bab ii landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2008-2-00024-ak bab 2.pdf ·...

21
8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan secara umum “Pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan Undang-Undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontraprestasi/balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan” (h.7). Mardiasmo (2006) menyebutkan batasan atau definisi pajak sangat beragam dari para ahli pajak menyajikan definisi pajak tersebut sesuai dengan kemampuan dan pemahaman pemikiran mereka. Salah satunya definisi pajak oleh para ahli yaitu : Menurut Prof. Dr. Soemitro, SH sebagai berikut : “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. “ Berdasarkan definisi pajak, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang melekat pada pengertian definisi pajak, yaitu sebagai berikut : 1. Iuran rakyat kepada negara Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang bukan barang. 2. Berdasarkan undang-undang

Upload: dangliem

Post on 22-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

8

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Perpajakan

II.1.1. Definisi Pajak

Siahaan (2006) mendefinisikan secara umum “Pajak adalah pungutan dari

masyarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan Undang-Undang yang bersifat dapat

dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi

kembali (kontraprestasi/balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk

membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan” (h.7).

Mardiasmo (2006) menyebutkan batasan atau definisi pajak sangat beragam dari

para ahli pajak menyajikan definisi pajak tersebut sesuai dengan kemampuan dan

pemahaman pemikiran mereka. Salah satunya definisi pajak oleh para ahli yaitu :

Menurut Prof. Dr. Soemitro, SH sebagai berikut :

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang

dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung

dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. “

Berdasarkan definisi pajak, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang

melekat pada pengertian definisi pajak, yaitu sebagai berikut :

1. Iuran rakyat kepada negara

Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang

bukan barang.

2. Berdasarkan undang-undang

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

9

Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekeuatan undang-undang serta aturan

pelaksanaannya.

3. Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung

dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya

kontraprestasi individual oleh pemerintah.

4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-

pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

II.1.2. Fungsi Pajak

Menurut Mardiasmo (2006) Pajak bagi Negara mempunyai fungsi yang sangat

penting antara lain :

a. Fungsi Penerimaan (Budgetair)

Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-

pengeluarannya.

b. Fungsi Mengatur (Regulernd)

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah

dalam bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak

yang lebih tinggi terhadap minuman keras dan terhadap barang mewah.(h.1).

II.1.3. Pengelompokkan Pajak

Mardiasmo (2006) menyebutkan bahwa Pajak dapat dikelompokan ke dalam

kelompok :

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

10

1. Menurut golongan

a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan

pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang

bersangkutan, sebagai contoh Pajak Penghasilan.

b. Pajak Tidak Langsung,yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan

ke pihak lain, sebagai contoh Pajak Pertambahan Nilai.

2. Menurut sifatnya

Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya

berdasarkan ciri-ciri prinsip:

a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada

subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti

memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan

b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya,

tanpa memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan

Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

3. Menurut lembaga pemungutnya

a. Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan

untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak

Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan

Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Bea

Meterai.

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

11

b. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak Kendaraan

Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.(h.5).

II.1.4. Syarat Pemungutan Pajak

Mardiasmo (2006) menyebutkan agar pajak tidak menemui hambatan dalam

pelaksanaannya, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang–undang dan

pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang–undangan

diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan

dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni

dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan,

penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis

Pertimbangan Pajak.

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-undang (Syarat Yuridis)

Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (2). Hal ini

memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara

maupun warganya.

3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomi)

Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi

maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian

masyarakat.

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

12

4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial)

Sesuai dengan fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan

sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

5. Sistem pemungutan harus sederhana

Sistem pemungutan pajak yang sederhana akan memudahkan dan mendorong

masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi

oleh undang-undang perpajakan yang baru.(h.2).

II.1.5. Stelsel Pajak

Menurut Mardiasmo (2006) pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3

stelsel :

a. Stelsel nyata (riel stelsel)

Pengenaan Pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga

pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah

penghasilan yang sesungguhnya diketahui

b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel)

Pengenanaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-

undang.

c. Stelsel campuran

Stelsel ini kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. (h.6).

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

13

II.1.6 Asas Pemungutan Pajak

Mardiasmo (2006) menyebutkan bahwa asas pemungutan pajak terdiri dari :

a. Asas domisili (asas tempat tinggal)

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang

bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam

maupun luar negeri.

b. Asas sumber

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di

wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.

c. Asas kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.(h.7).

