bab ii landasan teori 2.1 tinjauan teori 2.1.1 teori ... filedibandingkan dengan orang-orang yang...
TRANSCRIPT
14
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Teori Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle Theory)
Teori tentang fraud triangle dikemukan pertama kali oleh Cressey, yaitu
pada tahun 1953. Berdasarkan penelitian Cressey (1953 dalam Hall &
Singleton, 2007:264), orang yang melakukan aktivitas curang akibat interaksi
dorongan yang berasal dari dalam kepribadian individu terkait dan dari
lingkungan eksternal. Dorongan ini diklasifikasikan ke dalam tiga kategori
umum yaitu:
Sumber:Arens, et al. (2008:375)
Gambar 2.1 Fraud Triangle
15
a. Incentive/Pressure (Tekanan)
Tekanan merupakan situasi dimana seseorang merasa atau memiliki
kebutuhan untuk melakukan kecurangan, pengaruh desakan dalam pikiran,
dan keinginan inilah yang menjadi kekuatan moral. Tekanan mengacu
pada sesuatu yang telah terjadi di kehidupan pribadi pelaku yang
menciptakan kebutuhan yang memotivasinya untuk melakukan
kecurangan (Arens, et al., 2012:375).
Auditor yang melakukan kecurangan didasarkan pada tekanan yang
diberikan oleh partner untuk menutupi kecurangan pada laporan keuangan
yang dilakukan oleh klien, dengan tujuan agar klien tersebut tidak
berpindah pada Kantor Akuntan Publik (KAP) lain. Selain itu juga untuk
menjaga reputasi dan citra yang baik diantara auditor dan klien.
b. Opportunity (Peluang)
Peluang merupakan situasi dimana seseorang percaya adanya
kemungkinkan untuk melakukan kecurangan dan percaya bahwa
kecurangan tersebut tidak terdeteksi oleh orang lain. Kecurangan yang
disebabkan oleh peluang dapat terjadi karena pengendalian internal yang
lemah, manajemen pengawasan yang kurang baik dan penggunaan posisi.
Kegagalan dalam menetapkan prosedur yang memadai untuk mendeteksi
kecurangan juga meningkatkan kesempatan terjadinya kecurangan (Arens,
et al., 2012:375).
Adanya peluang menyebabkan adanya kerjasama antara auditor dan
klien untuk menutupi kecurangan yang dilakukan. Sehingga kemungkinan
16
auditor untuk melakukan kecurangan juga semakin tinggi, karena dalam
posisi tersebut faktor independensi seorang auditor tidak lagi diperhatikan.
c. Rationalization (Rasionalisasi)
Rasionalisasi merupakan kondisi dimana seseorang yang telah
melakukan kecurangan mencari pembenaran atas perbuatannya, namun
alasan tersebut tidak tepat. Rasionalisasi diperlukan agar pelaku dapat
mencerna perilakunya yang melawan hukum untuk tetap mempertahankan
jati dirinya sebagai orang yang dipercaya. Rasionalisasi merupakan bagian
dari fraud triangle yang paling sulit untuk diukur. Bagi mereka yang
umumnya tidak jujur, akan lebih mudah untuk merasionalisasi penipuan,
dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki standar moral yang
tinggi (Arens, et al., 2012:375).
Auditor dalam memeriksa laporan keuangan klien harus memiliki data
dan bukti yang lengkap, tetapi adanya data dan bukti yang lengkap tersebut
belum dapat dipastikan kebenarannya. Sehingga memungkinkan auditor
untuk melakukan kecurangan dengan ketidakakuratan data dan bukti
tersebut yang bertujuan untuk menjaga reputasi diantara auditor dan klien.
2.1.2 Teori Etika
Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang dalam bentuk jamaknya (ta
etha) berarti adat istiadat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini etika berkaitan
dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada
suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan
17
dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan
segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang
lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain (Keraf, 2000:13). Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa etika merupakan kebiasaan yang
mengikat secara moral hubungan manusia yang dituangkan dalam aturan
maupun pedoman yang berlaku di masyarakat.
Menurut Keraf (2000:22) teori etika secara umum terbagi menjadi dua
jenis teori, yaitu:
1. Teori Etika Deontologi
Istilah ‘deontologi’ berasal dari kata Yunani yaitu deon yang berarti
kewajiban. Oleh karena itu, etika deontologi menekankan kewajiban
manusia untuk bertindak secara baik. Menurut teori deontologi, suatu
tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau
tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan tersebut
baik untuk diri sendiri. Dengan kata lain, tindakan tersebut bernilai moral
karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang
harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan tersebut.
Misalnya, suatu tindakan bisnis akan dinilai baik oleh etika deontologi
bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik bagi pelakunya,
melainkan karena tindakan itu sejalan dengan kewajiban si pelaku untuk,
misalnya, memberikan pelayanan yang terbaik kepada semua konsumen,
untuk mengembalikan utangnya sesuai dengan kesepakatan, untuk
menawarkan barang dan jasa dengan mutu yang sebanding dengan
18
harganya, dan sebagainya. Jadi, nilai tindakan itu tidak ditentukan oleh
akibat atau tujuan baik dari tindakan itu.
Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi,
kemauan baik, dan watak yang kuat dari pelaku. Atau sebagaimana yang
dikatakan Immanuel Kant (1734-1804), kemauan baik harus dinilai baik
pada dirinya sendiri terlepas dari apapun juga. Maka dalam menilai seluruh
tindakan, kemauan baik harus selalu dinilai paling pertama dan menjadi
kondisi dari segalanya.
