bab ii konsep dasar a. pengertian -...

31
1 BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Benigna Prostat Hiperplasi adalah perbesaran prostat, kelenjar prostat membesar, memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine, dapat mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter (Brunner & Suddarth, 2000). Benigna Prostat Hiperplasi adalah pembesaran dari beberapa dari kelenjar ini yang mengakibatkan obstruksi urine (Mary Buradero dkk, 2000). BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000). Hipertropi adalah pembesaran sel, sedangkan hiperplasi adalah pertambahan jumlah sel,sehingga terjadi pembentukan jaringan yang berlebihan. Benigna Prostat Hiperplasi adalah pembesaran kelenjar prostat, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih, yang mengakibatkan obstruksi urine (Poppy, 1998). Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa benigna prostat hyperplasia adalah pembesaran dari prostat yang biasanya terjadi pada orang berusia lebih dari 50 tahun yang mendesak saluran perkemihan.

Upload: truongkhanh

Post on 30-Jan-2018

242 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

1

BAB II

KONSEP DASAR

A. Pengertian

Benigna Prostat Hiperplasi adalah perbesaran prostat, kelenjar

prostat membesar, memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan

menyumbat aliran urine, dapat mengakibatkan hidronefrosis dan

hidroureter (Brunner & Suddarth, 2000).

Benigna Prostat Hiperplasi adalah pembesaran dari beberapa dari

kelenjar ini yang mengakibatkan obstruksi urine (Mary Buradero dkk,

2000).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara

umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat

obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000).

Hipertropi adalah pembesaran sel, sedangkan hiperplasi adalah

pertambahan jumlah sel,sehingga terjadi pembentukan jaringan yang

berlebihan. Benigna Prostat Hiperplasi adalah pembesaran kelenjar prostat,

memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih, yang mengakibatkan

obstruksi urine (Poppy, 1998).

Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa

benigna prostat hyperplasia adalah pembesaran dari prostat yang biasanya

terjadi pada orang berusia lebih dari 50 tahun yang mendesak saluran

perkemihan.

2

B. Anatomi dan Fisiologi

1. Anatomi

Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang

melingkar Bledder neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar

prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata :

panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis terdiri

dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus

posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah. Selama perkembangannya lobus

medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi satu disebut

lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak

tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna

abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut

kelenjar prostat.

Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat

terdiri dari:

a. Kapsul anatomis.

Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan

jaringan muskuler. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok

bagian :

1. Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya.

2. Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut

juga sebagai adenomatus zone.

3

3. Di sekitar uretra disebut periuretral gland. Saluran keluar dari

ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika

seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang

bermuara ke dalam uretra. Menurut Mc Neal, prostat dibagi atas

: zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen anterior

dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50

lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih

kurang 20 buah, secara terpisah bermuara pada uretra prostatika,

dibagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi

oleh selaput epitel torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid

(Anderson, 1999).

4

GAMBAR ANATOMI

Gambar 1.

Gambar 2.

Gambar 1. Sistem Reproduksi Pria.

Gambar 2. Pembesaran Prostat.

5

2. Fisiologi

Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur,

sedangkan pada orang dewasa sedikit teraba dan pada orang tua

biasanya mudah teraba. Sedangkan pada penampang tonjolan pada

proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik. Pertambahan

unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi

lunak dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak

berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan,

keluar cairan seperti susu. Apabila jaringan fibromuskuler yang

bertambah tonjolan berwarna abu-abu padat dan tidak mengeluarkan

cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra

dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga

penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan

kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari

vesika yang dapat mengakibatkan peradangan(Brunner & Suddarth,

2001).

C. Etiologi/Predisposisi

Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui

secara pasti. Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada

endokrin dan dapat pula dianggap undangan (counter part). Oleh karena itu

yang dianggap etiologi adalah karena tidak adanya keseimbangan

6

endokrin. Namun menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun1998

etiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah :

1. Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan

keseimbangan testosteron dan estrogen. Dengan meningkatnya usia

pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan

testosteron sedangkan estradiol tetap yang dapat menyebabkan

terjadinya hyperplasia stroma.

