bab ii kewenangan mengadili pengadilan hubungan...

33
BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM TEORI DAN PRAKTIK A. KERANGKA TEORITIK PENYELESAIAN PERSELISIHAN DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 1. Perselisihan Hubungan Industrial 1.1 Hubungan Kerja dan Hubungan Industrial Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan interaksi dengan makhluk lainnya. Tujuan interaksi dengan makhluk lain tentunya untuk memenuhi kebutuhannya, naik jasmani maupun rohani. Namun tidak selamanya interaksi yang terjadi dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sering kali terdapat perbedaan pendapat atau berselisih paham. Hal ini tentu sangat tidak baik dan dapat mengganggu tercapainya tujuan dari interaksi sosial itu sendiri.

Upload: nguyendang

Post on 07-Apr-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN HUBUNGAN

INDUSTRIAL DAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM

TEORI DAN PRAKTIK

A. KERANGKA TEORITIK PENYELESAIAN PERSELISIHAN DI

PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

1. Perselisihan Hubungan Industrial

1.1 Hubungan Kerja dan Hubungan Industrial

Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup

sendiri dan membutuhkan interaksi dengan makhluk lainnya. Tujuan interaksi

dengan makhluk lain tentunya untuk memenuhi kebutuhannya, naik jasmani

maupun rohani. Namun tidak selamanya interaksi yang terjadi dapat berjalan

sebagaimana yang diharapkan. Sering kali terdapat perbedaan pendapat atau

berselisih paham. Hal ini tentu sangat tidak baik dan dapat mengganggu

tercapainya tujuan dari interaksi sosial itu sendiri.

Seturut kemajuan dan perkembangan zaman, terlebih di era modern

seperti sekarang ini interaksi menjadi hal yang tak dapat dipisahkan dari

kehidupan manusia. Tentu guna mencapai tujuan untuk memenuhi

kebutuhannya. Dalam memenuhi kebutuhannya manusia harus bekerja untuk

mendapatkan upah. Hal ini adalah interaksi yang dialami hampir semua

manusia. Disinilah sering terjadi perbedaan pendapat dan berselisih paham.

Tidak jarang pula perbedaan pendapat akan berujung pada perselisihan dan

konflik. Penyelesaian perselisihan yang sangat rawan terjadi akhirnya menjadi

sebuah kebutuhan. Terlebih dalam hubungannya dengan banyak pihak di

dunia kerja atau ketenagakerjaan.

Jika berbicara ketenagakerjaan khususnya di Indonesia, maka tidak

bisa tidak harus melihat kepada UU Ketenagakerjaan. UU sebagai kesepakatan

rakyat dengan negara menjadi acuan dalam penyelesaian perselisihan yang

terjadi dalam masyarakat. Sebagaimana telah disebutkan dalam UUD 1945

bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum (rechtsstaat), yang artinya

bahwa warna negara dan aparat negara harus bertindak dan terikat oleh

peraturan yang telah dibuat sebelumnya. Maka jika terjadi perselisihan atau

konflik, khususnya dalam bidang ketenagakerjaan maka UU Ketenagakerjaan

dan UU PPHI yang menjadi pedoman penyelesaiannya.

Dunia kerja adalah dunia yang tak dapat disangkal oleh kehidupan

manusia dewasa masa kini. Bekerja menjadi sebuah sarana dalam memenuhi

kebutuhan manusia secara pribadi maupun kebutuhan keluarganya. Maka

konsekuensinya adalah setiap orang yang bekerja pasti mengikatkan dirinya

pada pihak lain. Interaksi ini terjadi antara orang dengan pemberi kerja. Dalam

hal ini pemberi kerja dapat dipisahkan dalam beberapa ketegori, namun pada

intinya adalah terjadi hubungan diantara para pihak untuk tujuan tertentu.

Hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya. Untuk

dapat mengetahui bahwa hubungan semacam ini digolongkan sebagai

hubungan kerja harus melihat kembali kepada UU Ketenagakerjaan. Dalam

Pasal 1 angka 15 diyatakan bahwa ; “Hubungan kerja adalah hubungan

antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang

mempunyai unsur perkerjaan, upah, dan perintah.” Dari bunyi pasal di atas

dapat disimpulkan bahwa tidak semua interaksi dalam tujuan memenuhi

kebutuhan manusia dengan bekerja dapat dikatakan sebagai hubungan kerja.

Dapat dikatakan sebagai hubungan kerja jika hubungan tersebut berdasarkan

pada perjanjian kerja, yang di antaranya memuat beberapa unsur yang juga

telah disebutkan dalam pasal diatas.

Dalam pengertian lain hubungan kerja adalah merupakan hubungan

yang timbul antara pekerja dan pengusaha setelah diadakan perjanjian

sebelumnya oleh pihak yang bersangkutan. Pekerja menyatakan

kesanggupannya untuk bekerja kepada pengusaha dengan menerima upah.

Sebaliknya pengusaha menyatakan kesanggupan untuk mempekerjakan

pekerja dengan pengusaha membayar upah. Dengan demikian terjadi

hubungan yang saling membutuhkan dan menguntungkan antara pekerja dan

pengusaha yang merupakan hasil dari perjanjian kerja yang memuat hak dan

kewajiban masing-masing pihak.

