bab ii landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2008-2-00033-ak bab...
TRANSCRIPT
7
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Perpajakan
II.1.1 Pengertian Pajak
Banyaknya pengertian pajak yang disampaikan oleh para ahli
menyebabkan sulitnya untuk memasukkan definisi pajak yang tepat ke dalam
undang-undang perpajakan. Meskipun demikian, unsur-unsur yang terkandung
dalam pengertian pajak yang disampaikan oleh para ahli tersebut hampir sama dan
saling melengkapi.
Beberapa pengertian pajak menurut para ahli tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Menurut Prof. Rochmat Soemitro, SH :
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra
prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk pengeluaran
umum.”
2. Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja :
“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh
Penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-
8
barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”
3. Menurut Mr. Dr. N. J. Feldmann :
“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada
penguasa, (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya
kontra prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-
pengeluaran umum.”
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan undang-undang dan aturan
pelaksanaannya.
2. Sifatnya dapat dipaksakan.
3. Tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi (imbalan secara
langsung) baik secara individual maupun pemerintah.
4. Pajak dipungut oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.
5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
II.1.2. Fungsi Pajak
Menurut Wirawan, Burton, dan Richard (2004), dilihat dari fungsinya,
pajak memiliki 2 fungsi, yaitu :
9
1. Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik yaitu
fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai
dengan undang-undang berlaku yang akan digunakan untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
2. Fungsi regulerend adalah suatu fungsi yang umumnya dapat dilihat
di dalam sektor swasta, yaitu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan
digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu
di luar bidang keuangan.
II.1.3. Pengelompokan Pajak
a. Menurut golongannya, pajak terdiri atas :
1) Pajak langsung, yaitu pajak yang pengenaannya dipikul sendiri oleh
wajib pajak, dan tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain.
Contoh : Pajak Penghasilan.
2) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pengenaannya dapat
dilimpahkan atau dibebankan kepada pihak lain.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
b. Menurut sifatnya, pajak terdiri atas :
1) Pajak Subyektif, yaitu pajak yang berdasarkan pada subyeknya, dalam
10
arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh : Pajak Penghasilan
2) Pajak Obyektif, yaitu pajak yang berdasarkan pada obyeknya tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
c. Menurut lembaga pemungutannya, pajak terdiri atas :
1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah
pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh : PPh, PPN & PPnBM, PBB, dan Bea Materai.
2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah
daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak Daerah terdiri atas :
a) Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan
Kendaran di atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
b) Pajak Kabupaten / Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran,
Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan.
11
II.1.4. Sistem Pemungutan Pajak
Dalam hal sistem pemungutan pajak, kita mengenal 3 (tiga) macam, yaitu :
a. Official Assessment System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberikan wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak terutang bagi wajib pajak.
b. Self Assessment System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri
jumlah pajak yang terutang berdasarkan undang-undang yang berlaku.
c. With Holding System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk menghitung dan
menetapkan jumlah pajak yang terutang dan membantu pemerintah
memungut pajak dari wajib pajak.
II.1.5. Asas Pemungutan Pajak
Asas pemungutan pajak merupakan suatu batas kewenangan yang dapat
dilakukan oleh suatu Negara dalam melakukan pemungutan pajak agar tidak
memberatkan bagi orang yang dikenakan pajak. Adapun Asas pemungutan pajak
tersebut terdiri dari :
a. Asas Domisili
Negara berhak untuk memungut pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak
12
yang bertempat tinggal atau berdomisili di wilayahnya.
b. Asas Sumber
Negara berhak untuk memungut pajak atas seluruh penghasilan yang
bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan dimana wajib pajak tersebut
berdomisili.
c. Asas Kebangsaan / Nasionalitas
Suatu negara berhak untuk memungut pajak terhadap setiap orang yang
memiliki kebangsaan atas negara tersebut, tanpa memperhatikan tempat
tinggal dari wajib pajak yang bersangkutan.
II.1.6. Hak Wajib Pajak
Dalam undang-undang perpajakan yang berlaku di Indonesia, diatur dengan
tegas hak-hak dan kewajiban wajib pajak, untuk menjamin dan memberikan
kepastian hukum kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya.
Hak-hak wajib pajak adalah :
a. Mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari fiskus.
b. Melakukan pembetulan sendiri SPT.
c. Mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT.
13
d. Hak untuk memperoleh restitusi atau kompensasi.
e. Mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
f. Mengajukan keberatan dan banding.
g. Mengajukan perpanjangan penyampaian pemasukan surat permohonan
keberatan pajak.
h. Meminta dasar pengenaan, pemotongan, atau pemungutan pajak untuk
keperluan pengajuan keberatan.
i. Menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum diterbitkan
surat keputusan keberatan.
j. Apabila dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima
telah lewat, dan Direktorat Jendral Pajak telah memberikan suatu keputusan
tertulis, maka keberatan diajukan dianggap diterima.
k. Mendapat bunga dari negara karena terlambat mengembalikan kelebihan
pembayaran pajak.
l. Memilih menggunakan Norma penghitungan bagi wajib pajak yang peredaran
usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya berjumlah kurang
dari Rp. 1. 800.000.000,-
m. Melakukan kompensasi kerugian dengan tahun-tahun yang lalu selama 5
(lima) tahun berturut-turut.
14
n. Memperoleh pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak (PTKP) bagi
WP orang pribadi atau perseorangan.
o. Hak mengurangi penghasilan kena pajak dengan biaya yang telah dikeluarkan
dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
p. Memberikan surat kuasa khusus kepada orang lain untuk menandatangani
SPT.
q. Mengkreditkan PPh yang telah dibayar termasuk pajak yang telah dipotong
atau dibayar di luar negeri.
r. Mengajukan permohonan pembetulan atas SKP yang salah tulis, salah hitung,
atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan.
s. Mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
berupa bunga denda dan kenaikan, dalam hal sanksi tersebut dikenakan
kekhilafan WP atau bukan karena kesalahannya.
t. Mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang
tidak benar.
u. Mendapat jaminan kerahasiaan atas segala sesuatu yang diketahui atau
diberitahukan oleh WP kepada pejabat pajak.
v. Hak mengadukan pejabat yang membocorkan rahasia wajib pajak.
w. Mengkreditkan pajak masukan.
