bab ii landasan teori a. religiusitas dalam karya sastrarepository.ump.ac.id/5927/3/fina septiani...

14
BAB II LANDASAN TEORI A. Religiusitas dalam Karya Sastra Kata religiusitas artinya bersifat religi, bersifat keagamaan yang bersangkut- paut dengan religi. Sedangkan religi ialah kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia, kepercayaan (animisme, dinamisme, danagama), (Soeharso dan Ana Retnoningsih, 2009: 418). Religiusitas pada dasarnya bersifat mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan resmi, karena itu tidak bekerja dalam pengertian- pengertian (otak), tetapi dalam pengalaman dan penghayatan yang mendahului analisis dan konseptualisasi. Dengan demikian, religiusitas tidak langsung berhubungan ketaatan ritual yang hanya sebagai huruf, tetapi dengan yang lebih mendasar dalam diri manusia, yaitu roh, sebab huruf membunuh, sedangkan roh menghidupkan (Mangunwijaya dalam Ratnawati,dkk. 2002: 2). James dalam Wachid (2002: 176) mengemukakan bahwa bereligi berarti menyerahkan diri, taat, tetapi dalam pengertian positif, yakni berkaitan dengan kebahagiaan seseorang yang seakan memasuki dunia baru yang penuh kemuliaan. Sementara itu, perasaan keagamaan adalah segala perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan, seperti perasaan takut kepada Tuhan, perasaam berdosa, mengakui kebenaran Tuhan. Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiusitas di pihak lain melihat aspek yang 8 Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012

Upload: others

Post on 28-Oct-2019

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Religiusitas dalam Karya Sastra

Kata religiusitas artinya bersifat religi, bersifat keagamaan yang bersangkut-

paut dengan religi. Sedangkan religi ialah kepercayaan akan adanya kekuatan

adikodrati di atas manusia, kepercayaan (animisme, dinamisme, danagama),

(Soeharso dan Ana Retnoningsih, 2009: 418).

Religiusitas pada dasarnya bersifat mengatasi atau lebih dalam dari agama

yang tampak, formal dan resmi, karena itu tidak bekerja dalam pengertian-

pengertian (otak), tetapi dalam pengalaman dan penghayatan yang mendahului

analisis dan konseptualisasi. Dengan demikian, religiusitas tidak langsung

berhubungan ketaatan ritual yang hanya sebagai huruf, tetapi dengan yang lebih

mendasar dalam diri manusia, yaitu roh, sebab huruf membunuh, sedangkan roh

menghidupkan (Mangunwijaya dalam Ratnawati,dkk. 2002: 2).

James dalam Wachid (2002: 176) mengemukakan bahwa bereligi berarti

menyerahkan diri, taat, tetapi dalam pengertian positif, yakni berkaitan dengan

kebahagiaan seseorang yang seakan memasuki dunia baru yang penuh kemuliaan.

Sementara itu, perasaan keagamaan adalah segala perasaan batin yang ada

hubungannya dengan Tuhan, seperti perasaan takut kepada Tuhan, perasaam

berdosa, mengakui kebenaran Tuhan.

Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan

dengan hukum-hukum yang resmi. Religiusitas di pihak lain melihat aspek yang

8

Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012

9

terdapat di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kepada pribadi

manusia. Seorang religius adalah orang yang memahami dan menghayati hidup

dan kehidupan ini lebih dari yang lahiriah saja. Orang yang beragama idealnya

sekaligus religius, namun ada orang yang beragama tetapi tidak religius. Moral

religius menjunjung tinggi sifat-sifat menusiawi, hati nurani yang dalam, harkat

dan martabat serta kebebasan pribasi manusia (Nurgiyantoro, 2007: 327).

Religiusitas sesungguhnya merupakan sikap atau tindakan manusia yang

dilakukan secara terus-menerus dalam upaya mencari jawaban atas sejumlah

pertanyaan yang berkaitan dengan aspek eksistensialnya. Akan tetapi, jawaban

atas sejumlah pertanyaan itu tidak akan pernah diperoleh karena ia hanya bagai

bayangan yang berkelebat di dalam batin kita. Dengan demikian, religiusitas lebih

menunjuk ke suatu pengalaman, yaitu pengalaman religius, sehingga yang muncul

hanya rasa rindu, rasa ingin bersatu, dan rasa ingin berada bersama dengan

sesuatu yang abstrak, (Najib dalam Ratnawati, dkk., 2002: 2).