Kita telah melihat dan mengetahui apa itu hubungan kerja, maka kita

perlu juga mengetahui apa itu hubungan industrial. Menurut UU

Ketenagakerjaan pada Pasal 1 angka 16 “Hubungan industrial adalah suatu

sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi

barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan

pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Dari bunyi pasal tersebut

dapat dilihat bahwa hubungan industrial mencakup hubungan yang lebih besar

dari hubungan kerja. Hubungan kerja merupakan hubungan diantara para

pihak demi keuntungan masing-masing pihak dan demi terpenuhinya

kebutuhan masing-masing pihak. Sementara hubungan industrial lebih luas

cakupannya, dimana tujuan dari hubungan industrial adalah untuk terjadinya

proses produksi barang dan jasa dengan baik sehingga dapat memenuhi

kebutuhan banyak orang. Oleh karenanya pemerintah turut menjadi pihak

dalam hubungan industrial sebagai pihak yang turut mengatur proses produksi

demi kepentingan orang banyak. Juga sebagai pihak yang menerima pajak dari

para pelaku produksi barang/jasa.

Hubungan industrial (industrial relations) tidak hanya sekedar

manajemen organisasi perusahaan yang dijalankan oleh meneger, yang

menempatkan perkerja sebagai pihak yang selalu dapat diatur. Namun,

hubungan industrial meliputi fenomena baik di dalam maupun di luar tempat

kerja yang berkaitan dengan penempatan dan pengaturan hubungan kerja.

Pada negara maju, hubungan industrial mencerminkan sejumlah pekerja,

organisasi pekerja, pabrik, pemogokan, penutupan perusahaan, maupun

perundingan kolektif (Perjanjian Kerja Bersama). Karena itu sulit

merumuskan hubungan industrial secara universal dan diterima semua pihak,

hal ini diakui pula oleh Michael Salamon dalam bukunya Industrial Relation;

Theory and practice (2000 : 4-5) “However, it is difficult to define the term

industrial relations in a precise and universally accepted way. Industrial

relation for many is perceived to involve male, fulltime, unionized, manual

workers in large, manufacturing units imposing restrictive practices, strikes,

and collective bergaining”.1

Di Indonesia hubungan industrial merupakan hubungan yang terbentuk

antara pelaku dalam produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur

pengusaha, pekerja/buruh, yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan

UUD 1945 (Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 13 Tahun 2013). Dalam

proses produksi di perusahaan pihak-pihak yang terlibat secara langsung

adalah pekerja/buruh dan pengusaha, sedangkan pemerintah termasuk sebagai

1 Husni, Lalu, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di Luar

Pengadilan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 16-17.

para pihak dalam hubungan industrial karena berkepentingan untuk

mewujudkan hubungan kerja yang harmonis sebagai syarat keberhasilan suatu

usaha, sehingga produktivitas dapat meningkat yang pada akhirnya akan

mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan

kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.2

Meskipun telah ada pengaturan yang jelas dan baik bagi proses produksi

barang/jasa, tetap saja perselisihan menjadi hal yang sering terjadi. Maka jawaban

pemerintah atas hal ini ialah dengan adanya UU PPHI. UU ini muncul karena di era

industrialisasi masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat

dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian

perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil dan murah.

Sebagaiman telah dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum,

dan salah satu ciri-ciri negara hukum adalah peradilan yang bebas dan tidak

memihak. Dalam UU PPHI telah diatur pula mengenai Pengadilan Hubungan

Industrial atau PHI, pada Pasal 55 “Pengadilan Hubungan Industrial

merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan

umum.” Pengadilan ini secara khusus mengadili perkara-perkara terkait

dengan hubungan industrial atau biasa disebut dengan perselisihan hubungan

industrial. Dalam UU PPHI Pasal 1 angka 1 menyatakan ; “Perselisihan

Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan

pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan

pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan

mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan

kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu

2 Op.Cit., hal. 17.

perusahaan.” Maka PHI berwenang mengadili perselisihan hubungan

industrial yang di antaranya perselisihan mengenai hak, perselisihan

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar

serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

1.2 Objek Perselisihan Hubungan Industrial3

Dari pembahasan di atas sebenarnya kita sudah dapat melihat

pertentangan yang digolongkan ke dalam perselisihan hubungan industrial.

Ialah pertentangan yang membuat terjadinya perselisihan mengenai hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Maka

dapat kita katakan bahwa objek dari perselisihan hubungan industrial ialah:

1) Perselisihan Hak

3 Saleh, Muhammad dan Mulyadi, Lilik, Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia (Perspektif,

Teoretis, Praktik, dan Permasalahannya), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal. 11-13.

Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya

hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap

ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan hak demikian ini

sering kali pula disebut sebagai perselisihan normatif, yaitu perselisihan

terhadap hal-hal yang telah ada pengaturan atau dasar hukumnya.

Mengapa hal demikian terjadi? Karena ternyata terdapat perbedaan

penafsiran dan perbedaan kepentingan. Perbedaan penafsiran timbul

karena tidak tegasnya batasan/penjelasan dalam peraturan dan atau adanya

perbedaan penilaian/penghargaan atas suatu fakta hukum.

2) Perselisihan Kepentingan

Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan

kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan

atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,

atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Oleh karena

perselisihan kepentingan ini mengenai hal-hal yang tidak (belum) diatur

dalam perundang-undangan, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama, maka perselisihan jenis ini sering kali pula disebut sebagai

perselisihan tidak normatif.