2. Teori Etika Telelogi
Berbeda dengan teori etika deontologi, teori etika telelogi justru
mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin
dicapai dengan tindakan itu atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh
tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, apabila bertujuan untuk mencapai
sesuatu yang baik atau akibat yang ditimbulkannya. Misalnya, mencuri
bagi teori etika telelogi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan baik
buruknya tindakan tersebut, melainkan oleh tujuan dan akibat dari
tindakan itu sendiri. Jika tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik.
Sebaliknya, jika tujuannya buruk maka tindakan itu dinilai buruk juga.
Atas dasar tersebut, dapat dikatakan bahwa teori etika telelogi lebih
situasional karena tujuan dan akibat dari suatu tindakan dapat sangat
tergantung pada situasi khusus tertentu. Oleh karena itu, setiap norma dan
kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi.
19
2.1.3 Audit
2.1.3.1 Pengertian Audit
Terdapat banyak pengertian audit yang dikemukakan oleh para ahli.
Menurut Konrath (2002 dalam Agoes, 2012:2) mendefinisikan auditing
sebagai suatu proses sistematis untuk secara objektif mendapatkan dan
mengevaluasi bukti mengenai asersi tentang kegiatan-kegiatan dan
kejadian-kejadian ekonomi untuk meyakinkan tingkat keterkaitan antara
asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan mengomunikasikan
hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Definisi lain menyatakan bahwa auditing adalah proses pengumpulan
dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan
derajat kesesuaian antara informasi tersebut dengan kriteria yang telah
ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang independen
dan kompeten (Arens, et al., 2008:4).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa auditing secara umum adalah
proses pengumpulan dan pengevaluasian bukti atas suatu informasi yang
dilakukan oleh seseorang yang kompeten dan independen untuk
menentukan dan melaporkan apakah tingkat kesesuaian informasi tersebut
sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan yang kemudian hasilnya
disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut Halim
(2008:147) tujuan umum audit adalah menyatakan pendapat yang berkaitan
dengan kewajaran atas semua hal yang material, posisi keuangan, dan hasil
usaha serta arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
20
2.1.3.2 Jenis-jenis Audit
Menurut Boynton, et al. (2006:5) terdapat tiga jenis audit yang utama, yaitu:
1. Audit Laporan Keuangan (Financial Statement Audit)
Audit laporan keuangan berkaitan dengan kegiatan memperoleh dan
mengevaluasi bukti tentang laporan-laporan entitas dengan maksud agar
dapat memberikan pendapat apakah laporan-laporan tersebut telah
disajikan secara wajar sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, yaitu
prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum (Generally Accepted
Accounting Principles).
2. Audit Kepatuhan (Compliance Audit)
Audit kepatuhan berkaitan dengan kegiatan memperoleh dan memeriksa
bukti-bukti untuk menetapkan apakah kegiatan keuangan atau operasi
suatu entitas telah sesuai dengan persyaratan, ketentuan, atau peraturan
tertentu. Kriteria yang ditetapkan dalam audit kepatuhan berasal dari
berbagai sumber. Sebagai contoh, manajemen dapat mengeluarkan
kebijakan atau ketentuan yang berkenaan dengan kondisi kerja,
partisipasi dalam program pensiun, serta pertentangan kepentingan.
Audit kepatuhan banyak dijumpai dalam pemerintahan (Mulyadi,
2010:30).
3. Audit Operasional (Operational Audit)
Audit operasional atau audit manajemen adalah pengevaluasian terhadap
efisiensi dan efektivitas operasi perusahaan. Dalam konteks audit
manajemen meliputi seluruh operasi internal perusahaan yang harus
21
dipertanggungjawabkan kepada berbagai pihak yang memiliki
wewenang yang lebih tinggi (Bayangkara, 2008:2). Menurut Mulyadi
(2010:30) tujuan audit operasional adalah untuk:
a) Mengevaluasi kinerja.
b) Mengidentifikasi kesempatan untuk peningkatan.
c) Membuat rekomendasi untuk perbaikan atau tindakan lebih lanjut.
2.1.3.4 Standar Audit
Standar audit adalah suatu ukuran pelaksanaan tindakan yang
merupakan pedoman umum bagi auditor dalam melaksanakan audit
(Mulyadi, 2002:16). Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) adalah
kodifikasi berbagai pernyataan standar teknis yang merupakan panduan
dalam memberikan jasa bagi Akuntan Publik di Indonesia. SPAP
dikeluarkan oleh Dewan Standar Profesional Akuntan Publik Institut
Akuntan Publik Indonesia (DSPAP IAPI) (Rachmianty, 2015). Adapun
standar audit yang berlaku per 1 Januari 2013 (SA 2013) adalah:
22
Sumber: IAPI
Gambar 2.2 Standar Audit 2013
2.1.4 Skeptisme Profesional
Skeptisme berasal dari kata skeptis yang berarti kurang percaya atau
ragu-ragu (Gusti dan Ali, 2008). Skeptisme profesional merupakan sikap
yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi
secara kritis terhadap bukti (Rai, 2008:51).