Salah satu cara yang dapat dilakukan manusia untuk meraih pengalaman

religius adalah dengan meningkatkan kepekaannya menangkap simbol atau

lambang-lambang yang ada di sekelilingnya. Dengan menangkap simbol atau

lambang-lambang itu manusia akan memperoleh pengalaman estetik, dan

pengalaman estetik itulah yang akan mengarahkan atau membangkitkan

pengalaman religius. Di sinilah letak keeratan hubungan antara pengalaman estetis

dan pengalaman religius. Jika diibaratkan sebuah simpul, dalam pengalaman

estetis simpul baru mulai diuraikan, sedangkan dalam pengalaman religius simpul

sudah terurai (Hartoko dalam Ratnawati, dkk., 2002:2-3).

Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012

10

Pada dasarnya karya sastra adalah wujud representasi dunia dalam bentuk

lambang (kebahasaan). Oleh karena itu, sesuai dengan kenyataan tersebut, karya

sastra merupakan salah satu media yang dapat menjadi sumber pengalaman estetis

yang ada gilirannya akan mengantar seseorang untuk mencapai pengalaman

religius. Hal itu dikatakan demikian karena persona atau tokoh-tokoh di dalam

karya sastra juga memiliki keinginan dan kerinduan seperti halnya manusia

sehingga mereka juga berusaha mencari jawaban atas berbagai pertanyaan

eksistensial mengenai dirinya. Itulah sebabnya, langsung atau tidak, karya sastra

juga mengandung sesuatu yang oleh Darma (dalam Ratnawati, dkk., 2002: 3)

disebut amanat atau moral yang mampu membangkitkan religiusitas manusia

(pembaca).

Kesusastraan menjadi religius jika di dalamnya mempersoalkan dimensi

kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transendental. Kesustraan religius

selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dan ditopang

nilai kerohanian, yang berpuncak kepada Tuhan melalui lubuk hati terdalam

kemanusiaannya. Para penyair dan sastrawan yang mempunyai semangat religius

menyadari bahwa gejala-gejala yang tampak oleh mata dan pikiran ini ( realitas

alam dan budaya) hanyalah ungkapan lahir atau simbol dari suatu kenyataan yang

lebih hakiki. Gejala lahiriah ini adalah amanat (ayat) Tuhan yang harus dibaca dan

dihayati secara mendalam, sebab tidak ada suatu realitaspun jika ia tidak ilahiah

(Wachid, 2002: 177-178).

Berkaitan dengan hal tersebut menurut Hadikusumo (1996: 13) dimensi

kemanusiaan (humanisme) meliputi empat hal yaitu dimensi humanisme manusia

Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012

11

sebagai makhluk hidup, dimensi humanisme manusia sebagai makhluk sosial,

dimensi humanisme manusia sebagai makhluk susila dan dimensi humanisme

manusia sebagai makhluk beragama. Pertama, dimensi humanisme manusia

sebagai makhluk hidup adalah kesadaran manusia akan keindividualitas dirinya

bisa mengarah pada dua dimensi yaitu dimensi kedirian dan dimensi keegoisan.

Kedua, dimensi humanisme manusia sebagai makhluk sosial, pada hakikatnya

manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain atau kelompok lain, hal inilah

yang menjadikan manusia memliki naluri kemanusiaan terhadap sesama makhluk

hidup untuk saling tolong menolong dan hidup bermasyarakat. Ketiga, dimensi

humanisme manusia sebagai makhluk susila adalah dengan mengukur sejauh

mana kedalaman manusia itu untuk dapat membedakan antara yang baik dan yang

buruk. Dalam hal ini manusia ditekankan sebagai makhluk yang menilai. Apabila

dilihat dari sumbernya, nilai susila dappat berasal dari Tuhan dan dari manusia.

Namun dalam diri manusia terdapat nilai yang dianggap tidak bisa diubah dan

nilai yang dibiarkan berubah (Hadikusumo, 1996: 14). Keempat, dimensi

humanisme manusia sebagai makhluk beragama berkaitan dengan pengakuan

manusia tentang adanya Tuhan dan kesadaran manusia bahwa ada kekuatan lain di

luar dirinya di dalam kehidupan ini.

Bertolak dari pernyataan itulah pengamatan dan penelitian terhadap

religiusitas dalam karya sastra menjadi sangat penting dan perlu dilakukan.