3) Perselisihan Karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul

karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan

kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Pada dasarnya perselisihan

PHK ini terjadi karena adanya pertentangan pendapat atas dua hal, yaitu

tentang sah dan tidaknya PHK dan besarnya pesangon, yang di antara

keduanya memiliki hubungan timbal balik. Jika ternyata PHK yang

dilakukan oleh pengusaha jelas dan kuat dasar hukumnya, hal ini berarti

bahwa beban pengusahan untuk menyediakan pesangon sedikit, bahkan

mungkin tidak ada. Sebaliknya, jika ternyata PHK tersebut dilakukan atas

dasar tindakan sewenang-wenang pengusaha, ini berarti pengusaha harus

menyediakan pesangon yang tinggi kepada pekerja/buruh karena ketentuan

UU memang mengatur demikian.

4) Perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Satu Perusahaan

Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara

serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain

hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham

mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban

keserikatpekerjaan.

1.3 Subjek Perselisihan Hubungan Industrial4

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai objek dari perselisihan

hubungan industrial. Maka sekarang kita beralih kepada subjek perselisihan

hubungan industrial. Menurut Muhammad Saleh dan Lilik Mulyadi dalam

bukunya yang berjudul “Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia (Perspektif,

Teoretis, Praktik, dan Permasalahannya)” mereka menjabarkan subjek

perselisihan hubungan industrial ialah:

4 Op.Cit., hal. 13-14.

1) Pengusaha atau gabungan pengusaha, yang dimanifestasikan sebagai:

a) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang

menjalankan perusahaan milik sendiri.

b) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang

secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

dan

c) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang

berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana

dimaksud point pertama dan kedua diatas yang berkedudukan

di luar wilayah Indonesia.

2) Pekerja/buruh perseorangan ialah setiap orang yang bekerja dengan

menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

3) Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh,

dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan,

yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab

guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan

pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan

keluarganya.

4) Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan

mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam

bentuk lain.

2. Pengadilan Hubungan Industrial

Pengadilan Hubungan Industrial sebagai lembaga yang dibentuk dengan

Undang-Undang sebagaimana telah dinyatakan pada sub-bab sebelumnya, merupakan

pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Terlebih khusus

dalam UU PPHI Pasal 1 angka 17 menyatakan “Pengadilan Hubungan Industrial

adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang

berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan

hubungan industrial.” Dari pasal ini kita harus melihat kompetensi dan ruang lingkup

dari Pengadilan Hubungan Industrial. Sehingga tidak terjadi kesalahan dalam

mengadili perkara menurut kewenangan atau kompetensinya.

2.1. Kompetensi dan Ruang Lingkup Pengadilan Hubungan Industrial

Tugas pokok dari pengadilan adalah menerima, memeriksa dan mengadili

serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Perkara-perkara

tersebut haruslah perkara yang merupakan kewenangannya.5 Dasar untuk

menentukan apakah pengadilan berwenang untuk mengadili suatu perkara

haruslah melihat kepada kedua hal ini:

1) Kompetensi Absolut (Absolute Competence)

Menurut Sudikno Mertokusumo (1998 : 78) yang dimaksud dengan

kompetensi absolut atau wewenang mutlak lembaga peradilan adalah

wewenang lembaga pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu

yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik

5 Husni, Lalu, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di Luar

Pengadilan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 83.

dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri, Pengadilan

Tinggi, Mahkamah Agung) maupun dalam lingkungan peradilan lain

(Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama). Misalnya kewenangan

pengadilan umum (negeri) adalah memeriksa dan memutus dalam

peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan pidana (Pasal 50 UU

No. 2 Tahun 1986).6 Dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial

memiliki kewenangan mutlak terhadap perkara tentang perselisihan

hubungan industrial. Sebagaimana telah pula dinyatakan dalam UU PPHI

Pasal 1 angka 1 bahwa: “Perselisihan Hubungan Industrial adalah

perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha

atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”

2) Kompetensi Relatif (Relative Competence)

Secara sederhana, kompetensi relatif merupakan kompetensi mengadili

oleh pengadilan sesuai wilayah kedudukannya. Pengadilan Negeri

(selanjutnya disebut dengan PN) berkedudukan di Kotamadya atau

Kabupaten maka wilayah hukumnya ialah Kotamadya atau Kabupaten

yang bersangkutan. Daerah hukum masing-masing PN hanya meliputi

wilayah Kotamadya atau Kabupaten tempat dia berkedudukan. Tegasnya,

daerah hukum yang menjadi kewenangan setiap PN mengadili perkara,

6 Op.cit., hal. 83.

sama dengan wilayah Kotamadya atau Kabupaten tempat dimana dia

berada atau berkedudukan.7

7 Harahap M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,

dan Putusan Pengadilan, Cet. X, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 191.

B. KERANGKA TEORITIK KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN

TATA USAHA NEGARA

Sebelum melihat subjek dan objek dalam sengketa Tata Usaha Negara

(selanjutnya disebut dengan TUN) dan menganalisis kewenangan Pengadilan Tata

Usaha Negara (selanjutnya disebut dengan PTUN), baiknya terlebih dahulu

mengetahui beberapa hal dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 1 huruf

a UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut

dengan UU Peradilan TUN) menyatakan bahwa: “Tata Usaha Negara adalah

Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan utusan

pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.”. Pada huruf d dinyatakan bahwa:

“Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang dan

badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di

daerah, sebagai akibat di keluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Termasuk

sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan undang-undang yang berlaku.”.

Sedangkan Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut dengan KTUN)

adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang

berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum

bagi seseorang atau badan hukum perdata. (Pasal 1 huruf c UU Peradilan TUN).