2. Ketidakseimbangan endokrin.

3. Faktor umur/usia lanjut.

Biasanya terjadi pada usia diatas 50 tahun.

4. Unknown / tidak diketahui secara pasti.

Penyebab BPH tidak diketahui secara pasti (idiopatik), tetapi

biasanya disebabkan oleh keadaan testis dan usia lanjut.

D. Patofisiologi

Menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998, umumnya

gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal.

Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma

yang tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak

jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula

bedah.

Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung

tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin.

7

Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan

kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang

menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih. Pada beberapa kasus

jika obsruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih

menjadi struktur yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara

efektif. Karena terdapat sisi urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan

batu kandung kemih.

Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis.

Retensi progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema

hebat. Edema ini berespon cepat dengan drainage kateter. Diuresis paska

operasi dapat terjadi pada pasien dengan edema hebat dan hidronefrosis

setelah dihilangkan obstruksinya. Pada awalnya air, elekrolit, urin dan

beban solut lainya meningkatkan diuresis ini, akhirnya kehilangan cairan

yang progresif bias merusakkan kemampuan ginjal untuk

mengkonsentrasikan serta menahan air dan natrium akibat kehilangan

cairan dan elekrolit yang berlebihan bisa menyebabkan hipovelemia.

Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi

secara perlahan-lahan pada traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi

pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang

mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian

detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Akibatnya serat detrusor

akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa

buli-buli akan terlihat sebagai balokbalok yang tampai (trabekulasi).

8

Dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat

menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan

mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut

diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila

berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami

dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi

retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran

kemih atas.

E. Manifestasi Klinis

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah :

a. Obstruksi :

1) Hesistensi (harus menggunakan waktu lama bila mau miksi)

2) Pancaran waktu miksi lemah

3) Intermitten (miksi terputus)

4) Miksi tidak puas

5) Distensi abdomen

6) Volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih.

b. Iritasi : frekuensi sering, nokturia, disuria.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Nyeri pinggang, demam (infeksi), hidronefrosis.

9

3. Gejala di luar saluran kemih :

Keluhan pada penyakit hernia/hemoroid sering mengikuti penyakit

hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan

pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra

abdominal (Sjamsuhidayat, 2004).

Benigna Prostat Hipertropi selalu terjadi pada orang tua, tetapi tak

selalu disertai gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal yaitu:

a. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih.

b. Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung

kemih, hipertrofi kandung kemih dan cystitis (Hidayat, 2009).

Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan

Benigna Prostat Hipertrofi:

a. Retensi urin (urine tertahan di kandung kemih, sehingga urin tidak

bisa keluar).

b. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing.

c. Miksi yang tidak puas.

d. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia).

e. Pada malam hari miksi harus mengejan.

f. Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria).

g. Massa pada abdomen bagian bawah.

h. Hematuria (adanya darah dalam urin).

i. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk

mengeluarkan urin).

10

j. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi.

k. Kolik renal (kerusakan renal, sehingga renal tidak dapat berfungsi).

l. Berat badan turun.

m. Anemia, kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui.

n. Pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus

dikeluarkan dengan kateter. Karena urin selalu terisi dalam

kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan selaputnya

merusak ginjal (Arifiyanto, 2008).

Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk

keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada

epigastrik (Brunner & Suddarth, 2001).

Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu:

Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok

dubur) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang

dari 50 ml.

Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat

lebih menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine

lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.

Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi

dan sisa urin lebih dari 100 ml.

Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

11

F. Komplikasi

Menurut Arifiyanto (2008) komplikasi yang dapat terjadi pada

hipertropi prostat adalah :

1. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,

hidronefrosis, gagal ginjal.

2. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu

miksi.

3. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya

batu.

4. Hematuria.

5. Disfungsi seksual.

Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi

(meskipun prostatektomi perineal dapt menyebabkan impotensi akibat

kerusakan saraf pudendal yang tidak dapat dihindari). Pada kebanyakan

kasus, aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8

Minggu, karena saat ini fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi,

maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan

bersama urin (Brunner & Suddarth, 2001).

