contoh lain

129
SKRIPSI APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG Oleh: KAREN PUSPASARI F24102091 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Upload: lionny-candra-dewi

Post on 21-Oct-2015

94 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

lain

TRANSCRIPT

Page 1: Contoh Lain

SKRIPSI

APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN

UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG

Oleh:

KAREN PUSPASARI

F24102091

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 2: Contoh Lain

Karen Puspasari. F24102091. Aplikasi teknologi dan bahan tambahan pangan untuk meningkatkan umur simpan mie basah matang. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. dan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. 2007.

RINGKASAN

Mie basah telah menjadi makanan yang populer dalam diet masyarakat Indonesia. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2987-1992, mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Akan tetapi, penggunaan bahan tambahan terlarang, seperti formalin dan boraks, pada produk mie basah matang ternyata marak terjadi di Indonesia beberapa waktu belakangan ini. Formalin umumnya digunakan untuk memperpanjang umur simpan mie mencapai beberapa minggu, sedangkan boraks ditambahkan untuk meningkatkan kekenyalan mie. Larangan penggunaan formalin dan boraks untuk bahan pangan telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) No. 722/MenKes/Per/IX/88. Masalah keamanan pangan ini tidak dapat dihindari lagi walaupun sudah ada peraturan yang melarang penggunaan kedua bahan tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan mutu mie basah matang, khususnya dalam hal umur simpan, dengan aplikasi teknologi dan bahan tambahan pangan, serta untuk memperoleh korelasi antara umur simpan mie basah matang dengan teknologi proses yang diaplikasikan. Istilah mie basah matang untuk selanjutnya akan dipersingkat dengan sebutan mie. Tahapan penelitian meliputi pengaruh garam alkali (Na2CO3 0,6% dan STPP 0,2%), penambahan hidrokoloid (CMC 0,2%, gum Arab 0,5%, dan karagenan 0,5%), aplikasi perlakuan fisik (pemasakan, penyimpanan suhu rendah, dan pengemasan), optimasi bahan pengawet yang diizinkan (natrium asetat, kalsium propionat, dan kalium sorbat), dan pemenuhan syarat CPPB. Setiap perlakuan yang memberikan umur simpan paling lama dan mutu mie terbaik akan diaplikasikan secara bersamaan pada tahapan terakhir untuk dianalisis mutu fisik, kimia, mikrobiologi, dan organoleptiknya.

Aplikasi garam alkali Na2CO3 dan STPP kedalam mie memberikan pengaruh terhadap tekstur, warna, dan umur simpan mie. Nilai kekerasan dan elastisitas yang dihasilkan oleh kedua jenis garam alkali ini berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05), sedangkan nilai kelengketan keduanya tidak berbeda secara nyata. Warna mie yang diberi panambahan Na2CO3 dan STPP berada dalam kisaran warna kuning kemerahan dengan nilai kecerahan (L) mie dengan penambahan STPP (L 72,27) lebih tinggi daripada mie dengan penambahan Na2CO3 (L 68,87). Mie dengan panambahan Na2CO3 memiliki umur simpan 44 jam, sedangkan mie dengan penambahan STPP selama 24 jam. Penggunaan Na2CO3 0,6% sebagai garam alkali memberikan hasil yang lebih baik daripada STPP 0,2% dalam hal tekstur, warna, dan umur simpan, sehingga Na2CO3 0,6% untuk selanjutnya akan digunakan sebagai garam alkali yang diaplikasikan dalam formula untuk mie kontrol pada tahapan selanjutnya.

Uji statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan uji lanjut Tukey HSD menunjukkan nilai kekerasan mie dengan penambahan gum Arab 0,5% (3732,2 gf) tidak berbeda nyata dengan kontrol (3705,3 gf), namun keduanya berbeda nyata dengan mie dengan penambahan CMC (3956,2 gf) dan karagenan 0,5% (3207,5 gf).

Page 3: Contoh Lain

Warna ketiga sampel mie penambahan hidrokoloid berada dalam kisaran warna kuning kemerahan. Mie dengan penambahan karagenan memiliki nilai kecerahan tertinggi (L 72,89). Umur simpan mie dengan penambahan karagenan sama dengan mie kontrol, yaitu 44 jam, sedangkan mie dengan penambahan CMC dan gum Arab memiliki umur simpan 48 jam. Penambahan hidrokoloid tidak memperpanjang umur simpan mie karena konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan rendah sehingga tidak mampu menurunkan jumlah air bebas dalam bahan. Penambahan CMC kedalam formula mie memberikan kontribusi yang paling rendah terhadap biaya produksi dibandingkan dua hidrokoloid lainnya. CMC dipilih sebagai perlakuan hidrokoloid terbaik dari segi tekstur dan selanjutnya diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik.

Minyak yang digunakan untuk melumur mie adalah minyak kelapa. Pelumuran minyak yang dilakukan setelah pemasakan memberikan penampakan mie yang lebih baik dan tidak lengket, serta penggunaan minyak yang lebih efisien. Pengukusan mie yang dilakukan selama 10 dan 12 menit menghasilkan warna yang tidak berbeda nyata (p<0,05). Namun, warna mie yang dikukus lebih gelap dan berbeda nyata (p<0,05) dengan warna mie yang direbus selama 2 menit. Hal ini disebabkan oleh terjadinya reaksi Maillard pada mie yang dikukus karena mie kukus memiliki nilai aw 0,945-0,95, yang lebih rendah dari mie yang direbus (aw 0,97). Umur simpan mie yang dikukus lebih panjang, yaitu 68 jam, dibandingkan dengan mie yang direbus (44 jam). Pemasakan mie dengan cara direbus selama 2 menit memberikan tekstur yang lebih baik (3705,3 gf), dimana mie yang dikukus memiliki tekstur yang liat dan keras dengan nilai kekerasan 9065,0 gf (10 menit) dan 9302,8 gf (12 menit). Berdasarkan pertimbangan terhadap tekstur dan warna, mie yang direbus selama 2 menit dengan pelumuran minyak setelah perebusan dipilih sebagai perlakuan pemasakan dan pelumuran yang diaplikasikan pada tahapan kombinasi perlakuan terbaik.

Penggunaan plastik LDPE atau PP tebal tidak berpengaruh terhadap umur simpan mie selama kemasan tertutup rapat, yaitu 44 jam. Pengemasan mie dengan kondisi tertutup mengurangi jumlah kontaminasi mikroba dari lingkungan. Pengemasan vakum terhadap mie menyebabkan penampakan mie menjadi kurang menarik. Penyimpanan mie pada suhu rendah meningkatkan umur simpan, yaitu 10 hari (13 ± 2oC) dan 40 hari (4 ± 1oC). Namun, biaya untuk aplikasi suhu rendah masih sangat tinggi dan tidak terjangkau oleh produsen mie. Oleh karenanya, penyimpanan mie pada suhu ruang dengan kemasan LDPE dipilih sebagai perlakuan kondisi penyimpanan yang diaplikasikan pada tahapan kombinasi perlakuan terbaik.

Kombinasi pengawet Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,1% (formula I) dan Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,05% + K-sorbat 0,05% (formula VI) menghasilkan mie dengan umur simpan 56 jam. Kombinasi pengawet Na-asetat 0,032% + K-sorbat 0,1% (formula III) menghasilkan mie dengan umur simpan 52 jam. Kombinasi pengawet Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,1% (formula II) dan Ca-propionat 0,15% + K-sorbat 0,05% (formula V), yang melibatkan penambahan sorbat sebanyak 50%, menghasilkan mie dengan umur simpan paling pendek, yaitu 48 jam. Mie dengan penambahan kombinasi Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% (formula VII) memiliki umur simpan terpanjang, yaitu 60 jam. Formula VII sebagai pengawet terbaik setelah diturunkan konsentrasinya menjadi 25% menghasilkan mie dengan umur simpan 56 jam.

Page 4: Contoh Lain

Mie kombinasi terbaik adalah mie yang dibuat dengan penambahan Na2CO3 0,6%, CMC 0,2%, dan pengawet Na-asetat 0,004% + Ca-propionat 0,025% + K-sorbat 0,0125% (CPPB 25%), kemudian dimasak dengan cara direbus selama 2 menit, dikemas dengan plastik LDPE, dan disimpan pada suhu ruang. Perubahan warna mie kontrol dan mie kombinasi terbaik terlihat pada nilai kecerahannya, dimana nilai kecerahan akan meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Selama penyimpanan mie terjadi penurunan nilai kekerasan dan peningkatan nilai kelengketan. Nilai kekerasan dan kelengketan mie kontrol tidak berbeda nyata antara jam ke-0, 16, 32, dan 48. Nilai kekerasan mie kombinasi terbaik berbeda nyata dengan jam ke-0 setelah penyimpanan 48 jam, sedangkan nilai kelengketan tertinggi pada jam ke-56.

Nilai aw mie kombinasi terbaik hampir sama dengan mie kontrol, sekitar 0,965 dan 0,970. Selama penyimpanan, terjadi penurunan nilai pH mie dimana nilai pH berbeda nyata (p<0,05) setelah penyimpanan selama 48 jam. Perubahan nilai pH mie kontrol tidak berbeda nyata (p<0,05) sampai akhir penyimpanan, sedangkan nilai pH mie berbeda nyata (p<0,05) pada jam ke-48 (pH 6,89). Nilai TAT tidak diukur karena pH mie yang disimpan masih berada di atas pH netral.

Total mikroba awal kedua sampel mie tergolong rendah, dimana TPC mie kontrol sebesar 2,96 log cfu/g dan mie kombinasi terbaik 0,57 log cfu/g. Mie kontrol dan mie kombinasi terbaik mencapai batas mutu SNI pada jam yang sama, yaitu jam ke-32, walaupun secara subyektif mie kombinasi terbaik memiliki umur simpan lebih panjang berdasarkan terdeteksinya bau asam dan lendir. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga pengawet yang diaplikasikan dalam mie kombinasi terbaik kurang efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba perusak dan tidak dapat memperpanjang umur simpan mie secara mikrobiologis. Total kapang dan khamir pada sampel mie kontrol maupun mie kombinasi terbaik pada waktu akhir penyimpanan masih memenuhi syarat mutu SNI mie basah, yaitu kurang dari 104. Koliform tidak ditemukan pada kedua sampel mie selama penyimpanan. Kondisi ini dapat tercapai dengan praktek sanitasi yang baik pada saat pengolahan mie.

Uji organoleptik dilakukan menggunakan uji hedonik dengan skala hedonik 1 sampai 5. sebagai kontrol positif, ikut diujikan mie yang dijual di pasaran. Berdasarkan penilaian panelis, mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) untuk atribut warna (skor 4,21 dan 4,43), aroma (skor 3,62 dan 3,70), tekstur (skor 4,07 dan 3,63), rasa (skor 3,73 dan 3,63), dan keseluruhan (skor 3,94 dan 4,17). Sedangkan mie yang dijual di pasaran berbeda nyata (p<0,05) dengan kedua sampel mie yang dibuat pada skala laboratorium untuk atribut warna (skor 3,45), aroma (skor 1,90), tekstur (skor 2,53), rasa (skor 2,18), dan keseluruhan (skor 2,15). Hal ini menunjukkan bahwa kedua mie yang dibuat pada skala laboratorium secara keseluruhan lebih disukai daripada mie yang dijual di pasaran.

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah praktek higiene dan sanitasi yang baik pada saat pengolahan sangat berperan dalam mengurangi kontaminasi mikroba, sehingga mie yang dihasilkan memiliki umur simpan yang lebih panjang. Selain itu, penyimpanan mie dalam kemasan plastik tertutup juga akan mengurangi peluang terjadinya kontaminasi mikroba dari luar selama distribusi dan penjualan.

Page 5: Contoh Lain

APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN

UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

KAREN PUSPASARI

F24102091

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 6: Contoh Lain

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN

UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

KAREN PUSPASARI

F24102091

Tanggal lulus: 27 November 2006

Menyetujui,

Bogor, Februari 2007

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah Ketua Departemen ITP

Page 7: Contoh Lain

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 September

1984 dan merupakan anak pertama dari pasangan Felix

Wirya dan Vonny Kartawinata. Pendidikan formal penulis

dimulai di TK Kristen VIII BPK Penabur, SD Kristen VIII

BPK Penabur, SLTP Kristen V BPK Penabur, dan SMU

Kristen I BPK Penabur.

Penulis melanjutkan pendidikan tingginya di Institut

Pertanian Bogor melalui jalur masuk SPMB pada tahun 2002. Selama kuliah

penulis aktif di beberapa organisasi kampus, seperti di kepanitiaan beberapa acara,

yaitu Lepas Landas Sarjana 2003, BAUR 2004, Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan

XII, dan National Student Paper Competition. Penulis pernah menjadi asisten

praktikum mata kuliah Kimia Dasar I dan Analisis Pangan. Penulis

berkesempatan mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang

Penelitian yang diselenggarakan oleh Dikti dan mewakili IPB pada PIMNAS XIX

2006 di Universitas Muhammadiyah Malang, serta meraih penghargaan setara

emas untuk kategori presentasi. Sejak tahun 2003 sampai akhir studinya, penulis

menerima beasiswa dari Yayasan Goodwill International.

Dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada

Fakultas Teknologi Pertanian IPB, penulis melakukan penelitian selama 6 bulan

di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dengan judul “Aplikasi

Teknologi dan Bahan Tambahan Pangan untuk Meningkatkan Umur Simpan Mie

Basah Matang”, di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. dan Dr. Ir.

Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc.

Page 8: Contoh Lain

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus Yang Maha Pengasih, hanya

karena berkat dan pimpinan-Nya, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Pada

kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si., selaku dosen pembimbing

pertama atas segenap waktu, bimbingan, dukungan, pengetahuan,

serta kesempatan-kesempatan yang telah diberikan kepada penulis

untuk belajar dan berkarya sejak awal masa bimbingan sampai

penulisan skripsi ini selesai.

2. Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc., selaku dosen pembimbing

kedua, atas kesediaannya meluangkan waktu untuk membimbing dan

berdiskusi, serta memberikan masukan-masukan yang membangun

selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung.

3. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc., selaku dosen penguji, atas kesediaannya

meluangkan waktu untuk berdiskusi, membimbing, dan memberikan

masukan-masukan yang membangun, khususnya dalam hal penulisan

ilmiah.

4. Keluarga tercinta: Papi, Mami, Cheryl, Wilman, dan Wilson,

terimakasih atas kasih sayang, doa, canda tawa, pengertian, dan

perhatiannya selalu. Penulis merasa sangat diberkati memiliki

keluarga seperti kalian.

5. Yayasan Goodwill International: Mr. Paul O’Hannon, Bapak dan Ibu

Hara, Ibu Cri, Mba Rossa, dan segenap keluarga besar YGI, atas

dukungan dalam bentuk beasiswa, training kepemimpinan, dan

kebersamaan yang tidak terlupakan selama 3 tahun terakhir.

6. Para sahabat: Lilyana, Selvie (Cepi), Foni, Ci Sianne, dan Ps. Rita,

atas segala dukungan dalam doa, kata-kata membangun, cerita saat

suka dan duka, serta persahabatan yang tulus sampai sekarang ini.

7. Sahabat-sahabat dalam perjuangan: Fenni dan Steisi, terimakasih atas

persahabatan, doa, waktu-waktu yang dilalui bersama, canda tawa,

Page 9: Contoh Lain

dukungan, serta kritik yang membangun sejak awal kuliah sampai

saat ini. I thank my God upon every remembrance of you.

8. Teman-teman penelitian: Inggrid, Pretty, Elvina, Meilina, dan

Dhenok, atas segala kebersamaan untuk berbagi cerita, suka-duka,

canda-tawa, kepanikan, serta doa selama penelitian dan penyusunan

skripsi ini berlangsung. Juga untuk Kiki, Shinta, Herold, Ribka,

Nanda, Nuy, Dora, Eva, Hana, Mba Nani, Risna, Woro, Manginar,

Ijal, Ulik, dan Manto, atas segala waktu dan dukungan selama

penelitian bersama di Laboratorium ITP.

9. Para Laboran dan Teknisi: Pak Koko, Ibu Rubiyah, Pak Rojak, Teh

Ida, Pak Yahya, Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Sobirin, Mas Edi, dan

Mba Darsi, atas segala arahan, dukungan, pelayanan, kesabaran,

pengertian, dan cerita-cerita menghibur yang menjadikan masa-masa

penelitian sebagai pengalaman tidak terlupakan.

10. Teman-teman TPG 39: Tin2, Hanna, Fany Nene, Farah, Tissa, Ina,

Ratry, Mohung, Randy, Inal, Bobby, Prasna, Inda, Papang, Echo,

Adjeng, Didin, Dadik, Putra, dan Tono, atas kebersamaan semasa

kuliah dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

11. Teman-teman Gilgal Youth Ministry (GYM): Lora, Dessy, Deliana,

Melissa, Herman, Yusuf, Dian K., Iko, Ps. Erick, Ps. Ora & Rachel,

Ps. Owen & Evelyn, atas perhatian, teladan, dan dukungan yang

diberikan kepada penulis.

12. Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat

disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak keterbatasaan dalam pelaksanaan

penelitian dan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang

membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi

semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, November 2006

Penulis

Page 10: Contoh Lain

DAFTAR ISI

Hal.

RIWAYAT PENULIS ........................................................................................ i

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

DAFTAR ISI....................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL............................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... ix

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 1

B. TUJUAN PENELITIAN......................................................................... 2

C. MANFAAT PENELITIAN..................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MIE ......................................................................................................... 4

1. Definisi Mie ...................................................................................... 4

2. Jenis Mie ........................................................................................... 5

3. Proses Pengolahan Mie Basah .......................................................... 5

B. KERUSAKAN MIE................................................................................ 8

C. GARAM ALKALI .................................................................................. 9

D. HIDROKOLOID..................................................................................... 10

1. Gum Arab.......................................................................................... 11

2. Karagenan ......................................................................................... 12

3. CMC.................................................................................................. 15

E. BAHAN PENGAWET............................................................................ 17

1. Propionat dan Garamnya................................................................... 18

2. Sorbat dan Garamnya........................................................................ 19

3. Natrium Asetat .................................................................................. 20

F. KONDISI PENYIMPANAN .................................................................. 21

1. Penyimpanan Suhu Rendah .............................................................. 21

2. Pengemasan....................................................................................... 22

Page 11: Contoh Lain

III. METODE PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................. 25

1. Bahan ................................................................................................ 25

2. Alat.................................................................................................... 25

B. TAHAPAN PENELITIAN ..................................................................... 25

1. Pengaruh Jenis Garam Alkali Terhadap Mutu Mie ......................... 26

2. Pengaruh Penambahan Hidrokoloid Terhadap Mutu Mie ................ 27

3. Pengaruh Pemasakan dan Pelumuran Minyak Terhadap Mutu Mie .................................................................................................... 28

4. Pengaruh Kondisi Penyimpanan Terhadap Mutu Mie ...................... 29

5. Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet Terhadap Mutu Mie ......... 30

6. Pengaruh Penggunaan Pengawet Terbaik dalam Konsentrasi Rendah Terhadap Mutu Mie ............................................................. 32

7. Kombinasi Perlakuan Terbaik untuk Pembuatan Mie ...................... 32

C. PENGAMATAN..................................................................................... 33

1. Mutu Fisik ......................................................................................... 33

a. Uji kekerasan, kelengketan, dan elastisitas ................................. 33

b. Pengukuran warna....................................................................... 34

2. Mutu Kimia ....................................................................................... 35

a. Aktivitas air (Aw) ....................................................................... 35

b. Derajat keasaman (pH)................................................................ 35

c. Total asam tertitrasi (TAT) (Apriyantono et al., 1989) .............. 35

3. Mutu Mikrobiologis (Fardiaz, 1992)................................................. 35

4. Mutu Organoleptik (Soekarto, 1985) ................................................ 37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENGARUH JENIS GARAM ALKALI TERHADAP MUTU MIE .... 38

B. PENGARUH PENAMBAHAN HIDROKOLOID TERHADAP MUTU MIE............................................................................................. 40

C. PENGARUH PEMASAKAN DAN PELUMURAN MINYAK TERHADAP MUTU MIE .................................................................... 43

Page 12: Contoh Lain

D. PENGARUH KONDISI PENYIMPANAN TERHADAP MUTU MIE ......................................................................................................... 47

E. PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGAWET TERHADAP MUTU MIE............................................................................................. 51

F. PENGARUH PENGGUNAAN PENGAWET TERBAIK DALAM KONSENTRASI RENDAH TERHADAP MUTU MIE........................ 54

G. KOMBINASI PERLAKUAN TERBAIK UNTUK PEMBUATAN MIE ......................................................................................................... 56

H. PENGARUH KOMBINASI PERLAKUAN TERBAIK TERHADAP MUTU MIE............................................................................................. 56

1. Mutu Fisik .......................................................................................... 56

a. Warna .......................................................................................... 56

b. Tekstur ........................................................................................ 58

2. Mutu Kimia ....................................................................................... 59

a. Aktivitas air (Aw) ....................................................................... 59

b. Derajat keasaman (pH)................................................................ 60

c. Total asam tertitrasi (TAT) ......................................................... 61

3. Mutu Mikrobiologis .......................................................................... 61

a. Total mikroba.............................................................................. 61

b. Total kapang dan khamir............................................................. 64

c. Total koliform ............................................................................. 65

4. Mutu Organoleptik ............................................................................ 66

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN....................................................................................... 71

B. SARAN ................................................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 74

LAMPIRAN.......................................................................................................... 79

Page 13: Contoh Lain

DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel 1. Syarat mutu mie basah ....................................................................... 4

Tabel 2. Formula mie standar........................................................................... 26

Tabel 3. Formula perlakuan penambahan garam alkali ................................... 27

Tabel 4. Konsentrasi humektan yang digunakan dalam formula..................... 27

Tabel 5. Formula kombinasi pemasakan dan pelumuran................................. 28

Tabel 6. Kombinasi perlakuan suhu penyimpanan dan pengemasan............... 29

Tabel 7. Kadar maksimum pengawet yang akan diaplikasikan ....................... 30

Tabel 8. Formula bahan pengawet dengan ADI kombinasi ............................. 31

Tabel 9. Tahapan penurunan konsentrasi pengawet terbaik ............................ 32

Tabel 10. Pengaruh penambahan garam alkali terhadap mutu mie ................... 39

Tabel 11. Pengaruh penambahan hidrokoloid terhadap mutu mie ..................... 41

Tabel 12. Kontribusi penambahan hidrokoloid terhadap biaya produksi.......... 42

Tabel 13. Pengaruh pelumuran minyak terhadap umur simpan dan kelengketan ........................................................................................ 44

Tabel 14. Pengaruh cara pemasakan terhadap mutu mie ................................... 46

Tabel 15. Pengaruh kondisi penyimpanan terhadap umur simpan mie ............. 49

Tabel 16. Kontribusi penurunan konsentrasi pengawet terhadap biaya............. 55

Tabel 17. Perlakuan-perlakuan terbaik yang diaplikasikan dalam mie.............. 56

Tabel 18. Perubahan warna mie selama penyimpanan ...................................... 57

Tabel 19. Perubahan tekstur mie selama penyimpanan ..................................... 58

Page 14: Contoh Lain

DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah secara umum........................... 6

Gambar 2. Struktur molekul karagenan ............................................................ 13

Gambar 3. Mekanisme pembentukan gel karagenan ........................................ 14

Gambar 4. Struktur molekul Na-CMC.............................................................. 16

Gambar 5. Struktur molekul asam propionat .................................................... 19

Gambar 6. Struktur molekul asam sorbat ........................................................ 20

Gambar 7. Warna mie dengan garam alkali Na2CO3 dan STPP....................... 40

Gambar 8. Mie dalam kemasan: (a) LDPE; (b) PP tebal; dan (c) PP tebal dengan pengemasan vakum......................................... 48

Gambar 9. Pengaruh penambahan berbagai formula pengawet terhadap umur simpan mie secara subyektif (bau asam)......................................... 53

Gambar 10. Derajat keasaman (pH) mie berdasarkan penambahan berbagai formula pengawet............................................................................ 54

Gambar 11. Pengaruh penurunan konsentrasi pengawet terbaik terhadap umur simpan mie secara subyektif (bau asam)......................................... 55

Gambar 12. Aktivitas air mie.............................................................................. 59

Gambar 13. Penurunan derajat keasaman selama penyimpanan mie ................ 60

Gambar 14. Pertambahan total mikroba selama penyimpanan mie ................... 62

Gambar 15. Pertambahan total kapang dan khamir selama penyimpanan mie .. 65

Gambar 16. Skor hasil uji hedonik mie .............................................................. 69

Page 15: Contoh Lain

DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

Lampiran 1. Skema tahapan penelitian secara umum ..................................... 80

Lampiran 2. Spesifikasi hidrokoloid: CMC .................................................... 81

Lampiran 3. Spesifikasi hidrokoloid: gum Arab ............................................. 82

Lampiran 4. Spesifikasi hidrokoloid: karagenan............................................. 83

Lampiran 5. Spesifikasi pengawet: Kalsium Propionat................................... 84

Lampiran 6. Spesifikasi pengawet: Kalium Sorbat ......................................... 85

Lampiran 7. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan garam alkali .......... 86

Lampiran 8. Uji T terhadap tekstur mie dengan perlakuan garam alkali ........ 86

Lampiran 9. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan garam alkali ........... 87

Lampiran 10. Uji T terhadap warna mie dengan perlakuan garam alkali ......... 88

Lampiran 11. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid ........... 88

Lampiran 12. Analisis ragam terhadap tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid .................................................................................. 89

Lampiran 13. Uji lanjut Tukey terhadap tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid .................................................................................. 89

Lampiran 14. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan hidrokoloid............. 90

Lampiran 15. Analisis ragam terhadap warna mie dengan perlakuan hidrokoloid .................................................................................. 91

Lampiran 16. Uji lanjut Tukey terhadap warna mie dengan perlakuan hidrokoloid .................................................................................. 91

Lampiran 17. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan pemasakan ............ 91

Lampiran 18. Analisis ragam terhadap tekstur mie dengan perlakuan pemasakan ................................................................................... 92

Lampiran 19. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie dengan perlakuan pemasakan ................................................................................... 92

Lampiran 20. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan pemasakan ............. 93

Lampiran 21. Analisis ragam terhadap warna mie dengan perlakuan pemasakan ................................................................................... 93

Lampiran 22. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie dengan perlakuan pemasakan ................................................................................... 93

Lampiran 23. Hasil analisis warna mie kontrol selama penyimpanan .............. 94

Lampiran 24. Analisis ragam warna mie kontrol selama penyimpanan........... 94

Page 16: Contoh Lain

Lampiran 25. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie kontrol selama penyimpanan ............................................................................... 94

Lampiran 26. Hasil analisis warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 94

Lampiran 27. Analisis ragam warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 95

Lampiran 28. Uji lanjut Tukey warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 95

Lampiran 29. Hasil analisis tekstur mie kontrol selama penyimpanan ............. 95

Lampiran 30. Analisis ragam tekstur mie kontrol selama penyimpanan ......... 96

Lampiran 31. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie kontrol selama penyimpanan ............................................................................... 96

Lampiran 32. Hasil analisis tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 96

Lampiran 33. Analisis ragam tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 97

Lampiran 34. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 97

Lampiran 35. Hasil analisis aktivitas air (aw ) mie ............................................ 97

Lampiran 36. Hasil analisis derajat keasaman (pH) mie ................................... 98

Lampiran 37. Analisis ragam pH mie kontrol .................................................. 98

Lampiran 38. Uji lanjut Tukey tehadap pH mie kontrol ................................... 98

Lampiran 39. Analisis ragam pH mie kombinasi terbaik................................. 98

Lampiran 40. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie kombinasi terbaik ............. 99

Lampiran 41. Hasil analisis mikrobiologi mie kontrol...................................... 99

Lampiran 42. Hasil analisis mikrobiologi mie kombinasi terbaik..................... 99

Lampiran 43. Scoresheet uji organoleptik ......................................................... 100

Lampiran 44. Skor uji hedonik mie kombinasi terbaik ..................................... 101

Lampiran 45. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut warna . 102

Lampiran 46. Skor uji hedonik Mie kontrol skala laboratorium atribut aroma. 103

Lampiran 47. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut tekstur 104

Lampiran 48. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut rasa..... 105

Lampiran 49. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium secara106 keseluruhan ................................................................................. 107

Lampiran 50. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut warna ............ 108

Page 17: Contoh Lain

Lampiran 51. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut aroma ............ 109

Lampiran 52. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut tekstur ........... 110

Lampiran 53. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut rasa................ 111

Lampiran 54. Skor uji hedonik mie matang pasar secara keseluruhan.............. 112

Lampiran 55. Analisis ragam terhadap atribut warna mie................................ 112

Lampiran 56. Uji lanjut Duncan terahadap atribut warna mie (p<0,05) ........... 112

Lampiran 57. Analisis ragam terhadap atribut aroma mie ............................... 112

Lampiran 58. Uji lanjut Duncan terhadap atribut aroma mie (p<0,05) ............. 112

Lampiran 59. Analisis ragam terhadap atribut tekstur mie............................... 112

Lampiran 60. Uji lanjut Duncan terhadap atribut tekstur mie (p<0,05) ............ 113

Lampiran 61. Analisis ragam terhadap atribut rasa mie ................................... 113

Lampiran 62. Uji lanjut Duncan terhadap atribut rasa mie (p<0,05) ................ 113

Lampiran 63. Analisis ragam terhadap keseluruhan mie.................................. 113

Lampiran 64. Uji lanjut Duncan terhadap keseluruhan mie (p<0,05) ............... 113

Page 18: Contoh Lain

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Menurut Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996, keamanan pangan

adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari

kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat

mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Anonim,

1996). Namun ironisnya, masyarakat Indonesia beberapa bulan terakhir ini

telah diguncang oleh masalah penggunaan formalin dalam beberapa jenis

bahan pangan, antara lain mie basah, bakso, tahu, ikan asin, dan ayam potong.