1. Subjek Sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara

Subjek yang bersengketa atau dalam proses peradilan dapat kita sebut sebagai

Penggugat dan Tergugat. Pertama kita akan melihat siapakah Penggugat dalam

sebuah sengketa TUN. Pasal 53 Ayat (1) menyatakan: “Seseorang atau badan hukum

perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dapat mengajukan

gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar KTUN yang

disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai

tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.”. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui

bahwa dalam sengketa TUN, yang dapat bertindak sebagai Penggugat adalah:

a. Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN;

b. Badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh

KTUN.8

Sedangkan subjek kedua yaitu Tergugat telah diatur melalui Pasal 1 huruf f

UU Peradilan TUN yang menyatakan: “Tergugat adalah badan atau pejabat TUN

yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang

dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.”.

8 Wiyono, R, Hukum Acara PERADILAN TATA USAHA NEGARA, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, H.

58-59.

2. Objek Sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara

Objek sengketa TUN adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau

Pejabat TUN. KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan

atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. (Pasal 1 huruf

c UU Peradilan TUN).

Unsur-unsur pengertian istilah KTUN sebagai objek sengketa TUN menurut

UU Peradilan TUN ialah:

1. Penetapan Tertulis

2. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN

3. Berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan

4. Bersifat konkrit, individual dan final

5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata9

3. Kompetensi dan Ruang Lingkup Pengadilan Tata Usaha Negara

3.1 Kompetensi Absolut

9 Tjandra, W. Ridwan, Teori Dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Cet. VI, Universitas Atma Jaya

Yogyakarta, Yogyakarta, 2011, H. 22-23.

Kekuasaan absolut dari peradilan di lingkungan TUN terdapat pada

Pasal 47 UU Peradilan TUN yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN. Yang

dimaksud dengan sengketa TUN tersebut, menurut Pasal 1 huruf d adalah

“Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang

dan badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat

maupun di daerah, sebagai akibat di keluarkannya Keputusan Tata Usaha

Negara. Termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan undang-

undang yang berlaku.”.

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan

sengketa TUN terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut:

a. Sengketa yang timbul dalam bidang TUN;

b. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan badan

atau pejabat TUN;

c. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dari dikeluarkannya KTUN.10

10

Op. Cit., h. 6.

3.2 Kompetensi Relatif

Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibu kota

Kabupaten/Kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota

(Pasal 6 Ayat (1) Peradilan TUN). Sampai saat sekarang di setiap Kota atau

Ibu Kota daerah Kabupaten belum seluruhnya dibentuk PTUN. Oleh karena

itu, untuk mengetahui daerah hukum suatu PTUN harus dilihat pada

Keputusan Presiden tentang Pembentukan PTUN.

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibu kota

Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi (Pasal 6 Ayat (2)

UU Peradilan TUN).

C. KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

DALAM PERKARA ANTARA Dr. ENDI HARYONO M.Si., DENGAN YKPP

DAN REKTOR UPN VETERAN YOGYAKARTA

1. Kasus Posisi

Untuk dapat menganalisis dengan baik suatu perkara yang mana telah diadili

dalam suatu pengadilan, tentu perlu mengatahui secara jelas duduk perkara

sebagaimana juga telah disertakan dalam putusan. Maka untuk mempermudah

proses analisis perkara, penulis kembali menyatakan kasus posisi perkara yang

tengah dianalisis. Demikian kasus posisi sebagaimana juga telah disampaikan

pada Putusan Nomor 02/Pdt.Sus.PHI/2015/PN/Yyk.

Penggugat adalah dosen, yang merupakan Pegawai dari Universitas

Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta berdasarkan Surat Keputusan

Pengangkatan Pegawai Nomor : Skep / 031 / V / 1997 Tanggal 2 Mei 1997

tentang Pengangkatan Sebagai Pegawai Edukatif Tetap, menggugat Tergugat I

dan Tergugat II. Tergugat I adalah Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan

Perumahan dan Tergugat II adalah Rektor Universitas Pembangunan Nasional

Veteran Yogyakarta. Gugatan Penggugat berkaitan dengan perselisihan yang

terjadi antara Penggugat dengan para Tergugat mengenai hak normatif pekerja

yang tidak dibayarkan oleh para Tergugat. Mengingat pada Bulan Mei 2010,

Penggugat mengikuti program visiting lecturer di Universitas Utara Malaya

Malaysia, yang keturutsertaan Penggugat dalam program tersebut sudah

dilaporkan dan atas sepengetahuan Tergugat II. Namun Tergugat II menganggap

bahwa keturutsertaan Penggugat dalam program visiting lecturer adalah tanpa izin

tertulis dari Tergugat II. Sehingga Tergugat II menerbitkan Surat Perintah Rektor

Nomor: Sprint/29-0/III/2011 yang pada pokoknya memerintahkan untuk

menghentikan gaji sementara Penggugat terhitung mulai tanggal 01 April 2011

dan menghentikan tunjangan fungsional terhitung mulai tanggal 01 Juni 2010.

Bahwa pada Februari 2012, Tergugat II meminta Penggugat untuk kembali

dari Malaysia dan mengajar lagi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik -

Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta. Bahwa

selanjutnya pada Bulan Februari 2012 itu pula Penggugat telah memenuhi

panggilan dan amanat dari Tergugat II tersebut. Untuk kepentingan administrasi

Penggugat untuk mengajar mata kuliah tertentu, beban SKS, honorarium dan

sebagainya, Tergugat II menerbitkan Surat Keputusan Nomor: SKEP/18/II/2012

tanggal 02 Februari 2012 yang pada pokoknya berisi pengangkatan sebagai dosen

UPN Veteran Yogyakarta Semester Genap TA 20011/2012.