Komplikasi yang berkaitan dengan prostatektomi yaitu:

1. Hemoragi dan syok

2. Pembentukan bekuan / trobosis

3. Obstruksi kateter

4. Disfungsi seksual

(Smeltzer & Bare, 2000).

12

G. Penatalaksanaan

1. Modalitas terapi BPH adalah :

a. Observasi yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan

kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien.

b. Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan

Keluhan ringan, sedang, sedang dan berat tanpa disertai penyulit.

Obat yang digunakan berasal dari phitoterapi (misalnya : Hipoxis

rosperi, serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan

supresor androgen.

2. Indikasi pembedahan pada BPH adalah :

a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin

akut (100 ml).

b. Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung

kemih setelah klien buang air kecil > 100 Ml.

c. Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan sistem

perkemihan seperti retensi urine atau oliguria.

d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.

e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.

Pembedahan dapat dilakukan dengan :

1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat).

a) Jaringan abnormal diangkat melalui rektroskop yang dimasukan

melalui uretra.

b) Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi.

13

c) Dibutuhkan kateter foley setelah operasi.

2) Prostatektomi Suprapubis

a) Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung

kemih.

b) Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter

suprapubis setelah operasi.

3) Prostatektomi Neuropubis

a) Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah.

b) Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.

c) Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan drainase.

4) Prostatektomi Perineal

a) Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.

b) Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.

c) Vasektomi biasanya dikakukan sebagai pencegahan

epididimistis.

d) Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi (pembersihan

perut, enema, diet rendah sisa dan antibiotik).

e) Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase)

diletakan pada tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk.

Pada TURP, prostatektomi suprapubis dan retropubis, efek

sampingnya dapat meliputi:

1. Inkotenensi urinarius temporer

14

2. Pengosongan urine yang keruh setelah hubungan intim dan

kemandulan sementara (jumlah sperma sedikit) disebabkan

oleh ejakulasi dini kedalam kandung kemih.

H. Pengkajian Fokus

Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH : Post

Prostatektomi dapat penulis kelompokkan menjadi:

1. Data subyektif :

a. Pasien mengeluh sakit pada luka insisi, karakteristik luka, luka

berwarna merah.

b. Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.

c. Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.

d. Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.

2. Data Obyektif:

a. Terdapat luka insisi, karakteristik luka berwarna merah.

b. Takikardia, normalnya 80-100 kali/menit.

c. Gelisah.

d. Tekanan darah meningkat, normalnya 120/80 mmHg.

e. Ekspresi wajah ketakutan.

f. Terpasang kateter.

15

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopis urin penting untuk

melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat

hematuria, harus diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan

pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH

sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan

kreatinin darah merupakan informasi dasar dan fungsi ginjal dan

status metabolik. Pemeriksaan Prostat Specific Antigen (PSA)

dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai

deteksi dini keganasan. Bila nilai SPA < 4mg / ml tidak perlu

biopsy. Sedangkan bila nilai SPA 4–10 mg / ml, hitunglah Prostat

Spesific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan

volume prostat. Bila PSAD > 0,15 maka sebaiknya dilakukan

biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 mg/ml.

b. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen,

pielografi intravena, USG dan sitoskopi. Dengan tujuan untuk

memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli–

buli dan volume residu urine, mencari kelainan patologi lain, baik

yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan BPH.

Dari semua jenis pemeriksaan dapat dilihat:

16

1) Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada batu traktus

urinarius, pembesaran ginjal atau buli – buli.

2) Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari

fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, fish hook

appearance (gambaran ureter belok–belok di vesika)

3) Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa

masa ginjal, mendeteksi residu urine, batu ginjal, divertikulum

atau tumor buli – buli (Arif Mansjoer, 2000).

c. Pemeriksaan Diagnostik.

1) Urinalisis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap / terang,

penampilan keruh, Ph : 7 atau lebih besar, bacteria

2) Kultur Urine : adanya staphylokokus aureus, proteus,

klebsiella, pseudomonas, e. coli.

3) BUN / kreatinin : meningkat.

4) IVP : menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih

dan adanya pembesaran prostat, penebalan otot abnormal

kandung kemih.