15
II.1.7. Kewajiban Wajib Pajak
a. Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
b. Mengambil sendiri formulir SPT di KPP tempat dimana WP terdaftar.
c. Menyampaikan SPT sesuai dengan batas waktu.
d. Mengisi dengan lengkap, jelas, dan benar serta menandatangani SPT dan
menyampaikan kembali SPT tersebut ke KPP setempat dimana WP terdaftar.
e. SPT yang di isi dengan ditandatangani oleh orang lain, bukan WP harus
dilampiri surat kuasa khusus.
f. Menyelenggarakan pembukuan.
g. Bagi WP yang memilih menggunakan Norma Perhitungan wajib
menyelenggarakan pencatatan tentang perdaran dan penerimaan bruto.
h. Melaporkan usahanya.
i. Membuat faktur pajak.
j. Membuat Nota Retur.
k. Mencatat jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak dalam pembukuan perusahaan.
l. Membayar atau menyetor pajak yang terutang.
m. Menyampaikan SPT Masa PPN dan PPnBM.
16
II.1.8. Surat Pemberitahuan (SPT)
a. Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT).
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib pajak
digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak terutang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
b. Jenis Surat Pemberitahuan (SPT).
Jenis Surat Pemberitahuan (SPT) yang ada dibedakan menjadi 2
(dua), yaitu :
1) SPT Masa, adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak terutang dalam suatu
masa pajak.
2) SPT Tahunan, adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak terutang dalam suatu
tahun pajak.
c. Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT).
Menurut UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 3 ayat (1), fungsi Surat
Pemberitahuan adalah sebagai berikut :
1) Bagi Wajib Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah
17
pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
a) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak
lain dalam 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak.
b) Penghasilan yang merupakan objek pajak dan / atau bukan
obyek pajak, harta dan kewajiban.
c) Melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang
pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan
lain dalam 1 (satu) masa pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan perpajakan.
2) Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
terutang dan untuk melaporkan tentang :
a) Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran.
b) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan / atau melalui pihak
lain dalam 1 (satu) masa pajak sesuai dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku.
3) Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan
adalah untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang
18
dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
d. Karakteristik Surat Pemberitahuan (SPT) Manual.
Surat Pemberitahuan (SPT) Manual memiliki beberapa karakteristik,
yaitu :
1) Memerlukan waktu yang lama untuk merekam data SPT di KPP.
2) Sering terjadi kesalahan pada saat perekaman data di KPP, sehingga
data yang ada pada SPT Wajib Pajak seringkali tidak sama dengan
data yang terdapat pada Direktorat Jenderal Pajak.
3) Pemborosan kertas.
4) Perekaman data SPT membutuhkan banyak Sumber Daya Manusia.
5) Pemborosan tempat penyimpanan dokumen SPT.
e. Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT).
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) adalah :
1) Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lambat 20 (dua puluh) dari
setelah akhir Masa Pajak.
2) Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Orang Pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
3) Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
19
Wajib pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan untuk paling lama 2 (bulan)
dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktorat
Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
f. Tata Cara Melaporkan SPT Secara Manual.
Dalam penggunaan Surat Pemberitahuan (SPT) secara manual, tata
cara pelaporannya adalah sebagai berikut :
1) Wajib Pajak mengambil sendiri SPT di tempat yang telah ditetapkan
oleh Direktorat Jenderal Pajak.
2) Wajib pajak mengisi SPT dengan benar, jelas, dan lengkap sesuai
dengan petunjuk yang diberikan berdasarkan peraturan perpajakan.
3) Wajib pajak harus menandatangani serta menyampaikan kembali SPT
dalam batas waktu yang telah ditentukan.
g. Sanksi Terlambat atau Tidak Melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT).
Wajib pajak yang tidak menaati ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku akan dikenakan sanksi administrasi
berupa denda dan bunga dan / atau sanksi pidana, yaitu :
1) Keterlambatan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), Wajib Pajak
akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar :
20
a) Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
b) Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Masa lainnya.
c) Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.
d) Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.
2) Wajib Pajak yang karena kealpaan tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap dan dapat merugikan negara yang dilakukan
pertama kali tidak dikenakan sanksi pidana, tetapi dikenakan sanksi
administrasi sebesar 200% dari pajak yang kurang bayar.
3) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan
paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang bayar.
21
II.1.9. Surat Setoran Pajak (SSP)
a. Pengertian.
Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak
yang telah dilakukan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang telah
ditentukan oleh Menteri Keuangan.
b. Jenis Surat Setoran Pajak.
Jenis Surat Setoran Pajak (SSP) ada 2 (dua) macam, yaitu :
1) SSP Standar, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan atau berfungsi
untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke
Kantor Penerima Pembayaran dan digunakan sebagai bukti pembayaran.
SSP Standar digunakan untuk pembayaran semua jenis pajak, baik yang
bersifat final maupun yang bukan final, kecuali Setoran Pajak Bumi dan
Bangunan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2) SSP Khusus, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke
Kantor Penerima Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima
Pembayaran dengan menggunakan mesin transaksi dan atau alat lainnya
yang isinya sesuai dengan ketetapan Direktorat Jenderal Pajak. Fungsi SSP
Khusus dalam administrasi perpajakan sama dengan SSP Standar.
SSP Khusus dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran yang telah
mengadakan kerjasama Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3)
22
dengan Direktorat Jenderal Pajak. SSP Khusus ini hanya dapat digunakan
untuk pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP.