Sejak bulan Februari 2012, Penggugat tersebut telah menjalankan tugas

secara aktif kembali sebagai dosen pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional -

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional (UPN)

Veteran Yogyakarta berdasarkan Surat Keputusan Nomor: SKEP/18/II/2012

tanggal 02 Februari 2012, namun Penggugat tetap saja tidak mendapatkan upah

dan tidak diperbolehkan mengajukan kenaikan kepangkatan akademik, sehingga

hal tersebut dirasa oleh Penggugat bertentangan dengan isi dari Surat Keputusan

Tergugat II tersebut yang nyata-nyata memerintahkan Tergugat II sendiri untuk

membayar hak-hak Penggugat. Kemudian sejak Februari 2013, tanpa alasan yang

jelas dan didasarkan pada suatu keputusan atau dasar hukum tertentu, Penggugat

tidak diperbolehkan mengajar lagi namun juga tidak dalam status diberhentikan

dan tidak pula memperoleh upah.

Pada tanggal 4 September 2013, Penggugat yang merasa status hubungan

kerjanya tidak menentu, hingga akhirnya Penggugat menghadap Tergugat I dan

disaksikan oleh Ketua BPH UPN Veteran Yogyakarta dalam rangka penyelesaian

permasalahan tersebut. Bahwa dalam pertemuan tersebut Tergugat I menawarkan

kepada Penggugat tentang adanya 2 (dua) pilihan penyelesaian permasalahan,

yakni: Pertama, tetap melanjutkan karir sebagai dosen di bawah Tergugat I dengan

pindah tugas sebagai dosen di UPN Jakarta atau Kedua, mengajukan pilihan

penyelesaian yang Penggugat inginkan dengan bertumpu pada prinsip win-win

solution dan kekeluargaan.

Kemudian Penggugat memutuskan untuk mengambil pilihan penyelesaian

kedua (win-win solution) yaitu dengan mengajukan permohonan pemutusan

hubungan kerja dengan baik dan hormat serta meminta pembayaran upah yang

belum dibayarkan dan hak-hak lain yang sah sebagai pegawai seperti

pengembalian dana asuransi pensiun dan tabungan hari tua pada Bank

Pembangunan Daerah Yogyakarta yang dipotong setiap bulannya dari upah

Pekerja, serta hak-hak normatif lainnya akibat putusnya hubungan kerja.

Selanjutnya pada tanggal 7 Oktober 2013, Penggugat membuat surat pernyataan

kesediaan dan penerimaan untuk mendapatkan pemutusan hubungan kerja (PHK)

dengan hormat sebagai pegawai tetap oleh Tergugat I. Terhadap Surat Pernyataan

Penggugat tersebut, kemudian Tergugat I menerbitkan Surat Keputusan Nomor:

SKEP/06/YKPP/II/2014 tanggal 20 Februari 2014 tentang Pemberhentian

Pegawai di Lingkungan UPN Veteran Yogyakarta yang pada pokoknya

memberhentikan Penggugat sebagai Pegawai Edukatif Tetap UPN Veteran

Yogyakarta dan memberikan hak-hak sesuai dengan ketentuan yang berlaku di

UPN Veteran Yogyakarta antara lain: upah yang belum dibayar, tabungan hari

tua, dan dana asuransi pensiun.

Dari duduk perkara tersebut, Penggugat dalam petitum gugatannya,

mengajukan beberapa permohonan putusan yang di antaranya:

1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.

2. Menghukum para Tergugat untuk membeyar hak-hak normatif Penggugat

sebesar Rp 135.500.000,- (seratur tiga puluh juta limaratus ribu rupiah) yang

terdiri sebagai berikut:

a. Upah + Tunjangan Fungsional sebesar Rp 101.400.000,-

b. Tabungan Hari Tua sebesar Rp 22.100.000,-

Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan berkekuatan

hukum tetap.

3. Menghukum Para Tergugat untuk mengembalikan Dana Asuransi Pensiun

Penggugat pada PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia Cabang

Yogyakartakepada Penggugat selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja

sejak putusan berkekuatan hukum tetap.

4. Menghukum Para Tergugat untuk melakukan Perubahan/Pencabutan Nomor

Induk Dosen Nasional (NIDN) atas nama Dr. Endi Haryono, M.Si.

(Penggugat) sebagai dosen UPN Veteran Yogyakarta sebagaimana tercatat

pada KOPERTIS wilayah Yogyakarta selambat-lambatnya 14 (empat belas)

hari kerja sejak putusan berkekuatan hukum tetap.

5. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan dokumen-dokumen milik

Penggugat dan surat keterangan bekerja selambat-lambatnya 14 (empat belas)

hari kerja sejak putusan berkekuatan hukum tetap.

6. Membebankan biaya perkara kepada Tergugat.

Dari gugatan tersebut Pengadilan pun menjatuhkan putusan sebagai berikut,

yakni:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.

2. Menghukum para tergugat untuk membayar hak upah dan tunjangan

fungsional sebesar: Rp.4.225.000,00 x 20 bulan = Rp.84.500.000,00 (delapan

puluh empat juta lima ratus ribu rupiah) selambat-lambatnya 14 (empat belas)

hari kerja sejak putusan berkekuatan hukum tetap.

