pasal 23, Pasal 25 Pasal 26 dan PPh Final;
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi, orang pribadi
yang menjadi tanggungannya;
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan yan modalnya tidak terbagi atas
saham;
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan." (h.12).
II.4 Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan
Kendaraan Perusahaan
II.4.1 No.KEP-220/PJ./2002, Tanggal 18 April 2002, Pasal 1 Ayat (2) Tentang
Biaya Pemakaian Telepon Seluler
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-220/PJ./2002, tanggal
18 April 2002, Pasal 1 ayat (2) maka atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa
dan perbaikan telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai
tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan
sebesar 50% dari jumlah biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan
dalam tahun pajak yang bersangkutan.
II.4.2 No.KEP-220/PJ./2002, Tanggal 18 April 2002, Pasal 3 Ayat (2) Tentang
Kendaraan Perusahaan
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-220/PJ./2002, tanggal
18 April 2002, Pasal 3 ayat (2) maka atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin
26
kendaraan yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena
jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari
jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun pajak yang bersangkutan.
II.5 Pengertian Rekonsiliasi fiskal, Pengertian SPT Tahunan PPh Badan,
Fungsi, Bentuk dan Isi SPT Tahunan PPh Badan
II.5.1 Pengertian Rekonsiliasi Fiskal
Wajib Pajak perlu melakukan rekonsiliasi fiskal, karena terdapat perbedaan
perhitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial) dengan laba menurut
perpajakan (fiskal). Laporan keuangan komersial ditujukan untuk menilai kinerja
ekonomi dan keadaan finansial dari sektor privat, sedangkan dalam laporan keuangan
fiskal lebih ditujukan untuk menghitung pajaknya, agar beban pajak yang ditanggung
oleh WP dapat menjadi lebih efisien.
Dasar penyusunan laporan keuangan komersial yaitu Standar Akuntansi
Keuangan (SAK), sedangkan dasar penyusunan untuk laporan keuangan fiskal yaitu
peraturan perpajakan (UU PPh). Perbedaan kedua dasar panyusunan laporan keuangan
tersebut mengakibatkan perbedaan perhitungan laba (rugi) entitas (Wajib Pajak).
II.5.2 Pengertian SPT Tahunan PPh Badan
Salah satu kewajiban WP adalah menyampaikan SPT Tahunan PPh yang
merupakan sarana bagi WP untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan
penghitungan dan atau pembayran pajaknya. Sesuai ketentuan Undang-undang No.6
Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang No. 9 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang No.16 Tahun 2000 Pasal 1 butir 10, dijelaskan oleh Waluyo
27
(2000), maka "Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan
untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan
objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan Undang-undang
perpajakan." (h.30).
Menurut undang-undang No.16 Tahun 2000 Pasal 1 butir 12, yang diuraikan oleh
Waluyo (2000), Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu
tahun pajak atau bagian tahun pajak.
Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak adalah Surat Pemberitahuan yang
digunakan oleh Wajib Pajak Badan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak.
Menurut Mardiasmo (2001), "Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib
Pajak digunakan untukmelaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang
menurut ketentuan peraturan Undang-undang perpajakan." (h.20).
II.5.3 Fungsi SPT Tahunan PPh Badan
Sesuai dengan ketentuan UU KUP Pasal 3 ayat (1), "SPT berfungsi sebagai
sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak
yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
1) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau
melalaui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 tahun pajak atau bagian
tahun pajak;
2) Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak;
3) Harta dan kewajiban;
4) Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan
pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 masa pajak, yang ditentukan peraturan
perundang-undangan perpajakan." (h.36).
28
Fungsi SPT Tahunan PPh menurut Mardiasmo (2001), yakni:
a) Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan perhitungan
jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
b) Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri dan atau melalui pemotongan pajak atau pemungutan pajak laindalam 1
tahun pajak atau bagian tahun pajak.
c) Untuk melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan
atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 masa pajak, yang
ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan.
II.5.4 Bentuk dan Isi SPT Tahunan PPh Badan
Secara garis besar, kode serta nama formulir yang tercantum dalam SPT
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, adalah sebagai berikut:
No Kode formulir Perincian nama formulir Keterangan
1 1771 SPT Tahunan PPh WP Badan Induk SPT
2 1771-I Penghitungan Penghasilan Neto Fiskal Lampiran I
3 1771-II Perincian HPP, Biaya usaha lainnya dan
biaya dari luar usaha
Lampiran II
4 1771-III Kredit pajak dalam negeri Lampiran III
5 1771-IV PPh final
Penghasilan yang tidak termasuk
objek pajak
Lampiran IV
6 1771-V Daftar pemegang saham atau Lampiran V
29
pemilik modal dan jumlah
dividen yang dibagikan
Daftar susunan pengurus dan
komisaris
7 1771-VI Daftar penyertaan modal pada
perusahaan afiliasi
Daftar pinjaman dari atau
kepadapemegang saham atau
perusahaan afiliasi
Lampiran VI
Tabel 2.3