Pembayaran setoran pajak yang SSP-nya dapat berfungsi sebagai
bukti potong atau bukti pungut tidak dapat menggunakan SSP Khusus.
Pembayaran tersebut antara lain pembayaran PPN Impor, PPN
Bendaharawan, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 22 Bendaharawan, PPh Final
atas Transaksi Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan PPh Final
atas Persewaan Tanah dan Bangunan.
3) Tempat Pembayaran atau Penyetoran Pajak.
Tempat pembayaran atau penyetoran pajak meliputi :
a) Bank persepsi yaitu bank pemerintah atau bank swasta yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan.
b) PT. Pos Indonesia.
c) Untuk pembayaran fiskal luar negeri dapat juga di loket pembayaran
yang telah disediakan di pelabuhan pemberangkatan ke luar negeri.
4) Batas Waktu Pembayaran Pajak.
Menurut UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, ketentuan mengenai waktu pembayaran pajak adalah
sebagai berikut :
a) Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan
23
penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak
bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak.
b) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas
sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.
c) Apabila pembayaran atau pajak dilakukan setelah tanggal jatuh
tempo, maka akan dikenakan sanksi administrasi sebesar 2% per
bulan dihitung dari saat jatuh tempo pembayaran sampai dengan
tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.
d) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan
Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
e) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu,
jangka waktu pelunasan dapat diperpanjang paling lama menjadi 2
(dua) bulan yang ketentuannya diatur berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
f) DJP atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan
24
untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk
kekurangan pembayaran paling lama 12 (dua belas) bulan.
II.2. Sistem Administrasi Perpajakan Modern
II.2.1. Pengertian Sistem Administrasi Perpajakan Modern
Memasuki dekade 2000, “modernisasi” menjadi suatu topik yang ramai
dibicarakan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Terbentuknya suatu sistem
administrasi perpajakan yang modern merupakan salah satu hasil dari dilakukannya
reformasi administrasi perpajakan. Sistem administrasi perpajakan modern tersebut
merupakan suatu penerapan dari sistem administrasi yang menggunakan basis
teknologi yang bertujuan untuk perbaikan kinerja agar lebih efisien, ekonomis, dan
cepat.
Rendahnya kepatuhan dari masyarakat dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya, diharapkan dapat teratasi dengan diadakannya sistem administrasi
perpajakan tersebut. Hal itu disebabkan karena sistem administrasi perpajakan
modern merupakan suatu cara penyederhanaan sistem dan prosedur yang akan
memudahkan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, sehingga
tingkat kepatuhan dari masyarakat diharapkan dapat meningkat serta memudahkan
aparat pajak dalam melakukan pengawasan.
25
II.2.2. Karakteristik Sistem Administrasi Perpajakan Modern
Sistem administrasi perpajakan modern memiliki karakteristik sebagai
berikut :
a. Struktur organisasi dirancang berdasarkan fungsi.
b. Di dalam organisasi KPP terdapat Account Representative (AR) yang
bertanggung jawab untuk melayani dan mengawasi kepatuhan wajib pajak.
c. Penggunaan teknologi dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
d. Adanya sistem pemantauan proses administrasi perpajakan dan manajemen
kasus.
II.2.3. Tujuan Dibentuknya Sistem Administrasi Perpajakan Modern
Menurut Pandiangan (2008), tujuan dari modernisasi perpajakan adalah
untuk menjawab latar belakang dilakukannya modernisasi perpajakan, yaitu :
a. Tercapainya tingkat kepatuhan pajak (tax compliance) yang tinggi.
b. Tercapainya tingkat kepercayaan (trust) terhadap administrasi perpajakan yang
tinggi.
c. Tercapainya tingkat produktivitas pegawai pajak yang tinggi.
26
II.2.4. Perubahan Paradigma Perpajakan
Seiring dengan diberlakukannya modernisasi perpajakan, maka terjadi
perubahan paradigma dalam berbagai aspek yang berkaitan dengan perpajakan,
yaitu :
a. Organisasi berubah dari berdasarkan “jenis pajak” menjadi berdasarkan
“fungsi”.
b. Sistem dan proses kerja berubah dari “manual” menjadi berdasarkan “sistem”,
yang terkait dengan pemanfaatan terknologi informatika terkini.
c. Lebih mengedepankan aspek pelayanan kepada Wajib Pajak (customer oriented)
dengan adanya help desk maupun Account Representative (AR).
d. Adanya unit khusus yang menangani segala keluhan (complaint center).
e. Tuntutan profesional sumber daya manusia dalam bekerja.
f. Adanya “Kode Etik Pegawai”, yang sebelumnya tidak ada, seirama dengan
pelaksanaan “good governance” dapat berjalan dengan baik.
II.2.5. Implementasi Modernisasi
Dalam modernisasi perpajakan ini, implementasinya dilakukan melalui
organisasi Direktorat Jenderal pajak, baik di Kantor Pusat, Kantor Wilayah,
maupun Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Implementasi dari masing-masing unit
27
organisasi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kantor Pusat.
Dalam pembentukan Kantor Pusat DJP Modern, sebagai induk organisasi
yang mengelola pajak di Indonesia, secara struktur organisasi disesuaikan
dengan struktur kantor pajak di beberapa negara maju. Hal ini bertujuan agar
dapat mengantisipasi serta mengikuti berjalannya era globalisasi dalam
melaksanakan tugas perpajakan.
Kantor pusat hanya sebagai unit pembuat kebijakan (policy marker) dan
pengembangan organisasi juga proses kerja (transform), sehingga tidak
mengerjakan tugas dan fungsi operasional perpajakan, kecuali hal yang bersifat
khusus.
b. Kantor Wilayah.
Pembenahan organisasi, tugas, dan fungsi antara Kantor Wilayah
maupun KPP sebagai unit operasional perpajakan di lapangan, dilakukan seiring
dengan adanya modernisasi administrasi perpajakan.