3. Menghukum Tergugat II untuk memberikan surat keterangan kerja selambat-

lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan berkekuatan hukum tetap.

4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.

5. Membebankan biaya perkara ini kepada negara.

Berdasarkan kronologi atau kasus posisi dalam perkara ini, penulis akan lebih

rinci meneliti mengenai pertimbangan hakim terkait kewenangan mengadili

Pengadilan Hubungan Industrial atas perkara tersebut.

2. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Perkara antara Dr. Endi Haryono

M.Si., dengan YKPP dan Rektor UPN Veteran Yogyakarta

Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh penulis

adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang dipakai oleh hakim untuk

sampai pada putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan

dengan memerhatikan fakta materiel. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat,

waktu, dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya

fakta materiel tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan

mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut.11

Maka setelah dipaparkan mengenai fakta materiel, selanjutnya pembahasan berfokus

kepada kewenangan mengadili suatu pengadilan dalam mengadili perkara berdasar

pada fakta-fakta materielnya.

11

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cet. 9, Kencana Prenadamedia Group,

Jakarta, 2014, hal. 158.

1.1 Objek dan Subjek Perselisihan

Sebagaimana telah dinyatakan dalam kasus posisi pada sub-bab

sebelumnya, maka penulis akan mengerucutkan lebih khusus kepada objek

dan subjek dalam perkara yang sedang diteliti. Objek yang dimaksudkan ialah

hal yang dipertentangkan atau yang menjadi isu hukum dalam perkara antara

Dr. Endi Haryono M.Si., dengan YKPP dan Rektor UPN Veteran Yogyakarta.

Sementara subjek yang dimaksud ialah para pihak dalam perkara tersebut.

Untuk melihat dan mengulas jenis perselisihan atau objek dari perkara

aquo tentu sangat erat kaitannya dengan hubungan di antara subjek, dalam hal

ini dosen (Penggugat) dan yayasan maupun rektor (Para Tergugat). Hubungan

yang terjalin antara Penggugat dan Tergugat adalah hubungan kerja, yang

berasal dari adanya perjanjian kerja. Hal ini juga telah dengan tegas diatur

dalam UU Guru dan Dosen pada Pasal 63 Ayat (3) yang menyatakan:

“Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang

diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan

atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan perjanjian

kerja atau kesepakatan kerja bersama.”. Maka mengenai pengupahan atau

gaji juga turut diatur dalam Pasal 52 Ayat (3) UU Guru dan Dosen yang

menyatakan: “Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang

diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja

atau kesepakatan kerja bersama.”.

Sesuai dengan kasus posisi dalam perkara aquo bahwa Penggugat

mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pegawai edukatif tetap atau dosen

dan kemudian Tergugat I menerbitkan Surat Keputusan Nomor:

SKEP/06/YKPP/II/2014 tanggal 20 Februari 2014 tentang Pemberhentian

Pegawai di Lingkungan UPN Veteran Yogyakarta yang pada pokoknya

memberhentikan Penggugat sebagai Pegawai Edukatif Tetap UPN Veteran

Yogyakarta dan memberikan hak-hak sesuai dengan ketentuan yang berlaku di

UPN Veteran Yogyakarta antara lain: upah yang belum dibayar, tabungan hari

tua, dan dana asuransi pensiun. Akan tetapi setelah dikeluarkannya SK

tersebut hak-hak Penggugat tidak juga segera dipenuhi oleh Para Tergugat.

Hal ini menjadi penyebab mengapa Dr. Endi Haryono M.Si (Penggugat)

kemudian menggugat Para Tergugat, yakni karena hak dari Penggugat tidak di

penuhi oleh Para Tergugat sesuai dengan SK pemberhentian Penggugat

sebagai pegawai dari Para Tergugat.

Sementara dari segi subjeknya, perlu diketahui terlebih dahulu hubungan

hukum antara para pihak dan apakah ada hubungan kerja, sehingga Penggugat

mengajukan gugatan di PHI. Dasar dari terjadinya hubungan kerja ialah

perjanjian kerja, atau dengan kata lain tidak ada hubungan kerja tanpa adanya

perjanjian kerja. Jika kita memperhatikan definisi dari perjanjian kerja dan

hubungan kerja, pada UU Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 14 “Perjanjian kerja

adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi

kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.”

Pihak dalam perjanjian kerja ialah pekerja/buruh dengan pengusaha atau

pemberi kerja. Sedangkan pada Pasal 1 angka 15 “Hubungan kerja adalah

hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian

kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.” Jelas dikatakan

bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan

pekerja/buruh.

Dari kedua definisi di atas dapat kita lihat bahwa pihak dalam perkara

aquo ialah pihak sebagaimana dimaksud dalam perjanjian kerja dan hubungan

kerja menurut UU Ketenagakerjaan. Berdasarkan Pasal 63 ayat (3) UU Guru

dan Dosen yang menyatakan: “Pengangkatan dan penempatan dosen pada

satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan

oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang

bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.”

Jika ada perjanjian kerja, maka ada hubungan kerja, dan jika ada hubungan

kerja maka ketentuan mengenai penyelesaian perselisihan yang terjadi

haruslah sesuai dengan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI.

Dalam perjanjian kerja dan hubungan kerja sebagaimana dinyatakan dalam

Pasal 1 angka 14 dan 15 UU Ketenagakerjaan subjeknya ialah pekerja/buruh

dengan pengusaha atau pemberi kerja. Sementara Pasal 1 angka 6 UU

Ketenagakerjaan menyatakan: “Perusahaan adalah:

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang

perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik

swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan

membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan

mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam

bentuk lain.”