II.1.7. Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2006) sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi:

1. Official Assessment System

Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang

kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.

Ciri-ciri Official Assessment System :

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

14

b. Wajib pajak bersifat pasif

c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

2. Self Assessment System

Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang,

kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung,

memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang

terutang.

3. With Holding System

Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang

kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang

terutang oleh wajib pajak.(h.7).

II.1.8. Tarif Pajak

Menurut Mardiasmo (2006) Pemungutan pajak tidak terlepas dari keadilan,

dengan keadilan dapat menciptakan keseimbangan sosial yang sangat penting untuk

kesejahteraan masyarakat. Perhitungan pajak yang terutang dikenal 4 (empat) macam

tarif yaitu :

1. Tarif Pajak Proporsional atau Sebanding

Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai

pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.

Contoh : untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan

dikenakan PPN sebesar 10%.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

15

2. Tarif tetap

Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang

dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh : besarnya

tarif bea meterai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun

adalah Rp 6.000,-

3. Tarif Pajak Progresif

Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai

pajak semakin besar. Contoh : Pasal 17 Undang-undang PPH

a. Sampai dengan 25 Juta tarif 5%

b. Di atas 25 Juta – 50 Juta tarif 10%

c. Di atas 50 Juta – 100 Juta tarif 15%

d. Di atas 100 Juta – 200 Juta tarif 25%

e. Di atas 200 Juta tarif 35%

4. Tarif Pajak Degresif

Persentase tarif pajak yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang

dikenai pajak semakin besar.(h.9).

II.2. Pajak Daerah

Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah RI No.65 tahun 2001 tentang Pajak

Daerah diatur bahwa Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah

kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat

dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan

untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

16

Dengan demikian pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh

pemerintah daerah dengan Peraturan daerah (Perda), yang wewenang pemungutannya

dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai

pengeluaran pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan di daerah.

II.2.1. Dasar Hukum Pajak

Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang No.34 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah pendukungnya, yaitu

Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Pasal 17 ayat (2)

Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah menjelaskan

perbedaan antara jenis pajak yang dipungut oleh Propinsi dan jenis pajak yang dipungut

oleh Kabupaten / Kota yaitu :

A. Pajak Propinsi (Daerah Tingkat I)

1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air

Permukaan

B. Pajak Kabupaten / kotamadya (Daerah Tingkat II)

1. Pajak Hotel

2. Pajak Restoran

3. Pajak Hiburan

4. Pajak Reklame

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

17

5. Pajak Penerangan Jalan

6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C

7. Pajak Parkir

II.2.2. Kriteria dan Ciri-Ciri Pajak Daerah

Tjip (2008) menyebutkan bahwa prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang

baik pada umumnya tetap sama, yaitu harus memenuhi Kriteria umum tentang

perpajakan daerah sebagai berikut :

1. Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastik, artinya dapat mudah

naik turun mengikuti naik turunya tingkat pendapatan masyarakat.

2. Adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok

masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok

masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.

3. Administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung dan pelayanan

memuaskan bagi wajib pajak.

4. Secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan

kesadaran pribadi untuk membayar pajak.

5. Non distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan

menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian.

Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan daerah harus

memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Pajak Daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara

penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

18

2. Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar,

kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam.

3. Tax Basenya (Dasar pengenaan pajaknya) harus merupakan perpaduan antar

prinsip keuntungan dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).(h.197).

II.2.3. Penerimaan Daerah dan Pajak Daerah

Dengan ditetapkannya Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang didukung dengan Peraturan

Pemerintah No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan

Pemerintah Provinsi sebagai Daaerah Otonom, telah membawa pembangunan yang

cukup besar dan mendasar dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan

masyarakat serta pembangunan daerah.