Selain penggunaan formalin, tidak sedikit produsen mie yang juga

menambahkan boraks, yang merupakan bahan campuran untuk kuningan dan

bahan las, kedalam produknya untuk memperbaiki tekstur menjadi jauh lebih

kenyal. Masalah keamanan pangan ini tidak dapat dihindari lagi walaupun

sudah ada peraturan yang melarang penggunaan kedua bahan tersebut.

Larangan penggunaan formalin dan boraks untuk bahan pangan telah diatur

dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) No.

722/MenKes/Per/IX/88.

Mie basah merupakan makanan yang populer dalam diet masyarakat

Indonesia. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mie adalah produk

pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan

lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan

Standarisasi Nasional, 1992). Produsen mie basah telah menjamur di seluruh

kawasan Indonesia, terutama dalam bentuk industri kecil dan industri rumah

tangga. Hal tersebut tidaklah mengherankan jika kita mengingat mudahnya

cara pengolahan mie basah yang hanya melibatkan teknologi sederhana.

Untuk industri kecil yang hanya memiliki modal kecil dan dikelola secara

tradisional, teknologi pembuatan mie basah tidaklah menjadi masalah, namun

mutu mie basah yang dihasilkan akan bervariasi tergantung kondisi

sanitasinya.

Berdasarkan penelitian Pahrudin (2006), mie basah matang tanpa

penambahan pengawet memiliki umur simpan yang pendek, yaitu 26 jam pada

Page 19: Contoh Lain

suhu ruang, berdasarkan terdeteksinya bau asam dan lendir. Kerusakan yang

terjadi disebabkan oleh kontaminasi mikroba selama proses produksi dan

kerusakan selama pengangkutan atau distribusi. Penggunaan bahan tambahan

ilegal, seperti formalin, untuk meningkatkan umur simpan pada mie basah

masih banyak dilakukan oleh para produsen.

Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie

basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri),

Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) yang dilakukan oleh Indrawan

(2005) menunjukkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan

tambahan ilegal, yaitu formalin ataupun boraks. Perinciannya adalah 13

industri (76,47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94,12%)

menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri (70,59%)

menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23,53%) menggunakan

boraks saja, dan hanya 1 industri (5,88%) yang menggunakan formalin saja.

Kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di pasar tradisional Jabotabek

adalah 106,00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2914,36 mg/kg (mie basah

matang). Mie yang dijual oleh pedagang produk olahan mie daerah Jabotabek

rata-rata mengandung formalin 72,93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3423,51

mg/kg (mie basah matang). Sementara itu, mie yang dijual di supermarket

Jabotabek mengandung formalin 113,45 mg/kg (mie basah mentah) dan

2914,82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005; Priyatna, 2005).

Mengingat banyaknya penyalahgunaan yang terjadi, maka diperlukan

usaha-usaha untuk memproduksi mie basah yang aman dikonsumsi oleh

masyarakat. Usaha yang dapat dilakukan adalah mencari alternatif bahan

pengawet selain formalin yang aman digunakan dan mengaplikasikan praktek

pengolahan yang sesuai dengan prinsip Cara Pengolahan Pangan yang Baik

(CPPB).

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk memperlajari pengaruh penggunaan

garam alkali yang berbeda, penambahan hidrokoloid, aplikasi perlakuan fisik,

Page 20: Contoh Lain

dan optimasi bahan pengawet yang diizinkan terhadap mutu mie basah

matang, khususnya dalam hal umur simpan.

C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang bermanfaaat

bagi pengusaha mie basah matang, khususnya pada tingkat Usaha Kecil

Menengah (UKM), untuk menghasilkan mie basah matang dengan umur

simpan yang lebih panjang dengan biaya produksi yang terjangkau.

Page 21: Contoh Lain

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MIE BASAH

1. Definisi Mie

Mie merupakan produk pasta yang pertama kali ditemukan oleh

bangsa China yang berbahan baku beras dan tepung kacang-kacangan

(Pagani, 1985). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mie adalah

produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan

bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk

khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Kualitas mie basah

menurut SNI 01-2987-1992 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu mie basah* No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1.

Keadaan : 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna

-

Normal Normal Normal

2. Kadar air % b/b 20 – 35 3. Kadar abu (dihitung atas

dasar bahan kering) % b/b Maks. 3

4. Kadar protein ((N x 6.25) dihitung atas dasar bahan kering)

% b/b Min. 3

5. Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks dan asam borat 5.2 Pewarna 5.3 Formalin

Tidak boleh ada Sesuai SNI-0222-M dan Peraturan MenKes. No. 722/Men.Kes/Per/IX/88 Tidak boleh ada

6. Cemaran logam : 6.1 Timbal (Pb) 6.2 Tembaga (Cu) 6.3 Seng (Zn) 6.4 Raksa (Hg)

mg/kg

Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05

7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0.05 8. Cemaran mikroba :

8.1 Angka lempeng total 8.2 E. coli 8.3 Kapang

Koloni/g APM/g Koloni/g

Maks. 1.0 x 106

Maks. 10 Maks. 1.0 x 104

*Badan Standarisasi Nasional (1992)

Page 22: Contoh Lain

2. Jenis Mie

Mie diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, diantaranya

ukuran diameter produk, bahan baku, cara pengolahan, dan karakterisitik

produk akhirnya. Berdasarkan ukuran diameter produk, Pagani (1985)

membedakan mie menjadi tiga, yaitu spaghetti (0,11 – 0,27 inci), mie

(0,07 – 0,125 inci), dan vermiselli (<0,04 inci). Berdasarkan bahan

bakunya, terdapat dua macam mie, yaitu mie yang bahan bakunya berasal

dari tepung terutama tepung terigu dan mie transparan (transparance

noodle) dari bahan baku pati, misalnya soun dan bihun.

Berdasarkan pengolahannya, mie dibedakan menjadi mie mentah

(misalnya mie ayam) dan mie matang (misalnya mie bakso). Sedangkan

berdasarkan karakterisitik produk akhirnya, terdapat dua jenis mie, yaitu

mie basah (mie ayam dan mie kuning) dan mie kering (mie telor dan mie

instan). Produk mie kering dan mie basah memiliki komposisi yang

hampir sama. Yang membedakan keduanya ialah kadar air, kadar protein,

dan tahapan proses pembuatan. Mie basah memiliki kadar air maksimal

35% (b/b) dan sumber prtoteinnya berasal dari tepung terigu yang menjadi

bahan baku utamanya. Jenis mie basah dengan bahan baku tepung aren

biasa disebut masyarakat dengan mie “gleser” (Badrudin, 1994).

3. Proses Pengolahan Mie Basah Bahan dasar untuk pembuatan mie basah yang umum digunakan

adalah tepung terigu dan air dengan bahan tambahan antara lain garam

dapur, air abu, dan minyak goreng. Terigu berfungsi sebagai bahan

pembentuk struktur, sumber karbohidrat dan sumber protein, pelarut

garam, dan pembentuk sifat kenyal gluten. Garam berperan dalam

memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, serta meningkatkan

elastisitas dan fleksibilitas mie. Penggunaan garam dapur sebanyak 1-2%

akan mengembangkan lembaran adonan dan mengurangi kelengketan.

Garam dapur yang digunakan sebanyak 2-3% akan memperbaiki

keseragaman dari jaringan gluten dan jumlah ini merupakan kontrol

Page 23: Contoh Lain

terhadap enzim α-amilase jika aktivitasnya sedang minimum (Sunaryo,

1985).

Proses pembuatan mie basah matang terdiri dari proses

pencampuran, pembentukan lembaran, pembentukan mie, serta pemasakan

(Gambar 1).

Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah secara umum (modifikasi dari Widowati dan Buckle (1991)).

Tahap pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang

homogen, menghidrasi tepung dengan air, dan membentuk adonan dari

jaringan gluten, sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Hal-hal yang

harus diperhatikan dalam proses pencampuran adalah jumlah air yang

ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan

sekitar 28-38% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari

Terigu

Mie basah matang

Pengadukan

Pemotongan

Perebusan 100 oC, 2 menit

Pemberian minyak goreng pada air rebusan

Pembentukan lembaran

Pencampuran bahan

Page 24: Contoh Lain

28%, adonan menjadi keras, rapuh dan sulit dibentuk menjadi lembaran.

Jika air yang ditambahkan lebih dari 38%, adonan menjadi basah dan

lengket (Oh et al., 1985 di dalam Yustiareni, 2000). Badrudin (1994)

menyatakan bahwa waktu pengadukan terbaik adalah 15 sampai 25 menit.

Apabila kurang dari 15 menit adonan menjadi lunak dan lengket,

sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh, dan

kering. Suhu adonan yang terbaik adalah 25 sampai 40oC. Apabila

suhunya kurang dari 25oC adonan menjadi keras, rapuh, dan kasar,

sedangkan bila suhunya lebih dari 40oC adonan menjadi lengket dan mie

kurang elastis. Campuran yang diharapkan adalah lunak, lembut, tidak

lengket, halus, elastis, dan mengembang dengan normal.

Setelah pengadukan, dilakukan pembentukan lembaran (sheeting).

Proses pembentukan lembaran bertujuan untuk menghaluskan serat-serat

gluten dan membuat adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan

jalan melewatkan adonan berulang-ulang di antara dua roll logam. Faktor

yang mempengaruhi proses ini adalah suhu dan jarak antara roll. Suhu

yang baik adalah sekitar 37oC, jika kurang 37oC maka adonan akan

menjadi kasar dan pecah-pecah, sehingga mie mudah patah. Hasil akhir

yang diharapkan adalah lembaran adonan yang halus dengan arah jalur

serat yang searah, sehingga dihasilkan mie yang elastis, kenyal, dan halus

(Badrudin, 1994).

Setelah dibentuk lembaran, dilanjutkan dengan proses pemotongan.

Proses pemotongan lembaran bertujuan untuk membentuk pita-pita mie

dengan ukuran lebar 1 sampai 3 mm, kemudian dilakukan pemasakan mie.

Pemasakan pita-pita mie dengan cara perebusan atau pengukusan

(steaming) dengan uap air bertujuan untuk menggelatinisasi pati dan

mengkoagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal. Proses gelatinisasi ini

terjadi dalam beberapa tahap yaitu pembasahan, gelatinisasi, dan

solidifikasi. Mula-mula, mie mengalami pembasahan pada permukaannya

sehingga mie bersifat elastis dan tidak mudah patah. Setelah itu, mie

tergelatinisasi karena penetrasi uap panas ke dalam mie sehingga mie

menjadi lentur atau liat. Gelatinisasi merupakan peristiwa pembengkakan

Page 25: Contoh Lain

granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali pada posisi

semula (Winarno, 1991). Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan

membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie yang dapat

memberikan kelembutan mie, meningkatkan daya cerna pati, dan

mempengaruhi daya rehidrasi mie (Badrudin, 1994).

Penguapan air permukaan terjadi pada tahap solidifikasi sehingga

mie menjadi halus, kering, dan solid (kompak). Pati akan meliputi

permukaan mie pada saat mie tergelatinisasi. Fungsinya adalah sebagai

pelindung pada saat penggorengan sehingga mie tidak menyerap minyak

terlalu banyak dan tekstur mie menjadi lembut, lunak, dan elastis. Selain

itu, pemborosan minyak pun dapat dikurangi. Tingkat kematangan mie

dapat dilihat dari pati yang tergelatinisai. Bila proses gelatinisasi tidak

sempurna, maka mie matang akan bersifat rapuh. Selain itu, bila produk

dimasak dalam air, maka air akan menjadi keruh karena larutnya pati yang

belum tergelatinisasi. Mie seperti ini saat digoreng akan membentuk

gelembung udara dan tekstur mie yang terbentuk kurang baik.

Tahap terakhir adalah pemberian minyak goreng. Pelumasan mie

yang telah direbus dengan minyak goreng dilakukan agar mie tidak

menjadi lengket satu sama lain, untuk memberikan citarasa, serta agar mie

tampak mengkilap (Mugiarti, 2001).

B. KERUSAKAN MIE

Mie matang merupakan mie basah mentah yang telah direbus terlebih

dahulu dan memiliki kadar air sekitar 52%. Mie basah matang memiliki aw

sebesar 0,97 dan pH sebesar 9,20 (Pahrudin, 2006). Berdasarkan Fardiaz

(1992), makanan dengan kadar air dan pH relatif tinggi (pH > 5,3)

dikelompokkan sebagai makanan yang mudah rusak. Kadar air dan aw yang

tinggi menyebabkan mie basah riskan mengalami kerusakan jika simpan pada

suhu ruang seperti yang umum dilakukan oleh penjual mie di pasaran.

Menurut Jay (2000), mikroba perusak yang mungkin tumbuh pada

produk olahan terigu adalah bakteri genus Bacillus dan beberapa jenis kapang.

Menurut Fardiaz (1992), jika tumbuh pada bahan pangan, bakteri dapat

Page 26: Contoh Lain

menyebabkan berbagai perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia

dan cita rasa bahan pangan tersebut. Adanya aktivitas mikroorganisme

pembentuk asam ditandai dengan terdektesinya bau asam pada mie basah yang

telah rusak. Beberapa bakteri aerobik pembentuk spora yang dapat

memproduksi amilase mungkin tumbuh pada kondisi kadar air yang tinggi

dengan memanfaatkan terigu dan olahannya sebagai sumber energi. Pada

kondisi kadar air lebih rendah, kapang berpotensi untuk tumbuh yang ditandai

dengan pembentukkan miselia dan spora. Kapang yang tumbuh umumnya

berasal dari genus Rhizopus yang dapat dikenali dengan adanya spora

berwarna hitam (Jay, 2000).

Kerusakan pada mie basah matang yang direbus terlebih dahulu terjadi

setelah penyimpanan suhu kamar selama 26 jam dengan indikator adanya

lendir dan bau asam (Pahrudin, 2006). Mie yang bermutu baik pada umumnya

berwarna putih atau kuning terang. Perubahan warna tidak terjadi, karena

perebusan dapat merusak enzim polifenoloksidase (Hoseney, 1998). Hasil

survei terhadap mie basah matang oleh Gracecia (2005) menunjukkan bahwa

ciri-ciri kerusakan ditandai dengan adanya bau asam, tekstur menjadi lengket,

berlendir, lembek, atau mie menjadi hancur. Karena mie basah matang cepat

mengalami kerusakan atau kebusukan, banyak usaha dilakukan untuk

memperpanjang umur simpan dengan penambahan bahan pengawet.

C. GARAM ALKALI

Garam alkali memiliki peranan yang sangat penting dalam pembuatan

mie. Mie tidak akan jadi jika tidak menggunakan garam alkali. Masyarakat

kita sebenarnya kurang familiar dengan istilah garam alkali. Umumnya, garam

alkali lebih mereka kenal dengan istilah obat mie atau “kansui”.

Garam alkali yang biasa digunakan dalam produk mie adalah natrium

karbonat (Na2CO3), kalium karbonat (K2CO3) dan kalium polifosfat

(KH2PO4). Garam alkali ini dapat ditambahkan masing-masing atau

kombinasi dari 2-3 alkali. Fungsi masing-masing bahan alkali tersebut

berbeda-beda. Natrium karbonat berfungsi untuk meningkatkan kehalusan dan

Page 27: Contoh Lain

tekstur mie. Konsentrasi Na2CO3 yang ditambahkan dalam formula mie basah

pada penelitian sebelumnya oleh Pahrudin (2006) adalah sebanyak 0,6%

sesuai dengan formula Bogasari. Formula mie dengan penambahan Na2CO3

0,6% dijadikan sebagai formula standar dalam penelitian ini. Kalium karbonat

berfungsi untuk meningkatkan sifat kekenyalan mie dan KH2PO4 untuk

meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie.

Sodium tripolifosfat atau STPP digunakan sebagai bahan pengikat air

agar air dalam adonan tidak mudah menguap sehingga permukaan adonan

tidak cepat mengering dan mengeras. Sodium tripolifosfat dapat digunakan

untuk menggantikan penggunaan boraks pada mie basah yang sekarang

kasusnya sedang marak di pasaran. Kelebihan STPP dibandingkan boraks

adalah STPP aman untuk digunakan dalam makanan dan penggunaannya

diatur dalam Permenkes No. 722/MenKes/Per/IX/1988. Penambahan STPP

dengan konsentrasi 0,1% sampai 0,2% dalam formula mie sudah cukup bagus

untuk memberikan kekenyalan.

D. HIDROKOLOID

Humektan adalah senyawa kimia yang bersifat higroskopis dan mampu

menurunkan aw bahan pangan. Humektan juga bersifat antimikroba,

memperbaiki tekstur, citarasa, dan dapat meningkatkan kalori (Labuza, 1975).

Lebih lanjut Labuza (1975) menjelaskan bahwa ada tiga jenis humektan.

Pertama, humektan yang memiliki kemampuan menurunkan aw; kedua,

humektan yang dapat mempertahankan kadar air; dan ketiga, humektan dapat

mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Salah satu contoh humektan adalah

hidrokoloid.

Hidrokoloid atau koloid hirofilik adalah polimer berantai panjang yang

larut dalam air dan mampu membentuk koloid dan gel. Polimer ini berukuran

antara 10 Å sampai 1000 Å. Hidrokoloid juga sering dikenal dengan istilah

gum. Ada berbagai macam hidrokoloid yang sekarang banyak digunakan di

industri pangan antara lain gum Arab, xanthan gum, agar-agar, pektin, CMC,

dan karagenan (Fardiaz, 1989). Hidrokoloid dalam bahan pangan lebih

Page 28: Contoh Lain

difokuskan untuk membentuk tekstur daripada sebagai pengikat air bebas

dalam bahan.

Berdasarkan klasifikasinya, hidrokoloid dibagi menjadi 3 jenis, yaitu

hidrokoloid alami, hidrokoloid modifikasi, dan hidrokoloid sintetis. Gum Arab

termasuk hidrokoloid alami hasil eksudat sedangkan karagenan adalah

hidrokoloid alami hasil ekstraksi rumput laut. Hidrokoloid alami hasil

ekstraksi tanaman adalah pektin. Xanthan gum merupakan hidrokoloid alami

hasil fermentasi bakteri. Contoh hidrokoloid hasil modifikasi adalah CMC

(Fardiaz, 1989).

Hidrokoloid sangat berperan dalam industri pangan karena hidrokolid

memiliki banyak fungsi dalam pengolahan pangan. Hidrokoloid dapat

digunakan sebagai perekat, pengikat air, penghambat kristalisasi es, pengeruh,

pengemulsi, pembentuk gel, penghambat sineresis, dan pengental dalam

produk pangan (Fardiaz, 1989). Berdasarkan fungsinya yang dapat mengikat

air, hidrokoloid memiliki kemampuan untuk menurunkan kandungan air bebas

dalam bahan pangan (Garbutt, 1997). Kandungan air bebas dalam bahan

pangan disebut sebagai aktivitas air (aw). Nilai aw bahan pangan merupakan

salah faktor penting untuk kelangsungan hidup mikroba.

Jika suatu hidrokoloid membentuk gel untuk menghasilkan suatu

tekstur yang diinginkan dalam bahan pangan, secara langsung hal ini dapat

menurunkan nilai aw pangan tersebut, walaupun penurunnya tidak akan terlalu

signifikan karena hidrokoloid biasanya digunakan dalam kadar yang sangat

rendah, yaitu sekitar 1% dari berat bahan pangan. Jika hidrokoloid ini

membentuk gel, maka sebagian air bebas dalam bahan pangan akan terikat

sehingga nilai aw akan turun dan jumlah air bebas yang dapat dipakai oleh

mikroba untuk hidup akan berkurang juga. Belum ada penelitian yang

menunjukkan secara pasti besar penurunan nilai aw oleh gum Arab, karagenan,

dan CMC, yang akan digunakan sebagai hidrokoloid dalam penelitian ini.

1. Gum Arab

Gum Arab merupakan eksudat dari tanaman spesies Acacia

terutama Acacia senegal. Gum ini diperoleh dari bagian kulit kayu yang

terluka. Gum Arab merupakan kompleks heteropolisakarida yang tersusun

Page 29: Contoh Lain

atas unit-unit L-arabinosa, L-rhamnosa, D-galaktosa dan asam D-

glukoronat, serta sejumlah kecil protein (2%). Proporsinya bervariasi

tergantung pada spesies Acacia. Gum Arab memiliki rantai utama yang

tersusun dari β-D-galaktopiranosil yang berikatan dengan ikatan 1→3

(Belitz dan Grosch, 1987). Gum Arab secara alami merupakan campuran

kalsium, magnesium, dan garam-garam kalium dari asam arab (Glicksman,

1983).

Gum Arab sangat larut dalam air. Kelarutan gum Arab dalam air

sangat tinggi bila dibandingkan dengan hidrokoloid lainnya. Gum Arab

dapat larut sampai konsentrasi sekitar 55%, sedangkan gum lainnya tidak

dapat larut dalam air pada konsentrasi lebih besar dari 5%. Konsentrasi

gum yang tinggi memberikan stabilisasi yang baik (Fardiaz, 1989).

Kekentalan larutan akan meningkat pada penambahan gum Arab

dengan konsentrasi yang sangat tinggi. Sifat ini sangat berbeda dengan

jenis polisakarida lainnya, dimana penambahan konsentrasi yang rendah

akan menghasilkan larutan yang kental. Kekentalan maksimum yaitu pada

konsentrasi 40-50% pada pH 4,5-5,5. Pada pH kurang dari 4,5 dan lebih

besar dari 5,5 menyebabkan kekentalannya rendah (Fardiaz, 1989).

Menurut Whistler dan Miller (1973), viskositas rata-rata gum Arab pada

konsentrasi sebesar 1% adalah 2,015.

Kegunaan gum Arab dalam industri pangan antara lain sebagai

emulsifier dan stabilizer dalam produk-produk hasil pemanggangan. Selain

itu, gum Arab ini juga dapat menghambat proses kristalisasi gula dan

pemisahan lemak pada produk-produk confectionery dan es krim. Gum

Arab juga digunakan sebagai pengikat flavor pada produksi konsentrat

aroma dalam bentuk kapsul ataupun bubuk. Sebagai contoh, minyak

esensial diemulsifikasi dengan larutan gum Arab lalu dikeringkan dengan

spray dryer. Polisakarida (gum Arab) akan membentuk film yang

mengelilingi tetes minyak, yang akan melindungi minyak dari oksidasi

(Belitz dan Grosch, 1987).

Page 30: Contoh Lain

2. Karagenan

Karagenan merupakan hidrokoloid dari rumput laut yang paling

penting dalam produk pangan. Karagenan terdiri dari ester-ester kalium,

natrium, magnesium, kalsium, dan amonium sulfat dari polimer galaktosa

dan 3,6-anhidrogalaktosa. Heksosa-heksosa ini secara bergantian terikat

dalam polimer melalui ikatan gliko α-1,3 dan β-1,4. Kandungan ester

sulfat karagenan berkisar antara 18-40%. Chapman dan Chapman (1980)

menyatakan bahwa karagenan merupakan suatu polimer polisakarida yang

tersusun dengan ikatan α-1,3 dan β-1,4 D-Galaktopiranosa.

Polimer karagenan terdiri dari galaktosa dan dibedakan atas tiga

fraksi utama yaitu λ- (lambda), ι- (iota), dan κ- (kappa) karagenan

(Gambar 2). Ketiga fraksi tersebut dibedakan berdasarkan gugus ester

sulfat dan kandungan 3,6-anhidrogalaktosanya. Fraksi kappa-karagenan

dan iota-karagenan dapat membentuk gel, sedangkan fraksi lamda-

karagenan tidak dapat membentuk gel. Kandungan ester sulfat dalam

kappa-karagenan sebesar 25-30%, dalam iota-karagenan sebesar 28-35%,

dan dalam lamda-karagenan sebesar 32-39%.

(a) (b) (c)

Gambar 2. Struktur molekul karagenan: (a) kappa-; (b) iota-; dan (c) lamda-karagenan (Nussinovitch, 1997)

Fraksi kappa karagenan terdiri dari ikatan 1,3 D-galaktosa-4-sulfat

dan ikatan 1,4 dari unit 3,6-anhidro-D-galaktosa. Kappa karagenan

terbentuk sebagai hasil aksi enzim dekinkase yang mengkatalisis μ- (mu)

karagenan menjadi kappa karagenan dengan cara menghilangkan sulfat

pada C6 dari residu ikatan α-1,4 D-galaktosa-6-sulfat yang bersamaan

dengan penutupan cincin membentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa (Gliksman,

1983).

Page 31: Contoh Lain

Berbeda dengan kappa karagenan, iota karagenan terbentuk dari ν-

(nu) karagenan, yang terdiri dari ikatan ikatan 1,3 D-galaktosa-4-sulfat dan

ikatan 1,4 dari unit 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat. Sama seperti kappa

karagenan, dengan menghilangkan sulfat pada C6 dari ν-karagenan maka

terbentuklah 3,6-anhidro-D-galaktosa yang selanjutnya menjadi iota

karagenan (Gliksman, 1983).

Whistler dan Miller (1973) mengemukakan bahwa kelarutan

karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis

karagenan, pengaruh ada tidaknya ion, suhu, pH, dan komponen organik

larutan. Selain itu, kelarutan karagenan juga dipengaruhi oleh adanya

gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa dan sulfat ester. Karagenan umumnya larut

dalam air panas (>70oC). Dalam air dingin, hanya lamda karagenan dan

garam natrium dari kappa dan iota karagenan yang larut (Glicksman,

1983).

Viskositas terjadi pada saat dispersi karagenan dengan air.

Viskositas ini tergantung pada konsentrasi larutan, suhu, jenis karagenan,

dan molekul terlarut lainnya. Jika konsentrasi larutan karagenan

meningkat, maka viskositas juga meningkat secara logaritmik. Viskositas

larutan karagenan menurun dengan naiknya suhu dan perubahan ini

bersifat reversible.

Kappa dan iota karagenan mempunyai kemampuan untuk

membentuk gel pada saat larutan panas dibiarkan menjadi dingin, karena

mengandung gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa. Proses ini juga bersifat

reversible, artinya gel akan mencair jika dipanaskan dan bila didinginkan

akan membentuk gel kembali (Glicksman, 1983). Pada suhu di atas titik

cair gel, polimer karagenan dalam larutan berbentuk ramdom coils.