Skeptisme profesional adalah sikap yang meliputi pikiran yang selalu
bertanya-tanya (questioning mind), waspada (alert), terhadap kondisi dan
keadaan yang mengindikasikan adanya kemungkinan salah saji material yang
Standar Audit
Prinsip Umumdan
Tanggungjawab
SA 200
SA 210
SA 220
SA 230
SA 240
SA 250
SA 260
SA 265
Penilaian Risiko danRespons terhadapRisiko yang dinilai
SA 300
SA 315
SA 320
SA 330
SA 402
SA 450
Bukti Audit
SA 500
SA 501
SA 505
SA 510
SA 520
SA 530
SA 540
SA 550
SA 560
SA 570
SA 580
Penggunaan HasilPekerjaan Pihak
Lain
SA 600
SA 610
SA 620
Kesimpulan Audit dan Pelaporan
SA 700
SA 705
SA 706
SA 710
SA 720
Area Khusus
SA 800
SA 805
SA 810
23
disebabkan oleh kesengajaan atau kesalahan dan penilaian (assesment) bukti-
bukti audit secara kritis (International Federation of Accountants (IFAC)
dalam Tuanakotta, 2011:78).
Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
skeptisme profesional adalah sikap kritis dan tidak mudah percaya dalam diri
seorang auditor terhadap bukti-bukti yang ada. Auditor harus melakukan
sikap tersebut agar dapat menghasilkan laporan audit yang berkualitas,
sehingga laporan yang digunakan dapat menyatakan pendapat (opini) yang
sebenar-benarnya bagi para pihak yang berkepentingan terhadap laporan
audit tersebut. Menurut Rai (2008:51) dalam menggunakan sikap skeptisme
profesional seorang auditor tidak harus puas dengan bukti yang kurang
meyakinkan walaupun menurut anggapannya manajemen adalah jujur.
Penggunaan sikap skeptisme profesional auditor dapat digunakan ketika
auditor menelaah bukti-bukti yang sudah ada, lalu mendeteksi tanda-tanda
kecurangan yang terlihat atau yang dirasa.
Standar Audit (SA 200, 2013) menyatakan bahwa skeptisme profesional
mencakup kewaspadaan terhadap hal-hal sebagai berikut:
1. Bukti audit yang bertentangan dengan bukti audit lain yang diperoleh.
2. Informasi yang menimbulkan pertanyaan tentang keandalan dokumen dan
tanggapan terhadap permintaan keterangan yang digunakan sebagai bukti
audit.
3. Keadaan yang mengindikasikan adanya kemungkinan kecurangan.
24
4. Kondisi yang menyarankan perlunya prosedur audit tambahan selain
prosedur audit tambahan selain prosedur yang disyaratkan oleh standar
audit.
Sehingga seorang auditor yang memiliki sikap skeptis tidak akan menerima
begitu saja penjelasan dari klien, tetapi akan mengajukan pertanyaan untuk
memperoleh alasan, bukti, dan konfirmasi mengenai objek yang
dipermasalahkan. Tanpa menerapkan skeptisme profesional, auditor hanya
akan menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja dan sulit
untuk menemukan salah saji yang disebabkan oleh kecurangan, karena
kecurangan biasanya akan disembunyikan oleh pelakunya (Noviyanti, 2008).
Auditor pada tingkat skeptisme profesional yang tinggi akan mencari
informasi lebih banyak dibandingkan auditor yang memiliki skeptisme
profesional yang rendah. Skeptisme profesional yang rendah menumpulkan
kepekaan auditor terhadap kecurangan baik yang nyata maupun yang berupa
potensi, atau terhadap tanda-tanda bahaya (warning signs) yang
mengindikasikan adanya kesalahan (accounting error) dan kecurangan (fraud)
(Tuanakotta, 2011:77). Oleh karena itu, sikap skeptisme sangat dibutuhkan
oleh auditor dalam mendeteksi kecurangan.
Adapun dimensi dan indikator untuk mengukur variabel skeptisme
profesional yang mengadopsi dari penelitian Hurtt, Eining dan Plumlee (2010)
adalah sebagai berikut:
a. Interogatif (Questioning Mind)
1) Menolak suatu pernyataan atau statement tanpa adanya bukti yang jelas.
25
2) Memberikan pertanyaan untuk pembuktian suatu objek tertentu kepada
auditor lain.
3) Memiliki kemampuan dalam mendeteksi kecurangan
b. Kehati-hatian mengambil keputusan (Suspension of Judgement)
1) Membutuhkan informasi yang lebih untuk membuat keputusan.
2) Tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan.
3) Tidak akan membuat keputusan jika informasi yang ada belum valid.
c. Rasa ingin tahu (Search for Knowledge)
1) Berusaha mencari dan menemukan informasi yang baru.
2) Senang apabila dapat menemukan dan membuktikan informasi yang baru
tersebut.
3) Sering bertanya kepada rekan-rekan yang lain sebagai sarana untuk
menambah informasi.
d. Pemahaman interpersonal (Interpersonal Understanding)
1) Berusaha untuk memahami perilaku orang lain.
2) Berusaha untuk memahami dan mengerti alasan seseorang berperilaku
demikian.
e. Percaya diri (Self Confidence)
1) Mempertimbangkan penjelasan dari orang lain.
2) Berusaha untuk memecahkan informasi yang tidak konsisten.
f. Keyakinan (Self Determination)
1) Tidak akan secara langsung menerima ataupun membenarkan pernyataan
dari orang lain.
26
2) Tidak mudah untuk dipengaruhi oleh orang lain terhadap suatu hal.
2.1.5 Independensi Auditor
Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak
dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi
juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan
fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam diri
auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya (Mulyadi,
2002:26).