Karakteristik dari Kantor Wilayah yang modern yaitu :
1) Paradigma struktur organisasi berdasarkan “fungsi”, bukan “jenis pajak”.
2) Menyelesaikan keberatan atas ketetapan yang dilakukan KPP, dan
penyidikan dalam hal terjadi indikasi tindak pidana.
3) Diterapkannya “Kode Etik Pegawai” dan adanya “Komite Kode Etik
28
Pegawai” yang mengawasi pelaksanaannya.
4) Adanya “complaint center”.
5) Adanya layanan interaktif (call center) dalam rangka pelayanan kepada
masyarakat.
6) Menggunakan sistem komunikasi dan teknologi informasi terkini.
7) Sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.
8) Sarana dan prasarana kerja yang lebih baik.
9) Sistem penggajian dan remunerasi yang lebih baik.
Perkembangan Organisasi Kantor Wilayah DJP yang modern adalah
sebagai berikut :
Tabel 1
Keputusan
Menteri
Keuangan
No.65/KMK.01/
2002
Keputusan Menteri
Keuangan
No.254/KMK.01/
2004
Peraturan Menteri
Keuangan
No.132/PMK.01/
2006
Bagian Umum Bagian Umum Bagian Umum
Bidang Analisa
Data dan
Bidang Dukungan
Teknis dan
Bidang Dukungan
Teknis dan
29
Pengawasan Konsultasi Konsultasi
Bidang Pelayanan
dan Penyuluhan
Bidang Penyuluhan,
Pelayanan, dan
Hubungan
Masyarakat
Bidang Penyuluhan,
Pelayanan, dan
Hubungan
Masyarakat
- Bidang Kerja Sama,
Pendataan,
Penilaian, dan
Pengenaan
Bidang Kerja Sama,
Ekstensifikasi, dan
Penilaian
Bidang
Pemeriksaan,
Penyidikan, dan
Penagihan Pajak
Bidang
Pemerikasaan,
Penyidikan, dan
Penagihan Pajak
Bidang
Pemerikasaan,
Penyidikan, dan
Penagihan Pajak
Bidang Keberatan
dan Banding
Bidang
Pengurangan,
Keberatan, dan
Banding
Bidang
Pengurangan,
Keberatan, dan
Banding
Kelompok
Jabatan
Fungsional
Kelompok Jabatan
Fungsional
Kelompok Jabatan
Fungsional
Sumber : Modernisasi & Reformasi Pelayanan Perpajakan
Berdasarkan karakteristik Wajib Pajak yang dikelola, jenis pajak yang
30
dikelola, maupun wilayah kerja yang menjadi area pelayanannya, demikian juga
dengan KPP yang dikoordinasi, saat ini dapat dikategorikan adanya 4 (empat)
model Kantor Wilayah, yaitu :
1) Kantor Wilayah yang hanya menangani Wajib Pajak besar secara nasional.
Kantor Wilayah ini hanya ada 1 (satu) dan berkedudukan di Jakarta, disebut
sebagai Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar.
2) Kantor Wilayah DJP yang menangani Wajib Pajak khusus di bidang-bidang
usaha tertentu.Kantor Wilayah ini juga hanya ada 1 (satu) dan berkedudukan
di Jakarta, disebut sebagai Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus.
3) Kantor Wilayah DJP yang menangani Wajib Pajak terbesar dan menengah
ke bawah di tingkat Kantor Wilayah. Kantor pajak ini tersebar di seluruh
nusantara.
4) Kantor Wilayah DJP yang menangani Wajib Pajak menengah ke bawah
tingkat Kantor Wilayah. Kantor Wilayah yang umum ini juga tersebar di
seluruh nusantara.
c. Kantor Pelayanan Pajak.
Karakteristik Kantor Pelayanan Pajak, yaitu :
1) Paradigma organisasi berdasarkan “fungsi”, bukan “jenis pajak”.
2) Bertanggung jawab melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan,
penagihan, dan pemeriksaan pajak.
31
3) Merupakan penggabungan dari KPP, KPPBB, dan Karikpa, yang melayani
semua jenis pajak (PPh, PPN, bea materai, PBB dan BPHTB).
4) Pemeriksaan pajak hanya ada di KPP, dengan konsep spesialisasi.
5) Terdapat Account Representative (AR), yang tugasnya bertanggung jawab
untuk melayani dan mengawasi kepatuhan beberapa Wajib Pajak untuk
setiap AR, dan sebagai pihak yang menjembatani antara Wajib Pajak
dengan Direktorat Jenderal Pajak.
6) Penerapan Kode Etik Pegawai dan Komite Kode Etik Pegawai.
7) Adanya “help desk” dengan teknologi knowledge base di TPT (service
center).
8) Menggunakan sistem komunikasi dan teknologi informasi terkini.
9) Sumber daya manusia yang berkualitas tinggi
10) Sarana dan prasarana yang lebih baik.
11) Sistem penggajian dan renumerasi yang lebih baik.
12) Adanya “taxpayer’s bill of rights”.
Dalam implementasinya, ada 3 (tiga) jenis KPP modern, yaitu :
1) KPP Wajib Pajak Besar (Large Taxpayers Office, LTO).
KPP ini mengelola Wajib Pajak skala besar secara nasional dengan
jenis badan dan terbatas jumlahnya. Jenis pajak yang dikelolanya hanya
32
PPh, PPN, PPnBM dan Bea Materai. Jumlah Wajib Pajaknya sudah tetap
sekitar 200-300, yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak, sehingga dalam kantor ini tidak ada lagi kegiatan ekstensifikasi.
Kedudukan kantor ini hanya ada di Jakarta, dan hingga kini hanya terdapat 3
(tiga) kantor saja.
2) KPP Madya (Medium Taxpayers Office, MTO).