Polimer akan membentuk double helix pada proses pendinginan (gel I),

pendinginan selanjutnya membentuk struktur tiga dimensi (gel II).

Mekanisme pembentukan gel ini dapat dilihat pada Gambar 3 (Rees,

1969).

Page 32: Contoh Lain

Gambar 3. Mekanisme pembentukan gel karagenan (Rees, 1969)

Produk karagenan paling stabil pada pH netral dan alkali.

Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari iakatan gliko yang

mengakibatkan kehilangan viskositas dan potensi untuk membentuk gel,

yang dipercepat oleh adanya panas (Moirano, 1977). Namun pada

kenyataannya, suatu gel terbentuk pada pH di bawah 7 dan hidrolisis

terjadi tidak lama kemudian, sehingga gel dapat tetap stabil (Glicksman,

1983).

Di Amerika Serikat, karagenan memiliki status GRAS dan diakui

sebagai BTP (21 CFR 172.620) oleh FDA. Di Eropa, karagenan juga telah

diakui sebagai BTP dengan E number E407. Kurang lebih 80% produksi

karagenan digunakan dalam industri makanan, farmasi, dan kosmetik

(Whistler dan Miller, 1973). Karagenan dapat diaplikasikan pada berbagai

produk sebagai pembentuk gel atau penstabil, pensuspensi, pembentuk

tekstur emulsi, terutama pada produk-produk jeli, jamu, saus, permen,

sirup, puding, dodol, salad dressing, gel ikan, nugget, produk susu, bahkan

juga untuk industri kosmetik, tekstil, cat, obat-obatan, dan pakan ternak

(Suptijah, 2002). Karagenan dapat menghambat pembentukan kristal es

pada produk makanan yang dibekukan. Pada umumnya, penggunaan

karagenan dikombinasikan dengan CMC (Sodium Carboxy Methyl

Cellulose), locust bean gum, guaran, atau beberapa jenis bahan penstabil

lainnya (Arbuckle, 1986).

3. CMC

CMC (Sodium Carboxy Methyl Cellulose) merupakan hidrokoloid

sintetis yang telah dimodifikasi membentuk komponen eter selulosa. CMC

Page 33: Contoh Lain

merupakan turunan dari selulosa yang memiliki bentuk linear. Monomer

penyusunnya merupakan glukosa dengan substituen berupa karboksimetil

eter (Fennema, 1985). CMC ini diperoleh dengan cara menambahkan asam

kloroasetat pada selulosa. Struktur molekul CMC dapat dilihat pada

Gambar 4.

Gambar 4. Struktur molekul Na-CMC (Nussinovitch, 1997)

Kelarutannya dalam air cukup tinggi. Karakteristik produknya

tergantung pada derajat substitusi dan polimerisasi. Jenis yang memiliki

derajat substitusi rendah tidak larut dalam air tetapi larut dalam basa,

sedangkan jenis yang memiliki derajat substitusi tinggi larut di dalam air.

Viskositas CMC dipengaruhi oleh suhu dan pH. Pada pH kurang dari 5,0,

viskositasnya akan menurun, sedangkan CMC sangat stabil pada pH antara

5-11. CMC memiliki viskositas maksimum dan stabilitas yang paling baik

pada pH 7-9 (Whistler dan Miller, 1973). CMC dapat larut dalam air panas

dan air dingin (Glicksman, 1983).

CMC merupakan turunan selulosa yang paling banyak digunakan

sebagai hidrokoloid pangan. Fungsi dasarnya adalah untuk mengikat air

atau memberikan kekentalan sehingga dapat memantapkan komponen

lainnya atau mencegah sineresis. CMC biasanya dikombinasikan dengan

gelatin, pektin, atau gum biji lokus. Kapasitas pengikatan airnya tinggi

sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam makanan-makanan

dietetik.

CMC biasa digunakan dalam campuran adonan mie basah yang

banyak dijual di pasaran. CMC berfungsi sebagai penstabil pada mie

basah. CMC dapat juga digunakan sebagai bahan pengganti gluten (gluten

substitute). Hal ini didasarkan pada peranan senyawa tersebut yang

Page 34: Contoh Lain

terbukti baik untuk mengembangkan adonan dalam formulasi roti dari

tepung beras (Nishita, et. al, 1976).

Penting untuk diperhatikan bahwa jika CMC yang ditambahkan

terlalu banyak maka akan menyebabkan adonan mie tidak mengembang

penuh, tekstur mie menjadi keras, dan daya rehidrasi berkurang.

Keuntungan penggunaan CMC adalah pada pH tinggi kekentalannya akan

meningkat (Fardiaz, 1989). Jika kekentalan meningkat berarti jumlah air

bebas dalam bahan akan menurun sehingga akan menghambat

pertumbuhan mikroba perusak.

E. BAHAN PENGAWET

Bahan tambahan pangan (BTP) adalah senyawa atau campuran

berbagai senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan dan terlibat

dalam proses pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan

merupakan bahan utama (Anonim, 1996). Menurut Codex Alimentarus di

dalam Branen dan Haggerty (2002), BTP didefinisikan sebagai bahan yang

tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan

komposisi (ingredient) khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai

gizi, ditambahkan kedalam pangan dengan sengaja untuk membantu teknik

pengolahan pangan (termasuk organoleptik) baik dalam proses pembuatan,

pengolahan, persiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan,

dan penyimpanan produk pangan olahan, agar menghasilkan atau diharapkan

menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu pangan yang lebih baik

atau secara nyata mempengaruhi sifat khas pangan tersebut.

Di Indonesia, penggunaan BTP telah diatur sejak tahun 1988 dalam

Permenkes No. 722/MenKes/Per/IX/1988 yang dikuatkan dengan Permenkes

No.1168/MenKes/Per/1999 menyebutkan bahwa yang termasuk BTP adalah

pewarna, pemanis buatan, pengawet, antioksidan, antikempal, penyedap dan

penguat rasa, pengatur keasaman, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi,

pengental, pengeras, dan sekuestran (untuk memantapkan warna dan tekstur

makanan).

Page 35: Contoh Lain

Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah

atau menghambat fermentasi, pengasam, dan peruraian lain terhadap pangan

yang disebabkan oleh mikroorganisme (Departemen Kesehatan, 1988). Jenis

bahan pengawet yang paling sering diaplikasikan kedalam bahan pangan

adalah asam organik. Selain lebih aman karena umumnya buah-buahan juga

menghasilkan asam organik secara alamiah, asam organik banyak digunakan

karena kinerja antimikrobanya. Asam organik merupakan asam lipofilik lemah

yang mudah berinteraksi dengan komponen lemak yang menyusun bagian

membran sel mikroba. Asam organik akan menembus membran sel dalam

bentuk tidak terdisodiasi untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau dapat

membunuh mikroba. Setelah berada dalam sitoplasma yang memiliki pH

netral sekitar 7, bentuk tidak berdisoasi ini akan terdisosiasi dan ion H+ yang

terbentuk akan menurunkan pH sitoplasma sehingga kesetimbangan dalam sel

mikroba menjadi kacau.

Bentuk asam organik yang tidak terdisosiasi dapat diperoleh dengan

menggunakan bentuk garam dari asam organik tersebut karena bentuk garam

asam organik ini lebih dapat mempertahankan bentuk tidak berdisosiasi dan

biasanya bentuk garam lebih mudah larut dalam air. Selain itu, informasi

mengenai pKa penting untuk diketahui sebelum asam organik ini

diaplikasikan sebagai pengawet. Garbutt (1997) mendefinisikan pKa sebagai

nilai pH pada saat suatu pengawet terdisosiasi sebanyak 50%. Semakin tinggi

nilai pKa maka semakin luas spektrum penggunaan suatu asam organik untuk

dapat digunakan sebagai pengawet.

Pemilihan antimikroba yang tepat tergantung pada beberapa faktor

meliputi zat antimikroba dan zat kimia yang terkandung, komposisi produk

pangan, sistem pengawetan selain bahan kimia yang digunakan pada produk,

tipe, karakteristik, dan jumlah mikroorganisme, keamanan antimikroba dan

efektivitas biaya penggunaan antimikroba. Pengawet kimia yang digunakan

pada penelitian ini adalah kalsium propionat, kalium sorbat, dan natrium

asetat.

1. Propionat dan Garamnya

Asam propionat (C3H6O2) dengan rumus struktur CH3CH3COOH

Page 36: Contoh Lain

(Gambar 2) umum digunakan sebagai penghambat kapang. Kalsium

propionat (C6H10CaO4/Ca(CH3CaH2COO)2) bersifat larut dalam air,

sedikit larut dalam air, sedikit larut dalam metanol dan etanol, namun tidak

larut dalam aseton dan benzena. Memurut Merck Index (1989), kalsium

propionat digunakan sebagai penghambat pertumbuhan kapang dan

mikroorganisme lain pada industri pangan, tembakau dan farmasi.

Gambar 5. Struktur molekul asam propionat (Anonim, 1999a)

Menurut Desrosier (1977), natrium atau kalsium propionat biasa

digunakan pada industri pangan untuk menghambat kapang dan khamir

pada produk roti, mentega, selai, jeli, keju, dan produk olahan lain yang

tidak tahan lama. Efektivitasnya optimal pada pH 5-6 dan menurun dengan

meningkatnya pH. Propionat memiliki pKa 4,87 bentuk aktif sebagai asam

propinat yang tidak terdisosiasi (Samelis dan Sofos, 2003). Toksisitasnya

terhadap mikroba adalah karena mikroba tidak mampu memetabolisme

tiga rantai karbon dari asam propionat.

FDA menyatakan propionat sebagai Generally Recognized As Safe

(GRAS) dalam 21 CFR 184.1221 dengan nilai Acceptable daily Intake

(ADI) sebesar 0-20 mg/kg berat badan. Propionat dalam bentuk garam

kalsiumnya digunakan dengan konsentrasi sekitar 0,1-0,4% dan untuk

produk dengan bahan dasar tepung digunakan sebesar 0,32% (CNFP,

2002a). Di Indonesia, asam dan kalsium propionat digunakan pada sediaan

keju olahan dengan batas maksimum penggunaan 3 g/kg tunggal atau

campuran dengan asam sorbat dan garamnya, sedangkan pada roti batas

maksium penggunaannya adalah 2 g/kg.

2. Sorbat dan Garamnya

Asam sorbat yang memiliki rumus C6H8O2 (Gambar 3) merupakan

padatan putih, berbentuk kristal dan berbau agak asam. Kelarutan air pada

suhu kamar adalah 0,15 g per 100 ml (0,15 %). Grup karboksil asam

sorbat sangat reaktif sehingga dapat membentuk berbagai garam dan ester.

Page 37: Contoh Lain

Sorbat memiliki nilai pKa 4,76 (Samelis dan Sofos, 2003). Ikatan ganda

terkonjugasi asam sorbat juga reaktif dan mungkin mempengaruhi

aktivitas antimikrobanya dan kualitas serta keasaman produk pangan.

Secara komersil asam sorbat tersedia dalam bentuk garamnya termasuk

kalsium, natrium, dan natrium sorbat.

Gambar 6. Struktur molekul asam sorbat (Anonim, 1999b)

Menurut Desrosier (1977), asam sorbat efektif dalam mengontrol

pertumbuhan kapang pada keju, margarin, dan daging. Bahkan pada

margarin penambahan asam sorbat lebih efektif dibanding dengan

penambahan asam benzoat sebagai pengawet. Mekanisme penghambatan

asam sorbat pada kapang yaitu dengan menghambat sistem enzim

dehidrogenase pada kapang. Namun efektivitas asam sorbat hanya terlibat

apabila kapang yang tumbuh dalam jumlah kecil. Pada tingkat

pertumbuhan kapang yang tinggi, pengaruh asam sorbat sebagai

penghambat tidak jelas terlihat (Desrosier, 1977).

Sorbat dalam bentuk garamnya digunakan dengan konsentrasi

sekitar 0,025-0,1% untuk produk roti, kue, keju, pie, dan yoghurt (CNFP,

2002b). konsentrasi maksimum yang diijinkan di Amerika Serikat adalah

0,1%. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/

Menkes/Per/IX/88, kalium sorbat digunakan pada sediaan keju olahan

dengan batas maksimum 3 g/kg, pada produk keju, margarin, acar ketimun

dalam botol, selai dan jeli, serta pekatan sari nenas batas maksimum

penggunaannya sebesar 1g/kg, sedangkan pada aprikot yang dikeringkan

dan marmalad penggunaan kalium sorbat yang diizinkan sebanyak 500

mg/kg.

3. Natrium Asetat

Natrium asetat berbentuk kristal yang berwarna putih ataupun tidak

berwarna, yang terbentuk dari reaksi antara asama asetat dengan natrium

karbaonat atau natrium hidroksida. Natrium asetat larut dalam air dan

Page 38: Contoh Lain

etoksietan serta sedikit larut dalam etanol. Natrium asetat merupakan

garam dari basa kuat dan asam lemah sehingga dapat diaplikasikan sebagai

buffer pada produksi petroleum, elastomer, dan sebagai pengawet.

Natrium asetat lebih efektif terhadap khamir dan bakteri

dibandingkan dengan kapang. Asetat memiliki nilai pKa 4,75 (Samelis dan

Sofos, 2003). Natrium asetat dapat digunakan dalam saos, mayonaise,

acid-pickle vegetable, roti dan produk bakery lainnya (Belitz dan Grosch,

1999). Sebagai pengawet kimia, natrium asetat digolongkan dalam GRAS

dengan ADI tidak terbatas oleh FDA. Batas maksimum Na-asetat yang

masih aman dikonsumsi berdasarkan CODEX adalah 0,6% atau 6000

ppm.

F. KONDISI PENYIMPANAN

1. Penyimpanan Suhu Rendah

Penyimpanan pada suhu rendah (di bawah 15oC) merupakan salah

satu cara untuk mengawetkan bahan pangan. Suhu rendah dapat

menghambat aktivitas enzim dan reaksi-reaksi kimia, serta menghambat

atau menghentikan pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme dalam

makanan. Faktor yang perlu diperhatikan pada penyimpanan suhu rendah

adalah penggunaan suhu yang paling tepat. Semakin rendah suhu yang

digunakan maka semakin lambat terjadi reaksi kimia, aktivitas enzim, dan

pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al., 1987). Penyimpanan suhu

rendah dapat mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya,

proses penuan karena adanya proses pemasakan, pelunakan, perubahan

warna dan tekstur, kehilangan air, kerusakan karena bakteri, kapang, dan

khamir (Fellers, 1955).

Daya tahan mikroorganisme terhadap suhu rendah bervariasi antara

satu dengan lainnya. Kapang dan ragi lebih tahan pada kondisi beku

daripada bakteri. Temperatur rendah menyebabkan penahanan sintesa

enzim mikroorganisme dan menginaktifkan mekanisme transpor solut

melalui membran sitoplasma pada bakteri mesofilik. Namun, hal tersebut

Page 39: Contoh Lain

tidak terjadi pada bakteri psikrofilik, yaitu bakteri yang dapat hidup pada

suhu (– 7)oC hingga 10oC.

Kebanyakan bakteri psikrofilik yang terdapat dalam makanan

termasuk dalam genus Pseudomonas, dan beberapa termasuk dalam genus

Acinetobacter, Alkaligenes, dan Flavobacterium. Kapang yang sering

tumbuh pada makanan yang disimpan pada suhu rendah antara lain

termasuk dalam genus Penicillium, Cladosporium, Botrytis, dan

Geotrichum, sedangkan khamir yang mungkin tumbuh adalah genus

Deberiomyces, Torulopsis, Candida, Rhodotorula, dan beberapa jenis

lainnya (Fardiaz, 1992).

2. Pengemasan

Pengemasan pangan dilakukan untuk melindungi produk dari

lingkungan sekitarnya dalam rangka peningkatan mutu simpan.

Pengemasan vakum adalah sistem pengemasan dengan gas hampa

(tekanan kurang dari 1 atm) dengan mengeluarkan oksigen dari kemasan

(Syarief et al., 1989). Pengemasan vakum dilakukan dengan memasukkan

produk ke dalam plastik, diikuti dengan pemompaan udara keluar

kemudian ditutup dan setelah itu direkatkan dengan panas.

Ketersediaan oksigen dapat mempengaruhi pertumbuhan

mikroorganisme. Jamur atau kapang bersifat aerobik (memerlukan

oksigen) sedangkan khamir dapat bersifat aerobik atau anaerobik

tergantung pada kondisinya (Fardiaz, 1992). Kandungan oksigen yang

rendah dalam kemasan terbukti mampu menghambat pertumbuhan

mikroba. Patersen et al. (1999) melaporkan bahwa rendahnya oksigen

yang terdapat dalam kemasan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan

mikroba dari genus Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter,

Flavobacterium dan Cytophaga.

Pengemasan vakum dapat mempertahankan kesegaran dan flavor

makanan 3-5 kali lebih lama dibandingkan dengan metode penyimpanan

konvensional, karena tidak ada kontak dengan oksigen, serta juga dapat

memelihara tekstur dan penampakan makanan karena mikroorganisme

Page 40: Contoh Lain

seperti bakteri, jamur, dan khamir tidak dapat tumbuh dalam kondisi

vakum.

Plastik yang digunakan dalam pengemasan vakum yaitu plastik

yang mempunyai permeabilitas O2 yang rendah dan tahan terhadap bahan

yang dikemas (Sacharow dan Griffin, 1980). Polipropilen (PP) merupakan

polimer plastik yang memiliki densitas paling rendah di antara polimer-

polimer plastik lainnya. PP umumnya tersedia di pasaran dalam dua jenis,

yaitu PP tebal dan PP tipis. Perbedaan keduanya adalah pada ketebalan

bahan. Secara fisik, PP bersifat kuat, kaku, dan transparan. Kemampuan

PP dalam menghalangi uap air cukup tinggi.

Sifat-sifat utama dari polipropilen adalah ringan (densitas 0,9

g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk

kemasan kaku. Polipropilen memiliki kekuatan tarik lebih besar dan lebih

kaku dari PE, serta tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan

dan distribusi. Permeabilitas uap air PP rendah, permeabilitas gas sedang

dan tidak cocok untuk makanan yang peka terhadap oksigen. Plastik PP

tahan suhu tinggi sampai 150oC, sehingga dapat dipakai untuk makanan

yang harus disterilisasi. Polipropilen tahan terhadap asam kuat, basa dan

minyak. Pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzen, siklen, toluen,

terpentin dan asam nitrat kuat.

Polietilen (PE), yang mempunyai rumus kimia (-CH2-CH2-)n,

merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam industri

makanan. Berdasarkan densitasnya, polietilen dibagi menjadi tiga, yaitu

polietilen densitas rendah (LDPE/Low Density Polyethylene), polietilen

densitas sedang (MDPE/Medium Density Polyethylene), dan polietilen

densitas tinggi (HDPE/High Density Polyethylene) (Hanlon, 1986). HDPE

bersifat tidak transparan, tidak mudah meregang, mudah disobek, tidak

mudah mengkerut dan meleleh saat dibakar dengan api. LDPE juga

bersifat tidak transparan, tidak mudah sobek, mudah meregang, mudah

meleleh dan mudah mengkerut. Perbedaan densitas ini akan berpengaruh

terhadap harga masing-masing jenis plastik tersebut, dimana semakin

tinggi densitas maka harga semakin mahal.

Page 41: Contoh Lain

Pangan yang telah dikemas vakum nantinya akan disimpan pada

suhu rendah untuk mencegah tumbuhnya bakteri anaerobik, khususnya

Clostridium botulinum. Bakteri Gram positif berbentuk batang ini

merupakan bakteri pembentuk spora yang hidup secara anaerobik.

Clostridium botulinum ini dapat menghasilkan racun botulinum yang

bersifat neuropatik dan dapat menyerang susunan saraf. Makanan yang

dikemas vakum (anaerob) kadang-kadang masih terlihat normal dari

luarnya dalam hal bentuk, rasa, dan baunya. Untuk menghindari terjadinya

keracunan botulinum, maka dilakukan penyimpanan pada suhu rendah,

yaitu di bawah suhu optimum pertumbuhan C. botulinum strain yang

proteolitik (35oC) (Supardi dan Sukamto, 1999).

Page 42: Contoh Lain

III. METODE PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam produksi mie adalah tepung terigu

merek Segitiga Biru dan Cakra Kembar, garam dapur, air, bahan pengawet

(Na-asetat, Ca-propionat, dan K-sorbat), hidrokoloid (CMC, gum Arab,

dan karagenan), minyak kelapa, plastik LDPE, dan plastik PP. Bahan-

bahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologis, fisik, kimia dan

sensori adalah aquades, alkohol 96%, larutan pengencer steril NaCl 0,85%,

media Plate Count Agar (PCA), Acidified Potato Dextrose Agar (APDA),

Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), Eosin Methylene Blue Agar

(EMBA), spiritus, tissue, buffer pH 7, NaCl jenuh, kapas, dan korek api.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam produksi mie adalah noodle

machine, mixer, timbangan, baskom, gelas ukur, gelas piala, dan pisau.

Alat-alat untuk analisis adalah cawan aluminium, desikator, oven, cawan

porselin, tanur, stomacher, cawan petri steril, tabung reaksi bertutup,

tabung Durham, pipet, mikropipet, inkubator, bunsen, erlenmeyer, gelas

ukur, otoklaf, hot plate, refrigerator, sealer, aluminium foil, sudip, aw-

meter, pH-meter, texture analyzer, chromameter, dan refluks.

B. TAHAPAN PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari tujuh tahap penelitian yang saling terkait.

Pada tahap pertama dilakukan penambahan jenis garam alkali yang berbeda

kemudian diamati pengaruhnya terhadap kualitas mie basah matang,

khususnya tekstur mie. Pada tahap kedua, dilakukan penambahan hidrokoloid

ke dalam formula mie standar, kemudian diamati pengaruhnya terhadap

tekstur dan elastisitas mie basah matang. Tahap ketiga, dilakukan variasi cara

pemasakan dan cara pelumuran mie basah matang. Tahap keempat merupakan

Page 43: Contoh Lain

aplikasi teknologi penyimpanan suhu rendah dan pengemasan vakum untuk

memperoleh mie dengan umur simpan lebih lama. Tahap kelima adalah

optimasi penambahan pengawet untuk memperpanjang umur simpan mie

basah matang. Tahap keenam merupakan tahap penurunan konsentrasi

kombinasi pengawet terbaik dari tahap kelima untuk memenuhi syarat Cara

Pengolahan Pangan yang Baik (CPPB). Setelah semua tahapan tadi dilakukan

dan diperoleh perlakuan terbaik dari masing-masing tahapan, maka dilakukan

kombinasi perlakuan terbaik untuk membuat mie basah matang pada tahap

ketujuh. Skema umum tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

Istilah mie basah matang untuk selanjutnya akan dipersingkat dengan sebutan

mie.

Fomula mie, proses pemasakan, pelumuran minyak, dan pengemasan

yang digunakan diperoleh dari Pahrudin (2006) dan untuk selanjutnya disebut

sebagai prosedur standar. Formula mie dapat dilihat pada Tabel 2 dan untuk

selanjutnya disebut sebagai formula standar. Pemasakan mie basah dilakukan

dengan perebusan pada 100oC selama 2 menit. Pelumuran dilakukan dengan

minyak kelapa yang ditambahkan ke dalam air rebusan. Mie yang telah jadi

dikemas menggunakan plastik LDPE.

Tabel 2. Formula mie standar*

Bahan Komposisi

Tepung terigu (Segitiga Biru : Cakra Kembar) 1 : 1

Garam dapur 1,0% berat tepung Na2CO3 0,6% berat tepung Air 34% berat tepung

*Pahrudin (2006)

1. Pengaruh Jenis Garam Alkali Terhadap Kualitas Mie

Tahapan pertama ini dilakukan untuk memperoleh formula garam

alkali yang dapat menghasilkan mie dengan tekstur yang kenyal dan elastis

atau tidak rapuh. Garam alkali yang akan digunakan adalah natrium

karbonat (Na2CO3) dan sodium tripolifosfat (STPP).

Page 44: Contoh Lain

Formula yang digunakan adalah formula mie standar dengan

penggunaan garam alkali sesuai perlakuan yang tertera pada Tabel 3.

Setelah selesai dibuat, mie hasil formulasi kemudian diamati warna,

tekstur, dan elastisitasnya dengan menggunakan instrumen. Data hasil

pengamatan terhadap warna, tekstur, dan elastisitas kemudian diolah

secara statistik menggunakan Uji T dengan program SPSS 11.5.

Pengamatan subyektif dilakukan setiap 4 jam terhadap parameter bau asam

dan ada tidaknya lendir untuk mengetahui umur simpannya. Garam alkali

yang menghasilkan umur simpan terpanjang dan tekstur serta elastisitas

terbaik kemudian diaplikasikan dalam formula mie pada tahap kombinasi

perlakuan terbaik.

Tabel 3. Formula perlakuan penambahan garam alkali

Perlakuan Jenis Garam Alkali Konsentrasi I Na2CO3 0,6% II STPP 0,2%

2. Pengaruh Penambahan Hidrokoloid Terhadap Kualitas Mie

Tahapan ini adalah tahap pembuatan mie dengan melakukan

optimasi penambahan hidrokoloid. Formula mie yang digunakan adalah

formula mie standar. Jenis hidrokoloid yang digunakan, yaitu CMC, gum

Arab, dan karagenan. Penggunaan hidrokoloid dilakukan secara tunggal.

Rancangan perlakuan tahap ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Konsentrasi hidrokoloid yang digunakan dalam formula

Perlakuan Jenis Hidrokoloid Konsentrasi (% berat tepung)

Kontrol Tanpa CMC – I CMC 0,2* II Gum arab 0,5** III Karagenan 0,5**

Keterangan: *Pahrudin (2006) dan **Permenkes (1988)

Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang

meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam, serta pengamatan

mutu fisik dengan instrumen yang meliputi warna, tekstur, dan elastisitas

Page 45: Contoh Lain

pada saat mie selesai dibuat (jam ke-0). Data hasil pengamatan terhadap

warna, tekstur, dan elastisitas kemudian diolah secara statistik

menggunakan ANOVA dengan program SPSS 11.5. Target umur simpan

yang diinginkan adalah selama 2 hari (48 jam). Formula hidrokoloid

dengan hasil terbaik yang diperoleh akan diaplikasikan pada tahap

kombinasi perlakuan terbaik.

3. Pengaruh Pemasakan dan Pelumuran Minyak Terhadap Kualitas Mie

Dua cara pemasakan mie yang dilakuan pada tahapan ini, yaitu

dengan perebusan dan pengukusan. Selain itu, juga dilakukan dua cara

pelumuran minyak, yaitu penambahan minyak pada air rebusan dan

setelah pemasakan. Formula mie yang digunakan adalah formula mie

standar. Jenis minyak yang digunakan, yaitu minyak kelapa. Kombinasi

perlakuan pemasakan dan pelumuran dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Formula kombinasi pemasakan dan pelumuran Perlakuan Pemasakan Pelumuran Minyak

I Ditambahkan di air rebusan II Direbus Setelah perebusan III Dikukus Setelah pengukusan

Pengukusan pada skala laboratorium dilakukan dengan

menggunakan panci kukus, yaitu panci yang menyerupai dandang yang

diberi air pada bagian dasarnya sampai ketinggian tertentu. Uap air untuk

mengukus mie berasal dari air yang dibiarkan mendidih. Mie yang akan

dikukus disemprot terlebih dahulu dengan air secara merata menggunakan

botol semprot (sprayer) untuk meningkatkan kelembaban awal mie

sehingga nantinya diperoleh mie dengan tekstur yang lebih kenyal.

Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang

meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam, serta pengamatan

mutu fisik dengan instrumen yang meliputi warna dan tekstur pada saat

mie telah selesai dibuat (jam ke-0). Target umur simpan yang diinginkan

adalah selama 2 hari (48 jam). Data hasil pengamatan terhadap warna,

tekstur, dan elastisitas diolah secara statistik menggunakan ANOVA

Page 46: Contoh Lain

dengan program SPSS 11.5. Formula kombinasi pemasakan dan

pelumuran dengan hasil terbaik yang diperoleh akan diaplikasikan pada

tahap kombinasi perlakuan terbaik.