Independensi dalam pengauditan adalah penggunaan cara pandang yang
tidak bias dalam pelaksanaan pengujian audit, evaluasi hasil pengujian
tersebut, dan pelaporan hasil temuan audit (Arens, et al. 2014:25).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa independensi adalah sikap seorang
auditor yang bebas dari pengaruh dan tidak memihak (netral) kepada siapapun
serta bersikap objektif dalam memberikan pendapat (opini) terhadap klien.
Auditor harus bersikap jujur, bebas dari kewajiban terhadap kliennya, dan
tidak mempunyai kepentingan dengan klien.
Pada saat melakukan auditing, auditor harus mempertahankan sikap
independensi agar auditor tidak memihak pada siapapun sehingga dapat
bersikap objektif dan bertindak adil dalam memberikan opini ataupun
kesimpulannya (Hartan, 2016). Oleh karena itu, setiap auditor dalam setiap
menjalankan tugasnya dituntut untuk bersikap independen dari pihak
27
manapun. Menurut Halim (2001:21) independensi auditor dikategorikan
menjadi tiga aspek, yaitu:
1. Independensi senyatanya (Independent in Fact), yaitu keadaan dimana
auditor memiliki kejujuran yang tinggi dan melakukan audit secara
objektif.
2. Independensi dalam penampilan (Independent in Appeareance), yaitu
pandangan pihak luar terhadap diri auditor sehubungan dengan
pelaksanaan audit.
3. Independensi dari sudut keahlian atau kompetensi (Independent in
Competence), hal ini berhubungan erat dengan kompetensi atau
kemampuan auditor dalam melaksanakan dan melaksanakan tugasnya.
Adapun dimensi dan indikator untuk mengukur variabel independensi
auditor mengadopsi dari penelitian Sawyer (2005) adalah sebagai berikut:
a. Independensi dalam program audit
1) Bebas dari intervensi manajerial atas program dan prosedur audit.
2) Bebas dari segala persyaratan untuk penugasan audit.
b. Independensi dalam verifikasi
1) Bebas dalam mengakses semua catatan, memeriksa aktiva, dan karyawan
yang relevan dengan audit yang dilakukan.
2) Mendapatkan kerjasama yang aktif dari karyawan manajemen selama
verifikasi audit.
28
3) Menuangkan segala usaha manajerial yang berusaha membatasi aktivitas
yang diperiksa atau membatasi perolehan bahan bukti ke Laporan Hasil
Audit (LHA).
4) Bebas dari kepentingan pribadi yang menghambat verifikasi audit.
c. Independensi dalam pelaporan
1) Bebas dari perasaan wajib memodifikasi dampak atau signifikansi dari
fakta-fakta yang dilaporkan.
2) Melaporkan hasil pemeriksaan audit bebas dari bahasa yang dapat
menimbulkan multi tafsir.
3) Bebas dari usaha pihak lain yang dapat mempengaruhi pertimbangan
pengungkapan isi laporan.
2.1.6 Kompetensi Auditor
Menurut Agoes (2014:146) kompetensi adalah suatu kecakapan dan
kemampuan dalam menjalankan pekerjaan atau profesi. Orang yang
kompeten berarti orang yang dapat menjalankan pekerjaannya dengan
kualitas hasil yang baik. Dalam arti luas kompetensi mencakup penguasaan
ilmu/pengetahuan (knowledge), dan keterampilan (skill) yang mencukupi
serta mempunyai sikap dan perilaku (attitude) yang sesuai untuk
melaksanakan pekerjaan atau profesinya.
Kompetensi merupakan suatu keharusan bagi seorang auditor untuk
memiliki pendidikan formal di bidang auditing dan akuntansi, pengalaman
29
praktik yang memadai bagi pekerjaan yang sedang dilakukan, serta mengikut
pendidikan profesional yang berkelanjutan (Arens, et al., 2012:42).
Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kompetensi adalah pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh seorang
auditor yang di dapat melalui pendidikan formal maupun pengalaman yang
di dapat selama menjadi auditor untuk menghasilkan hasil pekerjaan, yaitu
laporan audit yang dapat dipertanggungjawabkan. Kompetensi yang dimiliki
auditor merupakan salah satu komponen penting dalam melaksanakan audit,
karena kompetensi akan mempengaruhi tingkat keberhasilan auditor dalam
mendeteksi kecurangan.
Menurut Lastanti (2005) melalui kompetensi yang baik, auditor dapat
mengasah sensitivitas (kepekaannya) dalam menganalisis laporan keuangan
yang di auditnya sehingga auditor mengetahui apakah di dalam laporan
keuangan tersebut, terdapat tindakan kecurangan atau tidak serta mampu
mendeteksi trik-trik rekayasa yang dilakukan dalam melakukan kecurangan
tersebut.
Adapun dimensi dan indikator untuk mengukur variabel kompetensi
auditor yang mengadopsi dari penelitian Reni (2010) adalah:
a. Komponen pengetahuan
1) Memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bidang audit.
b. Kompetensi lain
1) Mengikuti pendidikan umum dan pendidikan khusus untuk mencapai
kompetensi profesional dalam melakukan pemeriksaan.
30
c. Keahlian yang menyangkut objek pemeriksaan
1) Memiliki pengetahuan tentang standar yang berlaku bagi objek
pemeriksaan yang bersangkutan.
d. Keahlian yang menyangkut teknik atau cara melakukan pemeriksaan
1) Melakukan rencana menyangkut objek pemeriksaan, mempunyai daftar
isian proyek, rencana kerja, dan syarat-syarat pekerjaan.