Implikasi langsung dari pemberian tanggung jawab tersebut adalah daerah

membutuhkan dana yang semakin besar untuk memenuhi pembiayaan uang menjadi

tanggung jawabnya. Sejalan dengan pemberian fungsi tersebut juga telah dilakukan

pembagian sumber-sumber keuangan yang menjamin agar semua daerah dapat

membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Salah satu sumber pembiayaan tersebut diharapkan dari penerimaan daerah yang

diatur dalam Pasal 157 UU No. 32 Tahun 2004 tentang penerimaan daerah meliputi :

1. Pendapatan Asli Daerah

a. Hasil Pajak Daerah

b. Hasil Retribusi Daerah

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

19

c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah

yang dipisahkan dan,

d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

2. Dana Perimbangan

3. Pinajaman Daerah dan,

4. Lain-lain Pendapatan daerah yang sah

Sedangkan sumber Pendapatan Daerah yang diatur dalam Pasal 5 dan 6 Undang-

undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah meliputi:

1. Sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, adalah:

a. PAD

b. Dana Perimbangan

c. Pinjaman daerah

d. Lain-lain Pendapatan

2. Sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari:

a. Hasil Pajak Daerah

b. Hasil Retribusi Daerah

c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah

yang dipisahkan, dan

d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah meliputi :

1) Hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan;

2) Jasa giro;

3) Pendapatan bunga;

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

20

4) Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;

5) Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan

dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

II.2.4. Efektifitas Pajak daerah

Menurut Tjip (2005) sebelum suatu kebijakan peraturan daerah diberlakukan terlebih

dahulu dikaji tentang tolok ukur untuk menilai pajak daerah itu sendiri. Menurut Nick

Devas (1989 : 61-62) dalam bukunya Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, bahwa

untuk mengukur berbagai pajak daerah digunakan 5 (lima) kriteria sebagai berikut :

1. Yield (Hasil)

Digunakan untuk mengetahui memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam

kaitannya dengan berbagai layanan yang dibiayainya, stabilitas dan mudah

tidaknya memperkirakan besar hasil itu, dan elastisitas hasil pajak terhadap

inflasi, pertumbuhan penduduk dan sebagainya, juga perbandingan hasil pajak

dengan biaya pungutnya.

2. Equality (Keadilan)

Dasar pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak sewenang-wenang,

pajak bersangkutan harus adil secara horizontal, artinya beban pajak haruslah

sama besar antar berbagai kelompok yang berbeda tetapi dengan kedudukan

ekonomi yang sama, harus adil secara vertikal artinya kelompok yang

mempunyai sumber daya ekonomi yang sama dan pajak itu haruslah adil dari

tempat ke tempat lain dalam arti hendaknya tidak ada perbedaan-perbedaan yang

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

21

besar dalam pembebanan pajak dari satu daerah ke daerah lain jika perbedaan

ini mencerminkan perbedaan dalam menyediakan layanan masyarakat.

3. Economy Efficiency (Daya Guna Ekonomi)

Pajak hendaknya mendorong (atau sekitarnya tidak menghambat) penggunaan

sumber daya secara ekonomi, mencegah jangan sampai pilihan konsumen dan

pilihan produsen menjadi salah arah atau orang menjadi segan bekerja atau

menabung dan memperkecil “beban lebih” pajak.

4. Ability to Implement (Kemampuan Melaksanakan)

Suatu pajak haruslah dapat dilaksanakan, dari sudut kemampuan politik dan

kemampuan tata usaha .

5. Suistainbility as A local Revenue Source (kecocokan sebagai Sumber Penerimaan

Daerah)

Ini berarti haruslah jelas kepada daerah mana suatu pajak harus dibayarkan dan

tempat memungut pajak sedapat mungkin sama dengan tempat akhir beban

pajak, pajak tidak mudah dihindari dengan cara memindahkan objek pajak dari

suatu daerah ke daerah lain, pajak daerah jangan mempertajam perbedaan-

perbedaan dari segi potensi ekonomi masing-masing, dan pajak hendaknya tidak

menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak daerah.

II.3. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)

Menurut Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta nomor 4 Tahun 2003 tentang

Pajak Kendaraan Bermotor diatur bahwa Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas

kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor adalah

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

22

semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di semua

jenis jalan darat dan digerakan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya

yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga

gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat besar yang bergerak.

Pengenaan PKB tidak mutlak ada pada seluruh daerah provinsi di Indonesia. Hal

ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah provinsi untuk

mengenakan suatu jenis pajak propinsi . Untuk dapat dipungut pada suatu daerah

propinsi pemerintah daerah harus terlebih dahulu menerbitkan Peraturan Daerah tentang

PKB yang akan menjadi landasan operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan

pemungutan PKB di daerah propinsi yang bersangkutan.