4. Pengaruh Kondisi Penyimpanan Terhadap Kualitas Mie

Tahapan ini adalah tahap pembuatan mie dengan melakukan

optimasi perlakuan fisik. Formula mie yang digunakan adalah formula mie

standar. Kemasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemasan

plastik LDPE dan PP tebal. Perlakuan fisik yang dilakukan adalah

penyimpanan pada suhu ruang (25oC) dan suhu rendah, yaitu pada suhu

13 ± 2 oC dan 5 ± 1oC, serta pengemasan vakum dengan plastik PP tebal

yang disimpan pada suhu rendah (Tabel 6).

Tabel 6. Kombinasi perlakuan suhu penyimpanan dan pengemasan

Perlakuan Kemasan Suhu Penyimpanan

Cara Pengemasan

I LDPE Suhu ruang Tanpa vakum II PP tebal Suhu ruang Tanpa vakum III LDPE Tanpa vakum IV PP tebal

Suhu rendah 13 ± 2 oC Tanpa vakum

V LDPE Tanpa vakum VI PP tebal

Suhu rendah 5 ± 1oC Tanpa vakum

VII PP tebal Suhu rendah 13 ± 2 oC Kemas vakum

VIII PP tebal Suhu rendah 5 ± 1oC Kemas vakum

Masing-masing sampel mie ditimbang seberat 100 gram dan

dikemas dengan kondisi tertutup rapat. Pengemasan tanpa vakum

dilakukan dengan cara dikelim menggunakan sealer pada skala 1 untuk

plastik LDPE dan skala 3 untuk plastik PP tebal. Pengemasan vakum

dilakukan menggunakan plastik PP tebal dengan alat vacuum sealer milik

Laboratorium Pengemasan, Departemen Teknologi Industri Pertanian.

Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang

meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam untuk sampel yang

disimpan pada suhu ruang dan setiap 1 hari untuk sampel yang disimpan

pada suhu rendah. Target umur simpan yang diinginkan adalah selama 2

Page 47: Contoh Lain

hari (48 jam). Perlakuan fisik terbaik yang diperoleh selanjutnya akan

diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik.

5. Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet Terhadap Kualitas Mie

Tahapan ini dilakukan untuk eksplorasi bahan pengawet yang

mungkin digunakan untuk pembuatan mie. Tahapan ini mencakup

formulasi mie yang ditambahkan dengan bahan pengawet yang diizinkan.

Formula mie yang digunakan adalah formula mie standar.

Penambahan bahan pengawet dilakukan sesuai dengan ketentuan

kadar maksimal yang diatur dalam regulasi CODEX dan Permenkes No.

722/MenKes/Per/IX/1988. Kemudian asumsikan bila dengan kadar

maksimal pengawet tidak dapat memenuhi target umur simpan yang

diinginkan, maka pengawet tidak efektif untuk dapat meningkatkan umur

simpan mie. Kadar maksimum bahan pengawet yang digunakan dapat

dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Kadar maksimum pengawet yang akan diaplikasikan

Bahan Pengawet Level Maksimum (%) Na-asetat 0,6** Ca-propionat 0,2*

K-sorbat 0,2* Keterangan: *Permenkes (1988) dan **CODEX

Perlakuan yang akan diterapkan adalah (1) tanpa penambahan

pengawet (kontrol) dan (2) penambahan pengawet pada adonan dengan

rancangan sesuai aturan pemakaian pada makanan secara kombinasi atau

ADI kombinasi. Formula yang digunakan merupakan modifikasi dari

Chamdani (2005) dan Pahrudin (2006) untuk memenuhi persyaratan atau

regulasi yang baru. Selain itu, berat bahan pengawet yang digunakan

merupakan persentase dari berat total adonan. Bahan pengawet yang

digunakan sedapat mungkin merupakan senyawa teknis atau pengawet

komersial dengan spesifikasi dan info harga yang lengkap.

Batas maksium pengunaan natrium asetat adalah 0,6%. Namun,

karena tidak ditemukan natrium asetat teknis yang food grade di pasaran

Page 48: Contoh Lain

maka digunakan natrium asetat pure analysis (kemurnian 99%) seperti

yang digunakan oleh Chamdani (2005) dan Pahrudin (2006) dengan

konsentrasi yang diencerkan sampai satu per empat puluh (1/40) bagian dari

2,5% untuk mereduksi biaya. Untuk lebih jelasnya, formula bahan

pengawet kombinasi dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Formula bahan pengawet dengan ADI kombinasi Formula Nama BTP %* Keterangan**

Kontrol – – Tanpa BTP

I Na-asetat Ca-propionat

0,032 0,1

50% 50%

II Ca-propionat Sorbat

0,1 0,1

50% 50%

III Na-asetat Sorbat

0,032 0,1

50% 50%

IV Ca-propionat Na-asetat

0,15 0,016

75% 25%

V Ca-propionat Sorbat

0,15 0,05

75% 25%

VI Ca-propionat Na-asetat Sorbat

0,05 0,032 0,05

25% 50% 25%

VII Na-asetat Ca-propionat Sorbat

0,016 0,1 0,05

25% 50% 25%

Keterangan: *Modifikasi Chamdani (2005) dan Pahrudin (2006) **Persentase dari konsentrasi maksimum

Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang

meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam dan pengukuran

nilai pH. Target umur simpan yang diinginkan adalah selama 2 hari (48

jam). Selain itu, perlu juga dipertimbangkan bahwa biaya bahan pengawet

yang ditambahkan telah memenuhi syarat maksimal 10% dari harga jual

mie yang ada di pasaran. Formula kombinasi pengawet dengan kualitas

terbaik yang diperoleh akan digunakan pada tahapan penelitian

selanjutnya, yaitu penurunan konsentrasi untuk memenuhi syarat CPPB.

Page 49: Contoh Lain

6. Pengaruh Penggunaan Pengawet Terbaik dalam Konsentrasi Rendah

Terhadap Kualitas Mie

Tujuan dilakukannya tahapan ini adalah untuk melakukan uji

pemenuhan syarat CPPB, yaitu penambahan bahan tambahan pangan ke

dalam bahan pangan dengan konsentrasi sesedikit mungkin untuk

memperoleh hasil yang diinginkan. Formula mie yang digunakan adalah

formula mie standar.

Formula yang akan dikurangi konsentrasinya adalah hanya formula

pengawet terbaik yang telah diperoleh berdasarkan hasil pengamatan

subyektif pada tahap kelima. Konsentrasi yang diperoleh diturunkan secara

bertahap sebanyak 50% per masing-masing tahapan. Rancangan perlakuan

tahapan ini dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Tahapan penurunan konsentrasi pengawet terbaik

Perlakuan Konsentrasi Kontrol positif 100% formula

I 50% formula II 25% formula IV 10% formula V 5% formula

Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang

meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam. Target umur

simpan yang diinginkan adalah selama 2 hari (48 jam). Formula bahan

pengawet dengan konsentrasi optimum akan digunakan pada tahap

selanjutnya.

7. Kombinasi Perlakuan Terbaik untuk Pembuatan Mie

Formula mie yang digunakan dalam tahap ini adalah formula mie

standar dengan penambahan garam alkali terbaik dari tahap pertama,

perlakuan hidrokoloid terbaik dari tahap kedua, pemasakan serta

pelumuran terbaik dari tahap ketiga, kondisi penyimpanan terbaik dari

tahap keempat, dan bahan pengawet dengan penurunan konsentrasi yang

menghasilkan kualitas mie terbaik dari tahap keenam.

Page 50: Contoh Lain

Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang

meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam, serta pengamatan

mutu fisik secara subjektif yang meliputi warna, tekstur, dan elastisitas

pada saat mie telah selesai dibuat. Target umur simpan yang diinginkan

adalah selama 2 hari (48 jam). Formula bahan pengawet dengan

konsentrasi optimum yang menghasilkan mie kualitas terbaik selanjutnya

akan diamati mutu fisik dengan instrumen, mutu kimia, mutu

mikrobiologis, dan mutu organoleptiknya.

C. PENGAMATAN

Tahapan ini bertujuan untuk mengamati perubahan yang terjadi selama

penyimpanan dengan mengukur pH, warna, tekstur dan elastisitas, analisis

total mikroba, total kapang-kamir, total bakteri E. coli, dan uji organoleptik

terhadap mie yang diproduksi menggunakan kombinasi perlakuan dari

hidrokoloid, bahan pengawet, dan kondisi penyimpanan terbaik. Pengamatan

yang akan dilakukan meliputi pengamatan terhadap mutu fisik, mutu kimia,

mutu mikrobiologi, dan mutu organoleptik.

1. Mutu Fisik

a. Pengukuran Tekstur dan Elastisitas

Pengukuran terhadap parameter kekerasan (firmness),

kelengketan (adhesiveness), dan elastisitas dilakukan dengan texture

analyzer. Untuk mengukur kekerasan dan kelengketan digunakan

Clylinder Probe P/35. Sampel diletakkan pada wadah yang telah

disediakan kemudian diukur kekerasan dan kelengketannya.

Pengukuran dilakukan pada jam ke-0 kemudian diulangi setiap 16 jam

dan pada jam terakhir batas umur simpan.

Elastisitas merupakan gaya maksimum yang dapat menahan

sejumlah beban tertentu. Elastisitas diukur menggunakan

Spaghetti/Noodle Tensile Rig A/SPR. Sampel dililitkan sejajar pada

Page 51: Contoh Lain

probe dan bagian dasar (base), kemudian diukur elastisitasnya. Satuan

kekerasan, kelengketan, dan elastisitas adalah gram force.

b. Pengukuran warna

Warna diukur menggunakan alat chromameter Minolta (tipe

CR 200, Jepang). Pengukuran dilakukan pada jam ke-0 kemudian

diulangi setiap 24 jam dan pada jam terakhir batas umur simpan.

Sampel diletakkan pada wadah yang telah tersedia, kemudian ditekan

tombil start dan akan diperoleh nilai L, a, dan b dari sampel dengan

kisaran 0 sampai ± 100 (putih). Notasi “a “ menyatakan warna

kromatik campuran merah-hijau dengan nilai “+a” (positif) dari 0

sampai + 100 untuk warna merah dan nilai “–a “ (negatif) dari 0

sampai – 80 untuk warna hijau. Notasi “b” menyatakan warna

kromatik campuran biru-kuning dengan nilai nilai “+b” (positif) dari 0

sampai + 70 untuk warna kuning dan nilai “–b “ (negatif) dari 0

sampai – 80 untuk warna biru. Sedangkan L menyatakan ketajaman

warna. Semakin tinggi ketajaman warna, semakin tinggi nilai L.

Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung oHue dengan

rumus:

oHue = tan-1ab

Jika hasil yang diperoleh:

18o – 54o maka produk berwarna red (R) 54 o – 90o maka produk berwarna yellow red (YR) 90o – 126o maka produk berwarna yellow (Y) 126o – 162o maka produk berwarna yellow green (YG) 162o – 198o maka produk berwarna green (G) 198o – 234o maka produk berwarna blue green (BG) 234o – 270o maka produk berwarna blue (B) 270o – 306o maka produk berwarna blue purple (BP) 306o – 342o maka produk berwarna purple (P) 342o – 18o maka produk berwarna red purple (RP)

Page 52: Contoh Lain

2. Mutu Kimia

a. Aktivitas air (Aw)

Aktivitas air diukur menggunakan alat aw-meter Shibaura WA-

360. Sebelum digunakan untuk mengukur sampel, alat ini dikalibrasi

terlebih dahulu dengan NaCl jenuh. Sampel diletakkan dalam cawan

sensor. Cawan tersebut kemudian dimasukkan kedalam sensor aw-

meter. Tekan tombol start untuk memulai pengukuran. Nilai aw dapat

dibaca pada layar setelah ada tulisan complete.

b. pH (AOAC, 1984)

Alat pH meter dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan

dengan menggunakan larutan buffer pH 7. Sebanyak 10 gram contoh

ditambahkan 100 ml air lalu dihancurkan dengan alat stomacher.

Kemudian elektroda ditempatkan dalam sampel sehingga dapat terbaca

nilai pH yang diukur. Elektroda diangkat dan dibilas dengan akuades.

c. Total asam tertitrasi (TAT) (Apriyantono et al., 1989)

Sebanyak 10 gram sampel ditambahkan sedikit air, kemudian

dihancurkan sampai menjadi pulp. Campuran tersebut kemudian

dipanaskan samapi mendidih dan dipindahkan ke labu takar 100 ml.

Ditambahkan akuades sampai tanda tera. Diambil 25 ml larutan dan

ditambahkan fenolftalein 3 tetes. Larutan kemudian dititrasi dengan

NaOH 0,01 N yang telah distandarisasi sampai terbentuk warna merah

muda.

3. Mutu Mikrobiologis (Fardiaz, 1992)

Analisis sifat mikrobiologis yang dilakukan yaitu analisis total

mikroba, total kapang-kamir dan total bakteri E. coli. Analisis total mikroba

dilakukan dengan metode TPC (Total Plate Count). Sebanyak 10 gram sampel

dimasukkan dalam plastik tahan panas steril yang berisi 90 ml larutan

pengencer steril. Sampel tersebut kemudian dihancurkan dengan

menggunakan alat stomacher selama 120 detik sehingga dihasilkan sampel

Page 53: Contoh Lain

mie dengan pengenceran 1 : 10. Campuran dikocok, diambil 1 ml kemudian

dimasukkan dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pengencer steril sehingga

diperoleh pengenceran 10-2. Dengan cara yang sama dilakukan pengenceran

10-3, 10-4 dan seterusnya.

Dari masing-masing pengenceran dipipet secara aseptis 1 ml suspensi

sampel dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril dilakukan secara duplo.

Selanjutnya ditambahkan 15 – 20 ml medium PCA steril bersuhu 45 – 50oC.

Setelah media membeku, cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik pada

inkubator dengan suhu 37oC selama 2 hari. Penghitungan total mikroba

dilakukan menggunakan metode Harrigan dengan rumus sebagai berikut :

Σ N cawan CFU/g =

[(n1 x 1) + (n2 x 0,1)] x D

Keterangan: N = Jumlah koloni yang berada dalam kisaran hitung

(TPC: 25 – 250, kapang-khamir: 10 – 150)

n = Jumlah cawan yang koloninya dapat dihitung

D = Tingkat pengenceran terendah

Analisis total kapang dan kamir dilakukan dengan metode TPC

menggunakan media APDA. Perhitungan total kapang-khamir

menggunakan metode Harrigan, sedangkan analisis total koliform

dilakukan dengan metode MPN tiga tabung menggunakan media BGLBB.

Inokulasi pada tiga tingkat pengenceran. Inkubasi dilakukan pada suhu

37oC selama 2 hari. Penilaian positif atau negatifnya tabung dilihat

berdasarkan pembentukan gas. Pembentukan gas sebanyak 10% atau lebih

dari volume di dalam tabung Durham atau terbentuknya kekeruhan

dinyatakan sebagai hasil positif. Jika tetap tidak terbentuk gas, dihitung

sebagai tabung negatif. Jumlah tabung yang positif dihitung pada masing-

masing seri. Jumlah tabung positif pada tiap pengenceran kemudian

dicocokkan dengan Tabel MPN untuk mendapatkan jumlah total koliform.

Jika terdapat tabung positif, maka selanjutnya dilakukan uji penguat pada

media EMBAuntuk mendapatkan jumlah bakteri E. coli dalam sampel.

Page 54: Contoh Lain

4. Mutu Organoleptik (Soekarto, 1985)

Uji organoleptik dilakukan dengan uji hedonik menggunakan 30

orang panelis tidak terlatih dan semi terlatih. Uji hedonik dilakukan

dengan 5 (lima) skala hedonik, yaitu sangat suka (5), suka (4), netral (3),

tidak suka (2), dan sangat tidak suka (1). Parameter yang diujikan meliputi

atribut warna, aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan (overall). Penyajian

sampel dilakukan satu per satu secara bergantian untuk mendapatkan

penilaian yang objektif dari panelis.

Uji kesukaan dilakukan terhadap dua sampel mie, yaitu mie kontrol

dan mie kombinasi terbaik. Selain itu, diujikan juga sampel mie yang

dijual di Pasar Merdeka dan Pasar Anyar – yang dibeli pada hari yang

berbeda-beda – sebagai kontrol positif. Mie matang pasar dan mie kontrol

skala laboratorium diujikan kepada panelis sebanyak 5 kali ulangan untuk

melihat konsistensi panelis. Setelah diperoleh 5 data ulangan, kemudian

data dirata-rata untuk mendapatkan hasil yang objektif. Data hasil uji

organoleptik dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam

(ANOVA) dengan uji lanjut Duncan memakai program SPSS 11.5.

Page 55: Contoh Lain

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENGARUH JENIS GARAM ALKALI TERHADAP MUTU MIE

Garam alkali memiliki peranan yang sangat penting untuk menciptakan

kondisi basa dalam pembuatan mie. Keberadaan garam alkali berguna untuk

meningkatkan kekerasan mie yang terbentuk karena adanya interaksi antar

protein gluten dalam tepung (Shiau dan Yeh, 2001). Selain itu, garam alkali

juga berperan dalam pembentukan warna kuning pada mie sebagai hasil

interaksi flavonoid gandum dalam tepung terigu dengan pH alkali (Asenstorfer

et al., 2006).

Dua jenis garam alkali yang diaplikasikan dalam tahapan ini adalah

natrium karbonat (Na2CO3) dan sodium tripolifosfat (STPP). Berdasarkan

survei yang dilakukan oleh Indrawan (2005), Na2CO3 merupakan garam alkali

yang paling umum digunakan oleh para pengrajin dan industri mie di daerah

Jabotabek. Selain itu, Na2CO3 memiliki harga yang relatif murah (Rp. 7000,-

/kg) dan mudah untuk diperoleh. Sedangkan STPP merupakan salah satu jenis

garam alkali yang diduga dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan

boraks pada mie.

Pembuatan mie dengan Na2CO3 dilakukan menurut formula dan

prosedur standar (Tabel 2) yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. STPP

digunakan dengan konsentrasi sebesar 0,2% sesuai Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) No. 722/MenKes/Per/IX/1988.

Konsentrasi STPP 0,2% umum diaplikasikan untuk produk olahan daging.

Mie yang dihasilkan kemudian dibandingkan dan diamati tekstur, warna, dan

umur simpannya.

Pengaruh penambahan garam alkali Na2CO3 0,6% dan STPP 0,2%

terhadap mie yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil uji T terhadap

tekstur mie (Lampiran 8) menunjukkan bahwa nilai kekerasan dan elastisitas

yang dihasilkan oleh kedua jenis garam alkali ini berbeda secara nyata pada

taraf kepercayaan 95% (p<0,05), sedangkan nilai kelengketan keduanya tidak

berbeda secara nyata. Mie dengan penambahan Na2CO3 memiliki tekstur yang

Page 56: Contoh Lain

sedikit lebih keras dan lebih elastis dibandingkan mie dengan penambahan

STPP. Umumnya, STPP digunakan sebagai bahan pengikat air agar air dalam

adonan tidak mudah menguap sehingga permukaan adonan tidak cepat

mengering dan mengeras. Sewaktu penipisan lembaran, adonan mie yang

ditambahkan STPP cenderung terasa lebih lembab daripada adonan kontrol.

Jika diberi penilaian secara subjektif, penambahan STPP kedalam adonan mie

sebenarnya sudah memberikan hasil yang cukup baik dari segi tekstur dan

elastisitasnya.

Tabel 10. Pengaruh penambahan garam alkali terhadap mutu mie

Parameter Na2CO3 0,6% STPP 0,2% Umur simpan mie (jam) 44 24

Kekerasan (gforce) 3705,3 3521,8 Kelengketan (gforce) -661,5 -601,6 Elastisitas (gforce) 17,7 15,7

Warna (oHue) 84,21 83,60 Kecerahan (L) 68,91 72,27

Penambahan jenis garam alkali yang berbeda juga dapat berpengaruh

terhadap warna mie yang dihasilkan. Warna mie dengan penambahan Na2CO3

dan STPP berada dalam kisaran 54 – 90 oHue dengan warna kuning

kemerahan (yellow red). Hasil uji statistik menggunakan uji T (Lampiran 10)

menunjukkan bahwa nilai oHue kedua sampel tidak berbeda nyata pada taraf

kepercayaan 95% (p<0,05), namun nilai kecerahan (lightness (L)) kedua

sampel berbeda nyata. Mie yang menggunakan STPP memiliki warna kuning

kemerahan yang lebih cerah daripada mie dengan penambahan Na2CO3.

Pembentukan warna kuning pada produk mie sangat dipengaruhi oleh pH

garam alkali yang digunakan, dimana semakin tinggi pH alkali maka semakin

baik pembentukan warna kuning khas mie oleh flavonoid gandum. Namun,

warna kuning khas ini berbeda dengan warna kuning mie yang dijual di

pasaran. Mie yang beredar di pasaran umumnya memiliki warna kuning terang

yang berasal dari penambahan pewarna buatan.

Setelah dilakukan pengamatan lebih lanjut, mie dengan penambahan

STPP memiliki pH 7,20, yang jauh lebih rendah dibandingkan mie dengan

Na2CO3 yang memiliki pH 9,00. Nilai pH yang lebih tinggi tersebut

Page 57: Contoh Lain

menyebabkan intensitas warna kuning yang terbentuk oleh Na2CO3 lebih baik

dibandingkan STPP. Perbedaan warna kedua mie ini dapat dilihat pada

Gambar 7.

Gambar 7. Warna mie dengan garam alkali Na2CO3 dan STPP

Perbedaan nilai pH yang cukup signifikan ternyata tidak hanya

mempengaruhi penampakan mie secara fisik saja, namun juga berpengaruh

terhadap umur simpan. Berdasarkan pengamatan subyektif dengan indikator

terdeteksinya bau asam, umur simpan mie dengan penambahan Na2CO3

mencapai 44 jam, sedangkan mie dengan STPP hanya mencapai 24 jam. Mie

dengan STPP yang memiliki pH mendekati pH netral lebih rentan terhadap

pertumbuhan mikroba pembusuk, khususnya bakteri, sehingga umur

simpannya lebih pendek dari mie dengan penambahan Na2CO3.

Jika dibandingkan dari segi ekonomi, penggunaan STPP sebanyak 0,2%

berkontribusi sebesar Rp. 30,- per kg mie dan penggunaan Na2CO3 sebanyak

0,6% berkontribusi sebesar Rp. 42,- per kg mie. Berdasarkan keseluruhan hasil

di atas, Na2CO3 0,6% digunakan untuk pembuatan mie pada tahapan

selanjutnya.

B. PENGARUH PENAMBAHAN HIDROKOLOID TERHADAP MUTU

MIE

Penambahan hidrokoloid diharapkan dapat memperbaiki tekstur mie.

Survei yang dilakukan oleh Indrawan (2005) menunjukkan bahwa 40%

industri mie menggunakan CMC dalam adonan mienya. Disamping CMC,

Page 58: Contoh Lain

gum Arab dan karagenan juga digunakan dalam penelitian ini. Spesifikasi

ketiga hidrokoloid yang digunakan tertera pada Lampiran 2 – 4.

Pengaruh penambahan hidrokoloid terhadap mie tertera pada Tabel 11.

Berdasarkan analisis ragam terhadap tekstur mie yang dihasilkan, nilai

kekerasan dan kelengketan ketiga hidrokoloid ini berbeda secara nyata dalam

taraf kepercayaan 95% (Lampiran 12). Penambahan hidrokoloid

meningkatkan kekerasan karena terjadi proses gelasi pada hidrokoloid.

Berdasarkan uji lanjut Tukey HSD (Lampiran 13), nilai kekerasan mie dengan

penambahan gum Arab 0,5% dan mie kontrol tidak berbeda secara nyata,

namun keduanya berbeda nyata dengan mie dengan penambahan CMC yang

memiliki nilai kekerasan paling tinggi dan mie dengan penambahan karagenan

0,5% yang memiliki nilai kekerasan yang paling rendah. Mie dengan

penambahan CMC memiliki nilai kelengketan paling rendah dan tidak berbeda

nyata dengan mie kontrol dan mie dengan panambahan gum Arab. Mie

dengan penambahan karagenan memiliki nilai kelengketan paling tinggi dan

berbeda nyata dengan dua mie yang ditambahkan hidrokoloid lainnya.

Sedangkan untuk elastisitasnya, ketiga mie yang ditambahkan dengan

hidrokoloid memiliki nilai elastisitas yang tidak berbeda nyata dengan mie

kontrol. Hasil pengukuran tekstur ini mendukung penggunaan CMC yang

memang merupakan hidrokoloid yang paling umum diaplikasikan untuk mie

selama ini.

Tabel 11. Pengaruh penambahan hidrokoloid terhadap mutu mie

Parameter Kontrol CMC 0,2%

Gum Arab 0,5%

Karagenan 0,5%

Kekerasan (gforce) 3705,3 3956,2 3732,2 3207,5 Kelengketan (gforce) -661,5 -819,0 -753,7 -542,9 Elastisitas (gforce) 17,7 18,0 17,9 17,7

Warna (oHue) 84,21 83,31 84,75 83,64 Kecerahan (L) 68,91 69,64 69,62 72,89

Umur simpan mie (jam) 44 48 48 44 Warna mie dengan penambahan CMC, gum Arab, dan karagenan berada

dalam kisaran 54 – 90 oHue berwarna kuning kemerahan (yellow red). Hasil

pengolahan data warna menggunakan analisis ragam tertera pada Lampiran

15. Berdasarkan uji lanjut Tukey HSD terhadap nilai oHue ketiganya

Page 59: Contoh Lain

(Lampiran 16), mie dengan penambahan gum Arab memiliki oHue yang paling

besar mendekati mie kontrol dan berbeda nyata (p<0,05) dengan mie yang

ditambahkan CMC dan karagenan. Sedangkan mie dengan penambahan CMC

dan karagenan tidak berbeda nyata (p<0,05). Dari nilai kecerahannya,

karagenan memiliki warna merah kekuningan yang paling cerah dan berbeda

nyata (p<0,05) jika dibandingkan dengan mie kontrol dan mie yang

ditambahkan dengan CMC maupun gum Arab.

Penambahan hidrokoloid pada mie tidak berpengaruh terhadap umur

simpan. Berdasarkan pengamatan secara subyektif dengan indikator

terdeteksinya bau asam, mie dengan penambahan CMC dan gum Arab

memiliki umur simpan mencapai 48 jam, sedangkan mie dengan karagenan

memiliki umur simpan yang sama dengan kontrol, yaitu 44 jam. Adanya

peningkatan umur simpan pada mie dengan penambahan CMC dan gum Arab

mungkin disebabkan oleh adanya sebagian kecil air bebas yang diikat oleh

CMC dan gum Arab saat kedua hidrokoloid ini membentuk gel sewaktu mie

dimasak.

Berdasarkan Gracecia (2005), rata-rata harga mie matang di pasaran

sebesar Rp. 3000,- dan harga ini dianggap sebagai harga mie kontrol.

Penggunaan hidrokoloid dalam mie meningkatkan biaya produksi. Tabel 12

menunjukkan perbandingan kontribusi ketiga hidrokoloid terhadap biaya

produksi. Penambahan CMC kedalam formula mie memerlukan biaya paling

rendah dibandingkan dua hidrokoloid lainnya. Pada prakteknya, penambahan

CMC ini dapat tidak dilakukan karena tidak memberikan perubahan signifikan

terhadap tekstur mie yang dihasilkan. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap

tekstur dan biaya produksi, maka CMC dipilih sebagai perlakuan hidrokoloid

terbaik yang diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik.