2) Memiliki teknik pemeriksaan yang diperlukan untuk memperoleh
informasi yang maksimal mengenai objek pemeriksaan.
3) Memerlukan keterampilan dan kemampuan untuk bekerjasama dalam
melakukan audit.
e. Keahlian dalam menyampaikan hasil pemeriksaan.
1) Memerlukan data yang cukup untuk dapat menarik kesimpulan dan
menyajikan laporan audit yang baik menyangkut objek yang diperiksa.
2) Menyampaikan segala temuan, informasi, dan data yang diperoleh
dalam melakukan audit kepada pimpinan dan pihak yang diperiksa.
3) Memiliki berbagai kemampuan, terutama keahlian bahasa yang baik,
benar, efisien, teliti, dan cermat dalam menyampaikan hasil audit.
2.1.7 Pengalaman Audit
Menurut Asih (2006:12) pengalaman merupakan suatu proses
pembelajaran dan pertambahan perkembangan potensi bertingkah laku baik
dari pendidikan formal maupun non formal atau bisa diartikan sebagai suatu
proses yang membawa seseorang kepada suatu pola tingkah laku yang lebih
31
tinggi. Sedangkan menurut Sucipto (2007) pengalaman adalah pengetahuan
atau keahlian yang diperoleh dari suatu peristiwa melalui pengamatan
langsung maupun berpartisipasi dalam peristiwa tersebut.
Menurut Suraida (2005) pengalaman audit adalah pengalaman dalam
melakukan audit laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu maupun
banyaknya penugasan yang pernah ditangani. Bahwa semakin banyak
pengalaman audit seorang auditor maka semakin dapat menghasilkan
berbagai macam dugaan dalam menjelaskan temuan audit.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pengalaman
auditor adalah keahlian yang di dapat oleh auditor selama melakukan audit
atas suatu entitas melalui pengamatan yang dilakukan secara langsung oleh
auditor tersebut. Menurut Agoes (2012:23) auditor yang mempunyai
pemahaman yang lebih baik, mereka juga lebih mampu memberi penjelasan
yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat
mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari
sistem akuntansi yang mendasar.
Pengalaman akan mempengaruhi sensitivitas auditor terhadap isyarat-
isyarat kecurangan. Semakin banyak pengalaman audit seorang auditor maka
semakin dapat menghasilkan berbagai macam dugaan dalam menjelaskan
temuan audit. Dengan begitu, seorang auditor dengan jam terbang yang tinggi
serta biasa menemukan fraud dimungkinkan lebih teliti dalam mendeteksi
fraud dibanding auditor dengan jam terbang yang rendah. Auditor yang
berpengalaman adalah auditor yang mampu mendeteksi, memahami dan
32
bahkan mencari penyebab dari munculnya kecurangan-kecurangan tersebut
(Hartan, 2014).
Adapun dimensi dan indikator untuk mengukur variabel pengalaman
audit mengadopsi dari penelitian Arens (2008), adalah:
a. Pendidikan formal
1) Telah menjalani pendidikan formal di bidang auditing dan akuntansi.
b. Pengalaman praktis
1) Memiliki pengalaman praktis yang cukup banyak dalam bidang kerja
yang dilakukan.
c. Profesi yang berkelanjutan
1) Telah menjalani profesi yang berkelanjutan.
d. Kualifikasi teknis
1) Memiliki kualifikasi teknis serta berpengalaman dalam industri yang
diaudit.
2) Semakin handal dalam melakukan audit seiring dengan banyaknya
tugas (audit).
2.1.8 Kecurangan (Fraud)
2.1.8.1 Pengertian Kecurangan (Fraud)
Kecurangan (fraud) sendiri memilik banyak definisi. Menurut Fauzi
(2015:12) kecurangan (fraud) adalah salah saji atau penghilangan secara
sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk
33
mengelabui pemakai laporan keuangan. Sedangkan menurut Boynton, et al.
(2015:142) kecurangan (fraud) yaitu penipuan yang direncanakan, misalnya
salah saji, menyembunyikan, atau tidak mengungkapkan fakta yang material
sehingga dapat merugikan pihak lain.
Menurut International Standards on Auditing (ISA) seksi 240 fraud
didefinisikan sebagai tindakan yang disengaja oleh anggota manajemen
perusahaan, pihak yang berperan dalam governance perusahaan, karyawan
atau pihak ketiga yang melakukan pembohongan atau penipuan untuk
memperoleh keuntungan yang tidak adil atau ilegal.
Sehingga dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
kecurangan (fraud) adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja yaitu
dengan menghilangkan bukti, memanipulasi laporan keuangan, dan adanya
salah saji material yang direncanakan. Kecurangan (fraud) yang dilakukan
dapat menyebabkan kerugian bagi pihak lain.
Pada dasarnya terdapat dua tipe kecurangan, yaitu kecurangan eksternal
dan kecurangan internal. Kecurangan eksternal adalah kecurangan yang
dilakukan oleh pihak luar terhadap suatu perusahaan/entitas, seperti
kecurangan yang dilakukan pelanggan terhadap usaha; wajib pajak terhadap
pemerintah. Kecurangan internal adalah tindakan tidak legal dari karyawan,
manajer dan eksekutif terhadap perusahaan tempat ia bekerja (Amrizal,
2004).