Pajak kendaraan bermotor mempunyai dampak ekonomi yang positif. Hal ini

disebabkan Prop. DKI Jakarta semakin padat dengan bertambahnya penduduk yang

memiliki kendaraan bermotor, sedangkan untuk pajak ini biayanya cukup rendah dengan

tarif yang didasarkan pada ukuran mesin dan umur, sehingga dipandang adil karena

pemilik mobil pribadi terbatas sebagian besar pada keluarga berpenghasilan menengah

keatas.

Pajak kendaraan bermotor cocok untuk sumber pendapatan daerah karena beberapa

hal, antara lain :

a. Adanya hubungan yang jelas antara pajak dan pengeluaran pemerintah daerah

untuk jalan.

b. Tempat objek pajak dari jenis pajak ini mudah ditentukan.

c. Biaya pungutnya yang rendah dan mudah dilaksanakan.

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

23

Di DKI Jakarta pemungutan PKB didasarkan pada Undang-Undang Nomor 18

Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 65

Tahun 2001 tentang Pajak Daerah serta Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003 tentang

Pajak Kendaraan Bermotor.

II.3.1. Objek Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)

Siahaan (2005) menyebutkan bahwa Objek pajak PKB adalah kepemilikan dan

atau penguasaan kendaraan bermotor. Termasuk dalam objek PKB adalah kepemilikan

dan atau penguasaan kendaraan bermotor yang digunakan di semua jenis jalan darat,

antara lain, di kawasan bandara, pelabuhan laut, perkebunan, kehutanan, pertanian,

pertambangan, industri, perdagangan, dan sarana olahraga dan rekreasi. Objek pajak

kendaraan bermotor dikecualikan terrhadap kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan

bermotor oleh :

a. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah

b. Kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing, dan perwakilan lembaga-lembaga

internasional dengan asas timbal balik

c. Subjek pajak lainnya yang diatur dengan peraturan daerah.(h.140).

II.3.2. Subjek Pajak dan Wajib Pajak Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)

Siahaan (2005) menyebutkan bahwa subjek pajak adalah orang pribadi atau

badan yang memiliki dan atau menguasai kendaraan bermotor. Sementara itu, yang

menjadi wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki kendaraan

bermotor. Jika wajib pajak berupa badan, kewajiban perpajakannya diwakili oleh

pengurus atau kuasa badan tersebut. Dengan demikian, pada PKB subjek pajak sama

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

24

dengan wajib pajak, yaitu orang pribadi atau badan yang memiliki dan atau menguasai

keendaraan bermotor.

Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya, wajib pajak dapat diwakili oleh

pihak tertentu yang diperkenankan oleh undang-undang dan peraturan daerah tentang

PKB. Wakil wajib pajak bertanggung jawab secara pribadi dan atau secara tanggung

renteng atas pembayaran pajak terutang. Selain itu, wajib pajak dapat menunjuk seorang

kuasa dengan surat kuassaa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban

perpajakannya. (h.142).

II.3.3. Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor

(PKB).

Siahaan (2005) menyebutkan bahwa dasar pengenaan, tarif dan cara perhitungan PKB

sebagai berikut :

1. Dasar Pengenaan PKB

Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dihitung sebagai perkalian dari 2

(dua) unsur pokok :

a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor

b. Bobot yang mencerminkan secara relatif kadar kerusakan jalan dan pencemaran

lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor

Nilai Jual Kendaraan Bermotor diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas

suatu kendaraan bermotor. Dalam hal harga pasaran umum atas suatu kendaraan

bermotor tidak diketahui. Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan faktor-

faktor :

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

25

a. Isi silinder dan atau satuan daya kendaraan bermotor

b. Penggunaan kendaraan bermotor

c. Jenis kendaraan bermotor

d. Merek kendaraan bermotor

e. Tahun pembuatan kendaraan bermotor

f. Berat total kendaraan bermotor dan banyaknya penumpang yang diizinkan

g. Dokumen impor untuk jenis kendaraan bermotor tertentu

Sedangkan bobot yang dimaksud dihitung berdasarkan faktor-faktor :

a. Tekanan gandar kendaraan bermotor

b. Jenis bahan bakar kendaraan bermotor

c. Jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin kendaraan bermotor

Bobot dinyatakan sebagai koefisien tertentu. Koefisien sama dengan satu berarti

kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan oleh kendaraan bermotor tersebut dianggap

masih dalam batas toleransi. Koefisien lebih besar dari satu berarti kendaraan tersebut

berpengaruh buruk terhadap kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan, contohnya

dibawah ini.