KPP ini mengelola Wajib Pajak besar jenis badan dalam skala
regional (Lingkup Kantor Wilayah) dan juga terbatas jumlahnya. Jenis pajak
yang dikelolanya hanya PPh, PPN, PPnBM, dan Bea Materai. Jumlah Wajib
Pajaknya juga telah ditetapkan sekitar 200-500, sehingga dalam kantor ini
kegiatan ekstensifikasi juga tidak dilakukan. Kedudukannya berada di
beberapa Kantor Wilayah DJP di Indonesia.
3) KPP Pratama (Small Taxpayers Office, STO).
KPP ini mengelola Wajib Pajak Menengah ke bawah, yaitu jenis
badan di luar yang telah dikelola oleh KPP Wajib Pajak Besar dan KPP
Madya, serta orang pribadi. Jenis pajak yang dikelolanya mencakup semua
jenis pajak, yaitu PPh, PPN, PPnBM, Bea Materai, dan PBB. Jumlah Wajib
Pajaknya dapat berubah seiring dengan pertambahan orang pribadi yang
memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau
melakukan kegiatan usaha di wilayah kerjanya. Dengan demikian, jenis
wajib pajak yang dikelola terdiri atas orang pribadi, badan, maupun sebagai
pemotong atau pemungut pajak (seperti bendaharawan instansi pemerintah).
33
Kedudukannya berada di seluruh Kantor Wilayah di Indonesia, kecuali
Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah Wajib Pajak
Khusus.
Perkembangan Organisasi Kantor Pelayanan Pajak Modern :
Tabel 2
Keputusan
Menteri
Keuangan
No.65/KMK.01/
2002
Keputusan
Menteri
Keuangan
No. 254/KMK.01/
2004
Peraturan
Menteri
Keuangan
No.132/PMK.01/
2006
Subbagian Umum Subbagian Umum Subbagian Umum
Seksi
Administrasi
Basis Data
Seksi Pengolahan
Data dan Informasi
Seksi Pengolahan
Data dan
Informasi
Seksi Pelayanan Seksi Pelayanan Seksi Pelayanan
Seksi Penagihan Seksi Penagihan Seksi Penagihan
Seksi
Pemeriksaan
Seksi Pemeriksaan Seksi
Pemeriksaan
Seksi Pengawasan Seksi Pengawasan Seksi Pengawasan
34
dan Konsultasi dan Konsultasi dan Konsultasi
Seksi
Ekstensifikasi
Perpajakan
Seksi
ekstensifikasi
Perpajakan
Kelompok
Jabatan
Fungsional
Kelompok Jabatan
Fungsional
Kelompok
Jabatan
Fungsional
Sumber : Modernisasi & Reformasi Pelayanan Perpajakan
II.2.6. Fasilitas Pelayanan Dalam Modernisasi Perpajakan
a. Tempat Pelayanan Terpadu (TPT).
Tempat ini merupakan tempat pelayanan perpajakan yang terintegrasi
di KPP dengan menggunakan sistem komputer, yang bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak. Selain itu, juga memudahkan
pengawasan terhadap proses pelayanan yang diberikan kepada Wajib Pajak.
b. Account Representative.
Account Representative (AR) memiliki tugas untuk melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban Wajib Pajak dan melayani
penyelesaian hak Wajib Pajak. AR juga bertugas untuk memberikan semua
informasi yang diperlukan dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Wajib
35
Pajak secara efektif dan profesional, terutama mengenai Rekening Wajib Pajak
(Taxpayers Account) untuk semua jenis pajak, kemajuan proses pemeriksaan dan
restitusi, interpretasi dan penegasan atas suatu peraturan (ruling), perubahan data
identitas Wajib Pajak, tindakan pemeriksaan dan penagihan pajak, kemajuan
proses keberatan dan banding, perubahan peraturan yang berkaitan dengan
kewajiban perpajakan wajib pajak. Dengan demikian, AR berfungsi untuk
menjembatani antara Wajib Pajak dengan KPP. Setiap AR akan diberikan
tanggung jawab untuk memantau wajib pajak dalam areal tertentu. Dengan
adanya AR, diharapkan pengawasan dalam perpajakan menjadi lebih efektif.
c. Help Desk.
Help Desk ini merupakan salah satu fasilitas yang diberikan, untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan yang terkadang dialami oleh masyarakat bila
berhubungan dengan suatu kantor pajak termasuk instansi pemerintah. Fasilitas
ini biasanya dilokasikan di lobby gedung KPP atau TPT, dengan menempatkan
petugas yang dianggap cakap dan berpengetahuan tentang perpajakan.
Masyarakat dapat menggunakan fasilitas ini untuk memperoleh segala informasi
yang dibutuhkan mengenai perpajakan.
d. Media Informasi Pajak.
Fasilitas ini tidak hanya disediakan di KPP, melainkan juga terdapat di
beberapa tempat lain yang strategis. Media Informasi Pajak merupakan suatu
media yang berbentuk touch screen, yang disediakan untuk melayani kebutuhan
Wajib Pajak atas informasi-informasi mengenai peraturan pajak yang berlaku,
36
seperti misalnya bagaimana cara untuk mengajukan diri sebagai Wajib Pajak.
e. Website.
Dalam era globalisasi ini, dimana penggunaan teknologi sudah semakin
marak digunakan, dibuatlah suatu website perpajakan yang dikelola oleh DJP
yang memiliki fungsi yang serupa seperti fasilitas yang dijelaskan sebelumnya,
yaitu untuk memberikan informasi-informasi mengenai perpajakan dan
peraturan perpajakan yang berlaku saat ini.
Beberapa diantara website tersebut yaitu :
1) http://www.pajak.go.id
2) http://www.kanwilpajakbesar.go.id
3) http://www.kanwilpajakkhusus.go.id
f. Complaint Center.