Penelitian semacam itu dianggap penting bukan hanya karena alasan untuk

memperoleh pengetahuan tentang religiusitas dalam sastra, melainkan juga karena

secara pragmatis, sebagai suatu gerakan mencari ‘dimensi yang hilang dari religi’,

Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012

12

religiusitas merupakan sesuatu yang dapat digunakan sebagai sarana pembinaan

mental manusia (pembaca) yang saat ini dinilai mengalami reduksi akibat

merebaknya paham nasionalisme (Ratnawati, dkk., 2002: 3).

Religius sastra adalah seperangkat dimensi yang muncul dari sikap ide dan

pandangan hidup atau penulis sastra dan akhirnya terefleksi dalam karyanya.

Agama menurut sastra religius bukan kekuasaan melainkan sebagai

pedemokrasian (Atmosuwito, 1989:126). Religius dimaksudkan sebagai pembuka

jalan agar kehidupan orang yang beragama semakin intens. Bagi orang beragama,

intensitas itu tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri

terus menerus terhadap pusat kehidupan. Pada awalnya segala sastra adalah religi,

istilah religius membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama

memang erat berkaitan. berdampingan bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan,

namun sebenarnya keduanya mengarah pada makna yang berbeda. Dengan

demikian religius bersifat mengatasi lebih luas dari agama yang tampak formal

dan resmi.

Religius sastra adalah seperangkat dimensi yang muncul dari sikap ide dan

pandangan hidup atau penulis sastra dan akhirnya terefleksi dalam karyanya.

Karya sastra merupakan wujud representasi dunia dalam bentuk lambang

(kebahasan) Oleh karena itu, karya sastra merupakan salah satu media yang dapat

menjadi satu pengalaman estektik yang mengantarkan seseorang untuk mencapai

religius. Salah satu cara yang dapat dilakukan manusia untuk meraih pengalaman

estetik dan itu pula yang mengarahkan atau membangkitkan religius. Untuk

mengetahui konsep religiusitas dalam karya sastra khususnya puisi peneliti

Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012

13

menggunakan teori simbol, dalam mengkaji puisi peneliti akan mencoba untuk

memaknai simbol-simbol religi yang terdapat dalam puisi.

B. Simbol dalam Puisi

Kata “simbol” yang berasal dari kata Yunani sumballo berarti

“menghubungkan atau menggabungkan”. Simbol merupakan suatu tanda, tetapi

tidak setiap tanda adalah simbol. Simbol yang berstruktur polisemik adalah

ekspresi yang mengkomunikasikan banyak arti. Bagi Ricoeur yang menandai

suatu tanda sebagai simbol adalah arti gandanya atau intensionalitas arti

gandanya. Ricoeur merumuskan bahwa setiap struktur pengertian adalah suatu arti

langsung primer, harfiah, yang menunjukkan arti lain yang bersifat tidak lengsung

sekunder, figuratif yang tidak dapat dipahami selain lewat arti pertama

(Poespoprodjo,2004:119).

Kajian terhadap simbol berjalan dengan dua kesulitan untuk masuk ke

struktur gandanya; pertama, simbol memiliki bidang penelitian yang terlalu

banyak dan terlalu beraneka ragam. Misalnya, ada tiga bidang yang dibahas

Ricoeur; (1) psikoanalisis, misalnya, berhubungan dengan mimpi-mimpi, gejala-

gejala lain, dan objek budaya yang dekat dengan mereka sebagai penyimbolan

konflik psikis yang dalam; (2) sastra (puisi), misalnya, simbol sebagai imaji

istimewa suatu puisi; (3) kesejarahan agama, yang diikat kepercayaan-

kepercayaan suci, misalnya simbol-simbol dalam kitab suci. Kedua, konsep

simbol mendekatkan pada dua dimensi atau dua semesta wacana, yaitu satu

tatanan linguistik dan tatanan nonlinguistik. Simbol linguistik dibuktikan oleh

Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012

14

fakta bahwa simbol dibangun oleh semantik simbol, yaitu teori yang menjelaskan

struktur simbol berdasarkan makna signifikasi. Dimensi nonlingusitik hanya bisa

dijelaskan oleh linguistik. Contoh : simbol “kakbah” bagi Islam berati “wajah

Tuhan”. Antara “kakbah” dan “wajah Tuhan” merupakan dimensi nonlinguistik

karena tidak ada hubungannya, “kakbah” makna semantiknya adalah “batu”

kemudian berubah menjadi “wajah Tuhan”. Akan tetapi keduanya mempunyai

dimensi linguistik karena “kakbah” dan “wajah Tuhan” mempunyai simbol

semantik yang dibangun dari “kultur islam” (Ricoeur dalam Kurniawan, 2009:28).