Tabel 12. Kontribusi penambahan hidrokoloid terhadap biaya produksi

Jenis hidrokoloid Biaya hidrokoloid/ kg mie Harga mie/kg

Kontrol (tanpa hidrokoloid) – Rp. 3000,-*

CMC 0,2% Rp. 100,- Rp. 3100,- Gum Arab 0,5% Rp. 670,- Rp. 3670,- Karagenan 0,5% Rp. 200,- Rp. 3200,-

Keterangan: * = Harga rata-rata di pasaran berdasarkan Gracecia (2005)

Page 60: Contoh Lain

C. PENGARUH PEMASAKAN DAN PELUMURAN MINYAK

TERHADAP MUTU MIE

Menurut Mugiarti (2001), pelumasan mie yang telah direbus dengan

minyak goreng dilakukan agar mie tidak menjadi lengket satu sama lain dan

agar mie tampak mengkilap. Minyak yang digunakan dalam penelitian ini

adalah minyak kelapa sesuai dengan perlakuan pelumuran minyak terbaik

yang diperoleh Pahrudin (2006). Dalam penelitian dilakukan dua cara

pelumuran minyak yang lazim dilakukan, yaitu penambahan minyak kedalam

air rebusan mie sebanyak 10% dari berat air rebusan atau 40% dari berat mie

mentah sesuai prosedur standar dan pelumuran minyak sebanyak 10% berat

mie mentah setelah perebusan, kemudian diamati umur simpan dan

kelengketannya secara subyektif. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan mie

dengan penampakan yang lebih baik dan untuk menghemat biaya minyak

goreng. Hasil perbandingan perlakuan pelumuran minyak dapat dilihat pada

Tabel 13.

Pelumuran minyak dengan prosedur standar cenderung menghasilkan

mie yang lengket antar untaian mie satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan

karena minyak yang ditambahkan kedalam air rebusan tidak terserap dengan

merata pada permukaan mie. Minyak yang ditambahkan dalam air rebusan

cenderung berada pada bagian atas air, sehingga pelumuran menjadi tidak

merata.

Dalam aplikasinya di industri secara umum, pelumuran dilakukan

setelah perebusan mie dengan minyak berlebih. Pelumuran minyak yang

dilakukan setelah perebusan memberikan penampakan yang lebih baik dimana

untaian-untaian mie cenderung tidak saling lengket, walaupun kadang-kadang

masih ditemukan untaian mie yang saling lengket jika pelumuran tidak

dilakukan secara merata sebelum mie dingin. Pelumuran ini lebih efisisen

dalam hal penggunaan minyak goreng dan tidak mempengaruhi umur simpan

mie (Tabel 13). Untuk tahapan selanjutnya dalam penelitian ini, pelumuran

minyak yang diaplikasikan dalam prosedur standar adalah pelumuran minyak

setelah perebusan dengan minyak kelapa sebanyak 10% dari berat adonan mie

mentah.

Page 61: Contoh Lain

Tabel 13. Pengaruh pelumuran minyak terhadap umur simpan dan kelengketan

Cara pemasakan Pelumuran minyak Umur simpan (jam) Kelengketan

Dalam air rebusan (kontrol) 44 +++ Perebusan selama

2 menit Setelah perebusan 44 + Keterangan: + : sangat sedikit lengket ++ : sedikit lengket +++ : lengket

Mie dapat dimasak dengan dua cara, yaitu dengan perebusan dan

dengan pengukusan seperti yang umum dilakukan di daerah Makasar.

Pemasakan mie bertujuan untuk menggelatinisasi pati dan mengkoagulasi

gluten sehingga mie menjadi kenyal. Gelatinisasi merupakan peristiwa

pembengkakkan granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali ke

bentuknya semula (Winarno, 1991). Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan

akan membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie yang dapat

memberikan kelembutan, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi

daya rehidrasi mie (Badrudin, 1994).

Pemilihan waktu pengukusan selama 10 dan 12 menit dilakukan

berdasarkan warna dan kematangan mie yang dikukus. Pada awalnya,

dilakukan pengukusan selama 10 dan 15 menit. Pengukusan selama 15 menit

menghasilkan mie yang berwarna sangat coklat dengan tekstur yang keras.

Mie yang dikukus selama 10 menit memberikan penampakan warna yang

lebih baik, yaitu kuning agak gelap. Waktu pengukusan dibuat menjadi 12

menit dan diperoleh mie dengan warna kuning sedikit lebih gelap dari mie

yang dikukus selama 10 menit. Warna coklat yang terbentuk pada mie kukus

berbanding lurus dengan meningkatnya waktu pengukusan. Warna coklat ini

diduga terbentuk karena reaksi pencoklatan non-enzimatis, yaitu reaksi

Maillard (Maillard, 1912).

Reaksi Maillard terjadi saat gula pereduksi bereaksi dengan senyawa-

senyawa yang mempunyai gugus NH2 (protein, asam amino, peptida, atau

amonium) dan terjadi bila bahan dipanaskan atau direhidrasi (Maillard, 1912).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya reaksi Maillard antara lain

pH dan aw. Reaksi Maillard berlangsung pada laju yang sangat lambat pada

Page 62: Contoh Lain

kondisi asam dan laju reaksi mengalami peningkatan seiring dengan

meningkatnya pH dan mencapai maksimum pada pH 10. Kisaran pH mie

masuk dalam kisaran tersebut. Menurut Ames dan Apriyantono (1994), pH

sangat berpengaruh terhadap pembentukan 2 furfural, terutama pada

pemanasan tanpa kontrol pH. Furfural merupakan senyawa penyusun pigmen

melanoidin yang membentuk warna coklat.

Reaksi Maillard lebih berpeluang terjadi pada mie kukus karena mie ini

memiliki nilai aw yang lebih rendah daripada mie yang direbus. Mie yang

dikukus memiliki nilai aw sekitar 0,945 – 0,950 dimana nilai ini lebih rendah

dibandingkan mie yang direbus yang memiliki nilai aw sebesar 0,97. Labuza

(1975) menyatakan bahwa peluang terjadinya reaksi pencoklatan non-

enzimatis meningkat seiring dengan penurunan nilai aw dan mencapai

maksimum pada aw 0,70. Adanya perlakuan penyemprotan awal dengan air

yang meningkatkan kelembaban dan faktor penunjang seperti pH dan aw yang

tidak optimum menyebabkan pencoklatan hanya terjadi sedikit saja.

Berdasarkan pertimbangan terhadap warna tersebut, maka mie dengan waktu

pengukusan selama 10 dan 12 menit dipilih untuk diuji umur simpannya dan

dibandingkan dengan mie kontrol yang dimasak dengan cara direbus.

Cara pemasakan yang berbeda mempengaruhi sifat fisik, khususnya

tekstur dan warna, serta umur simpan mie. Pengaruh cara pemasakan terhadap

mie yang dihasilkan tertera pada Tabel 14. Berdasarkan analisis ragam

dengan uji lanjut Tukey HSD (Lampiran 18 dan 19), tekstur mie yang dimasak

dengan cara direbus (kontrol) berbeda nyata dengan mie yang dikukus untuk

kekerasan dan kelengketan pada taraf nyata 95% (p<0,05). Mie yang dikukus

memiliki tekstur sangat keras, rapuh atau mudah patah, dan tidak elastis.

Bagian inti dari diameter mie yang dikukus cenderung masih mentah karena

uap panas tidak dapat mencapai inti dalam waktu pengukusan yang

ditentukan. Hal inilah yang menyebabkan mie kukus ini rapuh dan tidak

elastis seperti mie yang direbus. Karena permukaannya kering, mie yang

dikukus cenderung memiliki nilai kelengketan yang lebih rendah

dibandingkan mie yang direbus.

Page 63: Contoh Lain

Pengukusan mie menggunakan panci kukus memiliki beberapa

kelemahan, antara lain tekstur mie yang dihasilkan tidak seragam dan uap air

serta suhu pengukusan tidak dapat dipantau. Panci kukus yang digunakan

adalah panci skala rumah tangga dengan diameter tidak terlalu besar (30 – 40

cm). Karena keterbatasan ukuran diameter panci, mie yang dikukus akan

bertumpuk-tumpuk saat dikukus sehingga luas permukaan yang kontak

dengan uap panas tidak merata. Walaupun telah disemprot dengan air, mie

kukus yang dihasilkan tetap memiliki permukaan yang kering. Hal ini

menyebabkan tekstur mie kukus yang dihasilkan tidak seragam.

Ketidakseragaman ini juga menyebabkan beberapa bagian mie kurang matang

dan mie menjadi rapuh atau mudah patah.

Peluang terjadinya ketidakseragaman ini dapat diperkecil dengan

menggunakan alat steam yang suplai uap panasnya berasal dari boiler

sehingga tekanan uap, kelembaban, dan suhu dapat dipantau agar konstan. Mie

yang akan dikukus dengan alat steam diletakkan pada keranjang khusus yang

memiliki permukaan cukup luas untuk meletakkan mie tanpa bertumpukkan

sehingga permukaan yang terpapar uap lebih merata.

Tabel 14. Pengaruh cara pemasakan terhadap mutu mie

Parameter Direbus (2 menit)

Dikukus (10 menit)

Dikukus (12 menit)

Umur simpan mie (jam) 44 64 68 Kekerasan (gforce) 3705,3 9065,0 9302,8

Kelengketan (gforce) -661,5 -543,7 -468,9 Elastisitas (gforce) 17,7 – * – *

Warna (oHue) 84,21 88,84 89,19 Kecerahan (L) 68,91 61,17 58,94

Keterangan: * = Tidak diukur

Mie yang dikukus memiliki warna yang berbeda dengan mie yang

direbus. Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Tukey HSD (Lampiran

21 dan 22), kedua sampel mie yang dikukus memiliki warna (oHue dan

kecerahan) yang tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05)

dan kedua sampel mie yang dikukus ini memiliki warna yang berbeda secara

nyata dengan mie yang direbus. Mie yang dikukus berada dalam kisaran

warna yang sama dengan mie yang direbus, yaitu pada kisaran 54 – 90 oHue

Page 64: Contoh Lain

berwarna kuning kemerahan (yellow red). Namun, kedua mie yang dikukus

memiliki warna yang lebih gelap. Semakin lama waktu pengukusan akan

menghasilkan mie dengan warna yang lebih gelap dan kecoklatan.

Berdasarkan pengamatan subyektif dengan indikator terdeteksinya bau

asam, mie yang dikukus memiliki umur simpan yang lebih panjang dari mie

yang direbus karena mie yang dikukus memiliki kadar air dan nilai aw yang

lebih rendah. Mie yang dikukus selama 10 menit berdasarkan parameter

tekstur, warna, dan umur simpan tidak berbeda nyata dengan mie yang

dikukus selama 12 menit. Dari segi ekonomi, mie yang direbus selama 2 menit

membebani biaya paling kecil dibandingkan mie yang dikukus. Berdasarkan

keunggulan yang dimiliki dalam hal kekerasan, warna, dan biaya produksi,

maka mie yang dimasak dengan direbus selama 2 menit dan pelumuran

minyak setelah perebusan dipilih sebagai perlakuan cara pemasakan dan

pelumuran terbaik yang diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik.

D. PENGARUH KONDISI PENYIMPANAN TERHADAP MUTU MIE

Umur simpan mie sangat dipengaruhi oleh cara pengemasan dan kondisi

penyimpanannya. Mie dijual di pasaran dengan wadah yang sangat bervariasi.

Pada pasar-pasar tradisional, mie dijual dalam kondisi terbuka dengan wadah

plastik bening berukuran besar sekitar 20 kilogram, kantong plastik bening

atau berwarna, atau diwadahi dengan tampah dari anyaman bambu yang tidak

diketahui kondisi sanitasinya. Di pasar swalayan, mie dijual dengan kemasan

plastik LDPE atau PP tipis ukuran 1 kilogram dalam keadaan tertutup rapat

dan disimpan di lemari pendingin terbuka dengan suhu sekitar 13-17oC.

Mie disimpan pada dua kondisi suhu yang berbeda, yaitu pada suhu

ruang dan suhu rendah. Penyimpanan suhu rendah pada awalnya dilakukan

dengan menyimpan mie dalam cool room yang memiliki suhu 13 ± 2oC. Mie

yang disimpan pada suhu 13 ± 2oC dalam kemasan LDPE dan PP tebal baik

dengan atau tanpa vakum memiliki umur simpan selama 10 hari. Indikator

kerusakan mie yang disimpan pada suhu 13 ± 2oC adalah munculnya spot-spot

berwarna hitam dan oranye yang diduga merupakan koloni bakteri atau

kapang. Karena tidak dilakukan identifikasi di bawah mikroskop, maka jenis

Page 65: Contoh Lain

mikroba tersebut tidak dapat diketahui. Penyimpan mie pada suhu 13 ± 2oC

cukup beresiko terhadap pertumbuhan mikroba mesofilik. Menurut Garbutt

(1997), suhu optimum pertumbuhan mikroba mesofilik berkisar antara 28-

43oC, dengan suhu minimum 5oC dan maksimum 52oC. Hal ini menunjukkan

ada pertumbuhan mikroba yang kemungkinan tidak terhambat pada suhu 13 ±

2 oC, namun dapat dihambat pada suhu penyimpanan yang lebih rendah.

Kemudian mie disimpan dalam kulkas skala rumah tangga yang

memiliki suhu 5 ± 1oC. Kondisi ini berbeda dengan kondisi penyimpanan suhu

rendah yang dipraktekkan di pasaran. Prinsip pengemasan vakum pada

dasarnya sama dengan pengeliman menggunakan sealer, yang membedakan

hanya udara pada kemas vakum dibuat hampa dengan menarik keluar semua

udara dalam kemasan. Proses penghampaan ini menyebabkan kemasan dan

bahan yang dikemas mengkerut. Perbandingan penampakan sampel dengan

dan tanpa pengemasan vakum dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Mie dalam kemasan: (a) LDPE; (b) PP tebal; dan (c) PP tebal

dengan pengemasan vakum

Pengaruh kondisi penyimpanan terhadap umur simpan mie dapat dilihat

pada Tabel 15. Indikator kerusakan untuk mie yang disimpan pada suhu ruang

adalah terdeteksinya bau asam, sedangkan indikator kerusakan mie yang

disimpan pada suhu rendah adalah spot-spot berwarna merah atau hitam yang

kemungkinan disebabkan oleh koloni kapang. Mie yang disimpan pada suhu

ruang dengan plastik LDPE maupun PP tebal memiliki umur simpan yang

sama, yaitu 44 jam. Secara teori, PP tebal memiliki ketahanan terhadap

permeabilitas O2 yang lebih baik daripada PE. Penggunaan PP tebal tidak

berpengaruh terhadap umur simpan mie yang disimpan pada suhu ruang. Hal

ini menunjukkan bahwa kemasan plastik yang tertutup dengan rapat dapat

Page 66: Contoh Lain

melindung bahan dari kontaminasi mikroba perusak yang berasal dari udara,

debu, tangan penjual, ataupun wadah tempat menjajakan mie. Jadi, kemasan

yang tertutup merupakan salah satu praktek sanitasi yang berperan dalam

memperpanjang umur simpan mie.

Penyimpanan mie pada suhu 5 ± 1oC meningkatkan umur simpan secara

signifikan sampai 40 hari. Suhu rendah juga dapat menghambat pertumbuhan

mikroba perusak. Pada umumnya, mikroba perusak termasuk dalam kelompok

mesofilik yang terhambat pertumbuhannya pada suhu dingin (-1 sampai 5oC)

(Garbutt, 1997). Peristiwa rusaknya sel mikroba karena perubahan temperatur

dari suhu ruang ke suhu rendah dikenal dengan istilah chilling injury.

Tabel 15. Pengaruh kondisi penyimpanan terhadap umur simpan mie

Kemasan Suhu penyimpanan

Cara pengemasan Umur simpan

LDPE 44 jam PP tebal Suhu ruang Tanpa vakum 44 jam LDPE 10 hari

PP tebal Tanpa vakum 10 hari PP tebal

Suhu rendah 13 ± 2oC Kemas vakum 10 hari

LDPE 40 hari PP tebal Tanpa vakum 40 hari PP tebal

Suhu rendah 5 ± 1oC Kemas vakum 40 hari

Terdapat dua jenis chilling injury, yaitu cold shock yang bersifat

langsung dan indirect chilling injury yang bersifat tidak langsung (Garbutt,

1997). Cold shock terjadi jika makanan didinginkan secara langsung dari suhu

ruang ke suhu rendah dengan kecepatan pendinginan tertentu. Mikroba yang

terpapar cold shock akan mengalami perubahan struktur membran sel karena

terjadi kebocoran ATP dan asam amino dari dalam sel. Indirect chilling injury

terjadi jika makanan disimpan dalam waktu yang cukup lama (beberapa hari)

pada suhu rendah dan tidak tergantung pada kecepatan pendingian tertentu.

Transpor nutrisi yang diperlukan sel mikroba lama kelamaan akan terhambat

diikuti dengan akumulasi metabolit yang bersifat racun dan habisnya ATP.

Keadaan ini akan menyebabkan sel menjadi kehabisan nutrisi dan lama

kelamaan akan menyebabkan kematian sel mikroba. Kedua jenis chilling

injury ini kemungkinan besar terjadi pada penyimpanan mie pada suhu rendah.

Page 67: Contoh Lain

Cold shock berpeluang terjadi pada berada di sisi sebelah luar mie dan indirect

chilling injury terjadi pada sisi sebelah dalam atau pada bagian tengah.

Kemasan plastik yang digunakan tidak berpengaruh terhadap umur

simpan, namun berpengaruh terhadap bentuk mie yang disimpan (Gambar 8).

Mie yang disimpan pada suhu rendah dan tidak dikemas vakum memiliki

bentuk yang lebih kaku sesuai dengan bentuk wadahnya. Penyimpanan pada

suhu rendah memiliki kelembaban relatif (RH) yang lebih rendah

dibandingkan RH suhu ruang, sehingga permukaan mie yang disimpan pada

suhu rendah menjadi lebih kering karena kehilangan sebagian air (Jenie,

1995).

Kemasan PP tebal bersifat kaku sehingga memberikan bentuk yang

lebih teratur jika dibandingkan mie yang dikemas dengan LDPE. Bentuk mie

yang kaku ini akan segera kembali ke bentuk awalnya setelah dibiarkan

sebentar pada suhu ruang. Bentuk mie yang dikemas vakum akan mengkerut

dan tidak dapat kembali membentuk untaian-untaian mie setelah dibiarkan di

suhu ruang. Mie matang lebih lengket dibandingkan mie mentah karena pati

telah tergelatinisasi saat perebusan. Adanya tekanan yang diberikan oleh

vacuum sealer untuk menciptakan kondisi hampa membuat mie mengkerut

dan untaian mie saling menempel satu sama lain. Pengemasan secara vakum

untuk mie dinilai kurang sesuai dari segi penampakannya.

Penyimpanan suhu rendah pada 5 ± 1oC memberikan hasil yang lebih

memuaskan dalam hal umur simpan dibandingkan penyimpanan pada suhu 13

± 2oC. Namun, aplikasi keduanya harus disertai dengan cold chain atau rantai

distribusi suhu rendah yang biayanya terlalu mahal dan tidak terjangkau untuk

produsen mie tingkat UKM bahkan oleh industri menengah sekalipun. Selama

ini, aplikasi suhu rendah umum dilakukan pada produk daging seperti sosis,

ham, dan daging olahan dengan harga mahal. Jika harga yang sama harus

dikenakan untuk mie, maka biaya yang tinggi ini menjadi tidak aplikatif bagi

produsen mie. Selain itu, alat pendingin yang tersedia di pasar-pasar swalayan

memiliki suhu sekitar 13-17oC dan tidak mencapai suhu 5 ± 1oC. Menurut

Nuraida (1995), beberapa jenis makanan akan menurun mutunya jika

disimpan pada suhu 13-17oC dibandingkan disimpan pada suhu 5-7oC.

Page 68: Contoh Lain

Penyimpanan mie pada suhu 13 ± 2oC mungkin untuk diaplikasikan

pada pasar-pasar swalayan, sedangkan penyimpanan pada suhu 5 ± 1oC sejauh

ini baru dapat diaplikasikan pada tingkat rumah tangga yang membuat mie

untuk konsumsi sendiri. Dengan pertimbangan terhadap kesulitan dalam

aplikasi di pasaran, penyimpanan mie dengan suhu rendah tidak dipilih

menjadi perlakuan terbaik pada tahap ini. Kondisi penyimpanan yang

diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik adalah penyimpanan

pada suhu ruang dengan plastik LDPE tanpa pengemasan vakum.

E. PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGAWET TERHADAP

MUTU MIE

Bahan pengawet biasanya ditambahkan kedalam pangan yang mudah

rusak, atau pangan yang disukai sebagai medium tumbuhnya bakteri atau

kapang. Mie yang memiliki aw dan kadar air tinggi termasuk dalam kelompok

makanan yang mudah rusak. Pertumbuhan bakteri yang dicegah atau dihambat

tergantung dari jumlah pengawet yang ditambahkan dan pH bahan pangan.

Tiga jenis pengawet yang digunakan adalah kalium sorbat, kalsium

propionat, dan natrium asetat. Kalsium propionat dan kalium sorbat yang

digunakan merupakan bahan kimia teknis. Spesifikasi kalsium propionat dan

kalium sorbat teknis tertera pada Lampiran 5 dan 6. Pengawet digunakan

dalam bentuk garamnya agar lebih mudah larut dan dapat mempertahankan

bentuk asam tidak berdisosiasi. Ketiga pengawet ini dikombinasikan menjadi

dua atau tiga dengan konsentrasi sesuai aturan pemakaian pada makanan

secara kombinasi atau ADI kombinasi sehingga diperoleh tujuh formula

pengawet.

Indikator kerusakan awal yang umum terjadi pada mie matang adalah

terdeteksinya bau asam dan adanya lendir yang merupakan akibat dari

aktivitas bakteri pembusuk. Namun, dalam penelitian pada tahapan ini

ditemukan indikator kerusakan lain, yaitu munculnya miselia-miselia kapang

berbentuk serabut-serabut berwarna putih. Kapang yang tumbuh ini

kemungkinan besar merupakan kontaminasi spora kapang dari udara atau

ruang pengolahan. Mie dengan penambahan formula pengawet yang

Page 69: Contoh Lain

kerusakannya disebabkan oleh kapang diberi tanda bintang (*).

Hasil pengamatan terhadap umur simpan mie (Gambar 9)

menunjukkan bahwa umur simpan terpanjang dimiliki oleh mie yang diberi

pengawet formula VII, yaitu kombinasi Na-asetat 0,016% + Ca-propionat

0,1% + K-sorbat 0,05%, yaitu selama 60 jam. Mie dengan pengawet formula

III (Na-asetat 0,032% + K-sorbat 0,1%) memiliki umur simpan 52 jam. Mie

dengan penambahan pengawet formula II* (Ca-propionat 0,1% + K-sorbat

0,1%) dan formula V* (Ca-propionat 0,15% + K-sorbat 0,05%) yang

melibatkan penambahan sorbat sebanyak 50% memiliki umur simpan paling

pendek, yaitu 48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan sorbat tidak

memberikan efek penghambatan terhadap mikroba. Pada umumnya, sorbat

digunakan sebagai pengawet pada produk daging yang dikombinasikan

dengan penambahan nitrit atau benzoat (Jay, 2000).

Mie dengan penambahan pengawet formula I (Na-asetat 0,032% + Ca-

propionat 0,1%) dan formula VI* (Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,05% +

K-sorbat 0,05%) memiliki umur simpan 56 jam. Berdasarkan umur simpan

mie yang ditambahkan pengawet formula VII, I, dan VI*, terlihat adanya

sinergisme antara kalsium propionat dengan natrium asetat, dimana asetat

berperan sebagai anti bakteri dan propionat sebagai anti kapang.

Kemungkinan adanya sinergisme antara kalsium propionat dengan natrium

asetat ini sesuai dengan penelitian Pahrudin (2006). Mie dengan hasil terbaik

yang diperoleh Pahrudin (2006) melibatkan pengawet Ca-propionat 0,075% +

Na-asetat 2,5%, disamping penambahan Monolaurin 0,25% + Metil-paraben

0,025%. Mie terbaik Pahrudin (2006) ini memiliki umur simpan 56 jam,

sedangkan mie kontrol yang dibuat tanpa penambahan pengawet memiliki

umur simpan 26 jam (berdasarkan pengamatan secara subyektif terhadap

terdeteksinya bau asam dan lendir).

Page 70: Contoh Lain

44

56

4852

56

48

5660

0

10

20

30

40

50

60

70

Kontrol I II* III IV V* VI* VII

Formula pengawet

Umur

sim

pan

(jam

)

Keterangan: * : Kerusakan karena kapang Kontrol : Na2CO3 0,6% (tanpa penambahan pengawet) I : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,1% II* : Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,1% III : Na-asetat 0,032% + K-sorbat 0,1% IV : Na-asetat 0,048% + Ca-propionat 0,05% V* : Ca-propionat 0,015 + K-sorbat 0,05% VI* : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,05% + K-sorbat 0,05% VII : Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%

Gambar 9. Pengaruh penambahan berbagai formula pengawet terhadap umur simpan mie secara subyektif (bau asam)

Penambahan pengawet kedalam adonan mie tidak berpengaruh

terhadap pH mie. Mie yang diberi penambahan pengawet memiliki pH sekitar

9,30 – 9,53 (Gambar 10). Nilai pH mie berhubungan dengan pembentukan

warna kuning yang dilepaskan oleh flavonoid gandum pada pH alkali. Dari

nilai pH yang tidak berbeda nyata ini dapat disimpulkan bahwa warna mie

yang ditambahkan dengan formula pengawet memiliki warna kuning dengan

kecerahan yang hampir sama. Mie formula VII (mie dengan penambahan Na-

asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%) selanjutnya diturunkan

konsentrasinya untuk memenuhi syarat CPPB.

Page 71: Contoh Lain

9.04

9.30

9.539.41

9.33

9.50 9.489.33

8.40

8.60

8.80

9.00

9.20

9.40

9.60

9.80

10.00

Kontrol I II* III IV V* VI* VII

Formula pengawet

Nila

i pH

Keterangan: Kontrol : Na2CO3 0,6% (tanpa penambahan pengawet) I : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,1% II* : Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,1% III : Na-asetat 0,032% + K-sorbat 0,1% IV : Na-asetat 0,048% + Ca-propionat 0,05% V* : Ca-propionat 0,15% + K-sorbat 0,05% VI* : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,05% + K-sorbat 0,05% VII : Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%

Gambar 10. Derajat keasaman (pH) mie berdasarkan penambahan berbagai formula pengawet

F. PENGARUH PENGGUNAAN PENGAWET TERBAIK DALAM

KONSENTRASI RENDAH TERHADAP MUTU MIE

Dalam aplikasinya, produsen mie masih terbentur dalam hal biaya

produksi untuk menggunakan bahan pengawet dalam konsentrasi yang

diajurkan. Berdasarkan pengalaman, produsen mie akan mengencerkan

konsentrasi pengawet tetapi tanpa takaran yang jelas. Untuk menghindari hal

tersebut, maka diterapkan prinsip cara produksi pangan yang baik (CPPB).

Dengan teknik ini, penurunan konsentrasi pengawet dilakukan secara terukur

sehingga kontribusi penggunaan pengawet formula VII (Na-asetat 0,016% +

Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%) terhadap biaya produksi dapat dihitung

seperti yang tertera pada Tabel 16.

Page 72: Contoh Lain

Tabel 16. Kontribusi penurunan konsentrasi pengawet terhadap biaya

Konsentrasi pengawet Kontribusi biaya/kg mie

Kontrol negatif (tanpa pengawet) – 100% Rp. 137,- 50% Rp. 69,- 25% Rp. 35,- 10% Rp. 14,- 5% Rp. 7,-

Pengaruh penurunan konsentrasi pengawet Na-asetat 0,016% + Ca-

propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% terhadap biaya produksi per kilogram mie

ternyata cukup signifikan. Setelah kontribusi terhadap biaya produksi

diketahui, selanjutnya pengaruh penurunan konsentrasi terhadap umur simpan

mie dapat dilihat pada Gambar 11.

52

60

52

44

5656

0

12

24

36

48

60

72

Kontrolnegatif

100% 50% 25% 10% 5%

Konsentrasi pengawet

Umur

sim

pan

(jam

)

Gambar 11. Pengaruh penurunan konsentrasi pengawet terbaik terhadap umur

simpan mie secara subyektif (bau asam)

Berdasarkan pengamatan, umur simpan mie yang dibuat dengan

pengawet Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% dengan

konsentrasi 100% hanya berbeda 4 jam dibandingkan mie dengan konsentrasi

pengawet 50% dan 25%. Walaupun umur simpan mie dengan penggunaan

50% pengawet dan 25% pengawet sama, namun dari segi ekonomi keduanya

berbeda nyata dimana penurunan konsentrasi pengawet sampai 25%

mengurangi kontribusi terhadap biaya produksi sampai 75% atau Rp. 102,-/kg

Page 73: Contoh Lain

mie. Oleh karena pertimbangan biaya, maka formula pengawet terbaik, yaitu

Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% yang telah

diturunkan konsentrasinya menjadi 25% kemudian diaplikasikan pada tahap

kombinasi perlakuan terbaik.