Fasilitas ini merupakan bentuk keterbukaan DJP untuk melakukan
perbaikan-perbaikan tugas terutama dalam hal pelayanan terhadap Wajib
Pajak. Namun, fasilitas ini tidak melayani keluhan-keluhan mengenai
penyimpangan ataupun pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pegawai,
melainkan hanya terbatas pada keluhan atsa segala jenis pelayanan,
pemerikasaan, keberatan, dan banding. Pegawai yang melakukan pelanggaran
akan ditangani secara khusus oleh unit tersendiri.
37
g. Call Center.
Fungsi utama yang ditangani oleh call center adalah menyangkut
pelayanan dan penanganan complaint Wajib Pajak. Adapun keistimewaan dari
fasilitas ini adalah :
1) Sentralisasi penerimaan complaint dengan desentralisasi penanganan
complaint.
2) Penggunaan toll free number.
3) Dilengkapi dengan complaint management service.
h. E- Registration.
E-Registration merupakan Sistem Pendaftaran Wajib Pajak secara on-
line, yaitu sistem pendaftaran dan atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
dengan menggunakan suatu sistem yang terhubung langsung secara on-line
dengan Direktorat Jenderal Pajak. Tujuan utama sistem ini adalah memberikan
kemudahan bagi Wajib Pajak untuk mendaftar setiap saat dan dimana saja,
serta memberikan fasilitas terkini bagi Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri
secara on-line dengan memanfaatkan teknologi internet.
Sistem ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu sistem yang dipergunakan
oleh Wajib Pajak yang berfungsi sebagai sarana pendaftaran Wajib Pajak
secara on-line dan sistem yang dipergunakan oleh Petugas Pajak yang
berfungsi untuk memproses pendaftaran Wajib Pajak.
38
Dengan adanya aplikasi ini, maka Wajib Pajak dapat menghemat
waktu dan tenaga karena dapat melakukan registrasi kapan saja dan dimana
saja sepanjang terdapat koneksi internet dimana Wajib Pajak tersebut berada.
i. E-Filing.
E-Filing merupakan suatu cara penyampaian Surat Pemberitahuan
yang dilakukan melalui sistem on-line dan real time melalui sebuah perusahaan
Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) dengan menggunakan internet, yaitu perusahaan
ASP yang telah ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai perusahaan
yang dapat menyalurkan penyampaian SPT secara elektronik ke DJP.
Penggunaan E-Filing dimaksudkan untuk memberikan kelancaran bagi
pelayanan kepada wajib pajak dan juga untuk mengurangi kontak antara wajib
pajak dengan petugas pajak.
Tujuan dari penggunaan E-Filing ini adalah untuk memberi
kemudahan kepada para Wajib Pajak, sehingga Wajib Pajak Pribadi dapat
melakukan pelaporan SPT dari rumah atau tempatnya bekerja, sedangkan
Wajib Pajak Badan dapat melakukannya dari lokasi kantor atau usahanya.
Selain itu, dengan cepat dan mudahnya pelaporan pajak ini berarti juga akan
memberikan dukungan kepada Kantor Pajak dalam hal percepatan penerimaan
laporan SPT dan perampingan kegiatan administrasi, pendataan (juga akurasi
data), distribusi dan pengarsipan laporan SPT.
Langkah-langkah untuk dapat menggunakan aplikasi E-filing yaitu
sebagai berikut :
39
1) Mengajukan permohonan Electronic Filer Identification Number (EFIN).
2) Mengajukan permohonan mendapatkan Digital Certificate.
3) Memeriksa status permohonan dan meng-install Digital Certificate.
j. E-SPT.
Elektronik SPT (E-SPT) merupakan suatu aplikasi yang
dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang digunakan untuk
mengadministrasikan data SPT yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk
melaporkan SPT. E-SPT dapat berbentuk pelaporan SPT melalui perusahaan
Pelayanan Jasa Aplikasi (ASP) maupun SPT beserta lampiran-lampiranya
dalam bentuk digital dan dilaporkan menggunakan media penyimpanan seperti
disket, CD, flashdisk ke KPP dimana Wajib Pajak terdaftar. Dengan adanya E-
SPT ini, maka Wajib Pajak cukup melaporkan SPT induk saja, sementara
lampiran-lampirannya dilaporkan dalam bentuk file-file yang disimpan di
media penyimpanan.
Perbedaan antara pelaporan SPT secara manual dengan pelaporan
SPT secara E-SPT, yaitu :
1) Cara Pengisian.
Dalam melakukan pengisian SPT secara manual, dilakukan
dengan cara memasukkan setiap data secara manual pada formulir SPT,
kemudian Wajib Pajak diharuskan untuk dapat melakukan penghitungan
jumlah pajak yang terutang. Jika Wajib Pajak tidak mengerti tentang
40
bagaimana melakukan penghitungan jumlah pajak yang terutang, maka
dapat menyewa jasa konsultan pajak.
Sedangkan dalam melakukan pengisian SPT secara E-SPT,
pengisian dilakukan dengan menggunakan komputer yang telah
terpasang sistem aplikasi E-SPT. Sistem ini memiliki kemampuan untuk
menghitung jumlah pajak yang terutang berdasarkan data yang telah
diinput ke dalam sistem. Dalam melakukan pengisian SPT menggunakan
E-SPT ini, hanya dibutuhkan seorang operator entry untuk memasukkan
data ke dalam sistem aplikasi E-SPT dan kemudian sistem inilah yang
akan menghitung secara otomatis jumlah pajak terutang yang dimiliki
oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
2) Cara Pelaporan.
Dalam pelaporan SPT secara manual, Wajib Pajak diharuskan
untuk melaporkan induk SPT beserta lampiran-lampiran SPT dalam
bentuk hard copy secara langsung ke KPP. Sedangkan dalam pelaporan
SPT menggunakan E-SPT, Wajib Pajak hanya perlu melaporkan induk
SPT saja, sementara lampiran-lampirannya dilaporkan dalam bentuk soft
copy melalui media penyimpanan seperti disket, CD, dan sebagainya.