34
Arens (2006:43) menjelaskan bahwa terdapat dua ketegori yang utama
mengenai kecurangan adalah pelaporan keuangan yang curang dan
penyalahgunaan aktiva. Pelaporan keuangan yang curang adalah salah saji
atau pengabaian jumlah atau pengungkapan yang disengaja dengan maksud
menipu para pemakai laporan keuangan itu, sementara itu penyalahgunaan
aktiva adalah kecurangan yang melibatkan pencurian aktiva entitas.
2.1.8.2 Jenis-jenis Kecurangan (Fraud)
Menurut Hall dan Singleton (2007:285) kecurangan (fraud) dibagi menjadi
tiga, yaitu:
1. Kecurangan dalam Laporan Keuangan (Fraudulent Statement)
Kecurangan dalam laporan keuangan meliputi tindakan yang dilakukan
oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah
untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan
rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan
keuangannya untuk memperoleh keuntungan.
2. Korupsi (Corruption)
Korupsi merupakan jenis kecurangan (fraud) yang paling sulit terdeteksi
karena menyangkut kerjasama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi
serta memiliki sifat saling menguntungkan di semua pihak (simbiosis
mutualisme). Korupsi meliputi penyuapan (bribery), konflik kepentingan
(conflict of interest), pemberian tanda terima kasih yang tidak sah (illegal
gratuity), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).
35
3. Penyalahgunaan Aset (Asset Missappropration)
Penyalahgunaan aset meliputi penyalahgunaan atau pencurian aset
perusahaan. Jenis kecurangan (fraud) ini merupakan bentuk fraud yang
paling mudah terdeteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat
diukur/dihitung (defined value).
2.1.8.3 Kemampuan Mendeteksi Kecurangan (Fraud)
Kumaat (2011:156) menjelaskan bahwa kemampuan mendeteksi
kecurangan adalah upaya untuk mendapatkan indikasi awal yang cukup
mengenai tindak kecurangan, sekaligus mempersempit ruang gerak para
pelaku kecurangan. Sedangkan menurut Nasution dan Fitriany (2012)
menjelaskan bahwa kemampuan auditor mendeteksi kecurangan adalah
kualitas diri seorang auditor dalam menjelaskan kekurangwajaran laporan
keuangan yang disajikan perusahaan dengan mengidentifikasi dan
membuktikan kecurangan (fraud) tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kemampuan mendeteksi kecurangan
(fraud) adalah keahlian yang dimiliki oleh auditor untuk menemukan
indikasi mengenai kecurangan (fraud). Kemampuan auditor dalam
mendeteksi kecurangan berkaitan dengan teknik-teknik yang dikuasai
auditor sebagai bekal dalam menjalankan tugasnya. Teknik yang dimaksud
dapat berupa teknik dalam mengaudit laporan keuangan, kemampuan audit
investigatif untuk kejahatan terorganisir dan penyelundupan pajak
36
penghasilan, kemampuan audit investigatif dalam pengungkapan
kecurangan pengadaan barang dan jasa (Tuanakotta, 2012:351).
Dalam mendeteksi kecurangan, sebagian besar bukti-bukti kecurangan
merupakan bukti-bukti yang sifatnya tidak langsung. Petunjuk adanya
kecurangan biasanya ditunjukan oleh munculnya gejala-gejala (symptoms)
seperti adanya dokumentasi yang mencurigakan, keluhan dari pegawai
ataupun kecurigaan dari teman sekerja (Amrizal, 2004).
Adapun dimensi dan indikator untuk mengukur variabel kemampuan
auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud) mengadopsi dari penelitian
Ferdian (2006), Ramaraya (2008), dan Herman (2009), adalah:
a. Pemahaman SPI
1) Memahami struktur pengendalian internal dari entitas yang akan
diaudit.
b. Karakteristik kecurangan
1) Mengidentifikasi indikator-indikator kecurangan yang memerlukan
tindak lanjut untuk melakukan investigasi.
2) Memahami terlebih dahulu karakteristik terjadinya kecurangan.
3) Memerlukan standar pengauditan dalam mendeteksi kecurangan.
c. Lingkungan audit
1) Lingkungan pekerjaan audit akan mempengaruhi kualitas audit.
d. Metode audit
1) Metode dan prosedur audit yang tidak efektif, dapat mengakibatkan
kegagalan dalam usaha mendeteksi kecurangan.
37
2) Menyusun langkah-langkah yang dilakukan untuk mendeteksi
kecurangan.
e. Bentuk kecurangan
1) Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kecurangan yang akan
menjadi dasar untuk memahami kesulitan dan hambatan dalam
mendeteksi kecurangan yang ada.
2) Memperkirakan bentuk-bentuk kecurangan apa saja yang bisa terjadi.
3) Mengidentifikasi pihak-pihak mana saja yang dapat melakukan
kecurangan.
f. Kemudahan akses
1) Keterbukaan dari pihak manajemen dapat berakibat pada sulitnya
mendeteksi kecurangan.
g. Uji dokumen dan personal
1) Melakukan pengujian atas dokumen atau informasi yang diperoleh.
2) Kondisi mental dan pengawasan kerja yang buruk merupakan faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya kecurangan.