G. KOMBINASI PERLAKUAN TERBAIK UNTUK PEMBUATAN MIE

Perlakuan terbaik dari masing-masing tahapan sebelumnya

dikombinasikan pada tahapan ini untuk selanjutnya dilakukan pengamatan

terhadap mutu fisik, mutu kimia, mutu mikrobiologi, dan mutu organoleptik.

Masing-masing perlakuan terbaik dari tiap-tiap tahapan sebelumnya

dirangkum dalam Tabel 17. Mie yang dibuat dengan kombinasi perlakuan

terbaik masing-masing tahapan akan disebut sebagai mie kombinasi terbaik.

Sedangkan, mie dengan penambahan Na2CO3 0,6% yang dibuat dengan

prosedur standar akan disebut sebagai mie kontrol.

Tabel 17. Perlakuan terbaik yang diaplikasikan dalam mie Tahapan Perlakuan

Pengaruh Jenis Garam Alkali Na2CO3 0,6% Pengaruh Penambahan Hidrokoloid CMC 0,2% Pengaruh Pemasakan Rebus (100oC, 2 menit) Pengaruh Perlakuan Fisik LDPE + Truang

Konsentrasi Pengawet yang diaplikasikan dengan CPPB 25%

Na-asetat 0,004% Ca-propionat 0,025% K-sorbat 0,0125%

H. PENGARUH KOMBINASI PERLAKUAN TERBAIK TERHADAP

MUTU MIE

1. Mutu Fisik

a. Warna

Pengukuran warna mie dengan kromameter memberikan nilai L,

yaitu parameter kecerahan, dan nilai oHue atau panjang gelombang

dominan yang menentukan apakah warna tersebut merah, hijau, atau

kuning. Hasil pengukuran warna selama penyimpanan mie dapat

dilihat pada Tabel 18.

Page 74: Contoh Lain

Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Tukey HSD, nilai

kecerahan mie kontrol tidak berbeda nyata antara jam ke-0, 24, dan 44

pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) (Lampiran 24 dan 25),

sedangkan nilai kecerahan mie kombinasi terbaik berbeda nyata pada

jam ke-56 (Lampiran 27 dan 28). Hal ini menunjukkan bahwa nilai

kecerahan mie berubah setelah disimpan selama 48 jam menjadi lebih

pucat (semakin mendekati warna putih) ditandai dengan meningkatnya

nilai kecerahan.

Mie kontrol dan mie kombinasi terbaik berada pada kisaran 54 –

90 oHue berwarna kuning kemerahan (yellow red). Berdasarkan

analisis ragam dengan uji lanjut Tukey HSD terhadap nilai oHue, mie

kontrol memiliki oHue yang berbeda nyata dengan jam ke-0 pada jam

ke-44 (Lampiran 24 dan 25), sedangkan mie kombinasi terbaik

memiliki nilai oHue berbeda nyata dengan jam ke-0 pada jam ke-48

dan 56 (Lampiran 27 dan 28). Walaupun berbeda secara nyata

(p<0,05), perubahan nilai oHue tidak signifikan karena sampai akhir

penyimpanan kedua sampel mie tetap berwarna kuning kemerahan.

Dapat disimpulkan bahwa perubahan warna mie lebih jelas terlihat

pada perubahan nilai kecerahan dibandingkan nilai oHue-nya.

Tabel 18. Perubahan warna mie selama penyimpanan Kecerahan (L) oHue

Jam Mie kontrol Mie

kombinasi terbaik

Mie kontrol Mie

kombinasi terbaik

0 68,55 69,24 83,34 83,01 24 75,90 71,26 83,63 83,85 44 75,96 – 82,04 – 48 – 71,21 – 81,78 56 – 73,87 – 80,72

Page 75: Contoh Lain

b. Tekstur

Gracecia (2005) menyebutkan salah satu ciri kerusakan mie

adalah adanya perubahan tekstur mie yang menjadi hancur dan lebih

lengket karena lendir yang berasal dari pertumbuhan mikroba. Hasil

pengamatan terhadap tekstur mie selama penyimpanan tertera dalam

Tabel 19. Selama penyimpanan mie terjadi penurunan nilai kekerasan

dan peningkatan nilai kelengketan.

Hasil pengukuran tekstur kemudian diuji dengan analisis ragam

dengan uji lanjut Tukey HSD dalam taraf kepercayaan 95% (p<0,05).

Kekerasan dan kelengketan mie kontrol tidak berbeda nyata antara jam

ke-0, 16, 32, dan 44 (Lampiran 30 dan 31). Kekerasan mie kombinasi

terbaik berbeda nyata dengan jam ke-0 setelah penyimpanan selama 48

jam, sedangkan nilai kelengketannya berbeda nyata dengan jam ke-0

setelah penyimpanan 16 jam dan memiliki nilai kelengketan tertinggi

pada jam ke-56 (Lampiran 33 dan 34). Nilai kelengketan mie sangat

fluktuatif karena pengukuran dengan alat texture analyzer bersifat

dangat sensitif. Jika probe tidak dibersihkan dengan baik, pengotor

yang ada pada probe dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Secara

umum, tekstur mie yang telah mencapai umur simpannya berbeda

nyata dengan tekstur awal pada jam ke-0, ditandai dengan penurunan

nilai kekerasan dan peningkatan nilai kelengketan.

Tabel 19. Perubahan tekstur mie selama penyimpanan Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce)

Jam Mie kontrol Mie

kombinasi terbaik

Mie kontrol Mie

kombinasi terbaik

0 3705,3 3913,1 -661,5 -803,9 16 3259,7 3203,5 -512,2 -509,0 32 3593,0 3353,7 -682,6 -612,0 44 3363,1 – -602,8 – 48 – 2911,5 – -551,5 56 – 2571,1 – -375,0

Page 76: Contoh Lain

2. Mutu Kimia

a. Aktivitas air (aw)

Air berperan dalam reaksi metabolisme dalam sel dan berfungsi

sebagai alat transpor zat-zat gizi maupun komponen metabolit kedalam

dan keluar sel. Jumlah air bebas dalam bahan pangan diukur dengan

nilai aw. Jenis mikroorganisme yang berbeda memerlukan aw yang

berbeda juga untuk tumbuh. Bakteri pada umumnya tumbuh dan

berkembang biak pada bahan dengan aw tinggi sektar 0,91 atau lebih,

khamir memerlukan aw yang lebih rendah antara 0,87-0,91, dan kapang

membutuhkan aw yang paling rendah untuk tumbuh, yaitu 0,80-0,87

(Garbutt, 1997). Mie matang yang diteliti Pahrudin (2006) memiliki

nilai aw berkisar antara 0,95 – 0,97.

Nilai aw mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tertera pada

Gambar 12. Kedua sampel mie tersebut memiliki nilai aw yang hampir

sama, yaitu antara 0,965-0,97. Nilai aw yang tinggi ini menunjukkan

bahwa bakteri pembusuk lebih berpeluang untuk tumbuh daripada

kapang ataupun khamir. Selain aw yang tinggi, kandungan protein

dalam mie yang cukup tinggi juga menjadi faktor penunjang

pertumbuhan bakteri pembusuk, khususnya bakteri proteolitik.

0.970.965

0.90

0.91

0.92

0.93

0.94

0.95

0.96

0.97

0.98

Sampel

Nila

i Aw

Mie kontrol Mie kombinasi terbaik

Gambar 12. Aktivitas air mie

Page 77: Contoh Lain

b. Derajat keasaman (pH)

Nilai pH mie berangsur-angsur turun seiring dengan

bertambahnya jumlah mikroba perusak dalam mie yang disimpan.

Penurunan nilai pH ini disebabkan oleh dekomposisi karbohidrat dan

protein mie oleh mikroba pembusuk, khususnya bakteri sehingga

terbentuklah asam. Perubahan nilai pH selama penyimpanan mie dapat

dilihat pada Gambar 13.

Berdasarkan uji statistik dengan analisis ragam dengan uji lanjut

Tukey HSD (Lampiran 37 dan 38), penurunan pH mie kontrol pada

jam ke-0, 24, dan 44 jam tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan

95% (p<0,05). Sedangkan, penurunan pH pada mie kombinasi terbaik

tidak berbeda nyata antara jam ke-0 dan 24, namun kedua nilai pH

tersebut berbeda nyata dengan nilai pH pada jam ke-48 dan 56 jam

(Lampiran 39 dan 40). Penyimpanan mie menyebabkan penurunan

nilai pH cukup signifikan dimulai pada jam ke-48 dan seterusnya.

8.498.81

9.009.039.038.969.089.099.03 9.179.139.27

6.897.45

7.938.62

8.848.958.988.979.059.16

9.008.989.02 9.279.27

5.00

6.00

7.00

8.00

9.00

10.00

0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56

Jam ke-

Nila

i pH

Mie kontrol Mie kombinasi terbaik

Gambar 13. Penurunan derajat keasaman selama penyimpanan mie

Mie kontrol yang diteliti oleh Pahrudin (2006) mengalami

penurunan nilai pH dari 9,20 (jam ke-0) menjadi 4,70 (jam ke-48).

Umur simpan mie kontrol Pahrudin (2006) selama 26 jam berdasarkan

pengamatan subyektif terhadap terdeteksinya bau asam dan lendir.

Sedangkan mie dengan hasil terbaik Pahrudin (2006), yaitu mie

Page 78: Contoh Lain

dengan penambahan pegawet Monolaurin 0,25% + Metil-paraben

0,025% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% memiliki umur

simpan secara subyektif selama 56 jam. Mie terbaik ini mengalami

penurunan pH dari 9,06 (jam ke-0) menjadi 8,23 (jam ke-48).

c. Total asam tertitrasi (TAT)

Total asam tertitrasi merupakan jumlah total asam yang dapat

dinetralkan oleh NaOH. Satuan TAT adalah ml NaOH 0,1N/100 gram

sampel. Pengukuran TAT dilakukan untuk verifikasi terhadap

perubahan nilai pH yang terukur dan pada umumnya dilakukan

terhadap sampel dengan pH di bawah 7. Penurunan pH suatu bahan

seharusnya diikuti dengan peningkatan nilai TAT. Namun, karena nilai

pH dari penyimpanan kedua sampel masih tinggi (pH di atas 7), maka

nilai TAT tidak dapat diukur dan tidak dilakukan pengukuran TAT.

3. Mutu Mikrobiologi

a. Total mikroba

Mikroba perusak yang tumbuh pada mie kemungkinan besar

berasal dari tepung terigu. Kapang dari genus Aspergillus, Rhizopus,

Mucor, Fusarium, dan Penicillium, serta bakteri dari genus

Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus, dan beberapa species

Achromobacter merupakan mikroba yang umumnya tumbuh pada

tepung (Christensen, 1974). Menurut Jay (2000), bakteri dari genus

Pseudomonas merupakan penyebab kerusakan berbagai bahan pangan

karena bakteri ini dapat memproduksi enzim yang dapat memecah

komponen protein dan lemak.

Syarat mutu SNI mie untuk cemaran mikroba harus memiliki

angka lempeng total maksimum 1,0 x 106 atau 6 log cfu/g sampel.

Pada Gambar 14 terlihat adanya penghambatan pertumbuhan mikroba

pada mie kombinasi terbaik di awal penyimpanan sampai jam ke-28.

Total mikroba mie kombinasi terbaik secara umum pada jam yang

sama berbeda 1 log dibandingkan mie kontrol.

Page 79: Contoh Lain

Secara subyektif, mie kombinasi terbaik memiliki umur simpan

lebih panjang jika diamati berdasarkan terdeteksinya bau asam dan

lendir. Nilai TPC awal mie kombinasi terbaik (0,57 log cfu/g) lebih

rendah dibandingkan mie kontrol (2,96 log cfu/g). Namun, mie kontrol

dan mie kombinasi terbaik mencapai batas mutu SNI pada jam yang

sama, yaitu jam ke-32. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga pengawet

yang diaplikasikan dalam mie kombinasi terbaik kurang efektif dalam

menghambat pertumbuhan mikroba perusak dan tidak dapat

memperpanjang umur simpan mie secara mikrobiologis.

3.694.27 4.40 4.16

5.10

6.31 6.156.79

7.26

2.96 3.09 3.19

0.55

0.57

1.70

2.763.46 3.78

4.284.54

5.82 6.08 6.206.76

7.137.54

6.00

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56

Jam ke-

Log

cfu/

g

Mie kontrol Mie kombinasi terbaik

Gambar 14. Pertambahan total mikroba selama penyimpanan mie

Nilai TPC awal pada penelitian Pahrudin (2006), yaitu 3,51 log

cfu/g (mie kontrol) dan 3,08 log cfu/g (mie terbaik). Mie kontrol

melewati batas mutu SNI pada jam ke-30, sedangkan mie terbaik pada

jam ke-48. Penggunaan Metil-paraben dalam kombinasi pengawet

yang digunakan Pahrudin (2006) sangat berperan dalam menghambat

pertumbuhan mikroba pembusuk. Paraben memiliki pKa 8,5 dengan

kisaran pH 1 – 14 sehingga pengawet ini sesuai untuk diaplikasikan

sebagai pengawet mie.

Kemampuan pengawet untuk menghambat pertumbuhan

mikroba perusak sangat erat kaitannya dengan nilai pKa pengawet

Page 80: Contoh Lain

tersebut. Ketiga pengawet yang digunakan memiliki nilai pKa yang

rendah, yang menunjukkan bahwa ketiga pengawet ini akan bekerja

dengan lebih efektif pada pH asam yang mendekati nilai pKa-nya.

Sorbat memiliki pKa 4,80. Sorbat pada pH 4,0 terdapat 86% dalam

bentuk tidak berdisosiasi dan pada pH 6,5 hanya 6% dalam bentuk

tidak berdisosiasi (Jay, 2000). Nilai pKa tersebut menunjukkan bahwa

sorbat lebih efektif digunakan untuk makanan berasam rendah dan

kurang efektif pada pH basa. Demikian juga halnya dengan propionat

dan asetat yang memiliki pKa 4,87 dan 4,75. Jay (2000) juga

menjelaskan bahwa propionat pada pH 4,0 terdapat 88% dalam bentuk

tidak berdisosiasi dan pada pH 6,0 hanya 6,7% dalam bentuk tidak

berdisosiasi. Nilai pKa yang kurang sesuai dengan pH mie

menyebabkan penggunaan pengawet menjadi kurang efektif karena

pengawet tidak bekerja secara optimum.

Faktor yang juga berpengaruh terhadap umur simpan pada mie

adalah praktek sanitasi yang benar. Jumlah mikroba awal yang tumbuh

pada mie kontrol cukup rendah. Tempat pengolahan dan peralatan

yang berbeda pasti memiliki kondisi sanitasi yang berbeda juga.

Jumlah awal mikroba rendah ini bisa tercapai karena mie dibuat di

laboratorium pengolahan dengan bahan-bahan dan peralatan yang

memiliki sanitasi cukup baik. Kondisi ini berbeda sekali dengan ruang

pengolahan dan peralatan yang dimiliki oleh kebanyakan pengrajin

mie, khususnya tingkat UKM, yang memiliki sanitasi yang buruk. Air

yang digunakan untuk membuat mie juga tidak terjamin

kebersihannya. Belum lagi tambahan kontaminasi mikroba dari pekerja

yang tidak memiliki edukasi yang cukup mengenai masalah higiene.

Kemasan yang digunakan untuk menyimpan mie juga seadanya. Mie

yang nantinya dijual dalam kondisi terbuka akan semakin

mengakumulasi jumlah mikroba dalam mie tersebut.

Chamdani (2005) melakukan perbandingan antara mutu

mikrobiologis mie basah mentah yang dihasilkan sebelum dan sesudah

pembersihan terhadap peralatan, lantai ruangan, dan pekerja produksi

Page 81: Contoh Lain

pada UKM mie basah mentah. Peralatan dibersihkan menggunakan

alkohol 96%, lantai ruangan dengan pine oil, dan pekerja diminta

untuk mencuci tangan dengan sabun antiseptik. Nilai TPC awal pada

mie yang dibuat sesudah pembersihan (5,0 x 103 cfu/g) lebih rendah

daripada sebelum pembersihan (4,1 x 104 cfu/g). Sampai pada jam ke-

48, nilai TPC mie mentah sesudah pembersihan (7,7 x 105 cfu/g) juga

lebih rendah dibandingkan nilai TPC sebelum pembersihan (1,3 x 106

cfu/g). Hal ini menunjukkan bahwa praktek sanitasi yang baik sangat

berperan dalam menurunkan total mikroba pada produk mie.

b. Total kapang dan khamir

Nilai aw mie yang tinggi menyebabkan kapang dan khamir tidak

tumbuh pada jam-jam awal penyimpanan mie. Berdasarkan hasil

pengamatan (Gambar 15), pertumbuhan kapang dan khamir baru

terjadi pada penyimpanan jam ke-8 sebesar 0,19 log cfu/g (mie

kontrol) dan jam ke-12 sebesar 0,04 log cfu/g (mie kombinasi terbaik).

Sampai waktu akhir penyimpanan, total kapang dan khamir pada

sampel mie kontrol maupun mie kombinasi terbaik masih memenuhi

syarat mutu SNI mie basah, dimana nilai total kapang dan khamir

harus di bawah 104 atau 4 log cfu/g.

Penambahan pengawet kalium sorbat dan kalsium propionat

yang bersifat anti kapang tidak memberikan efek penghambatan

terhadap kapang karena pH mie yang terlalu tinggi tidak optimum

untuk kinerja penghambatan kedua pengawet tersebut. Berbeda dengan

hasil mie terbaik Pahrudin (2006) yang juga melibatkan penambahan

pengawet Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5%, disamping

penambahan Monolaurin 0,25% + Metil-paraben 0,025%, tidak

ditemukan pertumbuhan kapang dan khamir. Hal ini menunjukkan

bahwa penghambatan terhadap kapang dan khamir pada mie oleh

Monolaurin dan Metil-paraben lebih efektif dibandingkan oleh kalsium

propionat dan kalium sorbat. Nilai total kapang dan khamir untuk mie

Page 82: Contoh Lain

kontrol Pahrudin (2006) pada jam ke-0 adalah 1,0 log cfu/g atau lebih

tinggi dibandingkan hasil penelitian ini.

Nilai total kapang dan khamir yang rendah pada kedua sampel

mie menunjukkan bahwa pengolahan mie dilakukan dengan sanitasi

yang baik. Jika praktek sanitasi sangat buruk, kapang mungkin tumbuh

sejak awal penyimpanan. Kapang ini dapat berasal dari kontaminasi

silang spora kapang yang terdapat pada lingkungan, ruang pengolahan,

atau peralatan. Tempat pengolahan mie Pahrudin (2006) dilakukan di

Pilot Plant FTDC dengan peralatan produksi dengan skala yang lebih

besar. Tempat pengolahan, peralatan, dan kondisi sanitasi yang

berbeda ini yang memungkinkan perbedaan yang cukup besar pada

nilai kapang dan khamir antara kedua penelitian ini.

0.230.47

0.60

1.301.53 1.50

1.811.33 1.67

0 0.190 0.040.080.30

0.37

1.24

1.73

1.62

1.631.98

2.23

3.28

1.60

0

1

2

3

4

0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56

Jam ke-

Log

cfu/

g

Mie kontrol Mie kombinasi terbaik

Gambar 15. Total kapang dan khamir selama penyimpanan mie

c. Total koliform

Uji total koliform dilakukan untuk mendeteksi adanya bakteri

koliform, khususnya E. coli sebagai bakteri indikator sanitasi. Metode

MPN ini lebih baik bila dibandingkan metode hitungan cawan karena

lebih sensitif dan dapat mendeteksi koliform dalam jumlah sangat

rendah di dalam contoh (Jenie dan Fardiaz, 1989). Bakteri E. coli tidak

ditemukan pada sampel mie kontrol maupun mie kombinasi terbaik

Page 83: Contoh Lain

yang ditandai dengan tidak terbentuknya gas atau kekeruhan pada

tabung Durham di semua seri pengenceran (lihat Lampiran 41 dan 42).

Hal ini menunjukkan bahwa praktek sanitasi yang dilakukan sudah

cukup baik.

4. Mutu Organoleptik

Salah satu uji penerimaan yang paling sering digunakan terhadap

produk pangan adalah uji hedonik seperti yang digunakan dalam penelitian

ini. Dalam uji hedonik, panelis diminta untuk mengemukakan pendapat

pribadinya tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap beberapa

atribut sampel maupun terhadap sampel secara keseluruhan (overall).

Parameter yang diujikan terhadap sampel mie ini meliputi atribut warna,

aroma, tekstur, dan rasa, serta tingkat kesukaan secara keseluruhan.

Tingkat-tingkat kesukaan panelis dalam uji hedonik dikenal

dengan istilah skala hedonik. Rentang skala hedonik dapat diatur sesuai

dengan kebutuhan penilaian terhadap sampel. Untuk sampel yang sudah

dikenal secara umum, biasanya digunakan skala penilaian antara 1 sampai

5, yaitu nilai 1 untuk “sangat tidak suka”, nilai 2 untuk “tidak suka”, nilai

3 untuk “netral”, nilai 4 untuk “suka”, dan nilai 5 untuk “sangat suka”.

Sedangkan untuk sampel yang tergolong produk baru atau sampel yang

jarang dikonsumsi, biasanya skala hedonik direntangkan sampai 7 bahkan

9 skala. Mie tergolong makanan yang umum dikonsumsi dalam

masyarakat sehingga uji hedonik terhadap sampel mie cukup dilakukan

dengan skala hedonik 1 sampai 5.

Skor kesukaan panelis terhadap atribut warna, aroma, tekstur, rasa,

dan keseluruhan mie tertera pada Gambar 16. Berdasarkan uji statistik

menggunakan analisis ragam (Lampiran 55), warna mie kontrol dan mie

kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

(p<0,05). Berdasarkan uji lanjut Duncan, kedua mie berada dalam subset

yang sama dengan skor kesukaan 4,21 dan 4,43 (Lampiran 56). Hal ini

menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian panelis, penambahan CMC

Page 84: Contoh Lain

dan pengawet pada mie kombinasi terbaik tidak berpengaruh tehadap

warna mie.

Skor uji kesukaan terhadap warna mie kontrol dan mie kombinasi

terbaik berbeda nyata dengan mie pasar, dimana warna mie pasar memiliki

skor kesukaan terendah, yaitu 3,45. Skor warna mie pasar berada dalam

subset yang berbeda dengan kedua mie lainnya. Berdasarkan skor

kesukaan, panelis lebih suka pada warna mie kontrol dan mie kombinasi

terbaik dibandingkan dengan mie pasar.

Mie pasar memiliki warna kuning yang sangat terang yang diduga

berasal dari pewarna sintetik, yaitu Tartazine. Syah et al. (2005)

menyebutkan zat pewarna lain yang mungkin digunakan sebagai perwarna

mie adalah Metanil Yellow yang memberikan warna kuning cerah pada

mie. Metanil Yellow merupakan zat pewarna yang dilarang untuk

ditambahkan kedalam makanan karena pewarna ini digunakan sebagai

pewarna untuk produk-produk tekstil, cat kayu, dan cat lukis. Pewarna ini

termasuk kelompok azo yang dicurigai mempunyai dampak buruk

terhadap jaringan hati, kandung kemih, saluran pencernaan, dan jaringan

kulit.

Aroma yang terdeteksi pada mie segar yang baru direbus adalah

aroma terigu dan minyak kelapa yang digunakan untuk melumur mie.

Berdasarkan uji statistik menggunakan analisis ragam (Lampiran 57),

aroma mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada

taraf kepercayaan 95% (p<0,05) dengan skor kesukaan 3,62 dan 3,70. Skor

aroma kedua mie ini berada dalam subset yang sama pada uji lanjut

Duncan (Lampiran 58). Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian

panelis, penambahan pengawet pada mie kombinasi terbaik tidak

berpengaruh terhadap aroma mie.

Aroma mie yang dibeli di pasar berbeda nyata dengan kedua mie

yang dibuat dalam skala laboratorium. Mie pasar memiliki skor kesukaan

paling rendah, yaitu 1,98 dan berada dalam subset yang berbeda dengan

kedua mie lainnya. Mie pasar memiliki bau menyengat yang kemungkinan

besar berasal dari bau minyak kacang bercampur dengan formalin.

Page 85: Contoh Lain

Berdasarkan uji statistik menggunakan analisis ragam (lihat

Lampiran 59), tekstur mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tidak

berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) dengan skor kesukaan

4,07 dan 3,93. Skor tekstur mie ini berada dalam subset yang sama pada

uji lanjut Duncan (Lampiran 60), yang berarti menurut penilaian panelis,

penambahan CMC dan pengawet pada mie kombinasi terbaik tidak

mengubah tekstur mie.

Tekstur kedua mie yang dibuat dalam skala laboratorium berbeda

nyata dengan mie yang dibeli di pasar. Mie pasar memiliki skor kesukaan

2,53 dan berada dalam subset yang berbeda dengan kedua mie lainnya.

Mie pasar memiliki tekstur yang lebih liat dan keras. Uji terhadap adanya

kandungan formalin tidak dilakukan pada sampel mie pasar. Jika kontrol

positif ini menggunakan formalin, tekstur yang liat dan keras ini terbentuk

akibat interaksi antara formaldehid dengan grup asam amino bebas lisin

pada gugus ε-NH2 memebtuk ikatan silang (Marquie et al., 1997).

Uji statistik menggunakan analisis ragam untuk skor kesukaan

terhadap atribut rasa (Lampiran 61) menunjukkan tekstur mie kontrol dan

mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

(p<0,05) dengan skor kesukaan 3,73 dan 3,63. Skor rasa kedua mie ini

berada dalam subset yang sama pada uji lanjut Duncan (Lampiran 62).

Berdasarkan penilaian panelis, penambahan CMC dan pengawet pada mie

kombinasi terbaik tidak mengubah rasa mie.

Rasa mie pasar memiliki skor kesukaan 2,18 dan berbeda secara

nyata dengan kedua sampel mie lainnya. Perbedaan ini ditunjukkan oleh

letak subset yang berbeda antara mie pasar dengan mie matang kontrol dan

mie kombinasi terbaik. Hal ini menunjukkan bahwa untuk atribut rasa,

panelis lebih menyukai mie yang dibuat dalam skala laboratorium daripada

mie yang dijual di pasar.

Uji statistik untuk skor kesukaan terhadap mie menggunakan

analisis ragam (Lampiran 63) menunjukkan bahwa mie kontrol dan mie

kombinasi terbaik secara keseluruhan tidak berbeda nyata pada taraf

kepercayaan 95% (p<0,05). Berdasarkan uji lanjut Duncan, kedua mie ini

Page 86: Contoh Lain

berada dalam subset yang sama dengan skor kesukaan 3,94 dan 4,17. Hal

ini berarti penambahan CMC dan pengawet kedalam mie kombinasi

terbaik tidak berpengaruh terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap mie

secara keseluruhan.

Mie pasar, yang memiliki skor kesukaan 2,15, berbeda secara nyata

dengan kedua sampel mie lainnya. Mie pasar yang memiliki skor kesukaan

yang lebih rendah berada dalam subset yang berbeda dengan kedua mie

tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan panelis lebih

menyukai mie yang dibuat dalam skala laboratorium daripada mie yang

dijual di pasar.

4.07

4.434.17

3.943.62

4.21

3.733.93

3.70 3.63

2.152.18

2.53

1.98

3.45

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

Warna Aroma Tekstur Rasa Keseluruhan

Skor

Mie kontrolMie kombinasi terbaikMie pasar

Gambar 16. Skor hasil uji hedonik mie

Page 87: Contoh Lain

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Pemilihan garam alkali yang tepat sangat penting dalam proses

pembuatan mie karena sangat berpengaruh terhadap warna dan tekstur mie.