Pasal di atas membuktikan bahwa Yayasan (Tergugat I) maupun

Rektor UPN Veteran Yogyakarta (Tergugat II) merupakan subjek hukum

dalam hukum ketenagakerjaan. Karena yayasan merupakan suatu bentuk

usaha yang berbadan hukum dan yayasan juga merupakan usaha-usaha sosial

dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang

lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 huruf b UU Ketenagakerjaan. Dengan

demikian penyelesaian terhadap perselisihan antara para pihak dalam perkara

antara Dr. Endi Haryono M.Si., dengan YKPP dan Rektor UPN Veteran

Yogyakarta ialah sesuai dengan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan dan UU

PPHI.

Setelah melihat perkara ini dari segi objek dan subjeknya, hal penting

yang harus dipecahkan selanjutnya ialah mengenai pandangan hakim yang

menyatakan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial memiliki kewenangan

mengadili terhadap perkara ini.

1.2 Analisis Parameter Pertimbangan Hakim

Maka demikianlah alur berpikir dalam pertimbangan hakim yang

kemudian menjadi dasar bahwa perkara antara Dr. Endi Haryono M.Si.,

dengan YKPP dan Rektor UPN Veteran Yogyakarta dapat diadili oleh

Pengadilan Hubungan Industrial: Pertama, hakim melihat bahwa perkara aquo

merupakan perselisihan hak. Telah diketahui bahwa perselisihan hak adalah

salah satu objek dalam perselisihan hubungan industrial sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 dan 2 UU PPHI “1. Perselisihan Hubungan

Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau

serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 2.

Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya

hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap

ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.” Tentu ada dasar perjanjian kerja

yang mana mengakibatkan adanya hubungan kerja antara para pihak

sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Kedua, yang juga telah disinggung sebelumnya bahwa hakim

menganggap ada hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam UU

Ketenagakerjaan antara Penggugat dengan Para Tergugat. Penulis mengutip

pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 02 /Pdt.Sus.PHI/2015/PN.Yyk

yang menyatakan bahwa: “Majelis Hakim meneliti, memeriksa alat bukti surat

dan keterangan saksi baik dari Penggugat maupun Tergugat II dapat

dibuktikan bahwa ada hubungan kerja antara Penggugat dengan Para Tergugat

yang dimulai sejak tahun 1995 (vide bukti TII-1) dan menjadi pegawai tetap

sejak 1997 (vide bukti P-4) dan keterangan saksi Tergugat II Sukisman,

S.Ip,MM. dan Dr. Machya Astuti Dewi,M.Si yang pada intinya menyatakan

bahwa benar Penggugat adalah Dosen/Pengajar pada Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta;” Bukti yang dinyatakan

tersebut ialah Surat Keputusan tentang Pengangkatan Penggugat sebagai

pegawai edukatif tetap (dosen tetap) di UPN Veteran Yogyakarta. Mengingat

kembali bahwa dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan

oleh masyarakat ialah berdasar pada perjanjian kerja berdasarkan Pasal 63 ayat

(3) UU Guru dan Dosen. Sehingga pertimbangan hakim mengenai adanya

hubungan kerja yang berdasar pada perjanjian kerja sudah tepat.

Hakim menolak seluruh eksepsi dari Tergugat I, termasuk eksepsi

mengenai kewenangan PTUN terhadap perkara ini. Hakim sama sekali tidak

mempertimbangkan bahwa PTUN adalah pengadilan yang memiliki

kompetensi absolut terhadap perkara ini. Hal ini menjadi indikasi bahwa

hakim sangatlah paham dengan perkara aquo. PTUN tidak berwenang

terhadap perkara ini oleh karena:

1. Perkara aquo bukanlah sengketa TUN (objek sengketa)

Perkara aquo ialah mengenai perselisihan hak, karena tidak

dibayarkannya hak Penggugat oleh Para Tergugat selama beberapa

bulan Penggugat bekerja sebagai dosen atau pegawai dari Para

Tergugat.

2. Para pihak bukanlah pihak dalam sengketa TUN (subjek sengketa)

Bukan sengketa PTUN karena tergugat bukanlah badan atau

pejabat TUN dan Yayasan bukanlah badan TUN, begitu pula

Rektor UPN “Veteran” Yogyakarta juga bukanlah pejabat TUN.

3. Habisnya tenggang waktu untuk mengajukan gugatan

Seandainya SK Pemberhentrian Penggugat sebagai pegewai

dianggap sebagai KTUN dan perkara aquo ialah sengketa TUN,

maka KTUN tersebut sudah tidak dapat lagi digugat ke PTUN.

Karena telah melebihi batas tenggang waktu untuk dapat diajukan

ke PTUN. Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu

sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau

diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat TUN (Pasal 55 UU

Peradilan TUN).

3. Analisis Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial Setelah Adanya

Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2014 tentang Pendirian Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

Dalam proses peradilan, terlebih khusus dalam pengajuan suatu perkara perdata ke

pengadilan, salah satu hal yang harus ada ialah siapa pihak yang diajukan atau

ditarik sebagai tergugat. Dalam kalimat lain dapat dikatakan, bahwa dalam suatu

gugatan perdata haruslah disebutkan dengan jelas siapa pihak yang digugat atau

tergugat. Namun tidak berhenti sampai pada hal tersebut, karena penggugat dalam

gugatannya harus pula menjelaskan hubungan hukum antara para pihak dalam

gugatannya. Juga menjelaskan alasan mengapa ia menggugat pihak tersebut dalam

gugatanya. Kemudian majelis hakim akan menimbang apakah gugatan tersebut

dapat diadili atau tidak. Tentu dengan melihat beberapa hal seperti kompetensi

pengadilan juga tentang kapasitas tergugat, yang artinya apakah penggugat tepat

meletakkan subjek tergugatnya dalam perkara yang diajukan.