Ciri makna semantik simbol diindentifikasi dengan melihat hubungan

makna harfiah dengan figuratif dalam tuturan metaforis. Simbol dikaitkan dengan

bahasa sebab simbol muncul jika ia diujarkan, sedangkan metafora adalah pelaku

ulang yang membahas aspek simbol. Di sini teori metafora berguna mengungkap

simbol sehingga metafora memahami pelanggaran semantik pada kalimat menjadi

model untuk perluasan makna. Makna simbol bertentangan dengan makna

harfiah. Simbol sebenarnya menghasilkan dua tingkat makna. Dalam makna

simbolik, tentu tidak ada dua makna, maka dua makna itu menjadi satu tingkatan

(gerakan) yang memindahkan dari tingkat satu (linguistik) ke tingkat

(nonlinguistik) yang keduanya berasimilasi menjadi makna yang dicari.

Oleh karena itu, makna simbolik tersusun dalam dua makna. Makna

pertama adalah satu-satunya sarana memasuki makna tambahan. Arti primer

memberi makna sekunder, betul-betul sebagai arti dari suatu arti (the meaning of a

meaning). Simbol hubungan maknanya lebih kacau, tidak dapat dijabarkan

dengan baik dan logis. Simbol berbicara tentang asimilasi/pembaruan bukan

Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012

15

aprehensi/pengertian. Simbol mengasimilasi sesuatu yang ditandai dari satu hal ke

hal lain (Ricoeur dalam Kurniawan, 2009: 29).

Simbolisme hanya bekerja ketika strukturnya ditafsirkan. Hermeneutika

minimal diperlukan demi fungsinya simbolisme apapun. Akan tetapi, penjabaran

linguistik tidak menekankan pada apa yang disebut ketaatan simbolisme yang

khas semesta suci. Penafsiran suatu simbolisme, bahkan tidak dapat terjadi jika

karya mediasinya tidak diperjelas oleh hubungan langsung antara makna dan

hierofani di bawah pertimbangan. Oleh karena itu, kesucian alam mengatakan

dirinya simbolik (Ricoeur dalam Kurniawan, 2009: 30).

Menurut Ricoeur, simbol adalah ungkapan yang mengandung makna ganda.

Di dalamnya terdapat makna lapis pertama yang disebut makna referensial atau

denotatif. Makna lapis pertama ini mesti dirujuk pada makna lapis kedua, yaitu

makna konotatif dan sugestif yang tersembunyi di balik lapis pertama (Thompson

dalam Rafiek, 2010: 12). Namun sebagai teori sastra yang berkaitan dengan

penafsiran sebagai telaah untuk memahami karya sastra, penafsiran tidak harus

diarahkan pada fenomena makna ganda simbol tetapi juga, harus memandang

simbol sebagai sesuatu yang kaya akan makna.

C. Hermeneutika Paul Ricoeur

Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermeneuein, bahasa

Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Hermeneutika

dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan pesan Illahi

kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik bahasa lisan

maupun bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa itu sendiri.

Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012

16

Karya sastra perlu ditafsirkan sebab disatu pihak karya sastra terdiri atas bahasa,

di pihak lain, di dalam bahasa sangat banyak makna yang tersembunyi, atau

dengan sengaja disembunyikan.

Hermeneutika mempunyai tiga pengertian umum, yaitu “menyatakan” atau

berbicara, menafsirkan atau menjelaskan, dan menerjemahkan. Dewasa ini

hermeneutika berkembang menjadi salah satu cabang ilmu telah mengalami

perubahan yang meluas. Bentuk dasar makna pertama dari hermeneuein adalah

“to epress” (mengungkapkan), “to assert” (menegaskan ) atau “to say”

(menyatakan). Ini terkait dengan fungsi “pemberitahuan” dari Hermes.