Penambahan garam alkali Na2CO3 0,6% kedalam adonan mie memberikan

hasil yang lebih baik dalam hal umur simpan, warna, tekstur, dan elastisitas

dari pada STPP 0,2%.

Penambahan hidrokoloid cukup berpengaruh terhadap tekstur mie. Mie

yang ditambahkan CMC 0,2% memiliki nilai kekerasan paling tinggi dan

memerlukan biaya produksi paling kecil dibandingkan kedua hidrokoloid

lainnya. Pada prakteknya di lapangan, penambahan CMC ini dapat tidak

dilakukan karena tidak memberikan perubahan signifikan terhadap tekstur mie

yang dihasilkan.

Pelumuran minyak yang dilakukan setelah pemasakan memberikan

penampakan mie yang lebih baik dan tidak lengket dengan penggunaan

minyak yang lebih efisien (10% berat mie mentah). Pemasakan mie dengan

cara dikukus menghasilkan mie dengan umur simpan lebih panjang dan

berwarna kecoklatan yang berbanding lurus dengan peningkatan waktu

pengukusan. Warna coklat ini terbentuk karena terjadinya reaksi Maillard. Mie

yang dikukus memiliki tekstur tidak seragam, sangat keras, rapuh atau mudah

patah, dan tidak elastis. Dari segi warna dan tekstur, mie yang direbus

memiliki penampakan yang lebih baik dari mie yang dikukus.

Penggunaan plastik LDPE atau PP tebal tidak berpengaruh terhadap

umur simpan mie selama dalam kondisi tertutup. Kemasan plastik yang

tertutup rapat merupakan salah satu praktek sanitasi yang dapat mereduksi

jumlah mikroba perusak hasil kontaminasi silang dari luar, seperti dari udara,

debu, tangan penjual, ataupun wadah tempat menjajakan mie. Pengemasan

vakum tidak sesuai untuk diaplikasikan pada mie karena menyebabkan

penampakan menjadi kurang menarik. Penyimpanan mie pada suhu rendah

meningkatkan umur simpan, yaitu 10 hari (13 ± 2oC) dan 40 hari (4 ± 1oC).

Pertumbuhan mikroba terhambat karena terjadi chilling injury pada sel

Page 88: Contoh Lain

mikroba. Namun, biaya untuk aplikasi suhu rendah yang harus disertai dengan

cold chain atau rantai distribusi suhu rendah masih terlalu mahal dan tidak

terjangkau untuk produsen mie pada tingkat UKM maupun industri menengah.

Mie dengan penambahan pengawet formula VII, yaitu kombinasi Na-

asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% memiliki umur simpan

terpanjang (60 jam) berdasarkan pengamatan secara subyektif (bau asam).

Penambahan pengawet tidak mempengaruhi pH dan warna secara signifikan.

Setelah diturunkan konsentrasinya menjadi 25%, mie yang ditambahkan

pengawet formula VII memiliki umur simpan 56 jam, berdasarkan

terdeteksinya bau asam dan adanya lendir.

Perlakuan terbaik, berdasarkan mutu fisik dan umur simpan secara

subyektif, dari masing-masing tahapan dikombinasikan menjadi mie

kombinasi terbaik. Mie kombinasi terbaik dibuat dengan penambahan

Na2CO3 0,6%, CMC 0,2%, dan pengawet Na-asetat 0,004% + Ca-propionat

0,025% + K-sorbat 0,0125% (CPPB 25%), kemudian dimasak dengan cara

direbus selama 2 menit, dikemas dengan plastik LDPE, dan disimpan pada

suhu ruang. Mie memiliki nilai aw yang tinggi, sekitar 0,965-0,97, sehingga

mie tergolong sebagai makanan yang mudah rusak. Selama penyimpanan mie

kontrol dan mie kombinasi terbaik, terjadi perubahan terhadap parameter pH,

warna, dan tekstur. Nilai pH mie menurun seiring dengan bertambahnya

waktu penyimpanan yang disebabkan oleh mikroba pembusuk yang

mendekomposisi karbohidrat dan protein menghasilkan asam. Warna mie

berubah menjadi semakin pucat karena peningkatan nilai kecerahan. Selama

penyimpanan juga terjadi penurunan nilai kekerasan dan peningkatan nilai

kelengketan.

Mie kontrol dan mie kombinasi terbaik masih memenuhi standar mutu

SNI (TPC maksimum 106) selama penyimpanan 32 jam berdasarkan analisis

mutu mikrobiologis. Nilai pH mie yang kurang sesuai dengan pKa pengawet

menyebabkan penggunaan pengawet menjadi kurang efektif dalam

menghambat pertumbuhan mikroba karena pengawet tidak bekerja secara

optimum. Nilai total kapang dan khamir mie kontrol maupun mie kombinasi

terbaik masih memenuhi syarat mutu SNI mie basah (maksimum 104) sampai

Page 89: Contoh Lain

akhir penyimpanan (56 jam). Koliform tidak ditemukan pada kedua sampel

mie selama penyimpanan. Kondisi ini dapat tercapai dengan praktek sanitasi

yang baik pada saat pengolahan mie.

Berdasarkan hasil uji hedonik, mie kontrol dan mie kombinasi terbaik

tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) untuk atribut warna,

aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan. Sedangkan mie yang dijual di pasaran

berbeda nyata (p<0,05) dengan kedua sampel mie yang dibuat pada skala

laboratorium untuk atribut warna, aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan. Hal

ini menunjukkan bahwa kedua mie skala laboratorium secara keseluruhan

lebih disukai daripada mie yang dijual di pasaran.

B. SARAN

Mie yang dibuat tanpa penambahan pengawet jika pengolahannya

dilakukan dengan praktek sanitasi yang baik dapat diaplikasikan pada

produsen mie tingkat UKM. Penyimpanan mie dalam kemasan plastik tertutup

juga dapat mengurangi peluang terjadinya kontaminasi mikroba dari luar

selama distribusi dan penjualan.

Page 90: Contoh Lain

DAFTAR PUSTAKA

Ames, J. M. dan A. Apriyantono. 1994. Effect of pH on the volatil compound formed in a xylose-lysine model system. Di dalam T. H. Parliament, M. J. Morello dan R. J. Mec Gorrin (eds.). Thermal Generation Flavor. Washington American Chemical Society.

Anonim. 1996. Undang-Undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. . 1999a. Propionic Acid. http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=

Propionic_acid.html. [27 Januari 2006]. . 1999b. Sorbic Acid. http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=

Sorbic_acid.html. [27 Januari 2006]. AOAC. 1984. Method of Analysis. Association of Official Analytical Chemistry.

Washington D.C Apriyantono, A., D. Fardiaz, Puspitasari N. L., Sedarnawati Y., Budijanto, S.

1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Penerbit IPB Press. Bogor. Arbuckle, W. S. 1986. Ice Cream. The AVI Publishing Company Inc., Westport,

Connecticut. Badan Standarisasi Nasional. 1992. Mi Basah. SNI-01 2987-1992. Badan

Standarisasi Nasional. Jakarta. Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz)

sebagai Bahan Pembuat Mie Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Belitz, H. D. dan ,W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer. Berlin. Branen, A. L dan R. J. Haggerty. 2002. Introduction of Food Additives. 2nd

Edition. Marcel Dekker Inc. New York. Basel. Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton. 1985. Ilmu Pangan.

Terjemahan. UI Press, Jakarta. Chamdani. 2005. Pemilihan Bahan Pengawet yang Sesuai pada Produk Mie

Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Chapman, W dan Chapman. 1980. Karrageenan. Marine Colloid Monograph

Number One. Marine Colloid Division FMC Corp. Springfield, New Jersey.

Page 91: Contoh Lain

Christensen, M. 1974. Storage The Cereal Grains and Their Products. American Association of Cereal Chemist. Minnesota.

CNFP. 2002a. Calcium Propionate. Technical Advisory Panel (TAP) Review.

USDA. USA. _____. 2002b. Pottasium Sorbate. Technical Advisory Panel (TAP) Review.

USDA. USA. Departemen Kesehatan RI. 1989. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

722/Menkes/Per/IX/1988, tentang Bahan Tambahan Makanan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Desrosier. 1977. The Technology of Food Preservation. 4th Edition. AVI

Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut. Fardiaz, D. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. IPB Press. Bogor. Fardiaz, S. 1989. Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan. PAU

Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. . 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fellers, C. R. 1955. Food Preservation. Di dalam: F. C. Blanck (ed.). Handbook of

Food and Agriculture. Reinhold Publishing Corporation. New York. Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker. New York. Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. 1979. Food Microbiology. Tata McGraw-Hill

Publishing Company Ltd., New Delhi. Garbutt, J. 1997. Essentials of Food Microbiology. Arnold. London. Glicksman, M. 1983. Food Hidrocolloids II. CRC Press. Boca Rota, Florida. Gracecia, D. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Bogor dan Jakarta.

Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hanlon, J. F. 1971. Handbook of Package Engineering. McGraw-Hill Book

Company. New York. Indrawan, I. 2005. Survai Manufaktur dalam Rangka Meningkatkan Mutu Mie

Basah di Jabotabek. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology. 6th Edition. Aspen Publisher, Inc.

Maryland.

Page 92: Contoh Lain

Jenie, B. S. L. 1995. Prinsip Pengawetan Pangan. Diktat Pelatihan Singkat Mikrobiologi Makanan. Ditjen PMP dan PLP Depkes/UNDP – PUSBANGTEPA, LP IPB. Bogor.

Labuza, T. P. 1975. Storage Stability and Improvement of Intermediate Moisture

Foods. University of Minnesota Publ. St. Paul. Minnesota. Maillard, L. C. 1912. Action of amino acids on sugars: Formation of melanoidins

in a methodical way. Compt. Rend. 154: 66-68. Di dalam: Whistler, R. L. dan J. R. Daniel. Carbohydrates. O. R. Fennema (Ed.). 1985. Food Chemistry. 2nd Edition. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel.

Marquie, C., A. M. Tessier, C. Aymard, dan S. Guilbert. 1997. HPLC

determination of the reactive lysine content of cottonseed protein films to monitor the cross-linking by formaldehyde, glutaraldehyde, and glyoxal. J. Agric. Food Chem. 45:922-926.

Merck Indeks. 1989. Preservation and Preservatives. 11th Edition. Susan, B. (ed.).

Merck & Cg., Inc. Rahway, N. J. USA. Moriano, A. L. 1977. Sulfated Seaweed Polysacharide. Di dalam: Food Colloid.

AVI Publishing. Westport, Connecticut. P347 – 784. Mugiarti. 2001. Mempelajari Pengaruh Substitusi Tepung Kedelai pada

Pembuatan Mie Basah (Boiled Noodle). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nishita, K.D., R.L. Robert, dan M.M. Bean. 1976. Development of yeast leaved

rice bread formula. J. Cereal Chemistry, 53 (5): 626-635. Nuraida, L. 1995. Mikrobiologi Pangan. Diktat Pelatihan Singkat Mikrobiologi

Makanan. Ditjen PMP dan PLP Depkes/UNDP – PUSBANGTEPA, LP IPB. Bogor.

Nussinovitch, A. 1997. Hydrocolloids Application: Gum technology in the food

and other industries. Blackie Academic & Professional. London. Pagani, M. A. 1985. Pasta Product from Non Conventional Raw Material. P52-68.

Di dalam: Ch. Mercier dan C. Centrallis (eds.) 1985. Pasta and Extruction Cooked Foods. Proceeding of an Internasional Symposium held in Milan. Italy.

Pahrudin. 2006. Aplikasi Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie

Basah Matang. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 93: Contoh Lain

Patersen, K., P. V. Nielsen, G. Bertelsen, M. Lawther, M. B. Olsen, N. H. Nilson dan G. Mortensen. 1999. Potential of biobased materials for food packaging. J. Food Science and Technology 10: 52-68. Elsevier Science Ltd., UK.

Priyatna, N. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Tangerang dan

Bekasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rani, H. 1989. Jenis dan Mekanisme Kerja Bahan Pengawet Pangan. Makalah.

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rees, D. A. 1969. Structure, Comformation, and Mechanism in The Formation of

Polysacheride Gel and Network. Di dalam: Adv. Carbohydrate Chemistry and Biochemistry. Edinburg, Scotland. 24:279 – 282.

Saccharow, S dan R. C. Griffin. 1980. Food Packaging: Principles of Food

Packaging. 2nd Edition. The AVI Publishing. Westport, Connecticut. Samelis, J. dan J. N. Sofos. 2003. Organic Acid. Di dalam: Roller, S. (Ed.).

Natural antimicrobial for the minimal processing of foods. Woodhead Publishing Limited. Cambridge, England.

Soekarto, S.T. 1985. Penelitian Organoleptik. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Skripsi. Fakultas

Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suptijah, P. 2002. Karagenan. http://rudyct.tripod.com/ sem2_012/pipih_ suptijah.

html. [10 Mei 2004]. Supardi, I. dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan

Pangan. Penerbit Alumni. Bandung. Syah, D., S. Utama, Z. Mahrus, F. Fauzan, R. Siahaan, O. Oktavia, S. Supriyadi,

dan W. Kartawijaya. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Syarief, R., S. Santausa dan S. I. Budiana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan.

PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Widowati, S. dan K.A. Buckle. 1991. Gude (Cajanus cajan L Mill sp.) Sebagai

Sumber Pati dan Bahan Baku Mie Kering. Makalah pada Seminar Rutin Balitan Sukamandi, Februari 1991.

Whistler, R. L. dan J. N. B. Miller. 1973. Industrial Gum: Polysacharides and

Their Derivatives. 2nd Edition. Academic Press. New York.

Page 94: Contoh Lain

Winarno, F.G. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

. 1991. Teknologi Produksi dan Kualitas Mie. Makalah disajikan

dalam Seminar Sehari Serba Mie, Institut Pertanian Bogor. Bogor. . 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia. Jakarta. Winarno, F. G. dan Rahayu, T.S. 1994. Bahan Tambahan Makanan dan

Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Yustiareni, E. 2000. Kajian Substitusi Terigu oleh Tepung Garut dan Penambahan

Tepung Kedelai dalam Pembuatan Mie Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 95: Contoh Lain
Page 96: Contoh Lain

Lampiran 1. Skema tahapan penelitian secara umum

Tahap 1: Perlakuan

Garam Alkali

Tahap 5: Perlakuan Optimasi Pengawet

Tahap 6: Penurunan

Konsentrasi Pengawet

Konsentrasi Pengawet Terbaik

Pengamatan: Mutu Fisik,

Kimia, Mikrobiologis,

& Sensori

Tahap 2: Perlakuan

Hidrokoloid

Tahap 3: Perlakuan Pemasakan

& Pelumuran

Tahap 4: Perlakuan Kondisi

Penyimpanan

Humektan Terbaik

Pemasakan & Pelumuran

Terbaik

Kondisi Penyimpanan

Terbaik

Tahap 7: Pembuatan Mie Basah Matang dengan Kombinasi Perlakuan

Terbaik

Pembuatan Mie Basah Matang dengan Formula Standar

Page 97: Contoh Lain

Lampiran 2. Spesifikasi hidrokoloid: CMC

Page 98: Contoh Lain

Lampiran 3. Spesifikasi hidrokoloid: gum Arab

Page 99: Contoh Lain

Lampiran 4. Spesifikasi hidrokoloid: karagenan

Page 100: Contoh Lain

Lampiran 5. Spesifikasi pengawet: Kalsium Propionat

Page 101: Contoh Lain

Lampiran 6. Spesifikasi pengawet: Kalium Sorbat

Page 102: Contoh Lain

Lampiran 7. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan garam alkali Mie dengan Na2CO3 0,6%

Kekerasan Kelengketan Elastisitas Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 21 3374,6 3838,3 -546,9 -789,5 16,7 17,2 2 3783,4 3715,5 -710,5 -837,5 17,8 17,0 3 3350,1 4049,0 -548,1 -656,9 20,5 17,2 4 3707,1 3677,3 -673,2 -620,0 15,1 16,9 5 3676,6 3880,4 -594,0 -639,1 20,0 18,2

3578,4 3832,1 -614,5 -708,6 18,0 17,3 Rata-rata 3705,3 -661,5 17,7 SD 126,85 -47,1 0,4

Mie dengan STPP 0,2%

Kekerasan Kelengketan Elastisitas Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 21 3597,0 3469,9 -619,8 -529,3 15,7 17,1 2 3505,5 3291,5 -593,1 -567,4 15,8 17,9 3 3600,4 3671,6 -655,3 -505,8 14,7 14,2 4 3484,8 3473,6 -593,0 -624,8 15,3 14,6 5 3436,4 3687,1 -564,1 -762,7 15,6 16,3

3524,8 3518,7 -605,1 -598,0 15,4 16,0 Rata-rata 3521,8 -601,6 15,7 SD 3,05 3,55 0,3

Lampiran 8. Uji T terhadap tekstur mie dengan perlakuan garam alkali Statistik Grup

Garam Alkali N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Kontrol 5 3705.260 65.7218 29.3917 Kekerasan

STPP 0,2% 5 3521.800 89.1574 39.8724 Kontrol 5 -661.580 67.8604 30.3481

Kelengketan STPP 0,2% 5 -601.560 37.0682 16.5774

Kontrol 5 17.680 1.3103 .5860 Elastisitas

STPP 0,2% 5 15.760 .9915 .4434

Page 103: Contoh Lain

Lampiran 8. Uji T terhadap tekstur perlakuan garam alkali (Lanjutan) Uji T

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-

tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

Kekerasan Equal

variances assumed

.468 .513 3.704 8 .006 183.460 49.5346

Kelengketan Equal

variances assumed

.909 .368 -1.736 8 .121 -60.020 34.5806

Elastisitas Equal

variances assumed

.628 .451 2.613 8 .031 1.920 .7348

Lampiran 9. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan garam alkali Mie dengan Na2CO3 0,6%

Kecerahan (L) oHue Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 69,28 67,75 -84.35 82.47 2 68,62 68,10 -83.73 85.13 3 67,83 71,85 -84.16 85.42

68,58 69,23 -84.08 84.34 Rata-rata 68,91 84,21 SD 0,33 0,13

Mie dengan STPP 0,2%

Kecerahan (L) oHue Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 73,60 70,48 -82,24 85,29 2 73,06 71,35 -82,32 84,76 3 74,08 71,03 -82,19 84,77

73,58 70,95 -82,25 84,94 Rata-rata 72,27 83,60 SD 1,32 1,35

Page 104: Contoh Lain

Lampiran 10. Uji T terhadap warna mie dengan perlakuan garam alkali Statistik Grup

Garam Alkali N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Kontrol 3 84.2000 .72111 .41633 Derajat Hue

STPP 0,2% 3 83.6000 .17321 .10000 Kontrol 3 68.9000 .78102 .45092

Kecerahan (L) STPP 0,2% 3 72.2667 .30551 .17638

Uji T

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

Derajat Hue

Equal variances assumed

4.966 .090 1.401 4 .234 .6000 .42817

Kecerahan (L)

Equal variances assumed

4.797 .094 -6.953 4 .002 -3.3667 .48419

Lampiran 11. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid Mie dengan CMC 0,2%

Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Elastisitas (gforce) Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 21 3994,2 3979,9 -861,5 -619,2 19,9 20,4 2 3817,2 4016,8 -1316,5 -672,9 16,1 19,3 3 3717,5 3948,2 -818,0 -747,3 15,9 17,5 4 3692,9 3967,1 -799,3 -830,2 17,1 19,8 5 4175,1 4132,7 -843,1 -681,2 17,1 16,5

3903,4 4008,9 -927,7 -710,2 17,2 18,7 Rata-rata 3956,2 -819,0 18,0 SD 52,8 -108,8 0,8

Mie dengan Gum Arab 0,5% Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Elastisitas (gforce) Titik

ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 21 3272,9 3964,1 -526,3 -751,5 17,1 18,4 2 3546,9 3683,5 -790,3 -706,1 16,1 20,0 3 3391,5 3992,4 -564,8 -883,9 17,4 18,6 4 3906,7 3935,5 -776,5 -811,2 17,8 17,3 5 3560,0 4068,7 -947,5 -778,2 17,2 18,7

3535,6 3928,8 -721,1 -786,2 17,1 18,6 Rata-rata 3732,2 -753,7 17,9 SD 196,6 -32,6 0,8

Page 105: Contoh Lain

Lampiran 11. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid (Lanjutan)

Mie dengan Karagenan 0,5% Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Elastisitas (gforce) Titik

ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 21 3376,2 2902,6 -560,0 -390,0 17,9 19,2 2 3492,3 3088,4 -670,1 -425,7 15,9 18,8 3 3303,2 3118,9 -586,0 -400,9 17,0 17,8 4 3316,8 2872,9 -573,0 -423,9 18,6 19,1 5 3202,9 3175,4 -938,6 -460,8 15,7 17,0

3338,3 3031,6 -665,5 -420,3 17,0 18,4 Rata-rata 3207,5 -542,9 17,7 SD 175,9 -122,6 0,7

Lampiran 12. Analisis ragam terhadap tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1561532.010 3 520510.670 Within Groups 181939.232 16 11371.202

Kekerasan Total 1743471.242 19

45.774 .000

Between Groups 215251.132 3 71750.377 Within Groups 121271.960 16 7579.498

Kelengketan Total 336523.092 19

9.466 .001

Between Groups .289 3 .096 Within Groups 19.448 16 1.216

Elastisitas Total 19.738 19

.079 .970

Lampiran 13. Uji lanjut Tukey terhadap tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid

Kekerasan Subset for alpha = .05

Hidrokoloid N 1 2 3

Karagenan 0,5% 5 3185.000 Kontrol 5 3705.260

Gum Arab 0,5% 5 3732.240 CMC 0,2% 5 3944.180

Sig. 1.000 .978 1.000 Kelengketan

Subset for alpha = .05 Hidrokoloid N

1 2 CMC 0,2% 5 -818.960

Gum Arab 0,5% 5 -753.660 Kontrol 5 -661.580 -661.580

Karagenan 0,5% 5 -542.920 Sig. .050 .178

Page 106: Contoh Lain

Lampiran 13. Uji lanjut Tukey terhadap tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid (Lanjutan)

Elastisitas

Subset for alpha = .05 Hidrokoloid N 1 Kontrol 5 17.680

Karagenan 0,5% 5 17.740 Gum Arab 0,5% 5 17.900

CMC 0,2% 5 17.980 Sig. .972

Lampiran 14. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan hidrokoloid Mie dengan CMC 0,2%

Kecerahan (L) oHue Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 69,62 70,31 -83,35 83,10 2 67,69 70,57 -83,27 83,09 3 70,11 70,95 -83,54 83,47

68,66 70,61 -83,39 83,22 Rata-rata 69,64 83,31 SD 0,98 0,09

Mie dengan Gum Arab 0,5%

Kecerahan (L) oHue Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 68,17 69,09 -84,48 85,47 2 70,84 69,47 -84,47 84,81 3 73,27 70,60 -83,85 85,37

69,51 69,72 -84,27 85,22 Rata-rata 69,62 84,75 SD 0,11 0,48

Mie dengan Karagenan 0,5%

Kecerahan (L) oHue Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 70,81 73,16 -84,15 83,67 2 75,60 72,53 -83,21 83,56 3 72,77 72,02 -83,50 83,76

73,21 72,57 -83,62 83,66 Rata-rata 72,89 83,64 SD 0,32 0,02

Page 107: Contoh Lain

Lampiran 15. Analisis ragam terhadap warna mie dengan perlakuan hidrokoloid

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 2.419 3 .806

Within Groups .500 4 .125 Derajat Hue

Total 2.919 7

6.445

.052

Between Groups 19.119 3 6.373

Within Groups 2.339 4 .585 Kecerahan

Total 21.458 7

10.897

.021

Lampiran 16. Uji lanjut Tukey terhadap warna mie dengan perlakuan hidrokoloid

Derajat Hue Subset for alpha = .05

Hidrokoloid N 1 2

CMC 0,2% 2 83.3050 Karagenan 0,5% 2 83.6400 83.6400

Kontrol 2 84.2100 84.2100 Gum Arab 0,5% 2 84.7450

Kecerahan

Subset for alpha = .05 Hidrokoloid N

1 2 Kontrol 2 68.9050

Gum Arab 0,5% 2 69.6150 CMC 0,2% 2 69.6350

Karagenan 0,5% 2 72.8900

Lampiran 17. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan pemasakan Mie Kukus 10’

Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 9144,4 8868,5 -554,8 -607,9 2 9408,2 8801,7 -537,7 -481,2 3 9683,6 9240,8 -556,3 -617,1 4 9165,1 8973,2 -556,8 -499,9 5 7902,7 9462,2 -467,0 -558,0

9060,8 9069,3 -534,5 -552,8 Rata-rata 9065,0 -543,7 SD 4,25 8,65

Page 108: Contoh Lain

Lampiran 17. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan pemasakan (Lanjutan) Mie Kukus 12’

Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 8941,7 10102,4 -488,9 -484,7 2 9750,7 9290,4 -526,7 -362,8 3 9065,3 9153,1 -498,2 -347,4 4 9389,8 8821,2 -619,8 -361,5 5 9266,2 9247,1 -462,3 -536,4

9282,7 9322,8 -519,2 -418,6 Rata-rata 9302,8 -468,9 SD 20,05 50,5

Lampiran 18. Analisis ragam terhadap tekstur mie dengan perlakuan pemasakan

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 100194781.15

6 2 50097390.578

Within Groups 500454.148 12 41704.512

Kekerasan

Total 100695235.304 14

1201.246

.000

Between Groups 94360.528 2 47180.264Within Groups 28499.508 12 2374.959

Kelengketan

Total 122860.036 14

19.866

.000

Lampiran 19. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie dengan perlakuan pemasakan Kekerasan

Subset for alpha = .05 Pemasakan

N 1 2

Kontrol 5 3705.260 Kukus 10' 5 9065.080 Kukus 12' 5 9302.820

Kelengketan

Subset for alpha = .05 Pemasakan N

1 2 3 Kontrol 5 -661.580

Kukus 10' 5 -543.700 Kukus 12' 5 -468.900

Page 109: Contoh Lain

Lampiran 20. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan pemasakan

Mie Kukus 10’ Kecerahan (L) oHue Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

1 62,47 60,73 -89,25 -88,47 2 63,65 62,00 -89,49 -88,41 3 63,81 60,33 -89,04 -88,38

63,31 61,02 -89,26 -88,42 Rata-rata 61,17 -88,84 SD 1,15 0,42

Mie Kukus 12’

Kecerahan (L) oHue Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 59,96 57,52 89,25 87,89 2 59,58 58,17 89,49 89,98 3 58,76 59,66 89,04 89,47

59,43 58,45 89,26 89,11 Rata-rata 58,94 89,19 SD 0,49 0,08

Lampiran 21. Analisis ragam terhadap warna mie dengan perlakuan pemasakan

Sum of Squares df Mean

Square F Sig.