5) Sistogram : mengukur tekanan darah dan volume dalam

kandung kemih.

6) Sistouretrografi berkemih : sebagai ganti IVP untuk

menvisualisasi kandung kemih dan uretra dengan

menggunakan bahan kontras lokal.

17

7) Sistouretroscopy : untuk menggambarkan derajat pembesaran

prostat dan kandung kemih.

8) Transrectal ultrasonografi : mengetahui pembesaran prosat,

mengukur sisa urine dan keadaan patologi seperti tumor atau

batu (R.Sjamsuhidayat, 2004).

18

19

I. Fokus Intervensi Dan Rasional

1. Gangguan rasa nyaman: nyeri suprapubik berhubungan dengan spasme

otot

spincter.

a. Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang

b. Kriteria hasil:

Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang

Pasien dapat beristirahat dengan tenang.

c. Intervensi:

1) Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor

pencetus serta penghilang nyeri.

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam

menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.

2) Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening

mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi).

Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam

menentukan keefektifan dalam menentukan pilihan

atau keefektifan intervensi.

3) Beri kompres hangat pada abdomen terutama perut bagian

bawah.

Rasional : Untuk meningkatkan relaksasi otot.

4) Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh,

merokok, abdomen tegang).

20

Rasional : Untuk menurunkan spasme kandung kemih.

5) Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik

relaksasif.

Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali

perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan

koping.

6) Lakukan perawatan aseptik terapeutik.

Rasional : untuk mengurangi resiko infeksi.

7) Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat.

Rasional : Pembesaran prostat dapat terjadi dengan hilangnya

sebagian kelenjar.

d. Pengertian Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual dan

potensial. Nyeri adalah alasan utama orang untuk mencari bantuan

perawatan kesehatan. Nyeri didefinisikan sebagai apapun yang

menyakiti tubuh, yang dikatakan individu yang mengalaminya,

kapanpun individu mengatakannya (Smeltzer, 2001).

Nyeri dibagi menjadi dua, yaitu nyeri akut dan nyeri

kronik. Nyeri akut adalah keadaan dimana individu mengalami rasa

ketidak nyamanan yang hebat atau sensasi tidak menyenangkan

selama kurang lebih 6 bulan. (Carpenito, 2000).

21

Nyeri kronik yaitu suatu keadaan dimana seorang individu

mengalami nyeri yang menetap yang berlangsung lebih dari 6

bulan (Carpenito, 2000)

Batasan krakteristik nyeri yang meliputi data mayor dan

data minor. Data mayor berupa komunikasi verbal dan non verbal

tentang gambaran nyeri, wajah meringis melindungi daerah yang

sakit, gelisah, perilaku distraksi (meringis dan menangis). Untuk

data minor berupa perubahan pada tonus otot, respon autonomic

seperti diaroresis, tekanan darah dan frekuensi nadi berubah,

dilatasi pupil, peningkatan atau penurunan frekuensi pernafasan

(Trucker, 1998)

Standar skala nyeri menurut Long, 1996 adalah 0–10

dimana 0–3 adalah nyeri ringan, 4–6 adalah nyeri sedang, dan 7-10

adalah nyeri berat.

2. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan

obstruksi sekunder.

a. Tujuan : Tidak terjadinya retensi urine

b. Kriteria hasil :

1) Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung

kemih.

2) Menunjukan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml,

dengantak adanya tetesan/kelebihan.

22

c. Intervensi :

1) Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus

dengan teknik steril.

Rasional : Menghindari terjadinya gumpalan yang dapat

menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan

perdarahan kandung kemih

2) Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam

keadaan tertutup.

Rasional : Untuk mencegah peningkatan tekanan pada

Kandung kemih.

3) Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria,

dingin, kulit lembab, takikardi, dispnea).

Rasional : Untuk mencegah komplikasi berlanjut.

4) Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan

sebelum dan sesudah menggunakan alat dan observasi aliran

urin serta adanya bekuan darah atau jaringan.

Rasional : Pemberi perawatan menjadi penyebab terbesar infeksi

nosokomial. Kewaspadaan umum melindungi pemberi

perawatan dan pasien.

5) Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2

jam (mulai hari kedua post operasi).

Rasional : Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke

23

seluruh tubuh. Risiko terjadinya ISK dikurangi bila

aliran urine encer konstan dipertahankan melalui

ginjal.

6) Ukur intake output cairan.

Rasional : Menjamin keamanan untuk membantu

penyembuhan pascaoperasi.

7) Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika

tidak ada kontra indikasi.

Rasional : Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke

seluruh tubuh. Risiko terjadinya ISK dikurangi bila

aliran urine encer konstan dipertahankan melalui

ginjal.

8) Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3

minggu, anjurkan dan motivasi pasien untuk melakukannya.

Rasional : Mengajarkan pasien bagaimana melakukannya

sendiri.

d. Pengertian Perubahan Pola Eliminasi

Perubahan pola eliminasi urine adalah keadaan dimana

seseorang individu mengalami atau beresiko mengalami disfungsi

eliminasi urine (Carpenito, 2000).

Batasan karakteristik pola eliminasi urine yang meliputi

data mayor dan data minor. Data mayor meliputi melaporkan atau

mengalami masalah eliminasi urine seperti doronngan berkemih,

24

sering berkemih, keragu-raguan, nokturia, enuresis, menetes,

distensi kandung kemih, inkontinen,volume urine residu yang

banyak(Carpenito, 2000).

e. Pengertian Retensi Urine

Retensi urine adalah keadaan dimana individu mengalami

suatu ketidakmampuan kronik untuk berkemih diikuti oleh

berkemih involunter (inkontinen aliran berlebihan).

Batasan karakteristik retensi urine meliputi data mayor dan

data minor. Datamayor berupa distensi kandung kemih (tidak

dihubungkan dengan akut, penyebab dapat pulih), atau distensi

kandung kemih dengan seringnya berkemih atau menetes (

inkontinen aliran berlebihan), residu urine 100 cc atau lebih. Untuk

data minor berupa individu mengatakan perasaan bahwa kandung

kemihnya tidak kosong setelah berkemih ( Carpenito, 2000).

3. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran

ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh.

a. Tujuan : Tidak terjadinya disfungsi seksual

b. Kriteria hasil :

Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual

dan aktivitas secara optimal.

c. Intervensi :

1) Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang

berhubungan dengan perubahannya.

25

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam

menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.

2) Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat.

Rasional : Untuk menginformasikan kondisi klien.

3) Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya

tentang efek prostatektomi dalam fungsi seksual.

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam

menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.

4) Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah

fungsi seksual.

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam

menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.

5) Beri penjelasan penting tentang:

a) Impoten terjadi pada prosedur radikal

b) Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal

c) Adanya kemunduran ejakulasi.

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam

menentukan pilihan atau keefektifan

intervensi.

6) Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1

bulan (3-4 minggu) setelah operasi.

Rasional : Menjamin keamanan untuk membantu

penyembuhan pascaoperasi.

26

d. Pengertian Disfungsi seksual

Disfungsi Seksual adalah keadaan dimana individu

mengalami atau beresiko mengalami suatu perubahan dalam fungsi

seksual yang dipandang sebagai tidak menguntungkan atau tidak

adekuat (Carpenito, 2000).

Batasan karakteristik disfungsi seksual meliputi data mayor

dan data minor. Data mayor berupa pengungkapan masalah dengan

fungsi seksual, melaporkan pembatasan penampilan seksual yang

disebabkan oleh penyakit atau terapi. Untuk data minor berupa

ketakutan keterbatasan yang akan datang pada penampilan seksual,

kesalahan informasi mengenai seksualitas, kurang pengetahuan

mengenai seksualitas dan fungsi seksual, konflik nilai nyang

melibatkan ekspresi seksual (cultural, agama), perubahan

hubungandengan orang terdekat lainnya, ketidakpuasan dengan

peran sek (yang dirasakan atau actual) (Carpenito, 2000).

4. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée

mikroorganisme melalui kateterisasi, dan jaringan terbuka.

a. Tujuan : Tidak terjadinya infeksi

b. Kriteria hasil:

1). Tanda-tanda vital dalam batas normal

2). Tidak ada bengkak, aritema, nyeri

3). Luka insisi semakin sembuh dengan baik

27

c. Intervensi :

1) Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril.

Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan

peregangan dan perdarahan kandung kemih.

2) Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya

sumbatan, kebocoran).

Rasional : Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan dapat

menyebabkan distensi kandung kemih, dengan

peningkatan spasme.

3) Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar

kateter dan drainage.

Rasional : Untuk mengurangi resiko infeksi

4) Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal

untuk menjamin dressing.

Rasional : Untuk mengurangi resiko infeksi.

5) Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas

meningkat, dingin).

Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi dengan intervensi

yang tepat dapat mencegah kerusakan jaringan

yang permanen.

d. Pengertian Infeksi

Infeksi adalah invasi dan pembiakan mikroorganisme pada

jaringan tubuh, terutama yang menyebabkan cidera seluler local

28

akibat kompetisi metabolism, toksin, replikasi interna seluler

ataupun antigen antibody (Kamus Kedokteran Dorland).

Resiko terhadap infeksi adalah keadaan dimana seseorang

individu beresiko terserang oleh agen patogenik (virus, jamur,

bakteri, protozoa) dari sumber-sumber eksternal, sumber eksogen

atau endrogen (Carpenito, 2000).

Sedangkan menurut Kim (1995) menyatakan bahwa resiko

tinggi infeksi adalah suatu keadaan dimana individu mengalami

peningkatan resiko infeksi untuk terserang oleh bakteri patogen

yang dikarenakan rusaknya jaringan dan meningkatkan pemaparan

terhadap lingkungan dan prosedur-prosedur invasif.

Faktor-faktor yang menyababkan resiko infeksi (Kim, 1995)

adalah:

1) Tidak adekuatnya daya tahan tubuh (kulit luka, trauma jaringan,

menurunnya aski silia, cairan tubuh statis, perubahan pH,

sekresi, perubahan peristaltik).

2) Tidak daya tahan sekunder tubuh (seperti menurunnya tingkat

hemoglobin, leukopeni, tertekannya respon imflomatori,

immunosupresi).

3) Tidak adekuatnya kekebalan yang didapat.

4) Rusaknya jaringan dan meningkatnya pemaparan terhadap

lingkungan.

5) Penyakit kronis.

29

6) Prosedur-prosedur invasif.

7) Malnutrisi.

8) Bahan-bahan farmasi yang menyebabkan trauma.

9) Ruptur selaput amnion.

10) Kurangnya pengetahuan untuk menghindari dari lingkungan

yang pathogen.

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang

penyakit,

perawatannya.

a. Tujuan : Pengetahuan pasien dapat meningkat

b. Kriteria hasil :

Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan

mendemonstrasikan perawatan.

c. Intervensi :

1) Motivasi pasien/keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya

tentang penyakit.

Rasional : Memberikan informasi sejauh mana pengetahuan klien

tentang penyakit yang dialami.

2) Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang:

a) Perawatan lsuka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter.

b) Perawatan di rumah, adanya tanda-tanda hemoragi.

Rasional : Memberikan informasi kepada klien/keluarga klien

cara perawatan pasca operasi.

30

5. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah

interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, ditandai

dengan :

Gelisah, Informasi kurang

a. Tujuan : Tidak terjadinya ansietas.

b. kriteria hasil :

1) Klien tidak gelisah.

2) Tampak rileks

c. Intervensi :

1) Kaji tingkat anxietas.

Rasional : Mengetahui tingkat anxietas yang dialami klien,

sehingga memudahkan dalam memberikan tindakan

selanjutnya.

2) Observasi tanda-tanda vital.

Rasional : Indikator dalam mengetahui peningkatan anxietas

yang dialami klien.

3) Berikan informasi yang jelas tentang prosedur tindakan yang

akan dilakukan.

Rasional : Mengerti/memahami proses penyakit dan tindakan

yang diberikan.

31

4) Berikan support melalui pendekatan spiritual.

Rasional : Agar klien mempunyai semangat dan tidak putus asa

dalam menjalankan pengobatan untuk

penyembuhan.