1. Pada tahun 2002, Menteri Dalam Negeri menetapkan bahwa NJKB mobil

Mercedes Benz C.180 automatic tahun pembuatan 2000 adalah sebesar

Rp290.000.000,00 dengan bobot sebesar 1,0. Dengan demikian dasar pengenaan

pajak mobil tersebut adalah Rp290.000.000,00 x 1,0 = Rp29.000.000,00

Perhitungan dasar pengenaan PKB dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan

oleh Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan. Tabel ini ditinjau

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

26

kembali setiap tahun. Dengan demikian, besarnya dasar pengenaan pajak dapat berubah

dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan harga pasaran.

2. Tarif PKB

Tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan sebesar :

a. 1,5% (satu koma lima persen) untuk kendaraan bermotor bukan umum

b. 1% (satu persen) untuk kendaraan bermotor umum

c. 0,5% (nol koma lima persen) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan

alat-alat besar.

3. Perhitungan PKB

Besarnya pokok Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara

mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum, perhitungan PKB

adalah sesuai dengan rumus berikut :

Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak

= Tarif Pajak x (NJKB x Bobot)

Berdasarkan contoh perhitungan dasar pengenaan pajak yang dikemukakan pada

bagian 1 di atas dapat dihitung besarnya pajak terutang, yaitu :

• Untuk mobil Mercedes Benz C.180 automatic tahun pembuatan 2000

besarnya PKB yang terutang adalah 1,5% x Rp290.000.000,00 x 1 =

Rp4.350.000,00. (h.142)

II.3.4. Bagi Hasil Pajak dan Biaya Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

27

Siahaan (2005) menyebutkan bahwa bagi hasil pajak dan biaya pemungutan Pajak

Kendaraan bermotor adalah :

1. Bagi Hasil Pajak

Hasil penerimaan PKB merupakan pendapatan daerah yang harus disetorkan

seluruhnya ke kas daerah provinsi. Hasil penerimaan PKB sebagian diperuntukan bagi

daerah kabupaten/kota di wilayah propinsi tempat pemungutan PKB. Pembagian hasil

penerimaan PKB ditetapkan dalam peraturan derah provinsi, dengan perimbangan

adalah:

a. Paling banyak 70% menjadi bagian pemerintah propinsi

b. Paling sedikit 30% menjadi bagian pemerintah kabupaten/kota

2. Biaya Pemungutan Pajak

Sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2002 tentang

Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan Pajak Daerah ditetapkan alokasi biaya pemungutan

PKB terdiri dari:

a. 70% untuk aparat pelaksana pemungutan

b. 30% untuk aparat penunjang, yang terdiri dari :

1) 2,5% untuk tim pembina pusat

2) 7,5% untuk kepolisian

3) 20% untuk aparat penunjang lainnya.

Biaya pemungutan adalah biaya yang diberikan kepada aparat pelaksana

pemungutan dan aparat penunjang dalam rangka kegiatan pemungutan.(h.161)

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-2-00024-AK Bab 2.pdf · 8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan

28

II.4. Analisis Korelasi

Supranto (2000) menyebutkan bahwa hubungan dua variabel ada yang positif

dan negatif. Hubungan X dan Y dikatakan positif apabila kenaikan (penurunan) X pada

umumnya diikuti oleh kenaikan (penurunan) Y. Sebaliknya dikatakan kalau kenaikan

(penurunan) X pada umumnya diikuti oleh penurunan (kenaikan) Y.(h.150).

Cara menghitung r adalah sebagai berikut:

Rumus ini disebut koefisien korelasi Pearson (Pearson’s product moment coefficient

of correlation).

Sujianto (2007) menyebutkan bahwa analisis signifikansi hubungan (uji korelasi)

bertujuan untuk menguji hubungan antara dua variabel yang tidak menunjukkan

hubungan fungsional (berhubungan bukan berarti disebabkan). Sedangkan sifat korelasi

akan menentukan arah dari korelasi. Nilai korelasi dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. 0,00 – 0,20 korelasi keeratan sangat lemah

b. 0,21 – 0,40 korelasi keeratan lemah

c. 0,41 – 0,70 korelasi keeratan kuat

d. 0,71 – 0,90 korelassi keeratan sangat kuat

e. 0,91 – 0,99 korelasi keeratan sangat kuat sekali

f. 1 berarti korelasi keeratan sempurna.(h.38).

])([])([

)()(2222∑ ∑ ∑ ∑

∑ ∑ ∑−−

−=

yynxxn

yxxynr