3) Pengendalian (control).
Dalam pelaporan SPT secara manual, diperlukan pengendalian
yang ketat terhadap kinerja aparat pajak. Sedangkan dalam pelaporan
41
SPT secara E-SPT, pengendalian terhadap kinerja aparat pajak lebih
rendah, tetapi diperlukan pengendalian terhadap teknologi yang
digunakan.
4) Risiko.
Dalam pelaporan SPT secara manual, risiko yang dimiliki
lebih tinggi, karena aparat pajak harus merekam ulang SPT yang telah
dilaporkan oleh Wajib Pajak sehingga dapat terjadi kemungkinan jumlah
SPT yang direkam oleh aparat pajak tidak sama dengan jumlah SPT yang
dilaporkan oleh Wajib Pajak. Sedangkan dalam pelaporan SPT secara E-
SPT, dapat mengurangi risiko karena aparat pajak tidak perlu lagi
melakukan perekaman ulang tetapi langsung memindahkan data SPT
Wajib Pajak yang telah disimpan dalam media penyimpanan.
Adanya aplikasi E-SPT ini bertujuan untuk memudahkan Wajib
Pajak dalam melakukan pelaporan SPT. Adapun kegunaan lain dari aplikasi E-
SPT yaitu:
1) Perekaman data SPT beserta lampiran-lampirannya dan pembetulan atau
koreksi.
Sistem aplikasi E-SPT ini dapat digunakan untuk merekam
data SPT beserta lampirannya dan dapat melakukan perhitungan-
perhitungan secara otomatis pada saat perekaman. Dengan demikian,
Wajib Pajak dapat secara langsung melakukan pembetulan ataupu
42
koreksi pada SPT induk maupun lampiran apabila terdapat kesalahan
pemasukan data karena sistem ini memiliki fasilitas checking.
2) Pembuatan data digital SPT.
Data SPT dalam bentuk digital dan data digital akan dihasilkan
oleh program aplikasi E-SPT, yang merupakan suatu data yang akan
dilaporkan kepada KPP dalam bentuk media penyimpanan seperti CD
atau flashdisk.
3) Cetak SPT.
Aplikasi ini memiliki fasilitas untuk mencetak SPT induk yang
akan dilaporkan ke KPP dimana Wajib Pajak terdaftar.
Sebagaimana layaknya suatu sistem yang mulai digunakan, tentu
aplikasi ini memiliki beberapa kelebihan maupun kekurangan, antara lain :
1) Kelebihan E-SPT :
a) Penyampaian E-SPT dilakukan secara aman.
Wajib Pajak hanya perlu membawa SPT induk ke KPP,
sementara lampiran-lampirannya tersimpan ke dalam media
penyimpanan. Hal ini menyebabkan tidak ada kemungkinan adanya
lampiran SPT yang tidak terbawa atau tercecer.
b) Sistem aplikasi E-SPT mengorganisasikan data perpajakan
perusahaan dengan baik dan sistematis.
43
Dengan menggunakan aplikasi ini, Wajib Pajak dapat
menginput data SPT secara benar dan terorganisasi dengan baik
karena sistem ini telah dibuat secara sistematis. Wajib Pajak hanya
perlu memasukkan data keuangan dan secara otomatis sistem ini
akan dapat menghasilkan data perpajakan yang lebih baik dan
sistematis, juga dapat menghitung pajak terutang yang dimiliki oleh
Wajib Pajak tersebut.
c) Mempermudah perhitungan pajak.
Operator entry yang akan mengisi SPT hanya perlu untuk
menginput data SPT saja, kemudian secara langsung sistem aplikasi
E-SPT akan melakukan penghitungan perpajakan secara otomatis.
d) Mempermudah dalam pembuatan laporan perpajakan.
Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat laporan dengan
lampirn yang bertumpuk-tumpuk, karena sistem ini memiliki
kemampuan untuk membuat SPT dalam media penyimpanan
(disket/CD) dengan format tertentu sehingga memudahkan Wajib
Pajak dalam melaporkan SPT ke KPP. Software yang disediakan
untuk pengisian laporan memiliki fasilitas checking yang dapat
mengurangi kesalahan. Wajib Pajak juga dapat mengurangi biaya
cetak lembar isian SPT karena kesalahan input dapat segera
diperbaiki pada saat pengisian data.
44
2) Kekurangan E-SPT, yaitu kurangnya infrastruktur yang tersedia di
lingkungan KPP. Sistem ini membutuhkan infrastruktur yang bersifat
fisik, seperti komputer dengan kualifikasi yang lebih tinggi, maupun
infrastruktur yang bersifat non fisik, seperti kehandalan sumber daya
manusia yang dimiliki.
k. E-Payment atau Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3).
Fasilitas lainnya yang memberi kemudahan bagi Wajib Pajak dan
juga berfungsi mengurangi kontak langsung antara petugas pajak dengan Wajib
Pajak adalah melalui E-Payment. Melalui sistem pembayaran dengan E-
Payment ini, Wajib Pajak selain dapat langsung ke bank persepsi, juga dapat
menyetorkan pajak dengan fasilitas phone banking, internet banking, standing
instruction, atau ATM.
II.3. KEPATUHAN WAJIB PAJAK
Penerapan sistem self asessment di Indonesia, fungsi pengawasan
memiliki peran yang sangat penting, karena tanpa pengawasan dalam kondisi
tingkat kepatuhan masyarakat Wajib Pajak masih rendah, dapat mengakibatkan
sistem tersebut tidak berjalan dengan baik. Hal ini akan menyebabkan Wajib Pajak
tidak menjalankan kewajibannya dengan benar, yang akan berakibat pada sektor
penerimaan pajak negara.