2.2 Penelitian Terdahulu
Adapun acuan dari penelitian yang penulis lakukan dapat disebutkan beberapa
hasil penelitian yang telah dilakukan antara lain, yaitu:
38
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No. Peneliti Variabel Metode Analisis Hasil Penelitian
1. Eko Ferry
Anggriawan
(2014)
Pengalaman,
Skeptisme,
Tekanan Waktu,
Kemampuan
Auditor dalam
Mendeteksi
Kecurangan
(Fraud)
Analisis Regresi
Linear Berganda
Pengalaman dan
Skeptisme
berpengaruh
positif terhadap
Kemampuan
Auditor dalam
Mendeteksi
Kecurangan
(Fraud)
2. Supriyanto
(2014)
Beban Kerja,
Pengalaman,
Tipe
Kepribadian,
Skeptisme,
Kemampuan
Auditor
Mendeteksi
Kecurangan
(Fraud)
Analisis Regresi
Linear Berganda
Pengalaman
tidak
berpengaruh
terhadap
Kemampuan
Auditor dalam
Mendeteksi
Kecurangan
(Fraud)
3. Sandi
Prasetyo
(2015)
Red Flags,
Skeptisme,
Kompetensi,
Independensi,
Profesionalisme,
Kemampuan
Auditor dalam
Mendeteksi
Kecurangan
(Fraud)
Analisis Regresi
Linear Berganda
Independensi
tidak
berpengaruh
terhadap
Kemampuan
Auditor dalam
Mendeteksi
Kecurangan
(Fraud)
4. Gusti Ayu
Yupin Nia
Ranu dan
Luh
Komang
Merawati
(2017)
Skeptisme,
Beban Kerja,
Pengalaman,
Tipe
Kepribadian,
Kemampuan
Auditor dalam
Mendeteksi
Kecurangan
(Fraud)
Analisis Regresi
Linear Berganda
Skeptisme
Profesional
tidak
berpengaruh
terhadap
Kemampuan
Auditor dalam
Mendeteksi
Kecurangan
(Fraud)
39
5. Muhammad
Teguh
Arsendy
(2017)
Pengalaman,
Skeptisme, Red
Flags, Tekanan
Anggaran
Waktu
Kemampuan
Auditor dalam
Mendeteksi
Kecurangan
(Fraud)
Analisis Regresi
Linear Berganda
Pengalaman dan
Skeptisme
Berpengaruh
Positif terhadap
Kemampuan
Auditor dalam
Mendeteksi
Kecurangan
(Fraud)
Sumber: Penelitian Terdahulu yang Diolah
2.3 Hubungan Antar Variabel
2.3.1 Pengaruh Skeptisme Profesional terhadap Kemampuan Auditor dalam
Mendeteksi Kecurangan (Fraud)
Skeptisme profesional adalah adalah sikap yang meliputi pikiran yang
selalu bertanya-tanya (questioning mind), waspada (alert), terhadap kondisi
dan keadaan yang mengindikasikan adanya kemungkinan salah saji material
yang disebabkan oleh kesengajaan atau kesalahan dan penilaian (assesment)
bukti-bukti audit secara kritis (International Federation of Accountants
(IFAC) dalam Tuanakotta, 2011:78).
Skeptisme profesional merupakan salah satu sikap yang penting di dalam
melakukan proses audit dan mendeteksi kecurangan. Sehingga hubungannya
dengan kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan bahwa tanpa
menerapkan sikap skeptisme profesional, auditor hanya akan menemukan
salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja dan sulit untuk menemukan
40
salah saji yang disebabkan oleh kecurangan, sehingga skeptisme profesional
diperlukan dalam setiap proses audit (Noviyanti, 2008).
Rendahnya skeptisme profesional yang dimiliki oleh seorang auditor
akan menyebabakan auditor tidak mampu dalam mendeteksi adanya
kecurangan (fraud) karena auditor begitu saja percaya terhadap penjelasan
yang diberikan oleh klien tanpa bukti pendukung atas penjelasan tersebut.
Sedangkan apabila skeptisme profesional yang dimiliki auditor tinggi,
kemungkinan terjadinya kecurangan (fraud) juga semakin kecil
(Anggriawan, 2014).
Hal tersebut didukung oleh penelitian Prasetyo (2015) dan Arsendy
(2017) yang menunjukkan bahwa skeptisme profesional berpengaruh positif
terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan, karena semakin
tinggi skeptisme seorang auditor maka kemampuan auditor dalam mendeteksi
kecurangan juga semakin baik.
2.3.2 Pengaruh Independensi Auditor terhadap Kemampuan Auditor dalam
Mendeteksi Kecurangan (Fraud)
Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak
dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi
juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan
fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam diri
auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya (Mulyadi,
2002:26).
41
Selain memiliki sikap skeptis, auditor juga dituntut untuk memiliki sikap
independensi. Hubungannya dengan kemampuan auditor dalam mendeteksi
kecurangan adalah apabila auditor tidak menerapkan sikap independensinya,
maka laporan keuangan yang diaudit tidak dapat dijadikan dasar untuk
pengambilan keputusan. Sehingga, seorang auditor yang memiliki dan
mempertahankan sikap independensi tidak akan mempedulikan adanya
gangguan, ancaman, dan tekanan dari pihak lain untuk mendeteksi suatu
kecurangan yang terjadi, karena auditor tersebut berintegritas tinggi. Semakin
tinggi sikap independensi auditor, maka semakin meningkat pula kemampuan
auditor mendeteksi kecurangan (Hartan, 2016).
Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian Biksa dan Wiratmaja
(2016) yang menunjukkan bahwa independensi berpengaruh positif terhadap
kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Sehingga, semakin tinggi
sikap independensi yang dimiliki oleh seorang auditor maka akan tinggi pula
kemampuannya dalam mendeteksi kecurangan.