Between Groups 2.419 3 .806

Within Groups .500 4 .125 Derajat Hue

Total 2.919 7

6.445

.052

Between Groups 19.119 3 6.373

Within Groups 2.339 4 .585 Kecerahan (L)

Total 21.458 7

10.897

.021

Lampiran 22. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie dengan perlakuan pemasakan Derajat Hue

Subset for alpha = .05 Pemasakan N

1 2 Kontrol 2 84.2100

Kukus 10' 2 88.8400 Kukus 12' 2 89.1850

Kecerahan (L)

Subset for alpha = .05 Pemasakan N

1 2 Kukus 12' 2 58.9400 Kukus 10' 2 62.1650

Kontrol 2 68.9050

Page 110: Contoh Lain

Lampiran 23. Hasil analisis warna mie kontrol selama penyimpanan L a b oHue Jam 1 2 1 2 1 2 1 2

0 69,08 68,01 2,78 2,81 24,06 23,80 83,41 83,27 24 78,70 73,10 2,88 2,63 25,31 24,05 83,50 83,75 44 77,47 74,44 3,19 3,12 23,21 21,95 82,17 81,90

Lampiran 24. Analisis ragam warna mie kontrol selama penyimpanan

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 72.671 2 36.336 5.230 .105

Within Groups 20.843 3 6.948 Kecerahan

(L) Total 93.514 5

Between Groups 2.875 2 1.437 55.643 .004

Within Groups .077 3 .026 Derajat Hue

Total 2.952 5

Lampiran 25. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie kontrol selama penyimpanan

Derajat Hue Subset for alpha = .05

Mie kontrol N 1 2

44 jam 2 82.0350 0 jam 2 83.3400

24 jam 2 83.6250 Sig. 1.000 .317

Kecerahan

Subset for alpha = .05 Mie kontrol N 1 0 jam 2 68.5450

24 jam 2 75.9000 44 jam 2 75.9550

Sig. .131

Lampiran 26. Hasil analisis warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan

L a b oHue Jam 1 2 1 2 1 2 1 2 0 68,64 69,84 2,86 3,02 23,94 24,07 83,16 82,86 24 71,36 71,15 2,46 2,67 23,20 24,39 83,94 83,75 48 71,14 71,27 3,13 3,08 20,73 22,27 81,43 82,13 56 74,47 73,27 3,35 3,37 20,65 20,47 80,79 80,65

Page 111: Contoh Lain

Lampiran 27. Analisis ragam warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 21.651 3 7.217 19.631 .007

Within Groups 1.471 4 .368 Kecerahan (L)

Total 23.121 7 Between Groups 11.304 3 3.768 47.418 .001

Within Groups .318 4 .079 Derajat Hue

Total 11.622 7 Lampiran 28. Uji lanjut Tukey warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan

Derajat Hue Subset for alpha = .05 Mie kombinasi terbaik N

1 2 56 jam 2 80.7200 48 jam 2 81.7800 0 jam 2 83.0100

24 jam 2 83.8450 Sig. .064 .129

Kecerahan

Subset for alpha = .05 Mie kombinasi terbaik N

1 2 0 jam 2 69.2400

48 jam 2 71.2050 24 jam 2 71.2550 56 jam 2 73.8700

Sig. .093 1.000 Lampiran 29. Hasil analisis tekstur mie kontrol selama penyimpanan

Kekerasan (gfroce) Kelengketan (gfroce) Jam Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata 0 3578,4 3832,1 3705,3 -614,5 -708,6 -661,5 16 2659,7 3259,7 3259,7 -466,6 -557,7 -512,2 32 3590,8 3593,0 3593,0 -706,5 -658,6 -682,6 44 3150,2 3576,0 3363,1 -567,1 -638,5 -602,8

Page 112: Contoh Lain

Lampiran 30. Analisis ragam tekstur mie kontrol selama penyimpanan

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 650258.744 3 216752.915 2.863 .168

Within Groups 302837.085 4 75709.271 Kekerasan

Total 953095.829 7 Between Groups 34913.284 3 11637.761 3.793 .115

Within Groups 12273.195 4 3068.299 Kelengketan

Total 47186.479 7 Lampiran 31. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie kontrol selama penyimpanan

Kekerasan Subset for alpha = .05 Mie kontrol N 1

16 jam 2 2959.700 44 jam 2 3363.100 32 jam 2 3591.900 0 jam 2 3705.250 Sig. .163

Kelengketan

Subset for alpha = .05 Mie kontrol N 1 32 jam 2 -682.550 0 jam 2 -661.550

44 jam 2 -602.800 16 jam 2 -512.150

Sig. .116

Lampiran 32. Hasil analisis tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan

Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Jam Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata 0 3769,2 4057,0 3913,1 -883,0 -724,7 -803,9 16 3188,2 3218,8 3203,5 -559,3 -458,7 -509,0 32 3115,6 3591,7 3353,7 -539,8 -684,1 -612,0 48 2739,4 3083,6 2911,5 -513,1 -589,8 -551,5 56 2523,3 2618,9 2571,1 -357,0 -393,0 -375,0

Page 113: Contoh Lain

Lampiran 33. Analisis ragam tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 2020870.036 4 505217.509 11.533 .010

Within Groups 219024.705 5 43804.941 Kekerasan

Total 2239894.741 9 Between Groups 197070.830 4 49267.708 7.798 .022

Within Groups 31590.315 5 6318.063 Kelengketan

Total 228661.145 9 Lampiran 34. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie kombinasi terbaik selama

penyimpanan Kekerasan

Subset for alpha = .05 Mie kombinasi terbaik N

1 2 56 jam 2 2571.100 48 jam 2 2911.500 16 jam 2 3203.500 3203.500 32 jam 2 3353.650 3353.650 0 jam 2 3913.100 Sig. .065 .091

Kelengketan

Subset for alpha = .05 Mie kombinasi terbaik N

1 2 0 jam 2 -803.850

32 jam 2 -611.950 -611.950 48 jam 2 -551.450 -551.450 16 jam 2 -509.000 -509.000 56 jam 2 -375.000

Sig. .067 .138 Lampiran 35. Hasil analisis aktivitas air (aw ) mie

Nilai aw Sampel

Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Mie kontrol 0,970 0,970 0,970 Mie kombinasi terbaik 0,960 0,970 0,965

Page 114: Contoh Lain

Lampiran 36. Hasil analisis derajat keasaman (pH) mie Mie kontrol Mie kombinasi terbaik Jam

ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata 0 9,00 9,05 9,03 9,18 9,14 9,16 4 9,27 9,27 9,27 9,01 9,02 9,02 8 9,10 9,16 9,13 8,93 9,02 8,98 12 9,15 9,18 9,17 8,99 9,01 9,00 16 9,14 9,04 9,09 9,22 9,31 9,27 20 9,07 9,09 9,08 9,23 9,31 9,27 24 8,95 8,97 8,96 9,03 9,07 9,05 28 9,03 9,02 9,03 8,92 9,01 8,97 32 8,94 9,11 9,03 8,94 9,01 8,98 36 8,98 9,01 9,00 8,93 8,97 8,95 40 8,77 8,84 8,81 8,85 8,82 8,84 44 8,93 8,04 8,49 8,59 8,65 8,62 48 – – – 7,64 8,21 7,93 52 – – – 7,22 7,68 7,45 56 – – – 6,65 7,13 6,89

Lampiran 37. Analisis ragam pH mie kontrol

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .348 2 .174

Within Groups .398 3 .133 Total .745 5

1.312

.390

Lampiran 38. Uji lanjut Tukey tehadap pH mie kontrol

Subset for alpha = .05 Mie Kontrol N 1 44 jam 2 8.4850 24 jam 2 8.9600 0 jam 2 9.0250 Sig. .412

Lampiran 39. Analisis ragam pH mie kombinasi terbaik

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 6.846 3 2.282 32.689 .003

Within Groups .279 4 .070 Total 7.126 7

Page 115: Contoh Lain

Lampiran 40. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie kombinasi terbaik Subset for alpha = .05

Mie kombinasi terbaik N 1 2

56 jam 2 6.8900 48 jam 2 7.9250 24 jam 2 9.0500 0 jam 2 9.1600 Sig. .057 .973

Lampiran 41. Hasil analisis mikrobiologi mie kontrol

Total Mikroba (cfu/g)

Total Kapang-khamir (cfu/g) Total koliform Jam

ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 20 3,1 x 102 1,5 x 103 0 0 0 0 4 1,5 x 102 2,3 x 103 0 0 0 0 8 1,4 x 103 1,7 x 103 1,1 x 100 2,0 x 100 0 0 12 1,5 x 103 8,4 x 103 1,5 x 100 1,9 x 100 0 0 16 1,1 x 104 2,6 x 104 2,7 x 100 3,2 x 100 0 0 20 1,7 x 104 3,3 x 104 3,1 x 100 4,9 x 100 0 0 24 1,2 x 104 1,7 x 104 2,2 x 101 1,8 x 101 0 0 28 1,5 x 105 1,0 x 105 4,6 x 101 2,1 x 101 0 0 32 2,0 x 106 2,1 x 106 4,8 x 101 1,5 x 101 0 0 36 1,3 x 106 1,5 x 106 1,1 x 102 2,0 x 101 0 0 40 6,3 x 106 6,0 x 106 2,8 x 101 1,5 x 101 0 0 44 1,9 x 107 1,7 x 107 7,2 x 101 2,2 x 101 0 0

Lampiran 42. Hasil analisis mikrobiologi mie kombinasi terbaik

Total Mikroba (cfu/g)

Total Kapang-khamir (cfu/g) Total koliform Jam

ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 20 3,0 x 100 4,5 x 100 0 0 0 0 4 3,0 x 100 4,1 x 100 0 0 0 0 8 7,1 x 101 3,0 x 101 0 0 0 0 12 8,1 x 102 3,4 x 102 1,0 x 100 1,0 x 100 0 0 16 3,9 x 103 1,9 x 103 1,4 x 100 1,0 x 100 0 0 20 1,1 x 104 1,1 x 103 2,0 x 100 2,0 x 100 0 0 24 1,2 x 104 2,6 x 104 2,5 x 100 2,2 x 100 0 0 28 4,5 x 104 2,4 x 104 2,0 x 101 1,5 x 101 0 0 32 1,4 x 106 6,1 x 105 2,5 x 101 5,4 x 101 0 0 36 6,1 x 105 7,0 x 105 9,2 x 101 1,6 x 101 0 0 40 1,3 x 106 1,1 x 106 2,3 x 101 6,0 x 101 0 0 44 1,3 x 106 1,9 x 106 1,7 x 101 6,9 x 101 0 0 48 6,7 x 106 4,9 x 106 1,0 x 102 8,4 x 101 0 0 52 1,4 x 107 1,3 x 107 8,0 x 101 2,6 x 102 0 0 56 5,6 x 107 1,4 x 107 2,2 x 103 1,6 x 103 0 0

Page 116: Contoh Lain

Lampiran 43. Scoresheet uji organoleptik

Uji Hedonik

Nama : Tanggal :

Jenis Produk : Mie Basah Matang

Kode sampel :

Instruksi :

1. Netralkan lidah anda dengan air putih yang disediakan (sebelum memulai dan antar

sampel).

2. Cicipi sampel (diamkan selama 10 detik) dan berikan penilaian. Berikan tanda (√) pada

pernyataan yang sesuai dengan pilihan anda untuk setiap parameter.

Penilaian Warna Aroma Tekstur Rasa Keseluruhan Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka

Komentar :

Terima kasih

Page 117: Contoh Lain

Lampiran 44. Skor uji hedonik mie kombinasi terbaik

542 Panelis Warna Aroma Tekstur Rasa Keseluruhan 1 5 5 4 5 5 2 2 2 3 4 3 3 5 3 2 3 4 4 5 5 5 5 5 5 5 4 5 3 4 6 5 5 4 5 5 7 5 4 4 3 5 8 5 5 5 4 5 9 5 3 4 4 5 10 3 2 2 2 2 11 5 3 5 4 5 12 4 4 4 4 5 13 4 2 4 3 3 14 4 5 5 4 5 15 5 3 5 5 5 16 5 4 4 3 5 17 2 5 2 4 4 18 5 2 5 2 4 19 4 5 3 3 3 20 4 3 4 2 3 21 4 1 4 4 4 22 5 5 4 4 5 23 5 3 5 5 5 24 4 4 4 4 4 25 5 4 3 4 4 26 5 5 5 3 4 27 4 2 3 4 3 28 5 5 4 4 4 29 4 3 2 3 3 30 5 5 5 2 4

Rata-rata 4,43 3,70 3,93 3,63 4,17

Page 118: Contoh Lain

Lampiran 45. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut warna

Warna Panelis 988 189 267 325 913 Rata2 1 5 4 5 4 5 4,6 2 4 4 4 5 3 4,0 3 5 1 5 5 3 3,8 4 5 5 5 5 5 5,0 5 5 4 5 5 5 4,8 6 5 3 5 5 4 4,4 7 5 5 5 5 5 5,0 8 5 4 4 5 5 4,6 9 5 4 5 4 4 4,4 10 4 3 5 3 2 3,4 11 5 3 5 4 5 4,4 12 4 3 2 5 5 3,8 13 4 3 3 5 4 3,8 14 5 4 4 4 4 4,2 15 5 4 4 2 5 4,0 16 5 3 4 4 5 4,2 17 5 5 5 4 4 4,6 18 5 3 5 3 5 4,2 19 5 4 4 4 5 4,4 20 4 1 4 5 5 3,8 21 5 5 5 2 4 4,2 22 5 3 5 3 5 4,2 23 5 3 4 4 4 4,0 24 3 2 4 5 5 3,8 25 4 5 4 3 5 4,2 26 5 1 5 4 5 4,0 27 4 4 2 4 5 3,8 28 5 2 5 4 5 4,2 29 4 2 5 5 4 4,0 30 4 4 5 4 5 4,4

Rata2 4,63 3,37 4,40 4,13 4,50 4,21

Page 119: Contoh Lain

Lampiran 46. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut aroma

Aroma Panelis 988 189 267 325 913 Rata2 1 5 4 3 4 5 4,2 2 5 4 3 4 3 3,8 3 3 1 3 5 3 3,0 4 5 5 3 5 4 4,4 5 4 5 5 4 2 4,0 6 3 3 5 4 4 3,8 7 2 3 5 4 3 3,4 8 5 5 4 5 5 4,8 9 3 4 3 4 2 3,2 10 3 3 4 2 2 2,8 11 3 4 5 2 2 3,2 12 3 3 2 5 5 3,6 13 3 2 3 5 5 3,6 14 5 4 3 3 1 3,2 15 3 5 1 5 2 3,2 16 4 2 4 5 3 3,6 17 5 5 5 4 2 4,2 18 2 4 5 3 5 3,8 19 5 4 2 4 4 3,8 20 4 3 4 5 1 3,4 21 2 3 5 3 4 3,4 22 5 4 3 3 4 3,8 23 4 5 3 4 3 3,8 24 4 3 3 5 3 3,6 25 3 4 2 4 5 3,6 26 4 3 5 3 4 3,8 27 3 3 3 1 5 3,0 28 4 2 4 4 4 3,6 29 4 1 5 5 2 3,4 30 5 3 5 3 2 3,6

Rata2 3,77 3,47 3,67 3,90 3,30 3,62

Page 120: Contoh Lain

Lampiran 47. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut tekstur

Tekstur Panelis 988 189 267 325 913 Rata2

1 2 5 5 5 5 4,4 2 4 5 4 5 5 4,6 3 5 1 4 5 3 3,6 4 5 3 4 5 3 4,0 5 5 5 5 5 5 5,0 6 5 2 5 4 4 4,0 7 4 4 5 4 3 4,0 8 5 5 4 5 5 4,8 9 5 5 3 5 3 4,2 10 2 4 4 4 3 3,4 11 5 2 5 4 5 4,2 12 4 4 2 5 5 4,0 13 4 4 3 5 5 4,2 14 5 3 5 4 4 4,2 15 4 5 5 5 2 4,2 16 2 2 4 5 5 3,6 17 5 5 5 4 3 4,4 18 5 4 5 4 2 4,0 19 3 4 4 5 5 4,2 20 3 4 3 4 5 3,8 21 5 4 4 4 5 4,4 22 4 4 5 4 3 4,0 23 5 3 4 3 4 3,8 24 3 3 4 5 3 3,6 25 4 4 2 3 5 3,6 26 5 4 5 3 4 4,2 27 2 3 4 5 5 3,8 28 5 2 3 5 4 3,8 29 4 3 5 5 4 4,2 30 4 4 5 4 2 3,8

Rata2 4,10 3,67 4,17 4,43 3,97 4,07

Page 121: Contoh Lain

Lampiran 48. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut rasa

Rasa Panelis 988 189 267 325 913 Rata2

1 4 4 5 4 5 4,4 2 5 3 4 5 4 4,2 3 2 1 3 4 3 2,6 4 5 4 4 5 4 4,4 5 5 4 5 5 3 4,4 6 5 3 2 4 3 3,4 7 3 4 5 2 4 3,6 8 5 3 5 5 5 4,6 9 5 5 5 5 3 4,6 10 3 4 4 3 2 3,2 11 5 4 5 4 3 4,2 12 2 3 1 3 5 2,8 13 3 3 4 5 4 3,8 14 3 4 2 3 2 2,8 15 4 5 4 5 3 4,2 16 3 3 4 5 5 4,0 17 5 4 5 4 3 4,2 18 5 5 4 3 5 4,4 19 3 5 1 3 5 3,4 20 2 3 3 4 5 3,4 21 5 4 4 2 3 3,6 22 3 2 3 4 5 3,4 23 4 1 4 4 3 3,2 24 3 3 4 5 4 3,8 25 3 5 2 3 2 3,0 26 5 3 5 3 4 4,0 27 3 3 3 3 5 3,4 28 5 3 5 5 3 4,2 29 5 1 5 5 2 3,6 30 3 2 5 3 2 3,0

Rata2 3,87 3,37 3,83 3,93 3,63 3,73

Page 122: Contoh Lain

Lampiran 49. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium secara keseluruhan

Keseluruhan Panelis 988 189 267 325 913 Rata2

1 5 4 5 4 5 4,6 2 4 4 4 5 4 4,2 3 3 1 5 5 3 3,4 4 5 4 4 5 4 4,4 5 5 4 5 5 4 4,6 6 5 3 3 5 3 3,8 7 4 4 5 4 4 4,2 8 5 4 4 5 5 4,6 9 5 5 4 5 4 4,6 10 3 4 4 3 2 3,2 11 5 4 5 4 4 4,4 12 4 3 2 4 5 3,6 13 3 3 3 5 4 3,6 14 5 4 3 4 2 3,6 15 4 5 2 4 3 3,6 16 4 3 4 5 5 4,2 17 5 5 5 4 4 4,6 18 5 4 5 3 4 4,2 19 4 4 4 4 5 4,2 20 3 2 3 4 5 3,4 21 5 4 4 3 4 4,0 22 5 3 3 4 4 3,8 23 5 2 4 4 3 3,6 24 3 3 3 5 4 3,6 25 4 5 2 3 4 3,6 26 5 3 5 3 4 4,0 27 4 2 3 3 5 3,4 28 5 2 5 5 3 4,0 29 4 1 5 5 2 3,4 30 4 3 5 4 3 3,8

Rata2 4,33 3,40 3,93 4,20 3,83 3,94

Page 123: Contoh Lain

Lampiran 50. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut warna

Warna Panelis 553 511 291 756 824 Rata2

1 2 5 3 5 5 4,0 2 2 5 4 5 4 4,0 3 5 5 4 2 5 4,2 4 1 4 5 1 2 2,6 5 5 5 3 2 5 4,0 6 5 4 5 1 5 4,0 7 5 5 4 1 5 4,0 8 5 4 3 2 5 3,8 9 5 5 5 5 5 5,0 10 3 5 5 2 3 3,6 11 3 4 5 2 1 3,0 12 5 4 3 4 1 3,4 13 5 4 2 3 1 3,0 14 2 3 4 2 5 3,2 15 5 5 5 5 1 4,2 16 1 5 5 4 5 4,0 17 4 5 5 4 5 4,6 18 5 5 4 1 2 3,4 19 5 4 4 3 5 4,2 20 1 3 4 5 2 3,0 21 2 1 4 4 5 3,2 22 3 5 3 4 4 3,8 23 3 3 2 2 5 3,0 24 1 4 5 1 3 2,8 25 1 3 3 2 1 2,0 26 1 5 5 4 1 3,2 27 5 4 3 2 2 3,2 28 2 3 4 1 1 2,2 29 5 2 4 4 1 3,2 30 1 2 2 2 2 1,8

Rata2 3,27 4,03 3,90 2,83 3,23 3,45

Page 124: Contoh Lain

Lampiran 51. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut aroma

Aroma Panelis 553 511 291 756 824 Rata2 1 1 1 1 2 5 2,0 2 1 2 4 3 2 2,4 3 1 4 1 1 5 2,4 4 1 3 2 1 4 2,2 5 2 5 1 2 4 2,8 6 1 5 1 1 2 2,0 7 2 1 2 1 4 2,0 8 1 2 2 1 4 2,0 9 2 1 3 2 4 2,4 10 2 5 2 3 2 2,8 11 2 3 2 1 1 1,8 12 1 1 2 2 4 2,0 13 2 1 1 1 1 1,2 14 1 1 2 1 2 1,4 15 2 1 2 1 5 2,2 16 1 1 3 1 4 2,0 17 1 1 4 1 2 1,8 18 1 1 2 2 3 1,8 19 1 1 2 1 2 1,4 20 1 1 3 1 3 1,8 21 2 1 1 5 4 2,6 22 1 1 2 2 2 1,6 23 2 1 1 1 1 1,2 24 1 4 3 1 3 2,4 25 1 3 4 1 1 2,0 26 1 3 1 1 1 1,4 27 1 2 2 1 2 1,6 28 1 1 5 1 1 1,8 29 1 2 3 4 1 2,2 30 1 3 4 1 2 2,2

Rata2 1,30 2,07 2,27 1,57 2,70 1,98

Page 125: Contoh Lain

Lampiran 52. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut tekstur

Tekstur Panelis 553 511 291 756 824 Rata2 1 3 4 2 1 5 3,0 2 4 2 5 5 2 3,6 3 4 1 3 1 2 2,2 4 1 1 2 1 2 1,4 5 5 5 1 2 2 3,0 6 2 5 1 1 4 2,6 7 3 1 2 1 4 2,2 8 5 2 2 2 2 2,6 9 3 1 2 2 5 2,6 10 3 1 5 2 3 2,8 11 2 2 3 3 1 2,2 12 5 1 5 2 1 2,8 13 4 1 2 1 1 1,8 14 2 1 3 2 1 1,8 15 4 2 4 4 5 3,8 16 3 1 2 2 5 2,6 17 2 1 4 1 2 2,0 18 4 1 2 1 2 2,0 19 3 2 2 1 4 2,4 20 1 1 2 2 2 1,6 21 4 1 3 2 4 2,8 22 4 1 4 1 1 2,2 23 3 1 2 1 5 2,4 24 5 4 3 2 4 3,6 25 1 2 2 1 1 1,4 26 1 5 4 1 1 2,4 27 5 5 2 1 4 3,4 28 2 2 4 1 1 2,0 29 5 3 4 3 4 3,8 30 3 3 4 3 2 3,0

Rata2 3,20 2,10 2,87 1,77 2,73 2,53

Page 126: Contoh Lain

Lampiran 53. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut rasa

Rasa Panelis 553 511 291 756 824 Rata2

1 1 1 2 2 5 2,2 2 1 2 2 4 5 2,8 3 1 2 1 1 5 2,0 4 1 4 3 1 3 2,4 5 5 2 1 2 2 2,4 6 3 5 1 1 4 2,8 7 4 1 3 2 4 2,8 8 1 1 1 1 5 1,8 9 3 1 2 4 4 2,8 10 3 1 5 2 2 2,6 11 3 4 2 1 5 3,0 12 4 1 5 1 1 2,4 13 1 1 2 1 1 1,2 14 1 1 2 1 1 1,2 15 2 1 4 4 1 2,4 16 1 1 5 1 4 2,4 17 1 1 5 1 3 2,2 18 1 1 4 1 5 2,4 19 3 4 4 1 3 3,0 20 1 1 3 1 3 1,8 21 2 1 2 2 3 2,0 22 1 1 2 1 3 1,6 23 2 1 1 1 2 1,4 24 2 2 2 2 3 2,2 25 1 3 4 1 1 2,0 26 1 4 2 1 1 1,8 27 4 3 3 1 1 2,4 28 1 3 4 1 1 2,0 29 1 2 2 3 1 1,8 30 2 2 1 1 2 1,6

Rata2 1,93 1,93 2,67 1,57 2,80 2,18

Page 127: Contoh Lain

Lampiran 54. Skor uji hedonik mie matang pasar secara keseluruhan

Keseluruhan Panelis 553 511 291 756 824 Rata2 1 1 2 2 2 5 2,4 2 1 2 4 4 3 2,8 3 2 2 3 1 4 2,4 4 1 3 2 1 3 2 5 5 4 1 2 2 2,8 6 2 5 1 1 4 2,6 7 4 1 2 1 4 2,4 8 1 1 2 1 5 2 9 3 1 2 3 5 2,8 10 3 1 5 2 2 2,6 11 3 3 2 1 1 2 12 4 2 3 2 1 2,4 13 1 1 2 1 1 1,2 14 1 2 2 1 1 1,4 15 2 1 4 4 1 2,4 16 1 2 4 1 5 2,6 17 1 1 5 1 3 2,2 18 1 1 3 1 3 1,8 19 4 1 2 1 4 2,4 20 1 1 3 1 3 1,8 21 2 1 2 2 2 1,8 22 1 1 2 2 3 1,8 23 2 2 1 1 1 1,4 24 1 3 4 2 3 2,6 25 1 3 4 1 1 2 26 1 4 2 2 1 2 27 4 2 3 1 2 2,4 28 1 2 3 1 1 1,6 29 2 1 3 4 1 2,2 30 1 2 2 1 2 1,6

Rata2 1,93 1,93 2,67 1,63 2,57 2,19

Page 128: Contoh Lain

Lampiran 55. Analisis ragam terhadap atribut warna mie Source Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 30.292(a) 31 .977 2.088 .008 Intercept 1462.487 1 1462.487 3125.382 .000 SAMPEL 15.793 2 7.896 16.875 .000 PANELIS 14.500 29 .500 1.068 .405 Error 27.140 58 .468 Total 1519.920 90 Corrected Total 57.433 89

Lampiran 56. Uji lanjut Duncan terhadap atribut warna mie (p<0,05)

Subset Sampel N

1 2 Mie matang pasar 30 3.453 Mie kontrol 30 4.207 Mie kombinasi terbaik 30 4.433

Sig. 1.000 .204

Lampiran 57. Analisis ragam terhadap atribut aroma mie

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 77.444(a) 31 2.498 4.250 .000 Intercept 864.900 1 864.900 1471.263 .000 PANELIS 20.900 29 .721 1.226 .251 SAMPEL 56.544 2 28.272 48.093 .000

Error 34.096 58 .588 Total 976.440 90

Corrected Total 111.540 89

Lampiran 58. Uji lanjut Duncan terhadap atribut aroma mie (p<0,05)

Subset Sampel N

1 2 Mie matang pasar 30 1.980 Mie kontrol 30 3.620 Mie kombinasi terbaik 30 3.700

Sig. 1.000 .688

Lampiran 59. Analisis ragam terhadap atribut tekstur mie

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 57.767(a) 31 1.863 3.572 .000 Intercept 1102.500 1 1102.500 2113.651 .000 SAMPEL 42.467 2 21.233 40.707 .000 PANELIS 15.300 29 .528 1.011 .472

Error 30.253 58 .522 Total 1190.520 90

Corrected Total 88.020 89

Page 129: Contoh Lain

Lampiran 60. Uji lanjut Duncan terhadap atribut tekstur mie (p<0,05) Subset Sampel

N 1 2

Mie matang pasar 30 2.533 Mie kombinasi terbaik 30 3.900 Mie kontrol 30 4.067 Sig. 1.000 .375

Lampiran 61. Analisis ragam terhadap atribut rasa mie

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 63.721(a) 31 2.056 5.077 .000 Intercept 910.116 1 910.116 2247.902 .000 PANELIS 18.591 29 .641 1.583 .068 SAMPEL 45.131 2 22.565 55.734 .000

Error 23.483 58 .405 Total 997.320 90

Corrected Total 87.204 89

Lampiran 62. Uji lanjut Duncan terhadap atribut rasa mie (p<0,05)

Subset Sampel

N 1 2

Mie matang pasar 30 2.180 Mie kombinasi terbaik 30 3.633 Mie kontrol 30 3.727 Sig. 1.000 .572

Lampiran 63. Analisis ragam terhadap keseluruhan mie

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 88.250(a) 31 2.847 8.838 .000 Intercept 1051.308 1 1051.308 3263.923 .000 PANELIS 14.772 29 .509 1.581 .069 SAMPEL 73.478 2 36.739 114.061 .000

Error 18.682 58 .322 Total 1158.240 90

Corrected Total 106.932 89

Lampiran 64. Uji lanjut Duncan terhadap keseluruhan mie (p<0,05)

Subset Sampel

N 1 2

Mie matang pasar 30 2.147 Mie kontrol 30 3.940 Mie kombinasi terbaik 30 4.167 Sig. 1.000 .127