Untuk meningkatkan kesadaran Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
45
perpajakannya bukanlah suatu hal yang mudah. Seperti yang dikemukakan oleh
Brotodiharjo (1995) :
“Lepas dari kesadaran kewarganegaraan dan solidaritas nasional, lepas
pula dari pengertiannya tentang kewajibannya terhadap negara, pada sebagian
terbesar diantara rakyat tidak akan pernah meresap kewajibannya membayar pajak
sedemikian rupa, sehingga memenuhinya tanpa menggerutu. Bahkan bila ada
sedikit kemungkinan saja, maka pada umumnya mereka cenderung untuk
meloloskan diri dari setiap pajak. Hal ini telah ternyata disegenap negara dan
sepanjang masa.”
Dari pernyataan tersebut, kita dapat melihat bahwa di negara manapun di
dunia, termasuk Indonesia, Wajib Pajak akan selalu berusaha meloloskan diri dari
setiap kewajiban perpajakannya, baik secara legal (tax avoidance), maupun secara
ilegal (tax evasion). Itulah sebabnya sejak diterapkan sistem self assessment, tugas
fiskus bukan hanya sebagai penentu besarnya pajak terutang, tetapi juga melakukan
tugas-tugas penyuluhan, pembinaan, dan pengawasan.
Beberapa pengertian mengenai kepatuhan Wajib Pajak, yaitu :
1. Menurut Safri Nurmantu, Dr., drs., Msi :
“Kepatuhan Wajib Pajak didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak
perpajakannya.”
2. Menurut Dr. Ir. Chaizi Nasucha, MPKN :
46
“Kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasi dari kepatuhan Wajib
Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat
Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak
terutang, dan kepatuhan dalam membayar tunggakan.”
3. Menurut Gunadi :
“Kepatuhan Wajib Pajak adalah Wajib Pajak yang mempunyai
kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang
berlaku tanpa perlu dilakukan pemeriksaan, investigasi, peringatan ataupun
ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.”
Dari beberapa pengertian di atas, dapat terlihat bahwa kepatuhan
merupakan pelaksanaan atas kewajiban untuk menyetorkan dan melaporkan
pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perpajakan.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi kesadaran dan kepatuhan dari
Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya adalah :
1. Tarif pajak.
2. Pelaksanaan penagihan pajak.
3. Ada tidaknya sanksi bagi pelanggar.
4. Pelaksanaan sanksi secara konsisten, konsekuen dan tanpa pandang bulu.
Sementara indikator yang digunakan dalam mengukur kepatuhan
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
47
1. Kepatuhan Formal, yang dapat diukur dengan menilai :
a. Kepatuhan dalam mendaftarkan diri.
b. Kepatuhan dalam meyetor.
c. Kepatuhan dalam melapor.
2. Kepatuhan material.
Kepatuhan material jauh lebih penting, karena secara formal
mungkin saja Wajib Pajak memperlihatkan kepatuhan, tetapi apa yang
disetorkan maupun dilaporkan oleh Wajib Pajak belum tentu sesuai
dengan apa yang seharusnya. Indikator yang dapat dipakai untuk
mengukur kepatuhan material adalah hasil pemeriksaan.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 192/PMK.03/2007,
Wajib Pajak dimasukkan dalam kategori Wajib Pajak patuh, apabila memenuhi
kriteria sebagai berikut :
1. Wajib pajak tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).
2. Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak
kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajaknya.
3. Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan.
48
Dalam rangka upaya meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak,
langkah-langkah perbaikan administrasi diharapkan dapat mendorong
kepatuhan Wajib Pajak melalui :
1. Wajib Pajak patuh karena mendapatkan pelayanan yang baik, cepat, dan
menyenangkan serta pajak yang mereka bayar akan bermanfaat bagi
pembangunan bangsa.
2. Wajib pajak akan patuh karena mereka berpikir bahwa mereka akan
mendapatkan sanksi yang berat akibat pajak yang tidak mereka laporkan
terdeteksi oleh sistem informasi dan administrasi perpajakan.
Menerapkan Sistem Administrasi Perpajakan Modern, salah
satunya dengan penerapan E-SPT, merupakan salah satu upaya yang dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Diharapkan kemudahan-kemudahan yang didapatkan oleh Wajib Pajak akan
mendorong peningkatan kepatuhan dari para Wajib Pajak.
II.4. STATISTIKA
II.4.1. Penentuan Jumlah Sample
Dalam suatu penelitian, terdapat kecenderungan bahwa jumlah sampel
minimun yang digunakan sebanyak 30 sampel. Hal ini terjadi karena ketika jumlah
sampel mencapai 30, maka distribusi sampel yang terbentuk mendekati asumsi distribusi
normal. Semakin besar jumlah sampelnya, maka akan semakin normal distribusinya.
49
Pada saat jumlah sampel 30 atau lebih, maka kurva lonceng yang terbentuk akan
sempurna. Namun jika jumlah sampel kurang dari 30, maka kurva lonceng yang
dihasilkan bisa bergelombang atau miring.
II.4.2. Teori McNemar
Teori McNemar digunakan dalam statistik non parametrik yang mensyaratkan
adanya skala pengukuran data nominal atau kategori binary (seperti 1 untuk “tidak” dan 0
untuk “ya”). Pada umumnya McNemar menggunakan tabel kontingensi (tabel 2x2 atau
tabel 2 baris dan 2 kolom). Uji McNemar sangat cocok untuk penelitian yang bersifat
“before” dan “after”. Dengan kata lain,hipotesis pada penelitian merupakan perbandingan
antara nilai sebelum dan sesudah diberi perlakuan.
Uji McNemar berdistribusi chi-square (X2), maka dari itu statistik uji
yang digunakan adalah :
dengan derajat bebas = 1, dimana :
O1 = banyaknya kasus yang diamati
Ei = banyaknya kasus yang diharapkan