Apabila orang yang ditarik sebagai tergugat keliru dan salah, mengakibatkan

gugatan cacat formil. Cacat formil yang timbul atas kekeliruan atau kesalahan

yang bertindak sebagai penggugat maupun yang ditarik sebagai tergugat,

dikualifikasikan mengandung error in persona.12

Diketahui setidaknya ada tiga

12

Harahap M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,

dan Putusan Pengadilan, Cet. X, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 111.

jenis error in persona: Pertama, Diskualifikasi in Person yaitu apabila yang

bertindak sebagai penggugat orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi).

Kedua, Gemis Aanhoeda Nigheid yaitu keadaan dimana orang yang ditarik

sebagai tergugat keliru atau salah. Ketiga, Plurium Litis Consortium atau gugatan

kurang pihak.

Dalam perselisihan yang terjadi antara Dr. Endi Haryono M.Si., dengan YKPP

dan Rektor UPN Veteran Yogyakarta penulis melihat adanya kesalahan dari

penggugat dalam meletakkan pihak tergugatnya. Sesuai dengan jenis error in

persona yang kedua, Gemis Aanhoeda Nigheid yaitu keadaan dimana orang yang

ditarik sebagai tergugat keliru atau salah. Mengingat bahwa dalam perkara

keperdataan, seharusnya tergugat ialah pihak yang dapat dimintakan pertanggung

jawabannya di hadapan hukum. Dimana hal tersebut timbul karena adanya

hubungan hukum antara penggugat dengan tergugat. Dalam kasus ini, penggugat

tidak menjelaskan hubungan hukum antara dirinya dengan para tergugat.

Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya bahwa tergugat haruslah pihak yang

memiliki kapasitas (berkompetensi) untuk bertanggung jawab atas gugatan yang

diajukan oleh pengugat. M. Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Acara

Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan

Pengadilan” menyatakan bahwa akibat hukum dari gugatan yang mengandung

cacat formil atau error in persona harus dinyatakan tidak dapat diterima

(nietontvankelijke verklaard).13

Keyakinan bahwa perkara ini menjadi kewenangan PHI akan tetapi

Penggugat salah dalam meletakkan subjek tergugatnya didasarkan kepada bunyi

dari Pasal 4 huruf a Peraturan Presiden No. 121 Tahun 2014 tentang Pendirian

13

Op.Cit., hal. 113.

Universitas Nasional “Veteran” Yogyakarta (yang selanjutnya disebut dengan

Perpres No. 121/2014) yang berbunyi: “Pada saat Peraturan Presiden ini mulai

berlaku: a. semua kekayaan, pegawai, hak dan kewajiban Yayasan Kesejahteraan

Pendidikan dan Perumahan dalam penyelenggaraan Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Yogyakarta dialihkan menjadi kekayaan, pegawai, hak dan

kewajiban Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta;” Pasal ini

dapat diartikan bahwa YKPP sudah tidak lagi memiliki hubungan hukum dengan

UPN “Veteran” Yogyakarta dan juga dengan Penggugat. Selain daripada itu

YKPP juga tidak lagi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan UPN

“Veteran” Yogyakarta termasuk kekayaan, pegawai, hak dan kewajiban. Bahwa

segala tindakan hukum yang dilakukan oleh YKPP sebelum adanya Perpres

tersebut ialah merepresentasikan diri sebagai UPN “Veteran” Yogyakarta.

Termasuk dalam hal mengeluarkan SK pengangkatan dan pemberhentian pegawai

di lingkungan UPN “Veteran” Yogyakarta. Maka Perpres tersebut menjadi titik

tolak beralihnya hak dan kewajiban dari YKPP kepada Negara dalam hal ini

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan selaku penyelenggara dan pengelola UPN

“Veteran” Yogyakarta berdasarkan Perpres No. 121/2014.

Berdasarkan kasus posisi yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa SK

pemberhentian Dr. Endi Haryono M.Si., dikeluarkan sebelum adanya Perpres No.

121/2014 dan Dr. Endi Haryono M.Si., menggugat YKPP setelah Perpres No.

121/2014, maka menyertakan YKPP sebagai tergugat dalam gugatannya

merupakan suatu kesalahan. Oleh karena YKPP tidak memiliki hubungan lagi

dengan UPN “Veteran” Yogyakarta. Maka YKPP juga tidak memiliki hubungan

hukum dengan Penggugat, yang artinya YKPP tidak memiliki kapasitas untuk

bertanggung jawab atas hak dan kewajiban dari UPN “Veteran” Yogyakarta.

Maka berdasar pada penjelasan di atas, PHI berwenang mengadili perkara

antara Dr. Endi Haryono M.Si., dengan YKPP dan Rektor UPN Veteran

Yogyakarta. Namun karena kesalahan dalam meletakkan pihak tergugatnya hakim

seharusnya menolak gugatan dan Penggugat seharusnya merevisi gugatannya

dengan mengganti pihak yang ditarik sebagai tergugat dalam gugatannya.