Signifikansi teologis hermeneutika merupakan etimologi yang berbeda yang

mencatat bahwa bentuk dari “herme” berasal dari kata latin sermo, “to say”

(menyatakan), dan bahasa latin lainnya verbum, “word” (kata). Ini

mengansumsikan bahwa utusan, di dalam memberikan kata, adalah

“mengumumkan” dan “menyatakan” sesuatu; fungsinya tidak hanya untuk

menjelaskan tetapi untuk menyatakan (proclaim) (Palmer, 2005: 16-17). Palmer

(2005: 23)mengatakan bahwa hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai

‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti’. Batasan

umum ini selalu dianggap benar, baik hermenautik dalam pandangan klasik

maupun dalam pandangan modern.

Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kita pada apa

yang ditulis oleh Aristoteles dalam Perihermeneias atau De Interpretatione yaitu:

bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita,

dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu.

Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012

17

Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan dalam bahasa tulisan dengan

orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan

dengan yang lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang

disimbolkannya secara langsung itu adalah sama untuk semua orang, sebagaimana

juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu

(Sumaryono, 1999:24). Sedangkan Ratna (2011:44) mengungkapkan

Hermeneutika baik sebagai ilmu maupun metode, memegang peranan penting

dalam filsafat. Dalam sastra, pembicaraannya sebatas metode. Di antara metode-

metode yang lain, hermeneutika merupakan metode yang paling sering digunakan

dalam penelitian karya sastra. Metode hermeneutika bertujuan untuk menopang

teori persepsi yaitu teori dimana pembaca sendiri harus memberi makna pada

karya sastra yang dihadapinya bagi dirinya sendiri. Sebagai sebuah metode

penafsiran, hermeneutika sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno untuk

menafsirkan teks sastra klasik dan kitab suci. Semula hermeneutika merupakan

seni pemahaman, tetapi dewasa ini ada usaha memberi wujud metodologis dan

teoritis kepada teknik penafsiran menjadi ilmu pengetahuan hermeneutika.

Hermeneutika modern berdekatan dengan disiplin ilmu semiotik yang

memiliki dasar yang lebih luas dan filosofis, dan juga berkaitan dengan psikologi

dan metodologi ilmiah. Hermeneutika modern menjadi filsafat pemahaman tidak

hanya teks, tetapi hakikat ekstensi manusia. Dikaitkan dengan fungsi utama

hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama, maka metode ini dianggap

tepat untuk memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa diantara karya

tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra. Pada tahap tertentu

Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012

18

teks agama sama dengan karya sastra. Perbedaannya, agama merupakan

kebenaran keyakinan, sastra merupakan kebenaran imajinasi. Agama dan sastra

adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan. Asal mula agama adalah firman Tuhan,

asal mula sastra adalah kata-kata pengarang. Baik sebagai hasil ciptaan subjek

Illahi maupun subjek kreator, agama dan sastra perlu ditafsirkan sebab di satu

pihak, seperti disebutkan sebelumnya, kedua genre terdiri atas bahasa. Di pihak

yang lain, keyakinan dan imajinasi tidak bisa dibuktikan, melainkan harus

ditafsirkan (Ratna, 2011:45-46).

Paul Ricoeur, dalam De Interpretation, mendefinisikan hermeneutika yang

mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral

dalam hermeneutika. “ yang kita maksudkan dengan hermeneutika adalah teori

tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, sebuah

interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang

dipandang sebagai sebuah teks. Psikoanalisa, dan khususnya interpretasi mimpi,

merupakan bentuk yang sangat nyata hermeneutika, unsur-unsur situasi

hermeneutis semuanya terdapat di sana: mimpi adalah teks, teks yang dipenuhi

dengan kesan-kesan simbolik, dan psikoanalisa menggunakan sistem interpretasi

untuk menerjemahkan penafsiran yang mengarah pada pemunculan makna

tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa

berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam

masyarakat atau sastra (Palmer, 2005: 47-48).

Berkaitan dengan hal tersebut peneliti menggunakan hermeneutika

interpretasi Paul Ricoeur. Ricoeur dalam Kurniawan (2009: 18) menjelaskan

Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012

19

bahwa teks adalah sebuah wacana yang membakukan lewat bahasa. Apa yang

dibakukan oleh tulisan adalah wacana yang dapat diucapkan, tetapi wacana ditulis

karena tidak diucapkan. Di sini, terlihat bahwa teks merupakan wacana yang

disampaikan dengan tulisan. Jadi, teks sebagai wacana, yang dituliskan dalam

hermeneutika Paul Ricoeur, berdiri secara otonom, bukan merupakan turunan dari

bahasa lisan, seperti yang dipahami oleh strukturalisme.