2.3.3 Pengaruh Kompetensi Auditor terhadap Kemampuan Auditor dalam
Mendeteksi Kecurangan (Fraud)
Kompetensi adalah suatu kecakapan dan kemampuan dalam
menjalankan pekerjaan atau profesi. Orang yang kompeten berarti orang yang
dapat menjalankan pekerjaannya dengan kualitas hasil yang baik. Dalam arti
luas kompetensi mencakup penguasaan ilmu/pengetahuan (knowledge), dan
keterampilan (skill) yang mencukupi serta mempunyai sikap dan perilaku
42
(attitude) yang sesuai untuk melaksanakan pekerjaan atau profesinya (Agoes,
2014:146).
Menurut Lastanti (2005) melalui kompetensi yang baik, auditor dapat
mengasah sensitivitas (kepekaannya) dalam menganalisis laporan keuangan
yang di auditnya sehingga auditor mengetahui apakah di dalam laporan
keuangan tersebut, terdapat tindakan kecurangan atau tidak serta mampu
mendeteksi trik-trik rekayasa yang dilakukan dalam melakukan kecurangan
tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungannya dengan kemampuan
auditor dalam mendeteksi kecurangan adalah kompetensi diperlukan oleh
auditor agar dapat mendeteksi dengan cepat dan tepat ada atau tidaknya
kecurangan pada laporan keuangan suatu perusahaan. Kompetensi yang
dimiliki auditor dapat menjadi cerminan bahwa suatu laporan keuangan
tersebut berkualitas.
Hal tersebut juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Prasetyo (2015) yang menunjukkan bahwa kompetensi mempunyai pengaruh
positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Ketika
auditor memiliki kompetensi yang baik maka auditor dapat melaksanakan
proses audit dengan lebih efektif dan efisien, serta auditor dapat mengasah
kepekaan dalam menganalisis laporan keuangan yang diauditnya. Sebaliknya,
jika kompetensi yang dimiliki oleh auditor rendah maka kemampuan dalam
mendeteksi kecurangan juga rendah.
43
2.3.4 Pengaruh Pengalaman Audit terhadap Kemampuan Auditor dalam
Mendeteksi Kecurangan (Fraud)
Pengalaman audit adalah pengalaman dalam melakukan audit laporan
keuangan baik dari segi lamanya waktu maupun banyaknya penugasan yang
pernah ditangani (Suraida, 2005). Dengan bertambahnya pengalaman yang
dimiliki oleh seorang auditor, maka bertambah pula kemampuan dalam
mendeteksi tanda-tanda kecurangan dan memungkinkan auditor untuk lebih
teliti lagi dalam melakukan proses audit laporan keuangan.
Pada hubungannya dengan kemampuan mendeteksi kecurangan auditor
yang mempunyai pengalaman akan memiliki pemahaman yang lebih baik,
mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas
kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan
kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi
yang mendasar (Agoes, 2012:23).
Seorang auditor yang lebih berpengalaman akan lebih cepat tanggap
dalam mendeteksi kecurangan yang terjadi. Oleh karena itu, pengalaman
kerja auditor akan mendukung keterampilan dan kecepatan dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya sehingga tingkat kesalahan juga akan
berkurang (Merdian, 2014).
Hasil penelitian mengenai pengaruh pengalaman audit terhadap
kemampuan auditor mendeteksi kecurangan telah banyak dilakukan
sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Ranu dan Merawati (2017) yang
menunjukkan bahwa pengalaman audit berpengaruh positif terhadap
44
kemampuan auditor mendeteksi kecurangan yaitu ketika seorang auditor
memiliki banyak pengalaman dalam mengaudit laporan keuangan, maka
semakin besar pula kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.
Begitu pula sebaliknya, ketika pengalaman audit rendah maka
kemampuannya dalam mendeteksi kecurangan juga rendah.
2.4 Hipotesis
Hipotesis merupakan kesimpulan awal yang bersifat sementara dari penelitian
yang masih harus diuji kebenarannya. Berdasarkan landasan teori dan hasil
penelitian sebelumnya, maka hipotesis dari penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Ha1: Diduga terdapat pengaruh signifikan Skeptisme Profesional,
Independensi Auditor, Kompetensi Auditor, dan Pengalaman Audit
secara bersama-sama terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi
Kecurangan (Fraud).
Ha2: Diduga terdapat pengaruh positif signifikan Skeptisme Profesional
terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud).
Ha3: Diduga terdapat pengaruh positif signifikan Independensi Auditor
terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud).
Ha4: Diduga terdapat pengaruh positif signifikan Kompetensi Auditor
terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud).
Ha5: Diduga terdapat pengaruh positif signifikan Pengalaman Audit terhadap
Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud).
45
2.5 Model Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan variabel independen, yaitu
Skepetisme Profesional, Independensi Auditor, Kompetensi Auditor, dan
Pengalaman Audit. Sedangkan variabel dependennya adalah Kemampuan
Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud). Adapun model penelitiannya
adalah sebagai berikut:
Gambar 2.3 Model Penelitian
Skeptisme
Profesional
Kompetensi
Auditor
Pengalaman
Audit
Independensi
Auditor Kemampuan
Auditor dalam
Mendeteksi
Kecurangan
(Fraud)
X1
X2
X3
X4
H2
H3
H4
H5
Y1
H1