Konsep makna ini mengacu pada apa yang dilakukan pembaca dan apa yang

dilakukan kalimat. Makna teks sebagai proposisi merupakan sisi “objektif” makna

ini. Sisi “objektif” wacana itu sendiri bisa dijelaskan dengan dua cara berbeda.

Boleh diartikan “apa” wacana dan “tentang apa” wacana. “Apa”- nya wacana

adalah sense dan “tentang apa” wacana adalah reference-nya. Jika sense itu

imanen terhadap wacana dan objektif dalam arti ideal, sedangkan reference

mengungkapkan gerak ketika bahasa melampaui dirinya sendiri. Dengan kata lain,

sense berkolerasi dengan fungsi identifikasi dan fungsi predikatif dalam kalimat,

dan reference menghubungkan bahasa dengan dunia (Ricoeur dalam Kurniawan,

2009:20).

Untuk mengkaji hermeneutika Paul Ricoeur, tidak perlu melacak akarnya

kepada perlengkapan hermeneutika sebelumnya. Penempatan posisi hermeneutika

Paul Ricoeur terpisah dari tokoh-tokoh hermeneutik yang dibahas sebelumnya,

yaitu hermeneutika teori penafsiran kitab suci, hermeneutika metode filologi,

hermeneutika pemahaman linguistik, hermeneutika fondasi dari ilmu kemanusiaan

dan hermeneutika fenomenologi desain (Palmer, 2005: 38-47).

Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012

20

Teori hermeneutika, yang mengacu pada Paul Ricoeur, memandang karya

sastra sebagai wacana tertulis. Karya sastra tergolong wacana, kerana ia

merupakan gejala kebahasaan yang melampaui batas kata, yang satuan terkecilnya

adalah kalimat yang terdiri dari kata dengan fungsi subjek dan kata dengan fungsi

predikat.

Menurut Ricoeur, setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar

makna-makna yang masih terselubung atau usaha untuk membuka lipatan-lipatan

dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam makna kesusastraan

(Sumaryono 1999: 43). Ricoeur memperluas definisi hermeneutika dari sekedar

interpretasi terhadap simbol-simbol menjadi perhatian kepada teks. Hermeneutika

Ricoeur dalam hal ini hanya akan berhubungan dengan kata-kata yang tertulis.

Dengan demikian Ricoeur secara lengkap memberi batasan definisi

hermeneutikanya dengan interpretasi terhadap teks.

Hermeneutika Ricoeur adalah suatu jenis pembacaan yang merespon

otonomi teks dengan menggambarkan secara bersama elemen-elemen pemahaman

dan penjelasan serta menggabungkannya dalam satu proses interpretasi yang

kompleks. Sebuah teks harus dikonstruk dan ditafsirkan sebagai satu keseluruhan

yang mengakui karakternya sebagai satu totalitas struktur yang tidak dapat

direduksi ke dalam kalimat-kalimat yang menyusunnya. Sebagai satu konstruksi,

hermeneutika Ricoeur membutuhkan satu dugaan dan yang satu memperkirakan

yang lainnya. Hal ini disebabkan teks yang mengandung pluralitas makna yang

inhern yang memungkinkan ditafsirkan dengan berbagai macam cara. Hal ini

menandakan bahwa interpretasi merupakan proses yang terbuka, tetapi tidak

Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012

21

berarti sewenang-wenang dan berubah-ubah. Dalam melakukan penafsiran yang

mendalam. Penafsir memasuki dunia teks mengikuti gerak pemahaman ke makna

lain (referensial), dari struktur internal ke dunia yang diproyeksikan.

Menurut Ricoeur dalam Sumaryono (1999:105) kata-kata adalah simbol-

simbol juga, karena menggambarkan makna lain yang sifatnya “tidak langsung,

tidak begitu penting serta figuratif (berupa kiasan) dan hanya dapat dimengerti

melalui simbol-simbol tersebut ”. Jadi, simbol-simbol dan interpretasi merupakan

konsep-konsep yang mempunyai pluralitas makna yang terkandung di dalam

simbol-simbol atau kata-kata.

Konsep Religiusitas Pada..., Fina Septiani, FKIP UMP, 2012